77
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara memiliki lembaga yang bergerak dibidang penuntutan, seperti halnya di negara Amerika, Belanda, Perancis, Swedia, dan Jepang. Penuntutan di setiap negara memiliki posisi yang berbeda dalam kerangka negara. Kesamaannya adalah bahwa di setiap negara ada beberapa pejabat publik (sering kali Menteri Kehakiman), yang bertanggung jawab di parlemen untuk performa layanan penuntutan. Pengaruh langsung yang lebih dari warga adalah ketika mereka diperbolehkan untuk memilih Hakim dan Jaksa, sistem ini yang dikenal di Amerika Serikat. Amerika Serikat (setidaknya di tingkat negara bagian), efeknya adalah bahwa seorang jaksa harus mengambil kehendak publik diperhitungkan, jika ia ingin mempertahankan jabatannya. 1 Dalam praktek keberadaan sistem penuntutan dalam suatu negara tidak memiliki keseragaman, masing-masing negara memiliki model yang berbeda-beda. Pada negara- negara Eropa Kontinental keberadaan sistem penuntutan jika dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan 1 Openbaar Ministerie Speech, A Prosecution Service must always be a Public Prosecution Service, 16 februari 2006, dalam www.google.com, diakses tanggal 12 September 2011

Jaksa Joko Ready Wess

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jaksa Joko Ready Wess

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap Negara memiliki lembaga yang bergerak dibidang penuntutan, seperti

halnya di negara Amerika, Belanda, Perancis, Swedia, dan Jepang. Penuntutan di

setiap negara memiliki posisi yang berbeda dalam kerangka negara. Kesamaannya

adalah bahwa di setiap negara ada beberapa pejabat publik (sering kali Menteri

Kehakiman), yang bertanggung jawab di parlemen untuk performa layanan

penuntutan. Pengaruh langsung yang lebih dari warga adalah ketika mereka

diperbolehkan untuk memilih Hakim dan Jaksa, sistem ini yang dikenal di Amerika

Serikat. Amerika Serikat (setidaknya di tingkat negara bagian), efeknya adalah

bahwa seorang jaksa harus mengambil kehendak publik diperhitungkan, jika ia ingin

mempertahankan jabatannya.1

Dalam praktek keberadaan sistem penuntutan dalam suatu negara tidak

memiliki keseragaman, masing-masing negara memiliki model yang berbeda-beda.

Pada negara-negara Eropa Kontinental keberadaan sistem penuntutan jika dikaitkan

dengan teori pemisahan kekuasaan (Separation of Powers) melahirkan beberapa

model (type), seperti:2

1. Sistem penuntutan merupakan bagian kekuasaan eksekutif, berada dibawah

Menteri Kehakiman dan kepala pemerintahan. Model seperti ini disebut

model Perancis (Prosecutions of Franch type). Selain diadopsi oleh negara

Peracis juga dapat ditemukan pada negara anatara lain Czech Republic,

Netherlands dan Japan.

2. Sistem penuntutan yang terpisah dan mandiri dari kekuasaan esekutif,

bertanggungjawab kepada parlement. Model seperti ini dapat ditemukan pada

negara antara lain Hungaria, Slovak Republic dan Macedonia.

1 Openbaar Ministerie Speech, A Prosecution Service must always be a Public Prosecution Service, 16 februari 2006, dalam www.google.com, diakses tanggal 12 September 2011

2 Ibid

Page 2: Jaksa Joko Ready Wess

2

3. Sistem penuntutan tercakup dan memiliki hubungan dengan kekuasaan

kehakiman (judicial). Model seperti ini dapat ditemukan pada negara,

antara lain Italia dan Bulgaria.

Perlu ditekankan disini, bahwa semua model di atas hanya bersifat fungsional

yakni berkaitan dengan masalah mencari jawaban yang mana dari tiga model

penuntutan tersebut lebih memenuhi syarat terciptanya negara hukum yang

demokratis. Berbeda dengan negara-negara Eropa Kontinental, beberapa negara-

negara eks-komunis atau pada negara-negara pecahan Union of Soviet terdapat

kecenderungan meletakkan lembaga pelaksana sistem penuntutan sebagai bagian

kekuasaan kehakiman dan tidak berada dibawah kekuasaan pemerintah, sehingga

sistem penuntutan menjadi bagian dari kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan

kehakiman. Seperti dapat ditemukan pada negara Azerbaijan dan Georgia. Hal ini

disebabkan ketika negara-negara tersebut menjadi bagian Union of Soviet lembaga

pelaksana sistem penuntutan diberikan kekuasaan yang sangat besar untuk

membangun dan mendukung rejim totaliter, yang pada akhirnya menyebabkan

adanya trauma politik3.

Mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam sistem

penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat

berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan4.

Tidak dapat dipungkiri jaksa penuntut umum memiliki peranan penting

dalam sistem peradilan pidana, karena di tangannyalah nasib tersangka ditentukan,

apakah ia akan dituntut atau tidak di muka pengadilan5. Secara de jure, Jaksa Agung

memiliki kewenangan istimewa untuk menyampingkan perkara demi kepentingan

umum (deponee-ring/deponir), tetapi sayangnya secara de facto kewenangan

istimewa tersebut tidak pernah terdengar gaungnya di republik ini6.

3 Hamzah, A. “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah diajukan pada seminar menyambut hari bakti adyaksa, Jakarta 20 Juli 2000.

4 Marwan Effendi. 2005. “Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya”. Jakarta. Gramedia. hal 6

5 Dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Page 3: Jaksa Joko Ready Wess

3

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai

kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang

dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai

penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi

pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang

Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan

peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan7.

Jaksa memahami bahwa sebagai “kuasa hukum (legal representative)” dari

kepolisian dan untuk menjelasakan pendapat-pendapat pihak kepolisian dihadapan

pengadilan atau Jaksa dapat pula mengambil peran sebagai “konsultan hukum

(domestic legal adviser)” yang memberikan nasehat hukum kepada polisi bagaimana

melasanakan prosedur-prosedur hukum. Di lain sisi, Jaksa menganggap dirinya

sebagai pihak yang utama dalam “mewakili pengadilan” dalam melaksanakan

kewajibannya untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum8.

Mengacu pada Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, maka

pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan harus dilaksanakan

secara merdeka9. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya,

bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan

melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga telah

mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30,

6 Moch. Faisal Salam. 2001. “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”. Bandung: Mandar Maju. hal 34

7 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. 1987. “Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia”. Jakarta. PT Bina Aksara. hal 67

8 Harun M.Husein, 1994. “Surat Dakwaan”. Jakarta. PT Rineka Cipta. hal 6-79 Marwan Effendi. Ibid, hal 15

Page 4: Jaksa Joko Ready Wess

4

yaitu: a. Melakukan penuntutan, Melaksanakan penetapan hakim dan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. Melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana

pengawasan, dan keputusan bersyarat; c. Melaksanakan penyidikan terhadap tindak

pidana tertentu berdasarkan undang-undang; dan d. Melengkapi berkas perkara

tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

ke pengadilan.

Kritik terhadap eksistensi Rentut antara lain disebutkan: Jaksa menjadi tidak

lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan fungsinya; Jaksa menjadi kurang

bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidananya bukan lagi dilakukan

oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan; Tidak memberi kesempatan

berkembangnya profesionalisme jaksa.

Dalam tataran realitas, sesungguhnya JPU yang menangani perkara itulah

yang paling tahu dan paling mengerti dengan kondisi yang sebenarnya selama proses

persidangan, sementara atasannya sama sekali tidak mengetahui secara riil proses

persidangan yang berlangsung tersebut. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu

dengan kondisi riil proses persidangan lalu mempunyai kewenangan untuk

menetapkan tuntutan pidananya?10

Ini tidak logis dan tidak masuk akal. Apalagi misalnya proses persidangannya

berlangsung di Indonesia bagian Timur nun jauh di sana, sementara Rentut-nya

ditetapkan oleh Jaksa Agung yang berada di Jakarta, yang notabene tidak tahu sama

sekali dengan kondisi riil persidangan terhadap seseorang. Bukankah hal ini sebuah

lelucon yang tidak lucu? Kalau alasannya untuk meminimalisir terjadinya disparitas

pidana agar tidak terlalu mencolok, ini juga tidak masuk akal. Karena hakim

berwenang untuk menjatuhkan putusan di bawah maupun di atas tuntutan pidana

yang diajukan oleh JPU11.

10 Zul Akrial, Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau. Dalam www.hukumonline.com . Diakses tanggal 12 September 2011, pukul 13.30

11 Ibid

Page 5: Jaksa Joko Ready Wess

5

Di lumajang, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Mustikawati, kasir

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Lumajang unit Pasirian yang

mengakibatkan kerugian negara sebesar lebih kurang seratus juta rupiah.

Dalam tindak pidana tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan rencana

tuntutan (rentut) ke Kajari Lumajang dengan hukuman penjara 1 (satu) tahun 4

(empat) bulan, dengan pertimbangan bahwa pada waktu terdakwa melakukan

perbuatan tersebut dalam kondisi yang terpaksa karena uang tersebut dipergunakan

untuk membiayai suami yang sedang sakit dan biaya pendidikan anaknya, akan

tetapi oleh Kajari, rencana tuntutan (rentut) tersebut dimasukkan menjadi 2 (dua)

tahun. Hingga akhirnya terdakwa di vonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri

Lumajang dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun.

Vonis Pengadilan Negeri Lumajang, pada terdakwa Mustikawati, membuat

JPU melakukan banding atas putusan tersebut. Dalam hal ini Tindakan JPU

berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) untuk putusan hakim kurang

dari ⅔ tuntutan. Langkah banding yang dilakukan JPU tersebut merupakan gambaran

atas kemandirian Jaksa dalam melaksanakan tugas penuntutan yang harus mengikuti

instruksi atasannya yang ‘dianggap’ selalu benar dan ‘dianggap’ adil.

Selaras dengan upaya pembangunan diarahkan kepada Visi Indonesia 2014,

yakni “terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan”, dan

untuk menuju cita-cita tersebut maka pembangunan Indonesia 2010-2014

dilaksanakan dengan tiga misi yaitu: (1) melanjutkan pembangunan menuju

Indonesia yang Sejahtera; (2) memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan (3)

memperkuat dimensi keadilan di semua bidang. Dalam mewujudkan visi dan misi

pembangunan nasional 2010-2014, Pemerintah menetapkan lima agenda utama

pembangunan, salah satu diantaranya adalah penegakkan hukum dan pemberantasan

korupsi.12

Dengan berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut

diatas merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan. Oleh

karena itu penulis menuangkan sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum

12 Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014

Page 6: Jaksa Joko Ready Wess

6

yang akan membahas kemandirian jaksa dalam membuat/menyusun rencana tuntutan

(rentut) dan kendala yang dihadapi dalam menyusun surat tuntutan (requisitoir)

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk

mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan

dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti

yang diharapkan. Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah

yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan rencana tuntutan (rentut) dalam proses perkara

pidana?

2. Bagaimanakah fungsi dan kedudukan surat tuntutan (requisitoir) dalam perkara

pidana?

3. Hambatan apa saja yang dihadapi jaksa penuntut umum dalam

menyusun/membuat rencana tuntutan (rentut)?

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti.

Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan objektif

a. Untuk mengetahui kedudukan rencana tuntutan (rentut) dalam proses perkara

pidana;

b. Untuk mendeskripsikan fungsi dan kedudukan surat tuntutan (requisitoir)

dalam perkara pidana;

c. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan yang dihadapi jaksa penuntut

umum dalam menyusun/membuat rencana tuntutan (rentut).

Page 7: Jaksa Joko Ready Wess

7

2. Tujuan subjektif

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan

hukum (tesis) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh

gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Widyagama.

b. Untuk memperluas pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek

hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya tentang

penuntutan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

dan aturan perundang-undangan yang lain.

c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat

memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada

umumnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat yang diperoleh

terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Teoritis

a) Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai pengaturan kewenangan

kejaksaan dalam penuntutan perkara pidana menurut Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai Jaksa Penuntut Umum

dan atau Jaksa Pengacara Negara dalam sistem peradilan di Indonesia.

b) Mengetahui deskripsi secara jelas mengenai kelebihan dan kelemahan

pengaturan Sistem Penuntutan dalam penuntutan perkara pidana menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2. Manfaat Praktis

a) Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti

b) Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus

untuk mengetahui kemampuan penulis dalam mengimplementasikan ilmu

yang diperoleh.

Page 8: Jaksa Joko Ready Wess

8

c) Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan

kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang

diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam

hal penuntutan.

1.5 Landasan Teori

Kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum nasional dapat

dilihat dari:

a. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan

Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait

dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal

41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan

fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis,

pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang

dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat

bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive

ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara

pidana.

b. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum

adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

melakukan penuntutan.

c. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan

posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem

ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh

kekuasaan pihak manapun.

Konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yaitu:

a. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP

menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan

Page 9: Jaksa Joko Ready Wess

9

Kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian

dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.

b. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan

lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan

Kejaksaan tidak mandiri dan independen.

Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di

bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan

terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres

No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang

memiliki kewenangan yang demikian besar, berdampak terhadap struktur

ketatanegaraan yang semakin membengkak, yang mengesampingkan asas dominus

litis (sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu

dan tidak terpisah-pisah).

Hal lain yang dapat juga dijadikan acuan dalam permasalahan dualisme

kewenangan penuntutan di Indonesia adalah tugas dan kewenangan lembaga-

lembaga pemberantasan korupsi di berbagai negara yang memiliki tujuan yang sama

untuk melakukan pemberantasan korupsi seperti KPK di Indonesia, hanya saja

kewenangannya hanya sampai tahap penyidikan dan selanjutnya Kejaksaan yang

berwenang untuk menentukan apakah perkara yang disidik tersebut dapat atau tidak

untuk diajukan penuntutan ke pengadilan. Kewenangan lembaga-lembaga tersebut

telah sesuai dengan ketentuan Article 6 United Nations Concention Against

Corruption yang menyebutkan bahwa pembentukan badan independen di setiap

negara dalam rangka pemberantasan korupsi adalah sebagai sarana untuk tindakan

pencegahan, akan tetapi kewenangan KPK di Indonesia yang dapat juga melakukan

penuntutan melampaui apa yang diatur dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

tersebut. Sebagai contohnya dapat dilihat sistem kerja atau kewenangan komisi

pemberantasan korupsi di negara-negara tetangga Indonesia yaitu Singapura,

Malaysia dan Australia sebagai berikut:

Page 10: Jaksa Joko Ready Wess

10

1. Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura CPIB merupakan

sebuah badan pemberantasan korupsi independen yang bertanggung jawab untuk

melakukan investigasi dan tindakan preventif korupsi yang berada di Singapura.

Kedudukan badan ini langsung di bawah Perdana Menteri dan dalam

melaksanakan tugasnya mempunyai kewenangan menentukan sendiri siapa yang

akan dituduh. Meskipun tugas utamanya adalah melakukan investigasi atas

kasus-kasus korupsi di lingkungan pemerintah dan swasta, tetapi untuk

melakukan penuntutan yang melakukannya adalah Kejaksaan Singapura atau

Attorney General Chamber (AGC). Selanjutnya AGC akan menelaah secara

detail berkas yang diajukan CPIB untuk diajukan ke pengadilan. Apabila tidak

cukup bukti, kasus tersebut disarankan oleh AGC ke CPIB untuk dialihkan ke

proses berdasarkan ketentuan administratif pegawai negeri, misalnya

dikategorikan sebagai kasus pelanggaran disiplin.

2. Badan Pencegah Rasuah (BPR) di Malaysia BPR dibentuk dengan tujuan untuk

menghapuskan segala bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang

dilarang oleh ketentuan perundang-undangan di Malaysia. Ketua badan ini

berada di bawah Perdana Menteri serta memiliki kantor pusat dan cabang di

setiap negara bagian. Dalam pengajuan tuntutan ke pengadilan, BPR harus

mendapat ijin dari pihak Jabatan Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia) yang

memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah kasus tersebut

diteruskan ke pengadilan atau tidak.

3. Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Negara Bagian New

South Wales, Australia. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang Komisi

Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1988 atau Independent

Commission Against Corruption Act 1988 yang bertujuan untuk melindungi

kepentingan umum, mencegah dilanggarnya kepercayaan masyarakat dan

sebagai pedoman kinerja bagi pegawai pemerintahan. ICAC dipimpin oleh

Commissioner yang diawasi oleh Inspector yang ditunjuk oleh gubernur dan

melaporkan hasil kerjanya setiap tahun kepada Parlemen. Tiga tugas utama

lembaga ini adalah untuk melakukan penyidikan dan mempublikasikan tindak

Page 11: Jaksa Joko Ready Wess

11

pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik

masyarakat luas tentang korupsi beserta akibat-akibatnya. Hasil penyidikan

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh ICAC dituangkan dalam bentuk

laporan yang disertai rekomendasi. Laporan ini dikirimkan kepada Parlemen dan

Jaksa Agung (Director of Public Prosecutions). Jaksa Agung yang nantinya akan

menentukan apakah kasus yang diselidiki oleh ICAC dapat atau tidak dilakukan

penuntutan, serta membawanya ke pengadilan apabila dapat dilakukan

penuntutan.

4. Bahwa selain bertentangan dengan ketentuan Article 6 United Nations

Concention Against Corruption, kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 40

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan lembaga ini tidak

berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan/Penuntutan

juga tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan kepastian hukum

yang berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila dalam tahap

tersebut ada tersangka/terdakwa yang perkaranya ditangani KPK tiba-tiba

meninggal dunia atau tidak mampu bertanggung jawab secara permanen.

Page 12: Jaksa Joko Ready Wess

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wewenang Jaksa Menurut KUHAP

Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia

diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan

Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Definisi Jaksa dan

Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana yaitu:

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatann hukum tetap.

2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Oleh karena

kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia wajib

mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1) Menerima dan memeriksa berkas;

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

segera mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan

petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan;

3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

4) Membuat surat dakwaan;

5) Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-

saksi;

7) Melakukan penuntutan;

Page 13: Jaksa Joko Ready Wess

13

8) Menutup perkara demi kepentingan hukum;

9) Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum;

10) Melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang menyatakan:

“Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan: “Penyidikan menurut

ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang

berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang

kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex

specialis).

Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-undang

Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai

penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu

perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih

lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan

penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif.

Page 14: Jaksa Joko Ready Wess

14

2.1.1 Wewenang Jaksa menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Jaksa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah “Pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan

pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

Mencermati isi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 ini, maka

jaksa mempunyai beberapa wewenang penting yaitu:

1. Sebagai penuntut umum

2. Sebagai pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

3. Serta adanya wewenang penting yang dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 30

undang-undang tersebut.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa

Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan

Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga

pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat

dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu

lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari

sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan

menjalankan kekuasaan yudikatif.

Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan

kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam

melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan

menjamin Jaksa di dalam menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan,

godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji

kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya.

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena

merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap

Page 15: Jaksa Joko Ready Wess

15

pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu

asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang

baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga

kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang

tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan.13

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, kedudukan jaksa

semakin mempertegas posisi Jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang

oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan Pelaksana

Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan wewenang

lain berdasarkan Undang-undang.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa

Kejaksaan memiliki kemerdekaan dan kemandirian dalam melakukan kekuasaan

Negara dalam bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan sebagai suatu lembaga

pemerintahan yang melakukan kekusaan negara di bidang penuntutan, bila dilihat

dari sudut kedudukan mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan suatu

lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, bila dilihat dari

sisi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan

menjalankan kekuasaan yudikatif.

Sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan

kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka. Kejaksaan dalam

melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan

pemerintah, dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini berarti bahwa negara akan

menjamin Jaksa di dalam menjalankan profesinya tanpa intimidasi, gangguan,

godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum teruji

kebenarannya, baik terhadap pertanggung jawaban perdata, pidana, maupun lainnya.

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena

merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan dengan tahap

pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan doktrin hukum yang berlaku suatu

asas bahwa Penuntut Umum mempunyai monopoli penuntutan, artinya setiap orang

13 Yudi Kristiana, “Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 52

Page 16: Jaksa Joko Ready Wess

16

baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut Umum, yaitu lembaga

kejaksaan karena hanya Penuntut Umum yang berwenang mengajukan seseorang

tersangka pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan.14

2.1.2 Wewenang Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi

Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa: “Salah satu tugas dan

kewenangan Kejaksaan di bidang pidana adalah melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa, kewenangan dalam ketentuan ini

adalah kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Jaksa selaku penyidik

tindak pidana korupsi dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan Undang-

undang tersebut. Rumusan mengenai kewenangan menyidik di dalam Undang-

undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Kejaksaan

Republik Indonesia tersebut menyebutkan bahwa penyidik untuk tindak pidana

korupsi adalah Kejaksaan yang mempunyai hak privilege yakni hak khusus untuk

dapat melakukan tindakan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Istilah penyidikan merupakan padanan kata yang berasal dari bahasa

Belanda yakni opsporing, dari bahasa Inggris yakni investigation.15

Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya”.

14 Yudi Kristiana, Ibid hal. 5215 Ibid, hal. 55

Page 17: Jaksa Joko Ready Wess

17

Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan

dengan penyidikan adalah:16

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan. 7. Pemeriksaan atau Interogasi. 8. Berita acara (Penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada

penyidik untuk disempurnakan.

Terhadap tindak pidana korupsi, sebelum lahirnya Undang-undang No. 31

Tahun 1999, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kejaksaan,

tetapi setelah lahirnya Undang-undang No. 31 Tahun 1999, yaitu Pasca Agustus

1999, penanganan terhadap tindak pidana korupsi memiliki berbagai pemahaman.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa pihak kepolisian yang berhak

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, namun ada pandangan lain

yang mengatakan dengan bertitik tolak dari ide bahwa materi tindak pidana korupsi

sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius specia, ius singular/ bijzonder

strafrecht), sebenarnya Kejaksaan berhak melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana korupsi.17

Sehubungan dengan ketidakjelasan ini, muncullah argumen-argumen yang

mendasari bahwa Kejaksaan berwenang menangani penyidikan tindak pidana

korupsi yaitu:18

a. Bahwa ketentuan hukum pidana dapat dikategorikan menjadi hukum pidana

umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius special, ius

singular/bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan

untuk berlaku secara umum, sedangkan yang dimaksud dengan ketentuan

16 Andi Hamzah, “Pengertian Hukum Acara Pidana”, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 122

17 Yudi Kristiana, Op. Cit, hal. 8018 Ibid, hal. 80-88

Page 18: Jaksa Joko Ready Wess

18

hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang

mengatur kekhususan subjek dan perbuatan yang khusus (bijzonder lijk

feiten). Tindak pidana korupsi sebagai bagian dari tindak pidana khusus juga

memiliki kekhususan dalam hukum acara.

b. Berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967

tentang Pembentukkan Tim Pemberantasan Korupsi yang menentukan bahwa

ketua timnya adalah Jaksa Agung, sesuai dengan Pasal 5 yang berbunyi:

“Ketua Tim Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa Agung, yang dalam

melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden”. Sedangkan tugas

dan fungsinya sebagai koordinator penyidik diatur dalam Pasal 3, yang

berbunyi:

“Tim Pemberantasan Korupsi mempunyai fungsi memimpin, mengordinir dan mengawasi semua alat-alat penegak hukum yang berwenang, baik sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum sipil maupun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.

c. Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang berbunyi: “Dalam waktu 2

bulan setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara

diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk

sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana disebutkan

pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan dinyatakan tidak

berlaku lagi”. Penjelasan dari Pasal 284 ini terdapat dalam Pasal 17 Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang

berbunyi:

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”19.

Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 dan Keputusan Presiden Nomor 15

Tahun 1991 yang menyatakan bahwa dalam pedoman pelaksanaan 19 Ketentuan yang menyatakan bahwa jaksa dapat menyidik tindak pidana tertentu, terdapat dalam

Pasal 32 huruf b Undang-undang No. 5 Tahun 1991, yang menyatakan bahwa: “Jaksa Agung

mengordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-

undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden”.

Page 19: Jaksa Joko Ready Wess

19

pengawasan, para menteri/pemimpin lembaga pemerintah non

departemen/pemimpin instansi lainnya setelah menerima laporan adanya

suatu perbuatan tindak pidana, maka pemimpin melakukan pengaduan tindak

pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia

dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus yakni tindak pidana korupsi.

d. Ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan

bahwa:

“Jaksa Agung mengordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”.

e. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja

Kejaksaan Republik Indonesia, dalam Pasal 16 menyebutkan bahwa:

“Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada jaksa agung”.

f. Undang-undang Kejaksaan Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor

16 Tahun 2004. Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 diatur tidak

secara tegas mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak

pidana korupsi.

Namun demikian, terdapat ketentuan yang secara tidak langsung mengakui

eksistensi kejaksaan untuk menyidik tindak pidana korupsi. Pasal 29 menyatakan

bahwa disamping tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam Undang-

undang Kejaksaan, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain yang

berkaitan dengan KUHAP Pasal 284 ayat (2), Undang- undang No. 03 Tahun 1971

jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-undang lain.

Dalam berkembangnya Undang-undang Kejaksaan yang baru yakni Undang-

undang Nomor 16 Tahun Tahun 2004 diatur secara jelas mengenai penyidikan yakni

dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan:

“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.

Page 20: Jaksa Joko Ready Wess

20

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dalam Pasal 33 dinyatakan bahwa:

“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

Dan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menyatakan:

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

2.2 Jaksa Sebagai Pengacara Negara Dan Sebagai Penuntut Umum

Kedudukan Kejaksaan dalam peradilan pidana di Indonesia mengalami

pergeseran sejalan dengan pergeseran tugas dan kewenangan yang dimilikinya.

Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, tugas dan kewenangan Kejaksaan diatur

dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 yang kita kenal

sebagai KUHAP sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur

dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang No. 16 Tahun 2004.20

Fungsi utama Kejaksaan dalam peradilan pidana adalah sebagai Penuntut

Umum dan Pelaksana Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 butir 1, 2, 3 juga Pasal 2 ayat (1), dan (2)

Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf A Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) juga menyatakan bahwa:

“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

20 Ibid, hal. 51

Page 21: Jaksa Joko Ready Wess

21

Dan Pasal 1 ayat (6) huruf B KUHAP tersebut juga menyebutkan bahwa:

“Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.21

Bila kita uraikan wewenang Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, yang

terdapat dalam KUHAP adalah sebagai berikut ini :

1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai

melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal

109 ayat (1)) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS

yang dimaksudkan oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan

dihentikan demi hukum;

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b dalam hal acara

pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik

pembantu (Pasal 12);

3. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan

ketentuan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2)

4. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 124 ayat (20)), melakukan

penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2)), Pasal 21 ayat (2),

Pasal 25 dan Pasal 26), melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2),

penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan.

5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan

penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal

tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31).

6. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau

membahayakan karena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan

pada perkara tersebut untuk memperoleh putusan pengadilan yang tetap atau

21 M. Karjadi dan R. Soesilo, “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar”, Politeia, Bogor, 1988, hal. 3

Page 22: Jaksa Joko Ready Wess

22

mengamankannya dengan disaksikan tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat

(1)).

7. Melarang atau membatasi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum

dengan tersangka akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4)),

mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa

mendengar isi pembicaraan antara mereka (Pasal 71 ayat (1)), dan dalam

kejahatan terhadap keamanan negara maka Jaksa dapat ikut mendengarkan

isi pembicaraan penasehat hukum dengan tersangka (Pasal 71 ayat (2).

Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka

tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan Penuntut Umum ke

Pengadilan Negeri untuk disidangkan (Pasal 74).

8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri untuk

memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik

(Pasal 80). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan

dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum

menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan

dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang

(Pasal 91 ayat (1)).

10. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan

atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139).

11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku

Penuntut Umum (Pasal 14 huruf (i)).

12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat

dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat

dakwaan (pasal 140 ayat(1)).

13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf

a), dikarenakan :

a. Tidak terdapat cukup bukti

Page 23: Jaksa Joko Ready Wess

23

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana

c. Perkara ditutup demi kepentingan umum

14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan

dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 ayat (2) huruf d).

15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat

dakwaan (Pasal 141).

16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang

memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka

(Pasal 142).

17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan

(Pasal 143)

18. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2))

19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan,

Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan

menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum

sidang dimulai (Pasal 144).

Yang menjadi perhatian kita atau yang menjadi sorotan kita dalam

perbandingan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara

Negara adalah bahwa Kejaksaan itu adalah een en ondeelbaar.22

Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang

selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah

yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.

16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

2.2.1 Kejaksaan dan Kebijakan Rentut

22 Asas pengorganisasian kejaksaan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas di bidang penuntutan, yaitu kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.

Page 24: Jaksa Joko Ready Wess

24

Rencana Tuntutan (rentut) bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses

peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh

Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA)

Nomor 09/1985. Istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah

Pedoman Tuntutan Pidana.

Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara

agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara

yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak

pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat

berubah seiring dengan perkembangan zaman.23

Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui

Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 antara lain

adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya,

menggunakan modus atau arena yang canggih, menimbulkan banyak korban,

berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah

terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat

perhatian khusus pimpinan.

Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa

Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA

keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu

perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan

pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan

tersebut.

Kejaksaan adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya

di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan

keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung

jawab kepada Presiden.

23 “Memahami Rencana Tuntutan Kasus Pidana”, Tabloid Berita Mingguan, Modus Aceh Edisi 12 Tahun VII, Kamis 9 Juli 2009. Dalam www.google.com. Diakses tanggal 12 September 2011

Page 25: Jaksa Joko Ready Wess

25

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan

kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan

satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Kejaksaan berada pada poros dan menjadi penyaring antara proses

penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana

penetapan dan keputusan pengadilan.

Sehingga, kejaksaan sebagai lembaga pengendali proses perkara, karena

hanya institusi kejaksaanlah yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat

diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum

Acara Pidana.

Sebelum melangkah ke pengadilan, jaksa menyiapkan surat dakwaan.

Berlainan dengan surat tuntutan, maka fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar

pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan

(requisitoir) sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka JPU harus mengajukan

surat tuntutan terlebih dahulu. Namun di internal kejaksaan, sebelum lahirnya

tuntutan, terdapat istilah Rencana Tuntutan (Rentut).

Dalam kaitannya dengan apa yang diuraikan di atas, Andi Hamzah

mengkritik, rentut berjenjang semacam itu hanya dikenal di Indonesia. Pola

semacam itu membuka peluang adanya intervensi atasan. Jaksa itu mestinya

independen.24

Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara

agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok terhadap perkara-perkara

yang jenis tindak pidananya sama.

Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh

Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan

perkembangan zaman.

Dari paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya kebijakan

Rentut yang ditentukan oleh atasan seperti itu, maka secara otomatis akan menambah

24 Andi Hamzah. 2000. “Hukum Acara Pidana Indonesia”. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya. hal 141

Page 26: Jaksa Joko Ready Wess

26

panjang proses birokrasi yang harus dilalui oleh seorang JPU dalam mengurus suatu

perkara pidana.

Konsekuensinya adalah akan berimplikasi pada terganggunya proses

peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk di dalamnya akan mengganggu

proses persidangan di pengadilan.

Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya kewajiban

penyampaian Rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan; setelah pemeriksaan

dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dari redaksi Pasal

182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut

merupakan kebijakan internal kejaksaan.

Kebijakan internal kejaksaan berupa kewajiban mengajukan Rentut kepada

atasan seperti diuraikan di atas, ini menggambarkan secara vulgar kepada publik

bahwa kejaksaan menganut sistem komando seperti layaknya di institusi kemiliteran.

Di negara manapun di dunia ini, militer adalah menganut sistem komando

dan untuk itu tidak ada celah bagi yang namanya demokrasi di tubuh militer,

termasuk militer yang ada di Indonesia.

Untuk lebih meningkatkan citra profesionalitas kejaksaan dalam melakukan

penuntutan dalam proses peradilan pidana, maka sebaiknya lembaga Rentut

dihapuskan, sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya

kepada JPU yang mengurus perkara pidana yang bersangkutan. Dengan catatan

lembaga eksaminasi harus diperkuat.

Eksaminasi yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga eksaminasi yang

bersifat eksternal, yang bertugas untuk menguji dan menilai kinerja dari JPU

tersebut, baik yang yang berkaitan dengan dakwaannya maupun dengan tuntutannya.

Kalau misalnya jaksa mengajukan tuntutan pidana 10 tahun penjara terhadap

seseorang terdakwa, maka hakim dalam hal ini bebas untuk menjatuhkan pidana

penjara 5 tahun atau 8 tahun ataupun 12 tahun penjara. Hakim tidak wajib mengikuti

tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU.

Prosedur rentut merupakan kebijakan internal Kejaksaan yang sering

mengakibatkan persidangan berlarut-larut. Dengan berlarut-larutnya persidangan

Page 27: Jaksa Joko Ready Wess

27

selain merugikan terhadap kepentingan pihak yang berperkara di persidangan selain

itu tidak adanya kepastian hukum juga mengakibatkan dilanggarnya asas KUHAP

yaitu Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.

Asas peradilan cepat ditandai dengan:

(a) Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik.

(b) Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh

penyidik.

(c) Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan

oleh penuntut umum.

(d) Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Sedangkan Asas sederhana dan biaya ringan ditandai dengan:

(a) Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara

perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa.

(b) Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi.

(c) Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.

(d) Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh

aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping).

Dengan memperhatikan Asas peradilan cepat, Asas sederhana dan biaya

ringan, maka prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan haruslah

dihapus. Selain tidak memberikan kemerdekaan Jaksa Penuntut Umum didalam

memberikan pertimbangan dalam surat tuntutannya (requisitoir) juga tidak

membangkitkan profesionalisme Jaksa Penuntut Umum. Dengan Kemerdekaan dan

profesionalisme Jaksa Penuntut Umum tersebut diharapkan dapat memulihkan

pandangan publik terhadap aparatur penegak hukum.

2.2.2 Surat Tuntutan (Requisitoir)

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jaksa tidak bertugas untuk

membuat surat dakwaan atau surat tuduhan melainkan hanya membuat surat

pelimpahan perkara ke pengadilan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 15

Page 28: Jaksa Joko Ready Wess

28

Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia,

jaksa bertugas membuat surat tuduhan atau dakwaan sesuai dengan Pasal 12 ayat

(1). Jaksa dalam membuat surat dakwaan dengan catatan bahwa dalam hal surat

dakwaan kurang memenuhi syarat, maka jaksa wajib memperhatikan saran-saran

yang diberikan hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) yang

kemudian diperjelas dengan Surat Edaran Mahkamah Agung nomor

6/MA/1962/23/SE tertanggal 20 Oktober 1962.25

Dalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR) surat tuduhan dibuat oleh

Ketua Pengadilan Negeri yang dirumuskan dalam “Acte Van Verwijzing” yakni

akte yang menyerahkan perkara ke persidangan dan memuat perbuatan-perbuatan

yang dituduhkan. Surat tuduhan atau acte van verwijzing atau surat dakwaan adalah

akte yang menjadi dasar bagi pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,

maupun Mahkamah Agung.26

Surat dakwaan sangat penting dalam proses penanganan perkara pidana

karena surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat

dituntut atau dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman untuk perbuatan-

perbuatan yang tidak tercantum dalam surat dakwaan.

Setelah berlakunnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penuntut Umum baru dapat

disebut sebagai mandiri dalam pembuatan surat dakwaan seperti telah ditentukan

dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Sehingga tenggang waktu antara mulai

berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 sampai dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat disebut sebagai masa persiapan atau transisi

bagi jaksa untuk menjadi seorang penuntut umum yang benar-benar mandiri.

Sekarang penuntut umum diwajibkan untuk selalu meningkatkan kemampuan

di dalam menjalankan tugasnya yang pada akhirnya benar-benar menjadi seorang

penuntut umum yang profesional di dalam segala seginya, antara lain penuh

inovasi sehingga dapat bertindak dengan cepat, cermat, dan tepat.27

25 Prapto Soepardi. “Surat Dakwaan”. Surabaya: Usaha Nasional. 1991. hal 11-1226 Leden Marpaung. “Proses Penanganan Perkara Pidana” bagian ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.

1992. hal 30027 Prapto Soepardi. Op. Cit. hal 12

Page 29: Jaksa Joko Ready Wess

29

Untuk mencegah kekhilafan atau kekeliruan, maka sebelum merumuskan

surat dakwaan sebaiknya dibuat materi ringkasan (matrix) yang memuat unsur-

unsur delik atau tindak pidana yang didakwakan serta alat bukti yang telah

diperoleh atau yang ada.28

Peranan surat dakwaan salah satunya adalah sebagai dasar tuntutan

pidana (requisitoir). Requisitoir adalah kewenangan penuntut umum untuk

mengajukannya setelah pemeriksaan di sidang dinyatakan selesai oleh Hakim Ketua

sidang atau Ketua Majelis, dasar hukumnya Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP.

Dalam buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” (Kejaksaan Agung Republik

Indonesia, 1985) memuat kata “Requisitoir” yaitu tuntutan hukuman Jaksa Penuntut

Umum pada Pengadilan Negeri setelah pemeriksaan ditutup.29

Penuntut Umum akan berusaha membuktikan bahwa dakwaannya telah

terbukti melalui keterangan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, surat,

petunjuk, dan juga dengan bukti diam seperti jejak kaki atau tangan dan benda-

benda yang menjadi barang bukti. Pada ujung tuntutan yang biasa disebut requisitoir

Penuntut Umum tersebut, diuraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tidak disebutkan dalam

undang-undang. Jadi, hanya berdasarkan kebiasaan misalnya terdakwa tidak

mempersulit pemeriksaan, sopan, mengaku bersalah dan sangat menyesal, begitu

pula keadaan belum cukup umur dipandang sebagai hal yang meringankan terdakwa.

Hal-hal tersebut tidak boleh dicampur adukkan dengan hal-hal yang memberatkan

pidana seperti residivis, gabungan delik, dilakukan dengan berencana. Hal ini

dilakukan karena untuk mempermudah hakim dalam membuat keputusan.30

Surat tuntutan (requisitoir) memuat hal-hal mengenai:31

a. Hal tindak pidana yang didakwakan;

b. Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan;

28 Leden Marpaung. Op. Cit. hal 30129 Ibid. hal 40130 Andi Hamzah. “Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek”. Jakarta: Rineka

Cipta. 1993. hal 11931 Adami Chazawi. “Kemahiran Dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana”. Malang: Bayumedia.

2005. hal 151

Page 30: Jaksa Joko Ready Wess

30

c. Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk memberikan konstruksi hukum

atas peristiwa yang didakwakan;

d. Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;

e. Permintaan Jaksa Penuntut Umum pada Majelis Hakim.

Mengenai huruf a hal tindak pidana yang didakwakan perlu disebut kembali

dalam surat tuntutan (requisitoir), dalam praktik telah menjadi kebiasaan untuk

memuatnya dengan menyalin kembali seluruh bunyi surat dakwaan. Penyalinan

seluruh bunyi surat dakwaan ditempatkan pada awal surat tuntutan. Mengenai huruf

b fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dimuat dengan sistematika

berdasarkan tata urutan dalam pemeriksaan, yaitu dimulai dari fakta-fakta

keterangan, saksi-saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa, dan alat-alat bukti.

Pencatatan mengenai fakta-fakta harus dilakukan secara benar dan transparan. Fakta-

fakta yang diperoleh dalam persidangan kemudian dianalisis.

Surat tuntutan (requisitoir) yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung

konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya

dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan

hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan hukum yang ditarik tentang

terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan

atau tidak, serta apa terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau

tidak dalam peristiwa yang terjadi. Kesimpulan yang benar dari sudut hukum

yang didukung oleh doktrin hukum maupun ilmu sosial lainnya dan keadilan

merupakan taruhan keprofesionalan dan kualitas seorang Jaksa Penuntut Umum.

Dari kesimpulan yang ditarik itulah Jaksa Penuntut Umum mengajukan

permintaan pada Majelis Hakim, baik mengenai kedudukan perkara itu dalam

hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan maupun terhadap terdakwa

sendiri mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana yang dimohonkan.32

2.3 Kendala Penuntutan Jaksa

Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem hukum

nasional dapat dilihat dari:32 Ibid, hal. 153

Page 31: Jaksa Joko Ready Wess

31

1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan

Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait

dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41

UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang

sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses

perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai

terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah

menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana

penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.

2. Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah

Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan

penuntutan.

3. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan

posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem

ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh

kekuasaan pihak manapun.

Pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh

Kejaksaan sering timbul permasalahan antar lembaga penegak hukum lainnya dalam

hal:33

1. Koordinasi berkas perkara antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian pada tahap

prapenuntutan.

2. Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara Kejaksaan dan Pengadilan

terhadap status pengalihan penahanan selama pemeriksaan di persidangan dan

peralihan pada saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan.

3. Dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap perkara

tindak pidana korupsi.

Permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang tindih konsepsi

yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan diantaranya:

33 Romli Atmasasmita., “Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 92.

Page 32: Jaksa Joko Ready Wess

32

1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan

permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan

subsistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan

dan Pengadilan dalam proses peradilan.

2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini

berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri

dan independen.

3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di

bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat

dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002 yang memiliki kewenangan yang demikian besar,

berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin membengkak,

yang mengesampingkan asas dominus litis (sebagai pengendali proses

perkara) dan prinsip een on deelbaar (Kejaksaan satu dan tidak terpisah-

pisah).

Apabila mengacu pada tugas dan kewenangan Kejaksaan di berbagai macam

sistem penuntutan yang berlaku di berbagai negara, maka dapat dilihat Jaksa sangat

berperan aktif dalam proses penyidikan hingga penuntutan sebagai berikut:

a. Sistem Anglo Saxon.

Dalam sistem ini meski secara teoritis polisi dan kejaksaan memiliki kewenangan

masing-masing, namun polisi yang melakukan penyelidikan perkara diwajibkan

melaporkannya kepada jaksa sedini mungkin, serta memerlukan persetujuan

jaksa untuk melakukan penuntutan tersebut. Sehingga dalam prakteknya, polisi

harus mematuhi nasihat jaksa mengenai pengumpulan bukti-bukti tambahan dari

awal agar perkara yang diselidikinya membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Selain itu polisi juga harus mematuhi keputusan jaksa untuk menghentikan

penyidikan karena penuntutannya akan dihentikan. Negara yang menerapkan

Page 33: Jaksa Joko Ready Wess

33

sistem ini adalah negara-negara persemakmuran bekas jajahan Inggris seperti

Selandia Baru, Australia, Kanada, Malaysia, dan Singapura.

b. Sistem Anglo American.

Dalam sistem ini jaksa merupakan satu-satunya pejabat yang paling berkuasa

dalam sistem peradilan pidana karena jaksa memiliki pengaruh yang sangat besar

dan berarti sekali terhadap tindakan pejabat peradilan pidana yang manapun.

Selain itu, kewenangan jaksa untuk menuntut atau tidak menuntut serta untuk

menerima pengakuan tersangka agar memperoleh dakwaan yang lebih ringan

(pleaguilty) benar-benar sangat menentukan. Sedangkan di dalam perkara yang

sangat berat seperti pembunuhan, jaksa memimpin penyelidikan baik secara

perseorangan atau bersama-sama dengan polisi mendatangi tempat kejadian

tindak pidana. Negara yang menerapkan sistem ini adalah Amerika Serikat.

c. Sistem Eropa Kontinental.

Dalam sistem ini jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan

pidana karena memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan.

Meskipun dalam pelaksanaan di lapangan polisi memiliki kemampuan yang

handal dalam proses pengumpulan bukti-bukti di tempat kejahatan, akan tetapi

tetap saja tergantung pada nasihat dan pengarahan jaksa. Hal ini disebabkan

karena jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang

eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan di negara-negara yang

menganut sistem ini, dimana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri, jaksa

tetap memiliki kebijaksanaan penuntutan yang luas untuk menetapkan apakah

akan menuntut atau tidak menuntut hampir segala perkara pidana. Contoh

negara-negara yang menerapkan sistem ini beserta variasinya adalah Jerman,

Portugal, Spanyol, Belanda, Perancis dan beberapa negara di Asia, Afrika dan

Amerika Latin bekas jajahan negara-negara Eropa Kontinental.

Tugas dan kewenangan Kejaksaan RI di bidang penuntutan dapat mengacu

kepada tugas dan kewenangan sistem penuntutan yang dimiliki oleh kejaksaan di

negara-negara lain yang benar-benar menerapkan asas Dominus Litis secara penuh.

Sistem ini dapat diserap dalam amandemen KUHAP sehingga perundang-undangan

Page 34: Jaksa Joko Ready Wess

34

organik dapat mencapai supremasi hukum di bidang penuntutan, dimana Kejaksaan

diberi kewenangan yang seutuhnya.34

Menurut UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP

1. “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”

2. Penuntut umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.

Tugas Jaksa:

1. Sebagai penuntut umum;

2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(eksekutor).

Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa mempunyai tugas:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim.

Menurut UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kejasaan Republik Indonesia dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal

1, kejaksaan mempunyai tugas dalam pasal (2) yang berbunyi:

(2) a. Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan

yang berwenang;

b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana.

(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta

mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alatr penyidik menurut ketentuan-

ketentuan dalam UU Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan.

(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat

dan negara

(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu

peraturan negara.

34 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Implementasi Kekuasaan Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia, dalam www.hukumonline.com. Diakses tanggal 10 September 2011

Page 35: Jaksa Joko Ready Wess

35

“Kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang

terutama bertugas sebagai penuntut umum”. (Pasal 1 ayat (1))

Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia

diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

adalah Kejaksaan Republik Indonesia menjadi subsistem dari sistem ketatanegaraan

Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.

Definisi Jaksa dan Penuntut Umum, berdasarkan Undang-undang No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu:

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatann hukum tetap.

2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Oleh karena kedudukannya tersebut maka dalam melakukan penuntutan, ia

wajib mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menerima dan memeriksa berkas;

2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera

mengembalikan berkas pada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk

untuk kesempurnaan;

3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan, atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

4. Membuat surat dakwaan;

5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

persidangan dengan disertai panggilan, kepada terdakwa maupun saksi-saksi;

7. Melakukan penuntutan;

8. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai

penuntut umum;

Page 36: Jaksa Joko Ready Wess

36

10. Melaksanakan penetapan hakim.

Kewenangan Jaksa sebagai penyidik juga diatur dalam Pasal 284 ayat (2)

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan:

“Dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana kewqenangan Jaksa

sebagai penyidik juga diatur dengan bunyi pernyataan sebagai berikut:

“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Maka berdasarkan ketentuan ini menjadi jelas kiranya bahwa dalam Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana sendiri terdapat dasar hukum tentang

kedudukan Jaksa sebagai penyidik untuk tindak pidana yang bersifat khusus (lex

specialis). Ketentuan yang bersifat khusus ini sejalan dengan Pasal 26 Undang-

undang Nomor 31 tahun 1999 sebagimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan uraian tersebut maka Kejaksaan berkedudukan sebagai

penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana korupsi dan penuntut umum sesuatu

perkara di muka persidangan. Dalam KUHAP tidak memberi pengaturan yang lebih

lanjut, mengenai kedudukan Kejaksaan apakah sebagai perpanjangan tangan

penguasa atau tidak, hanya menjelaskan Jaksa yang melaksanakan fungsi yudikatif.

2.3.1 Hierarki Pertanggungjawaban Jaksa

Kedudukan seorang Jaksa yang pertanggung jawabannya secara hierarkis

juga menyulitkan Jaksa dalam bertindak sebagai Pengacara Negara. Dalam hal ini

bisa saja Jaksa mempunyai pandangan yang berbeda dengan atasannya mengenai

Page 37: Jaksa Joko Ready Wess

37

kedudukan suatu perkara dimana ia bertindak sebagai Pengacara Negara. Jaksa

sebagai Pengacara Negara tersebut akan sulit mengambil tindakan yang berbeda

karena bagaimanapun juga ia harus mempertanggungjawabkan secara hierarkis ke

atasannya. Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa sulit untuk seorang Jaksa untuk

bisa independen dalam bertindak sebagai Pengacara Negara.35

Belum lagi ditambah bagi Kejaksaan dihadapkan pada satu sisi sebagai

Pengacara Negara, misalnya sebagai Pengacara Negara dari suatu bank milik

pemerintah yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara, disisi lain Kejaksaan

juga bertindak pada subjek yang sama, yaitu Pejabat Bank Milik Negara yang

digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Penuntut Umum dalam

tindak pidana korupsi. Tentu sulit bagi Kejaksaan, karena di satu sisi sebagai

Pengacara Negara Kejaksaan melakukan pembelaan pada satu pihak tetapi di sisi lain

Kejaksaan bertindak sebagai Penuntut Umum yang sama.36

Asas ini terlihat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang

selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah

yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.

16 Tahun 2004 tersebut lebih dipertegas bahwa Kejaksaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan

Pasal 8 ayat (2) yaitu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa bertindak

untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.

Sehingga bila kita perhatikan betapa sulitnya dipisahkan kewenangan Kejaksaan

sebagai Penuntut Umum dan Kejaksaan sebagai Pengacara Negara. Karena seorang

Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak terlepas dari fungsinya sebagai Penuntut

Umum.

2.3.1.1 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJARI (Kejaksaan Negeri)

35 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 12 September 2011.

36 http://www.kejari-jaksel.go.id/staticpage.php?page=organisasi-datun, diakses tanggal 12 September 2011.

JPU KASI PIDUM/KASI PIDSUS

KAJARI KAJATI JAKSA AGUNG

Page 38: Jaksa Joko Ready Wess

38

2.3.1.2 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJATI (Kejaksaan Tinggi)

2.3.1.3 Bagan Rencana Tuntutan (Rentut) di KEJAGUNG (Kejaksaan

Agung)

2.3.2 Kemandirian Kejaksaan

Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa

Kontinental (rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep

negara hukum tersebut dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut:

”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan

rechtsstaat, dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari

pengertian negara hukum pada umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan

keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun

pandangan bernegara kita.”37

Upaya menegakkan hukum, institusi-institusi penegak hukum, di satu sisi,

dengan penetapan undang-undang mendapatkan kewenangan yang lebih luas.

Namun, di sisi lain, ada institusi yang kewenangannya semakin dikurangi, misalnya

kejaksaan Republik Indonesia. Pengurangan kewenangan itu diawali melalui

KUHAP pada kewenangan penyidikan dan penyidikan lanjutan yang dipangkas

hanya menjadi kewenangan penyidikan tambahan tindak pidana umum terbatas pada

keterangan terdakwa. Begitu pula halnya, penyidikan tindak pidana penyelundupan

37 Padmo Wahjono, 1986, “Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum”, Cet. Ke-2, Jakarta: Ghalai Indonesia, hal. 151, bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhari, Ibid, hal. 66

JPU AS PIDUM/AS PIDSUS

KAJATI JAKSA AGUNG

JPU DIREKTUR PENUNTUTAN PIDUM/PIDSUS

JAKSA AGUNG

Page 39: Jaksa Joko Ready Wess

39

telah dimonopoli oleh instansi Bea Cukai. Dalam penanganan tindak pidana korupsi,

kewenangan penyidikan dan penuntutan berkurang dengan kehadiran Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kejaksaan sebagai institusi penegak

hukum harus menanggung beban dengan kewenangan yang sudah berkurang

tersebut, bukan karena tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya

sebagaimana yang dibenarkan oleh undang-undang. Secara jujur, yang menjadi

sorotan negatif akhir-akhir ini, bukan semata-mata karena perilaku aparatur

kejaksaan, melainkan lebih karena terjadinya pemasungan kewenangan.

Kondisi seperti ini tampaknya tidak sejalan dengan niat luhur para wakil

rakyat sebagaimana tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Di negara yang berdasarkan atas

hukum, amanat undang-undang yang merupakan salah satu pilar dalam sistem

hukum Indonesia untuk memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan ternyata

justru dipasung, lebih fatal lagi adalah dibentuknya KPK yang mendapat

kewenangan yang lebih besar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan, karena di dasarkan pemikiran bahwa tindak pidana korupsi dipandang

sebagai extraordinary crime. Walaupun lembaga dan metode yang selama ini sudah

konvensional.

Pembentukan KPK tidak hanya bertentangan dengan sistem hukum yang

berlaku, melainkan juga bertentangan dengan asas dan prinsip hukum yang bersifat

universal. Asas hukum dan prinsip yang berlaku secara universal menyatakan bahwa

jaksa adalah pejabat yang diserahi tugas untuk bertindak sebagai penuntut umum,

tetapi undang-undang juga memberikan kewenangan yang sama kepada KPK untuk

menjalankan tugas penuntutan dalam tindak pidana korupsi.38

Baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 maupun KUHAP

berkedudukan sebagai undang-undang induk (undang-undang organik), karena

substansinya mencakup sistem hukum serta kelembagaan yang melaksanakan sistem

tersebut, sehingga peraturan perundang-undangan lainnya yang akan dibuat tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang organik. Ironisnya pembuat undang-

undang bertindak ambigu karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai 38 Marwan Effendy., Op. Cit, hal. 5

Page 40: Jaksa Joko Ready Wess

40

landasan filosofi yang jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik

masalah hukum masa kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum

(ius constutuendum).39

Hukum dan penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan

sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan

akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapakan.40

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu kiranya mendudukkan

Kejaksaan Republik Indonesia secara proporsional agar mandiri dan independen

dalam perpektif teori negara hukum dan teori pembagian kekuasaan. Sebagaimana

telah dikemukakan oleh paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara

hukum Indonesia beranjak dari latar kekuasaan para Raja-Raja pada waktu dulu.

Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental (civil law) yang

berkarakteristik administratif, sedangkan konsep the rule of law berkarakteristik

judicial. Kemudian konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan

hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administratif dan

judicial. Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat yaitu membatasi kekuasaan

administrasi negara dan konsep the rule of law yaitu mengembangkan peradilan yang

adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu

keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara

yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir,

maka sangat perlu dilakukan pembagian kekuasaan di antara lembaga

negara/pemerintah.

Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam perspektif konsep

rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia. Kehadiran

Kejaksaan Republik Indonesia dalam dunia peradilan adalah; pertama, sebagai upaya

preventif, membatasi, mengurangi atau mencegah kekuasaan pemerintah atau

administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat

merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi

39 Romli Atmasasmita., “Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum”, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 92.

40 Soerjono Soekanto, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta: Rajawali, 1983, hal. 5

Page 41: Jaksa Joko Ready Wess

41

kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sedangkan upaya represifnya, adalah menindak

kesewenag-wenangan pemerintah atau administrasi negara, kedua, kejaksaan

Republik Indonesia seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang

mandiri dan independen melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan

hukum (konsep the rule of law), ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan

kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan dalam proses

peradilan. Konsep negara hukum Indonesia inilah yang merupakan yang

melatarbelakangi penegakan hukum terhadap pengembalian aset negara atas

perbuatan korupsi karena perbuatan korupsi merugikan keuangan negara seharusnya

dikembalikan kepada negara untuk kepentingan rakyat.

Dalam rangka supremasi hukum, Kejaksaan sangat penting fungsinya dalam

mewujudkan hukum in concreto. Menurut Bagir Manan,41 mewujudkan hukum in

concreto bukan hanya merupakan fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk

dalam pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum dan

penegak hukum. Kejaksaan dan kepolisian merupakan pranata publik penegak

hukum, yang dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari

suatu proses peradilan.

41 Bagir Manan, “Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia”, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA, 1995, hal. 17.

Page 42: Jaksa Joko Ready Wess

42

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan suatu penelitian, kita tidak akan terlepas dari

penggunaan metode. Karena metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang

harus bertindak. Metode dapat dirumuskan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan

dalam penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, cara

tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.42

Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan

sistematis. Metodologis berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah,

sedang sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan-aturan penelitian yang berlaku

untuk sebuah karya tulis.43

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

3.1 Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan sosiologis empiris, penelitian

yang didasarkan pada suatu ketentuan kaidah-kaidah hukum positif dan kenyataan

yang terjadi dilapangan sehingga dapat diketahui legalitas hukum dalam prakteknya.

3.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu bermaksud memberikan gambaran

secara jelas mengenai hal ikhwal penyusunan rencana tuntutan (rentut) dan surat

tuntutan (requisitoir) dalam proses perkara pidana.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Data primer adalah sumber data yang secara langsung diperoleh dari

lapangan, dengan mengadakan tinjauan langsung pada objek yang diteliti

dalam hal ini adalah keterangan dari para pihak yang berhubungan

42 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiyanto. “Metode Penelitian Hukum”. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2004. hal 1

43 Sutrisno Hadi. “Metodologi Riset”. Anai Offset. Yogyakarta. 1985. hal 63

Page 43: Jaksa Joko Ready Wess

43

dengan kewenangan jaksa dalam rencana tuntutan (rentut) serta

kedudukan surat tuntutan (requisitoir) dalam proses perkara pidana

yaitu:

a) Kepala Kejaksaan Negeri Lumajang;

b) Kasipidum Kejaksaan Negeri Lumajang;

c) Kasipidsus Kejaksaan Negeri Lumajang.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder adalah sumber data yang secara langsung mendukung data

primer yaitu buku-buku, dokumen, doktrin, peraturan perundang-

undangan, dan sumber tertulis lainya yang berkenaan dengan masalah

yang diteliti44.

c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, diantaranya: 45

a) Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini

b) Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dengan penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Wawancara

Yaitu mengadakan tanya jawab secara langsung antara peneliti

dengan pihak-pihak yang bersangkutan mengenai penyusunan

rencana tuntutan (rentut) dan surat tuntutan (requisitoir) dalam

proses perkara pidana.

b. Studi Kepustakaan

Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara

mengumpulkan dan mengkaji peraturan perundang-undangan,

dokumen-dokumen, buku-buku, dan bahan pustaka lainya yang ada

hubunganya dengan penelitian yang akan dilakukan.

44 Peter Mahmud marzuki. 2006. “Penelitian Hukum”. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. hal. 15

45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1984. “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”. Jakarta: Rajawali Press. hal 8

Page 44: Jaksa Joko Ready Wess

44

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif yaitu analisis data yang menggunakan dan mengambil kebenaran yang

diperoleh dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen,

buku-buku, dan bahan pustaka lain yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti kemudian didiskusikan dengan data yang telah diperoleh dari objek

yang diteliti sebagai kesatuan yang utuh untuk di deskripsikan dalam bentuk

uraian.

Page 45: Jaksa Joko Ready Wess

45

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 Kedudukan Rencana Tuntutan sebagai prosedur hirarki4.1.1 Perumusan Rencana Tuntutan4.1.2 Hirarki Lembaga

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menggantikan undang-undang sebelumnya, yakin Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, perhatian terhadap keberadaan dan fungsi kejaksaan semakin meningkat seiring dengan perkembangan, kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Dalam perjalanan undang-undang yang telah berusia belasan tahun, pada dewasa ini tampaknya memang perlu adanya semacam evaluasi dan atau penyegaran yang diharapkan akan membawa manfaat bagi perkembangan kejaksaan. Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan, sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum. Kedudukan dan perkembangan kejaksaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi historis kejaksaan itu sendiri. Sejak berdirinya Republik Indonesia memang secara eksplisit Undang-undang Dasar 1945, tidak menyebutkan adanya Kejaksaan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan adanya kehakiman dan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Namun demikian, diakui bahwa mengacu pada Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942, yang mengaitkan kejaksaan dengan keberadaan badan-badan peradilan, yakni sebutan kejaksaan pada pengadilan, maka sebutan itu terus berlangsung atas dasar Pasal 11 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dasar hukum tersebut, maka kedudukan kejaksaan sebagai komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan hukum yang langsung berada di bawah presiden, tetap diakui. Memang di masa awalnya dan di masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kejaksaan berada di bawah naungan Kementerian Kehakiman, namun dalam perjalanan selanjutnya dan berdasarkan kebutuhan yang muncul di masyarkat dirasakan perlu adanya kejaksaan yang independen sehingga setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, kududukan jaksa perlu dipertegas lagi dan diindependenkan.Pada perkembangan kehidupan ketatanegaraan periode tahun enam puluhan, muncul Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan, di mana dalam undang-undang ini mulai memisahkan antara kehakiman dan kejaksaan. Kejaksaan

Page 46: Jaksa Joko Ready Wess

46

menjadi pelaksana kekuasaan pemerintah dan bagian dari kabinet itu sendiri, yang ditandai dengan adanya Departemen dan Jaksa Agung, dan pada perkembangan selanjutnya, terutama dengan munculnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tantang Kejaksaan, Kedudukan atau Posisi Kejaksaan memang sudah lebih baik tetapi belum dapat keluar dari kepentingan pemerintah yang terlalu besar.Baru pada tahun 2004 muncul Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang mempertegas posisi jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.Mengingat perkembangan masyarakat dan kebutuhan yang ada, kedudukan kejaksaan dalam era reformasi sangat penting untuk dimandirikan dan dibebaskan dari campur tangan pemerintah yang terlalu besar, agar kejaksaan dapat mewujudkan aparatur yang profesional. Sambil mengingat bahwa posisi dan kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan bukanlah tujuan karena yang penting adalah semangat dalam elakukan reformasi hukum demi tegaknya kebenaran, keadilan dan supremasi hukum yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.

4.1.3 Profesionalisme dan Kemandirian JaksaReformasi hukum tidak bisa terlepas dari perkembangan kualitas profesi hukum secara intensif karena di dalam profesi hukum seorang pengemban pofesi hukum dituntut selain harus menguasai ilmu hukum dengan baik wajib menguasai kode etik serta melaksanakannya. Faktor utama dalam menjalankan kode etik profesi hukum dalam praktik adalah profesionalisme dan integritas moral. Jika moral rusak maka etika profesi tidak akan berjalan dan keadilan tidak tercapai. Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan terhormat.Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini. Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan. Sepintas lalu, huru-hara yang menerpa kejaksaan belakangan, mungkin disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian (expertise), rasa tanggung jawab (responsibility) dan kinerja terpadu (corporateness) yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme tampaknya mengendur.Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya profesionalisme itu

Page 47: Jaksa Joko Ready Wess

47

sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut dirinya sebagai seorang profesional.Agar keahlian yang dimiliki seorang jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan mempergunakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang harus ditanganinya.Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya. Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua (dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki keunikan sendiri.Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Di sanalah maka penegak hukum itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat berjalan

Page 48: Jaksa Joko Ready Wess

48

sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan-tujuan yang dikandungnya.

4.2 Fungsi dan kedudukan surat tuntutan dalam perkara pidana4.2.1 Prosedur penyusunan surat tuntutan4.2.2 Dasar hukum surat tuntutan4.3 Hambatan Jaksa Penuntut Umum dalam membuat rencana tuntutan

4.3.1

Page 49: Jaksa Joko Ready Wess

49

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Chazawi. 2005. Kemahiran Dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana. Malang: Bayumedia.

Andi Hamzah. 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Andi Hamzah. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya

Bagir Manan, 1995, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM UNISBA.

Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Djoko Prakoso. 1987. Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta. PT Bina Aksara

Harun M.Husein, 1994. Surat Dakwaan. Jakarta. PT Rineka Cipta

H.B. Sutopo. 1998. Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta : UNS Press

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publising.

Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana bagian ke-2. Jakarta: Sinar Grafika.

Martiman Prodjohamidjojo, 2002. Teori dan Praktik Pembuatan Surat Dakwaan. Jakarta Ghalia Indonesia

Marwan Effendi. 2005. Kejaksaan RI dalam Perspektif Hukum dan Implikasinya. Jakarta. Gramedia

Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.

M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Page 50: Jaksa Joko Ready Wess

50

Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2, Jakarta:Ghalai Indonesia.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Prapto Soepardi. 1991. Surat Dakwaan. Surabaya: Usaha Nasional.

Soerjono Soekanto. 1989. Perbandingan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.

Yudi Kristiana, 2006, Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan.

Makalah dan Website

Openbaar Ministerie Speech A Prosecution Service must always be a Public Prosecution Service, 16 Agustus 2011

A. Hamzah, “Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia”. Makalah disampaikan pada Workshop Governmence Audit of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001.

A. Hamzah, “Posisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Makalah diajukan pada seminar menyambut Hari Bakti Adyaksa, Jakarta 20 Juli 2000.

wikipedia.com

www.google.com

www.hukumonline.com