Upload
haris-sahrul-alim-nurjaman
View
226
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pertanian indonesia
Citation preview
PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN DI BIDANG
PERTANIAN
A. KEBIJAKAN PERTANIAN
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar
pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi
naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan
petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah
baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-
peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-undang,
Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan
Gubernur dan lain-lain. Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua
kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating policies)
dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive
policies). Kebijakan yang bersifat pengaturan misalnya peraturan
rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk sedangkan
contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian
pendapatan adalah penentuan harga kopra minimum yang
berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah
persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan
disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak
yang memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan
bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan
pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur
tangan pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu
mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi
1
pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan
pertanian yang lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan
nasional untuk menaikkan produksi secara optimal dengan
perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.
1. Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang
terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan
kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan
pendapatan (price and economic policy). Segi harga dari
kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga,
sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan
petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke musim dan dari
tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian
penyangga (support) atas harga-harga hasil pertanian supaya
tidak terlalu merugikan petani atau langsung mengandung
sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara seperti;
Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil
pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat
perlindungan pemerintah berupa harga penyangga dan atau
subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga
untuk beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis
kebijakan harga yang dapat dipakai untuk mencapai tiga tujuan
yaitu:
1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat
petani
2. meningkatkan pendapatan petani melalui pebaikan dasar
tukar (term of trade)
3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
2
Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada
tujuan pertama yaitu Stabilitas harga hasil-hasil pertanian dalam
keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi
kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali
dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian di negara-negara yang
sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor
pertanian terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar
sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-
negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil
seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat
kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini
merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan
bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa
dilaksanakan dengan mudah di negara-negara yang sudah maju
dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian
jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi
dibanding golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini
penduduk sektor pertanian rata-rata di bawah 10 persen dari
seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60
persen-70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering
dilaksanakan oleh negara-negara yang sudah maju bersamaan
dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah
produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan
harga, pemerintah membuat perencanaan produksi dan petani
mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan
produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil
pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka
kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga
3
yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan
petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga
sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini
mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang
dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva penawaran ke
atas.
2. Kebijakan Pemasaran
Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani
produsen, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan
khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang
sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan mata rantai
pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama
untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika
seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama Badan
Pemasaran Pusat (Central Marketing Board) berusaha untuk
mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas
penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di
Inggris yang dimulai sesudah depresi besar tahun 1930 untuk
industri bulu domba, susu, telor dan kentang. Di Indonesia
Badan Pengurusan Kopra, Badan Pemasaran Lada pada
prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan Badan
pemasaran Pusat di Afrika dan Inggris.
Masalah yang dihadapi di Indoensia adalah kurangnya
kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak ada keinginan
untuk mengadakan penanaman baru dan usaha-usaha lain
untuk menaikkan produksi karena persentase harga yang
diterima oleh petani relatif kecil dibandingkan dengan bagian
yang diterima golongan-golongan lain.
4
Selain kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman
perdagangan untuk ekspor, kebijakan ini meliputi pula
pengaturan distribusi sarana-sarana produksi bagi petani.
Pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat di
antara para pedagang dengan melayani kebutuhan petani
seperti pupuk, insektisida, pestisida dan lain-lain sehingga petani
akan dapat membeli sarana-sarana produksi tersebut dengan
harga yang relatif tidak terlalu tinggi. Jadi disini jelas bahwa
kebijakan pemasaran merupakan usaha campur tangan
pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Di satu
pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-
kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan pedagang dan
petani, tetapi di pihak lain persaingan dapat didorong untuk
mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam praktek kebijakan
pemasaran dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijakan
harga.
3. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pertanian dimaksudkan untuk
memperbaiki strukutur produksi misalnya luas pemilikan tanah,
pengenalan dan pengusahaan alat-alat pertanian yang baru dan
perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana
fisik maupun sosial ekonomi.
Kebijakan struktural ini hanya dapat terlaksana dengan
kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah.
Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah untuk
mencapainya dan biasanya memakan waktu lama. Hal ini
disebabkan sifat usahatani yang tidak saja merupakan unit usaha
ekonomi tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan petani
dengan segala aspeknya. Oleh karena itu tindakan ekonomi saja
5
tidak akan mampu mendorong perubahan struktural dalam
sektor pertanian sebagaimana dapat dilaksanakan dengan lebih
mudah pada sektor industri. Pengenalan baru dengan
penyuluhan-penyuluhan yang intensif merupakan satu contoh
dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di
atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses
perubahan struktural di sektor pertanian dalam komoditi-
komoditi pertanian. Pada bidang produksi dan tataniaga kopra,
lada, karet, cengkeh dan lain-lain. Dalam kenyataannya
pelaksanaan kebijakan harga, pemasaran dan struktural tidak
dapat dipisahkan, dan ketiganya saling melengkapi.
4. Kebijakan Pertanian dan Industri
Ciri-ciri pokok perbedaan antara pertanian dan industri adalah:
1. Produksi pertanian kurang pasti dan risikonya besar karena
tergantung pada alam yang kebanyakannya di luar
kekuasaan manusia untuk mengontrolnya, sedangkan
industri tidak demikian.
2. Pertanian memproduksi bahan-bahan makanan pokok dan
bahan-bahan mentah yang dengan kemajuan ekonomi dan
kenaikan tingkat hidup manusia permintaannya tidak akan
naik seperti pada permintaan atas barang-barang industri
3. Pertanian adalah bidang usaha dimana tidak hanya faktor-
faktor ekonomi saja yang menentukan tetapi juga faktor-
faktor sosiologi, kebiasaan dan lain-lain memegang
peranan penting. Industri lebih bersifat lugas (zakelijk).
6
Ketiga ciri khusus pertanian ini nampak dalam teori
ekonomi sebagai perbedaan dalam respons permintaan dan
penawaran atas perubahan-perubahan harga.
Elatisitas harga atas permintaan dan penawaran hasil-hasil
pertanian jauh lebih kecil daripada hasil-hasil industri. Misalnya
elastisitas harga atas permintaan radio, buku-buku, mobil dan
lain-lain, jauh lebih tinggi daripada elatisitas harga atas
permintaan beras dan bahan pakaian. Hal ini disebabkan
pendapatan sektor industri pada umumnya lebih tinggi daripada
pendapatan sektor pertanian maka elastisitas pendapatan atas
permintaan barang-barang hasil industri lebih besar daripada
atas bahan makanan pokok.
B. Permasalahan Pertanian
1. Jarak Waktu yang Lebar Antara Pengeluaran dan
Penerimaan Pendapatan dalam Pertanian
Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang
berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil-
hasil pertaniannya maupun yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian
juga merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu cara hidup
(way of live), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi
aspek-aspek sosial dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan
keagamaan serta aspek-aspek tradisi semuanya memegang
peranan penting dalam tindakan-tindakan petani. Namun
demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi
petani dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil
7
produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan-persoalan ekonomi
pertanian dan persoalan ekonomi di luar bidang ekonomi
pertanian adalah jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang
harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan
hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula disebut gestation
period, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar daripada
dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi
telah berjalan maka penerimaan dari penjualan akan mengalir
setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam
bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan
penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia
menjual ikannya. Jadi ciri khas kehidupan petani adalah
perbedaan pola penerimaan pendapatan dan pengeluarannya.
Pendapatan petani hanya diterima setiap musim panen,
sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap
minggu atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat
mendesak sebelum panen tiba.
2. Tekanan Penduduk dan Pertanian
Persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi
pertanian adalah persoalan yang menyangkut hubungan antara
pembangunan pertanian dan jumlah penduduk. Malthus dalam
tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai
persoalan-persoalan penduduk dan masalah pemenuhan
kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah
lebih cepat daripada pertambahan produksi bahan makanan.
Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi
bahan makanan hanya bertambah menurut deret hitung.
8
Persoalan penduduk di Indonesia tidak hanya dalam
kepadatannya tetapi juga pembagian antardaerah tidak
seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang
muda dengan pemusatan penduduk di kota-kota besar. Tingkat
pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi,
sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka
kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.
Ditinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan
penduduk dapat dilihat dari tanda-tanda berikut:
1. persediaan tanah pertanian yang makin kecil
2. produksi bahan makanan per jiwa yang terus menurun
3. bertambahnya pengangguran
4. memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan
bertambahnya hutang-hutang pertanian.
3. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali dipakai dalam
berbagai karangan mengenai ekonomi pertanian sebagai
terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang
berarti hidup. Pertanian yang subsisten diartikan sebagai suatu
sistem bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk
memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Namun
dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus
diingat bahwa tidak ada petani susbsisten yang begitu homogen,
yang begitu sama sifat-sifatnya satu dari yang lain. Dalam
kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam
hal luas dan kesuburan tanah yang dimilikinya dan dalam
kondisi-kondisi sosial ekonomi lingkungan hidupnya.
9
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka
memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani
susbsisten tidak berfikir dalam pengertian biaya dan
penerimaan. Mereka juga berpikir dalam pengertian itu, tetapi
tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam
kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan-
kegiatan upacara adat dan lain-lain.
C. Mekanisasi, Pemecahan Masalah Efisiensi Kerja Petani
Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya
pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya
mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses
perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian
yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke
sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan
ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar
yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia
maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan
manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah
10
nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa
teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk
tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk
antara lain pengolahan tanah, pemberian air pemilihan bibit
unggul, pemupukan, pengendlaian hama dan penyakit, dan
pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya
tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya.
Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat
profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan
permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan
permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-
masing mempunyai kekhususan yang berbeda-beda seperti
kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran dan sistem
kredit, serta efisiensi. Dari berbagai ragam tantangan dan
permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan oleh
pengamat adalah efisiensi dalam pengelolaan usaha tani
terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
1. Perlunya Efisiensi
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian,
pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia
tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat
kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia
0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika
Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya
perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh
meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah
11
produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja
(petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam
praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang
efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan
hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga
kerja dimanfaatkan se efisien mungkin dengan menggunakan
perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai
kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu
bahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal
fungsi perbaikan pertanian adalah menaikkan pendapatan,
kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya
efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang
merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan
dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah
Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani),
tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja
yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani
mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa
kejenuhan petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh
miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang
menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sektor pertanian di
Indonesia adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras
teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat teknologi yang rendah
menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses
produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi
sangat besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi.
Contoh paling sederhana adalah dalam memanen padi. Untuk 9
12
kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil panen padi
(dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka
biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan
kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan
memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh
pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan.
Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sektor
pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga
kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap
banyak tenaga manusia atau memang karena distribusi kerja
yang tidak merata.
2. Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijakan pembangunan nasional,
pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan
kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam proses
pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas
produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian.
Pembangunan pertanian diarahkan pada pengembangan sistem
pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri, maju dan
efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya
menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya
menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung
sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal
ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih
mendasar adalah mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap
13
mental dan perilaku) masyarakat industri di kalangan para
petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan
utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam
pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata).
Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada
faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana
utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan
produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya
agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima,
mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan
jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang
menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang
sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru
adalah penerapan mekanisasi pertanian (penggunaan alat dan
mesin pertanian). Sudah saatnya dimulai penerapan mekanisasi
pertanian dalam sistem pertanian nasional meskipun tetap
dilakukan secara selektif.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat
dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin
pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca
panen. Salah satu keuntungan yang diperoleh adalah terjadinya
peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber
daya alam.
3. Mekanisasi Dan Distribusi Kerja
Penggunaan alat dan mesin pertanian saat ini memang
sudah merupakan suatu kebutuhan. Efisiensi tinggi saat ini harus
mulai diperkenalkan kepada petani. Hal ini tentu beralasan
14
karena tenaga kerja yang digunakan saat ini tidak mempunyai
kesinambungan (kontinuitas). Seorang buruh tani hanya akan
dibutuhkan pada saat pengolahan tanah dan panen. Pada proses
lain mereka kurang dibutuhkan, akhirnya terjadi pengangguran
yang tidak kentara (disguised unemployment). Pembuangan
waktu yang lama dan sia-sia ini menyebabkan efisiensi menjadi
lebih rendah.
Berdasarkan data dalam Involusi Pertanian, pada saat
pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah
dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat
ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di
Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha,
Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian
traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi
di Indonesia.
Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan
waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia.
Tenaga manusia akhirnya tidak mendapat harga yang layak
sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga manusia
adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan
sekali menjadi buruh tani.
D. Strategi dan Kebijakan Pokok Pembangunan
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Dalam rangka mewujudkan tujuan dan sasaran
pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian,
15
maka strategi kebijakan yang ditempuh harus mencerminkan
visinya, yaitu: tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan. Dalam
hubungan tersebut maka strategi pokok pembangunan
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah:
1. Meningkatkan Kapasitas dan Memberdayakan SDM
serta Kelembagaan Usaha di Bidang Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian.
Salah satu permasalahan yang mendasar dalam
memajukan usaha pertanian di tanah air adalah masih lemahnya
kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan usaha
dalam hal penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran
hasil. Hal tersebut disebabkan oleh karena pembinaan SDM
pertanian selama ini lebih difokuskan kepada upaya peningkatan
produksi (budidaya) pertanian, sedangkan produktivitas dan
daya saing usaha agribisnis sangat ditentukan oleh kemampuan
pelaku usaha yang bersangkutan dalam mengelola produk yang
dihasilkan (pasca panen dan pengolahan hasil) serta
pemasarannya. Adapun beberapa kebijakan operasional terkait
dengan strategi tersebut adalah:
1. Meningkatkan penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan
pelatihan di bidang pasca panen, pengolahan serta
pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan kelembagaan usaha pelayanan pascapanen,
pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang langsung
dikelola oleh petani/kelompok tani.
2. Meningkatkan Inovasi Dan Diseminasi Teknologi
Pasca Panen Dan Pengolahan.
16
Salah satu dampak yang signifikan dari kebijakan yang
menitik beratkan kepada usaha produksi (budidaya) selama ini
adalah kurang memadainya upaya-upaya inovasi teknologi pasca
panen dan pengolahan serta diseminasinya. Hal tersebut
mengakibatkan lemahnya daya saing dan kecilnya nilai tambah
yang dapat dinikmati oleh petani, sehingga kesejahteraan tidak
meningkat dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan daya saing
dan nilai tambah produk pertanian maka perlu ditingkatkan
upaya-upaya inovasi teknologi pasca panen dan pengolahan
hasil pertanian serta diseminasinya. Dalam hubungan tersebut,
beberapa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah:
1. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan sumber-sumber
inovasi teknologi seperti lembaga riset, Perguruan Tinggi dan
bengkel-bengkel swasta dalam rangka pengembangan dan
diseminasi teknologi tepat guna.
2. Mengembangkan bengkel alsin pascapanen dan pengolahan
hasil
3. Mengembangkan sistem sertifikasi dan apresiasi
(penghargaan) terhadap inovasi teknologi yang dilakukan
oleh masyarakat.
4. Mengembangkan pilot proyek dan percontohan penerapan
teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian.
5. Memberikan penghargaan dengan kriteria mutu, rasa, skala
usaha, tampilan terhadap produk olahan yang dihasilkan oleh
para pelaku usaha.
3. Meningkatkan Efisiensi Usaha Pasca Panen,
Pengolahan Dan Pemasaran Hasil
Kunci terpenting dalam rangka meningkatkan daya saing
produk pertanian baik produk segar maupun olahan hasil
17
pertanian adalah mutu produk yang baik dan efisiensi dalam
proses produksi maupun pada tahap pemasarannya. Mutu
produk dan efisiensi akan berpengaruh langsung terhadap harga
dari setiap produk bersangkutan. Kebijakan dalam rangka
meningkatkan mutu dan efisiensi produksi dan pemasaran hasil
pertanian di antaranya adalah:
1. Revitalisasi teknologi dan sarana/ prasarana usaha pasca
panen pengolahan dan pemasaran hasil pertanian;
2. Mengembangkan produksi sesuai potensi pasar;
3. Menerapkan sistem jaminan mutu, termasuk penerapan GAP,
GHP dan GMP;
4. Mengembangkan kelembagaan pemasaran yang dikelola oleh
kelompok tani di sentra produksi;
5. Mengupayakan sistem dan proses distribusi yang efisien.
6. Memfasilitasi pengembangan kewirausahaan dan kemitraan
usaha pada bidang pemasaran hasil pertanian.
4. Meningkatkan Pangsa Pasar Baik Di Pasar Domestik
Maupun Internasional.
Pasar merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
usaha agribisnis; oleh karena itu maka pengembangan
pemasaran harus selalu dilakukan sejalan dengan
pengembangan usaha produksi. Seperti usaha industri pada
umumnya, sistem usaha produksi pertanian atau agribisnis
dimulai dengan salah satu kegiatan pemasaran yaitu Riset Pasar.
Dari kegiatan riset pasar dihasilkan informasi pasar yaitu antara
lain berupa potensi pasar dan harga. Sub sistem selanjutnya
adalah perencanaan produksi, termasuk penentuan desain
produk, volume dan waktu. Dalam sistem budidaya pertanian,
perencanaan tersebut lazim disebut sebagai penentuan pola
18
tanam atau penentuan luas tanam untuk tanaman semusim. Hal
tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas harga
produk yang bersangkutan tetap berada pada tingkat harga yang
wajar berdasarkan keseimbangan kebutuhan dan pasokan atas
produk yang bersangkutan. Sub sistem selanjutnya adalah
kegiatan pemasaran yang meliputi: promosi, penjualan dan
diakhiri dengan distribusi (delivery). Dalam hubungan tersebut
maka beberapa kebijakan dalam pengembangan pasar ialah:
1. Mengembangkan kegiatan riset pasar
2. Meningkatkan pelayanan informasi pasar;
3. Meningkatkan promosi dan diplomasi pertanian;
4. Mengembangkan infrastruktur dan sistem pemasaran yang
efektif dan adil.
5. Rasionalisasi impor produk pertanian.
6. Memfasilitasi pengembangan investasi dalam
pengembangan infrastruktur pemasaran.
5. Pendekatan Pengembangan Industri Melalui Konsep
Cluster Dalam Konteks Membangun Daya Saing
Industri Yang Berkelanjutan
Pokok-pokok rencana aksi, dalam jangka menengah
ditujukan untuk memperkuat rantai nilai (value chain) melalui
penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan nilai tambah,
peningkatan mutu, serta perluasan penguasaan pasar.
Sedangkan untuk jangka panjang difokuskan pada upaya
pembangunan industri pertanian yang mandiri dan berdaya saing
tinggi. Adapun prioritas cluster industri pertanian yang akan
dikembangkan dalam jangka menengah meliputi :
1. Pengembangan Industri yang memiliki daya saing
(Competitive Industry)
19
a. Industri Pengolahan kakao dan cokelat,
b. Industri Pengolahan Buah,
c. Industri Pengolahan Kelapa,
d. Industri Pengolahan Kopi,
e. Industri Pengolahan Tembakau,
f. Industri Kelapa Sawit, dan
g. Industri Karet dan Barang Karet
h. Industri Pasca Panen Produk Segar
2. Pengembangan Industri Strategis
a. Industri Perberasan
a. Industri Kedele
b. Industri Jagung
c. Industri Gula
d. Industri Daging dan Susu
3. Pengembangan Industri Rumah Tangga
- Industri pangan lokal, camilan dan pengolahan produk
samping.
20