23
PERTUSIS I. PENDAHULUAN Pertusis, atau batuk rejan, adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Perjangkitan pertusis pertama kali dikemukakan pada abad ke 16, dan organismenya pertama kali ditemukan pada tahun 1906. (1, 2) Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernafasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah usia satu tahun yang disebabkan oleh infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penualarannya. Tindakan penanggulangan penyakit ini adalah melalui imunisasi. World Health Organization (WHO) menyarankan sebaiknya anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imusisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 1

PKMRS Pertussis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dokter muda, coass

Citation preview

Page 1: PKMRS Pertussis

PERTUSIS

I. PENDAHULUAN

Pertusis, atau batuk rejan, adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

bakteri Bordetella pertusis. Perjangkitan pertusis pertama kali dikemukakan pada

abad ke 16, dan organismenya pertama kali ditemukan pada tahun 1906. (1, 2)

Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernafasan yang banyak

menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah usia

satu tahun yang disebabkan oleh infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit

infeksi saluran pernafasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat

penualarannya. Tindakan penanggulangan penyakit ini adalah melalui imunisasi.

World Health Organization (WHO) menyarankan sebaiknya anak pada usia satu

tahun telah mendapatkan imusisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval

sekurang-kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada usia 15-18 bulan dan 4-6

tahun untuk mempertahankan nilai proteksinya. Di Netherland, pemberian imunisasi

dasar pada umur 3-6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan cakupan

imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian

banyak terjadi hambatan, antara lain tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga

kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini terutama banyak

didapat di negara-negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT

sebanyak 3 dosis.(1)

1

Page 2: PKMRS Pertussis

Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada

anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan

pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara

dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun.

Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan pemberian imunisasi dasar

DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada

pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia

beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang

memadai, sedang syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase

target yang harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman

patogen dapat diputuskan. (3)

II EPIDEMIOLOGI

Pada abad ke 20, pertusis adalah salah satu penyakit terbanyak pada anak-

anak dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas anak-anak di Amerika

Serikat. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis pada tahun 1940, lebih dari 200.000

kasus pertusis setiap tahunnya. Sejak penggunaan vaksin mulai dilakukan secara luas,

insiden dari penyakit ini menurun lebih dari 80% jika dibandingkan dengan pada

masa belum ditemukannya vaksin. (1, 2)

2

Page 3: PKMRS Pertussis

Pertusis menyumbangkan gangguan kesehatan yang besar bagi anak-anak

pada di negara berkembang, dimana terdapat 294.000 kematian yang diakibatkan

oleh penyakit ini pada tahun 2002 (berdasarkan data World Health Organization). (1, 2)

Pertusis juga merupakan penyakit endemic di seluruh dunia, sekalipun di

daerah dengan rasio vaksinasis yang cukup tinggi. Dari 2004 hingga 2010, kasus

pertusis yang tercatat di Amerika Serikat sekitar 8.000 hingga 27.000 kasus. Penyakit

ini lebih banyak menyerang anak-anak yang ada di daerah kurang perhatian terhadap

vaksinasi. (4)

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Orang dewasa muda dan dewasa tua merupakan pembawa Bordetella pertusis

dan biasanya menjadi sumber infeksi bagi bayi. (4)

Bordetella pertusis adalah bakteri aerobik, bersifat gram negatif, berbentuk

batang. Bordetella pertusis dapat menghasilkan multiple antigenik dan produk akitf,

aglutinogen, adenilate cyclase, pertactin, dan tracheal sitotoksin. Produk-produk ini

yang berperan dalam gejala klinis dan menghasilkan respon imunologi yang

menyebabkan munculnya berbagai infeksi. (1, 2)

Pertusis merupakan penyakit toxin-mediated. Bakteri menempel pada silia di

sel epitel saluran nafas, menghasilkan toxin yang menyebabkan paralisisnya silia-silia

pada epitel saluran nafas, hal ini menyebabkan inflamasi pada saluran pernafasan,

yang menghambat sekresi pulmonal guna membersihkan saluran nafas. Antigen yang

3

Page 4: PKMRS Pertussis

dihasilkan oleh bakteri pertusis dapat melindungi organisme tersebut agar terhindar

dari sistem imun host. Walaupun terdapat limfositosis, namun bisa terdapat kegagalan

pada kemotaksisnya. Hingga saat ini belum dipikirkan bahwa B. pertusis dapat

menginvasi jaringan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bakteri ini ditemukan

pada makrofag alveolar. (1, 2)

Penularan penyakit ini paling sering melalui droplet, atau melalui udara.

Penyakit ini tidak ada musimnya, namun kasus paling banyak pada musim semi dan

musim gugur. (4)

Bordetella pertussis menular dari orang satu ke orang lainnya dengan cara: (1)

Kontak langsung dengan sekresi dari nasopharyngeal penderita, atau melalui (2)

4

Page 5: PKMRS Pertussis

kontak dengan droplet dari sekresi nasopharyngeal penderita. Droplet dapat keluar

pada saat penderita batuk, bersin, ataupun berbicara dan dapat juga pada saat

melakukan tindakan medis seperti bronkoskopi atau pada saat melakukan suction.

Partikel-partikel ini dapat menular melalui udara dalam jarak sekitar 3 kaki. (5)

IV. DIAGNOSIS(5)

Masa inkubasi pertusis paling sering selama 7-10 hari, dengan waktu antara 4-

21 hari, dan jarang lebih lama dari 42 hari. Gejala klinis yang tampak dibagi dalam

tiga stadium. (1, 2)

Tahapan stadium, adalah stadium kataral, ditandai dengan adanya onset

tersembunyi dari pilek, bersin-bersin, demam ringan hingga febril, kadang-kadang

ada batuk, lebih mirip dengan common cold. Batuk secara bertahap menjadi lebih

parah, dan setelah 1-2 minggu, masuk pada stadium kedua, atau disebut dengan

stadium paroxysmal. Demam menjadi seperti gejala utama pada penyakit ini. (1, 2)

Selama masa stadium paroxysmal, diagnosis pertusis biasanya sudah mulai

terlihat. Gejalanya adalah batuk yang diikuti dengan rasa terbakar, atau tiba-tiba, atau

batuk yang sering untuk beberapa kali, dan terlihat sulit untuk mengeluarkan lender

yang sangat kental dari daerah trakheobronkial. Pada akhir masa stadium paroxysmal,

usaha menarik nafas panjang pada saat inspirasi diikuti dengan suara yang nyaring.

Selama masa serangan tersebut, pasien biasa dapat saja menjadi sianosis (terlihat

membiru). Terutama pada anak-anak dan bayi yang masih kecil akan terlihat sangat

5

Page 6: PKMRS Pertussis

sakit dan terdapat distress. Mual dan anak terlihat lelah sering kali tampak ada pada

episode stadium ini. (1, 2)

Serangan paroksismal terjadi lebih sering pada malam hari, dengan rata-rata

serangan sebanyak 15 kali per 24 jam. Selama 1 minggu pertama dan 2 minggu

pertama stadium ini, frekuensi serangannya meningkat, dan akan bertahan begitu

hingga 2 hingga 3 minggu, dan akan menurun secara perlahan. Pada stadium

paroksismal biasanya berlangsung selama 1 hingga 6 minggu, namun dapat saja

berlanjut hingga 10 minggu. Pada bayi yang lebih kecil dari usia 6 bulan mungkin

tidak ada terlihat rejan, tapi mereka tetap memiliki gejala batuk yang muncul secara

tiba-tiba. (1, 2)

Pada masa penyembuhan, perbaikan keadaan terjadi secara bertahap. Batuk

yang tiba-tiba lebih sedikit berkurang dan menghilang pada 2 sampai 3 minggu.

Bagaimanapun, gejala batuk tiba-tiba ini sering kali berulang yang diikuti dengan

infeksi respiratory hingga beberapa bulan setelah onset pertusis. (1, 2)

Diagnosis pertusis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang tampak (batuk

lebih dari 2 mingu dengan diikuti oleh rejanan, tiba-tiba, dan posttussive vomiting

sama kualitasnya dengan pemeriksaan laboratorium (kultur, PCR, DFA, dan tes

serologi).(1, 2)

Kultur dianggap sebagai gold standar untuk test laboratorium dan merupakan

pemeriksaan laboratorium spesifik untuk pertusis. Namun, anak yang rewel membuat

6

Page 7: PKMRS Pertussis

tindakan kultur sulit dilakukan. Jamur dapat mempengaruhi kultur, diakibatkan

karena penyimpanan yang kurang baik, transportasi, dan tekhnik isolasi yang kurang

baik. Spesimen dapat diambil dari nasofaring posterior, bukan pada tenggorokan,

didapatkan dari apusan dengan menggunakan Dacron atau kalsium alginate. Kultur

dapat positif (30%-50%) pada awal 3 hingga 4 minggu (stadium catarrhal dan

stadium paroksismal). Hasil kultur dapat saja tidak sesuai apabila kultur dilakukan

setelah batuk rejan (2 minggu setelah gejala batuk) atau spesimen yang didapatkan

dari penderita yang telah menerima antibiotik atau pula pada pasien yang baru saja

menerima vaksin.(1, 2)

Banyak laboratorium menggunakan PCR karena tingginya tingkat sensitifitas

dan hasilnya yang cepat. PCR seharusnya digunakan sebagai pemeriksaan tambahan,

bukan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Tidak ada produk-produk PCR yang di

terima oleh Food and Drug Administration (FDA), dan tidak ada protokol standar,

reagen, dan format laporan untuk pemeriksaan pertusis dengan PCR. Oleh sebab itu,

laporan essay PCR berbeda pada setiap laboratorium. Spesifisitasnya terkadang

buruk, karena banyaknya hasil negatif palsu pada beberapa laboratorium. Seperti

halnya kultur, PCR juga dapat saja mempengaruhi spesimen yang akan diperiksa.

Tekhnik apusan nasofaring yang tidak benar akan memberikan hasil negatif baik pada

pemeriksaan kultur maupun pada PCR. PCR jarang berpengaruh terhadap pengobatan

antibiotik sebelumnya, dikarenakan tidak harus terdapat organisme bakteri untuk

7

Page 8: PKMRS Pertussis

dapat memberikan hasil positif pada PCR. Selanjutnya, kultur dapat dilakukan untuk

mengkonfirmasi hasil yang didapat dari pemeriksaan PCR.(1, 2)

Pemeriksaan DFA pada spesimen nasifaring dapat berguna sebagai

pemeriksaan screening yang cepat untuk pertusis. Penggunaan test DFA monoclonal

dapat meningkatkan spesifisitas, namun sensitifitas DFA masih sangat rendah dan

tidak dapat diandalkan sebagai patokan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. (1, 2)

Tes serologi sangat baik digunakan pada pasien dewasa dan remaja yang telah

lama mengalami batuk, dimana pada saat hasil kultur dan PCR negatif. Namun, tidak

ada produk pemeriksaan pada tes ini yang disetujui oleh FDA. Pemeriksaan serologis

yang ada saat ini adalah untuk mengukur kadar antibodi, baik yang didapat dari

infeksi ataupun dari vaksinasi, maka dari itu hasil positif pada pemeriksaan serologis

ini menunjukkan bahwa pasien pernah terekspos oleh bakteri pertusis baik dulu

ataupun sekarang, atau pernah mendapatkan vaksinasi pertusis baik dulu maupun

sekarang. Vaksinasi dapat menginduksi antibodi baik IgM maupun IgA (dan juga

IgG), namun dalam penjabarannya tidak dapat dibedakan antara disebabkan oleh

repon infeksi maupun respon vaksinasi. Oleh karena itu, pemeriksaan serologis tidak

dapat dijadikan patokan untuk mengkonfirmasi kasus infeksi pertusis. (1, 2)

Meningkatnya jumlah sel darah putih dengan limfositosis biasanya terdapat

pada penyakit klasik pada bayi. Jumlah limfosit absolute biasanya mencapai 20.000

8

Page 9: PKMRS Pertussis

atau lebih. Bagaimanapun, bisa saja tidak terdapat limfositosis pada beberapa bayi

dan anak ataupun orang dewasa dengan infeksi pertusis. (1, 3)

V. DIAGNOSIS BANDING

1. Bordetella Parapertusis

Penyakitnya lebih ringan, kira-kira 50% dari penderita pertusis. Dapat

diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi. (3)

2. Bordetella Bronchoseptica

Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering didapatkan

pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran pernafasan pada orang yang

kontak dengan binatang tersebut. (3)

3. Infeksi oleh Klamidia

Penyebabnya biasanya Klamidia trachomatis. Pada bayi menyebabkan

pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran pernafasan terjadi 2-

12 minggu setelah lahir dengan gejala-gejala pernafasan cepat, batuk paroksismal,

tanpa demam, eosinofilia. Pada foto thorak terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi.

Diagnosis dengan isolasi yaitu ditemukannya Clamidia dari cairan saluran

pernafasan. Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis. (3)

VI. PENATALAKSANAAN

Penanganan kasus pertusis secara primer adalah terapi suportif, namun

antibiotik juga harus diberikan. Eritromisin merupakan drug of choice. Terapi dengan

9

Page 10: PKMRS Pertussis

antibiotik ini dapat memberasntas mikroba, dapat dilihat dari hasil pemeriksaan

sputum setelah pengobatan, jika dimulai lebih awal, dapat merubah perjalanan

penyakit.(1, 3)

Antibiotik-antibiotik yang dapat mengobati pertusis (seperti azithromisin,

eritromisin, atau trimetoprim-sulfamethoxazole) harus diberikan kepada seluruh

orang yang kontak dengan penderita pertusis, tanpa harus memperhatikan usia dan

status vaksinasi. Perbaikan pengobatan dan rekomendasi terapi profilaksis

postexposure telah dipublikasikan pada Desember 2005, semua orang yang kontak

dengan penderita pertusis dengan usia lebih muda dari 7 tahun yang mana

sebelumnya tidak harus memenuhi empat dosis primer pengobatan, kini harus

melengkapi dosis primer dengan interval minimal. (Lihat tabel Appendix A). Anak

yang berdekatan dengan pasien pertusis yang usianya 4-6 tahun yang belum

mendapatkan dosis booster kedua (biasanya dosis ke 5 dari DPT) harus mendapatkan

vaksinasi. Bagi usia 10 tahun hingga 64 tahun yang terekspos dengan penderita

pertusis bukan merupakan kontraindikasi, namun keberhasilan penggunaan DPT

setelah terekspos dengan pertusis belum diketahui. (1, 3)

Ada beberapa alasan yang dilaporkan mengenai bangkitan kasus pertusis pada

beberapa tahun terakhir. Alasan-alasan tersebut termasuk; perubahan genetic dari B.

pertussis, berkurangnya potensi vaksin pertusis, menurunnya kemampuan vaksin

yang dimediasi oleh imunitas, berkurangnya kesadaran akan bahaya pertusis, dan

penyediaan pemeriksaan laboratorium yang lebih baik. Dari keseluruhan faktor-faktor

10

Page 11: PKMRS Pertussis

yang telah disebutkan, kesadaran akan bahaya pertusis memegang peranan yang

sangat penting dalam kasus meningkatknya kejadi pertusis. Kegagalan vaksin dalam

memproteksi tubuh dapat juga disebabkan oleh karena perubahan genetik dari B.

pertussis. (6)

VII. PENCEGAHAN

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak

laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis dengan adanya

pelaksanaan program imunisasi. (2)

a. Imunisasi pasif

Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa penelitian di

klinik tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi diberikan sebagai pencegahan

atau pengobatan pertusis. (2)

b. Imunsasi Aktif

Diberikan vaksis pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella pertusis yang telah

dimatikan untuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama-

sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU

dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa vaksin pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan

hasil yang baik sedangkan waktu epidemic dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada

umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. (2)

11

Page 12: PKMRS Pertussis

Pada Oktober 2011, Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP)

untuk pertama kalinya merekomendasikan imunisasi rutin untuk tetanus, difteri, dan

aselular pertusis (DTaP) selama masa kehamilan, sebagai salah satu strategi untuk

melindungi bayi dari pertusis (yang disebut juga dengan batuk rejan). Rekomendasi

ini ditujukan kepada wanita yang belum pernah mendapatkan vaksin DTaP dan waktu

vaksinasi yang optimal pada akhir trimester kedua atau pada trimester ketiga

kehamilan (setelah usia gestasi 20 minggu). Dengan memberikan vaksinasi kepada

ibu hamil, dapat meningkatkan imunitas pasif dari antibodi maternal yang mana akan

ditransfer kepada janin. (2)

Riwayat kejang dalam keluarga merupakan kontraindikasi diberikannya

imunisasi DPT. Bila terdapat riwayat personal ataupun riwayat keluarga dengan

kejang demam dapat meningkatkan resiko timbulnya kejang demam, termasuk yang

disebabkan oleh imunisasi itu sendiri. Kejang yang disertai demam sangat jarang

terjadi pada usia-usia 6 bulan pertama kehidupan, dan paling sering muncul pada

semester kedua kehidupan. Setelah usia-usia rentang tersebut, sangat jarang terjadi

pada anak usia di atas 5 tahun. (7)

Jika anak pernah kejang yang didahului oleh demam sebelumnya, dan sudah

dipastikan tidak ada gangguan neurologis, imunisasi tetap direkomendasikan. (7)

Anak dengan riwayat ensefalopati atau ensefalitis setelah 7 hari setelah

pemberian imunisasi, ikuti tata cara pada chart 1, jika kondisi tersebut memang

12

Page 13: PKMRS Pertussis

disebabkan oleh vaksinasi, maka anak harus segera dirujuk ke spesialis. Imunisasi

ditunda hingga benar-benar dipastikan bahwa penyebab kondisi stabil dan anak baik

selama 7 hari kedepan. Jika anak membaik pada 7 hari setelahnya, imunisasi tetap

dianjurkan. (7)

Imunisasi DPT memberikan proteksi yang baik dalam melawan penyakit

pertusis pada tahun pertama kehidupan pada dosis pertama. Namun, tanpa dosis

booster, keefektifannya 3 dosis DPT tersebut akan berkurang, yaitu pada usia 2

hingga 4 tahun, dan pada usia > 6 tahun walaupun telah mendapatkan 5 dosis DPT. (8)

VIII. KESIMPULAN

Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh Bordetella

pertussis , bakteri gram negatif, yang ditemukan dalam apusan nasofaring. Pertusis

terutama terjadi pada anak usia 4 tahun yang tidak mendapatkan imunisasi DPT.

Pertusis sering dikenal dengan sebutan batuk rejan. (9)

Gejala klinis pada saluran pernafasan atas ini mulai 7-10 hari (selama 6-12 hari)

setelah terpapar, diikuti dengan seringnya batuk. Batuk mulai terdengar keras dan

diikuti dengan muntah. Demam dapat saja tidak ada, ataupun minimal. Gejala klinis

yang dapat menegakkan diagnosis adalah batuk paroksismal selama > 2 minggu,

terdapat rejan, atau muntah. (9)

Penyakit pada bayi di bawah 6 bulan dapat terlihat tidak bergejala, dengan

stadium kataral yang singkat, sesak, atau apneu sebagai manifestasi awal. (9)

13

Page 14: PKMRS Pertussis

Anak dari orang tua yang menolak untuk diberikan imunisasi pertusis

memiliki resiko tinggi terhadap infeksi pertusis, dibandingkan dengan anak yang

mana orang tuanya setuju akan pemberian imunisasi. Anak dengan resiko tinggi ialah

usia 2 hingga 20 bulan. Imunitas yang didapat dari ibunya tidak cukup kuat menjaga

anak dari penyakit pertusis. Edukasi sangat penting diberikan kepada para orang tua,

agar mereka benar-benar mengerti manfaat dari imunisasi itu sendiri. (10)

{Glanz, 2009 #17}

14

Page 15: PKMRS Pertussis

DAFTAR PUSTAKA

1. E WW, E RB, Kliegman R, M AA. Nelson Text Book Of Pediatric, Edisi 15, cetakan I. Hal: 960-965. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.2. Atkinson W, Wolfe C, Hamborsky J. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Disease. Pertussis. 2013.3. Ranuh I, Suyitno H, CB K, Soejatmiko I. Pedoman Imunisasi Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2005.4. Tami H S, Liang JL. Infectious Diseases Related To Travel. Pertussis (Whooping Cough). 2013.5. Keopke R, Eickhoff J, Ayele R, Pettit A, Schauer S, Hopfensperger D, et al. Pertussis (Also Known as Whooping Cought). VPD Surveillance and Control Manual. 2012 February.6. Cherry JD. The Present and Future Control of Pertussis. Clinical Infectious Disease 2010 June 14.7. SF B, L H, al e. Pertussis. The Green Book Centers of Diease Control and Prevention. 2011.8. HE Q, TL S, KK M, PB M. Duration of Protection After First Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Infants. Pediatrics Epub. 2014.9. Housey M, Zhang F, Miller C, Callo SL, Faden JM, Garcia E, et al. Vaccination with Tetanus, Diphteria, and Acellular Pertussis Vaccine of Pregnant Women Enrolled in Medicaid - Michigan 2011-2013. Centers for Disease Control and Prevention. 2014.10. Glanz JM, McClure DL, Magid DJ, Daley MF, France EK, Salmon D, et al. Parental Refusal of Pertussis Vaccination Is Assosiated With an Increased Risk of Pertussis Infection in Children. Pediatrics. 2009 May 30.

15