Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI
Thalassiahemprichii DAN Cymodocea rotundata DI PERAIRAN
DESA MALANG RAPAT KECAMATAN GUNUNG KIJANG
KABUPATEN BINTAN
SKRIPSI
KARISKA KRISTIANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2020
II
PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI Thalassia hemprichii
DAN Cymodocea rotundata DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT
KECAMATAN GUNUNG KIJANG KABUPATEN BINTAN
SKRIPSI
KARISKA KRISTIANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2020
IV
ABSTRAK
KRISTIANA, KARISKA. Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Thalassia
hemprichii dan Cymodocea rotundata di Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan
Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Pembimbing oleh Febrianti Lestari dan Aditya Hikmat Nugraha.
Penelitian mengenai produksi serasah dan laju dekomposisi Thalassia
hemprichii dan Cymodocea rotundata telah dilakukan di Perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui tutupan jenis T. hemprichii dan C. rotundata, mengetahui produksi
jenis T. hemprichii dan C. rotundata dan mengetahui laju dekomposisi lamun
jenis T. hemprichii dan C. rotundata. Penelitian ini di lakukan dengan metode
purposive sampling. Hasil penelitian tutupan lamun di Perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan stasiun satu jenis T.
hemprichii dengan tutupan lamun perjenis sebesar 8,51%, sedangkan C. rotundata
8,50%. Jika dilihat dari nilai total tutupan lamun sebesar 39,4% dikategorikan
sedang, stasiun dua tutupan lamun perjenis T. hemprichii berkisar 6,41%,
sedangakan C. rotundata berkisar 5,65% dan total tutupan sebesar 29,49%.
Produksi serasah di Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang
Kabupaten Bintan pada stasiun satu T. hemprichii dan C. rotundata mengalami
kenaikan dibandingkan pada stasiun dua. Laju dekomposisi pada stasiun dua T.
hemprichii dan C. rotundata mengalami laju dekomposisi lebih cepat
dibandingkan stasiun satu.
Kata kunci: Tutupan lamun, Produksi serasah, Laju dekomposisi, Desa Malang
Rapat
V
ABSTRACT
KRISTIANA, KARISKA. Litter Production and Thalassia hemprichii and
Cymodocea rotundata decomposition rates in the waters of Malang Rapat waters,
Gunung Kijang Subdistrict, Bintan Regency. Aquatic Resources Management
Study Program, Faculty of Marine and Fisheries Sciences, Raja Ali Haji Maritime
University. Supervisors by Febrianti Lestari and Aditya Hikmat Nugraha.
Research on litter production and the rate of decomposition of Thalassia
hemprichii and Cymodocea rotundata has been carried out in the waters of
Malang Village, Gunung Kijang Subdistrict, Bintan Regency. The purpose of this
study was to determine the cover of T. hemprichii and C. rotundata types, to
know the production of T. hemprichii and C. rotundata species and to determine
the rate of decomposition of seagrass species of T. hemprichii and C. rotundata.
This research was conducted with a purposive sampling method. The results of the
study of seagrass cover in the waters of Malang waters, Gunung Kijang
Subdistrict, Bintan Regency, one type T. hemprichii station with seagrass cover of
8.51%, while C. rotundata 8.50%. If seen from the total seagrass cover value of
39.4% is categorized as medium, the station two of seagrass cover types of T.
hemprichii is around 6.41%, while C. rotundata is around 5.65% and total cover
is 29.49%. Litter production in the waters of Malang waters, Gunung Kijang
Subdistrict, Bintan Regency at station T. hemprichii and C. rotundata increased
compared to station two. The decomposition rate at station two T. hemprichii and
C. rotundata experienced a faster rate of decomposition than station one.
Keywords: Seagrass cover, Litter production, Decomposition rate, Malang Rapat
Waters
VI
© Hak cipta milik Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tahun 2020
Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Universitas Maritim Raja Ali Haji, sebagian atau seluruh dalam
bentuk apa pun, fotocopi, microfilm, dan sebagainya.
VII
PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI Thalassia hemprichii
DAN Cymodocea rotundata DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT
KECAMATAN GUNUNG KIJANG KABUPATEN BINTAN
KARISKA KRISTIANA
NIM 160254242024
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2020
IX
PRAKATA
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat, dan hidayah-nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan
judul “Produksi serasah dan laju dekomposisi Thalassia hemprichii dan
Cymodocea rotundata di Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang
Kabupaten Bintan” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini disampaikan untuk
mendukung salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim
Raja Ali Haji.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, keluarga,
penasehat akademik ibu Susiana, S.Pi., M.Si dan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Kepada Dr. Febrianti Lestari, S.Si., M.Si, selaku dosen pembimbing
utama dan Aditya Hikmat Nugraha, S.IK., M.Si, selaku dosen pendamping,
Winny Retna Melani, SP., M.Sc, selaku ketua penguji, Susiana, S.Pi., M.Si, dan
Wahyu Muzammil, S.Pi., M.Si, selaku anggota penguji terimakasih juga kepada
semua pihak yang telah membantu proses skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga karya ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Tanjungpinang, Juli 2020
Kariska Kristiana
X
RIWAYAT HIDUP
KARISKA KRISTIANA, dilahirkan di Tempapan
Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 31 Juli 1997.
Putri pertama dari dua bersaudara pasangan bapak
Muhdianto dan Ibu Supartin. Penulis menyelesaikan
pendidikan formal pertama di Sekolah Dasar Negeri
(SDN) 006 Pacong Provinsi Kalimantan Barat tahun
2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
Pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri
(SMPN) 01 Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang
Provinsi Kalimantan Barat dan lulus pada tahun 2013, Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan pada Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model
Singkawang Provinsi Kalimantan Barat dan lulus pada tahun 2016. Selanjutnya
pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) di Kota Tanjungpinang, tepatnya pada Universitas Maritim Raja Ali
Haji (UMRAH) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Manajemen
Sumberdaya Perairan melalui jalur tes nasional Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis mendapatkan kesempatan aktif dalam
mengikuti berbagai seminar dan sejenisnya yang diadakan baik oleh kampus.
Penulis berkesempatan mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan (HMJ MSP) menjabat sebagai Comminfo
periode 2017/2018. Penulis kembali tercatat sebagai anggota Coral (Karya Ilmiah)
dilingkungan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Tahun 2018 Universitas
Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) menjadi tuan rumah dalam kegiatan nasional
yaitu Kegiatan Mahasiswa Rehabilitasi Nasional ke-V (KEMAREHABNAS-V)
yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan
Indonesia (HIMASUPERINDO).
Pada tahun 2019 penulis melaksanakan Praktik Lapang di perairan Kampung
Tanjung Keling Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten
Bintan. Selanjutnya penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pupr 2019
XI
di Desa Sebong Pereh Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali
Haji (UMRAH), penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul
Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata di Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan gunung Kijang Kabupaten
Bintan.
XII
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2
1.5 Kerangka Pikir Penelitian .......................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4
2.1 Penelitian Terdahulu .................................................................................. 4
2.2 Morfologi Lamun ....................................................................................... 5
2.2.1 Akar ......................................................................................................... 5
2.2.2 Rhizoma atau Batang .............................................................................. 5
2.2.3 Daun ........................................................................................................ 5
2.3 Jenis Lamun ............................................................................................... 6
2.3.1 Thalassia hemprichii ............................................................................... 6
2.3.2 Cymodocea rotundata ............................................................................. 7
2.4 Produksi Serasah ........................................................................................ 7
2.5 Laju Dekomposisi ...................................................................................... 8
2.6 Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Pertumbuhan Lamun .................. 9
2.6.1 Parameter Fisika Perairan ....................................................................... 9
2.6.1.1 Suhu...................................................................................................... 9
2.6.1.2 Kecerahan ............................................................................................. 9
2.6.1.3 Substrat ................................................................................................. 9
2.6.1.4 Kedalaman............................................................................................ 9
2.7.1 Parameter Kimia Perairan ....................................................................... 10
2.7.1.1 Derajat Keasaman (pH) ........................................................................ 10
2.7.1.2 Salinitas ................................................................................................ 10
2.7.1.3 Oksigen Terlarut (DO) ......................................................................... 10
2.7.1.4 Nitrat (NO3-N) ...................................................................................... 11
2.7.1.5 Fosfat (PO4-P) ...................................................................................... 11
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 12
3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................................... 12
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................... 12
3.3 Metode Penelitian....................................................................................... 14
3.3.1Metode Pengumpulan Data .................................................................... 14
3.3.2 Penentuan Stasiun dan Titik Sampling ................................................... 14
3.3.3 Pengamatan Tutupan Lamun................................................................... 14
XIII
3.3.4 Pengamatan Produksi Serasah................................................................. 15
3.3.5 Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah Lamun ..................................... 16
3.3.6 Pengukuran Parameter Kualitas Perairan ................................................ 16
3.4 Analisis Data .............................................................................................. 17
3.4.1 Tutupan Lamun ....................................................................................... 17
3.4.2 Produksi Serasah ..................................................................................... 17
3.4.3 Laju Dekomposisi ................................................................................... 17
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 20
4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian ........................................................... 20
4.2 Parameter Lingkungan Perairan ................................................................. 20
4.3 Substrat ....................................................................................................... 24
4.4 Tutupan Lamun .......................................................................................... 24
4.5 Produksi Serasah ........................................................................................ 26
4.6 Laju Dekomposisi ...................................................................................... 28
4.7 Arahan Pengelolaan ................................................................................... 32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 33
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 33
5.2 Saran ........................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 34
LAMPIRAN ..................................................................................................... 40
XIV
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................ 3
2. Morfologi Lamun ........................................................................................ 5
3. Thalassia hempricii ..................................................................................... 6
4. Cymodocea rotundata ................................................................................. 7
5. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................. 12
6. Metode Line Transek Kuadran .................................................................... 15
7. Jaring Perangkap Serasah ........................................................................... 16
8. Total Tutupan Lamun .................................................................................. 25
9. Tutupan Lamun Perjenis ............................................................................ 25
10. Produksi Serasah Stasiun 1 ........................................................................ 26
11. Produksi Serasah Stasiun 2 ........................................................................ 27
12. Persen Pengurangan Berat Serasah Lamun Stasiun 1 ................................ 28
13. Persen Pengurangan Berat Serasah Lamun Stasiun 2 ................................ 29
14. Laju Dekomposisi Serasah Lamun Stasiun 1 ............................................. 30
15. Laju Dekomposisi Serasah Lamun Stasiun 2 ............................................. 30
XV
DAFTAR TABEL
1. Penelitian Terdahulu ……………………………………………………….4
2. Alat dan Bahan .............................................................................................. 13
3. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan ...................................................... 16
4. Kategori Tutupan Lamun .............................................................................. 17
5. Paramter Lingkungan Perairan ..................................................................... 21
6. Hasil Pengukuran Tipe Substrat .................................................................... 24
7. Persamaan Peluruhan Daun Lamun di Seluruh Lokasi Penelitian ................ 31
XVI
DAFTAR LAMPIRAN
1. Foto stasiun satu dan stasiun dua ................................................................ 42
2. Jaring Perangkap Serasah ............................................................................ 42
3. Sampel Serasah............................................................................................ 42
4. Pengamatan Tutupan Lamun ....................................................................... 42
5. Pengukuran Parameter Perairan .................................................................. 43
6. Pengovenan Serasah .................................................................................... 43
7. Pengayakan Substrat.................................................................................... 43
8. Buku Identifikasi Lamun ............................................................................. 44
9. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 ................... 44
10. Perhitungan Produksi Serasah ................................................................... 44
11. Perhitungan Laju Dekomposisi Serasah Lamun ....................................... 45
12. Hasil Perhitungan Tutupan Lamun ........................................................... 45
13. Hasil Perhitungan Parameter Lingkungan Perairan .................................. 45
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Desa Malang Rapat merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bintan yang
termasuk ke dalam wilayah pesisir. yang memiliki berbagai keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang. Perairan
Desa Malang Rapat termasuk ke dalam kawasan konservasi padang lamun yang
ada di Pulau Bintan (BPS Kabupaten Bintan 2015).
Lamun adalah bagian dari ekosistem yang ditemukan dipesisir daerah dan satu
satunya tanaman berbunga yang dapat hidup terendam di air laut. Lamun di
Indonesia ditemukan di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat hidup
sampai kedalaman 40 meter. Lamun hidup pada substrat pasir, lumpur berpasir,
terdapat 14 spesies dari 69 spesies ditemukan di dunia (Kawaroe et al., 2016).
Dari 7 spesies hanya 2 spesies sering di temukan di perairan timur Pulau Bintan
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis dan Syringodium
isoetifolium (Supriyadi et al., 2018).
Lamun secara ekologis memiliki fungsi penting pada daerah pesisir, antara lain
sebagai produsen primer pada perairan dangkal, daerah pembesaran, pemijahan
dan juga merupakan sumber makanan penting bagi beberapa jenis organisme
(dalam bentuk detritus), selain itu lamun juga dapat berfungsi sebagai penyedia
nutrien untuk biota, menstabilkan sedimen dasar melalui model perakaran yang
menjalar dan padat (Asmidar, 2015).
Serasah memiliki peran dalam penyedia nutrien, kandungan nutrien yang ada
di perairan dipengaruhi oleh hasil dekomposisi serasah. Serasah akan
terdekomposisi dan menghasilkan bahan organik yang terbawa oleh arus dan
dapat memperkaya ke ekosistem sekitarnya (Hutomo dan Azkab, 1987).
Penelitian yang di lakukan akan mengkaji terkait produksi serasah dan laju
dekomposisi dari lamun jenis T. hemprichii dan C. rotundata karena jenis ini
banyak ditemukan pada setiap lokasi penelitian dibandingkan jenis yang lainnya.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fungsi dan peranan ekosistem lamun di perairan sebagai produsen
primer yang mana lamun berperan sebagai penyedia nutrien di perairan. sehingga
perlu di lakukannya pemecahan permasalahan di antaranya:
1. Bagaimana tutupan T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan?
2. Bagaimana produksi serasah T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan Desa
Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan?
3. Bagaimana laju dekomposisi T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan Desa
Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui tutupan T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan.
2. Mengetahui produksi serasah lamun T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan
Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan.
3. Mengetahui laju dekomposisi lamun T. hemprichii dan C. rotundata di Perairan
Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sebagai sumber data atau informasi kepada pemerintah daerah Kabupaten
Bintan, masyarakat, akademisi, mahasiswa, terkait pentingnya serasah lamun di
perairan sebagai penyedia nutrien, sehingga perlu di lakukannya pengelolaan
ekosistem lamun di Desa Malang Rapat agar tetap terjaga secara berkelanjutan.
3
1.5 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir Penelitian
Ekosistem padang lamun jenis
T. hemprichii dan C. rotundata
Serasah daun lamun Struktur ekosistem
Tutupan lamun
Faktor abotik
Parameter fisika
1. Suhu
2. Kecerahan
3. Substrat
4. Kedalaman
Parameter kimia
1. pH
2. Salinitas
3. DO
4. Nitrat
5. Fosfat
Produksi serasah
Laju dekomposisi
Perairan Desa Malang Rapat
Nutrien
Daun Lamun jenis T. hemprichii
dan C. rotundata
Arahan
pengelolaan
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan untuk
mendukung penelitian ini. Penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.
No Peneliti Kajian Hasil Lokasi
1 Supriadi dan Arifin
(2005)
Dekomposisi
Serasah Daun
Lamun Enhalus
acoroides dan
Thalassia
hemprichii di Pulau
Barranglompo,
Makassar
Dekomposisi
serasah daun
lamun pada
jenis Enhalus
acoroides lebih
tinggi (92,11–
97,78%)
dibanding jenis
Thalassia
hemprichii
(85,32–
85,53%).
Pulau
Barranglompo,
Makassar
2 Roem (2013) Laju Produktifitas
Biomassa Daun
Halodule uninervis
Padang Lamun
Pulau Derawan
Tingkat
produktifitas
daun harian
sebesar 0,32 ±
0,03 gbk m2
hari-1.
Pulau
Derawan
3 Awaliah (2016) Produksi Serasah
dan Laju
Dekomposisi
Enhalus acoroides
dan Cymodocea
rotundata di
Perairan Pulau Pari
Kepulauan Seribu
Produksi
serasah
tertinggi
(0,0239
gbk/ind/m2),
rata-rata laju
dekomposisi E.
acoroides
adalah 3,62%
sedangkan C.
rotundata
Pulau Pari
Kepulauan
Seribu
5
adalah
3,3%/hari.
2.2 Morfologi lamun
Secara morfologis tumbuhan lamun mempunyai bentuk yang hampir sama,
terdiri atas: akar, batang, dan daun. Daun pada lamun umumnya memanjang,
kecuali jenis Halophila memiliki bentuk daun lonjong (Tuwo, 2011). Untuk
melihat kondisi morfologi lamun secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi lamun (Sjafrie et al., 2018)
2.2.1 Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antar jenis lamun
yang dapat digunakan dalam kajian taksonomi lamun. Akar pada beberapa jenis
seperti Halophila dan Halodule memiliki karateristik tipis (fragile) seperti rambut,
sedangkan jenis Thalassodendron ciliatum memiliki akar yang kuat dan berkayu
dengan sel epidermal (Tuwo, 2011).
2.2.2 Rhizoma atau Batang
Struktur Rhizoma dan batangnya sangat bervariasi di antara jenis-jenis lamun,
sebagai ikatan pembuluh pada stele. Rhizoma bersama-sama akar, menacapkan
lamun pada substrat. Rhizoma biasanya terkubur di bawah sedimen dan
membentuk jaringan luar. Dengan rhizoma dan akarnya inilah lamun dapat hidup
kokoh didasar laut dan tahan terhadap hempasan gelombang dan arus laut (Kordi,
2011).
2.2.3 Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem
basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun
6
memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi
khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi.
Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk
puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Daun lamun terdiri dari dua
bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma
yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang
memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Anatomi yang khas dari
daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel
daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga
daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut (Tangke, 2010).
2.3 Jenis Lamun
Jenis lamun yang dijadikan objek penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
2.3.1 Thalassia hemprichii
T. hemprichii memiliki bentuk daun seperti selendang (strap-like) yang tegak
lurus dan penutup penuh oleh sarung daun (leaf sheath). Ujung daun tumpul dan
bergerigi tajam. T. hemprichii memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering
dominan pada lamun campuran, lebar kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25
cm. Daunya bercabang dua, tidak terpisah,berbentuk pita dan bertepi rata dengan
ujung daun membulat serta memiliki akar yang berbuku-buku yang pendek,
(Tristanto et al., 2014). Mirip C. rotundata, tapi rhizoma beruas-ruas dan tebal
garis/bercak coklat pada helaian daun (Hernawan et al., 2017).
Gambar 3. Thalassia hemprichii (Sjafrie et al., 2018)
Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class :Liliopsida
Ordo : Hidrocharitales
Family : Hydrocharitaceae
Genus : Thalassia
Species : Thalassia hemprichii
7
2.3.2 Cymodocea rotundata
C. rotundata memiliki kantong daun yang tertutup penuh dengan daun muda,
kadang-kadang berwarna gelap, daun biasanya muncul dari vertikal stem, ujung
yang halus dan bulat. Bijinya berwarna gelap dengan punggung yang menonjol.
Lamun ini di temukan di sepanjang Indo-Pasifik Barat di daerah tropis, tepi daun
tidak bergerigi Seludang daun menutup sempurna (Sjafrie et al., 2018).
Gambar 4. Cymodocea rotundata (Sjafrie et al., 2018)
Kingdom : Plantae
Division : Angiospermae
Class : Liliopsida
Order : Potamogetonales
Family : Potamogetonaceae
Genus : Cymodocea
Species : Cymodocea rotundata
2.4 Produksi serasah lamun
Produksi serasah adalah guguran struktur vegetatif dan reproduktif dari daun
yang disebabkan oleh faktor ketuaan, kematian serta kerusakan dari keseluruhan
tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin) (Irawan, 2017). Serasah lamun yang
dihasilkan berupa daun merupakan serasah yang paling penting peranannya,
karena merupakan sumber nutrisi bagi organisme. Semakin tinggi produksi
serasah maka semakin tinggi pula produktivitas diekosistem padang lamun,
(Supriadi dan Arifin, 2005). Laju produksi ekosistem padang lamun diartikan
sebagai pertambahan biomassa lamun selang waktu tertentu dengan laju
produktivitas, produksi yang didapatkan bisa lebih kecil dari produksi yang
sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh oleh
8
hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanannya (Alelo et
al., 2018).
Ciri biologis diantaranya ukuran daun yang kecil dan buah yang berbentuk
bulat atau panjang seperti Enhalus acoroides Komponen serasah yang lain,
dikarenakan bentuk dan ukuran daun yang panjang sehingga mudah digugurkan
oleh hembusan angin dan terpaan air hujan (Herlina et al., 2014). Serasah dari
daun lamun yang telah putus dari batangnya di sebabakan oleh gelombang atau
bisa juga disebabkan oleh aktivitas manusia, serasah ini kemudian akan di
manfaatkan oleh biota-biota laut, mikroorganisme sebagai makanan atau
mengendap didasar perairan (substrat).
2.5 Laju dekomposisi
Laju dekomposisi merupakan proses penghancuran atau penguraian bahan
organik mati yang di lakukan oleh agen biologi maupun fisika menjadi bahan-
bahan mineral organik, oleh karena itu dekomposisi bahan organik juga sering di
sebut proses mineralisasi. Proses ini merupakan proses mikroba (dekomposer)
dalam memperoleh energi bagi perkembangbiakannya. Adapun faktor-faktor yang
memengaruhi proses dekomposisi bahan organik dari sisi dekomposernya adalah
suhu, salinitas, dan pH. Proses ini sangat besar peranannya dalam rantai makanan
pada ekosistem lamun. Istilah dekomposisi digunakan untuk menerangkan
sejumlah besar proses yang di alami oleh bahan-bahan organik yaitu proses sejak
dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel-partikel kecil
sehingga menjadi unsur hara yang terlarut hingga tersedia dan dapat di serap oleh
tanaman kembali (Yuwono et al., 2015).
Laju dekomposisi serasah lamun dipengaruhi oleh pasang surut faktor-faktor
ini dapat menentukan cepat atau lambatnya proses dekomposisi berlangsung.
Dekomposisi serasah suatu perubahan secara fisik maupun kimia yang sederhana
oleh mikroorganisme (fungi, bakteri, dan hewan lainnya). Proses dekomposisi
dimulai dari proses penghancur atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik
yang mungkin dilakukan oleh hewan herbivora oleh tumbuhan dan
menyisakannya sebagai bahan organik yang selanjutnya menjadi serasah, dan di
manfaatkan oleh detritus dengan ukuran yang lebih kecil (Awaliah, 2016).
9
2.6 Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Pertumbuhan Lamun
Faktor lingkungan yang memengaruhi distribusi dan pertumbuhan lamun, yaitu:
2.6.1 Parameter Fisika Perairan
2.6.1.1 Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada
kisaran 5–35 °C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30 °C, sedangkan
pada suhu di atas 45 °C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami
kematian (McKenzie, 2003).
2.6.1.2 Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran transparansi perairan dan pengukuran cahaya
sinar matahari di dalam air dapat dilakukan dengan menggunakan lempengan atau
kepingan Secchi disk. Satuan untuk nilai kecerahan dari suatu perairan dengan alat
tersebut adalah satuan meter. Berdasarkan KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004
menyatakan bahwa baku mutu kecerahan perairan untuk ekosistem lamun adalah
> 3 meter.
2.6.1.3 Substrat
Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur
sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40%.
Kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup
dua hal, yaitu perlindungan tumbuhan dari arus air laut, dan tempat pengelolaan
serta pemasuk nutrien (Asriyana dan Yuliana, 2012).
2.6.1.4 Kedalaman
Tingkat kedalaman suatu perairan dapat membatasi distribusi lamun secara
vertikal. Jenis lamun akan ditemukan berbeda berdasarkan kedalaman perairan
selain itu kedalaman mempunyai hubungan yang erat dengan stratifikasi suhu,
penetrasi cahaya, serta zat-zat hara (Purwati et al., 2014). Lamun hidup pada
daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter
dengan penetrasi cahaya yang masih baik. Lamun tumbuh dizona intertidal bawah
dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 meter. semakin dalam suatu
10
perairan maka semakin sulit ditemukannya lamun, semakin dalam suatu perairan
maka insensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas
dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun didalam air. Untuk
pengukuran kedalaman digunakan tongkat berskala yang ditancapkan kedalam air
sampai mencapai substrat (Hutomo,1997).
2.7.1 Parameter Kimia Perairan
2.7.1.1 Derajat keasaman (pH)
Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokomiawi perairan, pada kisaran pH
<4,00, sebagian besar tumbuhan akuatik akan mati karena tidak dapat bertoleransi
pada pH rendah (Effendi, 2003). Berdasarkan KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004
amenyatakan bahwa baku mutu pH perairan untuk ekosistem lamun adalah 7–8,5.
2.7.1.2 Salinitas
Berdasarkan KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004 menyatakan bahwa baku mutu
salinitas perairan untuk ekosistem lamun adalah 33–34%. Sedangkan menurut
menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap
salinitas, namun beberapa lamun dapat hidup pada kisaran 10-40 ‰. Salinitas
merupakan parameter yang penting diukur karena fluktuasinya sangat tinggi.
Fluktuasi alami salinitas di daerah pasang surut dapat disebabkan oleh penguapan
(evaporasi), curah hujan (presipitasi), dan berbagai aktifitas manusia, terutama di
daerah pesisir (Hasanuddin, 2013).
2.7.1.3 Oksigen Terlarut (DO)
Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di
atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air serta
fitoplankton. DO adalah sebagai penentu kondisi biologis dari organisme laut,
yang meliputi kondisi aerobik dan anaerobik. Pada kondisi aerobik, oksigen
berperan dalam mengoksidasi bahan organik dan anorganik dan menghasilkan
nutrient organisme akuatik membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang
cukup, namun kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan berfariasi
antar organisme (Effendi, 2003). Berdasarkan KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004
menyatakan bahwa baku mutu oksigen terlarut perairan untuk ekosistem lamun
adalah > 5 mg/l.
11
2.7.1.4 Nitrat (NO3)
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan
salah satu nutrien senyawa yang penting dalam pertumbuhan lamun. Konsentrasi
nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
organisme perairan apabila di dukung oleh ketersediaan nutrient. Berdasarkan
baku mutu kandungan nitrat di perairan dalam Keputusan Mentri Negara
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 untuk biota laut adalah 0,008 mg/l,
(Hamuna et al.,2018). konsentrasi nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat
mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan nutrien) perairan dan
selanjutnya menstrimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat
(blooming) (Effendi, 2003). Ketersediaan nitrat dan fosfat di perairan padang
lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhan sehingga efisiensi
daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk melihat
produktivitas primer pada padang lamun dan organisme autotrofnnya, kosentrasi
nitrat dan fosfat yang larut dalam perairan pada daerah tropis lebih rendah jika di
bandingkan dengan kosentrasi nutrien yang ada di sedimen dalam substrat
mengandung beberapa unsur zat hara diantaranya nutrien yang berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan lamun (Subiakto et al., 2019).
2.7.1.5 Fosfat (PO4)
Fosfat (PO4) fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang sangat penting
di laut. Fosfat merupakan zat hara yang di butuhkan untuk proses pertumbuhan,
metabolisme, dan pertumbuhan protein, di perairan laut fosfat berada dalam
bentuk anorganik dan organik terlarut serta particular fosfat. Pengaruh daratan
terhadap masukan fosfat ke perairan tersebut terlihat sangat besar, selain secara
alami sumber fosfat di perairan berasal dari sumber aktivitas manusia seperti
buangan limbah. Senyawa fosfat di perairan berasal dari sumber alami seperti
erosi, tanah, dan pelapukan tumbuhan. Konsentrasi meningkat dengan masuknya
limbah ke perairan yang banyak mengandung fosfat (Hamuna et al.,2018).
Kosentrasi nutrient yang ada di sedimen dalam substrat mengandung beberapa
unsur zat hara diantaranya nutrien yang berpengaruh dalam pertumbuhan dan
perkembangan lamun (Subiakto et al., 2019).
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2020, pengambilan
sampel serta pengukuran parameter dilakukan di Perairan Desa Malang Rapat
Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan. Analisis laboratorium dilakukan
di Laboratorium Riset Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim
Raja Ali Haji, Senggarang, Kota Tanjungpinang, Analisis sampel nutrien
dianalisis di Laboratorium Lingkungan PT Surveyor Indonesia Kota Batam.
Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian (Google earth)
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 2
sebagai berikut:
13
Tabel 2. Alat dan bahan
No Alat dan Bahan Kegunaan
1 Multitester Mengukur DO, pH dan
suhu
2. Hand refractometer Mengukur salinitas
3. Secchi disk Mengukur kecerahan
4. Roll meter Menentukan jarak antar
titik stasiun
5. GPS (Global Positioning
System)
Menentukan titik
koordinat antar stasiun
pengamatan
6. Transek kuadrat (50x50 cm) Mengamati jenis lamun
yang ditemukan
7. Alat Tulis dan Kertas Mencatat hasil
pengamatan
8. Kamera digital Dokumentasi
9. Buku Identifikasi Identifikasi jenis lamun
10. Plastik Sampel Tempat sampel yang
dijumpai
11. Kertas Label Penamaan sampel
12. Aquades Membilas peralatan
13. Botol Sampel Tempat sampel
14. Oven Mengeringkan substrat
dan serasah lamun
15. Timbangan digital Menimbang substrat
16
17
18.
19.
Ayakan bertigkat
Perangkap serasah lamun
Tongkat berskala
Lamun
Pengayakan substrat
Menampung serasah
Mengukur kedalaman
Objek Penelitian
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu
dengan pengamatan langsung dimana pengambilan data menggunakan teknik
14
purposive sampling. Data primer didapatkan dari observasi langsung di lapangan
berupa identifikasi jenis dan tutupan, serta pengukuran parameter lingkungan
perairan yaitu: suhu, salinitas, pH, kecerahan, DO, kedalaman, nitrat, fosfat dan
substrat.
3.3.2 Penentuan Stasiun dan Titik Sampling
Penelitian ini dilakukan pada Perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung
Kijang Kabupaten Bintan. Penentuan titik sampling ditentukan dengan metode
purposive sampling yaitu berdasarkan perbedaan karakteristik dari setiap stasiun
ditemukanya lamun. Stasiun satu terletak di posisi titik koordinat N 01.066020, E
104.379220 memiliki karakteristik perairan yang jernih, terletak di daerah dengan
pengaruh aktivitas wisata pantai, sedangkan pada stasiun dua terletak di posisi
titik koordinat N 01.068060, E 104.376420 dengan karakteristik substrat pasir
putih terletak di daerah dengan pengaruh aktivitas kelong, aktivitas bekarang,
menjaring, memancing, berada di sekitar buangan limbah tambak udang dan
masukan dari air tawar, dengan intensitas karakteristik perairan yang lebih tinggi
dibandingkan stasiun satu.
3.3.3 Pengamatan Tutupan Lamun
Metode yang digunakan untuk menghitung tutupan lamun adalah metode
transek garis, yang umum dipakai dalam pengamatan struktur komunitas padang
lamun. Satu stasiun terdapat tiga transek garis dimana masing-masing transek
garis panjangnya 100 meter jarak antar transek garis 50 m. Transek kuadrat
diletakkan mulai pertama kali ditemukanya lamun. Sepanjang 100 meter ini
pengamatan lamun dilakukan dengan bantuan transek kuadrat berukuran 50x50
cm diletakkan pada titik 0 hingga 100 dengan interval 10 meter. Ilustrasi transek
pengamatan tutupan lamun dapat di lihat pada Gambar 6.
15
100 m 50 m
Kuadrat
10 m 50 cm
0 m pantai
Gambar 6. Metode line transek kuadran (Rahmawati et al., 2014)
3.3.4 Pengamatan Produksi Serasah
Pengumpulan serasah lamun dilakukan menggunakan perangkap jaring
(serasah). Jaring perangkap serasah dengan berukuran 50 x 50 cm (Gambar 7).
Terdapat tiga perangkap pada tiap stasiun, Dasar perairan dibersihkan terlebih
dahulu dari organisme benthos sebelum dilakukanya pengurungan sampel lamun
yang diambil adalah bagian daun yang melayang maupun yang berada di dasar
substrat (Awaliah, 2016). Serasah yang terapung dan tenggelam dikumpulkan
selama pengamatan yang dilakukan pertujuh hari selama satu bulan. Sampel yang
terkumpul kemudian dimasukkan kedalam kantong sampel untuk dibawa ke
laboratorium. Sampel yang telah diambil dibersihkan untuk menghilangkan epifit
kemudian sampel serasah dikeringkan pada suhu 80℃ selama dua hari mencapai
berat konstan (Faiqoh et al., 2018).
16
Gambar 7. Jaring Perangkap Serasah (Afdal, 2017)
3.3.5 Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah Lamun
Sampel yang telah dikeringkan diambil sebanyak 10 gram di masukkan ke
dalam waring, disimpan pada ekosistem lamun diletakkan selama 1 bulan dengan
waktu pengamatan per 7 hari kemudian diambil diamati bobot keringnya,
(Awaliah, 2016).
3.3.6 Pengukuran Parameter Kualitas Perairan
Parameter perairan yang diukur berupa parameter fisika, kimia, seperti suhu,
kecerahan, kecepatan arus, substrat, kedalaman, pH, salinitas, dan DO. Parameter
kualitas perairan yang di ukur dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan
No Parameter Alat Keterangan
1 Fisika
Suhu Multitester Insitu
Kecerahan Secchi disk Insitu
Kedalaman
Substrat
Tongkat berskala
Sekop
Insitu
Insitu
2 Kimia
pH Multitester Insitu
Salinitas Hand refractometer Insitu
DO
Nitrat (NO3)
Fosfat (PO4)
Multitester
Spektrofotometer
Spektrofotometer
Insitu
Laboratorium
Laboratorium
17
3.4 Analisis Data
Analisa data primer adalah dengan pengolahan data menggunakan rumus sebagai
berikut :
3.4.1 Tutupan Lamun
Penutupan jenis merupakan perbandingan antara luas area yang ditutupi oleh
jenis lamun ke-i dengan jumlah total area yang ditutupi lamun. Penutupan jenis
lamun dapat dihitung dengan persamaan (KEPMEN LH No. 200/2004).
C = ⅀(Mi x fi)
⅀f
Keterangan:
C = Presentase penutupan jenis lamun i,
Mi = Presentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i,
fi = frekuensi munculnya kelas penutupan ke -i
f = banyaknya sub petak dimna kehadiran jenis lamun i,
Tabel 4. Kategori Tutupan Lamun.
Kondisi Penutupan (%)
Baik ≥ 60
Sedang
Rusak
30-59,9
≤ 29,9
Sumber: KEPMEN LH No. 200 Tahun 2004.
3.4.2 Produksi Serasah
Produksi serasah dihitung berdasarkan berat serasah yang terapung dan
tenggelam yang berada di dalam kurungan dengan kerapatan yang berbeda pada
setiap 7 hari masa inkubasi (Awaliah 2016).
𝑝 =𝑤
𝐷𝑖
18
Keterangan:
P = Produksi serasah (gram berat kering (gbk/ind/m2)
w = Berat serasah (gbk)
Di = kerapatan lamun jenis ke – i ( ind)
3.4.3 Laju Dekomposisi
Sampel serasah yang akan didekomposisi terlebih dahulu dibuat sampel standar
untuk mengetahui rasio antara berat kering, berat basah, dan kandungan air
(Awaliah 2016).
r = 𝐵𝐾
𝐵𝐵
Keterangan:
r = rasio berat kering dan berat basah
BK = Berat Kering (gbk)
BB = Berat Basah
k = 100 - (r x 100%)
Keterangan:
k = Kandungan air (%)
r = rasio berat kering dan berat basah
Laju dekomposisi dapat dihitung berdasarkan persen pengurangan berat pada
setiap lamanya inkubasi (Juman 2005).
R = 𝐼𝑊−𝐹𝑊
𝐷
Keterangan:
R = Laju dekomposisi (%)
IW = Berat awal serasah (%)
FW = Berat akhir serasah (%);dan
D = Lama inkubasi (7 hari)
Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah dengan menggunakan rumus
(Ashton et al., 1999).
19
Xt= X0.e-kt
ln(Xt/X0)= -kt
Keterangan:
Xt = Berat kering serasah setelah waktu pengamatan ke –t (g)
X0 = Berat kering serasah awal (gram)
e = Bilangan logaritma natural (2,72)
k = Konstanta laju dekomposisi serasah
t = Waktu pengamatan (hari)
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Perairan Desa Malang Rapat merupakan salah satu wilayah yang termasuk
kedalam wilayah Kabupaten Bintan dengan luas wilayah 771.225 Ha. Desa
Malang Rapat terdiri dari beberapa kampung diantaranya Kampung Sei Angus,
Kampung Alur Pekap, Kampung Pemukiman, Kampung Tanjung Keling,
Kampung Lembah Cahaya, Kampung Pulau Pucung, Kampung Teluk Dalam, dan
Kampung Kampe. (BPS Kabupaten Bintan 2015). Banyaknya jumlah penduduk
yang ada di Desa Malang Rapat sekitar 2.079 jiwa, terletak di RT 01/RW02.
Dengan batas – batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Berakit
Sebelah Selatan : Kecamatan Teluk Bakau
Sebelah Timur : Laut Cina Selatan
Sebelah Barat : Toapaya Utara
Perairan Desa Malang Rapat merupakan perairan landai. Sebagian
memanfaatkan hasil laut berupa kerang untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu
wilayah Desa Malang Rapat dijadikan sebagai kawasan wisata sehingga banyak
dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk menikmati keindahan
lautnya. Secara umum perairan Desa Malang Rapat memiliki lingkungan yang
didominasi oleh keberadaan ekosistem lamun, substratnya didominasi pasir
berlumpur.
4.2 Parameter Lingkungan Perairan
Kondisi lingkungan perairan mempengaruhi kehidupan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sejumlah parameter lingkungan perairan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Nilai-nilai parameter lingkungan
perairan menggambarkan kualitas perairan yang dapat mendukung keberadaan
ekosistem lamun. Parameter perairan yang diukur yaitu substrat, suhu, salinitas,
DO, pH, kecerahan, kecepatan arus, kedalaman, nitrat, fosfat dan substrat atau
sedimen hasil pengukuran disajikan didalam Tabel 5.
21
Tabel 5. Parameter lingkungan perairan
Parameter Satuan Stasiun Baku Mutu*
1 2
Fisika
Suhu ℃ 30,60±0,10 29,87±0,65 28-30
Kecerahan m 100±0 100±0
Kedalaman cm 49,33±7,02 53,33±1,53
Kimia
Salinitas o/oo 32,67±0,58 31,33±1,15 33-34
Derajat
keasaman
(pH)
- 7,5±0,20 8,1±0,40 7-8,5
Oksigen
terlarut (DO)
mg/L 7,73±0,21 7,60±0,20 >5
Nitrat mg/L 0,008±0,002 0,007±0,001 0,008
Fosfat mg/L 0,009±0,003 0,010±0,002 0,015
Sumber : Data primer
*Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme, tinggi rendahnya suhu tersebut bisa
disebabkan oleh kedalaman perairan pada tiap lokasi pengambilan sampel juga
menyatakan bahwa semakin dalam suatu perairan maka suhu akan semakin
rendah sedangkan semakin dangkal suatu perairan maka suhunya semakin tinggi,
(Supiyati et al., 2012). Hasil pengukuran suhu perairan pada stasiun satu
didapatkan nilai berkisar 30,60 °C. Stasiun dua diperoleh nilai sebesar 29,87 °C.
Kisaran suhu tersebut merupakan kisaran normal untuk daerah tropis dan masih
dalam rentang toleransi untuk biota laut sesuai standar baku mutu yang ditetapkan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup (2004) yakni antara 28-32 °C. sedangkan
untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25-35°C dan pada
saat cahaya penuh (Salmin 2005).
Hasil yang diperoleh nilai kecerahan yang sangat tinggi yaitu 100 %, berarti
bahwa pada lokasi pengamatan penyinaran sinar masih terjadi sampai 100%.
Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melakukan proses
fotosintesis, distribusi lamun tergantung beberapa faktor, salah satunya adalah
faktor kecerahan (dengan kedalaman < 10 m), (Ati et al., 2016). Kecerahan
22
tentunya mendukung kelangsungan proses fotosintesis lamun. Nilai kecerahan di
perairan Desa Malang Rapat tergolong baik bagi pertumbuhan lamun, kondisi
kecerahan yang tinggi menguntungkan bagi lamun karena proses fotosintesis
dapat berlangsung secara optimal.
Kedalaman perairan di stasiun satu sebesar 49,33 cm dan pada stasiun dua
sebesar 53,33 cm. Menurut (Ruswahyuni dan Widyorini, 2014), cahaya matahari
dapat tembus kekolom air sampai dasar sehingga proses fotosintesis oleh padang
lamun dapat berlangsung dengan baik. Ke dalaman sangat memengaruhi
kehidupan organisme perairan, ke dalaman suatu perairan sangat erat
hubungannya dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air yang
digunakan oleh tumbuhan berklorofil untuk proses fotosintesis. Tumbuhan tidak
dapat hidup terus menerus tanpa adanya cahaya matahari yang cukup, penyinaran
cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tinggi ke
dalaman laut, perairan dalam dan jernih proses fotosintesisnya hanya terdapat
sampai kedalaman 200 meter saja.
Salinitas perairan Desa Malang Rapat berkisar antara 32,67‰ pada stasiun satu
sedangkan stasiun dua 31,33‰. Salinitas tertinggi dijumpai pada stasiun satu
sedangkan salinitas terendah dijumpai pada stasiun dua. Data yang diperoleh
dibandingkan dengan baku mutu air laut KEPMEN LH NO. 51 Tahun 2004.
Dimana untuk parameter salinitas berkisar antara 33-34‰. Hal ini masih sesuai
dengan salinitas alami yang dipengaruhi oleh kondisi musiman, salinitas yang
baik terhadap kehidupan lamun berkisar antara 28-35‰, (Poedjirahajoe et al.,
2013). Hasil yang didapat tidak jauh dari baku mutu sehingga parameter salinitas
di Desa Malang Rapat masih dapat dikategorikan baik.
Hasil pengukuran pH di Perairan Desa Malang Rapat pada stasiun satu
memperlihatkan bahwa nilai pH 7,5 sedangkan pada stasiun dua 8,1. Jika
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
baku mutu yakni antara 7 - 8,5, angka tersebut memenuhi baku mutu Drajat
keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme
perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruk
suatu perairan. pH yang optimal untuk air laut anatara 7,5-8,5. Kisaran pH yang
baik untuk lamun ialah pada saat pH air laut 7,5-8,5 karena pada saat kondisi pH
23
berada dikisaran tersebut maka ion yang dibutuhkan oleh lamun untuk fotosintesis
dalam keadaan melimpah (Hoek et al., 2016).
Oksigen terlarut adalah kandungan oksigen yang terlarut dalam perairan yang
merupakan suatu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan yang
digunakan untuk pertumbuhan, reproduksi, dan kesuburan lamun (Prabowo dan
Dewi 2015). Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) pada stasiun satu 7,73 mg/L
sedangkan untuk stasiun dua 7,60 mg/L hal ini menunjukan nilai DO dalam
kondisi yang baik hal tersebut didukung dengan pernyataan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 bahwa oksigen terlarut (DO) di perairan
yang mendukung untuk biota laut adalah ˃5 mg/L. Oksigen terlarut merupakan
salah satu faktor yang penting dalam kehidupan organisme untuk proses respirasi.
Berdasarkan hasil pengukuran nitrat di perairan Desa Malang Rapat di
dapatkan hasil keseluruhan dari stasiun sebesar 0,007-0,008 mg/L. Bila
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan hidup No 51 Tahun 2004
tentang baku mutu nitrat untuk biota laut sebesar 0,008 mg/L, kisaran nilai nitrat
pada semua stasiun memenuhi baku mutu atau dapat dikatakan masih mendukung
pertumbuhan lamun. Ketersediaan nitrat di perairan padang lamun dapat berperan
sebagai faktor penting untuk melihat produktivitas primer padang lamun dan
organisme autotrofnya, sumber utama nitrat berasal dari buangan rumah tangga,
pertanian, kotoran hewan dan manusia. Selain itu sumber nitrat di perairan juga
berasal dari limbah yang mengandung senyawa nitrat berupa bahan organik dan
senyawa anorganik seperti pupuk nitrogen dan masukan dari air tawar (Subiakto
et al., 2019).
Pengukuran fosfat di perairan Desa Malang Rapat diperoleh hasil sebesar
0,009-0,010 mg/L dan memenuhi kriteria baku mutu yaitu 0,015 mg/L (KEPMEN
LH. No 51 Tahun 2004). Tinggi rendahnya kadar fosfat di suatu perairan adalah
salah satu indikator untuk menentukan kesuburan suatu perairan. Pengaruh
daratan terhadap masukan fosfat ke perairan tersebut terlihat sangat besar, selain
secara alami sumber fosfat di perairan berasal dari sumber aktivitas manusia
seperti buangan limbah (Meirinawati dan Muchtar, 2017).
24
4.3 Substrat
Hasil pengukuran klasifikasi tipe substrat yang dilakukan di Laboratorium
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji pada
semua stasiun yaitu di dominasi oleh pasir berlumpur. Hasil pengukuran tipe
substrat di perairan Desa Malang Rapat disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengukuran tipe substrat
Stasiun Fraksi
Kerikil % Pasir % Lumpur %
Stasiun 1 0 86,5 13,5
Stasiun 2 0 85,3 14,7
Berdasarkan data pada Tabel 6 menunjukkan tipe substrat di Desa Malang
Rapat. Pada stasiun satu tipe substrat pasir dengan persentase 86,5% sedangkan
lumpur 13,5%, stasiun dua memiliki tipe substrat pasir dengan presentase 85,3%,
sedangkan lumpur 14,7% dimana lokasi tersebut yang merupakan perairan
terbuka menyebabkan pergerakan arus terus menerus sehingga membuat
pengadukan sedimen dapat berlangsung secara maksimal, (Nybakken, 1992)
menyatakan substrat pasir pada umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni
oleh kehidupan makroskopik. Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang
tetap untuk melekat bagi organisme.
4.4 Tutupan Lamun
Berdasarkan hasil persentase tutupan lamun yang ditemukan di lokasi
penelitian di perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten
Bintan dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8. Total tutupan lamun
39,4
29,49
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Stasiun 1 Stasiun 2
Tutu
pan
lam
un (
%)
Stasiun 1
Stasiun 2
25
Gambar 9. Tutupan lamun perjenis
Berdasarkan nilai total tutupan lamun yang diperoleh pada setiap stasiun dapat
diketahui bahwa kondisi dari setiap stasiun berada dalam kondisi sedang. Menurut
KEPMEN LH NO. 200 Tahun 2004 kategori tutupan lamun ≥ 60 kategori baik,
30-59,9 kategori sedang dan ≤ 29,9 kategori rusak. Pada stasiun satu jenis E.
acoroides sebesar 7,68%, T. hemprichii sebesar 8,51%, C. rotundata sebesar
8,50%, C. serrulata sebesar 8,59%, dan S. isoetifolium sebesar 8,11% sedangkan
pada stasiun dua jenis E. acoroides sebesar 7,35%, T. hemprichii sebesar 6,41%,
C. rotundata sebesar 5,65%, C. serrulata sebesar 4,83%, dan S. isoetifolium
sebesar 5,14%.
Faktor yang memengaruhi tutupan lamun antara lain, kemampuan adaptasinya
terhadap tipe substrat, nutrien, suhu, salinitas, menyebabkan tingginya nilai
penutupan lamun (Takaendengan dan Azkab, 2010). Ketersediaan nutrien di
perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhan.
Semakin banyaknya aktivitas di sepanjang wilayah pesisir akan menyebabkan
terganggunya lamun, dan tingginya kadar salinitas, suhu dan tipe substrat juga
dapat memengaruhi rendahnya tutupan lamun (Aziizah et al., 2016).
Sebagai perbandingan dari hasil penelitian yang di lakukan di perairan Malang
Rapat Bintan oleh (Adi et al., 2019). Hasil yang diperoleh menunjukan rata-rata
total penutupan lamun dalah 53,77% kategori padat, sedangkan untuk penutupan
rata-rata T. hemprichii 36,30% dan C. rotundata 0,34%. Dominasi jenis T.
hemprichii dan E. acoroides menggambarkan daerah penelitian adalah daerah
7,68 7,35
8,51
6,41
8,50
5,65
8,59
4,83
8,11
5,14
0
2
4
6
8
10
12
Stasiun 1 Stasiun 2
Tutu
pan
lam
un p
erje
nis
(%)
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Syringodium
isoetifolium
26
yang stabil, kedua jenis tersebut merupakan lamun dengan bentuk yang besar dan
membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh besar (Aziizah et al., 2016).
4.5 Produksi Serasah
Hasil pengamatan produksi serasah lamun pada stasiun satu yang ditemukan di
lokasi penelitian di perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang
Kabupaten Bintan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Produksi serasah stasiun 1
Hasil rata-rata pengukuran di lokasi penelitian pada stasiun satu jenis T.
hemprichii pada hari ke-7 sebesar 3,89 gram/m²/hari, hari ke-14 sebesar 4,51
gram/m²/hari, pada hari ke-21 sebesar 4,58 gram/m²/hari dan pada hari ke-28
sebesar 4,68 gram/m²/hari,sedangkan C. rotundata pada hari ke-7 sebesar 1,67
gram/m²/hari, pada hari ke-14 sebesar 2,35 gram/m²/hari, hari ke-21 sebesar 2,65
gram/m²/hari dan pada hari ke-28 sebesar 3,0 gram/m²/hari.
Hasil pengamatan produksi serasah pada stasiun dua di perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan dapat dilihat pada Gambar
11.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0 7 14 21 28
Pro
duksi
ser
asah
(gra
m/m
²/har
i)
Hari pengamatan
Thalassia
hemprichii
Cymodocea
rotundata
27
Gambar 11. Produksi serasah stasiun 2
Pada stasiun dua jenis T. hemprichii pada hari ke-7 sebesar 2,60 gram/m²/hari,
pada hari ke-14 sebesar 2,81 gram/m²/hari, hari ke-21 sebesar 3,01 gram/m²/hari
dan pada hari ke- 28 sebesar 3,14 gram/m²/hari. sedangkan C. rotundata pada hari
ke-7 sebesar 1,50 gram/m²/hari, hari ke-14 sebesar 1,57 gram/m²/hari, hari ke-21
sebesar 1,83gram/m²/hari dan hari ke-28 sebesar 2,2 gram/m²/hari.
Produksi serasah daun lamun dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
perairan di antaranya ketersediaan nitrat dan fosfat, tipe substrat dan karakteristik
dari jenis lamun, kecerahan dan musim (hujan, kecepatan angin dan gelombang )
(Supriyadi dan Kuriandewa, 2013). Lamun jenis T. hemprichii memiliki ukuran
morfologi daun tebal dan besar serta menyukai tipe substrat pasir berlumpur
sedangkan C. rotundata memiliki morfologi daun tipis, panjang, kecil dan
ramping hidup pada substrat pasir berlumpur. Lamun dengan bentuk ukuran yang
lebih besar akan memiliki produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lamun
yang morfologinya kecil. Selain faktor morfologi lamun, produksi lamun juga
dipengaruhi oleh luas area padang lamun (Kiswara, 2010). Pengaruh kecepan
angin dan suhu udara yang tinggi dan penyinaran yang lama dapat menyebabkan
pengguguran daun dalam jumlah yang banyak untuk mencegah transpirasi yang
tinggi (Patty, 2010).
Seiring waktu produksi serasah terus menigkat hal ini sejalan dengan semakin
tinggi tutupan lamun maka semakin tinggi produksi serasah, begitu pula
sebaliknya semakin rendah tutupan lamun maka semakin rendah produksi
serasahnya. Tinggi nilai produktivitas serasah daun lamun ini juga dipengaruhi
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
0 7 14 21 28
Pro
duksi
ser
asah
(gra
m/m
²/har
i
Hari pengamatan
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
28
oleh morfologi serasah daun pada daun tua memiliki produksi serasah lebih besar
dibandingkan serasah daun lamun yang masih muda dan serasah daun setengah
tua yang diduga karena morfologi serta kandungan unsur hara yang berbeda di
setiap jaringan daun (Santoso et al., 2018). Serasah yang mengendap
dimanfaatkan oleh fauna bentik dan partikel-partikel serasah dimanfaatkan oleh
organisme penyaring (filter feeder) (Irawan, 2017).
Sebagai perbandingan dari penelitian (Awaliah 2016), produksi serasah E.
acoroides lebih banyak dibandingkan serasah C. rotundata. Produksi serasah
E.acoroides terbanyak yaitu di Stasiun E2 dengan kerapatan 36 ind/m2 sebesar
0,0239 gbk/ind/m2.
4.6 Laju Dekomposisi
Hasil pengamatan persen pengurangan berat serasah lamun pada stasiun satu
yang ditemukan di lokasi penelitian di perairan Desa Malang Rapat Kecamatan
Gunung Kijang Kabupaten Bintan pada stasiun satu dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Persen pengurangan berat serasah lamun stasiun 1
Berdasarkan hasil pengamatan persen pengurangan berat serasah lamun pada
stasiun satu untuk jenis T. hemprichii pada hari ke-7 sebesar 73,8%, hari ke-14
sebesar 60,6%, hari ke-21 sebesar 57,5% dan hari ke-28 sebesar 46,8%.
sedangkan C. rotundata pada hari ke-7 sebesar 62,0%, hari ke-14 sebesar 59,9%,
hari ke-21 sebesar 55,7% dan untuk hari ke-28 sebesar 46%.
Hasil pengamatan persen pengurangan berat serasah lamun pada stasiun dua di
perairan Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan dapat
dilihat pada Gambar 13.
0
20
40
60
80
100
0 7 14 21 28
Per
sen P
engura
ngan
Ber
at (
%)
Hari pengamatan
Thalassia
hemprichiiCymodocea
rotundata
29
Gambar 13. Persen pengurangan berat serasah lamun stasiun 2
Hasil pengamatan persen pengurangan berat serasah lamun pada stasiun dua
jenis T. hemprichii pada pengamatan hari ke-7 sebesar 69,5%, pada hari ke-14
sebesar 57,3%, hari ke-21 sebesar 47,6% dan hari ke-28 sebesar 43,2%.
sedangkan C. rotundata pada pengamatan hari ke-7 sebesar 59,7%, hari ke-14
sebesar 48,9%, hari ke-21 sebesar 44,7% dan pada hari ke-28 sebesar 42,4%.
Faktor yang mempengaruhi persen pengurangan berat serasah ini diduga
karena adanya penurunan aktivitas dari bakteri yang terlibat proses dekomposisi,
serasah yang terputus tidak langsung mengalami pelapukan oleh mikroorganisme
tetapi memerlukan bantuan makrozobentos. Makrozobentos berperan sebagai
dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah daun menjadi bagian-
bagian kecil yang kemudian dilanjutkan oleh organisme kecil yakni
mikroorganisme (bakteri dan Fungi) yang menguraikan bahan organik menjadi
protein dan karbohidrat (Kaswadji et al., 2012).
Perbandingan dari penelitian (Awaliah 2016), serasah C. rotundata kehilangan
berat mencapai lebih dari 50% dalam waktu 14 hari dan lebih cepat kehilangan
berat dibandingkan E. acoroides.
Laju dekomposisi serasah lamun pada stasiun satu di perairan Desa Malang
Rapat Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan dapat dilihat pada Gambar
14.
0
20
40
60
80
100
120
0 7 14 21 28
Per
sen P
engura
ngan
Ber
at
(%)
Hari pengamatan
Thalassia hemprichii
Cymodocea rotundata
30
Gambar 14. Laju dekomposisi serasah lamun stasiun 1
Hasil laju dekomposisi serasah lamun pada stasiun satu jenis T. hemprichii
dilihat pada hari ke-7sebesar 3,74%/hari, pada hari ke-14 terjadi penurunan
sebesar 2,81%/hari, pada hari ke-21 sebesar 2,02%/hari dan pada hari ke-28
sebesar 1,90%/hari sedangkan C. rotundata pada hari ke-7 sebesar 5,43%/hari,
hari ke-14 sebesar 2,86%/hari, pada hari ke-21 sebesar 2,11%/hari dan hari ke-28
sebesar 1,92%/hari, laju dekomposisi mengalami penurunan setiap harinya.
Hasil pengamatan laju dekomposisi stasiun dua di perairan Desa Malang Rapat
Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Laju dekomposisi serasah lamun stasiun 2
Laju dekomposisi serasah lamun pada stasiun dua jenis T. hemprichii pada hari
ke-7 sebesar 4,35%/hari, hari ke-14 sebesar 3,05%/hari, pada hari ke-21 sebesar
2,49%/hari dan pada hari ke-28 sebesar 2,02%/hari, sedangkan C. rotundata pada
hari ke-7 sebesar 5,75%/hari, pada hari ke-14 sebesar 3,65%/hari, sedangkan pada
hari ke-21 sebesar 2,63%/hari dan untuk hari ke-28 sebesar 2,05%/hari.
Fakto waktu dalam pengukuran dekomposisi serasah daun berpengaruh
terhadap laju penghancuran serasah. Karena faktor waktu berkaitan dengan faktor
0
2
4
6
0 7 14 21 28
Laj
u d
ekom
posi
si
(%/h
ari)
Hari pengamatan
Thalassia hemprichii
Cymodocea
rotundata
0
2
4
6
8
0 7 14 21 28
Laj
u d
eko
mp
osi
si
(%/h
ari)
Hari pengamatan
Thalassia
hemprichii
Cymodocea
rotundata
31
lingkungan, menurunya bahan organik, mikroorganisme yang berperan dalam
perombakan beberapa zat yang terkandung dalam serasah daun lamun.
Peningkatan suhu dapat merangsang kegiatan metabolisme mikroba untuk
mempercepat lajunya proses dekomposisi akan terdapat suatu peningkatan
didalam laju dekomposisi, (Zamroni dan Rohyani, 2008).
Selanjutnya persamaan peluruhan daun lamun di seluruh stasiun di sajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Persamaan peluruhan daun lamun di seluruh lokasi penelitian
Stasiun Jenis Persamaan
Peluruhan
R2 K
1
Thalassia
hemprichii
83,979e-0,02x 0,9576 33,527
Cymodocea
rotundata
70,75e-0,014x 0,8786 33,677
2
Thalassia
Hemprichii
80,042e-0,023x 0,9801 34,240
Cymodocea
rotundata
64,113e-0,016x 0,9169 34,411
Berdasarkan nilai R2 mendekati satu artinya bahwa ada korelasi antara jumlah
hari dengan dekomposisi, kemudian dari nilai K ini semakin menguatkan bahwa
C. rotunadata itu lebih cepat dari pada T. hemprichii meskipun selisihnya sangat
sedikit. Pada Stasiun satu nilai R2 jenis T. hemprichii sebesar 0,9576, sedangkan
nilai K sebesar 33,527, nilai R2 jenis C. rotundata sebesar 0,8786, sedangkan nilai
K sebesar 33,677. Stasiun dua nilai R2 jenis T. hemprichii sebesar 0,9801,
sedangkan nilai K sebesar 34,240, nilai R2 jenis C. rotundata sebesar 0,9169,
sedangkan nilai K sebesar 34,411. Seluruh stasiun memiliki laju dekomposisi
yang tidak berbeda jauh, laju dekomposisi memiliki hubungan yang signifikan
dengan suhu, substrat, dan salinitas. Menurut (Dharmawan et al., 2016)
menjelaskan bahwa peluruhan serasah daun didefinisikan sebagai kehilangan
berat akibat beberapa proses fisika-kimia yang disebabkan oleh kondisi
lingkungan.
Faktor yang memengaruhi besarnya laju dekomposisi serasah dilihat dari
ukuran morfologi daunnya, parameter lingkungan perairan seperti pH, suhu,
32
salinitas, gelombang, kecepatan arus, dan pasang surut. Daun T. hemprichii
mengalami laju dekomposisi yang lebih lambat dibandingkan C. rotundata hal ini
diduga luas permukaan daun yang lebih besar dan tebal, daun lamun yang
memiliki ukuran lebih kecil, tipis akan cepat mengalami dekomposisi
dibandingkan lamun yang memiliki ukuran yang lebih besar (Pratiwi et al., 2017).
Hasil penelitian (Awaliah 2016). laju dekomposisi C. rotundata lebih cepat
dibandingkan E. acoroides dengan laju tertinggi kedua spesies terjadi pada hari
kedua. E. acoroides mengalami laju dekomposisi yang lebih lambat dibandingkan
C. rotundata. Hal ini diduga luas permukaan daun yang lebih tebal, karakteristik
fisik serta komposisi kimia daun.
4.7 Arahan Pengelolaan
Berdasarkan hasil dari laju dekomposisi serasah lamun stasiun dua lebih cepat
sedangkan stasun satu lebih lambat, jenis C. rotundata lebih cepat mengalami
penurunan di bandingkan jenis T. hemprichii lebih lambat terdekomposisi. Laju
dekomposisi menyumbang nutrien ke perairan, sehingga semua ekosistem lamun
perlu dijaga keberdaanya agar tidak mengalami kerusakan dan terus
keberlanjutanya. Tetapi sekarang ekosistem lamun mengalami penurunan atau
berkurang keberadaanya, karena banyaknya aktivitas manusia sehingga
mengakibatkan ekosistem lamun terancam, mengakibatkan biota asosiasi semakin
berkurang seperti di ketahui Desa Malang Rapat merupakan daerah konservasi
bagi ekosistem padang lamun, perlu adanya tindakan rehabilitasi berupa
pembentukan kelembagaan yang mengarah pada stategi pengelolaan, pemantauan
dan pendataan.
Sehingga komunitas lamun terjaga secara tepat dan terpadu dengan penekanan
pada aspek sosial masyarakat, pemangku kepentingan, pemerintah terkait
pentingnya ekosistem lamun agar mengetahui peran lamun bagi perairan, dengan
cara menjaga kebersihan lingkungan perairan seperti tidak membuang sampah ke
laut, tidak membuang limbah ke perairan, Kedepanya perlu pembatasan aktivitas
manusia perlu kajian daya dukung terkait aktivitas manusia atau aktivitas
perikanan yang dapat di lakukan di ekosistem padang lamun yang ada di Desa
Malang Rapat.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Tutupan lamun perjenis pada stasiun satu T. hemprichii dan C. rotundata lebih
tinggi jika dibandingkan pada stasiun dua. Nilai total tutupan lamun setiap
stasiun dikategorikan sedang.
2. Produksi serasah pada stasiun satu jenis T. hemprichii dan C. rotundata lebih
tinggi dibandingkan pada stasiun dua.
3. Laju dekomposisi stasiun dua jenis T. hemprichii dan C. rotundata lebih cepat
dibandingkan pada stasiun satu.
5.2 Saran
Saran yang dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya di wilayah ini adalah
sebagai berikut:
1. Pada saat pemasangan perangkap serasah terlebih dahulu harus
mengetahui pasang surut air laut, dan mengetahui musim angin agar
memudahkan pada saat pemasangan perangkap.
2. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang timbul dari aktivitas
sekitar yang memberikan ancaman terhadap ekosistem lamun.
3. Mengetahui jenis-jenis lamun yang dapat menggugurkan serasah yang
lebih cepat.
4. Untuk penyempurnaan penelitian ini yaitu perlu dilakukannya penelitian
lebih lanjut mengenai produksi serasah dan laju dekomposisi daun dan
rhizoma untuk semua jenis lamun yang ada di perairan Desa Malang Rapat
sehingga hasil yang di dapatkan dapat maksimal.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adi,W, Nugraha , A.H, Dasmasela, Y.H, Ramli, A, Sondak, C.F.A, Sjafrie,
N.D.M. 2019. Struktur Komunitas Lamun di Malang Rapat Bintan. Jurnal
Enggano. 4(2):148-159.
Afdal. 2017. Potensi Stok Serapan Karbon Di Kawasan Pesisir Sikka,
NusaTenggara Timur. Kegiatan Penelitian. Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan-LIPI. Indonesia.
Alelo, M.L, Kondoy,K.I.F, Moningkey, R.D. 2018. Biomassa Tumbuhan Lamun
Jenis Thalassia hemprichii di Perairan Waleo. Kecamatan Kema Minahasa
Utara. Jurnal Ilmiah Platax. 6(1):142-148.
Aprisanti, R.A, Mulyadi S,H, Siregar. 2013. Struktur Komunitas Diatom Epilitik
Perairan Sungai Senepelan dan Sungai Sail, Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu
Lingkungan. 7(2): 241 – 252.
Asmidar. 2015. Analisis Hubungan Beberapa Faktor Fisika Oseanografi Dengan
Kerapatan Ekosistem Lamun di Perairan Puntondo Kabupaten Takalar. Jurnal
Octopus, 4(1): 358–364.
Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta.
Asthon, E.C. 1999. Breakdown of Mangrove Leaf Litter in a Managed Mangrove
Forest in Peninnsular Malaysia. In Hydrobiologia 413:77-88.
Ati, R.N.A, Kepel, T.L,Kusumaningtyas, M.A,Hutahean,A.A,Mantiri,D.M.H.
2016. Karakteristik dan Potensi Perairan Sebagai Pendukung Pertumbuhan
Lamun di Perairan Teluk Buyat dan Teluk Ratatotok. Sulawesi Utara. Jurnal
Manusia dan Lingkungan. 23(2):342-348.
Awaliah SM. 2016. Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Enhalus acoroides
dan Cymodocea rotundata di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Fakultas
Ilmu Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Aziizah, N.N. Manuputty, A. Agus, S.B. Siregar,V.P. 2016. Analisis Spasial Luas
Tutupan Lamun di Pulau Tunda Serang, Banten. Jurnal OmniAkuatika.
12(1):73-80.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bintan. Desa Malang Rapat. Kepulauan Riau. 2015.
Binsasi, R. Bria, E.J. 2019. Komposisi Komunitas Padang Lamun di Perairan
Pantai Sukaerlaran. Kabupaten Belu. Jurnal Sains dan Teknologi.11(2):1-7.
35
Dharmawan, I.W.E, Maddupa, H. H. Zamani, N.P. 2016. Laju Dekomposisi
Serasah Daun di Ekosistem Bakau Pulau Kelong. Kabupaten Bintan. Jurnal
OSEANOLOGI dan LIMNOLOGI di Indonesia.1(1): 1-10.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan.Yogyakarta: Kansius.
Fachrul, M. F., 2007. Metode Sampling Ekologi.Bumi Aksara: Jakarta.
Fahruddin, M.Yulianda, F.,Setyobudiandi, I. 2017. Kerapatan dan Penutupan
Ekosistem Lamun di Pesisir Desa Bahoi. Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 9(1):375-383.
Faiqoh, E, Santoso, B, Dharma, I.G.B. 2018. Pertumbuhan dan Produktivitas
Daun Lamun Thalassia hemprichii (Ehrenb) Ascherson di Perairan Tanjung
Benoa. Bali. Journal Of Marine And Aquatic Seiences. 4(2):279-285.
Feryatum, F. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass) Berdasarkan Zona
Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Journal
Manajemen of Aquatic Resources.1(1):44-50.
Gosari, J.A, Haris A. 2012. Studi Kerapatan dan Penutupan Jenis Lamun di
Kepulauan Spermonde. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 22 (3):
256-162.
Hamuna, B. Tanjung, R.H.R, Maury, H.K, Suwito, Alianto. 2018. Kajian Kualitas
Air Laut dan Indeks Pencemaran Berdasarkan Parameter Fisika-Kimia Di
Perairan Distrik Depapre. Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan.16(1):35-43.
Hasanuddin, R. 2013. Hubungan Antara Kerapatan dan Morfometrik Lamun
Enhalus acoroides Dengan Substrat dan Nutrien di Pulau Sarappo Lompo Kab.
Pangkep.Universitas Hasanuddin: Makassar.
Hernawan U.E, Sjafrie N.D.M, Supriyadi I.H, Suyarso, Iswari M.Y, Anggraini K.
Rahmat. 2017. Status Padang Lamaun. Indonesia. Pusat Penelitian
Oseanografi. Puslit Oseanografi - LIPI. Jakarta.
Herlina, R. S., Khairijon., dan Fatonah, S. 2014. Produksi Serasah Berdasarkan
Zonasi Di Kawasan Mangrove Bandar Bakau, Dumai-Riau. Jurnal JOM
FMIPA 1(2):492-499.
Hoek, F, Arfah, A,Mustasim, Ulat, MA, Suruwaky AM, Razak, AD, Hamid,
Muhfizar, 2016. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Distrik Sulawati Utara.
Kabupaten Raja Ampat. Jurnal airaha. 5(1):87-94.
Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal
Yang Belum Banyak Dikenal. Jurnal Oseanologi-LIPI. Jakarta. Indonesia.
36
Hutomo M. Azkab. MH. 1987. Peranan Lamun Di Lingkungan Laut Dangkal J
Oseana. Balitbang Biologi Laut. Jurnal Pustlibang Biologi Laut-LIPI. 12(1): 13
– 23.
Irawan A. 2017. Potensi Cadangan dan Serapan Karbon oleh Padang Lamun di
bagian Utara dan Timur Pulau Bintan. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia. 2(3): 35- 48.
Juman R.A. 2005. Biomass. Litterfall and Decomposition Rates for the Fringed
Rhizophora mangle Forest Lining the Bon Accord Lagoon. Tobago. Rev. Biol.
Trop. J. Trop. Biol. 53(1): 207-217.
Kaswadji, R.F, Bengen, D.G, Utomo, M. 2012. Produktivitas Komunitas Lamun
di Pulau Baranglompo Makassar. Jurnal Akuatika. 3(2):159-168.
Kawaroe, M, Nugraha, A.H, Juraij, Tasabaramo, I.A. 2016. Seagrass Biodiversity
At Three Marine Ecoregions of Indonesia:Sunda Shelf, Sulawesi Sea, and
Banda Sea. Jurnal BIODIVERSITAS. 17(2):585-591.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN LH. No. 200. Tahun
2004.) Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Stastus Padang
Lamun.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004 ). Baku
Mutu Air Laut Untuk Biota. Jakarta.
Kiswara,W. 2010. Potensi Padang Lamun Sebagai Karbon Rosot dan Penyerapan
Karbon di Pulau Pari, Teluk Jakarta. Jurnal oseanologi dan Limnologi di
Indonesia. 36(3):361-376.
Kordi, K.G. ,2011. Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi, potensi
pengelolaan.Rineka Cipta: Jakarta.
Kuo, J. 2007. New Monoecious Seagrass Of Halophila sulawesii
(Hydrocharitaceae) from Indonesia. Aquatic Botany. 87(1):171-175.
Krisye. 2012. Analisis Produksi Serasah dan Laju dekomposisis Berbagai Jenis
Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanana Universitas Hasanuddin. Makassar.
Manuputty, A. Azizah, NN. Agus, SB. Siregar, VP. 2016. Analisis Spasial
Tutupan Lamun di Pulau Tunda Serang. Banten. 12 (1):73-80.
Meirinawati, H., Muchtar, M. 2017. Fruktuasi Nitrat, Fosfat dan Silikat di
Perairan Pulau Bintan. Jurnal Segera. 13(3):141-148.
37
McKenzie, L. J., 2003. Guidelines for The Rapid Assessment and Mapping of
Tropical Seagrass Habitats. The State of Queensland.Department of Primary
Industries.
Nadiarti, Riani, E, Djuita, I, Budiharsono, S, Purbayanto, A, Asmus, H. 2012.
Challenging for seagrass Management in Indonesia. journal of Coastal
Development. 15(3):234-242.
Nugraha, Y. Rudi, A. 2015. Teknik Identifikasi Lamun (Seagrass) di Kawasan
Pulau Parang, Karimunjawa Kabupaten Jepara. Jurnal Balai Penelitian dan
Pemulihan Konservasi Sumberdaya. 13(2) 97–100.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis PT. Gramedia.
Jakarta.
Patty,W. 2010. Analisa Produktifitas dan Laju Dekomposisi Serasah Daun
Mangrove di Desa Bahoi, Kabupaten Minahasa utara. Junal Chem. Prog.
3(2):91-95.
Poedjirahajoe, E, Mahayani, B, NPD, Shidarta, R, Salamuddin, M,. 2013. Tutupan
Lamun dan Kondisi Ekosistemnya di Kawasan Pesisir Madasanger Jelenga
Maluku. Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis 5(1):36-46.
Purwati, F, Suryanto, A, Minerva, A. 2014. Analisis Hubungan Keberadaan dan
Kelimpahan Lamun Dengan Kualitas Air di Pulau Karimunjawa. Jepara.
Journal of Maquares. 3(3):88-94.
Prabowo, SA, Dewi, NK. 2015. Status Padang Lamun Pantai-Pantai Wisata di
pacitan. Madiun. Jurnal Biogenesis. 3(1):53-59.
Pratiwi TN, Hartati R, Pratikto I. 2017. Biomassa Dan Estimasi Simpanan Karbon
Pada Lamun Di Pulau Menjangan Kecil dan Pulau Sintok, Kepulauan
Karimunjawa. Jurnal Buletin Oseanografi Marina. 6(1):74–81.
Rahman A.A, Nur A.I, Ramli M. 2016. Studi Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus
acoroides di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawa Selatan.
Jurnal Sapa Laut (Ilmu Kelautan) 1(1): 10-16.
Rasyid R, Wildian, Hendrizon Y. 2013. Uji Sensitivitas Sudut Hamburan
Kekeruhan Air Bersih Dari Rancang Bangun Alat Ukur Nephelometer.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013 : 345-348.
Riniatsih, I. 2016. Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan Dengan Sebaran Nutrien
Perairan di Padang Lamun Teluk Awur. Jepara. Jurnal Kelautan Tropis.
19(2):101-107.
38
Roem, M. 2013. Laju Produktifitas Biomassa Daun Halodule uninervis Padang
Lamun. Pulau Derawan. Jurnal Harpodon Borneo 6(2):153-162.
Russell, B.D., Connell, S.D., Uthicke, S., Muehllehner, N., Fabricius, K.E., Hall
Spencer, J,M. 2013. Future Seagrass Beds Can Increased Productivity Lead to
Increased Carbon. Jurnal Marine Pollution Bulletin. 73(2):463-469.
Ruswahyuni, MH,Widyorini, N. 2014. Analisis Laju Sedimentasi di Dearah
Padang Lamun Dengan Tingkat Kerapatan Berbeda di Pulau Panjang Jepara.
Semarang. Jawa Tengah. IPONEGORO JOURNAL of MAQUARES. 3(3):73-
79.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oseana. 30(3):21-26.
Santoso, B. Dharma, I.G.B.S, Faiqoh, E. 2018. Pertumbuhan dan Produktivitas
Daun Lamun Thalassia hemprichii (Ehnrenb) Ascherson di Perairan Tanjung
Benao. Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences. 4(2):278-285.
Subiakto, A.Y, Riniatsih, I, Santoso, G.W.S, Suryono. 2019. Hubungan
Kandungan Nitrat dan Fosfat Dalam Substrat Terhadap Kerapatan Lamun Di
Perairan Pantai Prawean . Jepara. Journal of Marine Research. 8(1):55-61.
Supriadi dan Arifin. 2005. Dekomposisi Serasah Daun Lamun Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo. Makassar. Jurnal Torani.
15(1):59-64.
Supriadi, Kaswadji, R.F,Bengen, D.G, Hutomo, M. 2018. Produktivitas
Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo. Makassar. Jurnal Akuatika.
1(2):159-168.
Supiyati, Halauddin, Arianty, G. 2012. Karakteristik dan Kualitas Air di Muara
Sungai Hitam Provinsi Bengkulu dengan Software Som Toolbox 2. Jurnal Ilmu
Fisika Indonesia. 1 (2): 67-73.
Supriyadi, I.H, and Kuriandewa, T.E. 2013. Seagrass Distribution at Small Ialand
Derawan Archipelago, East Kalimantan Province, Indonesia. Jurnal Oseanologi
dan Limnologi. 34(1):83-99.
Sjafrie, N.D.M, Hernawan, U.E, Prayudha, B, Supriyadi, I.H, Iswari, M.Y,
Rahmad, Anggraini, K, Rahmawati, S, Suyarso. 2018. Status Padang Lamun
Indonesia Ver.02. Pusat Penelitian Oseanaografi – LIPI. Jakarta Utara.
Tangke ,U., 2010. Ekosistem padang lamun. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan
Perikanan .Ternate . 3(1): 9-29.
39
Takaendengan, K. dan Azkab, M.H. 2010. Struktur Komunitas Lamun di Pulau
Talise. Sulawesi Utara. Jurnal Oseanologi Limnologi di Indonesia. 36(1):85-
95.
Tristanto R, Putri MA, Situmorang AP, Suryanti. 2014. Optimalisasi Pemanfaatan
Daun Lamun Thalassia Hempricii Sebagai Sumber Antioksidan Alami. Jurnal
Saintek Perikanan.10(1):26-29.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut Brilian Internasional.
Sidoarjo. 412.
Wahyudin, Y, Kusumastanto, T, Adrianto, L, Wardiatno, Y. 2016. Jasa
Ekosistem Lamun Bagi Kesejahteraan Manusia. Jurnal Omni-Akuatika.
12(3):29-46.
Yunitha, A., Yulianda, F., Wardiatno, Y., 2014. Diameter Substrat dan Jenis
Lamun di Pesisir Bahoi. Minahasa Utara. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
(JIPI). 19(3):130-1355.
Yuwono SB,Andrianto F, Bintoro A, 2015. Produksi dan Laju Dekomposisi
Serasah Mangrove (Rhizophora sp) di Desa Durai Dan Desa Batu Menyam
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari. 3(1):9-
20.
Zamrony, Y. dan Rohyani, I. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan
Pantai Teluk Sepi. Lombok Barat. Jurnal BIODIPERSITAS. 9(4):284-287.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Foto Stasiun satu foto stasiun dua
Lampiran 2. Jaring perangkap serasah
Lampiran 3. Sampel serasah
Lampiran 4. Pengamatan tutupan lamun
42
Lampiran 5. Pengukuran parameter perairan
Lampiran 6. Pengovenan Serasah
Lampiran 7. Pengayakan substrat
43
Lampiran 8. Buku identifikasi lamun
Lampiran 4. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut
Lampiran 9. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
Lampiran 10. Perhitungan Produksi Serasah
minggu jenis stasiun 1 stasiun 2
1 Thalassia hemprichii 3,89 2,60 Cymodocea rotundata 1,67 1,50
2 Thalassia hemprichii 4,51 2,81 Cymodocea rotundata 2,35 1,57
3 Thalassia hemprichii 4,58 3,01 Cymodocea rotundata 2,31 1,83
4 Thalassia hemprichii 4,68 3,14 Cymodocea rotundata 3,0 2,2
44
Lampiran 11. Perhitungan Laju Dekomposisi Serasah Lamun
Stasiun 1 0 7 14 21 28
Thalassia hemprichii 0 3,74 2,81 2,02 1,90
Cymodocea rotundata 0 5,43 2,86 2,11 1,92
Stasiun 2 0 7 14 21 28
Thalassia hemprichii 0 4,35 3,05 2,49 2,02
Cymodocea rotundata 0 5,75 3,65 2,63 2,05
Lampiran 12. Hasil Perhitungan Penutupan Lamun
Hasil rata-rata perstasiun
Jenis Tutupan lamun (%)
Stasiun 1 Stasiun 2
Enhalus acoroides 7,68 7,35
Thalassia hemprichii 8,51 6,41
Cymodocea rotundata 8,50 5,65
Cymodocea serrulata 8,59 4,83
Syringodium isoetifolium 8,11 5,14
rata-rata 39,4 29,73
Stdev 8,63 4,62
Lampiran 13. Hasil Pengukuran Parameter lingkungan perairan
stasiun 1 stasiun 2
parameter Titik
suhu 1 30,7 29,9
2 30,5 30,5
3 30,6 29,2
rata-rata 30,60 29,87
Stdev 0,10 0,65
salinitas 1 33 30
2 33 32
3 32 32
rata-rata 32,67 31,33
Stdev 0,58 1,15
DO 1 7,9 7,4
45
2 7,8 7,6
3 7,5 7,8
rata-rata 7,73 7,60
Stdev 0,21 0,20
pH 1 7 8,5
2 7,9 7,7
3 7.4 8,0
rata-rata 7,45 8,1
Stdev 0,64 0,40
kecerahan 1 100 100
2 100 100
3 100 100
rata-rata 100 100
Stdev 0 0
kedalaman 1 42 52
2 50 53
3 56 55
rata-rata 49,33 53,33
Stdev 7,02 1,53
Nitrat 1 0,006 0,0011
2 0,009 0,008
3 0,008 0,006
rata-rata 0,008 0,005
stdev 0,002 0,004
fosfat 1 0,009 0,005
2 0,007 0,011
3 0,012 0,008
rata-rata 0,009 0,008
stdev 0,003 0,003