22
HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM 13.1D.11 KARYA TULIS & PEMIKIRAN 1

Makalah hukum pernikahan beda agama

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah hukum pernikahan beda agama

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

13.1D.11

KARYA TULIS & PEMIKIRAN

Diselesaikan untuk memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Pendidikan Agama

Jurusan Teknik computer, Bina Saran Informatika (BSI)

2015

1

Page 2: Makalah hukum pernikahan beda agama

DAFTAR ISI

HALAM JUDUL………………………………………………………………………………1

DAFTAR ISI...…………………………………………………………………………………2

KATA PENGHANTAR.……………………………………………………………………...3

BAB I..………………………………………………………………………………………….4

1.1 Pendahuluan………………………………………………………………………………4-5

BAB II…………………………………………………………………………………………..6

2.1 Landasan Teori…...……………………………………………………………………….6-8

BAB III...……………….…………………………………………………………………….....9

Pembahasan

3.1 Hukum Perkawinan dalam Islam....………………………………………………………10-11

3.2 Pengertian Non-Muslim di dalam Islam...………………………………………………..12-14

3.3 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia..……………………………….14-15

BAB IV……………………………………………………………………………………….16

Penutup

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….17

2

Page 3: Makalah hukum pernikahan beda agama

KATA PENGANTAR

Puji syukur  kehadirat Allah SWT, semoga Rahmat, Taufiq Hidayah dan Nimatnya kepada kita semua yg tak terhitung berapa Nikmat yg kita rasakan. Dan Shalawat serta Salam tercurahkan kepada Sang Baginda Alam Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bahagia rasanya kami dapat mendapatkan Judul tentang PERNIKAHAN BEDA AGAMA karna di Zaman sekarang ini Pernikahan beda Agama banyak sekali Pro dan kontranya. Harapan kami semoga apa yang telah kami kerjakan  dengan Penulisan Makalah ini, Semoga  Makalah  ini juga bermanfaat bagi para pembaca sekalian khususnya warga Muslim yang masih awam untuk digunakan sebagai Pedoman dalam menjalankan Syari’at Islam yang lebih mendalam. Akhirnya atas segala bantuan, bimbingan serta arahan dari semua Pihak kami sampaikan terima kasih.

3

Page 4: Makalah hukum pernikahan beda agama

BAB I1.1 Pendahuluan

Banyak sekali diberitakan adanya Pernikahan antar dua pasangan berbeda Agama (Islam dan Non-Islam). Mungkin juga ada kita saksikan di lingkungan kita, teman-teman, tetangga, atau bahkan dikalangan sanak Famili ada yang melakukannya. Semakin sering itu terjadi, maka terlihatlah itu sebagai sesuatu yang dianggap biasa, hingga pemuda-pemudi Muslim yang awam Ilmu Agama bisa menganggapnya itu bukan masalah alias sah-sah saja, Naudzubillahi Min Dzalik.

Pernikahan beda Agama yang dicatatkan di Kantor Catatan Sipil hanyalah sebagai sebuah perjanjian yang bersifat Administratif belaka. ''Cinta itu buta,'' begitu kata William Shakespeare. Ungkapan yang sangat Masyhur itu memang kerap terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, terkadang sampai melupakan aturan Agama. Saat ini tak sedikit Umat Muslim yang karena ''Cinta'' berupaya sebisa mungkin untuk Menikah dengan orang yang berbeda Agama. ''Tolong dibantu, saya benar-benar serius untuk melakukan Nikah beda Agama. Saya benar-benar pusing harus bagaimana lagi, tulis seorang wanita Muslim pada sebuah laman.

Lalu bolehkah menurut Hukum Islam seorang Muslim, baik pria maupun wanita Menikah dengan orang yang berbeda Agama?

Dalam Islam Perkawinan dimaksudkan adalah untuk memenuhi kebutuhan Seksual seseorang secara Halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang Mawaddah (saling mencintai) Rahmah (saling berkasih sayang) antara suami dan isteri, hal ini sebagaimana maksud dari makna Q.S. Al-Rum : 21. Dan Perkawinan yang baik adalah Perkawinan yang dilakukan oleh seorang Suami dan Isteri yang Seakidah, Seakhlak dan satu tujuan, disamping cinta dan ketulusan hati. Sehingga dibawah naungan keterpaduan inilah kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia anak-anak akan sejahtera, hingga akhirnya terwujud tujuan Perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan Rumah tangga yang Sakinah Wawaddah dan Rahmah.

Menurut pandangan Islam, tujuan Perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan isteri tersebut berpegang pada satu keyakinan yang sama dan mereka Teguh dalam melaksanakan ajaran Agamanya. Jika Agama keduanya berbeda, makan akan timbul berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya saja dalam masalah pelaksanaan

4

Page 5: Makalah hukum pernikahan beda agama

Ibadah, Pendidikan Anak, pengaturan makanan, Pembinaan Tradisi keagamaan, dan lain sebagainya yang pasti akan timbul dalam Keluarga tersebut. Islam dengan Tegas melarang wanita Islam Menikah dengan Pria Non-Muslim, baik Musrik maupun Ahlul Kitab, demikian pula halnya seorang Pria Islam dilarang Menikahi Wanita Musyrik, kedua bentuk Perkawinan ini Mutlak diharamkan.

5

Page 6: Makalah hukum pernikahan beda agama

BAB II2.1 Landasan Teori

Kata Nikah berasal dari Bahasa Arab yang didalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan Perkawinan. Nikah menurut istilah Syariat Islam adalah Akad yang menghalalkan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan Akad tersebut terjadi Hak dan Kewjiban antara kedua Insan.

Hubungan antara seorang laki – laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah Akad Nikah. Pergaulan antara laki – laki dn perempuan yang diatur dengan Pernikahan ini akan membawa Keharmonisan, Keberkahan dan Kesejahteraan baik bagi laki – laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua Insan tersebut.

Berbeda dengan pergaulan antara laki – laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana Pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua Insan itu, keturunannya dan Masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan Tali Pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan Hawa Nafsunya.

Banyak Ulama yg Menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. dikarenakan Agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, Agama Samawi, maka para Ulama memperbolehkan Pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yang dimaksud dengan Musyrik adalah Penyembah Berhala, Api, dan sejenisnya. Untuk Poin 2, Menikah dengan Perempuan yang bukan Ahli Kitab, para Ulama sepakat melarang.         

Dari sebuah Literature dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk Agama Samawi (langit) tapi termasuk Agama Ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai Kitab Suci itu bukanlah Kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para Tokoh mereka dan Filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan Petuah, Hikmah, Sejarah dan Filsafat para Tokohnya.

6

Page 7: Makalah hukum pernikahan beda agama

Kita tidak akan menemukan Hukum dan Syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada Hukum Jual Beli, Zakat, Zina, Minuman Keras, Judi dan Pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya Etika, Moral dan Nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam Suci dari Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril dan berisi Hukum Syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas Kitab Samawi yang secara kompak diakui sebagai Kitabullah. 

Sementara itu, Imam Syafi’i dalam Kitab Klasiknya Al-Umm, Mendefinisikan Kitabiyah dan Non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan Bangsa Israel asli. Adapun Umat-umat lain yang menganut Agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata Ahlul Kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan Dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi Umat-umat setelah Bani israil.”

Sementara itu, para Jumhur Shahabat membolehkan laki-laki Muslim Menikahi Wanita Kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para Shahabat Nabi juga ada para Tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, Al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.

Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memakaruhkan Menikahi Wanita Kitabiyah selama ada Wanita Muslimah.           

Pendapat yang mengatakan bahwa Nasrani itu Musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa Nasrani itu Musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih Musyrik dari orang yang mengatakan bahwa Tuhan nya adalah Isa. Sehingga menurut mereka Menikahi Wanita Ahli Kitab itu Haram Hukumnya karena mereka adalah Musyrik.

Namun Jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa Wanita Kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita Muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan Agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang Muslim dibanding wanita Ahlul Kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap Akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah Pria Muslim sedikit sementara Wanita Muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat Haram Hukum nya pria muslim Menikah dengan wanita Non Muslim.

7

Page 8: Makalah hukum pernikahan beda agama

Secara Ringkas Hukum Nikah beda Agama bisa kita bagi menjadi demikian :1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram

Dibolehkannya laki-laki Muslim Menikah dengan Wanita Ahlul Kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin Rumah Tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan Aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan Syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, Agama lain seperti Nasrani dan Yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan Agam

8

Page 9: Makalah hukum pernikahan beda agama

BAB IIIPembahasan

Dalam Bahasa Indonesia Perkawinan berasal dari kata “Kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk Keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan Kelamin. Perkawinan disebut juga “Pernikahan” yang berasal dari kata Nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.

Berikut ada beberapa pendapat tentang pengertian Perkawinan, yaitu: menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan Lahir Batin antara seorang Pria dengan seorang Wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk Keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Disamping Definisi yang diutarakan oleh UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 diatas, Kompalasi Hukum Islam di Indonesia memberikan Definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti Definisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut:

Perkawinan menurut Islam adalah Pernikahan, yaitu Akad yang sangat kuat atau atau Mitsaqan Ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah (pasal 2).

Ungkapan “Akad” yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam Rumusan UU yang mengandung arti bahwa Akad Perkawinan itu bukanlah semata Perjanjian yang bersifat Keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa Perkawinan bagi Umat Islam merupakan peristiwa Agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

Dari Definisi diatas dapat disimpulkan Perkawinan merupakan suatu ikatan Lahir Batin dari seorang Pria dan Wanita untuk membentuk suatu Keluarga dalam menaati Perintah Allah dan merupakan suatu perbuatan ibadah. Berikut adalah suruhan Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan, firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

9

Page 10: Makalah hukum pernikahan beda agama

3.1 Hukum Perkawinan dalam Islam

Menurut sebagian besar Ulama, Hukum asal Menikah adalah Mubah, yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak. Apabila dikerjakan tidak mendapat Pahala, dan jika tidak dikerjakan tidak mendapat Dosa. Namun menurut Agama Islam yang menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad SAW melakukan pernikahan ini dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu Sunnah adanya berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan Beliau. Akan tetapi Hukum Pernikahan dapat berubah menjadi Sunnah, Wajib, Makruh bahkan Haram tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.

A. Perkawinan yang Hukumnya Wajib

Hukum yang bersifat Wajib adalah Hukum yang harus dijalani, apabila dijalankan maka orang itu akan mendapatkan Pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat Dosa. Jika seseorang dianggap mampu (usia, ekonomi, biologis, psikis) untuk menikah dan ia sangat beresiko terjebak Perzinaan, maka orang tersebut wajib Hukumnya untuk Menikah karena kita tahu bahwa Zina merupakan Dosa besar, dan kita wajib menghindari Zina yang buruk tersebut. Jika jalan satu-satunya untuk menghindari Zina adalah menikah, maka Nikah menjadi wajib Hukumnya dimata Islam.

B. Perkawinan yang Hukumnya Sunnah

Sunnah adalah Hukum yang menganjurkan untuk melakukan Amal tersebut jika dikerjakan maka memperoleh Pahala .Namun jika tidak dikerjakan pun tidak akan mendapat Dosa. Perkawinan dalam Islam menjadi Sunnah kepada kondisi seseorang yang meskipun telah mampu untuk menikah, tetapi ia masih bisa menjaga dirinya. Orang tersebut berada jauh dari resiko berzina mungkin karena ia seorang yang soleh, yang bisa mengendalikan Hawa Nafsu, mungkin juga karena ia orang yang sibuk mengurusi Umat sehingga tidak sempat Menikah.

Meskipun Hukumnya Sunnah, Menikah tetap dianjurkan bagi siapa saja yang sudah mampu,seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW pada dua Sabda yaitu :

Nabi Muhammad SAW Bersabda, ”Menikah adalah Sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan Sunnahku, ia bukan termasuk Umatku. Menikahlah sebab Aku akan senang dengan jumlah besar kalian dihadapan umat umat yang lain.Siapa yang telah memiliki kesanggupan, maka Menikahlah, Jika tidak maka berpuasalah karena Puasa adalah benteng.” (H.R.Ibn Majah)

10

Page 11: Makalah hukum pernikahan beda agama

Nabi Muhammad SAW Bersabda, ”Wahai para Pemuda, jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk Menikah, maka hendaklah dia Menikah karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan) dan barang siapa tidak mampu Menikah hendaklah ia berpuasa, karena Puasa itu menjadi penjaga baginya.” (H.R Bukhari Muslim)

C. Perkawinan yang Hukumnya Makruh

Makruh artinya dianjurkan untuk tidak melakukan Amal tersebut. Kondisi yang menyebabkan Perkawinan dalam Islam menjadi Makruh misalnya, jika laki-laki tidak bisa memberika Nafkah kepada istri sehingga biaya-biaya hidup ditanggung istri atau bisa juga karena tidak adanya kemampuan seksual.

D. Perkawinan yang Hukumnya Mubah

Hukum Perkawinan dalam Islam yang Mubah atau boleh jatuh Kepada orang yang berada dalam kondisi tengah-tengah. Ada alasan yang mendorong dia untuk Menikah dan juga ada hal-hal yang mencegahnya untuk Menikah. Orang tersebut dianjurkan untuk Menikah, akan tetapi tidak ada alasan yang melarangnya untuk Menikah.

E. Perkawinan yang Hukumnya Haram

Hukum Menikah akan berubah menjadi Haram biasanya karena beberapa hal misalnya, apabila orang yang Yang ingin Menikah tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu Pihak dalam Pernikahan tersebut. Ada pula misalnya saja ada seorang wanita yang Menikah dengan laki-laki bukan Agama Islam, maka Haram hokum nya. Kondisi lain misalnya Menikahi orang yang Muhrim (haram untuk dinikahi) seperti Ayah, Ibu, Adik, Sepup atau yang masih mempunyai ikatan kekeluargaan dengan salah satu pihak.

Atau bisa karena disebabnya tidak sempurnanya Rukun dan Syarat dari Perkawinan seperti ada tidaknya Wali dan Saksi, dan sebagainya. Bagi laki-laki juga Haram Hukumnya Menikahi seorang Wanita yang sedang dalam masa Iddah dan Wanita yang telah ditalak tiga, sebelum ia Menikah dan Bercerai dengan laki-laki lain. Selain itu Pernikahan Kontrak yang sekarang ini sering menjadi tren di Masyarakat juga, dikatagorikan sebagai Perkawinan yang apabila dilakukan Hukumnya Haram.

Dewasa ini, didalam kehidupan kita. Pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang bias, dan memang itu yang dianjurkan di dalam Agama Islam. Tetapi pada saat sekarang masyarakat sering mengatasnamakan kepentingan lainnya agar dapat melakukan Pernikahan beda Agma atau Nikah campur karena mereka kebanyakan mengatasnamakan cinta untuk mengusahakan apa yang mereka inginkan. Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di dalam Agam Islam.

11

Page 12: Makalah hukum pernikahan beda agama

3.2 Pengertian Non-Muslim di dalam Islam

Sebelum kita membahas tentang Pernikahan beda Agama, sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim di dalam Agama Islam. Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Golongan Orang Musyrik

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni, Orang Musrik ialah orang-orang yang telah berani menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya (penyembahan patung ,berhala dsb).

b. Golongan Ahli Kitab

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni, Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang Teguh pada Kitab Taurat yaitu Agama Nabi Musa As, atau mereka yang berpegang Teguh pada Kitab Injil Agama Nabi Isa As. Atau banyak pula yang menyebut sebagai Agama Samawi atau Agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.

Mengenai istilah Ahli Kitab ini, terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama berpendapat bahwa, mereka semua Kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang Nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu) ketika diturunkan sudah memeluk Agama Nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian Ulama tidak termasuk Ahli Kitab.

Secara umum pernikahan Lintas Agama atau beda Agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

A. Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim

Dalam Islam, Pernikahan antara Pria Muslim dengan Wanita Non-Muslim Ahli Kitab itu, menurut pendapat sebagian Ulama diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 :

12

Page 13: Makalah hukum pernikahan beda agama

لكم حل الكتاب أوتوا ذين ال وطعام بات الطي لكم أحل اليوموالمحصنات المؤمنات من والمحصنات لهم حل وطعامكم

أجورهن آتيتموهن إذا قبلكم من الكتاب أوتوا ذين ال منأخدان خذي مت وال مسافحين غير محصنين

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al-Maidah: 5).

Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut yaitu :

1. Jelas NasabnyaMenurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyang adalah Ahli Kitab. Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar Kaum Nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan Ahli Kitab.

2. Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga Anaknya kelak dari bahaya Fitnah.Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb, Usman bin Affan pernah berkata “Pria Muslim diperbolehkan Menikah dengan Wanita Ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab Menikah dengan Wanita Muslimah”. Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah Menikah dengan Wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita tersebut masuk Islam. Dengan demikian keputusan untuk memperbolehkan Menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma (artinya yakni kesepakatan para Ulama dalam menetapkan suatu Hukum dalam Agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi). para Sahabat tetapi dalam Kialtab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah Ibnu Abbas pernah menyatakan, Hukum Pernikahan dalam Qs.Al Baqarah ayat 221 dan Qs.Al Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh) oleh Qs.Al-Maidah ayat 5. Karena yang berlaku adalah Hukum dibolehkannya Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab. Sedangkan diharamkan Pernikahan antara Pria Muslim dengan Wanita Musrik menurut

13

Page 14: Makalah hukum pernikahan beda agama

kesepakatan para Ulama tetap diharamkan, apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan Fitnah.

B. Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah

Pernikahan antara Wanita Muslimah dengan Pria non Muslim, menurut kalangan Ulama tetap diharamkan, baik Menikah dengan Pria Ahli Kitab maupun dengan seorang Pria Musrik. Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah Menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya, Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan Syariat Islam, atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.

Dalil Naqli pernyataan tentang Haramnya Pernikahan seorang wanita Muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan Pernikahan seorang Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan ini diperbolehkan, maka Allah SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran. Karenanya, berdasarkan Mahfum Al-Mukhalafah, secara Implicit Allah SWT melarang Pernikahan tersebut.

3.3 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 keluarlah KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) yang menjadi Hukum Positif Unikatif bagi seluruh Umat Islam di Indonesia dan menjadi Pedoman para Hakim di Lembaga Peradilan Agama dan menjalankan tugas mengadili perkara – perkara dalam Bidang Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan.

Apabila dilihat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “Dilarang Perkawinan antara seorang Wanita beragama Islam dengan seorang Pria tidak beragama Islam”. Larangan Perkawinan tersebut memiliki alasan yang cukup kuat yaitu apabila ditinjau dari segi UU perkawinan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1/1974 sudah jelas diterangkan bahwa “tidak ada Perkawinan di luar Hukum Agamanya dan kepercayaannya” sehingga antara KHI dan Hukum Perkawinan di Indonesia memiliki kaitan dalam urusan Perkawinan beda Agama ini. Alasan yang kedua yaitu, apabila dihubungkan dengan dalil – dalil Hukum Islam diantaranya larangan tersebut sebagai tindakan Preventif untuk mencegah terjadinya Kemurtadan dan kehancuran Rumah Tangga akibat Perkawinan beda Agama tersebut.

Pada prinsipnya Agama Islam melarang (Haram) Perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi :

14

Page 15: Makalah hukum pernikahan beda agama

من خير مؤمنة وألمة يؤمن ى حت المشركات تنكحوا واليؤمنوا ى حت المشركين تنكحوا وال أعجبتكم ولو مشركة

إلى يدعون أولئك أعجبكم ولو مشرك من خير مؤمن ولعبدبإذنه والمغفرة ة الجن إلى يدعو ه والل ار الن

“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. al-Baqarah: 221).

Sedangkan Izin Kawin seorang Pria Muslim dengan seorang Wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada pada Surat Al-Maidah ayat 5, hanyalah Dispensasi bersyarat yakni Kualitas Iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik. Karena Perkawinan tersebut mengandung Resiko yang sangat Tinggi bagi Rumah Tangga nya nanti. Karena itu, Pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang Perkawinan antara seorang yang beragama Muslim (Pria/Wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (Pria/Wanita) apapun Agamanya yang juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat (c) dan pasal 4

15

Page 16: Makalah hukum pernikahan beda agama

BAB IVPenutup

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pernikahan antara pria

Muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam, tetapi tidak berlaku sebaliknya.

karena Perkawinan antara Pria non muslim dan wanita Muslim apapun alasannya tetap

diharamkan oleh Islam. Akan tetapi Perkawinan beda Agama antara Pria Muslim dan wanita

Ahli Kitab saat ini tidak dapat dikatakan Sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang

berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan Injil. Sedangkan apabila ditinjau dari segi Hukum

Indonesia bahwa dalam Hukum Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 UU nomor 1/1974 tentang

Perkawinan tidak dibenarkan dan dilarang adanya perkawinan beda agama, karena memiliki

alasan - alasan tertentu yang berkaitan dengan rumah tangga perkawinan tersebut. Sedangkan

bila dilihat dari segi Hukum yang berada dalam Al-Quran bahwa segala hal yang mengatur

tentang perkawinan dan Izin Perkawinan beda Agama dapat ditinjau dari Surat Al-Baqarah dan

Surat Al-Maidah dan disesuaikan dengan Iman dan pemikiran masing masing.

Sebagaimana kita adalah Umat beragama seharusnya kita perlu benar-benar dapat

mengerti dan memahami segala aturan yang bersifat Fundamental dan yang bersifat norma yang

ada dalam Agama kita masing masing. Seperti halnya dalam masalah Perkawinan beda Agama

yang penulis bahas pada kesempatan ini, perlu diadakan suatu Pembelajaran lanjutan dan kajian

mengenai bagaimana sebenarnya Perkawinan beda Agama apabila ditinjau dari segi Agama

Islam (perbandingan dari Surat Al-Baqarah dan Maidah) dengan hukum yang ada di Indonesia,

sehingga pembaca dapat-benar benar memahami perihal Perkawinan beda Agama secara

mendetail lagi.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan pada kesempatan Makalah UTS kali ini,

dengan penuh harapan semoga kita semua dapat mengambil intisari dari pembahasan tersebut.

Kurang lebihnya kami mohon maaf apa bila ada kekurangan dalam penulisan, pemikiran, kata-

16

Page 17: Makalah hukum pernikahan beda agama

kata, dan kurangan pemahaman pada materi tersebut. Akhirul Kalam, Wassalamu’alaikum

warahmatullahi Wabarakaatuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.2. Syarifuddin Amir, 2007. Hukum Perkawinan di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan

Undang Undang Perkawinan.Jakarta:Kencana Prenada Media Group3. Ustz. Zaenal dari Pimpinan Majelis Masjid Al-Ikhlas, Perum. Pondok Gede Housing I &

II Jatirahayu, Pondok Melati, Bekasi. 20154. https://www.academia.educations.com/MAKALAH 5. Mohamad Azwar 131504326. Muhamad Rizki 131508867. Rachman Budi Prasetyo 131503658. Fatwa Aulia Rahman 131503659. Ramdani 1315066610. Muhamad Reza Whyudin 13150520

17