1
TUHANKU dalam termangu aku masih menyebut namamu biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cahaya-Mu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi... IWAN KURNIAWAN S EPENGGAL syair di atas merupakan puisi karya Chairil Anwar berjudul Doa: Kepada Pemeluk Teguh. Kalimat-kalimat yang terdengar syahdu itu memiliki makna yang sangat mendalam, terutama bagi para insan manusia yang selalu ber- harap kepada sang Ilahi. Priskilla merupakan salah satu sosok yang merasa keha- diran Tuhan. Di tengah keter- batasan sik karena mengalami tunanetra, ia mampu mengurus 100 anak penyandang cacat dan anak jalanan. Itu ia lakukan di sebuah rumah kontrakannya di Semarang, Jawa Tengah. Hanya satu yang mengil- hami Priskilla bahwa mereka anak-anak yang tidak berun- tung itu sebagai titipan Yang Mahakuasa. “Saya tak pernah minder atau merasa kekurang- an. Justru, dengan kondisi ini, campur tangan Tuhan bekerja dalam hidup saya,” ujarnya kepada Media Indonesia dari Semarang, kemarin. Untuk hidup di dunia me- mang tidak selalu mudah. Priskilla yang dilahirkan di Jambi, 8 Mei 1979 itu telah mengalami kebutaan sejak lahir. Tebersit niat sang bunda untuk menolak kehadiran- nya. Hingga pada akhirnya sang bunda menyadari bahwa anak perempuannya harus bisa tumbuh seperti rekan-rekannya yang normal. Bagi Priska--sapaan Priskilla- -meski mengalami keterbatasan sik, hidup harus tetap berjalan dan pantang mengharap penuh belas kasihan orang lain. “Kita harus bisa mandiri apa pun keadaan kita.” Tekad dan semangat Priska itu pada akhirnya membuka mata siapa pun yang pernah berhubungan dengan dia. Hal itu juga berguna saat ia berdiri di antara ratusan anak-anak yang asuhannya yang ditelan- tarkan oleh keadaan. Bagi Priska, wajib dirinya di tengah penderitaan da- pat memberikan contoh positif bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Meski hanya mengecap hingga kelas 5 seko- lah dasar, itu bukan penghalang bagi Priska untuk memberi yang membutuhkannya. Tuhan sepertinya adil de- ngan memberi segudang ta- lenta Priska, terutama dalam memberikan motivasi bagi anak-anak cacat lainnya. Kini tidak kurang seratus anak-anak yang ada di pe- nampungannya berasal dari berbagai daerah. Mulai dari Aceh hingga Papua. Mayoritas terbanyak masih berasal dari Jawa Tengah, Kalimantan Ba- rat, dan Jabodetabek. Tragisnya, ada beberapa orang tua yang tidak menerima kondisi anak mereka sendiri. Anak-anak itu kemudian diti- tipkan kepada Priska. “Anak- anak cacat ini saya tampung dari berbagai daerah. Ada yang diantar oleh orang tuanya sendiri hingga ada yang saya pungut di jalanan,” jelasnya. Mengurus anak-anak itu tidaklah mudah. Apalagi, ia tidak memiliki lembaga atau yayasan untuk menyokong pendanaan biaya hidup anak- anak malang tersebut. Untuk biaya kehidupan pun, terka- dang didapat dari kemurahan hati para donatur yang merasa iba dengan kondisi tempat pe- nampungan itu. Berbekal dukungan sang sua- mi, Fandy Prasetya Kusuma, mereka mencoba untuk meng- urus 100 anak-anak itu dengan setia. Tidak ada istilah patah semangat. Priska punya prinsip, “Tu- han tidak akan menelantarkan hamba-Nya jika hal-hal ke- bajikan itu ia lakukan tanpa pamrih.” Dengan kondisi keuangan yang terus pas-pasan, Priska harus pintar-pintar memahami psikologi anak asuhnya. Ia ber- tutur pernah mengajak semua anak asuhnya untuk men- jalani puasa dan terus-menerus menganjurkan prinsip hidup prihatin. “Saya tanamkan ke- pada anak-anak agar tidak sampai mengemis di pinggir jalan,” ungkapnya, serius. Tidak hanya itu, ia juga per- nah mengajak anak-anak cacat itu untuk mencari kerang- kerang di sebuah pantai di Semarang untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk. Setulus hati Untuk mengurus 100 anak- anak cacat dan telantar itu, Priska tak pernah jemawa. Ia selalu mengingatkan anak- anak asuhnya untuk selalu memiliki mimpi setinggi bin- tang untuk meraih hidup yang lebih baik. “Hidup ini perlu ketulusan. Saya selalu berusaha untuk bisa memberikan kasih yang tulus setulus merpati,” ucapnya, sedikiti berfilosofi. Hingga akhirnya upaya tulus Priska itu belum lama ini membawanya menjadi salah satu peraih peng- hargaan Kick Andy Heroes 2011. Penghargaan ini merupa- kan hal penting karena ia baru pertama menerima penghar- gaan bergengsi. “Saya sangat bersyukur ka- rena masih ada pihak yang peduli kepada saya. Ini adalah motivasi sehingga saya akan lebih giat bekerja lagi,” tutur ibu dua anak itu. Harapan terbesar Priska kepada anak-anak asuhnya adalah mereka yang terbuang ini bisa berguna bagi banyak orang. Dengan dukungan Fandy, suaminya yang setia, setiap harinya ia memasak, belanja, dan mengurus kedua anak kandung hingga anak-anak asuhnya. “Meski kondisi be- gini, suami tetap sayang,” ucapnya bercanda. Satu keinginan Priska yang belum terwujud, yakni untuk memiliki sebuah rumah pe- nampungan sendiri bagi anak- anak berkebutuhan khusus. “Memang ini sangat sulit, tetapi saya tetap berusaha untuk bisa memberikan kasih dan sayang kepada anak-anak. Banyak orang tua yang menolak anak- anak mereka saat mendapati anak mereka terlahir cacat,” tuturnya, mengakhiri perbin- cangan. Biarlah kami yang mengurus.” (M-1) [email protected] SELASA, 5 APRIL 2011 5 S O SOK Anak-anak cacat ini saya tampung dari berbagai daerah. Ada yang diantar oleh orang tuanya sendiri hingga ada yang saya pungut di jalanan.” Keterbatasan fisik tidak membuat Priskilla Smith Jully minder dalam mengarungi kehidupan. Bahkan ia bertekad hidupnya akan dibaktikan untuk anak-anak yang luput dari perhatian negara. PRISKILLA SMITH JULLY BUNDA BAGI KUMPULAN ANAK TERBUANG Prihatin Tsunami, Gubah Komposisi PIANIS dan komposer Ananda Sukarlan tergugah bencana tsunami Jepang yang terjadi Maret lalu, sampai-sampai ia meng- gubah sebuah komposisi. “Komposisi ini saya ciptakan atas dasar keprihatinan terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang. Saat itu saya sedang berada dalam kereta api dari Saragosa menuju Madrid, Spanyol, dan saya menyaksikan siaran langsung melalui televisi, hingga saya terharu dengan bencana tersebut,” kata Ananda di Yogyakarta, kemarin. Sang komposer menciptakan komposisi tersebut hanya dalam hitungan jam dan langsung menyebarkannya lewat akun jejaring sosial. “Memang setelah komposisi tersebut kami sebar kepada komponis-komponis berbagai negara, mereka ada yang langsung memainkannya. Tetapi saya sendiri baru saat ini akan memain- kannya di depan publik di Yogyakarta,” katanya. Karya berjudul One Minute for Japan itu memang dijadwalkan akan dimainkannya dalam sebuah acara di Yogyakarta, semalam. Dalam setiap pertunjukannya, Ananda mengaku selalu me- nampilkan sejumlah komposisi asli Nusantara yang digarap ulang sebagai upaya memperkenal- kan budaya Nusantara. Komposer yang menetap di Spanyol sejak 1998 itu juga mengaku senang karena saat ini musik klasik mulai mem- peroleh tempat di hati masyarakat Indo- nesia. Namun, ia tidak sepen- dapat jika konser musik klasik diper- tunjukkan se- cara gratis de- ngan alasan ingin memperkenalkannya kepada masyarakat. Langkah ini, menurut Ananda, tidak mengajari masyarakat agar bisa memberikan penghar- gaan kepada karya seni. “Masyarakat juga ha- rus memberi kontribusi terhadap karya seni, berapa pun nilainya, apakah itu Rp5.000 atau mungkin kurang dari itu. Ini akan membuat masyarakat lebih meng- hargai karya seni, dan kesenian bukan hal yang gratis,” ucap- nya. (Ant/M-3) Ananda Sukarlan MI/SUMARYANTO MI/RAMDANI Fandy Prasetya Kusuma dan Priskilla Smith Jully

PRISKILLA SMITH JULLY BUNDA BAGI KUMPULAN ANAK … filedalam termangu aku masih menyebut ... atas merupakan puisi karya Chairil Anwar berjudul Doa: Kepada Pemeluk Teguh. Kalimat-kalimat

Embed Size (px)

Citation preview

TUHANKUdalam termanguaku masih menyebut namamu

biar susah sungguhmengingat Kau penuh seluruh

cahaya-Mu panas sucitinggal kerdip lilin di kelam sunyi...

IWAN KURNIAWAN

SEPENGGAL syair di atas merupakan puisi karya Chairil Anwar berjudul Doa: Kepada

Pemeluk Teguh. Kalimat-kalimat yang terdengar syahdu itu memiliki makna yang sangat mendalam, terutama bagi para insan manusia yang selalu ber-harap kepada sang Ilahi.

Priskilla merupakan salah satu sosok yang merasa keha-diran Tuhan. Di tengah keter-batasan fi sik karena mengalami tunanetra, ia mampu mengurus 100 anak penyandang cacat dan anak jalanan. Itu ia lakukan di sebuah rumah kontrakannya di Semarang, Jawa Tengah.

Hanya satu yang mengil-hami Priskilla bahwa mereka anak-anak yang tidak berun-tung itu sebagai titipan Yang Mahakuasa. “Saya tak pernah minder atau merasa kekurang-an. Justru, dengan kondisi ini, campur tangan Tuhan bekerja dalam hidup saya,” ujarnya kepada Media Indonesia dari Semarang, kemarin.

Untuk hidup di dunia me-mang tidak selalu mudah. Priskilla yang dilahirkan di Jambi, 8 Mei 1979 itu telah mengalami kebutaan sejak lahir. Tebersit niat sang bunda untuk menolak kehadiran-nya. Hingga pada akhirnya sang bunda menyadari bahwa anak perempuannya harus bisa tumbuh seperti rekan-rekannya yang normal.

Bagi Priska--sapaan Priskilla--meski mengalami keterbatasan fi sik, hidup harus tetap berjalan dan pantang mengharap penuh

belas kasihan orang lain. “Kita harus bisa mandiri apa pun keadaan kita.”

Tekad dan semangat Priska itu pada akhirnya membuka mata siapa pun yang pernah berhubungan dengan dia. Hal itu juga berguna saat ia berdiri di antara ratusan anak-anak yang asuhannya yang ditelan-tarkan oleh keadaan.

Bagi Priska, wajib dirinya di tengah penderitaan da-pat memberikan contoh positif bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Meski hanya mengecap hingga kelas 5 seko-lah dasar, itu bukan penghalang bagi Priska untuk memberi yang membutuhkannya.

Tuhan sepertinya adil de-ngan memberi segudang ta-lenta Priska, terutama dalam memberikan motivasi bagi anak-anak cacat lainnya.

Kini tidak kurang seratus anak-anak yang ada di pe-nampungannya berasal dari berbagai daerah. Mulai dari Aceh hingga Papua. Mayoritas terbanyak masih berasal dari Jawa Tengah, Kali mantan Ba-rat, dan Jabodetabek.

Tragisnya, ada beberapa orang tua yang tidak menerima kondisi anak mereka sendiri. Anak-anak itu kemudian diti-tipkan kepada Priska. “Anak-anak cacat ini saya tampung dari berbagai daerah. Ada yang diantar oleh orang tuanya sendiri hingga ada yang saya pungut di jalanan,” jelasnya.

Mengurus anak-anak itu tidaklah mudah. Apalagi, ia tidak memiliki lembaga atau yayasan untuk menyokong pendanaan biaya hidup anak-anak malang tersebut. Untuk biaya kehidupan pun, terka-dang didapat dari kemurahan hati para donatur yang merasa iba dengan kondisi tempat pe-nampungan itu.

Berbekal dukungan sang sua-mi, Fandy Prasetya Kusuma, mereka mencoba untuk meng-urus 100 anak-anak itu dengan setia. Tidak ada istilah patah semangat.

Priska punya prinsip, “Tu-han tidak akan menelantarkan hamba-Nya jika hal-hal ke-bajikan itu ia lakukan tanpa pamrih.”

Dengan kondisi keuangan yang terus pas-pasan, Priska harus pintar-pintar memahami psikologi anak asuhnya. Ia ber-tutur pernah mengajak semua anak asuhnya untuk men-jalani puasa dan terus-menerus meng anjurkan prinsip hidup

prihatin. “Saya tanamkan ke-pada anak-anak agar tidak sampai mengemis di pinggir jalan,” ungkapnya, serius.

Tidak hanya itu, ia juga per-nah mengajak anak-anak cacat itu untuk mencari kerang-kerang di sebuah pantai di Semarang untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk.

Setulus hatiUntuk mengurus 100 anak-

anak cacat dan telantar itu, Priska tak pernah jemawa. Ia selalu mengingatkan anak-anak asuhnya untuk selalu memiliki mimpi setinggi bin-tang untuk meraih hidup yang lebih baik.

“Hidup ini perlu ketulusan. Saya selalu berusaha untuk bisa memberikan kasih yang tulus

setulus merpati,” ucapnya, sedikiti berfilosofi. Hingga akhirnya upaya tulus Priska itu belum lama ini membawanya menjadi salah satu peraih peng-hargaan Kick Andy Heroes 2011. Penghargaan ini merupa-kan hal penting karena ia baru pertama menerima penghar-gaan bergengsi.

“Saya sangat bersyukur ka-rena masih ada pihak yang peduli kepada saya. Ini adalah motivasi sehingga saya akan lebih giat bekerja lagi,” tutur ibu dua anak itu.

Harapan terbesar Priska kepada anak-anak asuhnya adalah mereka yang terbuang ini bisa berguna bagi ba nyak orang.

Dengan dukungan Fandy, suaminya yang setia, setiap

harinya ia memasak, belanja, dan mengurus kedua anak kandung hingga anak-anak asuhnya. “Meski kondisi be-gini, suami tetap sayang,” ucapnya bercanda.

Satu keinginan Priska yang belum terwujud, yakni untuk memiliki sebuah rumah pe-nampungan sendiri bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Memang ini sangat sulit, tetapi saya tetap berusaha untuk bisa memberikan kasih dan sayang kepada anak-anak. Banyak orang tua yang menolak anak-anak mereka saat mendapati anak mereka terlahir cacat,” tuturnya, mengakhiri perbin-cangan. Biarlah kami yang mengurus.” (M-1)

[email protected]

SELASA, 5 APRIL 2011 5SOSOK

Anak-anak cacat ini saya tampung

dari berbagai daerah. Ada yang diantar oleh orang tuanya sendiri hingga ada yang saya pungut di jalanan.”

Keterbatasan fisik tidak membuat Priskilla Smith Jully minder dalam mengarungi kehidupan. Bahkan ia bertekad hidupnya akan dibaktikan untuk anak-anak yang luput dari perhatian negara.

P R I S K I L L A S M I T H J U L LY

BUNDA BAGI KUMPULAN ANAK TERBUANG

Prihatin Tsunami, Gubah KomposisiPIANIS dan komposer Ananda Sukarlan tergugah bencana tsunami Jepang yang terjadi Maret lalu, sampai-sampai ia meng-gubah sebuah komposisi. “Komposisi ini saya ciptakan atas dasar keprihatinan terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang. Saat itu saya sedang berada dalam kereta api dari Saragosa menuju Madrid, Spanyol, dan saya menyaksikan siaran langsung melalui televisi, hingga saya terharu dengan bencana tersebut,” kata Ananda di Yogyakarta, kemarin.

Sang komposer menciptakan komposisi tersebut hanya dalam hitungan jam dan langsung menyebarkannya lewat akun jejaring sosial. “Memang setelah komposisi tersebut kami sebar kepada komponis-komponis berbagai negara, mereka ada yang langsung memainkannya. Tetapi saya sendiri baru saat ini akan memain-kannya di depan publik di Yogyakarta,” katanya. Karya berjudul One Minute for Japan itu memang dijadwalkan akan dimainkannya dalam sebuah acara di Yogyakarta, semalam.

Dalam setiap pertunjukannya, Ananda mengaku selalu me-nampilkan sejumlah komposisi asli Nusantara yang digarap ulang sebagai upaya memperkenal-kan budaya Nusantara.

Komposer yang menetap di Spanyol sejak 1998 itu juga mengaku senang karena saat ini musik klasik mulai mem-peroleh tempat di hati masyarakat Indo-nesia. Namun, ia tidak sepen-d a p a t j i k a konser musik klasik diper-tunjukkan se-cara gratis de-ngan alasan ingin memperkenalkannya kepada masyarakat. Langkah ini, menurut Ananda, tidak mengajari masyarakat agar bisa memberikan penghar-gaan kepada karya seni.

“Masyarakat juga ha-rus memberi kontribusi terhadap karya seni, berapa pun nilainya, apakah itu Rp5.000 atau mungkin kurang dari itu. Ini akan membuat masyarakat lebih meng-hargai karya seni, dan kesenian bukan hal yang gratis,” ucap-nya. (Ant/M-3)

Ananda Sukarlan

MI/SUMARYANTO

MI/RAMDANI

Fandy Prasetya Kusuma dan Priskilla Smith Jully