21
ILMU ALAMIAH DASAR PERDAGANGAN KARBON DI ACEH D I S U S U N OLEH : NAMA: NIM : ANANDA AGUSTIAN 1201103010124 AYANG DARMAWAN 1201103010139 RIKA RIANDA 1205104010030

perdagangan karbon

Embed Size (px)

DESCRIPTION

perdagangan karbon

Citation preview

Page 1: perdagangan karbon

ILMU ALAMIAH DASARPERDAGANGAN KARBON DI ACEH

D

I

S

U

S

U

N

OLEH :NAMA: NIM :

ANANDA AGUSTIAN 1201103010124

AYANG DARMAWAN 1201103010139

RIKA RIANDA 1205104010030

T. HAIQAL MAULANA 1201103010133

Page 2: perdagangan karbon

PENDAHULUAN

Pemanasan global (global warming) yang semakin meningkat telah dan akan mengganggu

keseimbangan lingkungan hidup yang dapat membahayakan kelangsungan kehidupan manusia di

atas bumi ini. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi

dampak negatif lingkungan hidup yang disebabkannya. Salah satu upaya yang akan dilakukan

adalah melalui metode perdagangan karbon (carbon trade) secara internasional, antara lain

mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan ( Reduction Emission from

Deforestation and Forest Degradation (selanjutnya disingkat REDD).

Provinsi Aceh yang merupakan wilayah Republik Indonesia memiliki potensi perdagangan

karbon yang besar. Hal ini dikarenakan provinsi ini memiliki wilayah hutan yang luasnya

mencapai lebih dari tiga juta hektar yaitu 3.929.420 hektar (68,50%) dari luas wilayahnya, yang

dapat menghasilkan karbon untuk dijual di pasar internasional. Hal ini penting mengingat pasca

konflik yang berkepanjangan dan bencana alam tsunami, menurut data World Bank Poverty

Assessment Januari 2008 Aceh merupakan provinsi termiskin ke empat di Indonesia.

Belum lama berselang sekitar 161 wakil negara-negara di dunia berkumpul dalam konferensi

tingkat dunia di Bali yang secara khusus membicarakan kondisi dan masa depan bumi ini. Salah

satu agenda yang hangat dibicarakan adalah perdagangan karbon (carbon trade) yang diyakini

merupakan salah satu resep yang konon ampuh mengobati atau paling tidak mampu menahan

laju emisi (hasil buangan) karbondioksida yang dituduh sebagai biang pemanasan global yang

kita hadapi saat ini.

Perdagangan Karbon merupakan isu yang cukup hangat di perbincangkan di Aceh, ada pro dan

ada kontra. Banyak persepsi dan perbedaan pendapat antara pendukung keduanya. Ada juga

berpendapat bahwa perdagangan karbon adalah menjual hutan Aceh. Pertanyaannya, apakah

betul perdagangan karbon dapat disamakan dengan menjual hutan Aceh? Agenda apa yang

tersembunyi dibalik mekanisme perdagangan karbon ?.

Page 3: perdagangan karbon

Menurut Carbon trade Watch (CTW), yang merupakan bagian dari Amsterdam based

Transnational Institute menyebutkan bahwa, Carbon Trade tidak lebih dari mekanisme penebus

dosa negara-negara barat yang sudah mengotori udara dunia dengan CO2 (WRM, issues 117

April 2007). Maka, ketika mekanisme karbon trade dipopulerkan, ia tidak lebih dari sebuah

mekanisme imprealis atau penjajahan yang memaksa negara-negara berkembang untuk menjaga

hutannya. Sementara, kebijakan ini di sorot banyak pihak membuka ruang bagi Multi Nasional

Cooperation (MNC) tanpa terikat dengan aturan mekanisme carbon. Sebagai contoh, Negara

Amerika Serikat yang menolak menandatangani protokol kyoto untuk mengurangi pembuangan

karbonnya. Carbon Trade Watch (CTW) merupakan salah satu dari kelompok yang menolak

mekanisme perdagangan karbon.

Selain CTW sebagai kelompok yang menolak mekanisme perdagangan karbon, ada juga

kelompok pendukungnya. Kelompok-kelompok organisasi international sebagian besar masuk

kedalamnya, argumentasinya sederhana, perdagangan karbon (carbon trade) adalah instrumen

untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) melalui mekanisme pasar. Contohnya, negara

atau daerah yang mempunyai hak untuk konversi hutan, tapi bila tidak melakukan konversi hutan

maka negara industri siap untuk mengganti rugi nilai emisi karbon yang dihindari tersebut. Jadi

hutan tetap terlindungi dan nilai karbon yang ada di situ bisa dijual di pasar karbon internasional

dengan harga cukup bernilai.

Jika dikaji kembali kedua argumentasi tersebut, mempunyai perbedaan mendasar dalam melihat

perdagangan karbon. Kelompok kontra melihat perdagangan karbon melalui teori konspirasi

yang diyakininya benar, dengan menggunakan basis analisa attitude atau sikap politik negara-

negara maju yang cenderung menerapkan standart ganda dalam implementasi politik luar

negerinya dengan kebijakan di dalam negerinya sendiri. Selain itu, ada kecenderungan

terlibatnya lembaga-lembaga keuangan dunia yang membonceng kebijakan ini, termasuk

persoalan intervensi lembaga keuangan dunia dalam menyetir kebijakan lingkungan yang

menguntungkan mekanisme pasar bebas.

Page 4: perdagangan karbon

Sementara, kelompok pendukung perdagangan karbon cenderung berpandangan taktis, bahwa

ada atau tidaknya mekanisme perdagangan karbon hutan tetaplah harus di lestarikan. Jika

kemudian ada sebuah mekanisme pendanaan yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian

hutan, mengapa tidak dimanfaatkan. Tentunya perdebatan pro dan kontra kebijakan perdagangan

karbon tidak tepat berada pada level elite pengambil kebijakan, ataupun pada kelas menengah

atas, dan para pekerja, serta pegiat lingkungan, karena mereka bukanlah pelaku dan pemilik

tenurial hutan.

Perdagangan karbon meliputi aktivitas sebagai berikut: carbon seqestration, berupa

pengembangan kemampuan penyerapan/penyimpanan karbon melalui penanaman hutan (REDD)

antara lain berupa preferensi minimalisasi konversi hutan (deforestasi) dan peningkatan kualitas

penanaman, pelarangan penebangan hutan liar dan prevensi kebakaran hutan (degradasi);

maintaining carbon stock, berupa pelarangan penebangan hutan liar dan prevensi kebakaran baik

dihutan lindung maupun hutan konservasi; dan increasing carbon stock berupa pengayaan dan

penghutanan kembali.

Dari aspek transaksi bisnis, perdagangan karbon melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli)

dan pembayaran harga berupa jasa lingkungan untuk karbon sebagai kompensasi atas upaya

peningkatan cadangan karbon dan pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi hutan.

Suatu transaksi bisnis internasional mencakup beberapa aktivitas yaitu: perdagangan barang

lintas negara, perdagangan jasa lintas negara, transportasi orang lintas negara, perpindahan

modal lintas negara dan mekanisme pembayaran lintas negara. Untuk dapat melaksanakannya

membutuhkan landasan hukum yang memadai mulai dari tahapan persiapan awal sampai dengan

tahapan pelaksanaan operasionalnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Landasan hukum

ini meliputi pengaturan yang jelas tentang kapasitas dan kewenangan pemerintah pusat dan

daerah, hubungan antarinstansi pemerintah, insentif investasi swasta , perizinan, distribusi nilai

jual karbon, dan pengelolaan hutan.

Page 5: perdagangan karbon

Dalam hal ini diperlukan adanya entitas operasional multipihak, kejelasan status pemerintah

pusat dan daerah, keadilan dalam distribusi nilai jual, dan penyiapan payung hukum prakarsa

daerah.

A. Apa itu perdagangan karbon?

Perdagangan Karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan

CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon terdiri dari para penjual dan pembeli yang

mempunyai posisi sejajar dalam peraturan perdagangan yang sudah distandarisasi. Pembeli

adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer dan memiliki ketertarikan atau

diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui

mekanisme karbon, sedangkan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan

pertanian bisa melakukan penjualan karbonnya berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung

dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi

karbon mereka dengan menjualnya kepada emitor.

Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang

diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan (penyerap karbon, carbon

sink), negara-negara industri (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2). Jual-

beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar

internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga

kondisi hutannya. Mengapa karbon diperdagangkan ?

Pada awalnya timbul rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan oleh negara-negara yang masih

memiliki hutan dan umumnya miskin dan berkembang yang merasa selalu ditekan untuk tetap

menjaga hutannya demi kepentingan internasional tanpa memperoleh kompensasi apapun. Di

satu sisi negara-negara ini dipaksa untuk mempertahankan kondisi hutannya agar tetap berfungsi

menyerap karbon di udara sekaligus menjaga karbon yang ada di dalam tanah agar tidak lepas ke

Page 6: perdagangan karbon

udara, tapi di sisi lain negara-negara industri kaya terus saja melepas CO2 melalui kegiatan

industri mereka. Konon sekitar 85% emisi karbon yang ada di atmosfir berasal dari negara-

negara ini.

Sudah sepantasnya mereka inilah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan

pemanasan global. Nah, agar kita tidak hanya bertugas menjaga hutan saja maka disusunlah

mekanisme perdagangan karbon yang dimaksudkan sebagai kompensasi tugas jaga tersebut. Tapi

nanti dulu, dana kompensasi yang diberikan (sangat menggiurkan) tentunya menuntut

konsekwensi-konsekwensi yang harus dicermati baik-baik. Tentu saja pihak-pihak yang

berkepentingan dapat memaknainya secara lain sehingga timbul pro kontra dalam memandang

mekanisme bentuk perdagangan baru ini. Benar sekali, perdagangan ini akan sangat

menguntungkan negara-negara yang masih memiliki hutan terutama hutan tropis seperti

Indonesia. Hutan yang memenuhi syarat akan diberi kompensasi sebesar USD 5 – 20/

ha/tahun. Bisa kita bayangkan berapa dana yang dapat kita serap bila kita menjual jasa hutan

tropis yang masih kita miliki.

Namun terlepas dari nilai nominal yang ditawarkan, masih ada pihak-pihak yang curiga dan tidak

setuju terhadap mekanisme ini. Mekanisme perdagangan karbon dinilai hanya melanggengkan

jalan bagi kecurangan negara-negara industri maju. Ada yang menuduh bahwa negara-negara

industri maju rela mengeluarkan uangnya untuk mekanisme penyerapan karbon ini di negara

berkembang dengan imbalan mereka akan mendapatkan semacam surat ijin untuk tetap

mencemari udara tanpa harus menurunkan emisi karbonnya.

Di dalam negeri, kesiapan kelembagaan dalam mengkoordinasikan pengalokasian dana, kesiapan

regulasi dalam sistem pembagian hasil kompensasi, status kawasan yang tumpang tindih dan

moralitas seluruh pihak terkait berpotensi malah dapat menambah masalah. Mekanisme ini juga

disinyalir akan merugikan masyarakat adat yang akan sangat membatasi akses mereka dalam

Page 7: perdagangan karbon

mengelola hutannya sehingga konflik dengan pemerintah akan sangat mudah terjadi. Di samping

itu, mekanisme ini juga disebut sebagai bentuk pengekangan negara-negara maju dimana negara-

negara berkembang tidak bisa membangun industri-industri yang mengeluarkan emisi karena

karbon mereka telah dibeli oleh negara maju dan itu membuat ketergantungan industri terhadap

negara maju.

Terlepas dari silang pendapat ini, perdagangan karbon setidaknya secara finansial akan

menguntungkan kita. Ada tidaknya perdagangan karbon toh kita wajib menjaga dan melestarikan

hutan yang ada. Namun perlu diwaspadai apakah benar kita masih dapat menjual karbon kita?

Seberapa besar emisi yang kita hasilkan saat ini yang berasal dari industri, transportasi,

kebakaran hutan dan lahan, degradasi lahan gambut, dll. Fakta menunjukkan bahwa hanya dalam

jangka waktu 50 tahun lalu Indonesia yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa karena kekayaan

alamnya harus rela melepas gelar tersebut dicopot akibat laju deforestasi dan degradasi yang

sangat cepat, sekitar 3 juta ha/tahun atau setara dengan 300 kali luas lapangan bola/jam. Kondisi

ini memang masih tetap memantapkan posisi Indonesia sebagai pemegang pole position namun

dari titik pandang ekstrim yang berbeda sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia!

(Guinness Book of Records). Jangan-jangan Indonesia malah termasuk salah satu penghasil

karbon bukannya penyerap dan penjerap karbon?

B. Betulkah Perdagangan Karbon Merupakan Solusi Pelambatan Pemanasan Global ?

Pada dasarnya kehidupan di bumi ini eksis karena adanya efek gas rumah kaca atau dengan kata

lain kehidupan di bumi tidak akan pernah ada tanpa jasa efek gas rumah kaca. Sejatinya, efek

rumah kaca merupakan proses alami yang terjadi sehingga memungkinkan kelangsungan hidup

bagi semua makhluk di bumi. Tanpa adanya gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2),

metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan berkisar -33 derajat

Celcius.

Page 8: perdagangan karbon

Secara ringkas efek rumah kaca dapat kita analogikan dengan sederhana. Sudah pasti diantara

kita sudah pernah merasakan bagaimana ketika pertama kali memasuki sebuah mobil yang

diparkir di tempat yang panas. Suhu di dalam mobil akan terasa lebih panas daripada suhu di

luar, karena energi panas yang masuk ke dalam mobil terperangkap di dalam dan tidak bisa

keluar. Pada kondisi yang normal, efek gas rumah kaca adalah baik karena dengan demikian

bumi akan menjadi lebih hangat dan dapat menjadi tempat hidup manusia dan makhluk hidup

lainnya. Tanpa efek gas rumah kaca, bagian bumi yang tidak terkena sinar matahari akan

menjadi sangat dingin seperti di dalam freezer kulkas kita (-200C). Sejarah terbentuknya bumi

hingga bisa ditempati oleh manusia seperti saat ini sebenarnya tak lepas dari jasa efek gas rumah

kaca.

Kalau begitu, mengapa efek gas rumah kaca begitu sangat ditakuti? Mengapa efek gas rumah

kaca menjadi masalah global? Mengapa efek gas rumah kaca sampai menyentuh ranah politik

dunia?

Masalah kemudian yang timbul adalah ketika terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

pada atmosfer bumi. Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Peningkatan konsentrasi

gas ini diduga kuat karena sejak awal revolusi industri, konsentrasi CO2 pada atmosfer

bertambah mendekati 30%, konsentrasi metan melebihi dua kali lipat, konsentrasi asam nitrat

bertambah 15%. Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada

atmosfer bumi. Para ilmuwan umumnya percaya bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan

kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi

karbondioksida dan gas rumah kaca. Sumber-sumber emisi karbondioksida secara global

dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara): 36% dari industri

energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dll), 27% dari sektor transportasi, 21% dari sektor

industri, 15% dari sektor rumah tangga & jasa, 1% dari sektor lain -lain.

Page 9: perdagangan karbon

Sumber utama penghasil emisi karbondioksida secara global ada 2 macam. Pertama, pembangkit

listrik bertenaga batubara. Pembangkit listrik ini membuang energi 2 kali lipat dari energi yang

dihasilkan. Misalnya, energi yang digunakan 100 unit, sementara energi yang dihasilkan hanya

35 unit. Maka, sisa energi yang terbuang sebesar 65 unit! Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan

dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbondioksida per

tahun! Kedua, pembakaran kendaraan bermotor dan bermobil. Kendaraan yang mengkonsumsi

bahan bakar sebanyak 10 liter per 100 km dan menempuh jarak 20 ribu km, maka setiap

tahunnya akan mengemisikan 4 ton karbondioksida ke udara! Bayangkan berapa ton CO2 yang

disumbangkan kendaraan yang masuk ke atmosfer setiap tahun?

Akhirnya, skim perdagangan ini masih terus menimbulkan silang pendapat dan perdebatan.

Memang, secara ekologis dapat dijabarkan secara gamblang bahwa melalui skim perdagangan ini

setidaknya memang relatif mampu menahan laju deforestasi hutan dan degradasi lingkungan.

Namun disisi lain, dan tak kalah pentingnya, dari sisi politis dan harga diri, skim ini menggugah

rasa keadilan negara-negara produsen hutan tropis khususnya karena lagi-lagi merasa diperdayai

oleh negara-negara industri dengan hanya berperan sebagai penjaga hutan saja!

C. Perdagangan Karbon Di Aceh

Perdagangan karbon yang dimaksud tidak sama dengan menjual wilayah hutan Aceh kepada

pembeli karbon. Perdagangan karbon adalah mekanisme pendanaan yang di berikan oleh negara-

negara maju kepada negara yang melestarikan hutannya atau negara yang memberikan jasa

lingkungan dengan menjaga hutannya melalui sebuah mekanisme yang telah di atur. Dalam

kesepakatan Protokol Kyoto yang dimaksud dengan negara-negara pembeli karbon adalah

negara-negara yang masuk kedalam Annex 1 atau negara maju yang memiliki industri besar

yang menghasilkan emisi dalam skala besar, sementara hutannya telah habis. Sedangkan yang

dimaksud penjual karbon adalah negara-negara yang masih memiliki tutupan hutan atau negara

ketiga yang berkomitmen untuk mempertahankan tutupan hutannya dari ancaman konversi.

Page 10: perdagangan karbon

Hutan Aceh yang luas mempunyai fungsi yang penting sebagai bagian dari perlindungan

lingkungan hidup dan sekaligus menyimpan potensi ekonomi sumber daya alam yang dapat

meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang hidup sekitar hutan. Namun,

realitasnya hampir 50% penduduk Aceh masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sekarang ini

hutan Aceh dikelompokkan antara lain ke dalam 2 (dua) kawasan ekosistem, yaitu Kawasan

Ekosistem Leuser (KEL) dan Kawasan Ekosistem Ulu Masen (KEUM). Kedua kawasan hutan

ini direncanakan oleh Pemerintah Aceh untuk menjadi wilayah perlindungan hutan melalui

mekanisme perdagangan karbon/REDD. KEL merupakan kawasan ekosistem terbesar di Aceh,

yang sebelumnya menyatu dengan kawasan hutan Provinsi Sumatera Utara. Sekarang ini, yang

berada di wilayah Aceh saja dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/Kpts/2001

memiliki luas 2.255.577 Ha.

Pemerintah Aceh telah dan sedang melakukan negosiasi dengan beberapa pihak di luar negeri

untuk memungkinkan terlaksananya rencana perdagangan karbon/REDD hutan Aceh tersebut.

Meskipun demikian, dalam praktik ditemukan beberapa kendala, antara lain disebabkan belum

jelasnya batas-batas kewenangan antara pemerintah pusat, dan Pemerintah Aceh, dalam bidang

kehutanan. Kendala lainnya terkait potensi pertentangan antara wilayah hutan negara dengan

hutan ulayat/hutan adat, antara lain yang berada di bawah kekuasaan mukim, dan potensi

pertentangan dengan pemegang konsesi hutan dan anggota masyarakat yang sudah menempati

wilayah kawasan hutan tersebut.

Saat ini mekanisme yang digunakan adalah mekanisme CDM (Clean Development Mecanism)

atau Mekanisme Pembangunan Bersih yang merupakan product dari kesepakatan Kyoto tahun

1997. Sedangkan untuk mekanisme Non-Kyoto antara lain; Bio-Carbon Fund, Community

Development Carbon Fund, Special Climate Change Fund, Adaptation Fund, Prototype Carbon

Page 11: perdagangan karbon

Fund, CERUPT, GEF, Private Carbon Fund. Secara prinsip program-program tersebut digunakan

untuk mencegah deforestrasi lahan yang menyebabkan lepasnya carbon di atmosfer. Untuk

mekanisme non-kyoto atau dikenal dengan pasar sukarela carbon baru dapat diakses pasca

berakhirnya kesepakatan Protokol Kyoto atau setelah tahun 2012, sehingga dapat disimpulkan

bahwa, masuknya berbagai dana karbon non-kyoto kepada negara ketiga atau negara

berkembang, termasuk Indonesia merupakan sebatas isu dan wacana. Sedangkan mekanisme

CDM hanya dapat diakses oleh corporasi atau industri yang bersedia menurunkan emisinya.

Aceh dan Papua mempunyai tutupan hutan yang cukup lebat dibandingkan dengan Provinsi lain

di Indonesia. Fakta ini menyebabkan Aceh dan Papua masuk kedalam skenario perdagangan

karbon versi Pemerintah Pusat. Ada dua skenario yang didorong untuk mendapatkan dana

carbon, pertama, mendorong wilayah dengan tutupan hutan lebat untuk dipertahankan, kedua,

mendorong wilayah yang telah gundul untuk ditanami kembali.

Dalam kasus Aceh yang masih memiliki tutupan hutan yang cukup baik, akan sangat menarik

bagi pembeli karbon, karena sangat memungkinkan untuk diberikan pendanaan agar tutupan

hutan yang diclaim kepasar karbon dapat terus dipertahankan. Hutan Aceh dan Papua,

merupakan bidikan investor yang paling menarik, tergantung kesepakatan Pemerintahan Aceh

hutan bagian mana yang akan diajukan untuk menerima dana karbon.

Mekanisme perdagangan karbon untuk hutan Aceh, tentunya tidak segampang yang kita

pikirkan, ada banyak kendala, selain menunggu berakhirnya kesepakatan Protokol Kyoto pada

2012, dan mekanismenya sendiri yang belum diatur secara detail, kendala lainnya justru berasal

dari internal Pemerintah dan rakyat Aceh sendiri. Pertanyaannya, Apakah kita mau menerima

mekanisme perdagangan karbon untuk mendapatkan pendanaan sebagai kompensasi menjaga

hutan? Berapa besar persentase pembagian antara Pemerintah Pusat dan Aceh? Sejauh mana

pendanaan tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan? Penting untuk

Page 12: perdagangan karbon

memperjelas dan mempertegas posisi Aceh dalam mekanisme perdagangan karbon. Jika tidak,

akan muncul tuduhan-tuduhan sepihak tentang siapa yang menikmati kue perdagangan karbon,

padahal mekanisme perdagangan karbon sendiri belum jelas dan belum diterapkan pada wilayah

hutan.

D. Kesimpulan

Dalam merealisasikan rencana perdagangan karbon hutan Aceh di pasar internasional terdapat

beberapa alternatif bentuk entitas penyelenggara yang dapat dipilih, yang masing-masing

memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan mewakilkan kepentingan yang berbeda.

Kombinasi dari berbagai unsur dan kepentingan dapat menghasilkan sinergisitas dan

memaksimalkan kekuatan dalam pelaksanaan kegiatan. Sebagai program baru yang bersifat

rintisan peranan entitas pemerintah yang memiliki kewenangan dan dukungan politik adalah

penting, terutama dalam mengikat hubungan kerja sama dengan entitas atau unsur terkait yang

lain, termasuk masyarakat sipil (perseorangan,yayasan, dan LSM), dan sektor negara/daerah

serta swasta. Pada tahapan awal, perdagangan karbon dapat diprakarsai oleh entitas pemerintah

Aceh terkait, antara lain BPKEL atau nama lain di wilayah KEL dan KEUM, secara langsung

melalui kerja sama dengan penanaman modal untuk mendirikan suatu PT patungan dan/atau

melibatkan BUMD yang ada di Aceh. Pada tahapan berikutnya, dalam pengelolaan dana hasil

penjualan karbon tersebut dapat dibentuk suatu dana amanat (trust) yang pengelolaannya

melibatkan berbagai unsur pemegang hak dan pemangku kepentingan untuk dapat

mengembangkan dana tersebut secara produktif dan membagikan atau menyalurkannya secara

adil, terutama untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan serta pemeliharaan hutan

dalam mengurangi pemanasan global.

Pengaturan perdagangan karbon/REDD tidak hanya berkaitan dengan kehutanan dan lingkungan

hidup, tetapi berkaitan dengan aspek keuangan dan bisnis. Dalam hal yang terakhir ini penting

adanya pembagian yang adil kepada setiap pemegang hak dan pemangku kepentingan atau untuk

tujuan yang diinginkan tersebut, sehingga tercapainya pembagian yang adil (fair distribution). Di

negara berkembang, distribusi pembagian REDD yang tidak adil dapat meningkatkan

Page 13: perdagangan karbon

kesenjangan pendapatan dan merugikan serta memiskinkan masyarakat yang bergantung pada

hutan sehingga memicu konflik, kerena mereka akan kehilangan kepastian mata pencaharian.

E. Saran

Pemerintah Aceh dan pihak terkait dalam rencana perdagangan karbon/REDD hutan Aceh di

pasar internasional perlu meningkatkan sosialisasi rencana program dan melibatkan semua

pemegang hak dan pemangku kepentingan di dalam proses dari awal sampai dengan

penyelesaian pembagian pendapatan. Hal ini penting adanya pemegang han dan pemangku

kepentingan selain Pemerintah Aceh yang terlibat, dan untuk adanya pembagian pendapatan

yang adil, terutama untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan kelanjutan

pemeliharaan hutan.

Page 14: perdagangan karbon

F. Daftar Pustaka