Upload
lyquynh
View
228
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
OLEH : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )
Disusun Oleh :
EKA YULIASTUTI
NIM : S.330908004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.Dr.Adi Sulistiyono, SH.,MH ………. NIP. 196302091988031003
Pembimbing II Ismunarno, SH.,M.Hum ………. NIP. 196604281990031001
Mengetahui Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS. NIP. 130 345 735
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )
Disusun Oleh : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004
Telah disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS …………… ……… NIP. 130 345 735 Sekretaris Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH …………… ………. NIP. 196111081987021001 Anggota 1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH …………… ………. NIP. 196302091988031003 2. Ismunarno, SH.,M.Hum …………… ………. NIP. 196604281990031001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS ………………………… Ilmu hukum NIP. 130 345 735 Direktur Program Pror.Drs. Suranto, MSc,Ph.D ………………………….... Pasca Sarjana NIP. 131 472 192
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : EKA YULIASTUTI
NIM : S. 330908004
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :
”Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi “
(Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar)
Adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis
tersebut diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila terbukti dikemudian hari bahwa pernyataan saya tersebut diatas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis
dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2010
Yang Membuat Pernyataan
EKA YULIASTUTI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi” (Studi Pada Kejaksaan Negeri
Karanganyar).
Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan moril
serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan maupun
bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada :
1. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc.,Ph.D., Selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. H. Setiono SH.,M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Pror. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
MagisterIlmu Hukum, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi.
4. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH., selaku Pembimbing I yang banyak
membantu kelancaran penulis dalam menempuh studi serta dalam menyelesaikan
penulisan Tesis.
5. Bapak Ismunarno, SH.,M.Hum selaku Pembimbing II yang dengan tulus ikhlas
membimbing dan mengarahkan penulis.
6. Bapak / Ibu Tim Penguji Tesis Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
7. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganya serta Bapak
Faisal Banu selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus yang telah bersedia
membimbing penulis selama penulis mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri
Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
8. Ayah dan Ibu ku tercinta, yang selalu memberikan Doa yang tak terhingga kepada
penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
9. Adik-adik ku tersayang, Ahmad dan Wahyu, terimakasih atas kecintaan kalian
berdua, dan atas dukungannya.
10. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
11. Semua Pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sampaikan dalam penulisan Tesis ini
masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga dapat bermanfaat
bagi siapa peneliti selanjutnya. Meskipun dalam penulisan ini banyak kesalahan dan
kekhilafan, maka dimohon saran demi penyempurnaan penulisan ini. Akhirnya, semoga
Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua. Amin.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………… ii
PENGESAHAN …………………………………………………… iii
PERNYATAAN ………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………….. v
DAFTAR ISI ……………………………………………………… vii
ABSTRAK ……………………………………………………….. ix
ABSTRACT ……………………………………………………… x
BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………… 1
B. Perumusan Masalah ………………………………… 7
C. Tujuan Penelitian …………………………………… 8
D. Manfaat Penelitian ………………………………….. 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………….. 11
A. Landasan Teori ……………………………………. 11
1. Arti dan Pengertian Korupsi …………………. 11
2. Lembaga-lembaga Yang Berwenang dalam
proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi
1). Lembaga Kejaksaan ……………………… 26
2). Kepolisian ………………………………….. 27
3). Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) …. 32
3. Teori Penegakan Hukum ……………………. 34
B. Penelitian Yang Relevan ……………………………. 40
C. Kerangka Berpikir …………………………………. 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
BAB III. METODE PENELITIAN ………………………………. 42
A. Jenis Penelitian ………………………………………. 42
B. Jenis dan Sumber data ………………………………. 45
C. Tehnik Pengumpulan Data ………………………….. 46
D. Tehnik Analisa Data …………………………………. 46
E. Jadwal Penelitian …………………………………….. 48
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 49
A. Hasil Penelitian ……………………………………… 49
1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian ……… 49
2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ……… 58
B. Hasil Wawancara ……………………………………. 76
C. Pembahasan ………………………………………….. 81
BAB V. PENUTUP ………………………………………………… 104
A. Kesimpulan ……………………………………………. 104
B. Implikasi ……………………………………………….. 115
C. Saran …………………………………………………… 116
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 119
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
ABSTRAK Eka Yuliastuti, S. 330908004, 2010, Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada kejaksaan Negeri Karanganyar). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai Problematika yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar).
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah non-doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum ke-5. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang dikaji dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi jaksa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi (studi pada kejaksaan negeri karanganyar) adalah : (1) Pembuatan Undang-undang atau perundang-undangan yang masih rancu sehingga menyulitkan jaksa dalam proses penyidikan dan dukungan produk legislatif yang kurang memadai baik di Pusat (undang-undang), maupun di daerah (Perda), Obyeknya rumit karena berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, (2) Kurangnya personil penyidik kejaksaan, sarana dan prasarana yang belum memadai, kurang profesionalnya sumberdaya manusia atau penyidik dari Kejaksaan, Pelaku dilindungi korps / atasan / teman-temanya, Modus operandinya canggih baik dalam bidang pembukuan dan menggunakan media elektronik, dan pelaku menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Selanjutnya upaya-upaya yang dilakukan jaksa dalam menghadapi problematika tersebut adalah : Mempersiapkan para penegak hukum yang mempunyai keahlian khusus, mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penyidikan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tentang tindak pidana korupsi, meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem perundang-undangan yang ada seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 undang-undang tindak pidana korupsi, jaksa dan hakim sering bingung dalam menafsirkan isi darinpasal-pasal tersebut. Sebagai implikasinya, Apabila sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, akan terjadi stagnasi perkara korupsi, sehingga penyidikan kasus perkara korupsi terhambat, disarankan adanya peningkatan SDM melalui studi lanjut program strata II (Magister) dan strata III (Doktor) serta pelatihan yang relevan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
ABSTRACT
Eka Yuliastuti S.330908004. The Problems Encountered by The Public Prosecutors in Investigating the Corruption Offenses (A Study at the District Court of Karanganyar). Thesis: The Graduate Program in Law Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010. The objective of this research is to investigate and analyze the problems encountered by public prosecutors in investigating the corruption offenses (a study at the District Court of Karanganyar). This research used a non-doctrinal and method based on the fifth law concept. Its data were analyzed by using a qualitative analysis technique. Based on the results of the analysis on the problems encountered by the public prosecutors in investigating the corruption offenses, conclusions are drawn as follows: (1) The drafting of the prevailing laws and regulations is still contradictory so that it puts the public prosecutors in trouble to conduct investigation; the supports of legislative products, either from the central ones (central legislations) or the local ones (local legislations) are less adequate; and its object is very complicated because it shall include multi disciplinary sciences. (2) The public prosecutors lack investigators; the infrastructures and facilities are less adequate; the prevailing investigators are less professional; the corruption offenders are protected by their corps/ordinates/colleagues; its modus operandi (operating method) is sophisticated through the use of uneasily investigated book keeping methods and electronic devices; and the corruption offenders use certain ways to make the cases physically and non-physically undetectable. The efforts taken by the public prosecutors to encounter such problems are as follows: The public prosecutors prepare the law enforcers with special skills, conduct training to those related to the investigation of corruption offenses so that they master the laws and regulations against the corruption offenses, and call for improvement of the prevailing legislation systems to the law and regulation makers. For example, they require Articles 2 and 3 of the Corruption Act to be improved as the public prosecutors and judges are often confused in interpreting their contents. As an implication, if the ability of the human resources is not improved, the corruption offenses will remain stagnant or even become higher and the investigation of the corruption offenses will also be impended. Therefore, the ability of the human resources shall be improved through dispatching them to do graduate and postgraduate programs and to attend variety of relevant training.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik,
terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli
mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang
pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan
negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya,
korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi
penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada
umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin
dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang
eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang
pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus
diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Sejalan dengan dinamika masyarakat pelaksanaan pembangunan berkembang
cukup pesat, tetapi dalam berbagai bidang pembangunan nasional negara
Indonesianseperti Ideologi, Ekonomi, Sosial Budaya, pertahanan dan keamanan
terdapat adanya faktor penghambat yang berasal dari aparatur negara yang
justryseharusnya menjadi pengemban untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu
berupa perbuatan tindak pidana korupsi.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang
memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai
akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan
uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka
ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah
berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali
di negara-negara maju sekalipun.
Strategi preventif dibuat dan dilaksanakan dan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar
apabila agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan
tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-
akuratnya sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Strategi represif dibuat dan
dilaksanakan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara tepat kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam Korupsi.
In sum, an effective anti-corruption strategy is likely to remove the
opportunities for corruption; raise the salaries of civil servants and politicians; ensure
a high degree of policing through effective application of the formal rule of law and
the informal controls which encompass values; culture, moral and society
responsiveness; and provide a negative publicity as a deterrent.1
In Indonesia, corruption was a serious problem during the Dutch colonial
period as the salaries of the Dutch East India Company’s personnel were inadequate.
Clive Day bservant that these personnel “were underpaid and exposed to every
temptation that was offered by the combination of a weak native organization,
extraordinary opportunities in trade, and an almost complete absence of checks from
home or in Java” (Day, 1966: 00-103). Corruption became endemic during President
Sukarno’s rule because his disastrously inflationary budgets eroded civil service
salaries to the point where people simply could not live on them and where financial
accountability virtually collapsed because of administrative deterioration” (Mackie,
1970: 87-88).2
Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda
kehidupan masyarakat di Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri
1 Abdullah, N. R. W. (2008). Eradicating corruption: The Malaysian experience, JOAAG, Vol. 3. No. 1, Jurnal Internasional, www.google.com, Download Tanggal 2 Juli 2010.
2 Jon S.T. Quah, National University of Singapore, Asian Review of Public Administration, Vol XI, , No 2 Juli-Desember 1999), Comparing Anti-corruption Measures in Asian Countries: Lessons to be Learnt, www.google.com, Download Tanggal 1 Juni 2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
hingga saat ini, pemerintah dan rakyat senantiasa disibukkan dalam urusan
pemberantasan korupsi. Apabila kita perhatikan, beberapa peraturan di bidang
korupsi, jika diamati setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundang-
undangan, maka ternyata bahwa setiap pergantian atau perubahan undang-undang
senantiasa didasarkan pada “pertimbangan-pertimbangan” bahwa korupsi telah
banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang
ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat
dan kompleks.
Korupsi di Indonesia diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
lingkungan masyarakat dan penyelenggara negara. Pada tatanan penyelenggaraan
negara, korupsi menjalar mulai dari level pejabat lembaga negara di tingkat pusat
hingga level yang terendah sekalipun. Aparat negara saat ini sebagian besar sudah
terkontaminasi praktek korupsi baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Corruption is a serious problem affecting democracy and the economy and
engendering grave consequences for the security of goods and persons. Corruption is
to economic life and public life what doping is to sports, namely an illicit,
camouflaged means of breaking the rules to gain undue advantage.3
Meluasnya praktek korupsi di negara-negara yang sedang berkembang
menimbulkan kesan bahwa kata korupsi barangkali kata yang paling dikutuk orang,
bahkan sampai timbul ungkapan bahwa kebudayaan negara berkembang korupsi
merupakan ciri yang sukar diberantas. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa
tidak sedikit negara yang runtuh karena salah satu penyebab utamanya adalah
korupsi, akan tetapi banyak pula negara yang berhasil keluar dari kemelut Korupsi,
baik negara-negara yang sekarang sudah maju seperti Inggris, Perancis dan Belanda
maupun yang masih setengah maju seperti Korea Selatan dan Singapura.4
3 Thomas Cassuto , Efective Legal And Practical Measures For Combating Corruption : The French System, Jurnal Internasional, , www.google.com Download Tanggal 16 Juni 2010.
4 Junaidi Soewartojo, 2005, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran pengawasan dalam penanggulangan, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 25.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Semakin banyak bukti menumpuk tentang korupsi di negara-negara
berkembang, agaknya jelas bahwa pengaruh buruk jauh lebih besar daripada manfaat
sosialnya. Begitu pula dengan Tindak Pidana Korupsi dengan sedikit memikirkan
usaha-usaha untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi.
Modus operandi korupsi terbentang dari yang paling sederhana sampai yang
paling canggih. Paling sederhana adalah mengambil uang dari brankas atau rekening
dinas di suatu instansi. Versi yang lebih canggih banyak variannya, misalnya berupa
penundaan pencairan dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangunan.
Modus operandi delik korupsi berbeda dengan delik pada umumnya disamping
modus operandinya lebih rumit, juga dilakukan oleh mereka yang pada umumnya
mempunyai kadar intelektual atau pendidikan yang cukup tinggi, sebab itulah Erwin
E. Sutetherland menggolongkan mereka pada apa yang disebut “white collar crime”
(penjahat kerah putih)5. Bahkan muncul pula istilah “political corruption” oleh
karena pelaku tindak pidana korupsi di identifikasikan sebagai konspirasi antar
pejabat negara dan masyarakat yang bersifat kompleks. Istilah tersebut
menggambarkan pula keprihatinan masyarakat dan para ahli yang baik karena tindak
pidana korupsi sangat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
secara substansial, disamping mengakibatkan meningkatkan biaya-biaya pelayanan
sosial sebaliknya menurunkan kualitas pelayanan sosial.6
Permasalahan dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi berdampak pada
gangguan stabilitas politik dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai-
nilai demokratis, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan
yang berkesinambungan dan melemahkan penegakan hukum. Korupsi dalam
perkembangannya kini bukan hanya merupakan kejahatan yang berdiri sendiri tetapi
juga berhubungan sinergi dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, seperti kejahatan
terorganisir dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Lebih jauh kasus-
5 Muladi, Beberapa Dimensi Dari Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran Hukum Pidana Nasional ke
IV kerjasama indonesia –Belanda, hal 3 6 Ibid, hal 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
kasus korupsi juga mengancam aset-aset yang merupakan sumber daya dari Negara
sehingga berpotensi menimbulkan kemiskinan rakyat.
Korupsi di Indonesia dirasakan semakin meluas dan meningkat, baik dari
jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara serta kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Meningkatnya korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
terhadap kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi
dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan tindak pidan korupsi menjadi
perhatian serius pemerintah, dengan adanya ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No.XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta dengan adanya UU No. 28
tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Politik hukum di Indonesia menempatkan pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa diantaranya
dengan menghilangkan hambatan prosedur dalam pelaksanaan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, sebagai Undang-undang hukum pidana khusus yang memuat
tentang hukum pidana materiil dan formil sebenarnya diharapkan mampu sebagai
perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik secara preventif maupun represif.
Berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-518/A/J.A/11/2001
tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-123/J/A/11/1994
tanggal 7 November tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Korupsi, modus
operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri
atau karena adanya laporan/ informasi tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Pada hakikatnya, Kejaksaan sebagai institusi yang berwenang menangani
Tindak Pidana Korupsi dapat bertindak baik sebagai penuntut umum yang
mendapatkan hasil penyidikan (BAP) dari kepolisian mengenai tindak pidana korupsi
dan dapat pula bertindak penyidik langsung tindak pidana korupsi.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis mempunyai
kedudukan sentra dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang
dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus Litis ( Procureur die de procesvoering
vaststels ) kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana
( executive amtenaar ). Masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat
berfungsi secara optimal dalam menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta dapat menjadi tulang punggung reformasi. Sebab
pada dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai
prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.
Dalam hal penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan dapat melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi dengan dasar pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-
Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya
sebagai Penuntut Umum Tunggal (KUHAP), Kejaksaan akan melakukan penuntutan
Tindak Pidana Korupsi. Penanganan Tindak pidana di Kejaksaan dimulai dengan
penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti permulaan
yang cukup, maka proses penyidikan diteruskan oleh seksi pidana khusus. Surat
Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26
November 2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi
se Indonesia menggariskan agar penyidikan diselesaikan dalam waktu 2 (dua) bulan.
Untuk mendorong kinerja kejaksaan, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No.
5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Strategi penegakan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung
dengan instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang
Percepatan pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden yang salah satu diantaranya
ditujukan kepada khusus kepada Jaksa Agung berisi:
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidanan korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang
Negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/penuntut Umum dalam rangka
penegakan hukum.
c. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis
transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya
penegakan hukum dan pengendalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi.
Selain Kejaksaan, KPK dan Kepolisian juga berwenang menangani kasus
Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi, Kejaksaan sering
mengalami hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi.
Kejaksaan seringkali dinilai kurang kooperatif. Sorotan tajam yang mengemukakan
terhadap institusi penegakan hukum termasuk kejaksaan RI, baik dalam tugas
penyidikan maupun dalam tugas penuntutan antara lain karena Kejaksaan RI
dipandang tidak mandiri dan independent sebagaimana terlihat pada penyelesaian
perkara-perkara.
Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP
akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik
menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia
yang diperbarui (S.1941 Nomor 44) pasal 53 (1) yang dimaksud dengan penyidik
ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, Polisi umum yang sekurang-kurangnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa
Agung.
Di dalam praktek, seringkali ditemukan pula bahwa untuk tindak pidana
korupsi hanya berupa informasi saja yang dilaporkan. Bila informasi perkara korupsi
tersebut hanya melingkupi satu kabupaten maka cukup ditangani Kepala Kejaksaan
Negeri setempat, namun bila meliputi beberapa kabupaten maka ditangani oleh
Kejaksaan Tinggi.
Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007 hanya dapat menyelesaikan
pencapaian penanganan perkara penyelidikan, penyelidikan masing-masing sejumlah
2 (dua) perkara / kasus Tindak Pidana Korupsi yang terjadi diwilayah hukum
Kejaksaan Negeri Karanganyar. Sedangkan untuk tahun 2008 sama sekali tidak dapat
menyelesaikan pencapaian penanganan perkara baik dalam tahap penyelidikan,
penyidikan sampai ke tahap penuntutan. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan Negeri
Karanganyar pada tahun 2007-2007 tidak dapat memenuhi target sebagaimana dalam
S.E Jaksa Agung yang ditindak lanjuti dengan Surat JAM PIDSUS.
Dari latar belakang masalah tersebut bahwa ternyata Jaksa Penyidik didalam
hal menangani proses penyidikan tindak pidana korupsi menimbulkan problematika.
Apa yang menyebabkan terjadinya problematika penyidikan tindak pidana korupsi
inilah yang layak untuk diteliti agar dapat menemukan faktor yang menjadi penyebab
terjadinya problematika, padahal sudah ada Instruksi Presiden serta surat Edaran
Kejaksaan Agung tentang percepatan penanganan kasus tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya
ilmiah berbentuk tesis dengan judul “PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI
JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
B. PERUMUSAN MASALAH
Guna memberikan arah dalam pembahasan masalah maupun untuk mencapai
tujuan penelitian, maka akan dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang
perlu diteliti dan dibahas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan
yang akan diteliti meliputi :
1. Apakah problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana
Korupsi.?
2. Apakah upaya yang dapat dilakukan Jaksa untuk mengatasi problematika
tersebut.?
C. TUJUAN PENELITIAN
Untuk dapat mencapai sasaran yang di inginkan sebagai pemecahan masalah
sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka dalam penelitian ini
mempunyai tujuan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi.
2. Untuk mengetahui bagaimana usaha yang dapat dilakukan Jaksa dalam
mengatasi problematika penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
D. MANFAAT PENELITIAN
Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidaklah sia-sia, maka setiap
penelitian berusaha untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun
manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada
umumnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan
tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan
informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan
ilmiah bidang hukum lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang
lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum agar
dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan
ataupun kebijakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Arti Dan Pengertian Korupsi
Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum
Indonesia sejak adanya Penguasa Militer Nomor PRT / PM-08 / 1958
tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam pasa 1 ayat
(a) yang menyatakan bahwa mengadakan penyelidikan harta benda
seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt / Pm/ 06 / 1957 Penguasa Militer Berwenang pula
mengadakan penyelidikan terhadap harta setiap orang atau badan di dalam
daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.
‘Corruption’ is a very broad term. It covers fraud (theft through
misrepresentation), embezzlement (misappropriation of corporate or public
funds) and bribery (payments made in order to gain an advantage or to avoid
a disadvantage). The different types of corruption are likely to be closely
linked. It is not easy to define a corrupt deal in a few words because
there are a number of elements to the transaction. It is an act of theft (and
hence an offence against human relationships), but it is a very particular kind
of theft. One definition that has the virtue of simplicity (but which needs
unpacking) is “the act by which ‘insiders’ profit at the expense of ‘outsiders’
”. This can convey the ideas of abuse of position, offending against
relationships, and underhandedness.7
Para ahli hukum dalam memberikan pengertian korupsi sangatlah
bervariasi, sedangkan dalam peraturan perundang-undangan KUHP maupun
7 Bryan R Evans, The Cost of corruption, A discussion paper on corruption, development and the poor,
Jurnal Internasional, www.google.com. Download tanggal 20 juni 2010.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
dalam undang-undang tindak pidana korupsi sama sekali tidak terdapat satu
pasalpun yang memberikan definisi korupsi secara jelas.
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-
mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada
masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu
berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman.
Kata Korupsi dalam bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari
bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruptie” yang
selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Korupsi”.
Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion
Webster Dictionary8 diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak
jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian ,
sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,dsbnya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9
Secara harfiah arti korupsi10 dapat berupa : kejahatan, kebusukan,
dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran11. Perbuatan yang
buruk, sepeti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.
Perbuatan yang kenyataaan yang menimbulkan keadaan bersifat buruk,
penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, seperti
kata diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat.
Pengertian tindak pidana korupsi adalah salah satu dari hukum pidana
khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan
hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta
apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak
langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan
penyimpangan keuangan dan perekonomian negara.
8 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law dictionary, ST. Paul Minn West Publishing, hal. 35. 9 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, hlm 118. 10 Lilik Mulyadi, ibid, hlm. 16 11 WJS Poerwadarminta, Loc cit. hlm 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Sedangkan dalam definisi yang formal adalah merupakan tindakan
yang dilakukan oleh seorang pejabat kekuasaan untuk mengambil secara
melawan hukum sejumlah harta kekayaan yang terbilang atau yang
seharusnya akan dibilangkan sebagai harta kekayaan negara, sebagian
literatur merumuskan korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status uang yang
menyangkut pribadi ( perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau
melanggar aturan-aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi. Definisi-
definisi ini tidak statis karena pemahaman masyarakat tentang apa yang
disebut corup itu berkembang, sepanjang waktu masyarakat lambat laun
mampu membuat perbedaan yang lebih tajam antara suap dan tindakan timbal
balik atau transaksi dan semakin mampu membuat perbedaan ini berlaku
dalam praktek.
Dalam arti sempit, korupsi berati pengabaian standar perilaku tertentu
oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) mendefinisikan korupsi
sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas
demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Baharudin Loppa12 membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua)
bentuk yaitu sebagai berikut :
1. Korupsi yang bermotif terselubung
Yakni korupsi sepintas kelihatannya bermotif politik tetapi secara
tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang belaka.
Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan menerima si
pemberi suap menjadi Pegawai Negeri atau di angkat dalam suatu jabatan.
Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak
memperdulikan lagi janji kepada orang yang memberi suap tersebut yang
pokok adalah mendapatkan uang tersebut.
12 Baharudin Loppa dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta, hal. 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2. Korupsi yang bermotif ganda
Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriyah kelihatannya hanya
bermotifkan mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain yaitu
kepentingan politik.
Contoh, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar
dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil
keputusan memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun
sesungguhnya si penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan
memberikan hasil kepadanya.
Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkausa dan
mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya namun walaupun demikian motif korupsi
tetap dijaga rahasianya. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa
uang. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran
hukum. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas
yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Setiap perbuatan
korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan politik atau
umum ( masyarakat ). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan
kepercayaan.
Menurut Carl J. Friesnich sebagaimana dikutip oleh Martiman
Prodjohamidjojo, mengatakan bahwa apabila seseorang memegang kekuasaan
yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat
yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang
tidak diperbolehkan Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian
benar-benar mambahayakan kepentingan umum.13
Secara hukum, pengertian korupsi adalah “tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan definisi korupsi menurut
organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut :
“Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya kepada mereka”.
Korupsi di mana pun dan kapan pun akan memiliki ciri khas, ciri
tersebut bisa bermacam-macam di antaranya14 :
1. Melibatkan lebih dari satu orang; 2. Korupsi tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri atau anggota
birokrasi negara, tetapi terdiri juga dari Organisasi usaha swasta; 3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam
tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk tunai, benda atau wanita;
4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya; 5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak
selalu uang; 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau masyarakat umum; 7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma, tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat; 8. Di bidang swasta korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang
dan sebagainya untuk membuka rahasia perusahaan, tempat seorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3
mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut:
13 Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Kekuasaan Kehakiman dan Kewenangan Mengadili. Ghalia Indonesia,
Jakarta. hlm.10 14 Ibid, hlm.10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
a. Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan,kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara....”
Menurut Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971). Rumusan delik pada Undang-
undang N0.3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dan
Undang-undang No.24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun
sistmatikanya. Sehingga ada dua kelompok delik korupsi yaitu delik korupsi
yang selesai (vooltoid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan
(convenant).
Menurut Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar
delik korupsi menurut rumusan Undang-undang No.3 tahun 1971, dengan
perubahan sebagai berikut:
1. Memperluas subyek delik korupsi.
2. Memperluas pengertian pegawai negeri.
3. Memperluas pengertian delik korupsi.
4. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara.
5. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil.
6. Subyek korupsi dikenakan sanksi.
7. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah memberantas
delik korupsi sanksi pida berbeda dengan sanksi pidana undang-undang
sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
8. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasi oleh Jaksa Agung, agar
dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh
perlindungan hak-hak asasi.
9. Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan
keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan
pembuktian terbalik terbatas.
10. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi.
11. Akan dibentuk komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dua tahun
mendatang.
Delik korupsi menurut Undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok
besar, yakni, kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri
dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi. Sedangkan
definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undamg-undang ini.
Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar dari
delik korupsi menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, dengan beberapa
perubahan yang antara lain penyebutan unsur-unsur yang langsung yang
terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 Undang-undang No. 20
Tahun 2001.
Perumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal Undang-Undang
Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dimulai
dengan kata “setiap orang”, yang diberi makna orang atau perseorangan atau
termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah sekumpulan
orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum dan dapat terjadi subyek tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Lebih lanjut perumusan ciri-ciri tindak pidana korupsi15 sebagai berikut : 1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan; 2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat
umum; 3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan
khusus; 4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang
yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu; 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak; 6. Adabya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk unag atau
lainnya; 7. Terputusnya kegiatan ( korupsi ) pada mereka yang menghendaki
keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya; 8. Adanya bentuk usaha menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk-bentuk
pengesahan hukum; dan 9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang
melakukan korupsi.
Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-
macam pula, dan artinya pula tergantung dari segi mana pendekatan itu
dilakukan. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti yang halnya yang
dilakukan oleh Syed Husien Alatas dalam bukunya “ He Sociology of
Corruption” yang menyatakan bahwa istilah korupsi apabila seorang pegawai
negeri menerima pemberian yand di sodorkan oleh swasta dengan maksud
untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa agar
memberikan perhatian istimewa untuk kepentingan si pemberi. Akan lain
halnya bila dilakukan pendekatan normatif, atau pendekatan politik maupun
ekonomi.
Hunington16 menyatakan : ”Akan tetapi tidak berati dengan adanya pola
korupsi ditingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan
untuk mobilitas keatas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka.
Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat mereka akan
dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai
15 SH. Alatas, 1987, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerbit LP3ES, Jakarta, vii. 16 Mochtar lubis dan James C. Scoot, 1977, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, LP3ES,
Jakarta, hal. 67.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada
harapan untuk naik pangkat dan kesempatn yang ada hanya bagi para jendral,
maka sistem terbuka tersebut akan digoncangkan oleh kekuasaan. Dalam
masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya
tergantung pada mobilitas keatas”.
Lain halnya jika melihat korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang
dapat dikualifikasikan sebagia tindak pidaan korupso secara tegas diatur
dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus, oleh karena itu disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang
berbeda dengan hukum pidana umum, seperti halnya adanya penyimpangan
hukum acara pidana.
Apabila dikaji secara mendalam maka tindak pidana korupsi
sebenarnya tidaklah terlepas dari dan berkaitan erat dengan perbuatan-
perbuatan tindakan lain yang diatur dalam perundang-undang lainnya lainnya,
misalnya undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan lain sebagainya.
Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks, dengan faktor penyebab
seseorang pelaku berbuat korupsi antara lain faktor internal maupun
eksternal. Hal ini dikatakan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa aspek-aspek
penyebab seseeorang berbuat korupsi antara lain :
a. Dorongan dari dalam diri sendiri ( keinginan, hasrat, kehendak dan
sebagainya);
b. Rangsangan dari luar ( dorongan teman-teman, adanya kesempatan,
kurang kontrol dan sebagainya);
Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban
normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau
melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi
kepentingan pribadi.
Menurut Bambang Poernomo17 berbicara kejahatan korupsi akan
berhubungan dengan faktor-faktor :
1. Kelemahan dalam kegiatan penegakkan hukum yang berkaitan manipulasi penyelenggaraan penerapan hukum secara tidak adil dan kekebalan bagi para pelanggar hukum dengan beraneka imbalan yang diatur dengan rapi;
2. Mekanisme kegiatan dewan legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilu sering berkaitan dengan aktivitas industriawan dan perdagangan;
3. Melalui sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha akan lebih mudah menjurus untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan;
4. Sistem koneksi di berbagai bidang; 5. Penyelenggaraan pemilihan dengan pemungutan suara berbeda
dalam lingkungan kegiatan politik.
Korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan
dalam suatu jabatan sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan
dengan penyalahgunaan kekuasan, dalam perspektif kejahatan yang
terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk
membangun diri sendiri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisasi.
Didalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran
yang dipakai oleh seorang oknum tunggal.
Korupsi yang terorganisir lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan
struktur organisasi yang ada. Berbeda dengan kejahatan yang terorganisasi
yang membangun struktur organisasinya dilakukan oleh anggota mereka
sendiri. Didalam korupsi yang terorganisir terdapat beberapa kepala
organisasi sedangkan pada kejahatan terorganisir hanya seorang kepala yang
berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala di dalam korupsi yang terorganisir
17 Bambang Poernomo, 1994. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta. hal. 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
bertindak secara otonom meskipun seringkali mereka saling tergantung satu
sama lain. Mereka akan menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak lain.
Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu
faktor tersebut adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope18 kemiskinan
merupakan faktor penyebab korupsi, meskipun bukan satu-satunya.
Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan
( BPKP ) tahun 1997 disebabkan aspek individu pelaku korupsi seperti sikap
tamak, moral dan iman yang lemah sehingga tidak dapat menahan godaan
hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar.
Faktor yang kedua adalah aspek organisasi, seperti kurang adanya
teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan
manajemen cenderung meniyupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga,
aspek masyarakat tempat iindividu dan organisasi berada seperti iindividu
dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang
ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari
bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hany Negara,
namun masyarakat luas luas juga akan terkena dampak korupsi itu.
Andi Hamzah19 menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi,
yakni :
1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP di pandang jurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri;
3. Manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
18 Rohim, 2008, Modus Operandi tindak Pidana Korupsi, PT, Pena Multi Media, Jakarta, hal. 14 19 Andi Hamzah dalam Parman Suparman, Korupsi di Indonesia, masalah dan pemecahannya, Gramedia,
Jakarta, hlm. 15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai hal-hal sebagai
berikut :
1. Perumusan Delik Sebagai Delik Formil
Adanya kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 UUPTK menunjukkan
bahwa delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Sehingga
adanya kerugian negara / perekonomian atau tidak bukanlah
merupakan hal yang senantiasa essetialita artinya tidak merupakan
unsur yang mutlak sehingga tidak perlu dibuktikan secara obyektif.
2. Pidana Minimal Khusus
Penggunaan ancaman pidana minimal khusus beralasan agar pelaku
korupsi dapat dijatuhi pidana seberat-beratnya. Namun yang menjadi
masalah adalah belum adanya atau tidak disertai dengan aturan atau
pedoman pemidanaan yang menerapkan ancaman pidana khusus
tersebut. Hal ini disebabkan dalam KUHPidana sendiri tidak
mengatur masalah ini, sehingga tidak jelas apakah pidana minimal ini
dapat diperingan ( dalam faktor yang meringankan ) dan dapat
diperberat ( dalam faktor yang memberatkan ).
3. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapus dipidanya
Pelaku
Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa
pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya seorang
pelaku. Upaya pengembalian kerugian negara tetap ada dan tidak
dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf kesalahan
tersangka atau terdakwa20.
20 Putusan MA RI Nomor 14012/Pid/1999 tertanggal 15 Juni 1999
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Menurut Lilik Mulyadi21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak
mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi
korupsi menurut Undang-undang ini dapat di interpretasikan dari rumusan
perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum karena tindak pidana.
Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 ini secara tegas
menyatakan bahwa penegakkan hukum untuk pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menghadapi berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakkan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan sebuah “badan khusus negara” yang mempunyai
wewenang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk
upaya pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan
sebagai extra ordinary crime.
Lebih jauh melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk
komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ( KPK ), yang tenaga
penyidiknya diambilkan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.
Menurut Romli22 pembentukan korupsi ini merupakan paradigma baru
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan sebagai
berikut :
1. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatn yang sistematik dan
meluas sehingga bukan saja merugikan keuangan negara melainkan
juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan sosial
masyarakat luas;
2. Penyelesaian kasus korupsi dengan karakteristik tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan metode-metode dan lembaga-lembaga yang
bersifat konvensional melainkan harus dengan metode baru dan
lembaga baru;
21 Lilik Mulyadi,2000, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 5. 22 Romli Atmasasminta, 1995, Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi, CV. Bandar maju.
Bandung, hlm. 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
3. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah saatnya
dilakukan dengan senjata pamungkas yang dapat melindungi hak asasi
seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus dapat membatasi hak asasi
seorang tersangka atau terdakwa. Senjata pamungkas ini hanya dapat
dibenarkan dalam bentuk undang-undang dan tidak dalam bentuk
peraturan perundang-undangan lainnya.
Corruption takes many forms. It may be incidental (bribes to junior public officials, little macro-economic cost, but hard to curb), systematic (affects whole areas of government and harms revenue, trade and development) or systemic (makes honesty irrational and has a huge developmental impact). Corruption infringes the fundamental human rights to fair treatment, unbiased decision-making, and secure civil and political status. Through corruption the public services on which the poor depend are starved of funds, foreign investors are driven away, and environmental protection measures are flouted23.
Selanjutnya menurut David Bayle24 menginvetarisasi “biaya-biaya”
yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu :
1. Tindak Korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah ( misalnya, korupsi dalam pengangkatan jabatan pejabat atau salah alokasi sumberdaya menimbulkan in efisiensimdan pemborosan );
2. Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat ( dan berlebihan ) dalam situasi yang sulit diramalkan, atau melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang baru, dan dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta;
3. Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi ( pembayar pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang sama );
4. Korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan mengurangi jumlah dana yang disediakn untuk publik;
5. Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi;
6. Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan, dan akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah;
23 Bryan R Evans, The cost of corruption, A discussion paper on corruption development and the poor,
Jurnal Internasional, www.google.com. Download Tanggal 12 Juli 2010. 24 David Bayle dalam Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, PT. Pena Multimedia,
Jakarta, hlm. 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
7. Jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka public akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi public untuk tidak boleh kurup juga;
8. Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama dimasa mendatang;
9. Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produkvitas, karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan obyektif mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan;
10. Karena korupsi merupakan ketidakadilan yang dilembagakan mau tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan;
11. Bentuk korupsi yang paling menonjol dibeberapa negara yaitu “uang pelicin“, atau “uang rokok “ menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan berdasarkan kebutuhan manusia.
Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam sistem
pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata
pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan,
rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan
publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,
terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.
The fight against corruption is central to the struggle for human
rights. Corruption has always greased the wheels of the exploitation and
injustice which characterise our world. From violent ethnic cleansing to
institutionalized racism, political actors have abused their entrusted powers
to focus on gains for the few at great cost for the many.
For too long the anti-corruption and human rights movements have
been working in parallel rather than tackling these problems together.
Through this first and innovative report on human rights and corruption, the
International Council on Human Rights Policy (ICHRP) has provided an
important conceptual mendations emphasise a need to address the
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
destructive relationship between corruption and human rights and find ways
to mitigate its negative impacts, which can be direct, indirect and remote25.
2. Lembaga - Lembaga Yang Berwenang dalam Proses Penanganan dan
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi
1. Lembaga Kejaksaan
Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
memberikan penegasan dasar hukum kewenangan penyidikan Tindak
Pidana Korupsi bagi Kejaksaan antara lain :
Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan RI sebagai berikut :
“ Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menempuh beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Pasal 30 ayat (1) huruf d undang-undang Nomor 16 tahun 2004 secara
implisit menyebutkan : Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan Undang-undang. Hal ini ditegaskan pula dalam penjelasan
pasal 30 ayat (1) huruf d sebagai berikut : Kewenangan dalam ketentuan ini
adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo
25 Corruption and Human Rights: Making the Connection, 2009. International Council on Human Rights Policy. Versoix, Switzerland. www.google.com. Download Tanggal 3 Juli 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Kepolisian
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mempunyai kewenangan
sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan pasal 1
butir ke 1 KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tugas26 dan wewenang27 kepolisian negara republik Indonesia tersirat
dalam ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai berikut :
Pasal 13 :
Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah:
a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam pasal 14 :
(1). Dalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13,
kepolisian negara republik indenesia bertugas :
a). Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;
b). Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
26 Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 27 Pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
c). Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d). Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e). Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan masyarakat umum;
f). Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g). Melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan peundang-undangan lainnya;
h). Menyelenggaraka identifikasi kepolosian, kedokteran kkepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian;
i). Melindungi keselmatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasai manusia.
j). Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang.
k). Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dan lingkup tugas kepolisian; serta
l). Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 )
huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 16 :
(1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik
Indonesia berwenang untuk ;
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, adalah
tindakan penyidikan dan penyelidikan yang dilaksanakan jika
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.
Dalam proses pemeriksaan tindak pidana korupsi memang
mendapatkan prioritas utama dalam penyelesaian dibandingkan dengan
perkara lainnya, hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 25 Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut :
“ penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Oleh karena dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengatur mengenai proses
penyidikan dan pemeriksaan perkara secara khusus, maka proses
pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi tetap mengacu kepada
ketentuan pasal 7 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
tentang wewenang Penyidikan (POLRI).
Wewenang tersebut antara lain adalah :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan terdakwa; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam melakukan tugasnya maka penyidik wajib menjunjung tinggi
hukum yang berlaku, antara lain membuat berita acara pelaksanaan tentang :
1. Pemeriksaan tersangka; 2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Pemasukkan rumah; 6. Penyitaan benda; 7. Pemeriksaan surat; 8. Pemeriksaan ditempat kejadian; 9. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; 10. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan KUHAP ( pasal 75 KUHAP).
Penyidikan menurut pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan
tersangkanya.
Dari rumusan tersebut maka unsur-unsur pengertian penyidikan itu
sebagai berikut28 :
1). Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai
kegiatan / pekerjaan yang antara satu dengan yang lainnya saling
berhubungan atau yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya.
2). Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut
dengan penyidik yang oleh pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “
Pejabat Negara Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang
untuk melakukan penyidikan”.
3). Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur
menurut Undang-undang.
4). Tujuan dari pekerjaan penyidik ialah (1) mencari dan mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi (2) menemukan tersangkanya.
Dari unsur keempat dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan
penyidikan telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana
tersebut belum terang dan belum diketemukan siapa pembuatnya /
pelakunya. Jadi masih bersifat dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan
hasil penyelidikan sehingga dasar untuk menarik dugaan adanya / terjadinya
tindak pidana tersebut adalah adanya alat bukti permulaan, yang dalam
praktek didasarkan pada adanya laporan polisi atau hasil temuan penyidik.
Dalam proses penyelesaian kasus korupsi maka terdapat
penyimpangan / perbedaan mengenai kewenangan penyidik antara lain
28 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dalam ketentuan pasal 30 UU Nomor 31 tahun 1999 yang disebutkan antara
lain “
“ Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana yang sedang diperiksa”.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
KPK ini terbentuk berdasarkan amanat Undang-undang No.30 tahun
2002 , KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independent
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan undang-undang
tersebur, KPK memiliki kewenangan atribusi karena telah ditentukan dalam
perundang-undangan, yang mempunyai tugas sangat luas, bukan hanya
tugas penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga tugas lain yang strategis dan
sama pentingnya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Tugas KPK yang pertama adalah Koordinasi dengan berbagai instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti
Kejaksaan dan Kepolisian serta badan-badan lain yang berkaitan seperti
BPK, BPKP, Inspektorat Jendral dan Badan Pengawasan Daerah.
Pelaksanaan koordinasi KPK, adalah menjaga agar pelaksanaan undang-
undang tidak saling tumpang tindih. Bersama instansi yang telah ada dapat
disusun suatu jaringan kerja ( networking ) dan menempatkan instansi yang
telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.29
Tugas Koordinasi, meliputi :
a). Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi;
b). Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi;
c). Meminta informasi tentang kegiatan tentang kegiatan pemberantasan korupsi kepada instansi yang terkait;
d). Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang terkait;
29 Ruslan, Fungsi Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), available at Bening Kliping Edisi
320 / Minggu II / Agustus 2004, dikutip dari pikiran Rakyat, 31 Juli 2004, hal. 20.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
e). Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan korupsi.
Tugas koordinasi ini, dalam keadaan tertentu dapat berkembang ke
tugas supervisi seperti melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan
terhadap instansi, yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan selanjutnya dengan alasan tertentu
dapat mengambil alih tugas dan wewenang institusi tersebut. Terkait dengan
hal ini kewengan KPK adalah terkait dan bebas, artinya disatu sisi KPK
adalah pelaksana dari pada Undang-undang, tetapi disatu sisi sesuai dengan
tugas lapangan, KPK berhak membuat langkah-langkah lebih konkrit sesuai
dengan tugasnya yang telah diamanatkan Undang-undang. Selain itu KPK
bertugas juga untuk memantau instansi yang melaksanakan pelayanan
publik. Pengambilalihan tugas penyidikan dan penuntutan oleh KPK
tersebut, dengan pertimbangan :
• Laporan masyarakat mengenai tindak pidana Korupsi yang tidak ditindak
lanjuti.
• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau
• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3. Teori Penegakan Hukum
Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum
merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama
warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu
sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan
tujuan arti hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam
masyarakat.30 Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan manusia,
misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam
masyarakat pasar dan sebagainya. Disamping itu juga untuk mencegah
selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan
antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga.
Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun
sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang diciptakan untuk
dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga
masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib
dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum tersebut.
Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak
hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa
didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota
masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak hambatan
dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-macam.
Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan
seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian
diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga
masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma,
hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan sanksi.31 Seringkali
30 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta,
hlm 13. 31 Soetandyo Wignjosoebroto, 1986, Mengembangkan Ketaatan di Sanubari Warga Masyarakat
Lewat Proses Belajar, makalah FISIP UNAIR, Surabaya, hlm 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan karena
kondisi-kondisi obyektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran
(manggung) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementar pelanggar norma lepas dari
sanksi yang seharusnya dijatuhkan.32 Disamping itu kadar ketaatannya juga
dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau dari hukumnya. Sehingga tidak
jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan
maksud dan tujuan peraturan dengan perilaku yang diwujudkan.
Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak
hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah
Undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik ( perancangan
undang-undang ) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus
memusatkan tugasnya dengan baik pula.
Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit
masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai
dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada
dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami
bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami dulu bidang pekerjaan
hukum.
Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum adalah
pelaksanaan suatu kebijakan atau suatu komitmen yang bersangkutan dengan 5
faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau
diterapkan;
32 Ibid hal 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan
hukum.33
Purnadi Purbacaraka yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan
terdapat ada 9 ( sembilan ) pengertian yang diberikan oleh masyarakat
mengenai arti hukum yaitu34 :
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan. b. Hukum sebagai disiplin. c. Hukum sebagai kaedah. d. Hukum sebagai tata hukum. e. Hukum sebagai petugas (hukum). f. Hukum sebagai keputusan penguasa. g. Hukum sebagai proses pemerintahan. h. Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.
Dalam pandangan lain hukum merupakan salah satu proses (produksi)
manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan
ditelaah melalui interaksi yang berlangsung dimasyarakat. Fenomena ini
mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang
berkembang dimasyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam
kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum35.
Dalam pada itu I.S. Susanto mengungkapkan bahwa untuk memahami makna
hukum akan sangat ditentukan oleh persepsi orang tentang apa yang disebut
hukum36. Disisi lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk memahami
apa yang merupakan hukum perlu dipahami adanya relasi hukum, sains, fiksi
dan mistisme. Adanya pergeseran dari logika analitis menjadi logika sintesis,
33 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm, 5 34 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum. PT Citra Aditya Bakti.
Bandung, hlm. 4. 35 Anthon f. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme
Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 26 36 Anthon F susanto, 2007. Hukum dari Concilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif.
PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dengan tawaran keilmuwan bagi hukum yang asalnya berada pada domain
terkotak menuju wilayah hukum integrasi dan rumit37.
Sementara Van Hoecke atau Meuwismen menyebutkan beberapa ciri
objektif dari hukum adalah sebagai berikut38 :
1). Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang;
2). Hukum memiliki satu sifat lugas dan obyektif;
3). Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati;
4). Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang dinamakan keberlakuan ( berlaku, gelding ) yaitu aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis;
5). Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal;
6). Hukum itu menyangkut obyek dan isi dari hukum.
Syarat pertama untuk pelaksanaan Undang-undang yang efektif adalah
bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan suatu keputusan
hukum mengetahui betul apa yang harus mereka lakukan seperti halnya yang
diharapkan oleh pembentuk undang-undang untuk kepentingan masyarakat.
Berhubungan dengan itu, maka bekerjanya hukum oleh penegak hukum
haruslah menunjukkan rumusan yang jelas dan mudah dipahami serta dapat
dikerjakan. Oleh karena itu dengan meminjam model dari Seidman, suatu
peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-harapan yang
hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Faktor-
faktor yang turut menentukan bagaimanan respon yang akan diberikan oleh
pemegang peran antara lain39 :
1). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya
37 Anton F Susanto, Loc cit, hal, 28. 38 Meuwismen terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 35-37. 39 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT, Suryandaru Utama, Semarang,
hlm. 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2). Aktivitas dari lembaga pembuat hukum
3). Seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran.
Hukum sebagai idealisme memiliki hubungan yang erat dengan
konseptualisasi keadilan secara abstrak. Apa yang dilakukan oleh hukum
adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh
masyarakatnya kedalam bentuk yang konkret, berupa pembagian atau
pengolahan sumber daya kepada masyarakat. Hal demikian itu berkaitan erat
dengan perkembangan masyarakat atau negara yang berorientasi
kesejahteraan dan kemakmuran. Hakikat dari pengertian hukum sebagai suatu
sistem norma, maka sistem hukum itu merupakan cerminan dari nilai-nilai
dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-
sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok meraka. Berkenaan dengan hal
tersebut maka guna memaknai hukum sebagai cita hukum haruslah dipahami
sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan.
Aspek nilai yang terkandung dalam cita hukum semakin penting artinya dan
secara instrumental berfungsi, tertutama bagi para pembuat kebijakan (
tecnical policy ). Dimensi nilai ini bukan saja pada saat pembentukan
peraturan hukum melainkan juga pada saat peraturan itu hendak di
implementasikan.
Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah yang mantab dan mengejawantahkan dan sikap sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.40 Konsepsi yang mempunyai
dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan
tampak lebih konkrit.
40 Soerjono soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, PT. Radja Grafindo, Jakarta,
1983, hal 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Manusia didalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai
pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang huruk.
Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-
pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dan nilai
ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dan nilai pribadi, dan
seterusnya.
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikiian, sehingga pengertian law enforcement
begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan
penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara
ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian
pribadi.41
Ada 2 ( dua ) fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum didalam
masyarakat yaitu, pertama sebagai sarana kontrol sosial ( social control ) dan
kedua, sebagai sarana untuk melakukan sosial engineering. Proses sosial
engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan
bahwa efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru
dari masyarakat dalam proses perkembangan kecepatan menanamkan unsur-
unsur yang baru. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil
pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di
masyarakat.
Hukum mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung didalam
mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara mempengaruhi masyarakat
dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan
41 Wayne La-Favre 1964 Didalam Soerjono Soekanto, Op Cit Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
“socila engineering” atau “social planning”.42 Oleh karena itu agar hukum
benar-benar dapt mempengaruhi perlakuan warga masyarakat maka hukum
harus disebarluaskan, sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-
alat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat bagi penyebaran dan
pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara
formal yaitu, melalui suatu tata cara yang terorganisasi dan resmi.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis
tentang korupsi, adalah penelitian yang dilaksanakan oleh
1. Nama : Erry Purdyanto Marwantono
2. Judul : Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di kejaksaan Negeri
Surakarta.
Tahun : 2006
Penelitian tersebut mengkaji mengenai penanganan tindak pidana korupsi
di Kejaksaan Negeri Surakarta dan mengapa penanganan tindak pidana korupsi
di Kejaksaan Negeri Surakarta memakan waktu yang lama.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa
penanganan perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Surakarta diawali oleh
penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti
permulaan cukup, maka hasil penyelidikan ditindaklanjuti dengan penyidikan
dan penuntutan oleh seksi pidana khusus.
42 Soerjono Soekanto, 2007. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 122.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
C. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini terhadap permasalahan yang diteliti dapatlah dibuat alur
pikir/bagan sebagaimana dalam teorinya Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut :
Gambar 2.
Kerangka Berpikir
PENYIDIK
KORUPSI
KPK KEJAKSAAN KEPOLISIAN
PROBLEMATIKA
Apakah Problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Apakah Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan digunakan,
maka terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat mengenai metode. Metode
menurut Setiono43 adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari pemecahan
masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas terlebih dahulu
apa yang akan dicari.
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah
yang ada dengan cara mengumpulkan, mengembangkan atau menguji kebenaran
suatu ilmu pengetahuan. Metode penelitian sangat mementukan dalam suatu
penelitian karena mutu, nilai dan validitas suatu hasil penelitian sangat
ditentukan oleh pemilihan metode penelitian secara tepat.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif
(descriptve research) adalah untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai
fenomena atau kenyataan sosial. Penelitian ini dimaksudkan untuk eksplorasi
dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit
yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil
penelitian ini bisa menjadi masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya.
Berdasarkan pada masalah yang diteliti maka pendekatan terbaik yang
dapat dipergunakan adalah jenis penelitian empiris. Apabila dilihat dari sifatnya
maka merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitaian yang
43 Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodelogi Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UNS,
Surakarta, hal 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lain.44
Burhan Ashshofa mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data tersebut berupa kata-kata
yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu secara holistik (utuh) 45.
Menurut Lexy J. Moleong, kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati
atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Penelitian kualitatif pada
hakekatnya ialah mengamati orang dalam hidupnya, berinteraksi dengan mereka,
berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya46.
Dalam upaya menemukan fakta dan data secara ilmiah, maka peneliti
menetapkan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif
melalui studi kasus dengan pertimbangan bahwa tujuan studi kasus adalah untuk
memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu. Studi kasus
digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan dan diharapkan dapat
ditemukan pola, kecenderungan, arah dan lainnya yang dapat digunakan untuk
membuat perkiraan-perkiraan masa depan.
Moleong mengatakan bahwa metode kualitatif ini digunakan karena
beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah
apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan
secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden47.
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima)
konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan
oleh Setiono (2005) adalah sebagai berikut :
44 Lexy J. Moeloeng, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal 196. 45 Burhan Ashsofa, 2001, metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal, 21-22. 46 Ibid, hlm 112 47 Lexy j. Moleong, ibid, hal, 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat
kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai
hukum alam).
2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem
perundang-undangan.
3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian
kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim.
4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial
yang empirik.
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak
dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai
hukum yang ada dalam benak manusia).
Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5,
yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh
Setiono (2005), hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-
makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka
(hukum yang ada dalam benak manusia). Dalam penelitian ini, penulis ingin
menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa
secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data yang
akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara mendalam
tentang Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi, dalam tahap penyidikan yang meliputi pemanggilan saksi, pemanggilan
dan pemeriksaan tersangka, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta
penahanan dan pemberkasan.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian anatar lain:
1. Kejaksaan Negeri Karanganyar.
2. Perpustakaan Pascasarjana UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
3. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS.
B. Jenis dan Sumber Data
Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum emperis
berupa hasil wawancara mendalam ( in depth interview ) dengan responden
maupun nara sumber dan hasil observasi tentang Problematika yang dihadapi
Jaksa dalam Proses Penyidikan tindak pidana korupsi.
Bahan-bahan berupa bahan hukum, baik hukum primer ( primary sources
or authorites), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or
authorities) dan dilengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari
penelitian dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa
keterangan dan penjelasan yang diberikan para responden / nara sumber,
antara lain dari jaksa di Kejaksaan Negeri Karanganyar.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan perpustakaan.
Penelitian ini memperhatikan materi penelitian yang dijadikan pokok
pembahasan dan guna menentukan identifikasi data.
Adapun materi penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, merupakan dokumen hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat, terdiri dari :
a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ).
b. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
c. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
d. Undang-Undang no 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
e. Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi ( KPK )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
2. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, berupa bahan pustaka seperti Rancangan
peraturan perundang-undangan ( RUU ), buku, majalah, hasil penelitian
hukum, makalah, jurnal elektronik, hasil karya ilmiah yang berkaitan dengan
judul tesis, dan hasil-hasil terdahulu yang relevan.
3. Bahan Hukum Terseir
Merupakan bahan pelengkap yang berfungsi membantu dalam memahami
bahan hukum primer maupun sekunder yang meliputi kamus hukum.
C. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, penulis mempergunakan tehnik pengumpulan
data sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang
penulis perlukan, maka penulis mengadakan wawancara dengan pejabat di
wilayah kantor kejaksaan.
b. Studi kepustakaan
Merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku
literatur, majalah, koran dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
D. Tehnik Analisa Data
Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap, maka tahap
berikutnya adalah menganalisis data. Analisis data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah analisis data kualitatif, sebab data yang diperoleh bukan
berupa angka-angka yang akan dianalisis secara statistik. Sedangkan tehnik
analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
interaktif atau Interactive Model of Analysis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan analisis kualitatif
dengan interaktif model, yaitu :
Gambar 3.
Gambar 3
Model Analisis Interaktif
a. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan dan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis dilapangan.
b. Penyajian data, sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dengan melihat suatu penyajian data dapat diketahui apa yang terjadi dan
kemungkinan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan
penyajian data itu sendiri dapat diketahui apa yang terjadi dan ataupun
tindakan penyajian data itu sendiri dapat berupa kalimat-kalimat, cerita-cerita,
maupun tabel-tabel.
c. Verifikasi, sejak permulaan pengumpulan data dilakukan pencatatan,
pertimbangan pada peraturan-peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi
yang mungkin, arahan sebab akibat, dan proporsi untuk mengetahui apa dari
hal-hal yang kemudian ditarik kesimpulan.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Penyajian Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Kesimpulan tersebut pada awalnya kurang jelas kemudian semakin
meningkat secara eksplisit dan memiliki landasan yang kuat. Kesimpulan
akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berupa
pengumpulan yang cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dari
pikiran pada waktu melihat kembali pada catatan lapangan.
E. Jadwal Penelitian
Ada tiga tahapan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu tahap persiapan,
tahap pelaksanaan, dan tahap penyusunan program. Adapun jadwal kegiatan
pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Kegiatan Bulan
Februari Maret April Agustus
1 Penyusunan Proposal X X
2 Pengumpulan Data X X
3 Analisis Data X X
4 Penyusunan Laporan X X
5 Perbaikan, Penggandaan,
Penyerahan hasil penelitian
X X
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian
Kejaksaan Negeri adalah Kejaksaan di Ibukota Kabupaten atau di
Kotamadya atau di Kota Administratif dengan daerah hukum meliputi
wilayah Kabupaten atau Kotamadya dan atau Kota Administratif. Selanjutnya
dalam pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI menyebutkan bahwa “Kepala Kejaksaan Negeri adalah
pimpinan Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang Kejaksaan di daerah hukumnya. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 2
di sebutkan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan tugasnya
di bantu oleh beberapa unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
Kejaksaan Negeri menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis berupa pemberian
bimbingan serta pemberian perizinan sesuai dengan tugasnya;
b. Pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pembinaan manajemen,
administrasi, organisasi, dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas milik
negara yang menjadi tanggung jawabnya;
c. Pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan penegakkan hukum baik
preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana,
pelaksanaan intelijen yustisia di bidang ketertiban dan ketentraman
umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakkan
hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan
tugas-tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan
pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung.
d. Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat
perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan
hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang
dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;
e. Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah di daerah
hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan, penyusunan peraturan
perundang-undangan serta peningkatan kesadarn hukum masyarakat;
f. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan
baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas.
Selanjunya Kepala Kejaksaan Negeri mempunyai tugas :
a. Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan
tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan didaerah hukumnya serta
membina aparatur Kejaksaan di lingkungan Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna;
b. Melakukan dan /atau mengendalikan kebijakan pelaksanaan penegakkan
hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi
tanggung jawabnya di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Jaksa Agung;
d. Melakukan koordinasi penangkapan perkara pidana tertentu dengan
instansi terkait meliputi penyelidikan, penyidikan dan melaksanakan
tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan peundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
e. Melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap orang yang terlibat
dalam suatu perkara pidana untuk masuk kedalam atau keluar
meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran
barang cetakan yang dapat menggangu ketertiban umum, penyalahgunaan
dan atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang
dapat membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Jaksa Agung;
f. Melakukan tindakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara,
mewakili Pemerintah dan Negara didalam dan diluar pengadilan sebagai
usaha menyelamatkan kekayaan negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
g. Membina dan melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah dan
organisasi lain didaerah hukumnya untuk memecahkan masalah yang
timbul terutama yang menyagkut tanggungjawabnya;
h. Pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan
tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Kejaksaan Negeri dibagi dalam 4 seksi yakni :
1. Seksi Intelijen
Seksi Intelijan mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial di
bidang :
a. Ideologi;
b. Politik;
c. Ekonomi;
d. Keuangan;
e. Sosial budaya, dan
f. Pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakkan
hukum dan keadilan baik preventif maupun represif melaksanakan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
atau turut serta menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum
serta pengamanan pembangunan nasional dan hasilnya didaerah hukum
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan tugas, Seksi Intelijen menyelenggarakan fungsi
yaitu :
a) Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang intelijen
berupa bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
b) Penyiapan rencana, pelaksanaan dan penyiapan bahan pengendalian
kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam
rangka kebijaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun represif
untuk menaggulangi hambatan, tantangan, politik, ekonomi, keuangan
dan sosial budaya;
c) Pelaksanaan kegiatan produksi dan sarana intelijen, membina dan
meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat
intelijan yustisial membina aparat dan mengendalikan kekayaan di
lingkungan Kejaksaan Negeri yang bersangkutan;
d) Pengamanan teknis terhadap pelaksana tugas satuan kerja di bidang
personil, kegiatan materiil, pemberitaan dan dokumen dengan
memperhatikan koordinasi;
e) Kerjasama dengan instansi pemerintah dan organisasi lain didaerah
terutama dengan aparat intelijen.
Sub Seksi Intelijen terdiri dari :
(a) Subseksi sosial dan politik, mempunyai tugas melakukan kegiatan
intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk
menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta
mendukung operasi yustisi mengenai masalah ideologi dan sosial politik,
media massa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumberdaya
manusia, pertahanan dan keamanan, tindak pidana perbatasan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
pelanggaran wilayah perairan, aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan
atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup,
penyuluhan hukum serta penanggulangan tindak pidana umum dan
narkoba;
(b) Subseksi ekonomi dan moneter, mempunyai tugas melakukan
kegiatan intelijen yustisial penyelidikan pengamanan dan penggalangan
untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta
mendukung operasi yustisi mengenai masalah investasi, produksi,
distribusi, keuangan perbankan, sumberdaya alam dan pertanahan,
penanggulangan tindak pidana ekonomi, korupsi serta pelanggaran Zona
Ekonomi Ekslusif;
(c) Subseksi produksi dan Sarana Intelijen, mempunyai tugas
melakukan kegiatan dibidang produksi berupa laporan berkala, insidentil
dan perkiraan keadaan pembinaan aparat intelijen terhadap kemampuan
dan integritas aparat intelijen di lingkungan Kejaksaan Negeri dan
menyelenggarakan administrasi intelijen, penyiapan dan pemberian
penerangan serta publikasi mengenai berbagai masalah yang menyagkut
kegiatan Kejaksaan.
2. Seksi Tindak Pidana Umum
Seksi Tindak Pidana Umum mempunyai tugas melaksanakan pengendalian
dan atau pelaksanaan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan,
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan
terhadap keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam
perkara tindak pidana umum.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut diatas, Seksi
Tindak Pidana Umum menyelenggarakan fungsi :
(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang tindak pidana umum
berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
(b). Penyiapan rencana, peleksanaan dan penyiapan bahan pengendalian
kegiatan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dalam
perkara tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum,
tindak pidana terhadap orang dan harta benda serta tindak pidana umum
lain yang diatur diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
(c). Penyiapan bahan pengendalian dan / atau pelaksanaan penetapan Hakim
dan Putusan Pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak
pidan umum serta pengadministrasiannya;
(d). Pembinaan kerjasama dan melakukan koordinasi dengan instansi serta
pemberian bimbingan dan petunjuk teknis dalam penanganan perkara
tindak pidana umum kepada penyidik;
(e). Penyiapan bahan saran, konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan
hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana umum dan masalah
hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakkan hukum;
(f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat
tindak pidana umum daerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan;
(g). Pengadministrasian dan pembuatan laporan di daerah hukum Kejaksaan
Negeri yang bersangkutan.
Seksi Tindak Pidana Umum terdiri dari :
(a). Subseksi prapenuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan pemberian
pertimbangan, pengendalian dan petunjuk mengenai penerimaan
pemberitahuan penyidikan, penghentian penyidikan, hasil penyidikan
serta penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti/ sitaan,
mengadministrasikan dan mendokumentasikannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
(b). Subseksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan penuntutan
terhadap perkara tindak pidana umum hasil penyidikan serta
pengadministrasian dan pendokumentasian;
(c). Subseksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi, mempunyai tugas
melakukan administrasi dan urusan perlawaanan, banding, kasasi,
peninjauan kembali dan grasi dan pelaksanaan penetapan putusan hakim
yang telah mempunyai kepastian hukum tetap, melakukan eksaminasi
perkara tertentu.
3. Seksi Tindak Pidana Khusus
Seksi tindak Pidana Khusus mempunyai tugas melakukan pengendalian
kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,
penuntutan, melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan, pengawasan
terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum
lainnya dalam perkara tindak pidana khusus di daerah hukum kejaksaan
negeri yang bersangkutan.
Dalam melaksanakan tugasnya Seksi Tindak Pidana Khusus
menyelenggarakan fungsi :
(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang tindak pidana
khusus berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan
teknis;
(b). Penyiapan rencana, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penyelidikan,
penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dan
pengadministrasiannya;
(c). Pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan
terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain
dalam perkara tindak pidana khusus serta pengadministrasiannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
(d). Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dan
memberi bimbingan serta petunjuk teknis kepada penyidik dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi, ekonomi dan tindak pidana
khusus yang lain serta pengadministrasiannya;
(e). Penyiapan bahan sarana konsepsi tentang pendapat dan atau
pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana
khusus dan masalah hukum lain dalam kebijaksanaan hukum;
(f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat
tindak pidana khusus.
Seksi Tindak Pidana Khusus tediri dari :
(a) Subseksi penyidikan, mempunyai tugas melakukan segala sesuatu
yang berhubungan dengan kegiatan penyidikan tindak pidana khusus serta
menyiapkan bahan, membuat telaahan dan memberikan bimbingan tknis
terhadap kegiatan penyidikan tindak pidana khusus;
(b) Subsekksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan segala kegiatan
yang berkaitan dengan penuntutan perkara tindak pidana khusus serta
menyelenggarakan administrasi dan dokumentasi;
(c) Subseksi upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi, mempunyai tugas
melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan upaya hukum
eksekusi dan eksaminasi.
4. Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara
Seksi Perdata tata usaha Negara mempunyai tugas melakukan dan atau
pengendalian kegiatan penegakan, bantuan, Pertimbangan dan pelayanan
hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat
di bidang perdata dan tata usaha negara.
Dalam melaksanakan tugas, Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara
menyelenggaraka fungsi :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang perdata dan tata
usaha negara berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan
teknis;
(b). Pengendalian kegiatan penegakkan hukum, bantuan pertimbangan dan
mewakili kepentingan negara dan pemerintah;
(c). Pelaksanaan gugatan uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan
ganti kerugian dan tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang
melawan hukum yang merugikan keuangan negara;
(d). Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang menyangkut
pemulihan dan perlindunagn hak dengan memperhatikan kepentingan
umum sepanjang negara atau pemerintah tidak menjadi tergugat;
(e). Pelaksanaan tindakan hukum didalam maupun diluar pengadilan
mewakili kepentingan keperdataan dari negara pemerintah dan
masyarakat baik berdasarkan jabatan maupun kausa khusus.
(f). Pembinaan kerjasama maupun koordinasi dengan instansi terkait serta
memberikan bimbingan dan petunjuk teknis dalam penangan masalah
perdata dan tata usaha negara di daerah hukum kejaksaan negeri yang
bersangkutan;
(g). Pemberian saran konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangn hukum
Jaksa Agung mengenai perkara dan tata usaha negara dan masalah
hukum lain dalam kebijakan penegakkan hukum;
(h). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat
tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara terdiri dari :
(a). Subseksi perdata dan tata usaha negara, mempunyai tugas melakukan
pengendalian kegiatan penegakkan, bantuan, pertimbangan dan
pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah
dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara;
(b). Subseksi pemulihan dan perlindungan hak, mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan pengendalian penegakan, bantuan, pelayanan,
pertimbangan dan tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan
masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara dan masyarakat.
2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan
Khusus terhadap tindak pidana korupsi selain fungsi penuntutan dan
eksekusi kejaksaan juga mempunyai peranan sebagai lembaga penyidik
tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d
Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
a. Penyelidikan
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat auat tidaknya dilakukan [enyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ( pasal 1 butir 5 KUHAP ).
Penyelidikan merupakan tahap awal sebelum dimulainya suatu
penyidikan. Dalam penyelidikan suatu perkara, penyelidik belum dapat
menggunakan upaya paksa ( misal : penangkapan, penahanan, penyitaan
dan lain-lain ) Penyelidikan dapat dikatakan sebagai bagian tak
terpisahkan dari penyidikan.
Mekanisme atau langkah-langkah dalam penyelidikan antara lain48 :
48 Faisal Banu, Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri Karanganyar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
1. Pimpinan mengeluarkan / menerbitkan surat perintah penyidikan.
Disitu tertera nama-nama personil yang bertugas melakukan
penyelidikan yang di sebut dengan jaksa penyelidik. Tujuan utam
dari penyelidikan menemukan suatu peristiwa itu sebagai suatu tinda
pidana atau bukan, bila peristiwa tersebut ditetapkan sebagai tindak
pidana maka ditingkatkan menjadi penyidikan bila bukan tindak
pidana maka dilakukan penghentian penyelidikan.
2. Setelah jaksa menerima surat perintah maka tim tersebut membuat
target operasi dan rencana penyelidikan / rencana pengumpulan
bahan keterangan.
3. Melakukan pengumpulan data dan keterangan yang meliputi :
Melakukan pemanggilan kepada sumber-sumber yang dianggap
mengetahui persoalan yang dituangkan dalan berita acara permintaan
keterangan maupun catatan wawancara. Terhadap orang yang
diperiksa bisa juga diminta bahan keterangan, misalnya korupsi
pengadaan motor dinas, jaksa meminta data berupa :
• Peraturan perundangan yang mengatur tata cara
pengadaan motor dinas untuk pemerintah daerah.
• Dokumen-dokumen yang berupa :
-. Dokumen persiapan yang berisi pemberitahuan
undangan lelang, proses ambissing atau penjelasan
lelang dan dokumen perintah kerja atau kontrak
perjanjian.
-. Dokumen pelaksanaan dan atau pertanggung jawaban
meliputi kwitansi-kwitansi ataupun dokumen-
dokumen lain yang berkaitan dengan proses
pengadaan motor, pembelian, pemeriksaan barang dan
pertanggung jawaban keuangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Catatan : bahwa dokumen-dukumen yang diminta dalam tahap
tersebut masih berupa fotokopi karena yang asli masih berada
ditangan yang bersangkutan. Setelah itu membuat laporan
penyelidikan operasi intelijen yustisial dan matrik hasil operasi.
Bila ditemukan dugaan korupsi masuk ke tahap penyidikan.
Jadi, sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan penyelidikan dulu oleh
pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan untuk mengumpulkan “bukti
permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut
penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan
pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa
keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu
tondak pidana.
Kewenangan penyelidik, diatur dalam pasal 5 KUHAP :
a). Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
(1). Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
(2). Mencari keterangan dan barang bukti.
(3). Menyuruh berhenti seseorang yang di curigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
(4). Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b). Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
1). Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2). pemeriksaan dan penyitaan surat.
3). Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
4). Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Pasal 5 ayat (2) KUHAP mewajibkan penyidik yang tersebut dalam
pasal 5 ayat (1)a itu merupakan kewenangan sesungguhnya yang dimiliki
penyidik atau polri pada umumnya. Pada ayat (1)b dapat dikatakan
kewenangan yang semu karena dapat melekukan tindakan jika ada perintah
penyidik.
Pada tahap penyelidikan kadang-kadang penyidik menggunakan atau
dibantu oleh seorang informan. Informan artinya orang yang memberikan
informasi atau orang yang biasa membantu memberikan suatu keterangan
kepada seorang penyidik yang sedang menyelidiki atau menyidik suatu
tindak pidana tertentu. Sebenarnya bukan hanya informan, tetapi kewajiban
bagi setiap orang untuk menyampaikan laporan atau pengaduan kepada
penyelidik atau penyidik ( pasal 108 KUHAP ) apabila sebagai berikut ini :
1. Mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana;
2. Mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa terhadap
hak milik;
3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana.
b. Penyidikan
Penyidikan menurut pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
Setelah menemukan suatu peristiwa yang di duga terdapat indikasi
terjadinya tindak pidana korupsi, maka penyidik kejaksaan negeri dalam
penyidikan di tuntut untuk :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
• Mencari serta mengumpulkan barang bukti
• Membuat terang suatu tindak pidana, dan
• Menemukan dan menentukan pelakunya.
Mengawali tahap penyidikan, kepala seksi tindak pidana khusus
kejaksaan negeri menerbitkan surat perintah penyidikan yang berisi
personil penyidikan dan dasar penyidikan. Selanjutnya dibuat rencana
penyidikan yang berisi jadwal penyidikan, siapa saja saksi yang akan
diperiksa, barang bukti yang akan dikumpulkan dan arah pertanyaan
terhadap saksi. Secara garis besar rencana penyidikan merupakan blue
print penyidikan. Blue prin berguna sebagai alat kendali, pengawasan, dan
arah penyidikan.
Tahap-tahap penyidikan meliputi :
a. Pemanggilan saksi
Sebelum dilakukan penyidikan sudah dilakukan penyelidikan.
Pada saat penyelidikan, penyelidik sudah meletakkan dasar-dasar
pemeriksaan. Pemetaan terhadap kasus dan saksi-saksi yang akan
diperiksa sudah dilakukan juga dalam tahap penyelidikan. Hal ini akan
memudahkan pemanggilan saksi dalam penyidikan sehingga
pemanggilan saksi yang tidak perlu atau tidak ada kaitannya dengan
perkara dapat dihindari.
Pasal 1 butir 26 KUHAP
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan praperadilan tentang suatu perkara pidan yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Dari rumusan pasal 1 butir 36 KUHAP di atas, maka yang disebut
sebagai saksi harus :
a) Seseorang yang mendengar sendiri
b) Melihat sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
c) Mengalami sendiri peristiwa pidananya
d) Orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber
pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami
sendiri.
Pemanggilan saksi memuat identitas saksi dan untuk apa saksi
dipanggil. Surat panggilan tersebut ditandatangani oleh kepala Kejaksaan
Negeri (Kajari) atu kepala seksi pidana khusus Kejaksaan selaku pejabat
penyidik.
Pasal 112 KUHAP
(1). Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pemanggilan yang dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari orang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2). Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Berdasarkan pasal diatas antara tanggal hari diterimanya Surat
panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil diharuskan
memenuhi panggilan, harus ada tenggang waktu yang layak ( minimal 3
hari sebelum hari pemeriksaan ). Biasanya penyidik sangat
memperhatikan tenggang waktu pemanggilan karena hal ini berkaitan
dengan konsekuensi yuridis yang mungkin terjadi. Apabila saksi tidak
mau hadir tanpa lasan yang sah dan sudah dipanggil secara layak
sebanyak tiga kali maka sesuai dengan pasal 112 ayat (2) KUHAP
penyidik dapat mendatangkannya secra paksa.
b. Pemanggilan dan Pemeriksaan Tersangka
Pemanggilan tersangka biasanya dilakukan setelah penyidik
memeriksa beberapa saksi dan yakin bahwa seseorang akan menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
tersangka. Terhadap kasus ini penyidik juga menerapkan pola
pemanggilan tersangka seperti uaraian diatas.
Berdasarkan Pasal 112 ayat (1) KUHAP surat panggilan
tersangka memuat identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan
ditandatangani oleh kepala kejaksaan negeri atau kepala seksi pidana
khusus selaku pejabat penyidik.
Pada saat penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka, penyidik wajib memberitahu kepada tersangka akan haknya
untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum (pasal 114 KUHAP).
Pasal 114 KUHAP
“Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang apa haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56”. Sesuai dengan ketentuan diatas terhadap penasehat hukum yang
mendampingi tersangka dapat dijelaskan dua hal sebagai berikut :
1. Bantuan hukum dari penasehat hukum benar-benar murni berdasar
“hak” yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat, tersangka
dianggap mampu untuk mencari penasehat hukum. Pengertian
mampu disini adalah mampu dalam hal materi atau mampu untuk
membayar penasehat hukum. Syarat kedua, disamping tersangka
sendiri mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan
hukuman mati atau lima belas tahun ke atas atau kalau tidak
mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun
(lihat Pasal 56). Pada sisi seperti ini diserahkan kepada kehendak
tersangka apakah dia akan mempergunakan haknya mencari atau
mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Kepadanya
diberikan kebebasan untuk menunjuk penasehat yang
dikehendakinya. Jadi apabila ancaman hukuman tindak pidana
yang disangkakan kepadanya kurang dari lima tahun, kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
tersangka yang mampu di beri hak untuk mencari dan mendapatkan
penasehat hukum yang disukainya.
2. Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum, bukan semata-
mata hak tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi
“kewajiban” penyidik atau menjadi kewajiban dari aparat penegak
hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat
penuntutan maupun persidangan. Hak tersangka dan kewajiban
penyidik ( aparat penegak hukum ) berjumpa disebabkan beberapa
faktor :
• Tindak pidana yang diancam kepada tersangka / terdakwa
merupakan ancaman hukuman mati atau ancaman pidana
lima belas tahun ke atas;
• Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau
mendatangkan bantuan penasehat hukum, sedang ancaman
pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima
tahun atau lebih.
Karena ancaman pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi di atas
lima belas tahun dan bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam
pidana mati, maka pada saat pemeriksaan tersangka korupsi, wajib
didampingi penasehat hukum. Bahkan apabila tersangka tidak mampu
menunjuk penasehat hukum maka penyidik Kejaksaan Negeri wajib
menyediakan penasehat hukum bagi tersangka.
Sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) KUHAP maka penasehat hukum
hanya mendampingi tersangka dalam pemeriksaan secara pasif saja.
Artinya penasehat hukum hanya melihat serta mendengar jalannya
pemeriksaan terhadap tersangka.
Dalam pemeriksaan terhadap tersangka penyidik memeriksa
tersangka berdasarkan unsur-unsur pasal Tindak Pidana Korupsi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dihubungkan dengan keterangan para saksi serta barang bukti yang
didapat.
c. Penggeledahan
Penggeledahan dapat dilakukan terhadap badan atau suatu tempat
yang dicurigai menyimpan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan
korupsi. Untuk Tindak Pidana Korupsi penyidik jarang melakukan
penggeledahan badan. Yang sering dilakukan adalah penggeledahan
tempat.
Pasal 33 KUHAP
1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan;
2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisianNegara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;
3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;
4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;
5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah,, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal 33 KUHAP tersebut mengatur penggeledahan dalam
keadaan biasa, sedangkan pasal 34 KUHAP sebagai berikut :
Pasal 34 KUHAP
1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan : a. Pada halaman rumah tersangka berttempat tinggal, berdiam
atau ada dan yang ada di atasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangak bertempat tinggal,
berdiam atau ada;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang di duga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidan tersebut dan untuk itu wajib seegera melaporkan kepada Ketua pengadilan Negeri setempat duna memperoleh persetujuannya.
Penyidik sebelum melakukan penggeledahan sudah mendapatkan
informasi dari petugas intel tentang kemungkinan keberadaan hal-hal
yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi disuatu tempat
atau penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka atau saksi stau
penyidik mempunyai dugaan kuat akan hal tersebut. Langkah ini
dilakukan agar penggeledahan mendapatkan hasil yang maksimal.
d. Penyitaan
Sebelum melakukan penyitaan penyidik sudah menginventarisasi
barang bukti yang akan disita dalam rencana penyidikan. Barang-
barang yang akan disita sangat berkaitan erat dengan pembuktian
perkara tindak pidana korupsi. Dimana kemungkinan besar tanpa
barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh
karenanya penyidik melakukan penyitaan untuk memperkuat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Pasal 1 butir 16 KUHAP
“Penyitaan adalahserangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.
Sebagaimana halnya penggeledahhan KUHAP juga mengatur tata
cara penyitaan. Tata cara ini untuk menjamin hak-hak para pihak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
mungkin dirugikan dengan adanya penyitaan dan pengawasan
pengawasan pwnyitaan yang dilakukan oleh penyidik. KUHAP
mengatur tata car penyitaan dal keadaan normal dan dalam keadaan luar
biasa.
Dalam keadaan normal KUHAP memberikan tata cara penyitaan
yang sangat ketat yaitu sebagai berikut :
1. Harus ada “surat izin” penyitaan dari ketua Pengadilan Negeri
Sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih dulu meminta izin
Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut,
penyidik memberi permintaan dan alasan-alasan pentingnya
dilakukan penyitaan, gunna dapat memperoleh barang bukti baik
sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan, dan umtuk
barang bukti dalam persidangan pengadilan.
2. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal
Syarat kedua yang harus dipenuhi penyidik, menunjukkan “tanda
pengenal” jabatan kepada orang dari mana benda itu akan disita. Hal
ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia
benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128
KUHAP).
3. Memperlihatkan benda yang akan disita
Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang
dari mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang yang
bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini
untuk “menjamin” adanya kejelasan atas benda yang disita.
4. Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
Syarat atau tata cara selanjutnya, ada kesaksian dalam
penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan disita. Dengan
ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus
membawa saksi ketempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
orang. Saksi pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua
lingkungan (ketua RT/RW), ditambah dua orang saksi lainnya (
pasal 129 ayat (1) ).
5. Membuat berita acara penyitaan
Pembuatan berita acara diatur dalam pasal 129 ayat (2), yang
menjelaskan :
• Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan
dihadapan atau kepada orang dari mana benda itu disita atau
kepada keluarganya dan kepada ketiga orang saksi.
• Jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita
acara, penyidik memberi tanggal pada berita acara.
• Kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita
acara penyitaan (penyidik, orang yang besangkutan atau
keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing
membubuhkan tanda tangan pada berita acara).
Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal
itu serta menyebut alasan penolakan membubuhkan tanda tangan.
6. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan
Kewajiban penyidikdalam penyampaian turunan berita acara
penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan
penyidik dalam melaksanakn wewenang melakukan penyitaan,
benar-benar diawasi dan terkendali.
7. Membungkus benda sitaan
Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130
KUHAP telah menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan,
antara lain :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
• Dicatat beratnya atau jumlahnya menurut jenis masing-
masing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan,
sekurang-kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya.
• Dicatat hari tanggal penyitaan.
• Tempat dilakukan penyitaan.
• Identitas orang dari mana benda itu akan disita.
• Kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditanda tangani oleh
penyidik.
Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai
dengan ketentuan pasal 130 ayat (1) diatas, ayat (2) pasal tersebut
menentukan :
• Membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada
ayat (1) diatas.
• Catatan itu ditulis diatas tabel yang ditempelkan atau
dikaikan dengan benda sitaan.
Sedangkan dalam keadaan luar biasa penyitaan dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut :
1. Tanpa “surat izin” ketua pengadilan
Penyidik tidak perlu lebih dulu melapor dan meminta surat
izin dari ketua pengadilan, dapat langgsung mengadakan
penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik “harus segera
bertindak” dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih
dahulu, dalam keadaan seperti ini penyotaan dilakukan tanpa
surat izin ketua pengadilan negeri.
2. Hanya terbatas atas benda bergerak saja
Obyek penyitaan dalam keadaan yang sangat perludan
mendesak sangat dibatasi hanya ‘Benda bergerak” saja.
3. Wajib segera” melaporkan’ guna mendapatkan persetujuan
Segera sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
tidak, penyidik “wajib” segera melaporkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta “persetujuan”.
e. Penangkapan dan Penahanan
Sebelum melakukan penangkapan dan penahanan penyidik
biasanya sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Pertimbangan
tersebut dituangkan dalam laporan perkembangan penyidikan yang
disampaikan kepada pimpinan secara berjenjang. Tindakan selektif dan
hati-hati dari penyidik melakukan penangkapan dan penahanan sesuai
dengan uraian pasa 1 butir 20 KUHAP dan pasal 1 butir 21 KUHAP
Pasal 1 butir 20 KUHAP
“penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengengkangan sementara waktu kekbebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Pasal 1 butir 21 KUHAP
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalm undang-undang ini”.
Penangkapan terhadap tersangaka didahului dengan terbitnya
Surat Perintah Penagkapan yang ditandatangani oleh Kepala
Kejaksaan Negeri ( Kejari ) atau Kepala Seksi tindak Pidana Khusus
sebagai pejabat penyidik. Surat Perintah Penangkapan tersebut
memuat :
• Identitas tersangka ( nama, umur, tempat tinggal, tanggal lahir,
dll ).
• Alasan singkat dilakukannya penangkapa.
• Uraian singkat dilakukannya penegkapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
• Uraian singkat Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan
kepada tersangka.
• Tempat dimana pemeriksaan terhadap tersangka akan
dilakukan.
Setelah dilakukan penegkapan, penyidik harus membuat Berita
Acara Penangkapan dan memberitahukan penengkapan tersebut
kepada keluarga tersangka. Berdasarkan pasal 19 ayat (1) KUHAP
penengkapan hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
Pasal 19 ayat ( 1 ) KUHAP
“Penagkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari”.
Setelah batas waktu penangkapan habis penyidik dapat
melakukan penahanan terhadap tersangka. Berdasarkan pasal 22 ayat
(1) KUHAP jenis penahanan dapat berupa :
• Penahanan Rumah Tahanan Negara ( Rutan );
• Penahanan Rumah;
• Panahanan Kota.
Apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan
yang belum selesai dapat memintakan perpanjangan penahanan
kepada penuntut umum paling lama 40 hari ( Pasal 24 ayat (2)
KUHAP ). Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi yanh diperiksa
dengan ancaman pidana lebih dari 9 tahun, maka penahanan dapat
dimintakan perpanjangan selama 30 hari kepada Ketua Pengadilan
Negeri ( Pasal 29 ayat ( 1,2, dan 3 ) KUHAP. Penahanan teresbut
dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 hari yang dimintakan
oleh penyidik secara bertahap ( Pasal 29 ayat ( 2, 4 ) KUHAP ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Seluruh masa penahanan dari tersangka dikemudian hari akan
dikurangkan dari jumlah hukuman pidana yang kelak dijatuhkan oleh
Hakim.
Sebagaimana halnya penangkapan, penyidik Tindak Pidana
Korupsi harus mempunyai alasan kuat terhadap penahanan yang
dilakukan terhadap tersangka. Dengan kata lain penahanan tidak boleh
dilakukan secara membabi buta atau bersifat menzolimi. Alasan
penahanan diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP
“Perintah penahanan atau penahanan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barng bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
Pasal 21 ayat (4) KUHAP
“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal” :
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 yayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 23 dan 26 Rechtenordonantie ) pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471, pasal 1, pasal 4 undang-undanh Tindak Pidana Imigrasi ( Undang-undang nomor 8 Drt. Tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955 nomor 8 ), pasa; 36 ayat ( 7 ), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 43 dan pasal 48 undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ( Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam pasal 21 ayat (1)
KUHAP di atas sering disebut sebagai syarat subyektif penahanan.
Alasan ini hanya ada dalam pikiran penyidik namun sangat
menentukan nasib seseorang. Berdasarkan KUHAP alasan ini sah-sah
saja dan hanya dipunyai oleh aparat penegak hukum ( dalam hal ini
penyidik ) tanpa bisa diganggu gugat.
Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam tersebut dalam
pasal 21 ayat (4) KUHAP diatas sering disebut sebagai syarat obyektif
penahanan. Disebut obyekti karena telah secara limitatif memberikan
batasan yang jelas terhadap tindak pidana apa saja yang dapat
dilakukan penahanan. Karena Tindak Pidana Korupsi diancam dengan
pidana penjara lima tahun, maka ia telah memenuhi syarat subyektif.
f. Pemberkasan
Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pada awal penyidikan
sebelum dilakukannya pemberkasan penyidik Kejaksaan harus
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat
14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
” dalam hal suatu Tindak Pidana Korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Kepolisian atau kejaksaan, instansi wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 ( empat belas ) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan”.
Setelah semua tahap yang diuraikan diatas dilalui, maka
penyidik dengan kekuatan sumpah jabatan segera melakukan
pemberkasan terhadap hasil penyidikan. Sesuai dengan pasal 121
KUHAP Berita Acara yang terangkum dalam Berkas Perkara memuat
persyaratan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
• Memberi tanggal pada berita acara.
• Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut
waktu, tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi,
keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan,
agama, dan lain-lain ).
• Catatan mengenai akta dan atau benda.
• Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan
penyelesaian perkara.
Tahap selanjutnya semua berkas tersebut dijilid dengan rapi
oleh peyidik Kejaksaan Negeri. Berkas tersebut memuat antara lain ;
1. Sampul berkas perkara
2. Daftar isi berkas perkara
3. Resume
4. Laporan polisi
5. Surat perintah penyidikan
6. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)
7. Berita acara pemeriksaan saksi
8. Berita acara pemeriksaan tersangka
9. Surat kuasa khusus didampingi penasehat hukum
10. Surat perintah penangkapan
11. Berita acara penangkapan
12. Surat perintah penyitaan
13. Surat tanda penerimaan
14. Berita acara penahanan
15. Permintaan persetujuan ijin penyitaan
16. Surat ketetapan persetujuan ijin penyitaan
17. Surat perintah penahanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
18. Berita acara penahanan
19. Permintaan perpanjangan penahanan
20. Surat perpanjangan penahanan
21. Surat perintah perpanjangan penahanan
22. Berita acara perpanjangan penahanan
23. Daftar saksi
24. Daftar tersangka
25. Daftar barang bukti.
Setelah semua berkas perkara dijilid dengan rapi, maka tahap
selanjutnya semua berkas tersebut diserahkan kepada Penuntut
Umum untuk dilakukan penuntutan.
B. HASIL WAWANCARA
Dalam proses penyidikan perkara korupsi, maka Kejaksaan Negeri
Karanganyar selalu menggunakan prosedur penyidikan perkara sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-undang, yaitu berpedoman pada ketentuan UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan UU nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, antara lain dikemukakan oleh FAISAL BANU, Penyidik
tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Karanganyar, yang diwawancarai tanggal
24 Maret 2010 menyebutkan antara lain sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi disebabkan oleh faktor internal, yaitu kurangnya atau terbatasnya personil
kejaksaan sehingga menyebabkan problematika didalam penyidikan kasus
korupsi. Di Kejaksaan Negeri Karanganyar sendiri hanya memiliki 11 orang jaksa
penyidik, sedangkan pelaku tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Disamping itu juga terbatasnya pemahaman dan pengetahuan jaksa
penyidik mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
korupsi misalnya mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang atau
jabatan. Faktor eksternal yaitu kurangnya informasi dari masyarakat mengenai
tindak pidana korupsi. Masyarakat yang diharapkan bisa membantu dalam
pengungkapan kasus korupsi justru terkadang malah menjadikan atau memberikan
informasi yang kurang akurat. Karena didalam masyarakat kita selalu ada
perkataan ewuh-pekewuh. Mereka cenderung selalu beranggapan bahwa tidak
mungkin seseorang itu masuk penjara karena saya, padahal orang tersebut sudah
sangat baik sama saya. Itulah yang menyebabkan juga terjadinya problematika
dalam penyidikan.
2. Penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah, selain jaksa dituntut harus
memahami ketentuan perundang-undangan tindak pidana korupsi, jaksa juga
harus dapat memahami ketentuan perundang-undangan lain yang berhubungan
atau berkaitan dengan kasus yang terjadi. Misalnya dalam kasus pengadaan motor
dinas oleh PEMDA, maka jaksa harus juga mengetahui seluk beluk tentang
undang-undang yang berlaku dan tata cara pengadaan motor dinas tersebut.
3. Problem lain yang mempengaruhi dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah
bahwa perkara korupsi pada umumnya sangat rumit atau kompleks karena selalu
berkaitan dengan berbagai peraturan, berbagi instansi atau berbagai disiplin ilmu.
Hal ini mempersulit upaya penentuan kualifikasi perbuatan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi tidak mungkin dilakukan oleh satu orang tanpa melibatkan
orang lain atau teman seprofesinya. Karena tindak pidana korupsi sendiri sudah
termasuk kedalam kategori kejahatan yang terorganisir, yang tidak mungkin
dilakukan oleh satu orang saja tanpa melibatkan orang lain.
4. Kurang lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kejaksaan seperti
misalnya alat penyadap, senjata api, alat perekam, juga menjadikan salah satu
problematika dalam penyidikan kasus korupsi yang di sidik oleh jaksa.
5. Pelaku atau subyek hukum perkara korupsi selalu mendapat perlindungan dari
korps, atasan maupun rekan kerjanya, sehingga menyulitkan penyidik dalam
mendapatkan data atau informasi yang terkait dengan perkara tersebut. Kasus-
kasus korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang profesional dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
bidangnya, sehingga penyidikan harus dilakukan melalui pendekatan multi
disiplin, baik dari segi perundang-undangan yang berlaku maupun petunjuk-
petunjuk teknis dilapangan. Hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup
lama, memerlukan kecermatan, ketelitian, serta analisa yang cukup mendalam.
Problematika didalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi :
1. Dari segi perundang-undangan itu sendiri, yaitu dengan adanya dualisme
kewenangan penyidikan antara Polisi dan Jaksa, sementara dalam KUHAP
khususnya mengenai tahap-tahap dalam penyidikan juga terdapat problematika
yang antara lain dan biasa terjadi adalah :
a. Problemetika dalam tahap pemanggilan saksi : saksi bertempat tinggal jauh,
identitas saksi tidak lengkap / saksi tidak diketahui alamatnya secara jelas,
saksi sudah tidak lagi bekerja di instansi tertentu (misal saksi bekerja dalam
satu instansi yang terkait dengan kasus korupsi), dan saksi tidak mau
memberikan keterangan. Dalam hal pemeriksaan saksi : yaitu ketika saksi lupa
tentang peristiwanya, saksi tidak lagi memegang atau memiliki dokumen yang
berhubungan dengan si pelaku korupsi, dan saksi sudah tidak lagi menjabat
suatu jabatan yang ada relevansinya dengan perkara tersebut, saksi sakit atau
meninggal dunia sehingga tidak bisa memberikan keterangan.
b. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka :
-. Problematika dalam hal pemanggilan tersangka, antara lain : ketika
tersangka tidak berada ditempat, ketika tersangka melarikan diri atau
tersangka tidak mau memberikan keterangan.
-. Dalam hal pemeriksaan tersangka problematikanya biasanya adalah
tersangka tidak ada atau tersangka tidak mau diperiksa, dan tersangka
memberikan keterangan yang berbelit-belit. Maka akan dilakukuan upaya
paksa dengan membuat prosedur-prosedur penangkapan dan penangkapan
hanya berlaku selama 24 jam.
c. Penggeledahan
Prosedur ideal dari penggeledahan adalah minta ijin terlebih dahulu kepada
ketua pengadilan negeri tentang akan dilaksanakannya proses penggeledahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Apabila sudah mendapatkan ijin maka langsung dilakukan penggeledahan.
Tetapi apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua pengadilan negeri setempat
maka penggeledahan akan tetap dilakukan dengan mengacu pada ketentuan
KUHAP pasal 34 ayat 1 dan 2.
d. Penyitaan
Penyitaan dilakukan ketika saksi/ penguasa tidak mau memberikan atau
menyerahkan dokumen atau surat yang ada kaitannya dengan tindak pidana,
si penyimpan dokumen dengan sengaja menyembunyikan atau memusnahkan
dokumen tersebut.
Tujuan dari penyitaan adalah : menjamin dokumen dalam posisi aman di
tangan penyidik, sehingga pada saat diperlukan di sidang pembuktian
dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dipersidangan.
e. Penangkapan dan penahanan, biasanya problematika yang terjadi adalah :
orang tersebut atau si tersangka telah melarikan diri, adanya perlawanan dari
si tersangka maupun orang yang mendukungnya.
f. Pemberkasan
Dalam hal pemberkasan problematika yang dihadapi oleh jaksa adalah :
Membutuhkan waktu ketelitian dan kecermatan didalam menyusun urutan-
urutan di dalam berkas.
2. Ketidakcermatan jaksa penyidik dalam menangani penyidikan kasus korupsi.
Akibatnya, banyak proses penyidikan yang terhambat atau bahkan terhenti dan
tidak terlaksana sebagaimana mestinya akibat ketidakcermatan jaksa. Banyaknya
jaksa yang kurang cermat dalam menangani Penyidikan kasus korupsi, sehingga
dalam proses penyidikannya pun memakan waktu yang cukup lama yang bisa
berakibat si pelaku korupsi melarikan diri, bersembunyi disuatu tempat atau
pelaku bahkan menghilangkan barang bukti hasil kejahatannya tersebut. Padahal
harapan dari masyarakat pada umumnya Jaksa bisa secermat mungkin dalam
menangani penyidikan kasus korupsi, sehingga pelaku korupsi tersebut bisa
dijerat dengan pasal-pasal dan ketentuan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
3. Rancunya produk perundang-undangan yang berlaku misalnya Undang-undang
nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pemeriksaan terhadap kepala
daerah baru dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Presiden, sehingga proses
penyidikan tindak pidana korupsi menjadi terhambat. Selain itu juga faktor intern
lembaga penegak hukum kurang didukung dengan kemampuan atau
profesionalitas, ketepatan, kecermatan dan kecepatan sumberdaya manusia dalam
menyelesaikan penyidikan tindak pidana korupsi. adanya produk perundang-
undangan yang justru tidak mendukung penyidikan tindak pidana korupsi segera
dapat dilakukan, antara lain surat ijin pemeriksaan bagi pimpinan atau kepala
daerah atau institusi tertentu dari atasan langsung, adanya produk perundang-
undangan didaerah yang justru membuka peluang dan menghambat penyidikan
tindak pidana korupsi, misalnya peraturan daerah (PERDA).
4. Kurang profesionalnya dari jaksa dan sumberdaya manusia yang terlibat dalam
proses penyidikan perkara korupsi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
proses penyidikan tindak pidana korupsi. seperti di katakan sebelumnya bahwa
proses penyidikan tindak pidana korupsi memanglah tidak semudah yang
dibayangkan, karena proses penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah
dilakukan karena disamping ketatnya prosedur birokrasi yang dilalui, minimnya
informasi atau data awal untuk bisa dilakukan penyidikan juga disebabkan data
yang sering hilan atau dihilangkan. Disamping itu juga kurang profesionalnya
sumberdaya manusia sehingga mempengaruhi proses penyidikan tindak pidana
korupsi. Disisi lain perkara-perkara korupsi sulit untuk dideteksi sehingga sulit
juga untuk dilakukan penyidikannya, hal ini disebabkan canggihnya cara-cara
yang ditempuh, baik yang menyangkut masalah pembukuan pertanggungjawaban
dan pekerjaan fisik maupun non fisik. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari
kejaksaan atau sumberdaya manusia, kurangnya profesionalitas dan kemampuan
jaksa merupakan kendala yang tersendiri yang erat kaitannya dengan proses
penyidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
C. PEMBAHASAN
Fungsi hukum yang diharapkan adalah melakukan usaha untuk
menggerakakn masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru
untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh
karena hukum dapat diartikan sebagai cara untuk menyalurkan kebijakan-
kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya melalui perumusan kedalam bentuk
perundang-undangan. Sehingga pada gilirannya kebijakan kebijakan tersebut
dapat dikomunikasikan dengan jelas dan terbuka kepada masyarakat dan menjadi
sandaran bagi masyarakat untuk melakukan pelbagai perbuatan hukum
sebagaimana dalam rumusan kebijakan tersebut.
Untuk dapat menunjukkan tujuan dimaksud, maka penuangannya kedalam
bentuk hukum haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Kegagalan mewujudkan
salah satu nilai-nilai dalam masyarakat dapat menimbulkan hasil yang tidak sesuai
dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan tersebut. Sehingga pada
gilirannya kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain
sebagainya mulai dari tahap undang-undang, penegak hukum , faktor sarana atau
fasilitas, faktor masyarakat dan faktor budaya. Sehingga pada gilirannya, setiap
produk hukum diterbitkan tidak dapat dilihat secara formal semata, melainkan
lebih dari itu. Oleh karena hukum berada dalam bagian kehidupan sosail, bukan
berada diruang hampa. Demikian pula dalam penerapan hukum (produk hukum)
dimaksud, kekuatan-kekuatan sosial mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Terlebih untuk dapat diterimanya suatu hukum dengan penerapan hukum yang
maksimal, maka Gustav Radbruch dalam Esmi warassih menyebutkan49 adanya
tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para
pelaksana hukum, yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Oleh karena hukum merupakan bagian dari sistem-sistem yang ada seperti
sosial, politik, ekonomi, maka bekerjanya hukum tidak bisa dipisahkan dari
masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum tersebut. Sehingga dengan demikian
49 Ibid, hal 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
hukum itu mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi nilai/ide/keadilan, kedua sisi
kenyataan sehari-hari (realitas sosial). Akibat sering terjadi ketegangan, disaat
hukum diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai hendak diwujudkan,
maka ia harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi
dari lingkungan sosialnya.50
Untuk menganalisa permasalahan sebagaimana dalam tesis ini, maka
penulis akan berpedoman kepada teori Soerjono Soekanto yang dikenal dengan
teori penegakan hukum yaitu undang-undang, penegak hukum, faktor sarana atau
fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sehingga pada gilirannya akan
diketahui jawaban dari perumusan masalah yang penulis kemukakan yaitu
mengenai problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi serta Upaya-Upaya apa saja yang dilakukan jaksa dalam menghadapi
problematika tersebut.
1. Problematika Yang Dihadapi Jaksa dalam Proses Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi
a. Undang-undang
Undang-undang dalam arti materiel adalah51 peraturan tertulis yang
berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.
Dengan demikian, maka Undang-undang dalam meteriel (selanjutnya disebut
undang-undang) mencakup :
• Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu
golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum disebagian wilayah
negara.
• Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
Hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan dari kebijakan
publik penguasa, dan kebijakan itu sendiri merupakan proses politik. Hukum
50 Pramudya. Op, cit. hlm. 6 51 Purbacaraka dan Soerjono soekanto, 1979, dalam soerjono soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum, PT. Raja Grafindo, hlm 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
adalah produk politik, karena fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan
seringkali diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik.
Dalam hal pembuatan suatu produk hukum, dalam kenyataannya
seringkali merupakan aspirasi dari kelompok elit menuju kelompok massa,
dikarenakan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok elit dimaksud tidaklah
sama dengan nilai-nilai yang dipahami oleh kelompok massa. Meskipun
dalam perkembangannya konsep dimaksud seringkali diterobos dengan
adanya konsep legalitas dari kompromi kelompok-kelompok yang
berkepentingan, meskipun pada gilirannya hal tersebut belumlah dapat
dikatakan adanya suatu jaminann dalam menjawab kebutuhan keadilan rakyat
yang sesungguhnya.
Bila dilihat hukum sebagai suatu bentuk perundang-undangan, maka
dapat disebutkan bahwa hukum merupakan produk politik. Oleh karena
hukum sebagai produk politik, maka Mahfud MD dan Benny K Harman
memandang hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu adanya keterkaitan
erat antara hukum dan politik dengan menghadirkan sistem politik sebagai
variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Sehingga
proses dan konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk hukum
dan karakter kekuasaan kehakiman52.
Untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah diputuskan dalam suatu
bentuk peraturan perundang-undangan, maka penuangannya kedalam bentuk
hukum dimaksud haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Lon. L Fuller
dalam Esmi warassih menyebutkan haruslah dicermati apakah peraturan
tersebut memenuhi 8 (delapan) asas atau princples of legality berikut ini :
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
52 Moh. Mahfud MD. 1998. Politik hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES. Hlm 5-8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
5. Suatu sisitem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah. 8. Harus ada kecocokoan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari.
Dari pasal 284 ayat (2) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua
macam perkara yang wewenang penyidikannya berbeda, yaitu perkara yang
terdapat aturan khusus acara pidananya yang diatur dalam undang-undang
tertentu. Terhadap perkara semacam ini untuk sementara waktu tidak
diberlakukan ketentuan dalam KUHAP. Adapun macam kedua adalah
perkara-perkara pidana pada umumnya yang harus mengikuti ketentuan
dalam KUHAP. Pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa :
" Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka
terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu, sampai ada perubahan
dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi".
Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, yang dimaksud
dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu "ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada, antara lain : Undang-undang tentang pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ( undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun
1955). Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
(Undang-undang nomor 3 tahun 1971), dengan catatan bahwa semua
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam Undang-undang
tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-
singkatnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap perkara-perkara
pidana yang tidak diatur dalam undang-undang tertentu yang ketentuan acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
pidananya berbeda (seperti perkara korupsi, subversi, ekonomi dan
sebagainya), maka semua ketentuan KUHAP berlaku, termasuk dalam
wewenang penyidikan. Dalam soal ini, dapat diambil contoh masalah siapa
yang berwenang melakukan penyidikan. Menurut pasal 6 KUHAP, seperti
telah diuraikan diatas, penidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan atas perkara-
perkara pidana umum seperti itu. Wewenang jaksa terutama adalah
penuntutan tetapi dalam perkara korupsi Jaksa dapat juga langsung
melakukan penyidikan.
Ketentuan khusus acara pidana telah dijelaskan pada penjelasan resmi
pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal ini
diperjelas lagi oleh Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 1983. Pasal 17
peraturan pemerintah tersebut mengatur :
"Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2)
KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang
berwenag lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan".
Jadi disini terdapat dualisme kewenangan antara Polisi dan jaksa. Dalam
kasus korupsi Polisi dan jaksa sama-mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyidikan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang berlaku
dalam undang-undang.
Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan
penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para
anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik"
pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6
Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan
tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13
Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian
"Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik".
Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang
bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang
mempunyai wewenang itu".
2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan
NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan
Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan
badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol
TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse
Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak
Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada
tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag
Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk
unit Tipikor dibawah Kasatserse.
3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997
(LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian
Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan
Peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasi-
argumentasi sebagai berikut :
1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius
specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek
pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik,
sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1983.
3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun
1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara
lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien
dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan
meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
terwujudnya nasional bangsa Indonesia.
4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang
penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi
antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1,
12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya.
5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17
disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas
dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat
dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana
korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung".
6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan
: " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung".
Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada
Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi.
Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal 44
ayat (3),(4), dan pasal 50.
b. Penegak Hukum / Birokrat
Sebagai fenomena sosial, hukum tidak berdiri sendiri, tetapi bertautan
dengan subsistem lainnya. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tatanan
hukum dibangun diantara dua rentang tatanan lainnya, yaitu tatanan
kesusilaan dan tatanan kebiasaan. Meskipun tatanan hukum tidak
sepenuhnya cerminan dari tatanan kebiasaan atau realitas sosial (law as
mirro of sociey), namun hukum belum sepenuhnya dapat melepaskan diri
dari tatanan kebiasaan. Dengan ungkapan lain, proses penjauhan dan
pelepasan diri dari tatanan kebiasaan belum berjalan secara seksama53.
Di sisi lain, penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau
ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya
dinegara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidaksesuaian antara
nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan
nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.
Robert Seidman menyatakan hukum menyatakan para pemegang
peran mampu memberikan motifasi, baik yang berkehendak untuk
meyesuaikan diri dengan norma (conform) maupun yang berkehendak untuk
menyesuaikan diri dengan keharusan norma (nonconform)54.
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga
masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan
sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai
kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflik dan conflik of roles).
Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesengajaan antara peranan yang
53 Satjipto Rahardjo, 2006. Loc,cit. hlm.17. 54 Ibid, hlm. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
seharusnya dan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual,
maka terjadi suatu kesengajaan peranan (role-distance).
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,
yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau
menjalankan peran yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka
golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional
tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau
masyarakat luas.
Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan
yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin
berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang
memerlukan penanggulangan tersebut, adalah :
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak
lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga
sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.
Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam
proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum
yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
1. Terdapatnya penghentian Penyidikan Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2)
KUHAP, meliputi :
a. Tidak terdapat cukup bukti.
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut
tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang
pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik
berwenang melakukan penghentian penyidikan.
Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap
mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu
saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik
diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka
periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan
kapada Penuntut Umum.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat
bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan
perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang
melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang
disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk
kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan
kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan
perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam
ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan
untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi
penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.
c. Penghentian penyidikan demi hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya
sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya
hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undang-
undang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam
ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain :
(1) Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang
kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas
perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan
telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang
berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan
sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni
kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalahh
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang
bersangkutan.
(3) Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78
KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti
yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut
hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi
dilakukan.
2. Kurang Profesionalnya Jaksa
Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam
menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat
dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD
kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres
karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan
bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri
karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi
tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa
dikatung-katungkan begitu saja55. Selain itu masih adanya yang masih
bisa disuap.
3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan.
Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan
suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang
diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya
jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai
dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik
kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun
kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus.
Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan
sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan
kasus korupsi teresbut berhenti ditempat.
4. Manajemen sumber daya manusia
Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan
dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus
yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung
dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau
petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut
benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat
dalam menangani penyidikan kasus korupsi.
55 Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
3. Faktor Sarana atau Fasilitas.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana tersebut antara
lain mencakup, tenaga manusiia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.
Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan
mencapai tujuannya.
1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan
Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan,
kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses
penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme
dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan
sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan
dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud
antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan
operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses
internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika
melaksanakan penelitian, Kejaksaan Negeri Karanganyar belum
dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum
dilengkapi dengan foto kopi.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari
sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah,
bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku
penegak hukum tersebut.
Seseorang dapat diharapkan atau bertingkah laku sesuai dengan
perubahan yang dikehendaki oleh hukum. Bilamana tidak adanya komunikasi
tentang makna peraturan, maka setidaknya masyarakat tetap bertingkah laku
sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan dan ataupun nilai-nilai yang
telah melembaga. Oleh karena komunikasi hukum merupakan salah satu
faktor dalam membentuk pemahaman, penerimaan dan penataan masyarakat
pada isi Undang-undang.
Dalam hal ini setidaknya B. Kutschincky sebagaimana dalam soerjono
Soekanto56 menyebutkan adanya 3 (tiga) indikator dalam hal kesadaran
hukum yaitu :
1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awarenes)
2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquintance)
3. Pola-pola perikelakuan (legal behavior).
Untuk memasukkan nilai-nilai baru ke dalam masyarakat memerlukan
perubahan sikap dari anggota-anggota masyarakat. Oleh karena hukum yang
dipakai sebagai sarana untuk merubah tingkah laku tentunya mengandung
nilai-nilai yang telah dipahami benar oleh masyarakat.
Oleh WJ. Chambliss dan RB. Seidman menyebut bahwa adressat
hukum sebagai pemegang peran, yang diminta untuk memenuhi peran
sebagaimana yang diharapkan dalam hukum tersebut. Meskipun dalam
pencapaian peran yang diharapkan tersebut terdapat ketidak cocokkan
dengan peran yang dilakukan. Oleh karena hukum mempunyai suatu fungsi
56 Soerjono Soekanto, op.cit hlm 159
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
dalam masyarakat, maka hukum merupakan lembaga yang bekerja
dimasyarakat. Dalam hal ini dapat dilibatkan sikap individu anggota
masyarakat terhadap pemahaman dimaksud, sehingga berhasil tidaknya
penerapan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum itu dapat dilihat dari
pemahaman yang melatar belakanginya.
Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil
penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul
dari masyarakat, yaitu :
a. Pelaku (subyek hukum) dilindungi Korps, atasan atau temen-temannya.
Pada umumnya kasus-kasus yang berkualifikasi tindak pidana korupsi
ada saling keterkaitan, baik dengan organisasi, atasan maupun dengan
teman-teman pelaku. Sering terungkap bahwa suatu kasus korupsi
dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau atasan atau juga
memang merupakan kerjasama atau kolusi antar atasan dan pelaku atau
antara pelaku dengan teman-teman seorganisasinya. Untuk menjaga
nama baik organisasi atau untuk melindungi kepentingan atasan itu
sendiri. Pelaku sering menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus
atau perkara korupsi baik dalam bentuk psikis maupun fisik, berupa
ancaman melalui surat maupun telpon, pemberitaan negatif, unjuk rasa
kepada para penegak hukum.
b. Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu
didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat
kita yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses
penyidikan tetapi karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari
sekelompok masyarakat yang mengetahui adanya Tindaka Pidana
Korupsi tadi proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak bisa segera
dilaksanakan dan akhirnya terpaksa mengalami sebuah problematika
yang panjang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
d. Ada juga masyarakat yang melaporkan tentang terjadinya Tindak Pidana
Korupsi. Seperti hasil wawancara penulis dengan warga masyarakat
"…terhadap kasus-kasus yang menyangkut indikasi penyelewengan
keuangan negara termasuk tindak pidana khusus seperti korupsi, kami
memasukkan pengaduan atau aopran secara tertulis pada kejaksaan
setempat, sedangkan terhadap kasus-kasus tindak pidana umum kami
melaporkannnya kepada kepolosian…" (Wawancara tanggal 30 dan 31
Agustus 2010).
Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta
membantu upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta
masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk :
1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi
tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani
perkara tindak pidana korupsi.
2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30
hari.
4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan
telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi.
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi
si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak
pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan
dengan si pelaku saja.
5. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non materiel. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum hukum yang berlaku, nilai-nilai
yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Kebudayaan
(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari).
Dengan mendasarkan kepada teori penegakan hukum dari Soerjono
Soekanto, maka faktor kebudayaan yang dimaksud adalah budaya hukum
dari masyarakat tersebut adalah :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Untuk membangun budaya hukum atau membuat hukum lebih
bertenaga (empowerment hukum) di masyarakat perlu adanya :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
1. Melihat hukum sebagai causa (penyebab) dengan ini maka hukum
diciptakan untuk mengubah masyarakat untuk menjadi lebih baik.
Dengan demikian hukum akan dilihat sebagai suatu mekanisme untuk
melakukan perubahan.
2. Melihat hukum positif dalam perpektif agama sebagai sesuatu yang baik
dan harus ditaati. Dengan ini kita tidak menganggap hukum yang berlaku
di masyarakat semata-mata ciptaan manusia yang selalu salah, namun
melihat bahwa hukum itu adalah subordinasi dari hukum Tuhan yang
diciptakan sebagai perpanjangan hukum Tuhan yang saling terkait.
3. Menganggap bahwa jika kita mencederai hukum maka kita mencederai
manusia lain, jika kita mencederai manusia lain maka kita juga
mencederai Tuhan.
4. Melihat diri kita pribadi sebagai cermin dari aparat hukum (bukan berarti
dengan demikian lalu main hakim sendiri) tetapi dengan berfikir cara-
cara aparat kita akan selalu berusaha untuk menjadi contoh keteladanan.
Sebagai aparat hukum tentunya kita akan aware bahwa kita harus selalu
berperilaku dalam koridor ketentuan hukum.
2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan Jaksa Untuk Mengatasi
Problematika Tersebut
Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda
kehidupan masyarakat Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri
hingga saat ini, pemerintah dan masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan
pemberantasan kejahatan korupsi. Cukup banyak peraturan perundang-undangan
pemberantasan korupsi yang dibuat dan berganti dalam kurun waktu keberadaan
negara ini. Berturut-turut peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai
dari KUHP, peraturan Penguasa militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tertanggal 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor :
PRT/PEPERPU/013/1958 tertanggal 16 April 1957, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor : 24 tahun 1960 (yang disahkan menjadi
undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961), Undang-
undang Nomor 3 tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 sampai dengan terakhir Undang-undang Nomor
30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap
pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan
dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif
memberantas tindak pidanna korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.
Akan tetapi anehnya, setiap pergantian atau perubahan atas perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi, senantiasa terjadi pada masa-masa
peralihan situasi politik. Apakah hal itu secara kebetulan atau sengaja dijadikan
isu politik untuk men-“suci”-kan diri bagi pemerintah yang sedang berkuasa
ataupun pihak-pihak yang ingin berkuasa, tidak dapat diketahui dengan pasti.
Namun yang jelas, setiap kali terungkap kasus-kasus korupsi yang besar, segera
menyentakkan dan meresahkan masyarakat. Selanjutnya diikuti dengan
peningkatan tuntutan masyarakat agar kasus-kasus korupsi dimaksud segera
diselesaikan melalui proses peradilan.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 didasarkan pada alasan-alasan
sebagaimana dapat dicermati dalam Penjelasan Umum Undang-undang tersebut
yang menyatakan bahwa penegakan hukum untuk pemberantasan tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan berbagai metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai
kewenangan luas, indepanden serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantsan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya secara optimal,
intensif, profesional serta berkesinambungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini sudah
dilaksanakan oleh lembaga Kejaksaan, maka menerik untuk dikaji, sejauh mana
peranan kejaksaan dalam pelaksanaan penegakan hukum setelah Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terbentuk.
Upaya-upaya yang telah dilaksanakan khususnya oleh Kejaksaan dalam
mengatasi kendala-kendala atau problematika tersebut diatas demi tegaknya
hukum dan lancarnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :
a. Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka
sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada
Kapolres dan / atau Kapolda, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian
pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangai suatu tindak pidana
korupsi, maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan dimulainya
Penyidikan sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan Tembusan
kepada Kepala Kejaksaan Negeri Setempat.
b. Aparat Kejaksaan harus bekerja secara independen tanpa intervensi atau
dipengaruhi oleh lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan
murni mengacu kepada undang-undang yang berlaku.
c. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT
(cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya
sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan
masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3
bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta
pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak
Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana
Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.
d. Jaksa Penyidik dari kejaksaan dalam melakukan penyidikan berusaha
meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem
perundang-undangan yang ada. Karena tanpa adanya sistem perundang-
undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak
akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita ketahui bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau
extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan kerah putih.
Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-
orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara.
e. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus
dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang
penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada
petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan
mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa
Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran
kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana
korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan
pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang
terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara
tindak pidana korupsi.
f. Jaksa penyidik tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada
masyarakat umum agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana
korupsi yang mereka ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi
dengan berbagai alasan. Sebagaimana kita ketahui bahwa peran serta
masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sangatlah penting,
mengingat bahwa, pertama, banyak pejabat penegak hukum yang masih ada
hubungan dengan pelaku korupsi pada masa sebelumnya. kedua, hukum
(pidana) mempunyai kemampuan terbatas sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan (korupsi).
g. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa
Penyidik adalah :
• Dalam hal pemanggilan saksi
Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan
panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana
tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila
saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari
nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal
dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.
• Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka
Apabila tersangaka tidak berada ditempat maka penyidik
memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka
berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi
apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak
penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak
ingkar dari tersangka yang harus dihargai.
• Penggeledahan
Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua
pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan
penggeledahan. Apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua
pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik
dari kejaksaan.
• Penyitaan
Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang bukti. Dapun
tujuan dari penyitaan adalah untuk menjamin barang bukti dalam
posisi aman ditangan penyidik, sehingga pada saat diperlulan
disidang pembuktian dapat digunakan sebagai alat bulti
dipersidangan.
• Penangkapan dan penahanan
Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu
yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan
terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau
ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka
langsung ditangkap.
• Pemberkasan
Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih
teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi
kesalahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang dada, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi
a. Undang-Undang
Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan
penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para
anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik"
pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6
Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan
tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13
Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian
"Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik".
Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang
bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang
mempunyai wewenang itu".
2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan
NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan
Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan
badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol
TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse
Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada
tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag
Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk
unit Tipikor dibawah Kasatserse.
3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997
(LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian
Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan
Peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasi-
argumentasi sebagai berikut :
1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius
specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek
pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik,
sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.
2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1983.
3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun
1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara
lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien
dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan
meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
terwujudnya nasional bangsa Indonesia.
4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang
penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1,
12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya.
5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17
disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas
dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat
dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana
korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung".
6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan
: " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung".
Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada
Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi.
Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan
Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal
44 ayat (3),(4), dan pasal 50.
b. Penegak Hukum / Birokrat
Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan
yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin
berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang
memerlukan penanggulangan tersebut, adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak
lain dengan siapa dia berinteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga
sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan
tertentu, terutama kebutuhan material.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan
konservatisme.
Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam
proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum
yaitu :
1. Terdapatnya Penghentian Penyidikan
Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2)
KUHAP, meliputi :
a. Tidak terdapat cukup bukti.
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut
tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang
pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik
berwenang melakukan penghentian penyidikan.
Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap
mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu
saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik
diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan
kapada Penuntut Umum.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat
bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan
perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang
melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang
disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk
kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan
kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan
perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam
ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan
untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi
penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.
c. Penghentian Penyidikan Demi Hukum
Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya
sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya
hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undang-
undang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam
ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain :
1). Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang
kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana
atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili
dan telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang
berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
2). Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan
sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni
kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah
menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang
bersangkutan.
3). Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78
KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti
yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut
hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi
dilakukan.
2. Kurang Profesionalnya Jaksa
Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam
menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat
dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD
kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres
karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut
Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan
bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri
karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi
tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa
dikatung-katungkan begitu saja57. Selain itu masih adanya yang masih
bisa disuap.
57 Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan.
Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan
suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang
diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya
jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai
dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik
kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun
kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus.
Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan
sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan
kasus korupsi teresbut berhenti ditempat.
4. Manajemen sumber daya manusia
Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan
dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus
yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung
dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau
petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut
benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat
dalam menangani penyidikan kasus korupsi.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan
Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan,
kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses
penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme
dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan
sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud
antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan
operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses
internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika
melaksanakan penelitian, Kejaksaan Negeri Karanganyar belum
dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum
dilengkapi dengan foto kopi.
4. Faktor Masyarakat
Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil
penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul
dari masyarakat, yaitu :
" Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu
didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat kita
yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses penyidikan tetapi
karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari sekelompok masyarakat
yang mengetahui adanya Tindaka Pidana Korupsi tadi proses penyidikan
tindak pidana korupsi tidak bisa segera dilaksanakan dan akhirnya terpaksa
mengalami sebuah problematika yang panjang".
Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta membantu
upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat
dapat diwujudkan dalam bentuk :
1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi
tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani
perkara tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan
yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30
hari.
4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan
telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang
menangani perkara tindak pidana korupsi.
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi
si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak
pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak
pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan
dengan si pelaku saja.
5. Faktor Kebudayaan
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
2. Upaya-upaya Yang dapat Dilakukan Jaksa Untuk Mengatasi
Problematika Tersebut
a. Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka
sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada
Kapolda dan / atau Kapolres, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangani tindak pidana korupsi,
maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan tembusan kepada Kepala
kejaksaan Negeri setempat.
b. Aparat Kejaksaan dituntut bekerja secara intervensi atau dipengaruhi oleh
lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan murni mengacu
kepada undang-undang yang berlaku.
c. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT
(cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya
sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan
masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3
bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta
pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak
Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana
Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.
d. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus
dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang
penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada
petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan
mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa
Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran
kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana
korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan
pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang
terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara
tindak pidana korupsi.
e. Meminta kepada pembuat Undang-undang untuk membenahi sistem
perundang-undangan yang ada. Seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3
Undang-undang Tindak pidana korupsi. Jaksa dan Hakim sering bingung
dalam menafsirkan isi dari pasal tersebut. Karena tanpa adanya sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
perundang-undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana
korupsi tidak akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita
ketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar
biasa atau extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan
kerah putih. Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara. Jaksa penyidik
tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada masyarakat umum
agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang mereka
ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi dengan berbagai
alasan.
f. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa
Penyidik adalah :
• Dalam hal pemanggilan saksi
Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan
panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana
tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka
jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila
saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari
nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal
dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.
• Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka
Apabila tersangaka tidak berada ditempat maka penyidik
memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka
berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi
apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak
penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak
ingkar dari tersangka yang harus dihargai.
• Penggeledahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua
pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan
penggeledahan. Apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua
pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik
dari kejaksaan.
• Penyitaan
Penyitaan bisa dilakukan tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri.
• Penangkapan dan penahanan
Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu
yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan
terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau
ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan
dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka
langsung ditangkap.
• Pemberkasan
Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih
teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi
kesalahan.
B. IMPLIKASI
Dari hasil kesimpulan diatas, maka konsekuensi yang dapat ditimbulkan
antara lain :
1. Peran kejaksaan pasca pembentukan Komisi Tindak Pidana korupsi bukan
semakin ringan. Profesionalisme dan integritas kepribadian Jaksa menjadi
tumpuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegagalan dan
penyalahgunaan yang dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi akan mendorong komisi untuk mengambil tindakan
terhadap aparat Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Pemberantasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Tindak Pidana orupsi. Apabila problematika yang terjadi pada proses
penyidikan tindak pidana korupsi tersebut tidak segera diminimalisir,
maka akan berpengaruh luas pada upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Apabila faktor sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, maka akan terjadi
stagnasi penyidikan perkara korupsi terutama didaerah, sehingga bukan
tidak mungkin penyidikan kasus korupsi terhambat.
C. SARAN
1. a) Pembuat Undang-undang diharapkan segera melakukan
penyempurnaan berbagai produk Undang-undang yang berkaitan
dengan upaya penanggulangan korupsi, terutama ketentuan-ketentuan
yang justru dapat menghambat proses penyidikan perkara korupsi,
misalnya ketentuan mengenai penyidikan kepala daerah, anggota DPR
dan MPR yang mana disebutkan harus ada persetujuan terlebih dahulu
dari presiden. Ketentuan tersebut hendaknya dirubah menjadi :
Penyidikan terhadap kepala daerah, anggota DPR dan MPR
diberitahukan kepada Presiden”. Jadi, penyidik cukup memberitahukan
adanya penyidikan terhadap pejabat negara tersebut.
b) Pemerintah pusat hendaknya memberikan tambahan jumlah peyidik
khususnya peyidik tindak pidana korupsi pada tiap-tiap Kejaksaan
Negeri dan memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai
untuk dilakakukannya penyidikan tindak pidana korupsi supaya hasil
yang dicapai bisa maksimal. Selain itu juga Pemerintah harus berusaha
menaikan gaji pegawai sehingga kehidupan para pegawai bertambah
makmur. Dengan bertambah makmurnya pegawai diharapkan tidak
melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu juga mengadakan
perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk
terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak
pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
dari kelemahan manajemen. Menggiatkan pelaksanaan pengawas
melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan setempat.
c) Aparat penegak hukum hendaknya segera melakukan reformasi
internal, baik secara kelembagaan maupun secara pribadi. Upaya ini
diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum untuk bersifat
secara positif dalam merespons spirit moral dan keinginan Undang-
undang.
2. a) Perlu adanya pedoman-pedoman yang secara khusus dan terperinci
dibuat sebagai dasar proses penyidikan perkara korupsi dilapangan oleh
petugas, sehingga dapat dengan cepat mengidentifikasi perbuatan-
perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Juga perlu adanya peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia
terutama dari penyidik dengan cara melalui program pelatihan baik
ekstra maupun ontra kulikuler, misalnya studi lanjut ke program Strata
II (Magister) dan Strata III (Doktor).
b) Terhadap anggota masyarakat diharapkan agar dapat meningkatkan
peran sertanya dalam membantu upaya penegakan hukum untuk
sebuah penyidikan tindak pidana korupsi pada khususnya. Peran serta
ini dapat berupa kontrol secara aktif terhadap lembaga-lembaga yang
mempunyai potensi tejadinya Tindak Pidana Korupsi maupun
memberikan masukan atau laporan tentang adanta Tindak Pidana
Korupsi. oleh karena itu adanya lembaga swadaya masyarakat yang
peduli terhadap upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi sangat
diperlukan, karena dapat membantu petugas Penyidik Kejaksaan dalam
melakukan Penyidikan.
c) Memperbaiki moral. Baik moral pegawai, moral penegak hukum dan
moral masyarakat atau rakyat. Sebab bila moral seseorang itu baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
maka orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan yang tidak baik,
apalagi melakukan tindak pidana korupsi.