11
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN IDEOLOGI BANGSA A. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain. Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Oleh karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini. Masalah ini tampil kepermukaan, terlebih setelah terbitnya buku Fikih Lintas Agama (FLA) yang disusun oleh

Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF

AGAMA DAN IDEOLOGI BANGSA

A. Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari

ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan

oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama

lain. Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya,

suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu

tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada

kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa

perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang

perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang

berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil

dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang

rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Oleh karena itu kemudian hal ini banyak

mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta

hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro

terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.

Masalah ini tampil kepermukaan, terlebih setelah terbitnya buku Fikih Lintas Agama

(FLA) yang disusun oleh Nurcholish Madjid dkk, disusul kemudian dengan munculnya buku

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang disusun oleh Tim LKAJ

Departemen Agama RI yang dipelopori oleh Siti Musdah Mulia. Dalam ‘kitabnya’ mereka

membolehkan wanita muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan tidak ada

larangan yang sharih (jelas dan tegas). Yang ada justru hadits yang tidak begitu jelas

kedudukannya.

“soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslimah merupakan

wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks

dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat

ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.

Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka

amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim

Page 2: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

boleh menikah dengan pria non muslim, atau pernikahan beda agama secara

lebih luas amat dibolehkan, apapun agamanya dan aliran kepercayaannya.

Hal ini merujuk pada semangat al Qur’an itu sendiri”.

(Fikih Lintas Agama, hlm : 164)

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, Penulis tertarik untuk membahas lebih

dalam mengenai pernikahan beda agama, dalam makalah ini akan dipaparkan analisis,

pandangan agama-agama, dan tentunya Pancasila sebagai ideologi bangsa tentang pernikahan

beda agama ini, disamping itu, makalah ini akan coba membahas selintas tentang konsep

syarat sahnya nikah menurut agama-agama yang sudah resmi diakui oleh pemerintah

Indonesia.

B. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Agama di Indonesia

Berikut ini akan dipaparkan selintas konsep perbikahan menurut agama – agama,

khususnya agama yang sudah diakui oleh Pemerintah, yakni Katholik, Protestan, Hindu,

Budhha, Khonghucu dan Islam. Hal ini sangat penting untuk mengetahui konsep dasar boleh

atau tidaknya nikah yang berbeda agama tersebut.

1. Agama Katolik

Menurut agama Katolik, perkawinan adalah persekutuan hidup antara dua pribadi,

seorang pria dan wanita yang saling mengikat diri atas dasar cinta kasih yang total,

psikologis, biologis, sosial, ekonomis, demi penyempurnaan dan perkembangan pribadi

masing-masing serta demi kelangsungan umat manusia.

Menurut agama Katolik, pernikahan dipandang sah apabila memenuhi persyaratan

sebagai berikut : 1) Bebas dari halangan-halangan kanonik. Yakni 12 point jenis halangan,

salah satunya adalah tidak seiman/seagama, sebagaimana yang sudah dirumuskan dalam

KHK 1983. 2) Adanya konsensus atau kesepakatan nikah, yaitu kemauan pria dan wanita

saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan

perjanjian yang tak dapat ditarik kembali. Namun, Konsensus tersebut bisa cacat oleh faktor-

faktor yang dapat merusaknya. 3) Dirayakan dalam forma canonika, artinya perkawinan

harus dirayakan dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi gereja sebagai peneguh, dan dua

orang saksi.

Perkawinan dalam Katolik memiliki beberapa tujuan, meskipun ada pendapat yang

berbeda dalam merumuskan tujuan perkawinan ini. Tujuan perkawinan menurut agama

Page 3: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

Katolik yang utama adalah untuk menciptakan kesejahteraan suami isteri. Setelah itu baru

kelahiran anak.

2. Kristen Protestan

Pengertian perkawinan menurut agama protestan adalah suatu persekutuan hidup

dan percaya total, eksklusif dan kontinyu antara seorang pria dan seorang wanita yang

dikuduskan dan diberkati oleh oleh Kristus Yesus. Pernikahan sebagai soal agama, hukum

tuhan, agar pernikahan tersebut sesuai dengan kehendak tuhan yang menciptakan pernikahan

itu. Syarat-syarat perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah : 1) Masing - masing

calon mempelai tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain; 2) Kedua mempelai

beragama Kristen Protestan (agar perkawinan tersebut dapat diteguhkan dan diberkati); 3)

Kedua calon mempelai harus sudah ”sidi” (sudah dewasa); 4) Harus dihadiri dua orang saksi;

5) Harus disaksikan oleh jemaat.

Apabila dapat disimpulkan maka perkawinan menurut agama Kristen Protestan

menghendaki perkawinan itu adalah perkawinan antara sesama umat agama Kristen

Protestan. Karena itulah agama Kristen Protestan melarang untuk berpoligami dan menikah

dengan orang lain yang beragama lain.

3. Agama Hindu

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.

Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata

pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Wiwaha atau perkawinan dalam

masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama

wiwaha termasuk kedalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu,

wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab

Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib,

dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam

hidupnya.

Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah : 1) Perkawinan dikatakan

sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu. 2) Untuk mengesahkan perkawinan

menurut hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang

memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu. 3) Suatu perkawinan dikatakan sah apabila

kedua calon mempelai telah menganut agama hindu. 4) Berdasarkan tradisi yang berlaku di

Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai

Page 4: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

rangkaian upacara wiwaha. 5) Calon mempelai tidak terikat oleh suatu pernikahan. 6) Tidak

ada kelainan, seperti tidak banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat

jasmani dan rohani. 7) Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun, dan wanita

minimal 18 tahun. 8) Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat atau sepinda.

Jadi, sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut agama Hindu terkait dengan sesuai atau

tidak dengan persyaratan yang ada dalam agama.

4. Agama Buddha

Agama Buddha mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan suci yang harus dijalani

dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan Budha. Perkawinan adalah ikatan lahir

dan batin dua orang yang berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanaya dan

bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam

kehidupan sekarang ini dan kehidupan yang akan datang.

Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama

Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan

perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang

tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan

tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas

nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewa-dewa umat Budha.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya

untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut

agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha.

Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk

mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti

bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha,

walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat

perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian

mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.

5. Agama Khonghucu

Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga

yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.

Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia

melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa),

Page 5: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia

membimbing putra-putrinya. Pengertian perkawinan Menurut Konghucu dapat ditemukan

dalam Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),

dinyatakan bahwa upacara pernikahan bermaksud akan menyatu-padukan benih kebaikan/

kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan pengabdian kepada

Tuhan dan leluhur (zong Miao),dan ke bawah meneruskan generasi.

Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) melalui Musyawarah

Nasional Rokhaniwan Agama Konghucu se Indonesia yang diselenggarakan di Tangerang,

pada tanggal 21 Desember 1975 telah mensahkan Hukum perkawinan Agama Konghucu

Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan upacara peneguhan perkawinan bagi umat

Konghucu. Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat Konghucu : 1) Umur untuk wanita

16 tahun, sedangkan umur untuk pria 19 tahun, atau dengan pertimbangan lain. 2) Ada

persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsure paksaan. 3) Kedua calon mempelai tidak

atau belum terkait dengan pihak-pihak lain yang dianggap sebagai hidup berumah tangga atau

berkeluarga. 4) Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya

dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang). 5) Mendapat persetujuan dari

kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya. 6)

Disaksikan oleh dua orang saksi.

6. Agama Islam

Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak

memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam

dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :

“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya

wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan

janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik,

walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki

maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama

Islam.

B. Pernikahan Beda Agama Dalam Pandangan Ideologi Bangsa

Page 6: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1

berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1

dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaan itu”.

Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan

Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan

bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai

peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan,

yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan

kewajiban orang tua.

Sedang dalam penjelasan atas pasal 2 ayat 1 dinyatakan : “Dengan perumusan pada

pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum perkawinan masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang

berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak

ditentukan lain dalam UU ini.

Adanya ketentuan dalam pasal 2 ayat 1, “Bahwa sahnya perkawinan apabila

dilakukan oleh masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan dalam penjelasan atas

pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing

agamanya, jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan tidak diakui di Indonesia.

Ketentuan tetrsebut tidak melanggar HAM bagi mereka yang berlainan agama untuk

melakukan perkawinan, kerena masing-masing pihak dapat menggunakan haknya untuk

PINDAH AGAMA yang sama dengan calon suami atau calon istri yang dipilihnya dan

selanjutnya melakukan perkawinan menurut agama yang telah mereka sepakati bersama.

Membuat ketentuan untuk melegalisasikan perkawinan antar agama berarti

membirkan orang untuk merusak integritas masing-masing agama serta bertentangan dengan

kesadaran hukum dan keyakinan hukum bangasa Indonesia dan tentu saja bertentangan

dengan PANCASILA dan UUD 1945 serta UU. No. 1 Tahun 1997 tetang Perkawinan.

E. Kesimpulan

Page 7: Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Agama Dan Ideologi Bangsa

Pernikahan lintas agama yang ditawarkan oleh para pengusung pluralisme, dan

liberalisme, ternyata bertentangan dengan hukum perkawinan yang dimilki oleh tiap - tiap

agama dan undang - undang yang berlaku di Indonesia. Ini terbukti dengan adanya hukum

larangan melaksanakan perkawinan tiap agama. Kenyataan ini sangat logis, karena tiap

agama memandang bahwa perkawinan bukan hanya sekedar hubungan sosial dan

keperdataan semata, tetapi juga ada hubungan teologi yang diyakini oleh penganutnya

masing-masing. Pandangan agama-agama mengenai nikah beda agama dapat disimpulkan

bahwa, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antar

agama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan

perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan

antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat

pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3)

Agama Hindu melarang dilakukannya perkawinan antaragama. dan (4) Buddha,

membolehkan penganutnya untuk melaksanakan perkawinan beda agama, dengan syarat

pernikahan harus dilakukan secara buddha dan mengucapkan janji dengan menyebut nama

dewa-dewa, (5) Khonghucu membolehkan umatnya untuk menikah dengan penganut agama

lain, dan (6) Islam dengan sangat tegas melarang pernikahan anatara laki-laki dan perempuan

untuk menikah dengan penganut agama lain. Begitu pula dengan undang – undang yang

berlaku di Indonesia, menurut UU. No. 1 Tahun 1997 tetang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 telah

jelas tertulis perkawinan harus sesuai masing – masing hukum agama, sedangkan agama yang

diakui di Indonesia tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.

Wallahu ‘Alam Bisshowab