Upload
lyhanh
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NO: 34/PUU-XI/2013
DALAM PERSPEKTIF MASHLAHAT
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
ILYAS FADILAH
NIM:1110043200024
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015M
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RINoMoR : 34/PUU-xv2013 DALAM PERSFEKTTF MASLAHAT
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan HukumUntuk memenuhi persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
ILYAS FADILAIINM:1110043200024
Dibawah Bimbingan:
JWDrs.Abu Tamrin, SH.,MH.NIP. I 9650908 1 99503 1 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUMPROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1436 H / 201sM
afrani SHI.,MCCL
. { sn.i.:t. l
7',
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKIRIPSI
skiripsi berjudul *PUTUSAIII MAIIKAMAH KONSTITUST RI Nor 34/pW-xI/2013 DALAIVT PERSPEKTTF MASHLAHA'T, telah diujikan dalam sidangmmaqasah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Juli 2015. Skiripsi ini telah di terima sebagaisalah satu syarat memperoleh gelar Sarjana $yariah (s.sy) pada program StudiPebandingan Mazhab dan Hukum.
Jakartg"? Juli 2015 M
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANTTIA UJIAN MTINAQASAH
l. Ketua : Dr. Khamami Zada. MANIP. 1 9750 t0220s3 121001
2. Sekretaris Hi. Siti Hanna S.Ag. Lc.. MANIP. 1 974 021 62008A1 20 I 3
Drs.Abu Tarnrin. SH..MH.NIP. 19650908199503 1001
: Andi Svafrani SHI..MCCL
Pembimbing I :3t \.a...r........,/
Pembimbing II
5. Penguji I Muhamd Ainul Sf'aEnsp" SH..MH.
6. Penguji II Kamanrsdiana SAg.. M.H'Nip.19720224t998431
3.
4.
Dr.Asep Sa[pudinNIP. 19691216t996031 00 I
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Juli 2015 M
Ilyas Fadilah
iv
ABSTRAK
ILYAS FADILAH. NIM 1110043200024. PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI RI NOMOR: 34/PUU-XI/2013 DALAM PERSPEKTIF
MASHLAHAT.
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI Tahun 2013 yang menghapuskan Pasal
368 ayat (3) KUHAP yang berisikan tentang pembatasan permintaan Peninjauan
Kembali yakni hanya boleh satu kali. Putusan ini menimbulkan pro-kontra
dikalangan ahli hukum karena dianggap bertentangan dengan kepastian hukum
tapi putusan ini juga dianggap sesuai dengan tujuan hukum untuk mencari
keadilan. Pro-kontra Putusan Mahkamah Konstitusi ini sendiri tidak ada yang
meninjaunya dengan hukum Islam menggunakan aspek mashlahat apakah Putusan
ini dianggap sesuai dengan aspek mashlahat dalam hukum Islam atau tidak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian
terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, sesuaikah dengan hukum Islam
dengan menggunakan aspek mashlahat. Dengan pendekatan kualitatif yaitu
bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study
pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif.
Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data,
memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang
penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan
mudah difahami sertamenginformasikannya kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat mengetahui dan memahami
bagaiamana pandangan hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi ini
sesuai atau tidak penerapannya didalam masyarakat.
Kata kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Mashlahat.
Pembimbing: Drs Abu Tamrin SH.,M.Hum. & Andi Syafrani SHI,.MCCL.
Daftar Pustaka: Tahun 1964 sampai Tahun 2011
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Tidak ada kata yang pantas diucapkan untuk mengawali kata pengantar ini
kecuali Alhamdulillah. Puji dan syukur selalu terucapm pada Allah SWT Tanpa
seizinNya Penulis tidak dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tak lupa pula
Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi akhir, Muhammad SAW
yang telah diutus kebumi sebagai lentera bagi hati manusia.
Skripsi yang berjudul "PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No:
34/PUU-XI TAHUN 2011 DALAM PERSFEKTIP MASHLAHAT". Selama
proses penelitian Penulis banyak berhutang budi kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis antara lain Yth:
1. Dr. Asep Saefudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Khamami,MA dan SIti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum. Fahmi Muhammad Ahmadi
S.Ag. M.Si Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin,SH.,M.Hum., dan Andi Syafrani,SHI.,MCCL., Dosen
Pembimbing Skripsi. Dr,M. Muhammad Taufiki, M.Ag. Dosen Pembimbing
Akademik serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
membimbing dan mendidik Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
5. Secara Khusus Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yang
tercinta, Ayahanda Toto Irmansyah dan Ibunda Iin Warkinah sebagai
ungkapan terima kasih yang tiada terhingga yang telah membesarkan dan
mendidik Penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang. Serta memberikan
semangat kepada Penulis dan juga memberikan doa, Sehingga Penulis dapat
menyelasaikan skripsi ini dengan lancar.
6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Tedi Sudarna,
Aidzbillah, Bambang Tri Nugroho, Laka Rhamadhan Mubarak, Ramdhani,
Ahmad Sandi, Wiwin Winata, Ridwan Anas, Anjo Momaitri, Ahmad Dhani
Hidayat, Yususf Hilmi, Fatin Nugroho, Saipul Anwar. Semua yang menjadi
guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga
persahabatan ini selalu dalama RidhoNya dan apa yang dicita-citakan akan
tercapai. Amiin
Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
catatan pahala di sisi Allah SWT. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi inimasih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga
skripsi ini bermanfaat adanya. Amiin.
Jakarta, 22 Mei 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 7
D. Metode Penelitian .............................................................................. 8
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12
BAB II Kerangka Teori Tentang Kepastian Hukum , Teori Keadilan
dan Teori Mashlahat.
A. Teori Kepastian Hukum................................................................... 14
B. Teori Keadilan. ................................................................................ 15
C. Teori Mashlahat. .............................................................................. 17
BAB III TINJAUAN TENTANG PENINJAUAN KEMBALI
A. Pengertian Peninjauan Kembali Dalam Perundang-Undangan. ...... 27
B. Sejarah Peninjauan Kembali. ........................................................... 29
C. Peninjaun Kembali Dalam Hukum Islam. ....................................... 39
viii
BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO: 34/PUU-XI/2013
DALAM PANDANGAN MASHALAHAT.
A. Obyek & Subjek Permohonan. ........................................................ 44
B. Kerugian Konstitusional Pemohon........................................... ....... 46
C. Pertimbangan Hukum Hakim..................................................... ..... 49
D. Analisa Putusan Hukum Islam dengan menggunakan Aspek
Mashlahat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusin Nomor:
34/PUU-XI 2013. ............................................................................ 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 62
B. Saran ................................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum memiliki sejarah yang panjang, yang sama dengan peradaban
umat manusia. Pelaksanaan hukum itu sendiri menjadi salah satu cara
penyelesaian ragam masalah yang timbul dalam hubungan inter-subjektif
sesama anggota masyarakat. Penyelesaian masalah dengan instrumen hukum
ternyata kemudian menjadi tidak sederhana. Mengapa harus dihukum? karena
menghukum berarti harus benar dan adil, demi kebenaran dan keadilan itu
juga, maka hukum acara harus pula berfungsi untuk membebaskan, seseorang
yang terbukti tidak bersalah. Hukum disitu mengandung esensi soal besar dan
mendalam tentang kebenaran dan keadilan yang berkepastian.1
Konteks ini melalui lembaga peradilan hukum, menjadi alat utama
negara dalam menjalankan roda pemerintahan dan untuk mencapai tujuannya
bagi keadilan. Dalam peradilan sendiri ada upaya hukum biasa dan luar biasa
yang bisa diajukan bagi mereka yang berperkara dan merasa belum puas
dengan putusan yang sudah dijatuhkan. Di tahap banding sampai ke
Peninjauan Kembali (PK) Awalnya PK sebagai tahap akhir dalam upaya
hukum di Indonesia hanya dibatasi sekali untuk memberikan kepastian hukum
dan tidak berlarut-larut dalam satu kasus tapi setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 34/PUU-XI/2013 yang menghapuskan Pasal
1Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Penerbit Ghalia
Indonesia,2012 h pendahuluan xxvii.
2
268 Ayat (3) KUHAP yang berisi "Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan hanya dapat diajukan satu kali saja"..
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 34/PUU-XI/2013, yang
dibacakan pada tanggal 6 Maret 2014 Menimbulkan kontroversi di kalangan
ahli hukum. Kontroversi tersebut dikarenakan adanya perbedaan pandangan
mengenai PK yang diperbolehkan lebih dari satu kali. Bagi mereka yang
mendukung putusan Mahkamah Konstitusi RI itu alasannya antara lain :
1. Pembatasan Peninjauan Kembali mengabaikan Keadilan.
2. Peninjauan Kembali yang hanya sekali adalah bentuk kemalasan negara.
3. Peninjauan Kembali adalah sarana memperoleh keadilan bukan kepastian
hukum.
Ada sebagian juga yang menolak terhadap putusan mengenai Peninjauan
Kembali boleh lebih dari satu kali ini alasannya antara lain :
1. Pembatasan Peninjauan Kembali merupakan bentuk penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
2. Peninjauan Kembali hanya sekali adalah bentuk kepastian hukum.
3. Peninjauan kembali yang diajukan berkali kali akan menimbulkan
kekacauan hukum.
4. Peninjauan Kembali yang diajukan berkali-kali tidak sejalan dengan asas
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.2
Tanggal 31 Desember 2014 Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 7 Tahun
2http://www.hukumpedia.com/negara/pergesaran-peninjauan-kembali-dari-kepastian-
hukum-menuju-keadilan-hukum-hk5399a5185509e.html Di Akses 25 Maret 2015.
3
2014. SEMA ini berisi tentang pembatasan Peninjauan Kembali menjadi satu
kali yang didasarkan pada Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) Undang-
Undang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang mengatur
Peninjauan Kembali hanya sekali karena kedua ketentuan itu tidak dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi. SEMA ini pun langsung mendapat respon dari
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahkamah Agung
untuk mencabut SEMA Nomr: 7 Tahun 2014 karena dianggap bertentangan
dengan konstitusi.3
Banyaknya pro-kontra di kalangan ahli hukum bahkan sampai
Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
perubahan Peninjauan Kembali ini, walaupun ada permintaan pencabutan
SEMA ini dari ICJR bukan berarti SEMA ini tidak mempunyai dasar hukum
yang kuat.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Pasal 268 ayat
(3) KUHAP yang membatasi permintaan PK hanya diajukan satu kali. Bagi
para terpidana sendiri bisa memberikan peluang untuk membuktikan akan
ketidak bersalahannya sebelum dilaksanakannya eksekusi tapi juga sebaliknya
bisa menimbulkan kekacauan hukum. Bagi terpidana yang memiliki keuangan
yang memadai bisa terus-terusan mengajukan Peninjauan Kembali sehingga
berlarut-larut dalam satu kasus untuk mengundur undur eksekusi putusan
walaupun pada prinsipnya upaya hukum luar biasa PK ini tidak
3http;//nasional.kompas.com/read/2015/01/05/06551981/MA.Didesak.Cabut.Surat.Edaran
.soal.Pembatasan.Peninjauan.Kembali.Di akses 25 maret 2015.
4
memperlambat proses eksekusi karena pada kenyataannya dengan adanya
pembatasan PK yang satu kali pun ada saja kasus yang eksekusinya terus di
undur tapi dengan Peninjauan Kembali boleh lebih dari satu kali memberikan
nafas lega bagi mereka para pencari keadilan.
Disini harusnya para pembuat Perundang-undangan di Indonesia ini juga
menerapkan prinsip-prinsip umum hukum Islam salah satu diantaranya yang
paling dominan adalah mashlahat,4 apakah dengan keputusannya itu dapat
memberikan kebaikan atau malahan sebaliknya memberikan keresahan di
antara masyarakat itu sendiri karena dianggap tidak sesuai dengan norma yang
ada didalam masyarakat. Disinilah kekurangan hukum positif yang kurang
menerapkan konsep mashlahat seperti yang diajarkan dalam prinsip hukum
Islam yang lebih mengedepankan kemashlahatan bagi orang banyak, bukan
hanya mengedepankan bertentangan atau tidaknya dengan Undang-undang
yang lebih kuat.
Suatu Kemashlahatan dalam Islam harus sejalan dengan tujuan syara',
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak -kehendak syara' tetapi
sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.5
Model pendekatan yang lebih menekankan dimensi mashlahat, tidak
berarti bahwa segi legal formal tekstualharus diabaikan. Ketentuan legal
4 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2005) Kata "maslahat"
merupakan kata bahasa Indonesia yang diserap dari kata bahasa Arab, yakni maslahah. Secara
leksikal-etimologis, kata "maslahat" sebagai kata benda-diartikan dengan; (i) sesuatu yang
mendatangkan kebaikan (keselamatan, dan sebagainya); (ii) faedah; dan (iii) guna.Sedangkankata
"kemaslahatan"-juga sebagai kata benda mengandung arti; kegunaan, kebaikan, manfaat,
kepentingan.
5Ma'rf Amin.Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta Paramuda Adversting 2008) h
152
5
formal tekstual yang valid harus tetap menjadi acuan. Namun pada saat yang
sama, haruslah benar-benar dipahami bahwa patokan legal formal dan tekstual
hanyalah merupakan salah satu cara yang nota bene terikat dengan ruang dan
waktu, agar cita mashlahat itu dapat terwujud dalam kehidupan.6
Aplikasi mashlahat ini tidak berarti harus mengabaikan aturan hukum
yang lebih kuat. Mashlahat yang tanpa memperhitungkan ketentuan yang ada
di nash Al-Quran maupun dalam sabda Rasulullulah SAW bisa hanya nafsu
belaka walaupun seiring berjalannya waktu ada banayk masalah baru yang
belum pernah ada sebelumnya tapi bukan berarti kita bisa seenaknya
menetukan mana mashlahat yang lebih baik tanpa memperhatikan hukum
yang lebih kuat.
Relasi mashlahat dan pembuatan aturan hukum tentu bisa dikaji lebih
jauh lagi, untuk kemudian dikontekstualisasikan dalam spektrum tata hukum
nasional. Artinya dapat dilakukan pengkajian mendalam mengenai aplikasi
dari relasi tersebut dalam konteks hukum nasional pada masa reformasi ini.
Sebagai metode, mashlahat harus diposisikan sebagai pisau analisis atau kaca
mata untuk membaca tata hukum nasional.7
Pengkajian mashlahat menjadi sangat urgen jika dikaitkan dengan upaya
menemukan relevansi mashlahat tersebut dengan perundang-undangan
nasional diatas. Di samping itu, agar hukum indonesia senantiasa mampu
6Muthafa Ahmad al-Zarqa, al-istilah wa al-Masalihal-Mursalah fi al-Syari'ah al
Islamiayahtwa Usul Fiqhiha, h 87-89. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya
Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara
RI) h 7.
7Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermenutika: Mambaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta; Pesantren Newesea Pers, 2006), h. 48
6
menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan maka membuka diri dan
menerima unsur-unsur luar yang relevan merupakan suatu keharusan,
termasuk perihal penyerapan hukum Islam melalui doktrin mashlahat.8
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan diatas maka
dari itu Penulis akan menuliskan skripsi tentang "Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No: 34/PUU-XI/ 2013 Dalam Persfektip Mastlahat".
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan. Disini Penulis
hanya akan membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
34/PUU-XI/ 2013 dalam perspektif Mastlahat.
2. Perumusan Masalah
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang
penghapusan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berisikan tentang
pembatasan permintaan pengajuan PK yang hanya diperbolehkan satu kali
dan bagaimana hukum Islam sendiri menanggapinya dengan menggunakan
pandangan maslahat.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
8Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di
Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 6.
7
a. Apa dasar pertimbangan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No: 34/PUU-XI/2013.
b. Bagaimana tinjauan Mashlahat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
No: 34/PUU-XI/2013.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan yang
ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian,
Penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Konstitusi RI No: 34/PUU-XI 2013.
b. Untuk mengetahui tinjauan mashlahat dalam hukum Islam terhadap
Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI
NO: 34/PUU-XI Tahun 2013.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menyumbangkan wacana ilmu
pengetahuan yang diperlukan serta menambah khazanah kepustakaan
untuk kepentingan akademik.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti dan penegak hukum.
8
c. Memberikan informasi pada masyarakat umum tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU XI 2014 dan korelasinya
dengan perspektif Mastlahat dalam hukum Islam.
D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian ilmu hukum normatif
yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam
hukum syariat, dengan memuat deskripsi masalah yang diteliti berdasarkan
tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam.
2. Pendekatan Masalah
Penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan
yaitu pendekatan perundang-undangan (statue-approach), Pendekatan
historis (historical approach) dan pendekatan kasus (case-approach)9.
Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian
(seorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.10
Pendekatan Perundang-undangan (statue-approach) adalah
pendekatan dengan penelaahan lebih lanjut untuk menjawab rumusan
9Peter Mahmud Marzuki, Penelitain Hukum, (Surabaya: Kencana, 2010, cetakan keenam)
h 96-126.
10
Hadari Nawawi, Metode PenelitianBidang Sosial, Cet. 12, (Yogyakarta: GajahMada
Universitas Press 2007), h 67.
9
masalah. Antara lain dalam hal kompetensi Mahkamah Konstitusi
mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 N RI Tahun 1945, dasar
hukum di dalam putusan dan pertimbangan hukum lainnya,
Pendekatan sejarah digunakan untuk mengungkap filosofis,
bagaimana penyelesaian acara peradilansebelum dan setelah adanya
Putusan MK tersebut. Semua pendekatan tersebut akan dikomparasikan
dengan persfektip Maslahat menurut hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library
research) atau studi dokumen. Pada penelitian kualitatif, bahan pustaka
merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan dalam data
sekunder. Namun, dalam penelitian hukum, data sekunder ini mencakup
bahan hukum primer (Konstitusi, Peraturan Perundang-undangan, dll).
Teknik pengumpulan data ini berwujud dokumentasi naskah, baik itu
kitab-kitab, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan bahasan-
bahasan yang berkaitan dengan rumusan masalah. Berikut adalah sumber-
sumber data yang akan dikumpulkan dan menjadi rujukan dalam penelitian
ini:
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang dikumpulkan oleh Penulis
langsung dari sumber utamanya, data primer yang dimaksud ini antara
lain sebagai berikut :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10
2) Undang-Undang Nomor: 24 Tahun 2003.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:34/PUU-XI/ 2013.
4) Undang-Undang Nomor:8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi.
5) Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
6) KUHAP/undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
terdiridari buku-buku, jurnal, ataupun materi materi hukum lainnya
yang berkaitan dengan tema yang akan Penulis bahas.
c. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesaia, kitab-kitab
Islam maupun materi-materi lainnya.
4. Tehnik Pengolahan dan Analisa bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, UUD 1945 N RI Tahun 1945, Perundang-undangan, dan
bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum ataupun materi lainnya akan dianalisa secara mendalam sesuai
dengan pendekatan yang digunakan.
11
5. Metode Penulisan
Metode Penulisan menggunakan metode kualitatif yakni metode yang
lebih menekankan pada analisis secara mendalam terhadap suatu masalah
dan cara pandang para ahli hukum yang berbeda pendapat terhadap
putusan Mahkamaha Kontitusi RI ini.
E. Kajian Terdahulu
Judul skripsi ini sejauah yang Penulis ketahui, apa yang Penulis tulis ini
belum pernah ada yang menulisnya, setidaknya di lingkungan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Adapun buku yang
menjadi panduan penulisan Karangan Asmawi, Teori Maslahat dan
Relevansinya dengan Undang-Undang Khusus di Indonesia, diterbitkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Kementrian RI. Judul Skripsi yang mempunyai
kesamaan ialah tulisan Ihsan Badruni Nasution yang berjudul "Problematika
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama (analisis Putusan Peninjauan Kembali Nomor 54/PK/AG/2008).
Saudara Ihsan Badrudin lebih meneliti kehukum perdata Islam yakni tentang
hukum keluarga yang memang di Indonesia ini hukum keluarga untuk orang
muslim didasarkan pada hukum Islam dengan adanya lembaga Peradilan
Agama. Ini sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan yang lebih
berfokus kepada putusan MK mengenai penghapusan salah satu pasal 268 ayat
(3) KUHAP.
Penulis mempunyai titik khusus terhadap Putusan MK No 34/PUU-
XI/2013 dan prinsip hukum Islam yaitu maslahat. Permasalahan ini belum
12
pernah dikupas oleh peneliti yang dilakukan sebelumnya dikarenakan
permasalahan ini masih baru. Atas pertimbangan di atas Penulis merasa perlu
untuk memaparkan persoalan ini dalam skripsi ini dengan pengkajian
komparatif.
Dalam karya ini, Penulis mencoba mamaparkan sehingga hal ini sangat
menarik karena terdapat kontribusi penelitian yang akan menjawab
permasalahan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima BAB.
Masing-masing terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan masalah yang diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok
pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Merupakan bab yang memuat: Latar belakang
masalah, dilanjutkan dengan batasan dan rumusan masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan (Review)
Studi Terdahulu dan Sistematika Penelitian.
BAB II Tinjauan tentang Peninjauan Kembali. Merupakan bab yang
membahas mengenai Peninjauan Kembali dalam Perundang-
Undangan di Indonesia, Sejarah Peninjauan Kembali. Peninjauan
Kembali dalam hukum Islam.
BAB III Profil Mahkamah Konstitusi RI dan Tinjauan Tentang Mashlahat.
Merupakan bab yang membahas tentang Latar Belakang
13
Mahkamah Konstitusi RI. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi RI.
Definisi Mashlahat oleh ilmuan Islam. Kategorisasi Mashlahat.
BAB IV Putusan Mahkamah Konstitusi NO: 34/PUU-XI/2013 Dalam
Pandangan Mashlahat.
Merupakan bab yang membahas tentang Obyek dan Subjek
Permohonan. Kerugian Konstitusional Pemohon. Pertimbangan
Hukum Hakim. Analisa Putusan. Pandangan Hukum Islam dengan
menggunakan Aspek Mashlahat terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi NO: 34/PUU-XI/2013.
BAB V Penutup Berisi Kesimpulan dan saran-saran penulis.
14
BAB II
KERANGKA TEORI TENTANG KEPASTIAN HUKUM, TEORI
MASHLAHAT DAN TEORI KEADILAN
A. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum tertuang dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Menurut Sudikno Mertokusumo (2007 : 160), kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan
bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.
Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah
bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang
positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif
(Fernando M. Manullang, 2007 : 95).
Nusrhasan Ismail (2006: 39-41) berpendapat bahwa penciptaan
kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan
persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu
sendiri.
15
Keharusan akan adanya peraturan dalam masyarakat merupakan syarat
pokok untuk adanya kepastian hukum sehingga peraturan merupakan kategori
tersendiri yang tidak bersumber kepada ideal maupun kenyataan. Menjadi
sasarannya bukanlah untuk menemui tuntutan ide-ide sahari-hari mealinkan
tuntutanagar peraturan ada. (satjipto Rahardjo, 1986: 19-20).1
Pemaparan materi diatas dapat diambil pengertian bahwa yang
terpenting dari kepastian itu adalah adanya peraturan itu sendiri. Peraturan itu
sendiri apakah sudah sesuai atau tidaknya dengan keadilan maupun manfaat
itu berada diluar dari tuntutan kepastian hukum itu sendiri.
B. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan lain
sebagainya) yang adil: sama berat, tidak memihak, berpegang pada kebenaran,
tidak sewenang-wenang. Keadilan itu menurut Plato dikualifikasikan kedalam
3 hal:
1. Suatu karakteristik atau “sifat” yang terberi secara alami dalam diri tiap
individu manusia.
2. Dalam keadaan ini, Keadilan emungkinkan orang mengerjakan
pengkoordinasian (menata) serta memberi batasan (mengendalikan) pada
tingkat “emosi” mereka dalam usaha menyesuaikan diri dengan
lingkungan tempat ia bergaul dengan demikian,
1 Chairul Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta, Sinar Grafika. 2008) h 16
16
3. Keadilan merupakan hal yang memungkinak masyarakat manusia
menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam cara-cara yang utuh dan
semestinya.2
Plato, seperti kutipan diatas mengemban fungsi “menyelaraskan” dan
“menyeimbangkan”, hal itu kurang lebih berbunyi: Keadilan merupakan
“besar-besaran” atau “asset-aset yang akan membuat kondisi kemasyarakatan
menjadi selaras dan seimbang. Keadilan yang dimaksud adalah besaran nyang
bersumber dari jiwa tiap-tiap masyarakt itu sendiri, yang pada dirinya tidak
dapat dipahami atau diekspletasikan /dijabarkan melalui argumentasi-
argumentasi.
Untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya keadilan
didalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam
konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dalam sebuah “Negara
Kota”, bahwa:
1. Dalam Suatu Masyarakat yang adil, tiap warga Negara harus dapat
memainkan perannya (fungsi kemasyarakatan) yang paling sesuai dengan
dirinya demikian juga halnya dalam asset-aset ekonomi perorangan.
2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang jika akal (nalar) juga menang,
selera serta nafsu binatang semestinya diletakan (dikendalikan) sedemikian
rupa pada tempat yang sesuai.
3. Tatanan masyarakat yang berkeadilan hanya akan tercapai sepanjang akal
manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsipnya rasional lainnya dapat
memandu penyelenggaraan kehidupan dari elemen-elemen (masyarakat).3
2 Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,
(Bandung: Refika Aditama 2007) h177.
3 Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,
(Bandung: Refika Aditama 2007) h178.
17
Aristoteles, Hukum dibentuk berlandaskan kepada keadilan, dan ia
diarahkan sebagai pedoman bagi perilaku individu-individu dalam
keseluruhan hal yang bersinggungan dengan konteks kehidupan masyarakat.
Proses pembentukan itu dengan demikian, bertitik berat pada atau melingkupi
keseluruhan tema yang berhubungan dengan masyarakat.
Keadilan dikualifikasikan kedalam lima model yaitu :
1. Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya
masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara
masyarakat dengan perorangan.
2. Keadilan Komunitatif: Perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-
jasanya. Keadilan komunitatif berhubungan dengan sanksi tanpa
mempedulikan jasa yang telah diperbuatnya.4
C. Teori Mashlahat
Secara etimologis, arti al-mashlahah dapat berarti kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-
mashlahah ada kalanya dilawankan dengan kata al-mafasadah dan adakalanya
dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan5.
Secara termilogis Mashlahat telah diberi muatan makna oleh ulama usul
al-fiqh. Al-Gazali (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine
4 Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan (Bandung:
Refika Aditama 2007) h 182.
5 Isma'il ibn Hammad al-Jauhari,al-shihah Taj al-lugah wa Sihah al-Arabiyah. (Beirut:
Dar al-Ilm li Malayin, 1367H/1956 M).Juz ke 1.h 383-384. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat
dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Negara RI) h 10.
18
dari mashlahat adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menghindari
kemudaratan (jalb al-manfa'ah atau daf al-madarrah).
Al-Gazali berpendapat, yang dimaksud mashlahat, dalam arti
terminologis syar'i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam
(syariah) yang berupa memeliihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan
harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazali bahwa setiap sesuatu yang dapat
menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai mashlahat: sebaliknya setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai
al-mafsadah. Maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut maka
dikualifikasikan sebagai mashlahat6.
Izz al-Din Ibn 'Abd al-Salam mengemukakan pandangannya, mashlahat
itu identik dengan al-khair (kebaikan)7. Sementara Najm al-Din al-Tufi
(w.716H) berpendapat bahwa makna mashlahat dapat ditinjau dari segi 'urfi
dan syar'i. Menurut al-Tufi, dalam arti 'urfi, mashlahat adalah sebab yang
membawa kepada kebaikan dan kemanfaatan, seperti perniagaan sebab yang
membawa kepada keuntungan, sedang dalam arti syar'i, mashlahat adalah
sebab yang membawa kepada tujuan al-syari, baik yang menyangkur ibadah
6 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-mustafa min 'ilm al-usul,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke 1, h 5.
Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di
Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 36.
7'Izz al-Din ibn'Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Kairo: Maktabat
al-Kuliyyat al-Azhariyah, 1994), Juz ke 1, h 5 Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan
Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Negara RI) h 36.
.
19
maupun muamalah.8 Tegasnya, mashlahat masuk dalam akupan maqasid al-
syariah.9.
Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi
Al-Ghazali di atas, yaitu "memelihara tujuan syara' (dalam menetapkan
hukum), dengan cara menghindarkan kerusakan pada manusia". Definisi ini
memiliki kesamaan dengan definisi Al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya
karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan
menolak kemaslahatan berarti menarik kerusakan10
.
Al-Syatibi mengartikan Mashlahat itu dari dua pandangan, yaitu dari
segi terjadinya maslahat dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara' kepada maslhahat.
1. Dari segi terjadinya mashlahat dalam kenyataan berarti:
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya
secara mutlak.
2. Dari segi tergantungnya tuntutan syara' kepada mashlahat yaitu:
Kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara'.
Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.11
8Bajm al-Din al-Tufi, Syarh al-Arba'in al-Nawawiyah, hlm.19, lampiran dalam Mustafa
Zaid, al-Maslaha, al-Maslhah fi al-Tasyri' al-Islamiy wq Najm al-Din al-Tufi, dar al-Fikr al-
Arabiy. 1384H/1964 M), h 211. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan
Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h
56.
9 Hamadi al-Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'Ulum al-Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Arabiy, 1991), h 97. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-
Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 57 .
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. H 346.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. h 346-
347.
20
Al-Tufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-Alim dalam
bukunya al-Maqashid al-Ammah li al-Syaro' ati al-Islamiyyah mendefinisikan
mastlahat adalah "Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara'
dalam bentuk ibadat atau adat". Definisi al-Thufi ini bersesuaian dengann
definisi al-Ghazali yang memandang mashlahat dalam artian syara' sebagai
sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara'.12
Dari beberapa definisi tentang mashlahat diatas dengan rumusan yang
berbeda tersebut dapat disimpulakn bahwa mashlahat itu adalah sesuatu yang
dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan
syara' dalam menetapkan hukum.
Sebelum mengkategorisasikan Mashlahat patut diketahui terlebih
dahulu mengenai kriteria maslahat yang dikemukakan oleh al-Buti apakah
sudah valid secara syar'i. Menurut pandangan al-Buti kriteria mashlhat itu
mencakup lima ha, yaitu :
1. Sesuatu yang akan dinilai itu masih dalam koridor nass syara'.
2. Sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran.
3. Ia tidak bertentangan dengan Sunah.
4. Ia tidak bertentangan dengan al-Qiyas.
5. Mastlahat ini tidak mengorbankan Mastlahat lain yang lebih penting.13
12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. h 347.
13
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Marsalah fi al-Syari'ah al-Islamiyah,
(Beirut: Mu'assasat al-Risalah, 1421 H/2000 M), h 110, 118, 144, 190, dan 217.
21
Al-Ghazali menjelaskan kategori mashlahat. Pertama mendapat
ketegasan justifikasi teks suci Syariah terhadap penerimaannya (al maslahah-
al-mu'tabarah), merupakan al-hujjah al-syar'iyah dan buahnya berupa al-
qiyas yang mengandung makna memetik hukum dari kandungan makna-logis
suatu al-nass i dan al-ijma. Kedua mashlahat yang mendapatkan justifikasi
Syariah terhadap penolakannya (al-maslhah al-mulgah), al-Gazali
mencontohkan kasus fatwa seorang ulama kepada sang raja yang menyetubuhi
isterisnya pada siang hari di bulan Ramadhan, yakni kewajiban berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai kaffarah yang harus ditunaikan sang raja, dengan
dasar pertimbangan (al-dalil) bahwa kalau ditetapkan bagi sang raja itu
memerdekakan budak sebagai kaffarah, tentu sangatlah ringan bagi dirinya
sehingga tidak mendidikya untuk berjuang melawan hawa nafsu syahwat,
tidak membawa efek jera baginya.
Dalam penilaian al-Gazali, hal demikian merupakan suatu pendapat
yang tidak benar, suatu tindakan penyimpangan terhadap nass al-Quran, yang
pada gilirannya membawa kepada dekonstruksi teks suci Syariah dengan
alasan adanya perubahan situasi dan kondisi. Ketiga iyalah mashlahat yang
tidak mendapatkan ketegasan justifikasi teks suci Syariah, baik terhadap
penerimaannya maupun penolakannya. Hal ini menjadi medan perselisihan
para ulama.14
14 Abu Hamid Muhammad al-Gazali, al-Mustafa min 'Ilm al-Usul, ,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke-1, hlm
415-416. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan
Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 61 .
22
Pada sisi lain al-Gazali juga mengkategorisasikan mashlahat
berdasarkan segi kekuatan substansialnya (quwwatiha fi dzatiha), di mana
mashlahat itu dibedakan menjadi tiga, yaitu: Mashlahat level al-darurat,
merupakan mashlahat tertinggi dan terkuat memiliki lima prinsif dasar
diantaranya. Satu (1) memelihara agama (hifz al -din). Kedua (2) memelihara
jiwa (hifz al-mal). Ketiga (3) memlihara akal pikiran (hifz al-aql). Empat (4)
Memelihara keturunan (hifz al-nasl). Lima (5) Memelihara harta kekayaan
(hifz al-mal).15
Pandangan al-Gazali ini disempurnakan lagi oleh Syihab al-Din
al-Qarafi (w. 684 H) dengan menambahkan satu tujuan prinsif dasar lagi yakni
memelihara kehormatan diri (hifz al-'ird). Meskipun diakui sendiri oleh al-
Qarafi bahwa hal ini menjadi lahan perdebatan para ulama.16
Sedangkan
Mashlahat level al-hajat merupakan Mashlahat tingkatan kedua. Adapun yang
ketiga adalah mashlahat level al-Tahsinat/al-tazniyat merupakan mashlahat
yang tidak berada pada level darurat maupuan hajat. Mashlahat al-hajat dan
al-tahsinat/al-tazniyat tidak boleh diajdikan dasar/landasan yang mandiri bagi
penerapan hukum manakala tidak didukung oleh justifikasi asl, karena jika
tidak demikian berarti menetapkan hukum dengan al-ra'yu: jadi sama dengan
Ihtisan. Apabila didukung oleh asl maka namanya al-qiyas. Adapun mashlahat
15 Abu Hamid Muhammad al-Gazali, al-Mustafa min 'Ilm al-Usul, ,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke-1, hlm
417. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan
Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) 61.
16
Syihab al-Din al-Qarafi.Syah Tangih al-Fusul Fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul, (Mesir:
al-Matba'ah al-Khairiyah, 1307 H) sebagaiman dikutip dalam 'Abd al-Aziz ibn Abd al-Rahman ibn
Ali bin Rabi'ah, Ilm Maqasid al-Syari, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al Wataniyah, 1423
H/2002). h. 63.
23
yang berada pada level al-darurat bisa dicapai oleh ijtihad sang mujtahid
meskipun tidak didukung oleh justifikasi al-asl yang spesifik.
Izz al-Din ibn al-Salam (w.660 H). Mashlahat dibedakan menjadi tiga
macam.yaitu (1) Mashlahat yang terkandung dalam urusan yang bersifat
boleh/halal (masalih al-mustabahat). (2) Maslahat yang terkandung dalam
urusan yang bersifat sunnah (masalih al-mandubat). (3) Mashlahat yang
terkandung dalam urusan yag bersifat wajib (masalih al-wajibat). Sedangkan
mafsadah dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Mafsadah yang terkandung
dalam urusan yang bersifat haram (mafasid al-makruhat) dan mafsadah yang
terkandung dalam urusan yang bersifat haram (mafasid al-muharramat).17
Lebih dari itu, al-Izz ibn 'Abd al-Salam memandang mashlahat itu dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) mashlahat dalam arti denotatif
(haqiqi), yakni kesenangan dan kenikmatan. (2) mashlahat dalam arti konotatif
(majazi), yakni media yang mengantarkan kepada kesenangan, kebaikan dan
kenikmatan. Bisa saja terjadi media yang mengantarkan itu adalah al-
mafsadah, sehingga al-mafsadah ini diperintahkan atau dibolehkan, bukan
karena lantaran statusnya sebagai mafsadah, tetapi sebagai sesuatu yang
mengantarkan kepada mashlahat, seperti mengamputasi organ tubuh si pasien
demi menyelamatkan hidupnya.18
17Izz al-Din ibn 'Abd al-Salam, Qawa'id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Beirut: Dar al-
Jail, 1400 H/1980 M), Juz ke 1, h 9.
18
Izz al-Din ibn 'Abd al-Salam, Qawa'id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Beirut: Dar al-
Jail, 1400 H/1980 M), Juz ke 1, h 9.
24
Najm al-Din al-Tufi mashlahat dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu mastlahat dalam arti iurfi' dan mastlahat dalam arti syar'i. Menurut al
Tufi yang dimaksud pertama adalah hal penyebab yang membawa kepada
kebaikan dan kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan penyebab
membawa keuntungan. Kedua penyebab yang membawa kepada tujuan syar'i,
baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah. Di sisi lain, al-Tufi
membedakan mashlahat itu menjadi dua macam: (1) Mastlahat yang
dikehendaki al-Syariuntuk hak-Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2)
mastlahat yang dikehendaki syar'í untuk kebaikan makhlukNya dan
keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.19
Abu Ishaq al-Syatibi mengkategoriskan mashlahat menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Al-Daruriyah ialah sesuautu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya
kebaikan dan kesejahtraan, baik menyangkut urusan duniawi maupun
ukhrawi, dimana manakala dia lenyap , tidak ada, maka tidak terwujudnya
kehidupan dunia yang tertib dan sejahtera bahkan, yang terwujud adalah
kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan ukhrawi yang celaka dan
menderita. Bagi al-Syatibi, al-Daruriyah ini mencakup upaya-upaya
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara
kekayaan, dan memelihara akal budi.20
19Najm-al-Din al-Tufi, Syarh al-Aba'in al-Nawawiyah, hlm. 19, sebagaiman dimuat
sebagai lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri' al-Islamy wa Najm al-Din al-Tufi.
(t.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1384H/1964 M), h. 211
20
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2, h. 7-13.
25
2. Al-Hajiyyah dalam pandangan al-Syatibi ialah sesuatu yang dibutuhkan
dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan
kesempitan yang biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusah
payahan yang di iringi dengan luputnya tujuan/sasaran. Apabila al-hajiyah
tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran atau kesusah payahan,
tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada
kasus al-maslahah al-daruriyah. Kategori al-hajiyah sesungguhnya
mengarah kepada penyempurnaan al-daruriyah. Dimana dengan tegaknya
al-hajiyah, akan lenyapnya al-masyaqah terciptanya keseimbangan dan
kewajaran sehingga tidak menimbulkan ekstrimitas.21
3. Al-tahsiniyah menurut pendapat al-Syatibi ialah sesuatu yang berkenaan
dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari
kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Hal ini sering disebut dengan makharaim al-akhlaq. Keberadaan al-
tahsiniyah bagi al-Syatibi bermuara kepada kebaikan-kebaikan yang
melengkapi prinsif al-maslahah al-daruriyah dan al-maslahah al-hajiyah.
Ini karena ketiadaan al-tahsiniyah tidak merusak urusan al-hajiyah dan al-
daruriyah. Ia hanya berkisar kepada upaya mewujudkan keindahan,
kenyamanan dan kesopanandalam hubungan sang hamba dengan tuhan
dan sesama makhlukNya. Lebih lanjut al-Syatibi menandaskan bahwa
relasi trio mashlahat itu merupakan relasi yang suplematif, dimana al-
hajiyah melengkapi al-daruriyah dan al-tahsinyah melengkapi al-hajiyah.
21 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 14.
26
Baik al-daruriyah al-hajiyah maupun al-tahsinyah masing-masing
memiliki pelengkap atau penyempurna (takmili).22
22 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 9-10
27
BAB III
TINJAUAN TENTANG PENINJAUAN KEMBALI DI INDONESIA
A. Pengertian Peninjauan Kembali
Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu
dari ketinggian, mempelajari dengan cermat dan memeriksa untuk
memahami1.Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti
melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah
satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya
hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu
persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi,
dan kasasi pada Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi
Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk
mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara.
Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat dan berkekuatan
hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung
apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan
hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah
diungkapkan dalam persidangan.
1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta Balai Pustaka, 2002). Edisi Ketiga, h.1198.
28
Peninjauan Kembali/Herziening adalah Peninjauan Kembali terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebagai
tahap akhir dari proses peradilan di Indonesia. Peninjauan Kembali ini dapat
dimintakan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap disemua tingkat pengadilan, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggidan Mahkamah Agung.Akan tetapi atas putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (Pasal
263 (1) KUHAP). Adapun yang berhak untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, adalah terpidana atau Ahlli
warisnya (Pasal 263 (1) KUHAP.2
Praktek Peninjauan Kembali bisa diajukan oleh Jaksa bukan hanya oleh
Terpidana dan Ahli Warisnya saja. Seperti dalam kasus terpidana Muchtar
Pakpahan yang termuat dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor; 55
PK/PID Tahun 1996.Alasan Jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali
adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan
kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Permintaan
Peninjauan Kembali ini bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa tetapi demi
kepentingan umum/negara.3
Pada awalnya Lembaga Peninjauan Kembali ini tidak dikenal dalam
sistem HIR. Pengaturan tentang Peninjauan Kembali ini dalam KUHAP
2 Darwan Print, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Edisi Revisi 2002, penerbit
djambatan h 184.
3http;//www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/pdf_thesis/unud-293-1501580217-
bab%20iii.pdf dilihat pada tanggal 28 Maret 2015.
29
merupakan sejarah baru dalam lapangan hukum, khususnya hukum acara
pidana. Diaturnya Peninjauan Kembali ini merupakan suatu kesempatan bagi
terpidana yang merasa bahwa bahwa pidana yang dijatuhkan adalah keliru
untuk mengajukan permohonan agar perkaranya dapat ditinjau kembali.
Kesempatan tersebut sebelumnya ditutup karena tidak ada saran formal, akan
tetapi sekarang sudah terbuka jalan bagi terpidana untuk meminta peninjauan
kembali setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-
undang.4
B. Sejarah Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai
pada Undang-undang No 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Dalam pasal 15 undang-undang tersebut disebutkan bahwa
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal
atau keadaa-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang.Pada
perkembangannya, keberadaan lembaga PK dalam sistem peradilan di
Indonesia mengalami tahap pasang-surut dalam arti kadang aktif kadang
tidak.Sekitar tahun 1970-an lembaga PK mengalami kevakuman (tidak aktif)
dalam praktik peradilan di bawah Mahkamah Agung. Lembaga PK kembali
aktif dalam sistem peradilan Indonesia pada tahun 1980-an setelah terkuak
kasus peradilan sesat "Sengkon-Karta" yang menghebohkan dunia hukum
pidana Indonesia saat itu.
4 Ansori Sabuan, Syaifrudin Pettanesse, Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana, edisi ke 1
1990, Penerbit Angkasa Bandung h 219
30
Peninjauan Kembali di Indonesia diterapkan kembali setelah adanya
Undang-Undang No. 8 tahun 1982 (KUHAP).Hukum Acara Pidana
sebelumnya yakni Reglement Indonesia yang diperbarui (RIJB/HIR) tidak
mengenal Peninjauan Kembali tetapi Wetboek van Strafvondering (Hukum
Acara Pidana Belanda) ada mengatur harziening yang dapat diajukan dalam
hal terdapat putusan pengadilan yang saling bertentangan atau terdapat dua
atau lebih novum.5
Di Indonesia pada akhir tahun 1980 tepat pada saat perumusan
KUHAP. Terjadi kasus Sengkon dan Karta yang dipidana sedang menjalani
pidananya, kemudian pelaku tindak pidana sebenarnya terungkap secara nyata
sehingga mengalami kesulitan untuk membatalkan hukuman sengkon dan
karta.
Selain kasus Sengkon dan Karta, mass media pada tahun 1988 ramai
membicarakan/ memberitakan kasus Lingah Pacah-Sumir yang sedang
menjalani hukuman di Pontianak (Kalimantan Barat) karena para terdakwa
merasa tidak melakukan tindak pidana yang dikenakan pada para terdakwa
yakni turut serta melakukan pembunuhan berencana. Permohonan Peninjauan
Kembali para Terpidana dengan putusan Mahkamah Agung Nomor: 11PK/Pid
Tahun 1993, ditolak.
Pada akhir 1996, dengan putusan Mahkamah Agung Nomor: 55PK/Pid
Tahun 1996, atas nama terpidana Dr. Muchtar Pak pahan. Para pakar silih
berganti mengutarakan pendapat yang umumnya tidak menyutujui putusan
5Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali PerkaraPidana
(Jakarta Sinar Grafika 2011). h 73.
31
Mahkamah Agung tersebut karena Peninjauan Kembali diajukan atas
permohonanJaksa/Penuntut Umum yang putusan pada tingkat kasasi,
dibebaskanMahkamah Agung.6
Jika diformulasikan pada KUHAP, putusan Makamah Agung Nomor:
55PK/Pid Tahun 1996, memang tidak sesuai dengan yang diatur didalam
KUHAP karena permintaan Peninjuan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum
ataupun pihak korban belum dijangkau oleh KUHAP. Berdasarkan KUHAP,
Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya dan
bukan putusan bebas artinya putusan pengadilan yang diajukan Peninjauan
Kembali tersebut harus memuat pemidanaan.
Mengenai kata pemidanaan sendiri menimbulkan beberapa perbedaan
pendapat yang harus dipedomani adalah putusan pengadilan yang
terakhir.Sedang hal ini telah diatur didalam pasal 266 ayat (3) KUHAP yang
bunyinya sebagai berikut. "Pidana yang dijatuhkan dalam peninjauan kembali
tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula."
Arti "putusan semula" tidak dijelaskan pada penjelasan resmi pasal 266
KUHAP. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: N55/Pid Tahun 1996
adalah putusan-putusan yang telah ada sebelum Peninjauan Kembali tersebut
karena Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara yang sama dengan
putusan Pengadilan Tinggi (4 tahun penjara) sedang Pengadilan Negeri
menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun.
6 Dr. Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara
Pidana(Jakarta Sinar Grafika 2011) h 74
32
Persepsi Peninjauan Kembali bedasarkan putusan Mahkamah Agung
Nomor: 55PK/Pid Tahun 1996 berbeda dengan persepsi Peninjauan Kembali
yang diatur dalam KUHAP. Peninjauan Kembali tersebut merupakan jenis
Peninjauan Kembali baru yang diajukan penuntut umumatas putusan bebas.
Dipandang dari sisi keadilan dan kepentingan umum yang dipertahankan oleh
Jaksa/Penuntut Umum, hal tersebut dapat diterima.
Pada tanggal 6 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi membacakan putusan
Nomor: 34/PUU-XI Tahun 2013. MK dalam Putusan Nomor 34/PUU-XI/2013
membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang mengatur PK hanya dapat diajukan sekali. Saat itu, MK mengabulkan
permohonan mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang juga terpidana 18 tahun
penjara atas kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran
Nasrudin Zulkarnaen.
Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan uji materiil Undang-
Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD N RI Tahun 1945) dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
34/PUU-XI Tahun 2013. Putusan ini menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP
yang berisikan “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya
dapat dilakukan satu kali saja”bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan
yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi pada
33
tanggal 22 Juli 2013 dikeluarkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 6 Maret 2014.7
Putusan Mahkamah Konstitusi itu dinilai memberikan keadilan dan
penghargaan hak asasi manusia (HAM), mengingat permohonan uji materi
KUHAP diajukan oleh Antasari Azhar, yang telah divonis selama 18 tahun
penjara akibat didakwa membunuh direktur PT. Rajawali Putra Banjaran,
sebagaimana diputuskan di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor: 1532/Pid.B Tahun 2009 tanggal 11 Februari 2010 dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan
Mahkamah AgungNomor: 1429 K/Pid Tahun 2010 tanggal 1 September 2010
yang kemudian diajukan Peninjauan Kembali (PK) dan telah diputus oleh
Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 117PK/Pid Tahun 2011 tanggal 13
Februari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku untuk seluruh
rakyat Indonesia dan harus ditaati.
Putusan ini melahirkan pro-kontra di masyarakat, khususnya para ahli
hukum karena Peninjau Kembali yang boleh diajukan tidak hanya satu kali,
ditafsirkan dengan Peninjauan Kembali boleh diajukan berkali-kali sehingga
menimbulkan perdebatan antara pencarian keadilan dan tercapainya kepastian
hukum. Fenomena ini terjadi karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
34/PUU-XI Tahun 2013 dikhawatir kan akan berimplikasi pada terganggunya
keseimbangan antara proses keadilan dengan kepastian hukum sebagai tujuan
hukum.
7http://www.hukumpedia.com/negara/pergesaran-peninjauan-kembali-dari-kepastian-
hukum-menuju-keadilan-hukum-hk5399a5185509e.html
34
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan
ada persepsi publik yang salah tentang keputusan MK soal pengajuan
peninjauan kembali (PK). Menurut Jimly, persepsi yang salah membuat
banyak orang berpandangan bahwa keputusan MK menimbulkan
ketidakpastian bagi penegak hukum untuk melaksnakan eksekusi hukuman
bagi terpidana.
"Tidak ada putusan MK yang menyebut PK bisa diajukan berkali-kali.
Ini hanya persepsi kita saja," ujar Jimly, dalam sebuah diskusi Perspektif
Indonesia, bersama Populi Center dan Smart FM di kawasan Menteng, Jakarta
Pusat, Sabtu (10/1/2015).
Menurut Jimly, putusan MK hanya memberi ruang pada seorang
terpidana, apabila memiliki novum atau fakta baru yang belum pernah
dikeluarkan di pengadilan, atau menemukan perspektif baru. Maka, keputusan
MK seharusnya dinilai sebagai salah satu aspek keadilan dalam proses hukum
yang sedang berjalan.8
Perbedaan pendapat ini bukan hanya terjadi dikalangan ahli hukum tapi
sampai ke Mahkamah Agung. Adanya Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor: 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali
Dalam Perkara Pidana yang berisi :
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI
Tahun 2013 tanggal 6 Maret 2014 butir 1.2 dinyatakn bahwa pasal 268 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
8http://nasional.kompas.com/read/2015/01/10/10095771/Jimly.Tidak.Ada.Putusan.MK.ya
ng.Sebut.PK.Bisa.Berkalikali?utm_campaign=related&utm_medium=bp-
kompas&utm_source=news& Diakses pada tgl 14 Mei 2014
35
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan peninjauan kembali,
Mahkamah Agung perlu memberikan petunjuk sebagai beriku;
1. Bahwa, pengaturan upaya hukum peninjauan kembali, selain diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara epublik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) yang
normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas, juga
diatur dalam beberapa Undang-Undang, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)
Pasal 24 ayat (2), berbunyi:
"Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan
peninjauan kembali"
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi:
"Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1(satu) kali"
2. Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
36
Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI
Tahun 2013tanggal 6 Maret 2014, tdak serta merta menghapus norma
hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 200 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tersebut.
3. Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1
(satu) kali.
4. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari satu kali
terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor: 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali yaitu
apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan
Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam
perkara perdata maupu perkara Pidana.
5. Permohonan Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan
tersebut di atas agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tiangkat pertama
permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak
perlu dikirm ke Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor: 10 Tahun 2009.
Surat Edaran Mahkamah Agung ini pun langsung mendapatkan respon
dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahkamah Agung
37
untuk mencabut SEMA Nomer: 7 Tahun 2014 karena dianggap bertentangan
dengan konstitusi.9Walaupun dianggap bertentang dengan konstitusi bukan
berarti SEMA ini tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Adanya SEMA ini kembali menimbulkan kontroversi dikalangan
masyarakt biasa maupun para ahli hukum diantaranya. Peneliti Bidang Pidana
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Susanto Ginting
berpendapat MK tidak memiliki alasan hukum yang kuat untuk menerbitkan
surat tersebut.
"Dasar berlakunya Surat Edaran MA, yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor
3 Tahun 2009 tentang MA, menurut saya tidak tepat," ujar Miko ketika
dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta. Menurutnya, kedua pasal tersebut
mengatur permohonan PK untuk perkara umum seperti perkara agama dan
perdata.
Pengajuan PK untuk perkara pidana dan militer diatur dalam pasal 268
ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Sudah
diputus MK inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945),"ujarnya.
Dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, MK membatalkan pasal 268 ayat 3
KUHAP yang membatasi pengajuan PK sebanyak satu kali. Dengan tidak
berlakunya pasal tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK
atas PK.
9http;//nasional.kompas.com/read/2015/01/05/06551981/MA.Didesak.Cabut.Surat.Edaran
.soal.Pembatasan.Peninjauan.Kembali.Di akses 25 maret 2015.
38
"Surat Edaran MA seharusnya tidak membuat norma baru yang bersifat
substantif. Itu hanya administratif dan sifatnya internal," ujar lulusan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia tersebut. Menurutnya, surat edaran tersebut
perlu dikaji ulang karena berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.
Terlebih, surat tersebut dinilai lebih memberikan kerugian alih-alih manfaat.
"Pengadilan di tingkat bawah akan ragu mengajukan PK atau tidak.
Jaksa juga ragu. Yang paling menjadi korban sebenarnya hakim. Kalau ada
permohonan PK, kalau tidak meneruskan ke MA maka dia melanggar UU
KUHAP dan putusan MK sehingga dia bisa tergancar kode etik," katanya.
Senada dengan Miko, Direktur Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan surat edaran tersebut
bertentangan dengan konstitusi. "Mahkamah Agung harus segera mencabut
Surat Edaran MA Nomor 7 Tahun 2014 karena keberlakukan surat
bertentangan dengan konstitusi. Apabila MA tidak mencabut, maka ICJR
akan mengambil langkah-langkah, sesuai prosedur hukum yang berlaku,
untuk membatalkan keberlakuan surat tersebut," ujarnya melalui pernyataan
yang diterima CNN Indonesia, Senin (5/1).10
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan
lain mengenai adanya SEMA ini, masalah pengajuan peninjauan kembali
(PK), antara Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA),
sebaiknya tidak di besar-besarkan.
"Sebetulnya tidak perlu diperpanjang. Perbedaan itu biasa. Tidak perlu
bikin pusing masyarakat soal kepastian keadilan," ujar Jimly, saat ditemui
10http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150106103309-12-22621/ma-didesak-tarik-
surat-edaran-soal-peninjauan-kembali/, Diakses 14 Mei 2015
39
seusai menjadi pembicara dalam diskusi Perspektif Indonesia, bersama Populi
Center dan Smart FM di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (10/1/2015).
Jimly menjelaskan, putusan MK soal PK yang diperbolehkan lebih dari
satu kali, sudah diputuskan sejak lama dan tidak pernah menimbulkan
masalah. Sementara, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), mengenai PK,
bertujuan untuk memperketat aturan, agar PK tidak disalahgunakan para
terpidana untuk menghindar dari pelaksanaan eksekusi.
"Fungsinya SEMA harus dibaca seperti itu. Tetapi, KUHAP yang
pengajuan PK dibatasi, itu sudah ditiadakan oleh MK. Jadi, khusus kasus
pidana, kalau ada novum baru, bisa dijadikan alasan pengajuan PK, biar pun
sudah pernah satukali ajukan PK," kata Jimly.11
C. Peninjauan Kembali Dalam Hukum Islam.
Permohonan Peninjauan Kembali yang boleh lebih dari satu kali
merupakan upaya hukum luar biasa karena sebenarnya lembaga ini
bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum
menunjukan bahwa putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap tidak bisa dirubah lagi12
. Jangankan merubah putusan hakim hasil dari
Peninjaun Kembali sendiri masih bisa diubah kembali dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi nomor: 34/PUU-XI Tahun 2013. Pada tanggal 6 Maret
dibacakan hasil putusan yang menghapuskan pasal 268 ayat 3.
11
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/10/17110911/Jimly.Jangan.Persoalkan.Putusa
n.MK.dan.MA.Soal.Pengajuan.PK . DI akses 14 Mei 2015.
12
Herry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, (Jakarta:
Sinar Harapan, 2002), h. 110
40
Pemaparan pengertian Peninjauan Kembali sebelumnya dapat diambil
pengertian bahwa Peninjauan Kembali adalah Upaya Hukum Luar Biasa dan
tahap akhir dalam proses pengadilan di Indonesia. Akan tetapi putusan
Peninjauan Kembali masih bisa dirubah setelah adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI Tahun 2013 tentu itu juga harus bisa
memenuhi persyaratan-persyaratan untuk melakukan Peninjauan Kembali
terhadap Peninjauan Kembali.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghilangkan batasan peninjauan
kembali. Dapat dimengerti bahwa Tidak adanya batasan dan dapat
mengajukan Peninjauan Kembali secara berulang ulang, Pada kenyataannya
dari pengalaman dan pengamatan yang ada jarang permohonan Peninjauan
Kembali yang berhasil paling-paling satu diantara tiga ratus.13
Maka dari itu,
walaupun Peninjauan Kembali diperbolehkan lebih dari satu kali itupun tidak
berarti menghilangkan asas Kepastian Hukum itu sendiri karena sulitnya
pengajuan Peninjauan Kembali yang dikabulkan untuk diproses di
Mahkamaha Agung.
Hukum Acara Islam tidak mengenal upaya hukum luar biasa seperti
Peninjauan Kembali yang Penulis ketahui hanya berbatas pada banding.
Banding dalam Islam dan Peninjauan Kembali ini memiliki kesamaan yakni
tidak adanya batasan waktu untuk mengajukan Upaya Hukum tersebut.
Dasarnya Hukum Islam juga memiliki prinsip yang sama dengan
Peninjauan Kembali yakni untuk terus mencari keadilan dan berbuat adil
13 M, Yahya Harahap, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama. Edisi
Kedua . Jakarta Sinar Grafika, 2009 h 366.
41
kepada siapapun bahkan kepada orang yang kita benci sekalipun seperti
tertulis di dalam QS Al-Maidah ayat 8 :
داء بالقسط ولا يجرمىكم شىآن قىم يا أيها الذيه آمىىا كىوىا قىاميه لله شه
عل ألا تعدلىا اعدلىا هى أقرب للتقىي واتقىا الله إن الله خبير بما تعملىن
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan"
Salah satu surat Umar r,a yang berkaitan dengan upaya hukum
dikirimkan ke Abu Musa al-Ash'ari r.a. "Janganlah engkau dihalangi oleh
suatu putusan yang telah engkau putuskan pada hari ini, kemudian engkau
tinjau kembali putusan itu lalu engkau ditunjuki pada kebenaran untuk
kembali kepada kebenaran, karena kebenaran itu suatu hal kadim yang tidak
dapat dibatalkan oleh sesuatu . Kembali kepada yang hak , lebih baik dari
pada terus bergelimang dalam kebatilan".14
Islam tidak mengenal Upaya Hukum luar biasa seperti Peninjauan
Kembali tapi bukan berarti Islam berhenti mencari keadilan dalam setiap
perkara yang sudah diputus. Dalam proses peradilan Pidana di dalam hukum
Islam itu berbeda dengan Proses Peradian Pidana dalam hukum Positifyang
segala sesuatunya harus diproses karena adanya peraturan pidana materil yang
dilanggar. Dalam Islam tidak hanya memperhitungkan Peraturan Pidana
14 Abdul Manan Peradilan Islam. Penerbit Prenada media Group 2007 h 102.
42
materil saja tetapi juga pengampunan dari korban yang bisa merubah semua
sanksi bagi si tersangka menjadi diyat jika perbuatan tersangka diberikan maaf
oleh si korban maka proses peradilan itu dihentikan.
Bagi Penulis disinilah letak perbedaan besar antara hukum Pidana Islam
dan Positif yakni adanya pengampunan dalam hukum Islam walaupun itu
diganti dengan diyat yang tidak murah. Di sini pula yang menunjukan bahwa
hukum islam memiliki kepastian dalam proses peradilannya tidak hanya
berlarut-larut dalam satu kasussehingga bagi mereka yang memiliki
kekurangan dari segi ekonomi pun masih sanggup untuk mengajukan upaya
hukum yang hanya berbatas pada banding. Dalam hukum positif banyaknya
proses upaya hukum ini akan membuat kesulitan bagi mereka yang memiliki
kekurangna dari segi ekonomi. Proses peradilannya yang memang berbeda
dengan hukum Islam sehingga harus adanya proses-proses upaya hukum demi
mencari keadilan.
Berbeda peninjauan kembali yang boleh lebih dari satu kali ini
ditakutkan bisa dijadikan celah permainan bagi para mafia hukum untuk terus
mengundur-mengundur pelaksanaan eksekusi. Walaupun salah satu azas dari
Peninjauan Kembali adalah Permintaan Peninjauan kembali tidak
menangguhkan pelaksanaan putusan.
Pada kenyataannya jangankan peninjauan kembali boleh lebih dari satu
kali yang dibatasi satu kali saja banyak pelaksaan putusan yang terus diundur.
Memang dibandingkan kepastian hukum keadilan lebih diutamakan.
Islam menjawab kebutuhan kepastian hukum dan keadilan bukan hanya
bagi si tersangka tapi juga bagi si korban. Kepastian Hukum karena hanya
43
berbatas pada banding dan adil karena kasus pidana sama seperti perdata
bukan hanya putusan hakim yang dijadikan tolak ukur tetapi juga keridhaan
dari si korban.
44
BAB IV
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 34/PUU-
XI/2013 DALAM PANDANGAN MASHLAHAT.
A. Subjek Permohonan & Obyek Permohonan
1. Subjek Hukum Permohonan
Subyek yang menjadi permohonan dalam putusan ini adalah
Antasari Azhar sebagai pemohon 1, Ida Laksmini sebagai pemohon II dan
Ajeng Oktarifka Antasariputri sebagai pemohon III.
Pemohon I adalah terpidana pada perkara pidana di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.sel yang telah
diputus pada tanggal 11 Februari 2010 dan sudah memiliki kekuatan
hukum tetap dengan Putusan Mahkamah Agung NO: 1429K/Pid/2010
tanggal 21 September 2010.
Terhadap putusan ini pemohon I mengajukan upaya hukum luar
biasa berupa peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung
Nomor: 117PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012, yang memutuskan
menolak permohonan PK tersebut. Berdasarkan Pasaal 268 ayat (3) UU
8/1981 yang berisi "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dapat diajukan satu kali saja", Pemohon I tidak lagi memiliki upaya
hukum lain untuk membersihkan nama baiknya jika suatu saat nanti
memiliki bukti baru.
45
Pemohon II adalah isteri dari Pemohon I yang merasakan kerugian
dan penderitaan yang dialami oleh Pemohon I.
Pemohon III adalah anak kandung dari Pemohon I yang merasakan
hal yang sama dengan Pemohon II.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor: 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor: 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakaan " Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yaitu: a
Perorangan warga negara Indonesia; b kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang; c badan Hukum Publik
atau Privat; d lembaga negara", yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/kewenangan yang
diberikan oleh Undang-undang Dasar Tahun 1995. Para pemohon merasa
telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 268
ayat (3) Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2. Obyek Permohonan
Obyek Permohonan adalah konstitusionalitas sebuah Undang-
Undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian mengenai
apakah pembentukan dan bentuk Undang-Undang sesuai atau tidak dengan
46
ketentuan Undang-undang Dasar 1945, dan pengujian secara materil, yaitu
pengujian menganai apakah materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian Undang-Undang bertentangnan dengan Undang-Undang1.
Pasal yang dimohonkan untuk diuji hanya Pasal 268 ayat (3) tentang
hukum Acara Pidana yang berisi "Permintaan peninjauan kembali atas
suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja". Pemohon meminta
agar Pasal 268 ayat (3) dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang
Dasar RI dan juga dengan dihapuskannya pasa tersebut memberi
kesempatan bagi Pemohon untuk mengajukan kembali Peninjauan
Kembali jika ditemukan novum baru terutama dibidang ilmu dan
tekhnologi yang pada saat perkara diperiksa belum dimanfaatkan atau
belum ditemukan.
B. Kerugian Konstitusional Pemohon
1. Dasar Konstitusi
a. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi "Negara
Indonesia adalah Negara Hukum". Prinsip negara hukum adalah
semua berdasar hukum, hukum untuk mencapai keadilan, sehingga
semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat.
Apabila dihadapkan pada pilihan antara kepastian hukum dan keadilan
maka dengan sendirinya keadilan haruslah diutamakan. Layaknya
Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali tidak hanya dibatasi satu
1 Fadjar, Abdul Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama
(Jakarta; Konstitusi Press, Yoyakarta: Citra Media 2006). H 121
47
kali saja karena untuk mencegah jika suatu saat nanti ditemukan
novum baru yang menyatakan isi terpidana tidak bersalah.
b. Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi:
"Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan [eradilan guna menegakkan hukum dan keadilan".
Berlandaskan pada pasal ini Negara Indonesia sebagai negara hukum,
maka kekuasaan lembaga kehakiman haruslah bebas dari tekanan
pihak manapun. Tujuan dari merdekanya kekuasaan kehakiman ini
adalah ditegakkannya hukum dan keadilan.
c. Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia".
Pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang
pesat menjadi hak bagi warga negara dalam rangka demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
termasuk didalamnya untuk mendapatkan keadilan. Seiring dengan
perkembangan teknologi yang terus maju slayaknya upaya hukum luar
biasa Peninjauan Kembali selayaknya tidak dibatasi hanya satu kali
saja dalam rangka mencari keadilan yang hakiki.
d. Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi:
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
48
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum". Pada Pasal ini jelas menyatakan kepastian hukum yang adil
sehingga kepastian hukum tanpa keadilan hanya akan mencederai
perlindungan, pemberian jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama
sihadapan hukum. Padahal selayaknya keadilan itu harus lebih
diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum karena didalam
keadilan sendiri suadah pasti mengandung kepastian hukum.
2. Kerugian Pemohon
Bahwa dengan adanya pembatasan Peninjauan Kembali yang
hanya dibolehkan satu kali telah menghilangkan rasa keadilan bagi
Pemohon. Adanya pembatasan pada pasal yang diajukan untuk diuji
mengabaikan prinsif negara hukum untuk memperjuangkan keadilan.
Dalam doktrin hukum pidana letak keadilan lebih tinggi
dibandingkan dengan kepastian hukum. Akibat dari adanya pembatasan
Peninjauan Kembali ini jika ditemukan teknologi yang dapat
membuktikan ketidak bersalahan si Pemohon I tetap tidak dapat diajukan
Peninjauan Kembali.
Undang-undang Dasar 1945 yang tertulis diatas bahwa keadilan
adaklah pilar utama pengakkan hukum di Indonesa sehingga para pencari
keadilan diberikan hak untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya. Dalam
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji malahan sebaliknya yakni
membatasi para pencari keadilan untuk mebatasi para pencari keadilan.
49
C. Pertimbangan Hukum Hakim
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI
Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI diatur dalam Pasal 10 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 2011 disebutkan di
bawah ini. Pasal 10 menyatakan:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara
Repunlik Indonesia Tahun 1945.
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara
Repunlik Indonesia Tahun 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik. dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat dan lainnnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagai mana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Tahun 1945.
50
2. Legal Standing
Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undangg-Undang Mahkamah
Konstitusi bahwa perorangan warga negara Indonesia dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar
Tahun 1945 yang menganggap hak dan kewajiban atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-undang Dasar telah
dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang.
Pemohon Antasari Azhar, SH., M.H. adalah terpidana pada
perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari
2010 dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010.
Terhadap putusan ini pemohon I mengajukan upaya hukum luar
biasa berupa peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung
Nomor: 117PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari 2012, yang memutuskan
menolak permohonan PK tersebut. Berdasarkan Pasaal 268 ayat (3) UU
8/1981 yang berisi "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan
hanya dapat diajukan satu kali saja", Pemohon I tidak lagi memiliki upaya
hukum lain untuk membersihkan nama baiknya jika suatu saat nanti
memiliki bukti baru. Padahal jika di telaah lebih lanjut dalam Pasal 28D
ayat (1) jelas bahwa keadilan harusnya lebih diutamakan dibandingkan
dengan kepastian hukum. Dasar inilah yang membuat pemohon merasa
hak konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun
51
1945 untuk mendapatkan keadilan telah dibatasi dengna Undang-Undang
yang akan diujikan.
Pemohon Ida Laksmiwaty S.H. dan Ajeng Oktarifka
Antasariputri adalah isteri dan anak dari Pemohon Antasari Azhar,
S.H., M.H., yang secara potensial pasti merasakan kerugian yang diderita
oleh Pemohon I karena adanya pembatasan Peninjauan Kembali Pasal 268
ayat (3) yang membatasi Peninjauan Kembali.
3. Pokok Permohonan
Pemohon mendalilkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (1) UUD 1945
dengan alasan sebagai berikut:
Mencari kebenaran untuk menuju keadilan setiap warga negara
berhak untuk mendapatkan teknologi seperti tes DNA, tes kebohongan dan
termasuk dalam bidang telekomunikasi.
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 titik berat normanya adalah terwujudnya kepastian hukum yang adil,
bukan kepastian ukum yang mengesampingkan keadilan. ANtara kepastian
hukum dan keadilan jika bertentangan haruslah keadilan yang
dimenangkan, sebab hukum adalah alat untuk menegakan keadilan
substansial di dalam masyarakat.
Adanya pemanfaatan teknologi dan ilmu pengetahuan yang
maksimal didalam penegakan hukum pidana, sehingga masih
memungkinnya nanti ada teknologi baru dimasa yang akan datang yang
52
menunjukan kebenaran. Pembatasan Peninjauan Kembali ini menutup
adanya kemungkinan ditemukan teknologi baru karena pemohon sudah
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali.
4. Konklusi
Berdasarkan penilaian atas fakta tersebut, Mahkamah Konstitusi
Berkesimpulan:
a. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon.
b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengjukan permohonan a quo.
c. Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.
5. Isi Putusan
Berdasarkan ketentuan Pasal 56, pada dasarnya isi putusan hakim
konstitusi dapat berupa 3 macam, yaitu permohonan tidak diterima,
permohonan ditolak serta permohonan dikabulkan. Sedangkan Putusan
gugur atau verstek tidak dikenal dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi
Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34 PUU-XI Tahun
2013 Manyatakan :
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon
1) Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor: 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor: 3209) bertentangan dengan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
53
2) Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor: 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Memerintahkan Pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Norma yang muncul dari putusan.
a. Bahwa permintaan pengajuan Peninjauan Kembali bisa dilakukan lebih
dari satu kali.
b. Tidak adanya batasan bagi mereka para pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan yang hakiki di negara ini khususnya dalam
kasus Pidana.
D. Analisis Putusan Hukum Islam dengan Menggunakan Aspek Mashlahat
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI No: 34/PUU-XI Tahun 2013.
Pengajuan Permohonan penghapusan Pasal 268 ayat (3) KUHAP ini
sebelumnya pernah terjadi pada tahun 2010 tapi bukan haya pasal 268 ayat (3)
tetapi juga pasal-pasal terkait dengan Peninjauan Kembali yang diatur dalam
UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman. Peninjauan Kembali
yang diuji bukan hanya PK dalam kasus pidana tapi dalam kasus perdata juga.
Pada pengajuan tahun 2010 bukan hanya untuk alasan jika ditemukan keadaan
baru (novum), untuk semua alasan pengajuan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali (Kekhilafan Hakim, Pertentangan Putusan, dan Novum) Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan dalam perkara No: 16/PUU-VIII-2010.
54
Bahwa perkara akan menjadi berlarut larut tanpa ada kepastian kapan
berakhirnya, jika penghapusan Pasal 268 ayat (3) diterapkan pada semua
alasan Peninjauan Kembali. Namun, jika dibatasi pada alasan tertentu saja
tentu berbeda, perkara tidak akan berlarut-larut tanpa ada kepastian
permohonan yang diajukan pada tahun 2013 oleh Antasari Azhar yang menitik
beratkan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi karena pada
pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jaksa Penuntut
mendalilkan bahwa pemohon 1 melakukann teror melalui sms sedangkan
Pemohon 1 tidak merasa melakukan teror tersebut. Menurut keterangan para
ahli sms tersebut bukan berasal dari handphone si pemohon melainkan dari
website untuk itulah pemohon 1 mengajukan penghapusan Pasal 268 ayat (3)
untuk tidak dibatasi pengajuan Peninjauan Kembali jika suatu saat nanti sudah
ditemukan alat atau aplikasi yang membuktikan asal sms tersebut bukan
berasal dari si pemohon. Permohonan pada tahun 2013 ini hanya untuk alasan
jika ditemukan keadaan baru (Novum), maka kepastian hukum dapat tercapai
tanpa mengesampingingkan kepastian keadilan, baik bagi korban maupun bagi
terpidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI NO: 34/PUU-XI/2013 yang
mengabulkan permohonan Antasari Azhar, Isteri dan anaknya untuk
menghapuskan pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi "Permintaan
Peninjuan Kembali atas suatu Putusan hanya dapat dilakukan satu kali".
Pasal ini dianggap telah merugikan hak konstitusional mereka untuk
mendapatkan keadilan melalui upaya hukum luar biasa karena Antasari Azhar
55
sebagai terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Telah mengajukan Peninjauan Kembali yang hasilnya ditolak oleh Mahkamah
Agung. Secara otomatis tertutup baginya untuk membuktikan ketidak
bersalahannya walaupun medapatkan novum baru yang kuat karena adanya
Pasal 268 ayat (3) yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali.
Pasal 268 ayat (3) KUHAP dianggap bertentangan dengan UUD 1945
yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum yang
memiliki prinsip negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum untuk
mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum terciptanya keadilan. Untuk
mendapatkan keadilan adalah hak setiap warga negara yang sedang
memperjuangkan keadilan dan siapapun tidak boleh menghalangi warga
negara atau para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.
Berdasarkan alasan para pemohon dan dasar hukum yang lebih kuat di
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 34/PUU-XI Tahun 2014 dirasa
tepat karena sudah sesuai dengan UUD Tahun 1945 sebagai tolak ukur
perundang-undangan di Indonesia ini dan adagium hukum yang sesuai dengan
putusan Mahkamah Konstitusi ini yang berbunyi "sekalipun esok langit
runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan".
Menurut pendapat Ichtijanto SA, hukum agama merupakakn unsur
mutlak hukum nasional. Tertib hukum masyarakat Indonesia membutuhkan
adanya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran-ajaran
agama. Sumber tertib hukum negara RI ialah pandangan hidup, kesadaran dan
56
cita hukum dan cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak bangsa
Indonesia yang Religius.2
Objektifitas hukum Islam dapat ditemukan basis-teoritisnya pada teori
maslahat. Ahmad Munif Suratmaputra menyimpulkan bahwa dalam
menghadapi masalah baru yang timbul ditengah kehidupan masyarakat,
aplikasi teori maslahat merupakan metode Ijtihad yang paling tepat dan ini
telah dipraktikan dalam sekian banyak ijtihad para Sahabat Nabi, ulama al-
Tabi'in dan para imam mazhabd. Agenda pembahruan hukum Islam harus
mereposisi aplikasi maslahat sebagai formula utama.3Munawir Sjadli
menyimulkan bahwa maslahat dan keadilan merupakan tujuan syari'at Islam,
dan keadilan merupakan dasar maslahat.4
Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34 PUU-XI Tahun 2013
Manyatakan :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon
a. Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor: 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor: 3209) bertentnagan dengan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2 Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Ind-Hill co Indonesia,
1990), h 50.
3 Ahmad Munif Suratmaputra, Filasafat Hukum Islam al-Ghazali : Maslahat Mursalah &
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h 185.
4 Munawir Sjadli, "Reaktualisasi Ajaran Islam", Dalam Iqbal Abdurrau Saimima, (ed.),
Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakrata: Putaka Panjimas, 1988) h. 50
57
b. Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:
3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Memerintahkan Pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Penulis memandang putusan Mahkamah Konstitusi ini dengan
menggunakan maslahat imam Syatibi yang mengkategorikan maslahat
menjadi tiga yaitu;
Al-Syatibi mengartikan Maslahat itu dari dua pandangan, yaitu dari segi
terjadinya maslahat dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara' kepada maslhahat.
1. Dari segi terjadinya maslahat dalam kenyataan berarti:
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya
secara mutlak.
2. Dari segi tergantungnya tuntutan syara' kepada maslahat yaitu:
Kemaslahatan yang merupakan tujuan dai penetapan hukum syara'. Untuk
menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.5
Al-Syatibi mengkategorisasikan maslahat dalam tiga bentuk yaitu:
1. Al-Daruriyah ialah sesuautu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya
kebaikan dan kesejahtraan, baik menyangkut urusan duniawi maupun
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. h 346-
347.
58
ukhrawi, dimana manakala dia lenyap , tidak ada, maka tidak
terwujudnya kehidupan dunia yang tertib dan sejahtera bahkan, yang
terwujud adalah kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan ukhrawi
yang celaka dan menderita. Bagi al-Syatibi, al-Daruriyah ini mencakup
upaya-upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
keturunan, memelihara kekayaan, dan memelihara akal budi.6
2. Al-Hajiyyah dalam pandangan al-Syatibi ialah sesuatu yang dibutuhkan
dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan
kesempitan yang biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusah
payahan yang di iringi dengan luputnya tujuan/sasaran. Apabila al-
hajiyah tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran atau kesusah
payahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya
terjadi pada kasus al-maslahah al-daruriyah. Kategori al-hajiyah
sesungguhnya mengarah kepada penyempurnaan al-daruriyah. Dimana
dengan tegaknya al-hajiyah, akan lenyapnya al-masyaqah terciptanya
keseimbangan dan kewajaran sehingga tidak menimbulkan ekstrimitas.7
3. Al-tahsiniyah menurut pendapat al-Syatibi ialah sesuatu yang berkenaan
dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari
kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Hal ini sering disebut dengan makharaim al-akhlaq. Keberadaan al-
tahsiniyah bagi al-Syatibi bermuara kepada kebaikan-kebaikan yang
6 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2, h. 7-13.
7 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 14.
59
melengkapi prinsif al-maslahah al-daruriyah dan al-maslahah al-hajiyah.
Ini karena ketiadaan al-tahsiniyah tidak merusak urusan al-hajiyah dan
al-daruriyah. Ia hanya berkisar kepada upaya mewujudkan keindahan,
kenyamanan dan kesopanan dalam hubungan sang hamba dengan tuhan
dan sesama makhlukNya. Lebih lanjut al-Syatibi menandaskan bahwa
relasi trio maslahat itu merupakan relasi yang suplematif, dimana al-
hajiyah melengkapi al-daruriyah dan al-tahsinyah melengkapi al-
hajiyah. Baik al-daruriyah al-hajiyah maupun al-tahsinyah masing-
masing memiliki pelengkap atau penyempurna (takmili).8
Pemaparan tentang maslahat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
putusan Mahkamah Konstitusi ini masuk dalam kategori maslahat Al-
Daruriyah Bagi al-Syatibi,ini mencakup upaya-upaya memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara kekayaan, dan
memelihara akal budi.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini mencakup upaya-upaya memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara kekayaan, dan
memelihara akal budi. Bisa saja Peninjauan Kembali itu pun tidak sesuai
dengan kebenaran yang ada dan menghilangkan dasar-dasar yang ada pada
maslahat al-daruriyah.
1. Memelihara agama seseorang karena bisa saja dengan adanya sanksi
pengadilan yang berat dan tertutupnya upaya hukum atas perbuatan yang
tidak dia lakukan membuat keimanannya berkurang dan menyalahkan
8 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 9-10
60
Tuhan karena tidak kuat menghadapi masalah yang menimpanya. Berbeda
dengan adanya putusan ini se tidaknya bisa memberikan harapan karena
adanya upaya hukum yang tidak dibatasi. Pada kasus sengkon karta salah
satu dari keduanya sengkon mengalami depresi yang berat sampai tidak
waras atau gila.
2. Memelihara jiwa jika berupa hukuman mati dan masih terbukanya upaya
hukum untuk mencegah eksekusi tersebut jika Narapidana ini tidak
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, menghindarkan dari
bunuh diri bagi mereka yang mendapatkan sangsi penjara yang berat
karena masih adanya harapan Peninjauan Kembali jika untuk
membuktikan ketidak bersalahannya.
3. Memelihara keturunan bagi mereka yang dikenai sanksi hukuman mati
ataupun penjara yang cukup lama sehingga ketika dia keluar dari penjara
tidak memungkinkan lagi untuk memilik keturunan bagi merekayang
dikenai sangsi atas perbuatan yang tidak mereka lakukan.
4. Memelihara harta benda karena setidaknya dengan adanya Peninjauan
Kembali yang tidak dibatasi ini memungkinkan korban untuk
membuktikan ketidak bersalahannya itu dan meminta ganti kerugian
secara materi ke pengandilan walaupun kadang tidak sesuai dengan semua
biaya yang sudah dikeluarkan untuk memenuhi proses pengadilan.
5. Memelihara akal budi karena dengan adanya Peninjauan Kembali yang
tidak dibatasi ini setidaknya memberikan harapan bagi mereka karena
tidak sedikit para narapidan yang depresi dengan tidak adanya lagi harapan
untuk membuktikan ketidak bersalahannya.
61
Penyelesaian kasus yang tidak jelas yakni berupa putusan yang sanksi
hukumannaya tidak tepat terjadi beberapa kali. Bahkan terlihat melalui proses
praperadilan maupun dipengadilan dan dari bukti-bukti yang ada kurang kuat
seperti kasus, Sengkon dan Karta, Ashrori, Budi Harjono menunjukan
perlunya upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali agar bisa lebih
dari satu kali. Masih memungkinkannya adanya novum-novum baru dan patut
kita sadari bahwa hakim juga hanya seorang manusia yang tidak luput dari
kealpaan sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam
pelaksanaan sidang Peninjauan Kembali. Untuk terus memberikan harapan
bagi mereka yang mendapatkan perlakuan tidak adil karena mendaoatkan
sanksi atas perbuatan yang tidak mereka lakukan.
Pemaparan sebelumnya menunjukan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 34 PUU-IX Tahun 2013 yang putusannya dibacakan pada
tanggal 6 Maret 2014 sejalan dengan tujuan hukum Islam yakni maslahat dan
keadilan, dan keadilan merupakan dasar maslahat Untuk memlihara Agama,
Jiwa, keturunan, harta kekayaan dan akal budi.
62
BAB V
P E N U T U P
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam skripsi ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada adapun kesimpulan dan saran penulis yaitu :
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapatlah disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No:
34/PUU-XI Tahun 2013.
Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor: 8 Tahun 2011 berwenang untuk mengadili
permohonan para Pemohon.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undangg-Undang Mahkamah
Konstitusi bahwa perorangan warga negara Indonesia dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang menganggap hak dan kewajiban atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang dasar telah
dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang.
Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 titik berat normanya adalah terwujudnya kepastian hukum yang
63
adil, bukan kepastian ukum yang mengesampingkan keadilan. Antara
kepastian hukum dan keadilan jika bertentangan haruslah keadilan yang
dimenangkan, sebab hukum adalah alat untuk menegakan keadilan
substansial di dalam masyarakat.
2. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34 PUU-IX 2013 yang
dibacakan pada tanggal 6 Maret 2014 ini sejalan dengan tujuan hukum
Islam yakni maslahat dan keadilan, dan keadilan merupakan dasar
maslahat. Untuk memelihara agama Jiwa, keturunan, harta kekayaan dan
akal budi.
Putusan Mahkamah Konstitusin RI ini mencakup upaya-upaya
memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara kekayaan, dan
memelihara akal budi. Bisa saja Peninjauan Kembali itu pun tidak sesuai
dengan kebenaran yang ada dan menghilangkan dasar-dasar yang ada
pada maslahat al-daruriyah membahayakan agama bagi mereka yang
lemah imannya sehingga terus-terusan menyalahkan Tuhan.
Membahayakan jiwa jika berupa hukuman mati. Menghilangkan
keturunan bagi mereka yang dikenai sanksi hukuman mati maupun sanksi
penjara bagi mereka yang belum mempunyai keturunan. Menguras harta
benda karena untuk terus mengajukan upaya hukum sampai tahap akhir
itu tidak murah ketika dia mendapatka putusan bebaspun belum tentu
ganti kerugian yang diberikan pengadilan bisa mengganti semua biaya
yang sudah dikeluarkan. Membahayakan akal budi karen tidak jarang
mereka yang dikenai sanksi penjara kehilangan akal saking beratnya
64
tekanan yang ada didalam lapas maupun dari luar seperti keluarga, karir
dan lainnya.
B. Saran
Adapun saran yang dapan Penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah :
1. Dalam pembuatan Undang-Undang di Indonesia ini hendaknya tidak
hanya mendasarkan pada Undang-Undang yang sudah ada saja tapi juga
mempertimbangkan pada kemaslahtan bagi masyarakat pada umumnya.
Jika putusan hukum yang baru hanya mendasarkan peraturan pada
perundang-undagan yang sudah ada saja maka akan ada juga Undang-
Undang lain nya yang bertentangan dengan putusan tersebut seperti kasus
Surat Edaran Mahkamah Agung yang bertentangan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi walaupun akhirnya SEMA ini ditarik kembali
bukan berarti tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
2. Agar dengan adanya Peninjauan Kembali yang diperbolehkan lebih dari
satu kali ini pun tidak membuat menjadi celah badi para mafia hukum
untuk bermain didalamnya. Yakni untuk terus berlarut-larut dalam satu
kasus sehingga terus-terusan mengundur waktu eksekusi walaupun
memang pada dasarnya Peninjauan Kembali tidak menghentikan
ekseskusi tapi pada kenyataannya jangankan peninjauan kembali yang
dibatasi satu kali yang masih terbatas satu kali saja masih ada kasus yang
terus menunda-nunda eksekusinya.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Karim
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-mustafa min 'ilm al-usul,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar,Juz ke 1Beirut: Mu'assar al-Risalah,
1417H/1997 M,
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah, Jilid 1, Juz Ke
2,Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Ahmad Munif Suratmaputra, Filasafat Hukum Islam al-Ghazali : Maslahat
Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008.
Ansori Sabuan, Syaifrudin Pettanesse, Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana,
edisi ke 1, Bandung : Angkasa, 1990.
Asmawi,Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus
di Indonesia.Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI
Bajm al-Din al-Tufi, Syarh al-Arba'in al-Nawawiyah, lampiran dalam Mustafa
Zaid, al-Maslaha, al-Maslhah fi al-Tasyri' al-Islamiy wq Najm al-Din al-
Tufi, dar al-Fikr al-Arabiy. 1384H/1964 M.
Chairul Arrasjid Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta, Sinar Grafika. 2008)
Darwan Print, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Edisi Revisi, Jakarta:
penerbit Djambatan, 2002.
Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali
PerkaraPidana. Jakarta: Sinar Grafika 2011.
Fadjar, Abdul Mukhtie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Cetakan
pertama Jakarta; Konstitusi Press, Yoyakarta: Citra Media 2006.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 12, Yogyakarta: Gajah
Mada Universitas Press 2007.
Hamadi al-Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'Ulum al-Syariah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-
Fikr al-Arabiy, 1991.
66
Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan
(Bandung: Refika Aditama 2007)
Herry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari,
Jakarta: Sinar Harapan, 2002
Ichtijanto SA, Hukum Islam dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill co Indonesia,
1990.
Isma'il ibn Hammad al-Jauhari,al-shihah Taj al-lugah wa Sihah al-Arabiyah. Juz
ke 1.Beirut: Dar al-Ilm li Malayin, 1367H/1956 M.
Izz al-Din ibn'Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, , Juz ke
1Kairo: Maktabat al-Kuliyyat al-Azhariyah, 1994.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya,
2001.
M, Yahya Harahap, Kedudukan Dan Kewenangan Acara Peradilan Agama. Edisi
Kedua . Jakarta Sinar Grafika, 2009.
Ma'rf Amin.Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta Paramuda Adversting
2008.
Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Marsalah fi al-Syari'ah al-
Islamiyah, Beirut: Mu'assasat al-Risalah, 1421 H/2000 M.
Munawir Sjadli, "Reaktualisasi Ajaran Islam", Dalam Iqbal Abdurrau Saimima,
(ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakrata: Putaka Panjimas,
1988
Muthafa Ahmad al-Zarqa, al-istilah wa al-Masalih al-Mursalah fi al-Syari'ah al
Islamiayahtwa Usul Fiqhiha,.
Najm-al-Din al-Tufi, Syarh al-Aba'in al-Nawawiyah, hlm. 19, sebagaiman dimuat
sebagai lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri' al-
Islamy wa Najm al-Din al-Tufi. t.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1384H/1964
M
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Penerbit
Ghalia Indonesia,2012
Peter Mahmud Marzuki, Penelitain Hukum, Surabaya: Kencana, 2010, cetakan
keenam..
Syihab al-Din al-Qarafi. Syah Tangih al-Fusul Fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul,
(Mesir: al-Matba'ah al-Khairiyah, 1307 H) sebagaiman dikutip dalam
67
'Abd al-Aziz ibn Abd al-Rahman ibn Ali bin Rabi'ah, Ilm Maqasid al-
Syari, Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al Wataniyah, 1423 H/2002.
Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermenutika: Mambaca Islam dari Kanada
dan Amerika, Yogyakarta: Pesantren Newesea Pers, 2006.
Website
http://www.hukumpedia.com/negara/pergesaran-peninjauan-kembali-dari-
kepastian-hukum-menuju-keadilan-hukum-hk5399a5185509e.html Di
Akses 25 Maret 2015.
http://www.hukumpedia.com/negara/pergesaran-peninjauan-kembali-dari-
kepastian-hukum-menuju-keadilan-hukum-hk5399a5185509e.htmlDi
akses 25 maret 2015
http;//nasional.kompas.com/read/2015/01/05/06551981/MA.Didesak.Cabut.Surat.
Edaran.soal.Pembatasan.Peninjauan.Kembali.Di akses 25 maret 2015.
http;//nasional.kompas.com/read/2015/01/05/06551981/MA.Didesak.Cabut.Surat.
Edaran.soal.Pembatasan.Peninjauan.Kembali.Di akses 25 maret 2015.
http;//www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/pdf_thesis/unud-293-1501580217-
bab%20iii.pdf dilihat pada tanggal 28 Maret 2015
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.