Upload
septian-dwi-nurcahyadi
View
155
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
.:: Pertambangan dan Energi ::.
POTENSI PERTAMBANGAN DAN BAHAN GALIAN
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah kabupaten di provinsi D.I.Yogyakarta dengan luas 1.485,36 Km2 yang terdiri atas 18 Kecamatan. Potensi pertambangan bahan galian terdapat hampir seluruh kecamatan tersebut, yang dikelompokkan menjadi 12 kelompok bahan galian tambang, baik di zona utara (Perbukitan Baturagung), zona tengan (Ledok Wonosari), dan zona selatan (Perbukitan Karst Gunung Sewu).
Secara bertahap kegiatan usaha pertambangan bahan galian diarahkan ke zona utara dan tengah, dengan tetap memperhatikan kaidah atau arahan dalam rencana tata ruang yang berlaku. Bahan galian pertambangan potensial yang terdapat di zona utara dan tengah meliputi : batupasir tufan, breksi batuapung, zeolit, batugamping kalkarenit, serta kaolin dan feldspar. Kelima jenis bahan galian tersebut mempunyai potensi dan prospek yang baik, terutama untuk mendukung kegiatan industri, kerajinan, dan bahan bangunan.
Zona selatan (Perbukitan Karst Gunung Sewu) merupakan salah satu warisan dunia yang keberadaannya sangat langka, dan rencananya akan dicanangkan oleh pemerintah pusah sebagai kawasan konservasi. Pada kawasan karst ini menyimpan berbagai potensi, antara lain : air sungai bawah tanah, gua, telaga, keanekaragaman hayati, dan mineral (bahan tambang). Salah satu upaya pengendalian kerusakan fungsi lingkungan pada ekosistem karst Kabupaten Gunungkidul adalah penataan dan penertiban kegiatan usaha pertambangan. Hal ini bertujuan untuk mendukung fungsi ekosistrm karst yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai Kawasan Geowisata.
Kegiatan usaha pertambangan bahan galian di Kabupaten Gunungkidul saat ini dilakukan oleh sebagian besar penambang rakyat dan beberapa pengusaha. Dalam rangka mewujudkan kegiatan usaha pertambangan yang berwawasan lingkungan, telah diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul Nomor 11 tahun 2003 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian.
BATU GAMPING KALKARENIT
Jenis bahan galian ini merupakan bahan bangunan ringan dan bahan industri kerajinan bantuan (ornamen). Jumlah cadangan untuk seluruh Kabupaten Gunungkidul sebesar 308.884.509 m2. Bahan galian ini banyak dijumpai di wilayah Perbukitan Baturagung dan Ledon Wonosari, yaitu :
- Kec.Semin:Candirejo,Sumberejo,Kalitekuk,Kemenjing,Bendung- Kec Ngawen:Beji,Kampung,Watusigar,Jurangjero,Sambirejo- Kec Nglipar:Kedungkeris,Nglipar,Katongan- Kec Karangmojo:Bejiharjo,Ngawis,Jatiayu- Kec Wonosari:Wunung,Mulo,Duwet,Karangrejek,Gari,Karangtengah,Baleharjo,Wareng,Siraman, Pulutan,Piyaman- Kec Semanu:Pacarejo,Semanu,Ngeposari
BATU PASIR TUFANBahan galian ini merupakan bahan pondasi bangunan ringan, perkerasan jalan, dan industri kerajinan batuan (ornamen, batu hias, patung atau relief dinding). Jumlah cadangan untuk seluruh Kabupaten Gunungkidul sebesar 3.777.269.241 m3.Bahan galian ini banyak dijumpai di wilayah Perbukitan Baturagung dan Ledok Wonosari, yaitu :- Kecamatan Ponjong (Desa Tambakromo dan Sawahan)
BREKSI BATUAPUNG
Jenis bahan galian yang satu ini mempunyai banyak fungsi, yaitu :
* Bahan beton struktur ringan;* Bahan batubata ringan dan genteng;* Bahan tahan api, kondensasi, jamur, dan panas;* Bahan pemoles, penggosok, pembersih, dan abrasif;* Bahan isolator temperatur tinggi;* Bahan industri cat, kimia, logam, plastik, kosmetik, meubel, pasta gigi, karet, kulit, kaca, elektronik, dan keramik;* Bahan aditif dan subtitusi pada tanah pertanian;* Bahan untuk urug;* Bahan perkerasan jalan;* Bahan ornamen;* Bahan membuat arca, tegel, giring, dan umpak;* Bahan saringan air; serta* Bahan penjernih minyak goreng, pencuci pada industri konveksi, dan bahan penggosok.
Jumlah cadangan untuk seluruh Kabupaten Gunungkidul sebesar 2.050.024.291 m3. Bahan galian ini banyak dijumpai di wilayah Perbukitan Baturagung dan Ledok Wonosari, yaitu :- Kecamatan Ponjong ( Desa Umbulrejo)
KAOLIN & FELSPAR
Kaolin dan felspar merupakan jenis bahan galian untuk industri keramik, industri cat, dan industri kosmetik. Jumlah cadangan untuk seluruh Kabupaten Gunungkidul sebesar 4.840.500 m3. Bahan galian ini banyak dijumpai di wilayah Perbukitan Baturagung, yaitu : Kecamatan Semin (Desa Karangsari, Pundungsari, dan Candirejo)
ZEOLIT Zeolit merupakan jenis bahan galian yang mempunyai banyak kegunaan, yaitu :
- Bahan pondasi bangunan, perkerasan jalan, dan pengganti batubata;- Bahan campuran pakan ternak;- Bahan pengikat kotoran dalam pengolahan limbah;- Bahan industri semen puzzoland;- Bahan ornamen atau batu hias, dan ubin;- Bahan untuk meningkatkan keasaman tanah;- Penyerap, penukar kation, dan katalis dalam bentuk tepung dan butiran; serta- Bahan pengembang dan pengisi dalam industri kertas, karet, plastik, cat maupun lem.Jumlah cadangan untuk seluruh Kabupaten Gunungkidul sebesar 55.000.000 m3. Bahan galian ini banyak dijumpai di wilayan perbukitan Baturagung, yaitu :- Kecamatan Gedangsari (Desa Hargomulyo, Watugajah, Mertelu, dan Tegalrejo)- Kecamatan Ngawen (Desa Tancep)
BAB I
GEOLOGI UMUM
1. Fisiografi
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Gambar 2.1. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
1. Stratigrafi
1. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah bagian barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari – Pacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti antara lain oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono (1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992) serta Wartono dan Surono dengan perubahan (1994) (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa penulis.
.
Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut penamaan litostratifrafi menurut Wartono dan Surono dengan perubahan (1994) adalah :
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulites bagelensis VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam sehingga merupakan exotic faunal assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI, Globorotalia kuqleri BOLLI,Globorotalia siakensis LEROY, Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides primordiusBLOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada bagian tengah formasi ditemukan Globigerinoides primordiusBLOW dan BANNER, Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis LE ROY. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono, 2001).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto (1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globigerina praebulloides BLOW,Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY,Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii CUSHMAN dan ELLISOR,Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulinauniversa D’ORBIGNY dan Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan serpih,
batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina sumatrensis BRADY,Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai antara lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE,Miogypsina polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah, diantaranyaLepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini adalah
Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari 10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya Globorotalia plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotaliamerotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi. Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan ketebalan satuan 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada morfologi karst.
10. Pegunungan Selatan Bagian Timur
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
Sementara formasi Kabuh yang dijumpai di antara Madiun-Nganjuk berada pada geomorfologi dataran-bergelombang lemah yang merupakan sedimentasi bentukan channel (transisi).
Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur, telah diteliti oleh Sartono (1964) dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnya- Pacitan. Susunan litostratigrafinya sebagaiberikut (dari tua ke muda): Kelompok Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Nampol, Formasi Punung.
1. Formasi Besole
merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini. Sartono (1964), pencetus nama Formasi Besole menyebutkan bahwa satuan ini tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit, dimana satuan ini diendapkan di lingkungan darat.
Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan bernama Formasi Besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun oleh perulangan breksi volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal, diendapkan dengan mekanisme turbidangit, pada lingkungan laut dalam.
Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama Formasi Besole ini menjadi dua satuan yaitu Formasi Arjosari yang terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dan Formasi Mandalika yang tersusun oleh perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada lingkungan laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama Formasi Besole ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan berbukit-bukit. Oleh Sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari kelompok batuan Old Andesit (van Bemmelen, 1949), seperti halnya yang terdapat di Kulon Progo. Jadi secara umum Formasi Besole tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan).
Djohor, 1993 meneliti singkapan di K.Grindulu (Pacitan-Tegalombo) menyimpulkan urutan Formasi Besole yang tersingkap di daerah tersebut adalah sebagaiberikut: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik, batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibe-berapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh batn volkanoklastik (perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping berukuran mencapai 1 m didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di atasnya terdapat Formasi Jaten.
1.Formasi Jaten
Dengan lokasi tipenya K.Jaten – Donorojo, Pacitan (Sartono 1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung (mengandung fosil Gastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa, Foraminifera), dengan sisipan tipis lignit. Ketebalan satuan ini mencapai 20-150 m. Diendapkan pada lingkungan transisi – neritik tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 – N10)
2.Formasi Wuni
Dengan lokasi tipenya K.Wuni (anak Sungai S Basoka) – Punung, Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir tufan, lanau, dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5 –Tf.1), berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas). Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini terletak selaras menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol
1. Formasi Nampol
Tersingkap baik di K.Nampol, Kec Punung, Pacitan (Sartono,1964), dengann susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal – Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-bungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.
1. Formasi Punung
dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat (Sartono, 1964). Fasies karbonat, tersusun oleh batu-gamping terumbu, batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal, dimana satuan ini merupakan endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini 200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m. Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen Tengah (N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan dengan fasies karbonat adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini menutupi secara tidak selaras Formasi Nampol (Sartono, 1964). Sedangkan menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985) Formasi Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan saling menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.
2. Endapan Tersier
Di daerah Pegunungan Selatan bagian Timur, endapan yang paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri endapan Tersier
Gb.2.2. Stratigrafi Jalur Pegunungan Selatan menurut beberapa peneliti (Samodro, 1990)
1. Tektonik
1. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Subzona Baturagung mulai dari Formasi Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang berarah barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah utara (200 – 350) ke sebelah selatan (50 – 150). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil (kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan Hartono, 2001).
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic fault blocks (van Bemmelen,1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat berarah timurlaut-
baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menginterpretasikan tanda-tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di sebelah timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar (megaslumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah barat K. Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut-baratdaya dengan blok barat relatif turun terhadap blok barat.
Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung berupa sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G. Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah tenggara-baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu pada Formasi Kepek, dengan arah timurlaut-baratdaya
1. Pegunungan Selatan Bagian Timur
Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian timur berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Struktur utama yang berkembang di Daerah Pegunungan Selatan Bagian Timur ini terutama adalah sesar yang berkembang di sepanjang Sungai Grindulu dan kemungkinan besar struktur inilah yang menimbulkan banyak dijumpai mineralisasi di daerah ini.
BAB II
SEJARAH GEOLOGI
2.1. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Sejarah geologi zona Pegunungan Selatan Jawa Timur dimulai pada Kala Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir . Mula-mula terendapkan Formasi Wungkal-Gamping, di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau. Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam. Pada formasi ini terdapat terobosan yaitu intrusi diorite pendul
Kemudian terjadi pengangkatan yang menyebabkan erosi pada kisaran umur Oligosen Awal – Tengah. Kemudian terjadi sedimentasi pada umur Oligosen Akhir – Miosen Awal, yaitu formasi Kebo-Butak. Litologi penyusun formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid, pada akhir pembantukan formasi ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunungapi.
Pada Kala Miosen Awal (N6 – N7) terjadi peningkatan aktivitas gunungapi yang ditandai dengan adanya piroklastik yang cukup luas. Endapan piroklastik menyusun satuan tuf Semilir. Satuan ini terendapakan dengan mekanisme endapan jatuhan piroklastik. Endapan hasil erupsi gunungapi tersebut terendapkan pada lingkungan laut dangkal. Aktivitas gunungapi memuncak pada Kala Miosen Awal (N7). Pada kala ini terjadi letusan besar yang bersifat destruktif, membentuk sistem kaldera. Letusan tersebut bersifat eksplosif dan menghasilkan material gunungapi berupa pumis yang membentuk satuan breksi pumis Semilir. Satuan breksi pumis Semilir ini terendapkan dengan mekanisme jatuhan piroklastik. Pada fase ini pula terbentuk kaldera pada bagian puncak gunungapi dan merusak sebagian besar dari tubuh gunungapi. Kemudian diikuti oleh fase konstruktif dengan adanya aliran lava yang menyusun bagian bawah dari satuan breksi andesit Nglanggran.
Selain menghasilkan material gunungapi melalui mekanisme jatuhan piroklastik, gunungapi tersebut juga menghasilkan material melalui mekanisme aliran lava dan aliran piroklastik yang menempati lembah-lembah berupa endapan channel. Pada Kala Miosen Awal bagian atas hingga Miosen Tengah bagian bawah (N7– N9) tersebut juga terendapkan breksi andesit epiklastik yang menyusun satuan breksi andesit Nglanggran. Bagian bawahnya tersusun oleh breksi basal piroklastik. Satuan ini terendapkan pada lingkungan darat dengan mekanisme high density flows. Pada fase ini, kegiatan gunungapi sudah mulai menurun.
Kemudian pada Kala Miosen Tengah, terendapkan satuan batupasir karbonatan Sambipitu yang didominasi oleh batupasir karbonatan yang bergradasi secara normal menjadi batulempung karbonatan. Material ini terendapkan pada lingkungan laut dangkal dengan mekanisme pengendapan arus turbid.
Pada kala Miosen Tengah (N9-N10) cekungan mengalami pengangkatan kepermukaan, sehingga mengalami erosi dan terendapkan secara tidak selaras satuan batugamping klastik. Dijumpainya batugamping yang korelasi hasil analisis foraminifera kecil, batugamping ini masuk dalam satuan batugamping Oyo. Hal ini menandai bahwa cekungan sedimen pada waktu itu semakin tenang yang menendakan aktifitas vulkanisme menurun. Dalam hal ini tentunya akan berkembang dengan baik secara normal yang berkarakteristik klastik
Pada saat pengendapan terus berlangsung dan vulkanisme menurun, tetapi secara setempat dijumpainya tuf yang mempunyai hubungan melensa dengan satuan batugamping Oyo. Kedapatan tuf pada satuan batugamping Oyo bisa terjadi karena pada saat kegiatan vulkanisme menurun berarti kegiatan vulkanisme masih berjalan. Secara genesa tuf sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi dan itu membentuk satuan tuf Oyo.
Pada Kala Resen, sebagian material pada tinggian Zona Baturagung mengalami pelapukan, erosi dan penggerusan oleh aktivitas fluvial. Material hasil rombakan ini kemudian terendapkan di sebelah utara tinggian tersebut dan membentuk satuan endapan lempung-bongkal.
Formasi wonosari tebentuk berikutnya dengan umur Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan dengan litologididominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Pada bagian bawah adanya hubungan menjari dengan formasi Oyo yang berarti pembentukannya seumur dengan formasi oyo bagian atas.
Akhir pembentukan formasi Wonosari bersamaan dengan terbentuknya formasi Kepek, batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen.Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik)
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal.
2.1. Pegunungan Selatan Bagian Barat
Formasi Besolesecara umum tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan). Urutan Formasi Besole: bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik, batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibe-berapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh batuan volkanoklastik (perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping . formasi ini berumur Miosen Bawah. Fiendapakan pada lingkungan laut dangkal
Kemudian Diendapkan formasi Jaten pada lingkungan transisi – neritik tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 – N10) tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung.
Selaras diatas formasi Jaten diendapkan Formasi Wuni Berdasarkan fauna koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5 –Tf.1), berdasarkan hadirnya Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).
Formasi Nampol dengan susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990)
menghitungnya berumuri Miosen Awal – Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-bungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.
Pada miosen tengah terjadi pengangkatan yang menyebabkan terjadi erosi. Sehingga Formasi Punung menumpang tidak selaras di atas forrmasi Jaten, Wuni, Nampol. Formasi ini diendapkan pada Miosen Tengah – Atas yang terendapkan pada lingkungan neritik tepi.
endapan yang paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri endapan Tersier. Endapan ini berumur kuarter.
DAFTAR PUSTAKA
Jurusan Teknik Geologi,STTNAS, “Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional, Cekungan Pegunungan Selatan, Mandala Rembang, Mandala Kendeng”,yogyakarta,2006.
Jurusan Teknik Geologi, UPN “V”, “Buku Panduan, Ekskursi Besar Geologi Jawa Timur”, yogyakarta, 1994
Tangguh,. “Draft Tugas Akhir, STTNAS”,yogyakarta,2006
PENGAMPU : TIM PKL / PLKKARST GUNUNGKIDUL
Written by Nugroho Hari P
Category: PKL
Published Date
Hits: 532
Awal abad 20, Lehmann dan dilain pihak Junghuhn mengenalkan bentanglahan karst tropik
Gunungkidul ke dunia international. Penegasan Karst Gunungkidul sebagai satuan stratigrafi resmi merupakan
peran Bemmelen (1949) setelah sebelumnya dikenalkan oleh Bothe (1929) (Samodra, 2005). Karst Gunungkidul
dalam stadia morfologi merupakan bentuklahan karst dewasa yang dicirikan oleh perbukitan dan lembah-lembah
yang dalam serta dijumpai banyak rekahan berupa gua atau luweng. Kondisi ini menjadi keunikan yang tidak
dijumpai di karst lainnya setidaknya di Asia Tenggara. Bab ini membahas kronologi pembentukan, morfologi, dan
fenomena unik yang dijumpai di karst Gunungkidul.
1. Pembentukan Pegunungan Selatan
Proses pembentukan pegunungan (orogenesa) di Pegunungan Selatan ini oleh Sumosusastro
(1956; dalam Samodra, 2005) dibagi kedalam tiga tahapan, masing-masing selama Mesozoikum, Tersier, dan
Kwarter. Pada Mesozoikum wilayah ini merupakan cekungan besar (geosinklin) yang memanjang arah barat
timur. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya batuan pratersier bersifat genang laut. Orogenesa antara kapur-
miosen menyebabkan geosinklin terangkat ke permukaan. Pada eosen tengah terjadi pengangkatan kembali,
sehingga batuan pra tersier dan eosin awal muncul di permukaan. Eosen akhir merupakan fase tenang, di
cekungan diendapkan batugamping. Pada oligosen awal terjadi orogenesa kuat yang melibatkan seluruh batuan
pra tersier dan eosin yang meletakkan batuan tersebut pada kedudukan seperti sekarang.Pada Oligosen akhir-
miosen awal terjadi aktivitas gunungapi bawah laut dan berakhir pada miosen tengah.
Sementara Prasetyadi (??), kala kapur akhir terjadi peristiwa merapatnya fragmen mikrokontinen
Australia (Gondwana) pada bagian tepi timurSundaland yang berakibat matinya zona subduksi
Karangsambung-Meratus. Tumbukan mengakibatkan tektonik regangan yang berasosiasi denganpergerakan
sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam mikrokontinen. Tektonik regangan
merupakan deformasi yang berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australiamenyatukan zona subduksi
baru yang memisahkan Eurasia dan Indoaustralia pada Oligosen tengah, berakibat memicu vulkanisme pada
Oligosen akhir-Miosen awal pada wilayah pegunungan selatan ini.
Selanjutnya kala pliosen terjadi kembali pengangkatan lemah sehingga batuan miring ke arah
selatan. Pada plistosen tengah terjadi peruntuhan geantiklin Jawa berupa pengangkatan sayap selatan yaitu blok
Wonosari saat ini yang terpatahkan sepanjang sisi barat timur dengan jalur tengah Solo yang ambles ke utara
dan membentuk sesar tangga sebagai pembatas pegunungan selatan dengan jalur Solo serta membentuk sesar
bongkah Baturagung dan Plopoh (Bemmelen, 1949). Kala plistosen akhir terjadi amblesan lagi, bongkah yang
ambles mengalasi cekungan Wonosari, Baturetno, dan menekan batuan miosen sehingga terlipat membentuk
antiklin Baturagung dari Panggungmasif (utara Ponjong) sampai G.Sudimoro di Imogiri. Pelipatan batuan hanya
terjadi di utara cekungan Wonosari. Pada lapisan miosen di pegunungan selatan tidak terlipat, tetapi hanya
miring, melengkung, pensesaran, dan pelenturan selama terjadi pengangkatan pada neogen – kuarter.
Sementara menurut Sartono (1964), menjelang tersier terjadi pengangkatan Pegunungan Selatan
yang berakibat miring ke selatan rata-rata 10°. Kala miosen akhir peristiwa pengangkatan terulang dibuktikan
dengan adanya formasi Kepek (endapan laguna) dan tidak ada endapan laut pada pliosen. Pada pliosen terjadi
sesar aktif yang membentuk Graben Bantul, Cekungan Baturetno, Teluk Pacitan berdasarkan bukti adanya
temuan sedimen plistosen.
Catatan lain mengenai pembentukan pegunungan selatan pada jalur Gunungapi Panggung –
Bedoyo dikemukakan oleh Sudihardjo (1995) dalam beberapa tahap. (1) Oligosen akhir-miosen tengah, formasi
Semilir diendapkan dan digenangi air laut (Rahardjo et al., 1977; Bemmelen, 1949). (2) Miosen awal-tengah,
Formasi Semilir terangkat dan Formasi Wonosari-Punung mengalami penurunan (Rahardjo et al., 1977;
Bemmelen, 1949). Terjadi aktivitas Gunungapi Panggung yang muncul terangkat di atas permukaan air laut
(Dames, 1955 dalam Sudihardjo, 1995). Aliran lava sebagian diendapkan di laut dangkal di atas Formasi
Wonosari-Punung. (3) Pliosen – pleistosen awal terjadi pengangkatan seluruh Formasi Semilir dan Formasi
Wonosari-Punung. (4) Pleistosin tengah – akhir Formasi Wonosari-Punung mengalami penurunan lagi tetapi
tidak sampai di bawah laut. (5) Pleistosin akhir – holosen (± 3090-90 th sm) terjadi pengendapan bahan erupsi
abu vulkanik Gunungapi Lawu Tua di Formasi Wonosari-Punung. (6) Holosen (± 2250-90 th sm) Gunungapi
Panggung aktif kembali terjadi erupsi abu vulkanik yang diendapkan di Formasi Semilir dan Formasi Wonosari-
Punung. (7) Holosen (± 2010-80 th sm) Gunungapi Panggung aktif lagi dan terjadi erupsi, abu vulkanik
diendapkan sampai sejauh sekitar 13 km ke arah Bedoyo. (8) Holosen Formasi Wonosari-Punung mengalami
pengangkatan disertai terjadinya patahan-patahan membentuk Cekungan Wonosari. Secara sederhana Tabel 12
menjelaskan keseluruhan kronologi.
Tabel 12. Kronologi Pembentukan Pegunungan Selatan Gunungkidul
Zaman Kala Kronologi
Kuarter Holosen - Formasi Wonosari-Punung mengalami pengangkatan disertai terjadinya patahan-patahan membentuk Cekungan Wonosari
- Gunungapi Panggung aktif lagi
Pleistosen - Pleistosen Akhir, terjadi amblesan lagi, bongkah yang ambles mengalasi cekungan Wonosari, Baturetno, dan menekan batuan Miosen sehingga terlipat membentuk antiklin dari Panggungmasif – G.Sudimoro
- Pleistosen Tengah, pengangkatan geantiklin Jawa berakibat jalur tengah Solo terpatahkan dan ambles ke utara, membentuk sesar tangga yang membatasi pegunungan selatan dengan jalur Solo dan membentuk sesar bongkah Baturagung, Plopoh
Tersier Pliosen - Sesar aktif membentuk Graben Bantul, Cekungan Baturetno, Teluk Pacitan
- Pengangkatan lemah sehingga miring ke selatan
Miosen - Miosen Akhir, pengangkatan terulang dibuktikan dengan adanya Formasi Kepek (endapan laguna), dan tidak ada endapan laut pada pliosen
- Miosen Tengah, aktivitas gunungapi menurun dan mulai pengendapan karbonat
- Miosen Awal, aktivitas gunungapi bawah laut meningkat
Oligosen - Oligosen tengah : deformasi tektonik berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia berakibat memicu vulkanisme
- Oligosen Awal, orogenesa kuat melibatkan seluruh batuan pra tersier dan eosin pada
kedudukan sekarang. Olegosin akhir terjadi aktivitas vulkanik.
Eosen - Tektonik regangan yang berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional mikrokontinen
- Eosen Akhir, fase tenang, pada cekungan diendapkan batugamping
- Eosen Tengah, pengangkatan lagi, batuan pra tersier dan eosin awal muncul di permukaan
Paleosin -Matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus
-Geosinklin mulai terangkat akibat desakan dua lempeng besar
Meso-zoikum
Kapur -Kapur akhir merapatnya fragmen mikrokontinen Australia (Gondwana) pada bagian tepi timur Sundaland
- Geosinklin arah barat timur dibuktikan dengan batuan genang laut
Sumber : Sumosusastro (1956), Bemmelen (1949), Sartono (1964), Sudihardjo (1995)
2. Pembentukan Karst
Ford dan Williams (1989) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas
sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik. Karst
dicirikan oleh: (1) terdapatnya cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk; (2)
langkanya atau tidak terdapatnya drainase atau sungai permukaan, dan (3) terdapatnya gua dari sistem drainase
bawah tanah.
Karstifikasi atau proses permbentukan bentuklahan karst pada batuan karbonat didominasi oleh
proses pelarutan. Proses pelaturan batugamping diawali oleh larutnya CO2 di dalam H2O membentuk H2CO3.
Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H- dan HCO32-. Ion H- inilah yang selanjutnya menguraikan
CaCO3 menjadi Ca2+ dan HCO32- Secara ringkas proses pelarutan dirumuskan dengan reaksi sebagai berikut :
CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2 HCO3-
Faktor pengontrol pembentukan karst meliputi : (1) batuan mudah larut, kompak, tebal, dan
mempunyai banyak rekahan; (2) curah hujan yang cukup; dan (3) batuan terekspos di ketinggian yang
memungkinkan perkembangan sirkulasi air atau drainase secara vertikal. Sementara faktor pendorong adalah :
(1) temperatur dan (2) penutupan lahan.
Teori tentang perkembangan karst paling pertama menjelaskan bahwa gua berkembang di
zona vados oleh pergerakan air melului rekahan batuan. Tahapan dari pergerakan karst adalah sebagai berikut :
Tahap I : rekahan (bidang perlapisan dan atau struktur) terlarut
Tahap II : sungai bawah tanah mulai terbentuk
Tahap III : sungai mengikis saluran hingga membentuk gua-gua
Teori vados ditentang oleh oleh Davies (1930dalam Haryono, 2008). Davies berpendapat bahwa tidak mungkin
gua terbentuk di mintakat vados mengingat kenyataannya adalah dalam zona vados yang terjadi adalah
pembentukan ornamen gua yang dalam hal ini adalah proses pengendapan bukan proses pelarutan maupun
pengikisan. Dengan argumen ini selanjutnya Davies mengemukaan teori baru yang dikenal dengan deep
phreatic theory. Teori menjelaskan bahwa gua terbentuk di bawah muka air tanah oleh gerakan hidraulik air.
Tahap I : gua terbentuk jauh di bawah muka freatik
Tahap II : muka freatik turun karena kawasan karst terangkat atau muka air laut turun, sehingga gua berada
di mintakat vados
Tahap III : pembentukan ornamen gua
Teori Davies seiring dengan perkembangan ilmu ditentang oleh teori yang mengatakan bahwa air
tanah tidak mungkin mampu melarutkan batugamping, karena air tanah pada umumnya telah jenuh. Teori yang
kemudian dipercaya adalah water table theory (Seinnerton, 1932dalam Haryono, 2008), yang menjelaskan
bahwa gua terbentuk di dekat muka airtanah (water table). Teori didukung oleh teori baru tentang mixing
theory dan kenyataan bahwa sebagain besar gua adalah gua horisontal.
Teori modern tentang pembentukan gua tidak memisahkan ketiga teori tersebut. Hasil
laboraotorium dan penelitian lapangan modern menunjukkan bahwa gua dapat terbentuk baik, di mintakat vados,
phreatic, maupun di dekat muka air tanah. Gua terbentuk bila frekuensi rekahan sangat jarang hingga ke kondisi
bila rekahan batugamping sangat rapat.
3. Bentuklahan Karst Makro
Beragam dasar klasifikasi karst dilakukan oleh para ahli. Panduan ini membahas morfologi karst
makro tropik di karts Wonosari yang meliputi kombinasi dari bentukan negatif berupa dolin, uvala, polje, dan
bentukan positif berupa tower, labirin, dan polygonal.
Dolin merupakan cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong dengan diameter beberapa meter
hingga lebih kurang satu kilometer (Ford dan Williams, 1989; Kusumayudha, 2005). Beberapa istilah untuk
menyebut dolin di artikel tentang karst meliputi sinkhole, sink, swallow holes, cockpits, blue
holes,dan cenote (Blom, 1991 dalam Haryono, 2008). Menurut genesanya Ford dan Williams (1989)
mengklasifikasi dolin menjadi dolin pelarutan (solution), dolin runtuhan (colapse), dolin amblesan (subsidence),
dan dolin suffosion. (1) Dolin pelarutan terbentuk karena pelarutan terjadi tidak merata, dalam hal ini pelarutan
terkonsentrasi di bagian tengah. Terkonsentrasinya pelarutan dapat terjadi karena perbedaan mineralogi batuan
atau keberadaan kekar. (2) Dolin runtuhan terbentuk apabila gua atau conduit dekat permukaan runtuh karena
tidak kuat menahan atapnya. Dolin tipe ini mempunyai lereng sangat curam. Tiga mekanisme yang membentuk
dolin runtuhan menurut Ford dan Williams (1989) adalah a) pelarutan di atas gua sehingga menurunkan
kekuatan atap gua; b) pelarutan atap gua dari bawah; dan c) penurunan muka air tanah di atas atap gua. (3)
Dolin amblesan terjadi apabila lapisan gamping berada di permukaan sesar atau lipatan, sehingga endapan
aluvial yang ada di permukaan terbawa ke bawah melalui celah-celah patahan atau mengikuti struktur lipatan di
bawahnya. (4) Dolin suffosion terjadi pada endapan halus dan tebal yang mengendap di atas batugamping.
Infiltrasi melalui endapan tersebut membawa material halus ke sistem kekar di bawahnya yang berhubungan
dengan gua-gua dalam tanahsehingga endapaan di atasnya menjadi cekung. Dolin yang selalu tergenang air
karena dilapisi sedimen yang kedap air dikenal sebagai lokva atau danau dolin.
Uvala (compound sinks)merupakan cekungan berbentuk lonjong atau memanjang yang merupakan
gabungan dari dolin-dolin (Sweeting, 1972;White, 1988; Kusumayudha, 2005). Uvala terbentuk pada
perkembangan karst yang lebih lanjut dengan bentuk yang tidak teratur dan berdiamater pada umumnya 500 –
1000 m serta kedalaman 100 – 200 m (Sweeting, 1972). Uvala di Gunungsewu membentuk pola berkelok
nampak sebagai alur lembah bercabang (Kusumayudha, 2005).
Polje merupakan depresi tertutup yang luas (Kusumayudha, 2005). Polje memuat kriteria sebagai
berikut (Gams, 1978 dalam Haryono, 2008): (1) lantai datar, dapat berupa batuan dasar atau sedimen lepas
seperti aluvium; (2) cekungan tertutup dengan lereng terjal paling tidak pada salah satu sisinya; dan (3)
mempunyai drainase karst. Lebar dari lembah datar paling sedikit 400 m, tetapi hal ini masih belum pasti. Cvijic
(1893 dalam Haryono, 2008) mengambil satu km sebagai batas terendah. Kenyataannya, polje mempunyai
ukuran yang beragam.
Ford dan Williams (1989) mengkalsifikasikan polje menjadi tiga sebagai berikut : (1) Border
polje, berkembang apabila muka air tanah pada batuan nonkarst terhampar hingga batuan karbonat.
(2) Struktural polje,perkembangannya dikontrol oleh struktur geologi. Biasanya berasosiasi dengan graben atau
cekungan sesar miring dan dengan batuan impermeable di dalamnya. (3) Baselevel polje, terbentuk apabila
regional muka air tanah memotong muka tanah. Pada umumnya berada di bagian bawah (outflow) dari kawasan
karst.
Karst tower mengandung dua pengertian, yaitu bahwa tower karst haruslah mempunyai dinding
yang vertikal dan terjal (White, 1988; Trudgill, 1985). Pengertian kedua lebih condong kepada proses karstifikasi,
yaitu bahwa disebut sebagai karst tower adalah tidak harus berdinding terjal dan tinggi, tetapi munculnya
keberadaan bukit-bukit sisa di tengah-tengah lembah-lembah dengan luasan lembah yang lebih luas daripada
luasan wilayah bukit karst (Ford dan Williams,1992).
Karst labirin merupakan karst yang dicirikan oleh koridor atau ngarai memanjang yang terkontrol
oleh kekar atau sesar. Morfologi karst tersusun oleh blok-blok batugamping yang dipisahkan satu sama lain oleh
ngarai atau koridor karst. Karst tipe ini terbentuk karena pelarutan jauh lebih intensif di jalur sesar dan patahan.
Karst Poligonal (kagel/sinusoidal) dicirikan oleh dolin atau cekungan-cekungan yang berhubungan
antara satu dengan yang lain. Apabila di sela antar bukit kerucut membentuk cekungan tertutup dengan bentuk
seperti bintang, maka dikenal sebagai kockpit.
4. Batuan dan Tanah Karst Gunungkidul
Morfologi mikro daerah karst dalam literatur dan artikel karst diistilahkan dengan karren (bahasa
Jerman) atau lapies (bahasa Prancis). Dimensi karren bervariasi dari 1 hingga 10 meter, sedangkan mikro karren
mempunyai demensi kurang dari 1 cm (Ford dan Williams, 1989). Karren dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelompok, yaitu bentuk membulat, bentuk memanjang yang terkontrol oleh kekar, bentuk linier yang terkontrol
proses hidrolik, dan bentuk poligonal.
Kondisi lingkungan pembentuk tanah maupun proses kartifikasi tidak lepas dari iklim terutama
curah hujan dan kandungan mineral batuan. Curah hujan di Karst Gunungkidul termasuk tinggi yaitu rata-rata
1830 mm/th (Haryono, 2008) sementara kandungan Ca tinggi dan Mg rendah yaitu 0,44% (Sriyono & Suputra,
2007dalam Haryono, 2008). Tingginya curah hujan dan kandungan Ca mengakibatkan laju karstifikasi cukup
cepat. Sementara kecepatan denudasi lambat sebesar 0,086 mm/th (Balaz, 1971dalam Haryono, 2008) sebagai
akibat dari air permukaan yang rendah karena sebagian besar masuk ke dalam celah. Urushibara (1995) yang
merekonstruksi pengangkatan pegunungan selatan menyimpulkan bahwa kecepatan pengangkatan sebesar
0,42 mm/th. Rendahnya denudasi dan cepatnya pengangkatan juga berperan dalam kenampakan bentanglahan
Karst Gunungkidul saat ini.
Menurut Kusumayudha (2005), batuan penyusun karst Gunungkidul berupa batugamping
karstifikasi yang memiliki ciri berkembang pada topografi kasar, karren berkembang, porositas sekunder berupa
pembuluh, terdapat saluran, rongga, gua, dan sungai bawah tanah. Secara litofasies batugamping
karstifikasi terdiri dari Boundstone, Packstone, Wackstone, dan Rudston. Selain itu juga dijumpai batugamping
kalicefikasi dengan ciri berkembang padatopografi halus; karren, gua, dan sungai bawah tanah tidak
berkembang, batuan berukuran pasir rapuh, serta porositas sekunder berupa ruang antar butir. Profil
kalicefikasi dari permukaan ke bawah meliputi lapisan tanah, harpan, platy, nodular, chalk (keras, lempeng, butir,
halus).
Tanah yang berkembang di karst Gunungkidulpada dasar lembah dan dolin dikenal
sebagai Terrarosa atau secara klasifikasi tanah merupakan tanah Mediteran pada lereng umum >10°.
Subgroup berupa Alfisols danInceptisols yang dijumpai terutama pada dolin dengan solum tanah cukup tebal,
terdiri atas beberapa lapisan berwarna kekuningan sampai kemerahan (Wiyonoet al, 2006 dalam Adji,
2009). Warna merah pada tanah dipengaruhi genesis berupa pencucian intensif, sehingga C organik lebih
berpengaruh bukan karena Fe dan Mn tinggi (Mulyanto, 2006). Istilah Terrarosa bukan merupakan klasifikasi
tanah, tetapi hanya nama umum yang mengadopsi bunga mawar merah.
Entisols dijumpai di bagian puncak dan lereng (dome) perbukitan karst, sertaVertisol berkembang
pada wilayah dataran. Vertisol berarti berubah dan terbalik. Kondisi tanah saat kering retak, saat basah
mengembang dan lekat, serta tanah atas masuk ke bawah lewat retakan. Berkembang pada puncak-lereng,
dengan lereng umum 0-5°, dipengaruhi bahan induk napal, lempung dominan, dan pH < 7. Secara umum tanah
di karst Gunungkidul memiliki kendala untuk pertanian berupa N sangat rendah, P rendah, K kurang sedikit,
meskipun hara mikro mencukupi (Siradz, 2004).
5. Gua dan Sistem Hidrologi Karst Gunungkidul
Keberadaan gua atau luweng pada bentanglahan karst merupakan bagian dari sistem hidrologi.
Suatu sistem gua bila dirinci akan terbagi dalam bagian-bagian yang masing-masing memiliki karakteristik
berbeda dan terutama penting bagi kehidupan biota. Bagian-bagian sebuah gua meliputi (Rahmadi, 2007) :
(1) Mulut gua, memiliki kondisi lingkungan yang masih dipengaruhi luar gua sehingga fauna masih sama dengan
yang ada di luar gua. (2) Zona remang-remang, situasi mulai gelap, tetapi masih ada pantulan dari dinding gua.
Kondisi lingkungan masih dipengaruhi luar gua. Fluktuasi udara dan suhu besar, masih mendapatkan pengaruh
dari luar. Fauna mulai berbeda dengan yang di mulut gua baik jenis maupun kemelimpahan. (3) Zona gelap,
situasi gelap sepanjang masa, fluktuasi udara, kelembaban, dan suhu kecil. Fauna khas yang telah beradaptasi
dengan jumlah jenis kecil tapi melimpah. (4) Zona gelap total, tidak ada aliran Udara, fluktuasi kelembaban dan
suhu sangat kecil, CO2 tinggi. Situasi semacam ini biasanya terletak pada lorong sempit dan berkelok.
Klasifikasi tipe gua berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi tipe horisontal yang biasanya
merupakan hasil pengangkatan, tipe vertikal yang biasanya merupakan hasil peruntuhan, dan tipe celahan yang
biasanya merupakan hasil pelarutan sepanjang kekar. Sementara proses air di dalam gua membentuk
ornamen (speleothem) dapat dikelompokkan menjadi proses aliran (flostone) yang menghasilkan bentukan
corden, mahkota, dan gourdam, proses tetesan (dripstone) yang menghasilkan bentukan stalaktit, stalakmit, dan
kolom, serta proses kapiler (eratic) yang menghasilkan bentukan helictite.
Menurut Adji (2009) sumber utama komponen airtanah karst dibagi menjadi empat, yaitu: (1) aliran
permukaan (sungai) yang masuk ke akuifer karst melalui ponor, dikenal sebagai imbuhan allogenic; (2) aliran
permukaan dan hujan yang jatuh ke suatu cekungan karst tertutup dan kemudian masuk ke akuifer karst melalui
ponor, dikenal sebagai internal runoff; (3) air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan kemudian terinfiltrasi
secara perlahan-lahan melalui pori-pori tanah, dikenal sebagai diffuse infiltration; dan (4) imbuhan dari akuifer di
atas batuan gamping. Secara prinsip para ahli karst membagi sifat aliran pada akuifer karst menjadi tiga
komponen yaitu aliran saluran/lorong (conduit), celah (fissure), dan rembesan (diffuse).
Sistem hidrologi karst Gunungkidul pada arah barat timur dapat dibedakan menjadi sistem
Panggang, Wonosari-Baron, dan Sadeng(Kusumayudha, 2005). Sistem ini terkontrol oleh batuan dasar yang
melandasi batuan kapur, dengan kontur punggungan pada sistem Panggagang dan Sadeng, serta cekungan
pada Sistem Wonosari-Baron. Hal ini menjadikan pengatusan Plato Wonosari melalui Sungai Tegoan, Sampeng,
dan Suci bergerak ke Baron sebagai aliran sungai bawah tanah dengan outlet berturut-turut di Gua Sumurup,
Gua Ngingrong, dan Gua Suci di tenggara Kota Wonosari. Sistem hidrologi Gunungsewu disajikan Tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik Sistem Hidrologi Gunungsewu
Sistem Hidrogeologi
Aquifer & Luahan (debit)
Lapisan Dasar
Panggang Bebas
Batugamping terumbu
Mataair (<100l/det)
Napalan (Sambipitu)
Batupasir Tufaan, Breksi, Lava (Ngelanggeran)
Wonosari-Baron
Semi bebas
Batugamping
Batu pasir Tufaan, Breksi, Lava (Ngelanggeran)
terumbu dan bioklastik
Sungai (>200l/det)
Sadeng Bebas
Batugamping terumbu
Mataair (<100l/det)
Batugamping Tufaan, Napal (Oyo)
Batupasir Tufaan, Breksi, Lava (Ngelanggeran)
Sumber : Kusumayudha (2005)
Penelusuran sistem sungai bawah tanah dengan zat warna menunjukkan adanya hubungan
keruangan antara berbagai sungai bawah tanah. Salah satunya dibuktikan dengan outlet sungai bawah tanah
yang keluar di Pantai Baron dengan jarak lurus lebih kurang 15 km dari bagian selatan Plato Wonosari. Tabel 14
menunjukkan hubungan keruangan antar sungai bawah tanah yang dikaji Bulan Agustus tahun 1982.
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-
tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-
pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif";} Tabel 14. Hubungan Keruangan
Sungai Bawah Tanah, Waktu Pengukuran, serta Waktu Tempuh Aliran dan Kecepatan Aliran
Input Tanggal Output Waktu Tempuh (hari)
Kecepatan (km/hari)
Kali Tegoan 5/8/82 Baron 4 2,8
Gua Bribin 5/8/82 Baron 14 1,5
Kali Suci 12/8/82 Baron 7 2,7
Gua Buri Omah 27/8/82 Luweng Grubuk / Baron
< 20 jam / 6-7 > 1,2 / 2,6
Gua Gilap 24/8/82 Gua Bribin >5 < 2,3
Gua Jomblang Banyu
24/8/82 Gua Bribin / Gua Ngreneng
<5 / < 6 < 1,9 / ‐Gua Sodong Dadapayu
27/8/82 Gua Bribin / Gua Ngreneng
2-3 / > 3 1,.5 / > 3,0
Gua Toto 12/8/82 Luweng Ceblok
- -
Luweng Buhputih 19/8/82 Baron 15-16 1,0
Gua Sodong Mudal
25/8/82 Pracimantoro > 6 -
Sumber : MacDonald and Partners (1984), Waltham et al. (1982) dalam Samodra (2005)
6. Sumberdaya Tambang Batugamping Karst Gunungkidul
Tekanan penduduk pada Karst Gunungkidul merupakan permasalahan utama dimasa datang
terutama terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam seperti batugamping, kalsit (watulintang), dan guano.
Batugamping merupakan sumberdaya penting untuk bangunan serta berbagai industri khususnya setelah diubah
dalam bentuk kapur tohor (CaO) yang merupakan hasil pemanasan pada suhu 600-900°C, serta kapur padam
{Ca(OH)2} yang merupakan hasil reaksi kapur tohor dengan air, maupun dalam bentuk unsur lainnya.
Penambangan batugamping tradisional biasanya diawali dengan penggalian ujicoba untuk menentukan lokasi
penambangan yang kadang banyak menimbulkan galian tak terkelola. Lokasi keterdapatan batugamping keprus
(kalicefikasi) sebagai bahan galian tambang dan batugamping bedhes (karstifikasi) yang tidak potensial untuk
ditambang, dapat diduga berdasarkan identifikasi permukaan topografi karst. Pendugaan ini sebagai upaya
mempermudah penentuan lokasi penambangan guna meminimalkan kerusakan lingkungan. Tabel 15
menjelaskan perbedaan keterdapatan batugamping berdasarkan topografi.
Tabel 15 Perbedaan Keterdapatan Batugamping Berdasarkan Topografi
Parameter Bukit Batugamping Keprus Bukit Batugamping Bedhes
Bentuk Bukit Agak cembung Agak kerucut
Puncak Bukit Tumpul Agak runcing
Lembah Bukit Lebar Sempit
Lereng Bukit Agak terjal Agak terjal
Hubungan Bukit Terpisah Terangkai
Tinggi Bukit 50 – 90 m dari lembah setempat
75 -150 m dari lembah setempat
Diameter Bukit 100-350 m 100-450 m
Pola Bukit Acak Acak
Permukaan Bukit Halus, lapies sedikit berkembang
Kasar, lapies banyak berkembang
Warna Batuan Putih bersih kekuningan Putih kekuningan abu-abu
Muka Batuan Kasar Halus
Porositas Batuan Tinggi (20,30-25,94%) Rendah (2,033-2,401%)
Kekuatan Batuan Rendah (14,7-18,3 kg/cm2)
Tinggi (147,5-662,6 kg/cm2)
Struktur Sedimen Tidak ada Berlapis buruk
Kerapatan Kekar Sangat jarang (0-4/m2) Rapat - s.
rapat(5-10/m2)-(>10/m2)
Keberadaan dolin/telaga
Tidak dijumpai Dijumpai
Karstifikasi Sedikit Banyak
Vegetasi Ilalang, tanaman keras Ketela pohon
Sumber : Nasution, A.F., Sukandarrumudi, Sudarno (2003)
Bukit karst bersama-sama dengan cekungan karst merupakan tandon air utama daerah karst. Air
yang tertampung di dalamnya akan teratus melalui celah-celah batuan sebagai aliran vados, rembesan vados
atau mataair secara perlahan-lahan. Karena hal tersebut, sungai-sungai bawah tanah dan sebagian besar
mataair di kawasan karst bersifat perenial bahkan dengan waktu tunda hingga tiga atau empat bulan dengan
kualitas air yang baik.
Mengingat hal tersebut, sudah selayaknya bukit karst untuk dilindungi dari kegiatan penambangan.
Dapat dipastikan penambangan akan mengurangi potensi simpanan air dan mempercepat waktu tunda
perjalanan air yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas. Kegiatan
penambangan batugamping harus diarahkan pada batugamping yang tidak mengalami karstifikasi.
Catatan : tulisan ini diambil dari Panduan KKL Bentanglahan Geografi, Jur. Pend. Geografi UNESA