of 73 /73
BAB I LAPORAN KASUS A. Identitas pasien Nama : Tn. Yustinus Untung Usia : 46 tahun Alamat : Sontomayan Pekerjaan : Petani Tanggal masuk RS : 26 September 2013, pukul 17.20 WIB Tanggal keluar RS: 9 Oktober 2013 B. Anamnesis Keluhan utama : perut membesar terasa kencang dan panas Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan perut membesar sejak 1 bulan yang lalu, perut terasa lebih kencang dan panas sejak tadi pagi pukul 10.00 WIB. Pasien mengeluh sesak nafas dan 1

Presus Gagal Ginjal Kronik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gagal Ginjal Kronik

Text of Presus Gagal Ginjal Kronik

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien

Nama: Tn. Yustinus Untung

Usia: 46 tahun

Alamat: Sontomayan

Pekerjaan: Petani

Tanggal masuk RS: 26 September 2013, pukul 17.20 WIB

Tanggal keluar RS: 9 Oktober 2013

B. Anamnesis

Keluhan utama: perut membesar terasa kencang dan panas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan perut membesar sejak 1 bulan yang lalu, perut terasa lebih kencang dan panas sejak tadi pagi pukul 10.00 WIB. Pasien mengeluh sesak nafas dan sulit tidur. Sesak nafas bertambah berat saat perutnya semakin membesar dan pada posisi duduk. Pasien merasa lebih baik dengan posisi terlentang. Selain itu, pasien juga mengeluh BAB cair sebelum masuk RS 10x dalam sehari, warna kuning, lendir (+), darah (-), BAK tidak lancar, warna seperti teh, mual (+), muntah (-), nyeri perut terus menerus, batuk (-), pasien merasa lemas, pusing, pinggang terasa panas dan tidak nafsu makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi dan penyakit jantung disangkal. Pasien sudah sering berobat ke poliklinik penyakit dalam dan sudah pernah mondok di RS 3 kali. Pasien rutin hemodialisa 2 kali dalam seminggu sejak mulai didiagnosis gagal ginjal 2 tahun yang lalu. Riwayat diabetes melitus (-), asthma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit jantung (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-), asthma (-).

Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Pasien merupakan seorang petani tembakau, jagung dan sayur-sayuran yang tinggal bersama istrinya. Pasien memiliki 2 orang anak perempuan yang sudah menikah dan memiliki 2 cucu. Kegiatan sehari-hari adalah pergi ke ladang, akan tetapi sekitar satu setengah tahun belakangan ini pasien memiliki keterbatasan dalam beraktifitas karena kondisi fisiknya yang semakin menurun. Sebelumnya pasien memiliki kebiasan merokok sejak usia 18 tahun, akan tetapi sudah berhenti merokok sejak 2 tahun terakhir. Pasien juga memiliki kebiasaan sering meminum minuman penambah stamina selama 1 tahun sebelum didiagnosis gagal ginjal. Pasien hidup pas-pasan yang tinggal di lereng gunung sindoro dengan istri sebagai ibu rumah tangga dan kadang ikut membantu di ladang.

Anamnesis Sistem

Sistem cerebrospinal: sadar, demam (-), lemas (+), pusing (+), nyeri kepala (+), kejang (-), kaku kuduk(-).

Sistem Indra

Mata: berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (+) saat setelah hemodialisis saja.

Hidung: mimisan (-), pilek (-).

Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-), darah (-).

Mulut: sariwan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (+), lecet di sudut bibir (+).

Sistem Kardiovaskuler: nyeri dada (+) seperti tertindih, berdebar-debar (+).

Sistem Respiratorius: sesak nafas (+) terutama saat posisi duduk, batuk (-), pilek (-).

Sistem Gastrointestinal: nyeri perut (+) terasa kencang, panas, dan perih. Mual (-), muntah (-), flatus jarang, BAB (-) 4 hari, riwayat sakit magh (+).

Sistem Urogenital: BAK sedikit 4 hari, warna seperti teh, nyeri saat kencing (-), keluar darah (-).

Sistem Intergumentum: sianosis (-), kuning (-), pucat (+), turgor kulit jelek, kulit tampak hitam (+), kulit kering (+), kulit gatal (+).

Sistem Muskuloskeletal: gerak (-) lemas, kaku (-), pegel-pegel (+) pada bahu dan kaki, punggung terasa panas.

Ekstremitas

Ekstremitas atas: luka (-), tremor (-), terasa dingin (-), kesemutan (+) kadang-kadang, berkeringat (+), bengkak (-), edema (-), sakit sendi (-).

Ekstremitas bawah: luka (-), tremor (-), terasa dingin (-), kesemutan (+) kadang-kadang, berkeringat (-), edema (-), sakit sendi (-).

C. Pemeriksaan fisik

Status generalisata

Kesadaran: compos mentis, tampak kesakitan.

Tanda vital

Tekanan darah: 134/77 mmHg, lengan kanan, setinggi jantung.

Nadi: 92x/mnt, isi dan tegangan cukup, kuat angkat.

Suhu: 37,6 C

Respirasi rate: 28x/mnt

Pemeriksaan Kepala: Mesocephal, rambut tipis hitam, pertumbuhan rambut merata.

Wajah: simetris, kulit wajah hitam (+)

Mata: palpebra tidak edema, konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (+/+), reflek cahaya (+/+), pupil isokor, katarak (-).

Hidung: bentuk hidung normal, deformitas (-), epistaksis (-), discharge (-), pernafasan cuping hidung (-).

Telinga: bentuk telinga luar normal, pendengaran berkurang (-), discharge (-), nyeri tekan (-).

Mulut: bibir tidak sianosis, lidah kotor (-), gusi berdarah (-), tidak ada pembesaran tonsil.

Pemeriksaan Leher: JVP , tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, kaku kuduk (-).

Pemeriksaan Thoraks: dinding dada simetris kanan-kiri, tidak ada retraksi dinding dada.

Cor

Inspeksi: iktus kordis terlihat di SIC V

Palpasi: iktus kordis teraba pada SIC V

Perkusi: redup

Batas jantung:

Kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra

Kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dextra

Kiri atas: SIC II linea midclavicularis sinistra

Kiri bawah: SIC V linea midclavicularis sinistra

Auskultasi: S1 > S2 tunggal, irama regular, bising jantung (-).

Pulmo

Inspeksi: deformitas (-), sikatrik (-), retraksi subcosta (-/-), retraksi intercosta (-/-), ketertinggalan gerak (-).

Palpasi: ketertinggalan gerak (-), vocal fremitus sama antara kanan dan kiri.

Perkusi: sonor

Auskultasi: suara dasar paru vesikuler (+/+), ST (-).

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi: perut tampak asites, umbilicus datar, kulit terlihat kencang dan mengkilat, tampak adanya venektasi dan spider nervi.

Auskultasi: bising usus (+) menurun.

Perkusi: redup, pekak beralih (+), undulasi (+).

Palpasi: teraba kencang, nyeri tekan abdomen (+).

Pemeriksaan Anogenital: tidak dilakukan

Ekstremitas: deformitas (-), edema ekstremitas (-), pitting (-), akral hangat (+).

D. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

Diagnosis kerja: Gagal Ginjal Kronik stage 5 dengan asites

Diagnosis banding: Sirosis hepatis, hepatorenal sindrom, sindrom nefrotik

E. Plan

EKG, pemeriksaan laboratorium darah rutin, GDS, ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, SGOT, SGPT.

F. Follow up

Pemeriksaan

(27/9/2013)

(28/9/2013)

(29/9/2013)

(30/9/2013)

S/

Sesak nafas, diare 9x/hari, cair, kadang ada lendir, nyeri perut, BAK sedikit, nyeri BAK (-), nafsu makan.

Sesak nafas, diare 5x/hari, cair, nyeri perut, BAK sedikit warna seperti teh, nyeri saat BAK, nafsu makan.

Sesak nafas , diare 2x/hari, nyeri perut, sudah mau makan bubur.

diare (-), nyeri perut, BAK ada darah, nyeri saat BAK, BAB (-), mau makan bubur.

Vital Sign :

TD

HR

RR

T

130/90 mmHg

98x/mnt

28x/mnt

37,5 C

110/80 mmHg

88x/mnt

28x/mnt

36,5 C

130/90 mmHg

88x/mnt

32x/mnt

36,5 C

130/90 mmHg

84x/mnt

36x/mnt

37,1 C

O/ KU

Sedang, kesakitan

Sedang

Sedang

Sedang

Kesadaran

CM

CM

CM

CM

Pernafasan

Regular, dangkal

Regular, dangkal

Regular, cepat, dangkal

Regular, cepat, dangkal

Kepala

CA -/-, SI +/+

CA +/+, SI +/+

CA +/+, SI +/+

CA +/+, SI +/+

Leher

JVP

JVP

JVP

JVP

Thoraks

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

Abdomen

Asites, BU (+) , NT (+), nyeri ketok ginjal (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+)

Asites, BU (+) N, NT (+).

Ekstremitas

Edema ekstremitas (--/--), akral dingin, tampak kuning.

Edem ekstremitas (--/--), tampak pucat dan agak kuning.

Edem ekstremitas (--/--), tampak pucat dan agak kuning.

Edem ekstremitas (--/--), tampak pucat dan agak kuning.

Lain-lain

Tx : inf. NaCl, Inj. Farsix, lodia 3x1, diagit 3x1, CaCO3 3x1, Bicnat 3x1.

Tx : diagit 4x1, Metronidazol 2x500 mg.

Tx lanjut

Tx : inf. D5%, inj. Furosemid 3x1, inj. Ceftriaxon 1x1, inj. Alinamin 3x1, bicnat 3x1, aminoral 3x1, furosemid 3x1, opilax syr 2x 1C, as. Folat 2x1, tenapril 1x1.

Pemeriksaan

(1/10/2013)

(2/10/2013)

(3/10/2013)

(4/10/2013)

S/

Nyeri perut (+), nafsu mkan , BAB (-), BAK sedikit.

Perut terasa perih, nafsu makan , BAB (-), BAK sedikit.

Nyeri perut dan terasa penuh, nafsu makan , BAB (-), BAK (-).

Nyeri perut, nafsu makan , minum , BAB (-), flatus (+) jarang, BAK sedikit, kadang sesak nafas.

Vital Sign :

TD

HR

RR

T

110/70 mmHg

72x/mnt

24x/mnt

36,6 C

110/80 mmHg

80x/mnt

28x/mnt

37 C

120/80 mmHg

72x/mnt

24x/mnt

36,7 C

120/80 mmHg

80x/mnt

28x/mnt

36,5 C

O/ KU

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

Kesadaran

CM

CM

CM

CM

Pernafasan

Regular

Reguler

Regular

reguler

Kepala

CA +/+, SI +/+

CA +/+, SI +/+

CA -/-, SI +/+

CA -/-, SI +/+

Leher

JVP

JVP

JVP

JVP

Thorax

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : RK +/-.

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

Abdomen

Asites, BU (+) N, NT (+), venektasi (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Ekstremitas

Edema ekstremitas (--/--), pucat.

Edema ekstremitas (--/--), pucat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Lain-lain

Jadwal hemodialisis ditunda, rencana transfusi PRC 2 kolf.

Tindakan pungsi abdomen : keluar cairan 4 liter.

Tx : PRC 1 kolf/hr, Inj. Alinamin F 3x1, Opilax syr 2x1C

PRC 1 kolf/hr

Tx oral lanjut

Hemodialisis lanjutkan.

Tx oral lanjut

(5/10/2013)

(6/10/2013)

(7/10/2013)

(8/10/2013)

(9/10/2013)

Nyeri perut semakin bertambah (+), nafsu mkan , BAB (-), BAK sedikit, sesak, jam 03.50 kejang.

180/100mmHg, 98x/mnt.

Perut terasa kencang dan sakit, pinggang terasa panas, tidak bisa tidur, lemas, nafsu makan , BAK sedikit, BAB (-), sesak , kejang jam 07.00 20 mnt.

Perut terasa panas, pusing berputar, lemas, kadang sesak, sudah bisa tidur, BAB sedikit warna kuning, BAK sedikit.

Perut terasa panas, pusing , lemas, BAB (-), BAK sedikit.

Sakit perut (-), kejang (-), lemas (-), BAB (+), BAK (+) jarang.

130/80mmHg

104x/mnt

20x/mnt

37,3 C

130/90 mmHg

84x/mnt

21x/mnt

36,7 C

140/100 mmHg

80x/mnt

28x/mnt

36,2 C

150/100 mmHg

92x/mnt

28x/mnt

36,3 C

150/90 mmHg

84x/mnt

24x/mnt

36,5 C

Sedang

sedang

Sedang

Sedang

sedang

CM

CM

CM

CM

CM

Regular

reguler

Reguler

Regular

reguler

CA -/-, SI -/-

CA -/-, SI -/-

CA -/-, SI -/-

CA -/-, SI -/-

CA -/-, SI -/-

JVP

JVP

JVP

JVP

JVP

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

C : S1>S2, tunggal, irama regular, bising jantung (-).

P : SDV +/+, ST (-).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Asites, BU (+) N, NT (+).

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Edema ekstremitas (--/--), akral hangat.

Tx : Opilax syr 2x1C, Inj. Diazepam Amp IV, Amp IM bila kejang.

Tx lanjut

Transfusi PRC bila Hb 10

Tx lanjut

Hemodialisis

Tx lanjut

Tx lanjut

Boleh pulang

G. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Darah rutin (26/9/2013)

Jenis Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

L 11,0

g/dl

13,2 17,3

Leukosit

H 16,9

10^3/ul

3,8 10,6

Eosinofil

L 0,00

%

2,00 4,00

Basofil

0,20

%

0 1

Neutrofil

H 92,20

%

50 70

Limfosit

4,50

%

25 40

Monosit

3,10

%

2 8

Hematokrit

L 33

%

40 - 52

Eritrosit

4,2

10^4/ul

4,40 5,90

Trombosit

248

10^3/ul

150 400

MCV

79

Fl

80 100

MCH

26

Pg

26 34

MCHC

33

g/dl

32 - 36

Kimia klinik (26/10/2013)

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

GDS

84

mg/dL

70 - 150

Ureum

H 101,7

mg/dL

< 50

Creatinin

H 9,30

mg/dL

0,60 1,10

Asam urat

6,1

mg/dL

2,0 7,0

Cholesterol total

82

mg/dL

< 220

Trigliserid

L 54

mg/dL

70,0 140,0

SGOT

46,0

U/L

0 50

SGPT

41

U/L

0 - 50

Tanggal 28/10/2013

Pemeriksaan

Hasil

Saruan

Nilai rujukan

Hemoglobin

L 7,9

g/dl

13,2 17,3

Ureum

H 82,4

mg/dL

< 50

Creatinin

H 6,6

mg/dL

0,60 1,10

Tanggal 5/10/2013

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Albumin

L 2,00

g/dL

3,8 5,3

Bilirubin total

H 2,50

mg/dL

0,1 1,0

Bilirubin direk

0,40

mg/dL

0 0,04

Bilirubin indirek

2,0

mg/dL

Tanggal 7/10/2013

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

GDS

116

mg/dL

70 -150

Tanggal 8/10/2013

Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

L 9,9

g/dl

13,2 17,3

Ureum

H 234,8

mg/dL

< 50

Creatinin

H 16,10

mg/dL

0,60 1,10

H. Diagnosis Akhir

Gagal Ginjal Kronik stage 5 dengan asites.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Ginjal memiliki fungsi yang penting bagi tubuh yaitu membersihkan tubuh dari bahan-bahan sisa hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme dengan cara mengekskresikannya ke dalam urin, sementara zat-zat yang masih dibutuhkn oleh tubuh dikembalikan lagi ke dalam darah. Selain itu, ginjal juga memiliki fungsi utama yang tidak kalah pentingnya yaitu untuk mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh. Produk sisa metabolisme yang dibuang oleh ginjal antara lain urea (dari metabolism asam amino), kreatinin (dari keratin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin (seperti bilirubin), dan metabolit berbagai hormon. Ginjal juga membuang sebagian besar toksin dan zat asing lainnya 1.

Gagal ginjal adalah suatu kondisi di mana ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Pada kondisi normal, pertama-tama darah akan masuk ke glomerulus dan mengalami penyaringan melalui pembuluh darah halus yang disebut kapiler. Di glomerulus, zat-zat sisa metabolisme yang sudah tidak terpakai dan beberapa yang masih terpakai serta cairan akan melewati membran kapiler, sedangkan untuk sel darah merah, protein dan zat-zat yang berukuran besar akan tetap tertahan di dalam darah. Filtrat (hasil penyaringan) akan terkumpul di bagian ginjal yang disebut kapsula Bowman. Selanjutnya, filtrate akan diproses di dalam tubulus ginjal. Pada tubulus ginjal, air dan zat-zat yang masih berguna yang terkandung di dalam filtrate akan diserap lagi dan akan terjadi penambahan zat-zat sampah metabolisme lain ke dalam filtrat, hasil akhir dari proses ini adalah urin 2.

B. Klasifikasi

1. Gagal Ginjal Akut (GGA)

a. Definisi

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguria. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya. Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5 mg% pada pasien dengan kadar kreatinin awal < 2,5 mg%, atau meningkatkan > 20 %, bila kreatinin awal > 2,5 mg% 2.

Penyebab gagal ginjal akut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :

GGA prerenal diakibatkan oleh hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain).

GGA renal diakibatkan kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemia ginjal dan penyakit glomerular)

GGA pascarenal diakibatkan obstruksi akut traktus urinarius (batu saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologis 2.

Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urin < 100 ml/24 jam), oliguria (produksi urin < 400 ml/24 jam). Pada kasus gagal penderita gagal ginjal akut (GGA), ginjal akan berfungsi normal kembali bila penyebabnya dapat diatasi, sehingga pengeluaran urin kembali normal, dengan demikian keadaan fisik secara menyeluruh dapat pulih 2.

b. Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut perlu diperiksa :

Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti yang ditujukan untuk mencari sebab Gagal Ginjal Akut (GGA), misalnya riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu.

Membedakan gagal ginjal akut (GGA) dengan gagal ginjal kronis (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.

Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gagal ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernafasan kussmaul.

Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya hampir selalu disertai oliguria ( 6,5 mmol/L

Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7,0

Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L

Ensefalopati uremikum

Neuropati/miopati uremikum

Perikarditis uremikum

Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau 120 mmol/L

Hipertermia

Keracunan obat

2. Gagal Ginjal Kronis (GGK)

a. Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan ireversibel. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan menjadi ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dengan terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau transplantasi) 3.

Kriteria gagal ginjal kronik 4:

Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tes).

Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

b. Epidemiologi

The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronik pada orang dewasa Amerika Serikat adalah 11 % (19,2 juta); 3,3 % (5,9 juta) sudah tahap 1; 3 % (5,3 juta) telah tahap 2; 4,3 % (7,6 juta) sudah stadium 3; 0,2 % (400.000) memiliki stadium 4; dan 0,2 % (300.000) memiliki tahap 5.

Selanjutnya, prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10 % tahun 1988-1994 menjadi 13,1 % pada tahun 1999-2004. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, 2 penyebab paling umum dari penyakit ginjal kronis.

Survei perhimpunan nefrologi Indonesia menunjukkan, 12,5 % dari populasi mengalami penurunan fisik ginjal. Secara kasar itu berarti lebih dari 25 juta penduduk. Di seluruh dunia tahun 2005, ada 1,1 juta orang menjalani dialisis kronik. Tahun 2010, diproyeksikan lebih dari 2 juta orang internasional.

Tingkat insiden penyakit ginjal stadium terakhir (ESRD) telah meningkat terus internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat insiden tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta pendduduk, dengan Amerika Serikat mengambil tempat kedua 5.

c. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Cockeroft-Gault sebagai berikut 4:

(140-umur) x berat badan *)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

LFG (ml/mnt/1,73 m2) =

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit

Derajat

Penjelasan

LFG (ml/mnt/1,73 m2)

1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

90

2

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60 89

3

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30 59

4

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15 29

5

Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi

Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi

Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi dalam 3 stadium, yaitu :

Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal

Selama stadium ini, kreatinin serum dan kadar BUN normal, penderita asimptomatik. Gangguan ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatankemih dan tes GFR yang teliti.

Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal

Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala nokturia atau berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.

Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir

Sekitas 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu oliguria karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.

d. Etiologi

Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak, yaitu glomerulonefritis (25 %), diabetes mellitus (23 %), hipertensi (20 %) dan ginjal polikistik (10 %) 6.

Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus 2. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan menjadi primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer bila penyakit dasarnya berasal dari ginjal itu sendiri, sedangkan glomerulonefritis sekunder bila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple atau amiloidosis 7. Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa kelukhan dan ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal 8.

Diabetes mellitus

Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan minum yang jadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya 9.

Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi di bagi menjadi 2 yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder atau yang disebut juga hipertensi renal 10.

Ginjal polikistik

Polikistik berarti banyak kista, kista itu sendiri adalah suatu rongga berdinding epitel dan berisi cairan tau material semisolid. Pada keadaan ini ditemukan banyak kista-kista yang tersebar pada kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla. Selain oleh karena kelainan genetic, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetic yang paling sering ditemukan.

e. Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronis adalah 11:

Orang tanpa faktor resiko ginjal sebaiknya orang yang sudah berumur > 40 tahun memeriksakan fungsi ginjalnya secara keseluruhan.

Orang yang beresiko tinggi

Penderita hipertensi, diabetes mellitus, riwayat gagal ginjal, batu saluran kemih, infeksi saluran kemih berulang, obesitas, kolestrol tinggi dan merokok adalah orang yang perlu mewaspadai kemungkinan terkena penyakit ginjal kronik.

Berat badan lahir rendah

Bayi yang berat lahirnya < 2.300 gram beresiko menderita penyakit ginjal kronik pada suatu masa.

Pendidikan rendah

Ada kecenderungan atau resiko lebih tinggi mengalami gangguan ginjal pada orang berpendidikan rendah. Terutama, menyangkut gaya hidup yang kurang sehat.

Pendapatan rendah

Orang berpenghasilan rendah rentan mengalami infeksi. Penyebabnya, mereka lebih suka mengkonsumsi makan berkualitas kurang baik.

f. Pathogenesis4

Pathogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantu pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulonefritis atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium, (2) merupakan mekanisme kerusakan progresif, ditandai adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang yang tersisa 12.

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara structural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori akibat hiperfiltrasi adaptif diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas penurunan fungsi nefron. Beberapa hal juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Pada stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60 %, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muanta, anemia dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

g. Patofisiologi

Sekitar 1 juta nefron ada di setiap ginjal, masing-masing memberikan kontribusi bagi total LFG. Terlepas dari penyebab cedera ginjal, dengan kerusakan nefron progresif, ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan LFG dengan hiperfiltrasi dan hipertrofi sebagai kompensasi dari nefron sehat yang tersisa. Hal ini memungkinkan adaptasi nefron menyaring zat terlarut dalam plasma sehingga zat seperti urea dan kreatinin. Urea dan kreatinin mulai penunjukkan peningkatan yang signifikan pada kadar plasma total setelah LFG menurun hingga 50 %.

Hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron telah dihipotesiskan sebagai penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan kapiler glomerulus, yang merusak kapiler dan pada awalnya mengarah kepada glomerulosclerosis segmental dan akhirnya glomerulosclerosis difus.

Faktor lain dari proses penyakit yang mendasarinya dan hipertensi glomerulus yang menyebabkan kerusakan ginjal progresif adalah sebagai berikut :

Hipertensi sistemik

Proses dari nefrotoksin atau perfusi menurun

Proteinuria

Peningkatan ginjal ammoniagenesis dengan cedera interstisial

Hiperlipidemia

Hiperfosfatemia dengan deposisi kalsium fosfat

Penurunan tingkat nitrous oxide

Merokok

h. Pendekatan Dignostik 4

Gambaran klinis

Gambaran klinis pasien gagal ginjal kronik meliputi :

Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi dan lain sebagainya.

Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :

Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :

Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping terjadinya kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi

Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsy ginjal indikasi indikasi-kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikstik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, ganggguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.

i. Penatalaksanaan 4

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya

Derajat

LFG (ml/mnt/1,73m2)

Rencana tatalaksana

1

90

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler.

2

60 89

Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal

3

30 59

Evaluasi dan terapi komplikasi

4

15 29

Persiapan untuk pengganti ginjal

5

< 15

Terapi pengganti ginjal

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal normal secara ultrasonografi, biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20 30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

Menghambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Ada 2 cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini, yaitu :

Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein ini mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 0,8/kgBB/hari dan jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lainnya, terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, sehingga dapat mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Selain itu, asupan protein yang berlebih juga akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal.

Terapi farmakologis

Terapi ini digunakan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Sasaran terpi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan terapi dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Terapi pengganti ginjal 13

1) Dialisis

a) Dialisis Peritoneal (DP)

DP intermiten (DP)

DP mandiri berkesinambungan (DPMB)

b) Hemodialisis (HD)

2) Transplantasi Ginjal (TG)

a) TG donor hidup (TGDH)

b) TG donor jenazah (TGDJ)

j. Komplikasi 4

Komplikasi penyakit ginjal kronik

Derajat

Penjelasan

LFG (ml/mnt)

Komplikasi

1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal

90

-

2

Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan

60 89

Tekanan darah mulai

3

Kerusakan LFG sedang

30 - 59

- hiperfosfatemia

- hipokalsemia

- anemia

- hiperparatioid

- hipertensi

4

Penurunan LFG berat

15 29

Malnutrisi

Asidosis metabolic

Cenderung hiperkalemia

Dislipidemia

5

Gagal ginjal

< 15

Gagal jantung

Uremia

k. Anemia pada penyakit ginjal kronik 4

Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ Serum Iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, ferritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian, karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

l. Asites pada Gagal Ginjal Terminal 14

Penderita gagal ginjal terminal (GGT) dengan hemodialisis (HD) kronik dapat berkembang menjadi asites. Asites yang terjadi sampai sekarang masih merupakan komplikasi dan problem penting, oleh karena prognosisnya jelek. Penyebab dari berbagai penelitian yang sudah ada tidak diketahui, tetapi apapun penyebabnya sepertiga dari penderita biasanya meninggal 1 tahun setelah terdiagnosa sebagai asites nefrogenik.

Penyebab asites pada penderita GGT dengan HD kronik sering dihubungkan dengan penyakit hepar kronik, gagal jantung kongestif, peritonitis, tuberculosis peritoneum, perikarditis konstriktiva dan hiperparatiroid. Bila ternyata dalam evaluasi tidak didapatkan faktor lain yang menyebabkan asites pada penderita disebut asites nefrogenik.

Insiden asites pada penderita GGT dengan HD kronik tidak diketahui dengan pasti. Penelitian Wang F dkk di Chicago, mendapatkan 8 penderita asites dari 60 penderita GGT dengan HD kronik selama 4 tahun. Gabriel dkk, selama 7 tahun penelitian mendapatkan 6 penderita asites dari 197 penderita GGT dengan HD kronik. Pathogenesis asites ini tidak diketahui dengan pasti, sehingga terapi yang diberikan tidak bisa maksimal dan hasilnya kurang memuaskan.

Secara garis besar pembentukan asites dipengaruhi oleh beberapa faktor local maupun sistemik. Adapun faktor local yang berperan adalah aliran darah sinusoid dan system kepiler pembuluh darah usus. Sedangkan faktor sistemik adalah faktor yang bertanggung jawab pada sistem kardiovaskular dan ginjal yang menyebabkan retensi natrium dan air (akibat aktivasi rennin-angiotensin-aldosteron).

Pathogenesis asites pada penderita GGT dengan HD sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti. Hal penting yang menyokong terbentuknya asites pada GGT dengan HD adalah sebagai berikut :

Kelebihan cairan jangka panjang yang disertai dengan kongesti hepar sehingga akan meningkatkan tekanan hidrostatik hepatica.

Perubahan permeabilitas membran peritoneum.

Gangguan resorbsi kelenjar limfe peritoneum.

Hal-hal lain, seperti hipoalbumin, hiperparatiroid sekunder, gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif, pancreatitis, sirosis hepatis dengan hipertensi porta.

Akumulasi cairan asites terjadi mungkin oleh banyak faktor, yaitu peningkatan tekanan kapiler hidrostatik oleh karena kelebihan cairan dan penurunan tekanan onkotik oleh karena hipoalbumin bersama dengan gangguan permeabilitas peritoneum oleh karena peritoneal dialisis sebelumnya.

Perbandingan konsentrasi albumin serum dengan albumin asites mencerminkan gangguan tekanan hidrostatik dan ini dapat memperkirakan penyebab dari asites. Hasil perbandingan < 1,1 penyebab asites biasanya peritonitis, keganasan, pancreatitis, sindrom nefrotik, sedangkan jika hasil perbandingan > 1,1 kemungkinan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dan biasanya penyebabnya adalah sirosis hepatis dan gagal jantung kongestif.

m. Prognosis

Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi komplikasi penyakit seperti anemia, asidosis metabolic, hiperkalemia, tekanan darah yang cenderung tidak normal, edema, edema paru, fluktuasi berat badan dan penyakit dasar batu ginjal, glomerulonefritis, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit dasar lainnya. Faktor umur, jenis kelamin dan frekuensi hemodialisa juga perlu dipertimbangkan sebagai sebab kematian, maka perlu diselidiki faktor yang mempengaruhi dan hubungan antar faktor kematian 15.

BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh perut membesar terasa kencang, panas, sesak nafas dan sulit tidur. Sesak nafas bertambah berat saat perutnya semakin membesar dan pada posisi duduk. Pasien merasa lebih baik dengan posisi terlentang daripada posisi duduk. Selain itu, pasien juga mengeluh BAB cair sebelum masuk RS 10x dalam sehari, warna kuning, lendir (+), darah (-), BAK tidak lancar, warna seperti teh, mual (+), muntah (-), nyeri perut terus menerus, batuk (-), pasien merasa lemas, pusing, pinggang terasa panas, tidak nafsu makan, kulit kering dan gatal. Kemungkinan keluhan sesak nafas pada pasien dikarenakan desakan dari perutnya yang semakin membesar, asites mendesak diafragma ke arah paru yang menyebabkan pengembangan paru terganggu, sehingga pasien mengeluhkan sesak nafas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada mata sclera ikterik dan conjunctiva anemis. Pada abdomen tes pekak beralih (+) dan tes undulasi (+) mengindikasikan adanya asites. Asites ini terjadi bisa dikarenakan kelebihan cairan jangka panjang yang disertai dengan kongesti hepar sehingga akan meningkatkan tekanan hidrostatik hepatica, perubahan permeabilitas membran peritoneum, gangguan resorbsi kelenjar limfe peritoneum. Hal-hal lain, seperti hipoalbumin, hiperparatiroid sekunder, gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif, pancreatitis, sirosis hepatis dengan hipertensi porta.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia, ureum meningkat, kreatinin meningkat dan hipoalbumin yang terdapat pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Selain itu juga ditemukan adanya leukositosis yang kemungkinan menunjukkan adanya infeksi. Fungsi ginjal yang tidak optimal memungkinkan bocornya protein darah, salah satunya albumin yang berperan dalam pengaturan tekanan osmotik intravascular, sehingga pada pasien dengan gagal ginjal kronik dapat ditemukan adanya edema perifer, salah satunya asites.

Pasien ini didiagnosis penyakit ginjal stage 5 karena pasien memerlukan terapi pengganti ginjal untuk menggantikan fungsi ginjalnya yang sudah menurun. Salah satu terapinya adalah hemodialisis, yang telah rutin dilakukan pasien 2 kali dalam seminggu.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dalam kasus ini telah sesuai yaitu dengan memberikan obat diuretik untuk mengurangi asitesnya (overload cairan). Pemberian antibiotik pada pasien ini dilakukan untuk menangani infeksinya, karena pada hasil laboratorium ditemukan adanya leukositosis. Selain itu juga diberikan terapi untuk mengatasi asidosis metaboliknya dan terapi simptomatik lainya untuk mengurangi keluhan pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A. C., & Hal, J. E. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, alih bahasa oleh Irawati, et al., editor edisi bahasa Indonesia Luqman Yanuar Rachman, et al., edisi 11. Jakarta: EGC.

2. Markum, H. M. S. (2009). Gagal Ginjal Akut. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

3. Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., & Moss, P. A. H. (2005). Kapita Selekta Hematologi, alih bahasa oleh Lyana Setiawan, editor bahasa Indonesia Dewi Asih Mahanani, edisi 4. Jakarta: EGC. pp 104-119.

4. Suwitra, K. (2009). Penyakit Ginjal Kronik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

5. The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANA III). Diunduh tanggal 3-10-2013 dari http://www.cdc.gov/nchs.htm

6. Roesli, R. (2008). Hipertensi, diabetes dan gagal ginjal di Indonesia. In Lubis, F. R., et al (eds). Hipertensi dan Ginjal. USU Press Medan.

7. Prodjosudjadi, W. (2009). Glomerulonefritis. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

8. Sukandar, E. (2006). Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung : Pusat Informasi Ilmiah (PPI) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

9. Waspadji, S. (2009). Gambaran Klinis Diabetes Melitus. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

10. Sidabutar, R. P., Wiguno, P. (2009). Hipertensi Essensial. In Soeparman. et al., Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

11. www.mep.undip.ac.id/.../59-diabetes-melitus-sebagai-faktor-resiko-kejadian-gagal-ginjal-kronis.

12. Suharyanto, Toto & Abdul Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

13. Raharjdo, P., Endang. S., Suhardjono (2009). Hemodialisis. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata & S. Setiati (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

14. Ingrum, M. W. (2001). Profil Cairan Asites pada Penderita Gagal Ginjal Terminal dengan Hemodialisis Kronik. Tesis UNDIP.

15. Suharto. (2004). Penerapan model PH Cox pada Studi pasien Gagal Ginjal Kronis dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-suharto-969-cox. Diunduh tanggal 4-10-2013.

1