121
Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar SARJANA HUKUM FIRANTI 050200167 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana ( NIP. 131 842 854 Abul Khair, SH, M.Hum) DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMIMBING II (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum ) (Rafiqoh Lubis, SH, M. Hum NIP. 132 299 900 NIP. 132 300 076 ) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

PKN karya tulis ilmia HAM.pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KTI

Citation preview

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT

    SKRIPSI

    Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar

    SARJANA HUKUM

    FIRANTI 050200167

    DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

    Disetujui Oleh:

    Ketua Departemen Hukum Pidana

    (NIP. 131 842 854

    Abul Khair, SH, M.Hum)

    DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMIMBING II (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Rafiqoh Lubis, SH, M. Hum NIP. 132 299 900 NIP. 132 300 076

    )

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

    2009

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT

    SKRIPSI

    Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan memperoleh Gelar

    SARJANA HUKUM

    Oleh:

    FIRANTI O50200167

    DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

    FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    ABSTRAKSI Firanti*

    Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum***

    Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian karena kejahatan baik materiil maupun imateriil. Namun dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi. Beberapa peraturan di Indonesia mengatur mengenai pemberian kompensasi dan restitusi, misalnya KUHAP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Timor-timur, Tanjung Priok dan Abepura pun belum dapat mempraktekan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran HAM berat karena pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak jelas. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat

    Metodologi yang dipakai dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama. Sedangkan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan data dan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dianalisis terhadap ketentuan hukum yang berlaku, khususnya terhadap UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

    Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat belum dapat dijalankan karena mekanisme pengaturannya belum diatur secara jelas dan belum memenuhi standardisasi internasional yang sesuai dengan pengaturan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi dalam Statuta Roma, yang dapat menjamin korban dalam mendapatkan penggantian kerugian secara materiil dan imateriil.

    Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

    Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

    Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR................................i

    ABSTRAKSI..vi

    DAFTAR ISIvii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang........ 1

    B. Permasalahan..6

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7

    D. Keaslian Penulisan..7

    E. Tinjauan Kepustakaan..8

    1. Pengertian Korban............................................8

    2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat13

    3. Pengertian Perlindungan Hukum.18

    F. Metode Penelitian.20

    G. Sistematika Penulisan 22

    BAB II RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

    BERAT

    A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia24

    B. Bentuk-bentuk Pelanggran Hak Asasi Manusia Berat.39

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

    PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT

    A. Prinsip Dasar Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

    Berat..

    56

    B. Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban Pelanggaran Hak

    Asasi Manusia Berat..... .

    72

    C. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum terhadap Korban

    Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

    76

    BAB IV PENUTUP

    A. Kesimpulan

    106

    B. Saran..

    108

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    BAB I

    PENDAHULUAN

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    A. Latar Belakang

    Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional

    nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari hanya bebera

    peraturan PerUndang-Undangan Nasional yang mengatur hak-hak korban

    kejahatan. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan

    dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari

    asas setiap warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

    pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945,

    sebagai landasan konstitusional. Selama ini mucul pandangan yang menyebutkan

    pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana,

    maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal

    pendapat demikian tidak seutuhnya benar.1

    Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan

    kerugian terhadap korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian

    karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada

    Berdasarkan perkembangan yang ada, baik nasional maupun

    internasional, dapat dilihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh

    perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur

    perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundangan-

    undangan nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah

    diatur namun sifatnya masih bersifat parsial dan tidak berlaku secara umum untuk

    semua korban kejahatan.

    1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban kejahatan

    Antara Norma dan Realita. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2006. Halaman 4

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana,

    tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang

    kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi

    sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak diperdulikan. 2

    Sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa

    dalam penyelesaian perkara pidana, sementara hak-hak korban diabaikan.

    Sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara

    pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak azasi manusia, ada

    kecenderugan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka

    tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.

    3

    Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan

    hukum yang memadai dalam penyelesaian perkara pidana, baik perlindungan

    yang sifatnya material maupun imateril. Korban kejahatan ditempatkan sebagai

    alat bukti yang memberikan keterangan yaitu sebagai saksi sehingga

    kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan

    haknya adalah kecil.

    4 Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat

    secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga ia kehilangan

    kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat

    suatu kejahatan.5

    2 Ibid, Halaman 24

    3 Andi Hamzah. Perlindungan Hak-hak Azasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bina Cipta. Bandung 1986. Halaman 33.

    4Chaerudin Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimilogi dan Hukum Pidana Islam. Ghalia Pers. Jakarta . 2004. Halaman 47.

    5 Ibid, Halaman 49.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Tidak jarang juga ditemukan korban yang mengalami penderitaan

    (fisik,mental, atau materi) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya,

    tidak memperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alsan,

    misalnya korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan

    prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat

    pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Dalam berbagai kasus,

    penyelesaian secara hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM

    seringkali tidak berpihak kepada korban,namun justru dilakukan untuk

    melindungi para pelaku, sebagiamana halnya yang lazim dilakukan oleh para

    penguasa militer di Negara-negara Amerika lain, seperti Argentina dan Chile pada

    era tahun 1970an.

    Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dan

    merupakan hak dari korban tindak pidana adalah mendapatkan kompensasi dan

    restitusi. Kompensasi diberikan oleh Negara kepada korban pelanggaran HAM

    yang berat, sedangkan restitusi merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana

    yang diberikan oleh pelaku sebagai bentuk prtanggungjawabannya.6

    Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian

    kompensasi dan restitusi. Namun kenyataanya aturan tersebut tidak implementatif.

    Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat pada KUHP, KUHAP,

    dan juga Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi

    Manusia yang kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002

    tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran

    HAM Yang Berat. Namun berdasarkan pengamatan, sangat jarang ada korban

    6 Ibid. Halaman 55.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di

    Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang

    mendapatkan kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan

    korban berhak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.

    Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh bahwa penyelesaian secara

    hukum maupun politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak

    kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para pelaku dapat

    dikemukakan dalam konteks berikut ini: Berdasarkan catatan pengadilan HAM

    ad hoc Timor-Timur , hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat tidak pernah

    disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun

    upaya pemulihan bagi korban, padahal pelanggaran HAM berat di Timor- Timur

    telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses pengadilan hanya difungsikan untuk

    mencari siapa pelaku dan menghukumnya, tetapi keadilan bagi korban secara

    nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi

    yang secara jelas dinyatakan oleh Undang-undang bahkan tidak dapat berjalan

    sama sekali.7

    Tidak diberikannya hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan

    dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan ketidakpercayaan

    korban bahawa hak-hak mereka akan dilindungi bahkan diberikan ketika mereka

    berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal

    ini menunjukan, bukan saja dapat dikatakan bahwa Negara gagal mewujudkan

    system peradilan yang kompeten dan adil, Negara gagal menjamin kesejahteraan

    7 Supriady Widodo Eddyono, Wahyu wagiman, Zainal Abidin, Perlindungan Saksi Dan

    Korban Pelanggaran HAM berat. Elsam. Jakarta 2005. Halaman 3

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban

    akan ganti rugi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak azasi bidang

    kejahteraan/jaminan social (social security).8

    Salah satu contoh, Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang

    merupakan satu-satunya pengadilan yang memberikan putusan kompensasi

    kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan

    prosedur. Korban pelangaaran HAM Tanjung Priok akhirnya mendapatkan

    putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk

    mendapatkan kompensasi dalam dua putusan, dimana satu putusan hanya

    menyatakan bahawa korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan

    lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para korban.

    Lebih jauh lagi bahwa Negara juga

    telah mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia

    internasional.

    9

    Putusan kompensasi diatas dalam pelaksanaannya terhambat karena

    secara normatif dimana eksekusi putusan hanya bisa dilaksanakan setelah ada

    keputusan pengadilan yang bersifat tetap.

    10

    8 Ibid, Halaman 3

    9 Satya Arinanto, Hak asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat studi hukum tata Negara Fakultas Hukum Universiats Indonesia, Jakarta, 2005. Halaman 292

    10 Barda Nawawi Arif. Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bhakti. Bandung 1998. Halaman. 67

    Artinya kompensasi akan diterima

    oleh korban pada saat terdakwa dinyatakan bersalah di tingkat Mahkamah Agung,

    sebaliknya jika ternyata terdakwa dibebaskan di tingkat banding atau Mahkamah

    agung maka kompensasi tersebut akan gugur. Hal ini karena konsep kompensasi

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    kepada korban tergantung dari faktor kesalahan dari terdakwa dan bukan karena

    hak yang melekat terhadap setiap korban pelanggaran HAM.

    Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok telah secara nyata menerapkan

    dan mengadopsi kekeliruan dalam memahami konsep kompensasi dan restitusi.

    Hal ini tampak dari adanya prasyarat yang harus terpenuhi agar korban

    mendapatkan kompensasi dan restitusi yaitu dinyatakan bersalah dan dipidananya

    pelaku.

    Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang sudah menjadi prinsip hukum

    HAM internasional bahwa korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan

    kompensasi (dan atau restitusi) tanpa harus menunggu apakah pelakunya dipidana

    atau tidak.

    Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut di atas, maka penulis

    mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran

    HAM berat ini ke dalam skripsi Penulis dengan judul PERLINDUNGAN

    HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT

    B. Permasalahan

    Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas maka yang

    menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

    1. Bagaimana ruang lingkup pelanggaran HAM berat ?

    2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran HAM berat ?

    C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk ruang lingkup pelanggaran HAM

    Berat.

    2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Negara

    kepada korban pelanggaran HAM Berat.

    Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

    1. Manfaat teoritis

    Karya tulis ini diharapkan akan bermanfaat dan memperkaya literatur-

    literatur yang ada sebelumnya, khususnya mengenai perlindungan korban

    terhadap pelangggaran HAM Berat.. Karya tulis ini juga diharapkan menjadi

    acuan untuk mengadakn penelitian yang lebih mendalam lagi.

    2. Manfaat Praktis

    Diharapkan dengan adanya karya tulis ini dapat berguna dalm membantu

    permasalahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini lembaga hukum

    dan pemerintah guna menjamin perlindungan hukum terhadap korban pelanggaran

    HAM Berat serta penerapannya dalam proses perkara pidana HAM.

    D. Keaslian Penulisan

    Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

    KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT sepengetahuan penulis belum ada

    penulis lain yang mengemukakanya dan bila ternyata di kemudian hari terdapat

    judul dan objek yang pembahasan yang sama, sebelum tulisan ini dibuat maka

    penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    E. Tinjauan Kepustakaan

    1.Pengertian Korban

    Secara global dan representatif, pengertian korban kejahatan terdapat

    pada angka 1 Declaration of Basic Principles of Justice for Victims and Abuse of

    Power tanggal 6 September 1985 yang menegaskan :

    Korban berarti orang-orang yang secara pribadi atau kolektif, yang telah menderita kerugian yang termasuk di dalamnya luka fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan cukup besar atas hak-hak dasarnya, lewat tindakan atau penghapusan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di Negara-negara anaggota, termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan yang bisa dikenai pidana.11

    Dalam resolusi MU-PBB 40/34 bahwa yang di maksud dengan korban

    ialah orang-orang,baik secara individu maupaun kolektif, yang menderita

    kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang

    berlaku di suatu Negara, termasuk peraturanperaturan yang melarang

    penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu

    menjelaskan victim of Abuse of Power, bahwa dalam pengertian korban

    Deklarasi Prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan

    penyalah gunaan kekuasaan ini juga menyatakan bahwa seseorang dapat dianggap

    korban tanpa menghiraukan apakah pelaku kejahatannya dikenali, ditahan,

    diajukan ke pengadilan atau dihukum dan tanpa menghiraukan hubungan

    kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah korban juga termasuk,

    bilamana sesuai, keluarga dekat atau tanggungan korban langsung orang-orang

    yang telah menderita kerugian karena campur tangan untuk membantu korban

    yang dalam keadaan kesukaran atau mencegah jatuhnya korban.

    11 Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan.

    Jakarta. 2004. Halaman 120.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    termasuk juga orang-orang yang menjadi koraban dari perbuatan-perbuatan (tidak

    berbuat) yang walaupun belim merupakan pelanggaran teerhadap hukum pidana

    nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-

    norma HAM yang diakui secara internasional.12

    orang yang telah mengalami penderitaan baik fisik maupun mental

    dan kehilangan harta bendanya atau menyebabkan kematian sebagai akibat dari

    tindakan atau usaha percobaan tindak pidana yang dilakukan pihak lain.

    Ralph de Sola mengartikan korban :

    13

    Menurut Stanciu, korban dalam pengertian luas adalah orang yang

    menderita akibat dari ketidakadilan. Dengan demikian lanjut Stanciu, ada dua sifat

    yang mendasar (melekat) dari korban, yaitu suffering (penderitaan) dan injustice

    (ketidakadilan)

    Di dalam Blacks Law Dictionary korban merupakan seseorang yang

    dirugikan sebagai hasil dari suatu kejahatan, perbuatan,melawan hukum atau

    lainnya:

    a person harmed by crime, tort, or other wrong

    14

    12 Barda Nawaw Arief. Op.cit. Halaman 54

    13 H. Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama. Bandung. Juni. 2007. Halaman 77

    14 Teguh Prasetyo,Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilasisasi. Pustaka Pelajar . Yogyakarta. 2005. Halaman 119.

    . Timbulnya korban tidak dapat dipandang sebagai akibat

    perbuatan yang illegal, sebab hukum (legal) terkadang juga dapat menimbulkan

    ketidakadilan seperti korban akibat prosedur hukum. Seperti dalam kasus

    kejahatan,konsep tenteng korban seharusnya tidak saja dipandang dalam

    pengertian yuridis, sebab masyarakat sebenarnya selain dapat menciptakan

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    penjahat, juga dapat menciptakan korban. Dengan demikian, seorang korban

    ditempatkan pada posisi sebagai akibat kejahatan yang dilakukan terhadapnya

    baik dilakukan secara individu, kelompok atau oleh Negara.15

    Menurut Muladi korban adalah orang-orang yang baik secara individual

    maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugain fisik maupun

    mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang

    fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di

    masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

    16 Sedangkan Cohen

    menmendefinisikn korban (victim) sebagai :17

    The person who are thraeatened, injured or destroyed by an actor or mission of another (mean structure, organization, or instution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatned by punishable act (not only criminal act but also other punishable act as misdemeanour, or economic offences, non fulfillment of work duties) or an accident. Suferring may be caused by another man or another structure, where people are also involved.

    whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends `immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.(siapa yang terluka dan penderitaannya telah diabaikan oleh Negara akibat dari pelaku yang bertanggung jawab terhadap luka dan penderitaanya)

    Z.P Separovic mengartikannya :

    18

    15 Aref Amrullah, Politik Hukum Pidana: dalam Rangka Perlidungan Korban Kejahatan

    Ekonomi di Bidang Perbankan.Bayu Media Publishing.Malang. 2003. Halaman 61.

    16 Muladi. Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana; sebagaimana dimuat dalam Kumpulan karangan HAM, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.1997, Halaman 172.

    17Cohen dalam Romli Atsasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, 2005, Halaman 9

    18 Dikdik M. Arif Mansur. Elistaris Gultom,op.cit. Halaman 46-47

    (orang yang terancam, terluka atau diganggu oleh pelaku atau orang lain (stuktur, oraganisasi ataupun lembaga) dan sebagai konsekuensinya, korban akan menjadi orang yang menderita atau terancam oleh tindakan hukuman (bukan saja tindakan criminal melainkan juga tindakan hukuma lain seprti keruian

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    ekonomi, ketidak berhasilan memenuhi kewajibana kerja ataupun kecelakaan). Penderitaan dapat disebabkan oleh orang lain ataupun struktur lain, dimana orang juga terlibat didalamnya.)

    Arief Gosita memberi penjelasan tentang korban sebagai mereka yang

    menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang

    mencari pemenuhan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan .19Pengertian

    korban menurut Undang-undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran

    dan Rekonsiliasi, yang selanjutnya disebut UU KKR adalah orang perseorangan

    atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik, fisik, mental, maupun

    emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau

    perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran HAM

    yang berat termasuk korban adalah juga ahli warisnya.20

    Peraturan Presiden No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan

    Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat dan Peraturan

    Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi

    Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, mengartikan korban sebagai

    orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai

    akibat pelanggaran HAM yang Berat yang memerlukan perlindungan fisik dan

    mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun.

    21

    19 Arief Gosita. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta. 1993.

    Halaman 63

    20 Undang-undang No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pasal 1 angka 5.

    21 PP No.2 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 2 dan PP No. 3 tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Berat, Pasal 1 angka 3

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan saksi adalah UU

    Perlindungan saksi dan Korban yang memberi batasan tentang apa yang disebut

    dengan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,

    dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.22

    Menurut The Rule of Procedure and Evidence dari Statuta Roma, korban

    berarti orang-orang asli yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat

    dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam yurisdikasi Mahkamah.

    23

    Selain itu dikatakan juga, bahwa korban bisa mencakup organisasi-organisasi atau

    lembaga-lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta milik

    mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendididkan, seni, atau ilmu

    pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan kariatif, dan atas monument-monumen

    sejarah mereka, rumah sakit, dan tempat-tempat serta objek-objek lainnya yang

    diabadikan bagi kepentingan atau misi kemanusiaan.24

    22 Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 1

    angka 2

    23 Rome Statute of The International Criminal Court (Pasal 5 ayat 1)

    24 Bagian III Korban dan Saksi, Sub-bagain 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaiatan dengan Korban, Aturan 85

    Terkait dengan beberapa pengertian tentang korban di atas, maka korban

    dalam pelanggaran HAM yang berat adalah orang atau orang yang menderiata

    secara material maupun immaterial yang disebabakan oleh tindakan pelanggaran

    HAM yang berat.

    Pengertian korban secara luas adalah yang didefinisikan oleh South

    Carolina Govenors Office of Executive Policy and Programs, Columbia, yaitu:

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    victim means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or financial harm as the result of crime against him. Victim also includes the persons is deceased, a minor, incompetent was a homicide victim and/or is physically or psychologically incapacitated.25

    Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang

    menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami

    penderitaan yang dapat diklarifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban

    tidak langsung disini seperti, isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan

    bapak, orangtua yang kehilangan anaknya, dan lainnya.

    (Korban berarti orang yang menderita bahaya fisik, psikologis atau finansial atau yang bersifat ancaman maupun kerugian finansial sebagai akibat kejahatan terhadap dirinya. Korban juga meliputi orang yang sudah mati, korban pembunuhan dan yang cacat secara fisik ataupun psikologis.)

    26

    Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia dan

    berfungsi sebagai jaminan moral dalam menunjang klaim atas penikmatan sebuah

    kehidupan yang layak pada taraf yang paling minimum

    Dengan mengacu pada pengertianpengertian korban diatas, dapat

    dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok

    yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang

    menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi

    termasuk didalamnya kelurga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan

    orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi

    penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.

    2. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

    27

    25 http/www. Govoepp State. Sc.Ies/sova/tsedo 2, htm. Diakses tanggal 7 September

    2009

    26 H. Soeharto, Op.cit, Halaman 78

    27Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam masyarakat Komunal, LAMAMERA. Yogyakarta. 2008. Halaman 69.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Pelanggaran HAM berat belum mendapat kesepakatan yang diterima

    secara umum. Biasanya kata berat menerangkan kata pelanggaran, yaitu

    menunjukan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan. Akan tetapi, kata

    berat juga berhubungan dengan jenis-jenis HAM yang dilanggar. Pelanggaran

    HAM berat terjadi jika yang dilanggar adalah hak-hak berjenis non-derogable28

    Cecilia Medina Quiroga menjelaskan istilah pelanggaran HAM Berat

    sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran,

    sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan

    dalam kuantitas tertentu dan dalam suatu cara untuk menciptakan situasi untuk

    hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk

    Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM

    dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat diartikan

    hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang sebelumnya telah

    direncanakan.

    Pelanggaran HAM Berat juga memiliki unsur menimbulkan akibat yang

    meluas atau widespread. Hal ini biasanya mengarah kepada jumlah korban yang

    sangat besar dan kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya. Namun

    demikian, hingga saat ini belum ada definisi yang baku mengenai pelanggaran

    HAM Berat. Dilihat dari peristilahan yang digunakan pun bermacam-macam, ada

    yang menggunakan istilah gross and systematic violations, the most serious

    crimes, gross violations, grave violations, dan sebagainya.

    28 Ifdal Kashim. Prinsip-prinsip Van Boven, mengenai Korban pelanggaran Ham Berat.

    Elsam. Jakarta. 2002 Halaman xxiii.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    (population) secara keseluruhan atau saru atau lebih dari sektor-sektor dari

    penduduk suatu Negara secara terus-menerus dilanggar atau diancam.29

    a. membunuh anggota kelompok,

    Istilah pelanggaran HAM Berat yang telah dikenal dan digunakan pada

    saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik didalam resolusi, deklarasi, maupun

    dalam perjanjian HAM. Namun secara umum dapat diartikan sebagai

    pelanggaran secara sistematis terhadap norma-norma HAM tertentu yang sifatnya

    lebih serius.

    Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM, pelanggaran HAM Berat

    adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di

    luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan penghilangan

    orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara

    sistematis (systematic discrimination).

    Pelanggaran HAM Berat menurut UU Pengadilan HAM didefinisikan

    sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan

    terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU No 26 Tentang Pengadilan HAM). Yang

    dimaksud dengan kejahatan genosida menurut Pasal 8 UU No. 26 Tentang

    Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk

    menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,

    kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:

    b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

    anggota kelompok,

    29 Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Sytematic Violations

    dalam Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The habibi Center , Jakarta, 2002, Halaman 75

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

    kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiaanya,

    d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam

    kelompok,

    e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok

    lain.

    Adapun yang di maksud dengan kejahatan kemanusiaan menurut Pasal 9

    UU No. 26 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang dilakukan

    sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya

    bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil

    berupa:

    a. pembunuhan

    b. pemusnahan

    c. perbudakan

    d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

    e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

    sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

    internasional

    f. penyiksaan

    g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

    kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk

    kekerasan seksual lainnya yang setara

    h. penganaiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang

    didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal

    yang dilarang menurut hukum internasional

    i. penghilangan orang secara paksa

    j. kejahatan apartheid

    Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatn terhadap

    kemanusiaan tersebit di atas subtansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang

    terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.

    Menyangkut pelanggran HAM Berat, di dalam The U.S Restatement of

    Law dikatakan bahwa suatau pelanggaran Ham dianggap berat apabila

    pelanggaran tersebut secara luar biasa menimbulkan keguncangan, karena begitu

    pentingnya hal yang dilanggar atau beratnya pelanggaran

    Pelanggaran HAM berat termasuk pula dalam kategori extra ordinary

    crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan

    di lakukan oleh pihak pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru

    bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan kejahatan tersebut sangat mencederai

    rasa keadilan secara mendalam (dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi

    atau menghilangkan derajat kemanusiaan).30 Pelanggaran HAM seperti

    pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa, misalnya adalah pelanggaran

    HAM yang dilarang oleh hukum internasional dan hukum kebiasaan

    internasional.31

    30 Muchamad Ali Syafaat, Tindak Pidana Teror: Belenggu Baru bagi Kemerdekaan,

    dalam F.Budi Hadirman , et al. Terorisme Definisi, Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta. 2003 Halaman 63

    31 Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Halaman 29

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, belum ada definisi yang

    baku, baik dari instrument hukum HAM Internasional dan nasional, instrument-

    instrument hukum HAM tersebut hanya menggambarkan cakupan planggaran

    HAM yang berat saja, bahkan terdapat ketidaksinkronan dengan pengertian

    pelanggaran HAM yang berat dari hukum positif Indonesia yaitu dari penjelasan

    Pasal 104 UU HAM dengan yang terdapat di dalam UU pengadilan HAM. Dari

    sisi ajaran para sarjana sekalipun, definisi pelanggaran HAM yang berat hanya

    berupa pengelompokkan saja.32

    Perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya meempatkan diri

    dibawah sesuatu,supaya tersembunyi . Sedangkan perlindungan memiliki

    pengertian suatu perbuatan, maksudnya melindungi, memberi pertolongan.

    3. Pengertian Perlindungan Hukum

    33

    Kata ius bersal dari kata iubre yang artinya mengatur atau memerintah.

    Perkataan mengatur atau memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada

    kewibawaan.

    Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk kata

    tunggal. Kata jamaknya adalah Alkas yang selanjutnya diambil alih kedalam

    bahasa Indonesia menjadi hukum. Di dalam pengertian hukum terkandung

    pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.

    Recht berasal dari kata rechtum yang mempunyai arti bimbingan atau

    tuntutan atau pemerintahan.

    34

    32 Supriady Widodo Eddyono, op.cit Halaman 12

    33 Wjs Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1961 Halaman 794

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Bellefroid mengatakan bahwa hukum yang berlaku di masyarakat yang

    mengatur tata tertib masyarakat itu. Di dasarkan atas kekuasaan yang ada dalam

    masyarakat.35

    Peraturan-peraturan yang hidup maksudnya meliputi peraturan-peraturan

    tidak tertulis yang terdapat dalam kebiasaan dan adat istiadat. Peraturan-peraturan

    yang bersifat memaksa berarti melanggar perintah dan larangan berakibat akan

    mendapat sanksi/reaksi dari organ pemerintah seperti juru sita, jaksa, polisi dan

    sebagainya juga dari masyarakat.

    Utrech memberikan rumusan bahwa hukuman itu adalah himpunan

    petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata

    tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang

    bersangkutan.

    Van Vollenhoven dalam bukunya het adapt recht van Nederland Indie,

    hukum itu adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus

    menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa hentinya dengan gejala-gejala

    lainnya.

    Sebagai kesimpulan dari rumusan sarjana tentang hukum , hukum

    adalah himpunan dari semua peraturan-peraturan yang hidup bersifat memaksa,

    berisikan petunjuk baik merupakan perintah maupun larangan berbuat sesuatu

    atau tidak berbuat sesuatu dengan maksud mengatur tata tertib dalam

    pergaulan/kehidupan masyarakat.

    36

    34 R. Soeroso, Pengantar ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2005 Halaman 24-25

    35 K. Kueteh sembiring, Sumber-sumber Hukum: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1987 Halaman 9

    36 Ibid, Halaman 11-12

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Jadi pengertian dari perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang

    dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta

    yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan

    kesajahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.37

    Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

    penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif), yakni

    merupakan penelitian yang dilakukan dan ditunjukan pada berbagai peraturan

    perundang-undangan tertulis adan berbagai literature yang berkaitan dengan

    permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normative ini disebut

    juga dengan penelitian hukum doctrinal atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah

    atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.

    F. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    38

    Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang membagi

    penelitian hukum sebagai berikut:39

    a. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.

    b. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah

    (dogma atau doktrinal) hukum positif.

    37 www.google.com http//one.indoskripsi.com/note/7402, Pengertian Perlindungan

    Hukum. Diakses 3 Desember 2009

    38 Amiruddin, dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 204 Halaman 118.

    39 Soetandyo Wignjosoebroto yang dikutip dalam Buku Bambang Sunggono. Metologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001 Halaman 42.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concerto yang layak

    diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu.

    Menurut Johny Ibrahim, dalam kaitannya dengan penelitian normatif

    (doctrinal) dapat digunakan beberapa pendekatan yang berupa:

    a. Pendekatan perundang-undangan (Statute approach),

    b. Pendekatan analitis (Analytical approach),

    c. Pendekatan histories (Historical approach),

    d. Pendekatan Filsafat (Philosophical approach),

    e. Pendekatan Kasus (Case approach).

    2. Jenis data dan Sumber data

    Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder

    adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian

    yang berwuhud laporan, dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari:

    a. Bahan hukum Primer, yaitu semua dokumen dan peraturan yang mengikat dan

    ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-undang,

    Peraturan Pemerintah dan sebagainya.

    b. Bahan hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi

    atau hasil kajian tentang Perlindungan Korban HAM Berat seperti seminar

    hukum, majalah-majalah, kerya tulis ilimiah, dan beberapa sumber dari situs

    internet yang berkaiatan dengan permaslahan dalam skripsi ini.

    c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan

    keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan

    hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    3.Metode Pengumpulan Data

    Penulisan skripsi ini dipergunakan dengan metode Library Research

    (penelitian kepustakaan), yaitu melekukan penelitian dengan berbagai sumber

    bacaan, seperti ; peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet,

    pendapat sarjana, dan bahan lainnya yang sangat berkaitan dengan skripsi.

    4.Analisis Data

    Analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adlah denagn cara

    kulitatif, yakni menganalisi data sekunder tanpa menggunakn statistic untuk

    menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

    G. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan skripsi ini di bagi dalm beberapa tahapan yang

    disebut dengan BAB, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya

    tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan

    yang lainnya. Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan

    keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut:

    BAB I :Berisikan pendahuluan yang di dalamnya di uraikan mengenai latar

    belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian dilanjutkan

    dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

    kepustakaan, metode penulisan, yang kemidian diakhiri dengan

    msistematika penulisan.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    BAB II : merupakan Bab yang membahas ruang lingkup Hak Asasi manusia

    berat, yang di dalamnya akan dibahas mengenai kewajiban Negara

    dalam Hak Asasi Manusia , dan bentuk-bentuk dari pelanggaran Hak

    Asasi Manusia Berat.

    BAB III : merupakan Bab yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap

    korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat yang di dalamnya akan

    dibahas mengenai prinsip dasar perlindungan korban pelanggaran Hak

    Azasi Manusia Berat dan pemberian perlindungan hukum terhadap

    korban pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat.

    BAB IV : Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah

    dibahas sebelumnya dan saran-saran yang berguna bagi penulis

    khususnya dan bagi para pembaca umumnya.

    BAB II

    RUANG LINGKUP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    A. Kewajiban Negara Menyangkut Hak Asasi Manusia

    Salah satu ciri Negara adalah a degree of civilization yaitu tingkat

    peradaban Negara diwujudkan dalam pembangunan nasional40 , sedangkan

    pembangunan nasional bagi Indonesia merupakan pencerminan kehendak terus-

    menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara

    adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan

    penyelenggaraan Negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila secara

    serasi dan sebagai kesatuan yang utuh.41

    1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas

    hukum atau peraturan perundang-undangan

    Melalui kegiatan pembangunan

    diharapkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan.

    Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pancasila dan Undang-

    Undang dasar 1945. Negara Republik Indonesia mengakui dirinya sebagai

    penjunjung tinggi HAM yang menjamin segala hak warga Negara bersamaan

    kedudukanya didalam hukum dan pemerintahan, sebagaiman tercantum dalam

    konstitusinya yaitu UUD 1945.

    Suatu Negara hukum menururt Sri Soemantri, harus memenuhi beberapa

    unsur yaitu:

    2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)

    3. Adanya Pembagian kekuasaan dalam Negara

    40 Dikdik M. Arief Mansur, Elistaris Gultom, op.cit Halaman 15

    41Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, 1996, Halaman 26

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    4. Adanya pengawasan dari badan peradilan42

    Dihubungkan dengan pernyataan diatas, tentang adanya jaminan

    terhadap HAM, maka dapat disimpulkan bahwa dalam setiap konstitusi sebuah

    Negara hukum haruslah ditemukan adanya jaminan tergadap HAM itu sendiri

    melipui bagian aspek kehidupan manusia, mulai dari hak untuk hidup, hak dalam

    bidang politik, hak tentang kebebasab bicara, hak dalam bidang hukum, dan lain-

    lain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi

    Manusia, yang selanjutnya akan disebut DUHAM, yang berbunyi: Setiap orang

    berhak atas penyelesaian yang efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan

    perlindungan yang sama terhadap tindakan-tinadakn yang melanggar hak-hak

    dasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum.

    43

    Salah satu bukti penghormatan bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi

    Manusia adalah diaturnya Hak Asasi manusia pada bab tersendiri didalam UUD

    1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.

    44

    Khusus untuk HAM dalam bidang hukum, maka hal ini terkait erat

    dengan Asas Persamaan Kedudukan di dalam Hukum. Pengakuan terhadap hak

    azasi manusia di bidang hukum ini dapat ditemukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

    1945, yaitu: segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan

    42 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung, 1992

    Halaman 29

    43 Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Azasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Azasi Manusia , Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, Halaman 61

    44Setelah Amandemen Keempat

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerinthan itu dengan tidak ada

    kecualinya.45

    Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 adalah berkenaan dengan persamaan

    kedudukan dalm hukum yang diwujudkan di dalam proses peradilan pidana

    sebagai asas equality before of law

    46, yang mana setiap orang yang berhadapan

    dengan hukum diperlakukan sama dalam proses pemeriksaannya baik sebagai

    tersangka, terdakwa (presumption of innocent), saksi, maupun korban. Menurut

    Mochtar Kusumaatmadja tujuan dari hukum adalah untuk ketertiban, kepastian

    hukum, serta keadilan.47

    KUHAP yang diklaim sebagai Karya Agung bangsa Indonesia, karena

    menekankan pada HAM dan ketentuan-ketentuan yang bersifat anti-tese

    . Bila dikaitkan ciri negara hukum dengan tujuan dari

    hukum itu sendiri orintasinya adalah demi menjadikan suatu masyarakat yang

    sejahtera secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat

    dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis yang ditempuh melalui

    pembangunan nasional. Dalam mencapai masyarakat yang sejahtera, adil, serta

    demokratis maka sangat dibutuhkannya jamian HAM dan kepastian hukum dari

    Negara itu sendiri. Di Indonesia jaminan terhadpa HAM secara Eksplisit tertuang

    didalm UUD 1945 yaitu pada bab X A dari Pasal 28 A s.d. Pasal 28 J.

    48

    45 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas

    Prsamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni Bandung, 2003,Halaman 2

    46 Ibid, Halaman vii

    47 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, Cetakan ke-2 Tahun 2006, Halaman 3-4

    dari

    48 Albert Hasibuan, Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP, makalah dalam diskusi ilmiah Dari KUHAP Menuju RUU KUHAP yang diselenggarakn di Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2 Juni 2007

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    HIR, ternyata masih banyak kelemahannya dari segi perlindungan HAM. Hal ini

    karena KUHAP tersebut perlindungan HAM-nya lebih menitik beratkan terhadap

    pelaku (offender oriented), sedangkan perlindungan HAM terhadap saksi dan

    korban sangat tidak memadai. Beranjak dari cita-cita Negara hukum yang

    dihubungkan dengan tujuan hakim, maka pengaturan perlindungan saksi dan

    korban khususnya pelanggaran HAM yang berat diperlukan untuk ketertiban,

    kepastian hukum serta keadilan yang nantinya akan menjadikan msyarakat

    Indonesia adil dan makmur.

    HAM merupakan sekumpulan hak yang bersifat normatif atau

    merupakan legal rights . Sifat normatif ditandai dengan adanya landasan hukum

    secara internasional yang mengatur HAM . Norma-norma HAM yang terdapat di

    dalam instrument hukum HAM Internasional selanjutnya menciptakan kewajiban

    bagi Negara untuk melindungi dan menjamin HAM setiap individu.

    Sejak dibentuk pengadilan internasional tentang kejahatan perang di

    Nuremberg (yang dikenal dengan dengan Nuremburg Trial) setelah perang Dunia

    II, telah berkembang dalam hukum inetrnasional konsep tentang kewajiban

    Negara untuk melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku

    kejahatan internasional yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap

    kemanusiaan dan kejahatan perang yang sekaligus merupakan pelanggaran berat

    HAM. Dalam konteks kewajiban tersebut, termasuk pula didalamnya untuk

    memberikan restitusi atau kompensasi terhadap para korban. Kini terdapat banyak

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    sekali perjanjian multilateral HAM yang memberikan kerangka hukum bagi

    kewajiban selain yang berasal dari hukum kebiasaan internasional.49

    Instrument-instrument HAM internasional memiliki ciri berfokus pada

    Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional, untuk itu diatur pula

    kewajiban Negara menyangkut perlindugan dan jaminan terhadap HAM,

    Pada saat ini, HAM telah diatur di dalam sejumlah instrument hukum

    HAM internasional. Berdasarkan hal tersebut maka pelanggaran HAM akan

    menjadi suatu persoalan internasioal dan tidak lagi dapat diklaim semata-mata

    sebagai urusan dalam negeri suatu Negara. Menyangkut pelanggaran HAM tidak

    dapat dianggap sebagai urusan dalam negeri suatu Negara.

    50

    Kewajiban Negara menyangkut HAM seperti yang telah diatur dalam

    berbagai instrument hukum HAM internasional, pada intinya menekankan pada

    dilaksanakannya penghukuman terhadap para pelaku pelanggaran HAM melalui

    human rights instrumental typically focus on the state as the primary actor in international lawTherefore, international huma rights instumenrts abligate the state, as opposed to its citizens, notto act in ways that would deprive other individuals of their human rights. Some states are oblivious to their human rights obligations, as demonstatedby their flailing to honour treaty commitments or their failure to follow customary state exfectations.(Instrumen Hak Asasi Manusia secara khusus berfokus kepada Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional. Oleh karena itu, instrument hak-hak asasi manusia internasional akan menuntut Negara selama menentang warganya atau tidak bertindak dengan cara yang menghilangkan hak-hak asasi manusia individu lainnya. Bebrapa Negara jelas memiliki kewajiban hak asasi untulk menghormtai perjanjian internasional)

    49 Naomi Roht-Arriaza, State Responbility to Investigate and Prosecute Grave Human

    Rights Violation in International Law, California Law Review, March 1990, dalam Ifdhal Kasim, Dilema Simalakama: Amnesti di Masa Transisi Politik, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Riyadi Terre, Pencarian Keadilan di masa transisi, ELSAM, Jakarta, 2003, Halaman 363

    50 Buergental, Thomas, International Human Rights, dalam Andrey Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggran Berat HAM Indonesia: Timor Leste dan lainnya, Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005, Halaman 22

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    proses pengadilan dan diberikannya ganti rugi atau rehabilitasi bagi para korban

    pelanggaran.51

    Piagam PBB pada dasarnya mengandung sejumlah kaidah hukum HAM

    yang meletakkan sejumlah kewajiban yang bersifat mengikat setiap Negara

    anggota. Ketentuan yang mengatur, antara lain, terdapat di dalam Pasal 55 (c)

    yang mengatur PBB akan mempromosikan universal respect for, and

    observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction

    as to race, sex, language, or religion.(penghormatan menyeluruh atas hak-hak

    Dalam pelanggarannya selanjutnya, hukum internasional semakin

    mengukuhkan pentingnya pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan

    pelanggaran HAM, baik yang termasuk kategori pelanggaran berat maupun

    kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Berbagai instrument hukum

    HAM internasional secara tegas mencantumkan kewajiban Negara guna

    menghukum pelaku kejahatan terhadap integritas fisik seorang. Penafsiran resmi

    berbagai badan internasional dan regional, maupun pendapat dari kalangan pakar

    terkemuka mengenai instrument-instrument tersebut secara berulang-ulang

    menekankan betapa pentingnya proses pengadilan dan penghukuman terhadap

    pelaku atas tindakan pelanggaran berat HAM yang telah dilakukan. Selain itu,

    konvensi-konvensi internasional mengenai HAM juga mengkukuhkan tentang

    arti pentingya ganti rugi atau rehabilitasi bagi korban tindak pelanggaran berat

    HAM.

    51 Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Azasi Manusia di Masa

    Lalu, dalam Ifdhal Kasim dan Eddie Triyadi Terre,(edit), op.cit., Halaman 312-313

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    asasi manusia dan kebebasan tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau

    agama.)

    Berkaitan dengan pasal diatas maka Negara-negara anggota PBB

    memiliki kewjiban untuk mempromosikan HAM sebagaimana yang diatur dalam

    pasal diatas. Namun, apabila suatu Negara melakukan tindakan yang bertentangan

    dengan kewajiban tersebut maka dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran

    terhadap Piagam PBB.

    Tindakan yang bertentangan denagan kewajiban menurut Piagam PBB

    memiliki konsekuensi sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB. Khusus

    berkaitan dengan pasal di atas, misalnya suatu Negara melakukan pelanggaran

    berat HAM. Hal ini dapat dijelaskan,52

    Sumber utama yang merupakan instrument hukum HAM internasional

    dikenal sebagai the International Bill of Human Rights. Instrument hukum

    tersebut terdiri dari: Deklarasi Universal HAM, Perjanjian Internasional tentang

    Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) serta Perjanjian International

    ..the organization has over the years succeeded in clarifying the scope of the Member States obligation to promote human rights, expanding it and creating UN Charter-based institutions designed to ensure compliance by governments. Today it is generally recognized, for example, that a UN Member States which engages in practices amounting to a consistent pattern of gross violations of internationally guaranted human rights is not in compliance with obligation to promote..universal respect for, and observance of.. these rights and that, consequently, it violates the UN Charter.(PBB mengklarifikasikan kewajiban Negara anggotanya untuk mempromosikan hak-hak asasi manusia, memperluas dan menciptakan lembaga yang sesuai dengan traktat PBB yang dirancang untuk menjamin kepatuhan oleh pemerintah. Dewasa ini, sudah diakui secara umum misalnya bahwa Negara anggota PBB yang terlibat dalam praktek-praktek yang menggambarkan pola pelanggaran konsisten terhadap hak-hak asasi manusia yang diakui secara internasional, adalah ketidakpatuhan terhadap kewajiban untuk mempromosikan penghargaan atau penghormatan universal terhadap hak-hak yang didalam Traktat PBB).

    52 Buergenthal dalam Andrey Sujatmoko, op.cit., Halaman, 27

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) beserta dua protocol tambahannya.

    Kewajiban Negara dalam soal HAM timbul sebagai komitmen dari Negara,

    seperti dinyatakan dalam pembukaan UDHR,member State have pledged

    themselves, in cooperation with the United Nations, the promotion of Universal

    respect for and observance of human rights and fundamental freedoms.(Negara

    anggota telah bekerjasama dengan PBB untuk meningkatkan penghormatan

    secara universal terhadap hak-hak asasi dan kebebasan).Hal ini juga dinyatakan di

    dalam bagian pembukaan pada ICESCR dan ICCPR, ..considering the obligation

    of State under the Charter of the United Nations to promote universal respect for,

    and observance of, human rights and freedom,

    Pernyataan lebih tegas bahwa Negara berkewajiban untuk melindungi

    dan menjamin HAM diatur dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR, Each State Party to

    the present Covenant

    Kewajiban tersebut secara nyata harus diwujudkan oleh Negara yang

    dalam hal ini dilaksanakan oleh otoritas yudisaial, administrative, legislative,

    maupun oleh otoritas lainnya dalam bentuk dilaksanakannya remedi terhadap

    individu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, diatur dalam Pasal 2 ayat

    (3) ICCPR.

    Each State Party to the present Convenant undertakes: a. to ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violations has been commited by persons acting in an official capacity: b. to ensure that any person claiming such a remedy shall have his rights thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the state, and to develop the possibilities of judicial remedy; c. to ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when garnted.(setiap Negara dalam perjanjian berusaha; a. menjamin hak-hak atau kebebasan yang diakui akan mendapatkan tindakan pemulihan efektif, denagn ketentuan bahwa pelanggaran tersebut telah dilakukan diluar kekuasaan, b. menjamin bahwa setiap orang yang mengklaim pemulihan tersebut, akan memiliki hak-hak yang ditentukan oleh otoritas judicial, administrasi, dan legislative yang berwenang yag diberikan terhadap sistem hukum Negara dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yudisial, c. menjamin bahwa otoritas yang berkompeten akan melaksanakan pemulihan bila sudah diberikan).

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Dalam konteks hukum internasional, HAM kini telah diatur dalam

    disiplin ilmu tersendiri yang merupakan cabang dari hukum internasional, yaitu

    hukum HAM internasional. Menurut Thomas Buergenthal, hukum HAM

    internasional adalah, as the law that deals with the protection of individuals

    and group against violations by their government of their internationally

    guranteed rights, and with the promotions of these rights.53

    Menurut Haryomataram, hukum HAM internasional mencakup semua

    peraturan dan prinsip-prinsip yang bertujuan melindungi (protecting) dan

    menjamin (safeguarding) hak-hak individu apa pun status hukum mereka, yaitu

    penduduk sipil, anggota angkatan bersenjata, warga Negara asing, orang asing,

    pria ataupun wanita pada setiap saat, baik dalam keadaan damai maupun keadaan

    perang (atau perang saudara, pemberontakan), dalam wilayah Negara sendiri

    maupun diluar negeri.

    (sebagai hukum yang

    menangani perlindungan individu dan kelompok terhadap setiap pelanggaran atau

    kekerasan oleh pemerintah atas hak-hak yang dijamin secara internasional)

    54

    53 Ibid, Halaman 1

    54 Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Azasi Manusia Internasional dan Hukum Pelucutan Senjata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, Halaman 58

    Berdasarkan dua definisi diatas, terlihat kaidah-kaidah dan prinsip-

    prinsip hukum HAM internasional mengatur perlindungan dan jaminan HAM

    setiap individu tanpa kecuali. Sebagai subjek, individu adalah pihak yang yang

    harus mendapatkan perlindungan dan jaminan terhadap HAM, sedangkan pada

    sisi lain Negara adalah pihak yang dibebani kewajiban untuk menjamin

    perlindungan dan jaminan terhadap HAM.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Permasalahan HAM, berseiring dengan perkembangan kehidupan

    demokrasi , yang hendak menata ulang hubungan antara pengemban kekuasaan

    Negara dan para warga Negara, memang merupakan permasalahan yang selalu

    diperbincangkan. Perbincangan berkisar di seputar persoalan, seberapa besarkah

    kekuasaan dan kewenangan suatu rezim itu boleh ditenggang, dan seberapa

    luaskah kebebasan warga itu, di lain pihak, harus selalu diakui dan tak sekali-kali

    boleh dirampas atau dilangggar.55

    Era globalisasi telah membawa Negara Indonesia kepada isu-isu HAM

    internasional. Politik bebas aktif pemerintah Indonesia yang terimplementasi di

    PBB, berdampak terhadap keharusan Indonesia untuk meratifikasi atau

    mengadopsi instrument-instrumen hukum tentang HAM ke dalam hukum positif

    Negara Indonesia sebagai penghormatan terhadap PBB dan merupakan slah satu

    standar dalam ppergaulan antar Negara yang nantinya menyangkut nama baik

    Negara Indonesia sendiri. Adapun instrument instrumen hukum tentang HAM

    tersebut adalah seperti Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

    Konvensi Hak Sipil dan Politik (Internasional Convenants on Civil and Political

    Rigths), Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

    Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The

    Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) , Undang-Undang No.

    5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan

    Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau

    Merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel,

    Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment), dan Undang-Undang No.26

    55 Todung Mulya Lubis,Op.cit,halaman xiiv

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang telah memenuhi standar

    intrnasional.56

    Ada sejumlah HAM yang tidak boleh ditunda pelaksanaannya dalam

    keadaan apapun, yaitu termasuk ke dalam kategori non-derogable rights. Hak-hak

    yang termasuk kategori ini antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak dianiaya,

    hak untuk tidak diperbudak dan diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena

    tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak

    diberlakukan hukum yang berlaku surut dan hak untuk bebas berpikir, berhati

    nurani, dan beragama.

    Sejumlah HAM yang dikenal dewasa ini, diantaranya merupakan

    kategori hak-hak yang memiliki sifat tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut

    terdapat sejumlah HAM yang pelaksanaanya boleh ditunda, yaitu termasuk

    kategori ini antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak

    untuk berkumpul, dan hak untuk berbicara.

    57

    Dalam perkembangannya, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang

    bersifat non-derogable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu

    pelanggaran HAM berat. Pendapat yang mengatakan penggunaan kata berat

    bermaksud untuk menggambarkan tingkah kerusakan, kerugian, atau penderitaan

    yang sedemikian hebatnya akibat dari pelanggaran HAM tersebut.

    58

    Dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat, seringkali pusat

    perhatian lebih ditunjukan kepada para pelaku. Perhatian lebih ditekankan pada

    56 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Utomo, Bandung,

    2004, Halaman 4

    57 Pasal 4 ayat (2) ICCPR

    58 Andrey Sujatmoko, Op.cit, Halaman 70

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    persoalan bagaimana menangkap, mengadili, dan menghukum para pelaku.

    Sementara hak-hak para korban yang bersifat massal cenderung diabaikan. Setiap

    pelanggaran terhadap HAM, apakah dalam kategori berat atau bukan, senantiasa

    menerbitkan kewajiban Negara untuk mengupayakan pemulihan (reparation)

    kepada para korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak korban

    harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan HAM secara

    keseluruhan.59 Istilah reparation atau pemulihan adalah hak yang menunjuk

    kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban

    pelanggaran HAM; pemulihan itu dikenal dengan istilah kompensasi, restitusi dan

    rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk umum dari berbagai

    bentuk pemulihan kepada para korban.60

    Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya

    menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat

    dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi

    karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan

    yang melembaga (system of institutionalized trust). Terjadinya kejahatan atas diri

    korban akan bermakna penghancuran system kepercayaan tersebut sehingga

    pengatuaran hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan

    bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argument

    kontrak sosial dan solidaritas sosial karena Negara boleh dikatakan memonopoli

    seluruh reaksi sosial karena Negara boleh dikatakn memonopoli seluruh reaksi

    59 Ifdal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven mengenai Korban Pelanggaran HAM Berat

    Hak Azasi Manusia, dalam van Boven, Theo, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, ELSAM, Jakarta, 2002, Halaman xiii.

    60 Ibid, Halaman xvi.

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.

    Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka Negara harus

    memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun

    pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan

    salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian

    konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan

    keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.61

    Komitmen diatas diberikan oleh Negara-negara anggota PBB dalam

    rangka implementasi atas pelbagai konvensi

    Every states should provide an effective framework of remedies to redress human rights grievances or volations. The administration of justice, including law enforcement and prosecutorial agencies and especially an independent judiciary and legal professional in full conformity with applicable standarts contained in human rights instruments, are essentials to the full and non-discriminatory realization of human rights and indispensable to the process of democracy and sustainable development. (paragraph 27 of the Vienna Declration and Progamme of Action, World Conference on Human Rights, Vienna 14-25 June 1993) (setiap negara harus memberikan kerangka kerja yang efektif bagi pemulihan untuk menangani pelanggaran hak-hak asasi manusia. Administrasi keadilan, termasuk pelaksanaan hukum dan agen prsekutiral dan judisiari independent dan profesi hukum yang sepenuhnya hak-hak asasi manusia bagi proses demokrasi dan pembangunan yang berkesinambungan(paragap 27 dari Deklarasi da Program Aksi Konrfrensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia, Vienna 14-25 Juni 1993)

    62

    61 Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaiman dimuat

    dalam Kumpulan Karangan Hak Azasi Manusia, Politik da Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997, Halaman 172

    62 Rangkaian Konvensi HAM tersebut adalah Convention against Torture, Convention on The Rights of Children, International Convennants on Civil and Political Rights, Internasional Convenants on Civil and Politicial Rights, International Convenant, on Social, Economic and Cultural Rights, Convention on Political Rights of Women, Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination.

    yang memberikan perlidungan

    HAM, Indonesia sebagai salah satu Negara yang turut mendeklarasikan Vienna

    Declaration and Progamme of Action (International Convenants on Civil and

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Political Rights) memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa terdapat kerangka

    yang efektif untuk memberi ganti rugi atas pelanggaran HAM, administrasi dan

    independensi peradilan di tingkat nasional sejalan dengan instrument HAM

    internasioanal yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Perangkat perlindungan

    HAM di Indonesia mulai berjalan seiring dengan diberlakukannya UU No. 30

    Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

    di Indonesia.

    Dalam UU Pengadilan HAM pada Pasal 35 diatur pula mengenai hak-

    hak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Aturan ini diperkuat

    dengan PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi

    Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat. Namun aturan tersebut sampai

    saat ini tidak dapat dilaksanakan, karena sangat berkait dengan prosedur ganti

    kerugian seperti yang diatur dalam KUHAP. Tidak ada satupun jaksa yang

    menangani pelanggaran HAM Berat ini yang mengajukan tuntutan adanya

    kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi ke pengadilan.63

    Pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur pula

    dalam Pasal 75 ayat (1) Statuta Roma bahwa Makamah harus menetapkan prinsip-

    prinsip yang berkenaan dengan, korban, termasuk kompensasi, restitusi, dan

    rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya Mahkamah atas permohonan

    ataupun atas mosinya sendiri dalam keadaan-keadaan luar biasa, dapat

    menentukan ruang lingkup dan luasnya setiap kerusakan, kerugian, atau luka para

    korban dan akan menyatakan prinsip-prinsip yang digunakan Mahkamah untuk

    bertindak. Mahkamah dapat membuat suatu Perintah untuk secara langsung

    63 Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, op.cit Halaman 18

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    kepada seseorang yang dihukum dengan memerinci ganti rugi yang layak

    terhadap korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun sebelum

    Mahkamah mengeluarkan perintahnya tersebut, Mahkamah perlu mengundang

    dan mempertimbangkan pandangan dari:

    1. wakil terdakwa atau orang yang bertindak untuk dan atas nama terdakwa

    (bukan penasehat hukumnya),

    2. wakil dari korban atau orang yang bertindak atas nama korban,

    3. orang-orang lain yang merasa berkepentingan, atau

    4. Negara-negara yang berkepentingan

    Apabila sesuai, Mahkamah dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi

    tersebut dapat dilakukan melalui Trust Fund.

    Dalam hal ini korban juga diberi hak yang khusus untuk meminta

    pemulihan atau ganti kerugian atas dirinya akibat darikejahatan di bawah

    yurisdiksi Statuta kepada Mahkamah di tingkay banding melalui panitera

    (registry).64

    Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary

    crime dan berdampak secrara luas baik pada tingkat nasional maupun

    Permintaan pemulihan atas diri korban tersebut diatur lebih lanjut

    dalam The Rule of Procedure and Evidence sebagai aplikasi dari Statuta Roma.

    B. Bentuk- bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

    64 Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan

    Kejahatan Agresi (pasal 5 ayat 1 Statuta Roma)

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    internasional dan bukan merupakan tindak piadana yang diatur dalam di dalam

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil

    maupun immateiil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap

    perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam

    mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban,

    ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.65

    Di Indonesia, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan secara yuridis

    baru dikenal sejak diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU

    tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan HAM adalah

    mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran

    HAM yang Berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000,

    Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome

    Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan

    spirit hukum serta serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar

    Statuta Roma haruslah dipahami dengan baik.

    66

    Pelanggaran HAM Berat menurut Theo Van Boven, kata berat

    menerangkan kata pelanggaran, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat

    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur

    dalam No. 26 tahun 2000 mengadopsi Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar

    pembentukan International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional

    permanent yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasioanl berupa

    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).

    65 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manuisa, Kencana, Jakarta, 2006, Halaman 170

    66 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jkarta, 2006, Halaman 170

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    pelanggaran yang dilakukan. Kata berat juga berhubungan dengan jenis hak

    asasi manusia yang dilanggar.67

    1. Kejahatan Genosida

    Sesuai Statuta Roma yang menjadi dasar

    pendirian Makamah Pidana Internasional, tindak pidana yang menjadi yurisdiksi

    makamah ini adalah tindak yang bersumber pada HAM, yaitu:

    Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud

    untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok

    bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

    a. membunuh

    b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-

    anggota kelompok

    c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

    kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.

    d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di

    dalam kelompok

    e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok

    lain.

    Secara umum pengertian kejahatn genosida dalam UU No. 26 Tahun

    2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut Statuta Roma

    tahun 1998 Pasal 6.

    2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

    Kejahatan terhadap kemanusiaaan adalah salah satu perbtuatan yang

    dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

    67 Todung Mulya Lubis, Op.cit, Halaman 57

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

    penduduk sipil, berupa :

    a. pembunuhan

    b. pemusnahan

    c. perbudakan

    d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

    e. perampasan kemerdekaan atau atau perampasan kebebasn fisik lain secara

    sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum

    internasioanal

    f. penyiksaan

    g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

    kehamilan, pemanduan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk

    kekerasan seksual lain yang setara

    h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang

    didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,

    jenis, kelamin, atau alsan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal

    yang dilarang menurut hukum internasional

    i. penghilangan orang secara paksa atau

    j. kejahatan apartheid

    Kejahatan terhadap kemanusiaan UU No. 26 tahun 2000 mengacu pada

    Pasal 7 Statute Roma yang di dalam ayat (2) statute tersebut menjelaskan antara

    lain:

    a. serangan tersebut terhadap suatau kelompok penduduk sipil berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang mencakup pelaksanaan dari perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    sebagai kelanjutan kebijakan Negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut.

    b. Pemusnahan mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk.

    c. Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekeuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya ornag, perempuan, dan anak-anak.

    d. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasar hukum internasional

    e. Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik ataupun mental, terhadap seseorang yang ditahan ataupun dibawah pengawsan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada atau sebagai akibat dari sanksi yang sah. Penerjamahan prosecution menjadi penganiayaan.. Prosecution mempunyai arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan terror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori ini.

    f. Penghamilan paksa berarti penahanan tidak sah terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapa pun juga tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan kehamilan.

    g. Kejahatan arphatheid berarti perbuatan tidak manusiawi dengan dengan sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalm konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistemik oleh suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.

    h. Penghilangan paksa berarti penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-ornag oleh atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diam-diam dari suatu Negara atau suatu organisasi politik yang diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.

    3. Kejahatan Perang

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    Makamah Pidana Internasional memiliki yuridiksi terhadap Kejahatan

    Perang yang merupakan bagian dari rencana poltik maupun rencana besar yang

    merupakan pemufakatan jahat.

    Pada Pasal 8 Statuta Roma, Kejahatan Perang diartikan bermacam-

    macam. Berdasarkan Geneva Convention tanggal 12 Agustus 1949, Kejahatan

    Perang dirtikan sebagai suatu tindakan atau serangan terhadap seseorang atau atas

    sesuatu yang dilindungi Konvensi Jenewa:

    1. Dengan sengaja membunuh

    2. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis

    3. Dengan sengaja menyebabkan penderitaan atau kerusakan serius pada tubuh

    atau kesehatan

    4. Pengrusakan parah dan menguasai secara tidak sah suatu benda, bukan

    diarahkan oleh paksaan militer dan membawanya secara melawan hukum

    5. Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi untuk bekerja secara

    paksa dibawah kekeuatn musuh

    6. Dengan sengaja merampas tahanan perang atau ornag yang dilindungi secara

    HAM

    7. Pengusiran denagn cara melawan hukum atau pemindahan secara melawan

    hukum

    8. Menyandera

    4. Kejahatan Agresi

    Kejahatan Agresi merupakan salah satu jenis kejahatan yang ditangani

    oleh Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf

  • Firanti : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat, 2010.

    (d). namun masih terdapat beberapa perdebatan ketika Kejahatan Agresi ini

    dimasukkan ke dalam Statuta Roma.

    Amerika adalah pihak yang paling keberatan apabila Kejahatan Agresi

    dimasukkan ke dalam jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Amerika lebih

    suka apabila yang menentukan kejahatan tersebut adalah Dewan Keamanan PBB.

    Keberatan yang diajukan Amerika tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari

    Negara lain termasuk Negara-negara yang selama ini menjadi kawan aliansinya

    sperti Negara-negara Eropa yang tergabung dalam Nato. Meskipun demikian pada

    hasil akhirnya, Makamah Pidana Internasional tidak dapat menggunakan

    yurisdiksinya atas suatu tindakan agresi. Dewan Keamanan PBB merupakan pihak

    yang berwenang untuk menentukan apakah tindakan tersebut masuk kedalam

    Kejahatan Agresi atau tidak.

    Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap kemanusiaan pertama

    kali dalam peradilan penjahat perang dunia II, di Jerman maupun di Tokyo.

    Selanjutnya pasca perang