75
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6 TUNGGAL PADA PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN UMMUL QURA Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN Oleh : Hana Qonita NIM: 1112103000054 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI SALEP 3-6 …€¦ · Laporan Penelitian berjudul PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI

    KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10%

    DENGAN SALEP 3-6 TUNGGAL PADA

    PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN

    UMMUL QURA

    Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

    Oleh :

    Hana Qonita

    NIM: 1112103000054

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1436 H/2015

  • PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI

    KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10%

    DENGAN SALEP 3-6 TUNGGAL PADA

    PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN

    UMMUL QURA

    Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

    Oleh :

    Hana Qonita

    NIM: 1112103000054

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1436 H/2015 M

  • ii

    LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

    memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

    merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Ciputat, 11 September 2015

    Hana Qonita

  • iii

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

    PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI

    SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6

    TUNGGAL PADA PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK

    PESANTREN UMMUL QURA

    Laporan Penelitian

    Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

    Kedokteran (S.Ked)

    Oleh

    Hana Qonita

    NIM: 1112103000054

    Pembimbing I Pembimbing II

    dr. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dr. Rahmatina, Sp.KK

    NIP. 19790526 200501 2 005

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1436 H/2015 M

  • iv

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Laporan Penelitian berjudul PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI

    KOMBINASI SALEP 3-6 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 3-6

    TUNGGAL PADA PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN

    UMMUL QURA yang diajukan oleh Hana Qonita (NIM: 1112103000054), telah

    diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 11

    September 2015. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat

    memperoleh gelas Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan

    Dokter.

    Ciputat, 11 September 2015

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat

    dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta

    salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

    kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman.

    Penulisan skripsi dengan judul “Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 3-6

    dan Sabun Sulfur 10% Dibandingkan Salep 3-6 Tunggal Pada Pengobatan Skabies

    di Pondok Pesantren Ummul Qura” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

    memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,

    bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan

    ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

    1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

    Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT selaku ketua Program Studi Pendidikan

    Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah

    membantu dan segenap dosen yang telah memberikan ilmu

    pengetahuan yang sangat berguna bagi saya.

    3. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS dan dr. Flori Ratna Sari,

    Ph.D selaku penanggung jawab modul riset angkatan 2012 Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang telah

    membimbing saya dan teman sejawat PSPD 2012 dalam penyusunan

    skripsi ini.

    4. dr. Raendi Rayendra, Sp.KK, M.Kes dan dr. Lucky Briliantina,

    M.Biomed selaku penguji sidang skripsi, yang telah memberikan kritik

    dan saran serta perbaikan penulisan yang membangun penyusunan

    skripsi ini.

    5. dr. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed dan dr. Rahmatina, Sp.KK

    selaku pembimbing penelitian, yang telah memberikan perhatian,

  • vi

    bimbingan, nasihat, pengarahan dan masukan yang berharga salam

    penyusunan skripsi ini.

    6. Ibu Uswatun Chasanah selaku Pimpinan Pondok Pesantren Ummul

    Qura beserta seluruh peserta penelitian atas kerja sama dan ketekunan

    selama menjalani pemeriksaan sesuai jadwal sehingga penelitian ini

    terlaksana dengan baik.

    7. Kedua orang tua saya yaitu Ir. Arlin Salim dan Dr. Nursanita Nasution,

    S.E, M.Ak serta saudara kandung saya yaitu Faris Faruqi, S.E, Hadi

    Sabila Rosyad, S.E, Muhammad Yasin, S.Kom, Zaid Robbany, S.Si,

    Umair Nasrullah dan Fathia Zahra yang telah memberikan dukungan,

    doa, nasihat, dan bimbingan seumur hidup saya serta kerja keras dan

    kasih sayangnya yang selalu menjadi alasan saya untuk terus berkarya.

    8. Alfriyadi Rafles, Firda Fakhrena, Irwana Arif, Atina Nabila dan teman

    sejawat PSPD UIN 2012 yang telah membantu, memberikan bantuan,

    semangat, masukan serta berjuang bersama untuk menyelesaikan

    skripsi ini.

    Semoga segala keikhlasan dan kebaikan yang saya terima selama ini

    mendapat balasan dan karunia yang tiada henti dari-Nya.

    Akhir kata, harapan saya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

    pembaca dan dengan kebesaran hati saya menerima kritik dan saran.

    Ciputat, 11September 2015

  • vii

    ABSTRAK

    Hana Qonita. Pendidikan Dokter. Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi

    Salep 3-6 dan Sabun Sulfur 10% Dengan Salep 3-6 Tunggal Sebagai Pengobatan

    Skabies. 2012.

    Latar Belakang: Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

    infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei. Prevalensi skabies di

    Indonesia sebesar 4,60%-12,95% termasuk peringkat ketiga dari 12 penyakit kulit

    lain. Angka kesembuhan pada penelitian Irma Binarso (1991) di panti asuhan

    Semarang mencapai 69,05% dengan menggunakan salep 2-4. Sedangkan

    kombinasi salep sulfur dan sabun non sulfur pada uji klinis oleh Alebiosu dkk di

    Nigeria (2003) sebesar 100 %. Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi kombinasi

    salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dibandingkan salep 3-6 tunggal dalam

    kesembuhan klinis. Metode: Penelitian ini adalah penelitian uji klinis yang

    dilakukan di Pondok Pesantren Ummul Qura, Tangerang Selatan selama 3 minggu.

    Salep sulfur digunakan selama 3 hari dan sabun sulfur 10% digunakan 2 kali sehari

    selama 3 minggu. Follow up dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21. Hasil: Angka

    kesembuhan kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dibandingkan

    salep 3-6 tunggal pada follow up 1 84,6% dan 100% (p=0,283), follow up 2 100%

    dan 100%, dan follow up 3 83,3% dan 75% (p=0,585). Kesimpulan: Tidak ada

    perbedaan kesembuhan klinis skabies antara kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur

    10% dengan salep 3-6 tunggal.

    Kata Kunci: Skabies, Salep 3-6, Salep Sulfur 6%, Sabun Sulfur 10%,

    Kesembuhan Klinis.

    ABSTRACT

    Hana Qonita. Medical Education Program. The Effectiveness of Combination

    Therapy of Sulphur Ointment 3-6 and Sulphur Soap 10% Versus Ointment 3-6

    Only For Scabies Treatment.

    Background: Scabies is a skin diseasae caused by the infection and

    infestation by Sarcoptes scabiei. The prevalence of scabies in Indonesia is about

    4,60%-12,95% in percentage. It is the third most common case among the other 12

    of skin disease in the country. The clinical cure of clinical trial study of ointment

    product by Alebiosu et.al.in Nigeria (2003) using the combination of sulphur

    benzoyl peroxide ointment and non sulphur soap is 100% in percentage.

    Objective: To determine the effectiveness comparasion of clinical cure by

    applying the combination of ointment 3-6 and sulphur soap 10% versus ointment

    3-6 only against scabies disease. Method: This study is clinical study at Ummul

    Qura Boarding School in South Tangerang done in 3 weeks. Sulphur ointment is

    used for 3 days and sulphur soap 10% is used twice a day for 3 weeks. Follow-ups

    are done on day 7, 14 and 21. Result: The percentage of clinical cure with

    combination therapy of ointment 3-6 and sulphur soap 10% versus ointment 3-6

    only are during follow up 1 84,6% and 100% (p=0,283), follow up 2 100% and

    100% and follow up 3 83,3% and 75%. Conclusions: There were no difference of

  • viii

    clinical cure between the combination therapy of ointment 3-6 and sulphur soap

    10% versus ointment 3-6 only in the treatment of scabies.

    Keywords: Scabies, Ointment 3-6, Sulphur Ointment 6%, Sulphur Soap 10%,

    Clinical Cure.

  • ix

    DAFTAR ISI

    LEMBAR JUDUL ................................................................................................... i

    LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................. ii

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

    ABSTRAK ............................................................................................................. vii

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi

    DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

    DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiii

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3

    1.3 Hipotesis ......................................................................................................... 3

    1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3

    1.4.1 Tujuan Umum .......................................................................................... 3

    1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................................................... 3

    1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5

    2.1 Skabies ............................................................................................................ 5

    2.1.1 Definisi .................................................................................................... 5

    2.1.2 Etiologi .................................................................................................... 5

    2.1.2.1 Siklus Hidup ..................................................................................... 5

    2.1.2.2 Transmisi .......................................................................................... 7

    2.1.3 Faktor risiko ............................................................................................. 8

    2.1.4 Patogenesis .............................................................................................. 8

    2.1.5 Gejala klinis ........................................................................................... 10

    2.1.6 Diagnosis ............................................................................................... 12

    2.1.7 Tatalaksana ............................................................................................ 13

    2.1.7.1 Obat Topikal ................................................................................... 14

    a. Permetrin .................................................................................... 14

    b. Lindane ...................................................................................... 14 c. Benzyl Benzoate ......................................................................... 15

    d. Crotamiton ................................................................................. 15

    e. Malation ..................................................................................... 16

    f. Sulfur ......................................................................................... 16

    2.1.7.2 Obat oral ......................................................................................... 17

    a. Ivermectin .................................................................................. 17

    2.1.8 Komplikasi............................................................................................. 19

    2.1.9 Pencegahan ............................................................................................ 20

    2.1.10 Prognosis ............................................................................................... 20

    2.2 Salep 3-6 ....................................................................................................... 21

    2.2.1 Asam Salisilat ........................................................................................ 21

  • x

    2.2.2 Sulfur ..................................................................................................... 22

    2.3 Kerangka teori .............................................................................................. 24

    2.4 Kerangka konsep .......................................................................................... 24

    2.5 Definisi Operasional ..................................................................................... 25

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 27

    3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ......................................................... 27

    3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 27

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 27

    3.3.1 Jumlah Sampel ....................................................................................... 27

    3.3.2 Cara Pengambilan Sampel ..................................................................... 28

    3.3.3 Kriteria Sampel ...................................................................................... 28

    3.3.3.1 Kriteria Inklusi ................................................................................ 28

    3.3.3.2 Kriteria Ekslusi ............................................................................... 28

    3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO) .................................................................. 29

    3.4 Variabel ........................................................................................................ 29

    3.4.1 Variabel Bebas ....................................................................................... 29

    3.4.2 Variabel terikat ...................................................................................... 29

    3.5 Alat dan Bahan ............................................................................................. 29

    3.5.1 Alat ........................................................................................................ 29

    3.5.2 Bahan ..................................................................................................... 29

    3.6 Cara Kerja Penelitian .................................................................................... 29

    3.7 Alur Penelitian .............................................................................................. 31

    3.8 Manajemen Data ........................................................................................... 32

    3.8.1 Pengumpulan Data ................................................................................. 32

    3.8.2 Pengolahan Data .................................................................................... 32

    3.8.3 Analisa Data .......................................................................................... 32

    3.8.4 Rencana Penyajian Data ........................................................................ 32

    3.9 Etika Penelitian ............................................................................................. 32

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 33

    4.1 Prevalensi Skabies di pondok pesantren. ...................................................... 34

    4.2 Karakteristik penderita.................................................................................. 35

    4.2.1 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin ..................................... 35

    4.2.2 Distribusi penderita berdasarkan usia .................................................... 36

    4.2.3 Distribusi penderita berdasarkan tingkat pendidikan ............................ 37

    4.3 Hasil Uji Klinis ............................................................................................. 38

    4.4 Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 42

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 43

    5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 43

    5.2 Saran ............................................................................................................. 44

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45

    LAMPIRAN .......................................................................................................... 49

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. 61

  • xi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei. ............................. 5

    Gambar 2.2 Siklus hidup Sarcoptes scabiei. ........................................................... 7

    Gambar 2.3 Patogenesis hipersensitivitas tipe 4. .................................................. 10

    Gambar 2.4 Predileksi skabies. ............................................................................. 11

    Gambar 2.5 Gambaran umum lesi skabies dan terowongan pada sela-sela jari

    dan buku-buku jari. .......................................................................... 12

    Gambar 2.6 Gambaran tungau betina gravid, telur, dan skibala tungau pada

    pemeriksaan mikroskopik dari kerokan kulit. .................................. 13

    Gambar 2.7 Alur penatalaksanaan skabies............................................................ 19

    Gambar 2.8 Struktur kimia asam salisilat. ............................................................ 21

    Gambar 4.1 Perbandingan proporsi angka kesembuhan klinis pada kelompok

    kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur dengan kelompok salep 3-6

    tunggal pada follow up 3 minggu. .................................................... 40

    Gambar 4.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap

    obat.. ................................................................................................. 41

  • xii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Pengobatan untuk Skabies ..................................................................... 18

    Tabel 4.1 Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura .......................... 34

    Tabel 4.2 Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin. ....................... 35

    Tabel 4.3 Distribusi penderita skabies berdasarkan usia ....................................... 36

    Tabel 4.4 Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan ................ 37

    Tabel 4.5 Uji beda kesembuhan pada kedua kelompok penelitian. ....................... 38

  • xiii

    DAFTAR SINGKATAN

    CDC : Center for Disease Control and Prevention

    CD : Cluster of Differentiation

    CD4+ : Helper T Cells

    CD8+ : Killer T Cells

    APC : Antigen Presenting Cells

    IFN : Interferon

    IL : Interleukin

    NK : Natural Killer

    PCR : Polymerase Chain Reaction

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Indonesia berada di garis katulistiwa pada belahan dunia bagian timur,

    tepatnya pada koordinat 06°LU-11°LS dan 94°-141°BT. Oleh karena itu Indonesia

    beriklim tropis serta memiliki kelembaban yang tinggi, yaitu diatas 60%

    berdasarkan data Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

    Sebagai negara yang beriklim tropis dan kelembaban yang tinggi, salah

    satu penyakit yang memiliki prevalensi tinggi di Indonesia adalah penyakit

    parasitik. Hal ini disebabkan karena kelembaban tersebut menunjang organisme

    parasit untuk hidup. Salah satu penyakit parasitik yang menjadi masalah kesehatan

    di Indonesia adalah skabies atau biasa dikenal kudis atau gudik.

    Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)

    pada tahun 1986, skabies merupakan penyakit kulit tersering peringkat ketiga dari

    12 penyakit kulit lain dengan prevalensi sebesar 4,60%-12,95%.1 Survei yang

    dilakukan di sebuah Rumah Tahanan Negara, Medan menunjukkan prevalensi

    skabies tahun 2009-2011 sebesar 42,9%.2 Berdasarkan data dari 9 rumah sakit di 7

    kota besar di Indonesia pada tahun 2001, Jakarta merupakan daerah dengan

    prevalensi skabies tertinggi yaitu 335 kasus di tiga rumah sakit menurut Kelompok

    Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI).3 Di Rumah Sakit Cipto

    Mangunkusomo (RSCM) tahun 1988, dari 704 kasus skabies didapatkan 5,77%

    kasus baru.4 Sementara, prevalensi skabies pada tahun 1989 sebesar 6% dan tahun

    1990 sebesar 3,9%.4 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari

    dan Saleha Sungkar di sebuah pondok pesantren X, Jakarta Timur pada tahun 2014

    didapatkan prevalensi skabies sebesar 51,60% dengan kepadatan hunian tinggi.5

    Dari prevalensi di atas, skabies umumnya ditemukan di daerah yang padat

    penduduk dan diderita oleh sekelompok orang yang tinggal bersama yaitu seperti

    asrama, pondok pesantren, panti, rumah tahanan, dan lain-lain.

  • 2

    Pengobatan skabies yang sering dipakai di Indonesia yaitu krim permetrin

    5 % dan salep sulfur. Permetrin merupakan obat lini pertama karena efektif dalam

    membunuh semua stadium skabies dan memiliki efek toksik yang rendah. Tetapi

    harga obat krim permetrin di Indonesia tergolong mahal. Salep 3-6 adalah obat

    salep yang mengandung asam salisilat dan sulfur dengan perbandingan 1:2.

    European Guideline Scabies tahun 2010 merekomendasikan regimen sulfur 6-33%

    sebagai antiscabicid dan tersedia dalam sediaan yang bervariasi.13

    Salep Sulfur

    merupakan obat yang dapat membentuk hydrogen sulfida dan asam pentationat

    pada jaringan hidup yang bersifat toksik terhadap tungau.32

    Salep Sulfur 6% lebih

    dipilih dan direkomendasikan sebagai terapi skabies.16

    Sulfur tidak efektif terhadap

    stadium telur sehingga dalam pemakaian obat ini harus digunakan lebih dari 3 hari

    berturut-turut.12,13,16,25,26

    Kekurangan dari obat salep sulfur adalah berbau,

    mengotori pakaian dan kadang menimbulkan iritasi.16,37

    Tetapi harga salep sulfur

    lebih terjangkau dan lebih mudah didapat serta merupakan pilihan untuk terapi

    massal.16

    Dari penelitian yang dilakukan Moh. Amer dkk (1981), angka

    kesembuhan mencapai 81,8% dengan menggunakan salep sulfur 5% dan angka

    kesembuhan pada penelitian Irma Binarso di panti asuhan Semarang mencapai

    69,05% dengan menggunakan salep 2-4 dan gameksan 1%.6

    Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alebiosu dkk tentang uji klinis

    produk salep yang mengandung Sulfur Benzoyl Peroksida (Sulfur BP) di Nigeria

    tahun 2003 melaporkan sebanyak 41 (87,2%) dari 47 penderita skabies sembuh

    dengan aplikasi salep selama 5 minggu.7 Dalam uji klinis tersebut juga

    mengaplikasikan kombinasi salep yang mengandung Sulfur BP dengan sabun non

    sulfur pada penderita skabies selama 6 minggu.7 Sebanyak 12 (100%) penderita

    yang diberikan terapi kombinasi tersebut semuanya sembuh.7 Pada tahun 1940,

    dilaporkan kasus skabies yang diterapi menggunakan sabun sulfur 18% dalam

    sabun.8 Dalam 18 bulan sebanyak lebih dari 400 kasus skabies telah diterapi oleh

    klinik dermatologi Rumah Sakit Ventura Country menggunakan sulfur

    presipitatum 18% dalam sabun.8

    Di Indonesia belum pernah dilaporkan penggunaan sabun sulfur untuk

    terapi skabies baik hanya sabun sulfur maupun kombinasi salep sulfur dan sabun

  • 3

    sulfur. Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan

    dengan observasi dan studi eksperimental untuk mengetahui perbandingan

    efektivitas terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dengan salep 3-6

    tunggal pada pengobatan skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura.

    1.2 Rumusan Masalah

    Apakah terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% lebih efektif

    dibandingkan salep sulfur 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok

    Pesantren Ummul Qura?

    1.3 Hipotesis

    Terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% lebih efektif

    dibandingkan salep sulfur 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok

    Pesantren Ummul Qura.

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi kombinasi salep 3-6 dan

    sabun sulfur 10% dengan salep 3-6 tunggal pada pengobatan skabies di Pondok

    Pesantren Ummul Qura.

    1.4.2 Tujuan Khusus

    1. Mengetahui prevalensi penyakit skabies di Pondok Pesantren Ummul

    Qura.

    2. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan jenis kelamin di

    Pondok Pesantren Ummul Qura.

    3. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan usia di Pondok

    Pesantren Ummul Qura.

    4. Mengetahui distribusi penyakit skabies berdasarkan tingkat pendidikan di

    Pondok Pesantren Ummul Qura.

    5. Mengetahui perbandingan efektivitas kombinasi salep 3-6 dan sabun

    sulfur 10% dibandingkan dengan salep 3-6 tunggal pada pengobatan

    skabies di Pondok Pesanten Ummul Qura

  • 4

    1.5 Manfaat Penelitian

    1. Memberikan informasi dan edukasi kesehatan terutama warga Pondok

    Pesantren Ummul Qura dan masyarakat sekitar.

    2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi penelitian

    selanjutnya mengenai skabies terutama di lingkungan Pondok Pesantren

    Ummul Qura.

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Skabies

    2.1.1 Definisi

    Skabies atau penyakit kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh

    infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varietas hominis.9,10,14,17

    2.1.2 Etiologi

    Sarcoptes scabiei adalah arthropoda yang termasuk kelas Arachnida,

    subclass Acari, ordo Astigmata, family Sarcoptida.14

    Tungau ini merupakan parasit

    obligat yang seluruh siklus hidupnya ada di manusia.9

    Arthropoda ini adalah

    organisme yang bertelur dan ukuran tungau betina dewasa sekitar 0,3-0,45 mm x

    0,25-0,35 mm sedangkan tungau jantan dewasa berukuran lebih kecil yaitu sedikit

    lebih besar dari setengah ukuran tungau betina.14

    Tungau dewasa berbentuk oval

    seperti mutiara, transparan, putih, dan tanpa mata.14,38

    Bentuk larva dan nimpa

    menyerupai tungau dewasa tetapi ukurannya lebih kecil.14

    Tungau dewasa

    memiliki 4 pasang kaki yang pendek sedangkan larva memiliki 3 pasang kaki.14,38

    Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei. Sumber: CDC,

    2010. Diakses dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/index.html.

    2.1.2.1 Siklus Hidup

    Siklus hidup Sarcoptes scabiei seumur hidup pada kulit manusia.38

    Siklus

    hidup tungau terdiri dari 4 stadium yaitu telur, larva, nimpa dan tungau dewasa.10

    1. Tungau betina dewasa membuat terowongan dengan mengunyah dan

    menggerakkan tubuhnya di stratum korneum sampai batas stratum

    http://www.cdc.gov/parasites/scabies/index.html

  • 6

    2. granulosum kemudian meletakkan telur-telurnya pada 1cm panjang

    terowongan sekitar 2-3 telur setiap hari.10,38

    Bentuk telur oval dengan

    panjang 0,10 – 0,15 mm. Telur menetas dalam 3 sampai 4 hari.10

    3. Setelah telur menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali

    terowongan pendek ke dalam stratum korneum yang disebut molting

    pouches.10

    Larva hanya mempunyai 3 pasang kaki. Stadium larva

    berlangsung selama 3 sampai 4 hari, kemudian mengalami pergantian

    kulit.10

    4. Setelah berganti kulit, larva berubah menjadi nimpa dengan 4 pasang

    kaki.10

    Larva dan nimpa dapat ditemukan di molting pouches atau di

    folikel rambut dan terlihat seperti tungau dewasa tetapi lebih kecil.10

    5. Tungau dewasa melakukan perkawinan di molting pouches.10 Tungau

    jantan dewasa masuk ke molting pouches yang dibuat oleh tungau betina

    kemudian meninggalkan tungau betina.10

    Kemudian tungau betina yang

    telah dibuahi meninggalkan molting pouches dan menggembara di

    permukaan kulit sampai menemukan tempat yang cocok untuk menggali

    terowongan yang permanen.10

    Setelah tungau betina dewasa menemukan

    tempat yang cocok, tungau tersebut menggali terowongan yang berkelok-

    kelok kemudian meletakkan telur-telurnya sepanjang hidupnya selama 1-2

    bulan.10

    Sekitar 10% dari telur-telur tersebut berkembang menjadi tungau

    dewasa.10

    Tungau jantan hidup di permukaan kulit dan memasuki

    terowongan untuk melakukan perkawinan.38

    Tungau jantan membuat

    lubang dangkal di kulit sampai menemukan terowongan tungau betina.10

    Tungau-tungau jantan ini jarang terlihat.10

  • 7

    Gambar 2.2 Siklus hidup Sarcoptes scabiei. Sumber: CDC, 2010. Diakses dari:

    http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html.

    Masa inkubasi sebelum timbul gejala klinis pada penderita skabies adalah

    3 sampai 6 minggu untuk infestasi yang pertama kali.9 Tetapi mungkin bisa

    sesingkat 1-2 hari pada kasus infestasi berulang.17

    2.1.2.2 Transmisi

    Tungau ini tidak dapat terbang atau lompat tetapi merayap sejauh 2,5 cm

    per menit di atas permukaan kulit yang kering.14

    Tungau dapat bertahan hidup

    selama 24 sampai 36 jam pada suhu ruangan dan kelembaban rerata.14

    Cara

    penularan tungau ini dapat secara langsung yaitu kontak langsung antara kulit

    dengan kulit, kontak seksual atau tidak langsung melalui benda yaitu pakaian,

    seprai dan lain-lain.14,17

    Tranmisi secara tidak langsung melalui benda mati terjadi

    paling nyata pada crusted scabies.38

    Kondisi ini sangat menular dan siapapun

    yang berada di sekitar penderita berisiko terinfestasi tungau.38

    Sekitar 6000

    tungau/g per debris dari setiap seprai, lantai, gorden, kursi telah terdeteksi.38

    Pada

    sebuah penelitian menunjukkan bahwa tungau betina yang baru fertilisasi adalah

    yang paling utama pada transmisi karena tungau betina dewasa jarang

    meninggalkan terowongan.17

    Transmisi utama adalah perpindahan tungau betina

    yang telah dibuahi.14

    Lebih dari 90% tungau yang imatur mati sebelum mencapai

    tahap tungau dewasa.17

    Pada infestasi pertama kali, peningkatan jumlah Sacroptes scabiei terjadi

    selama lebih dari 4 minggu telah dilaporkan, biasanya 10-15 tungau (sekitar 3-50)

    yang hidup di host.17,21

    Sebaliknya, pada kasus yang lebih parah yaitu crusted

    scabies, jumlah tungau sangat banyak sekitar ratusan sampai jutaan tungau yang

    http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html

  • 8

    berinfestasi dan terjadi penebalan kulit pada penderita dikarenakan gangguan

    imun atau respon sensorik.17,21,38

    Transmisi langsung dapat terjadi selama 15-20 menit dengan kontak

    dekat. Pada iklim tropis dengan suhu 30oC dan kelembaban relatif 75%, tungau

    betina dapat bertahan hidup selama 55-67 jam diluar host.17

    Dengan demikian,

    tungau betina berpontensi untuk bertransmisi secara tidak langsung.17

    Telur

    Sarcoptes scabiei dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah lebih dari 10 hari

    diluar host.17

    Hal ini juga memungkinan telur berpotensi sebagai sumber

    transmisi.17

    2.1.3 Faktor risiko

    Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian skabies adalah usia, jenis

    kelamin, ras, hunian padat, higienitas, dan iklim.17

    Semua kelompok umur dapat

    terkena skabies, karena penularan dapat terjadi melalui transimisi langsung dan

    tidak langsung.33

    Pada penelitian Nanda (2014) terdapat hubungan antara umur

    dengan kejadian skabies, bahwa semakin umur mendekati remaja mempunyai

    risiko terkena skabies (OR=2,263).20

    Beberapa faktor dapat membantu

    penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas,

    diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitisasi individual.34

    Tingkat pendidikan juga mempengaruhi prevalensi penyakit di komunitas.5

    Individu dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko tertular penyakit

    skabies.18

    2.1.4 Patogenesis

    Tungau, telur, skibala atau feses tungau berperan sebagai iritan yang akan

    merangsang sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen-

    komponennya.17,21,35

    Selama 3-4 minggu pertama setelah infestasi pertama

    biasanya asimptomatik. Tetapi pada infestasi berulang, gejala klinis mungkin

    muncul lebih cepat sekitar 1-2 hari.17

    Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sistem imun spesifik lainnya

    belum memberikan respon.22

    Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem

    imun nonspesifik yaitu inflamasi.22

    Tanda inflamasi adalah kemerahan pada kulit,

    panas, nyeri, bengkak dan fungsio laesa.22,23,24

    Hal ini disebabkan karena

    pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin, dan mediator lainnya yang

  • 9

    berasal dari mastosit.22,24

    Mediator-mediator ini menyebabkankan gatal pada

    kulit.22

    Mediator-mediator lain yang juga berperan adalah prostaglandin, kinin

    dan faktor kemotaktik seperti C5a, histamine, leukotrien.22,24

    Faktor kemotaktik

    akan menarik fagosit ke tempat inflamasi.22,24

    Prostaglandin dan kinin

    meningkatkan permeabilitas endotel sehingga fagosit seperti neutrofil dan

    monosit akan menghancurkan antigen.22,24

    Bila proses inflamasi oleh sistem imun non spesifik belum dapat

    mengatasi infestasi tungau, maka imunitas spesifik akan terangsang.36

    Sistem

    imun spesifik yang berperan adalah reaksi delayed type hypersensitivity

    (Hipersensitivitas tipe lambat) atau Hipersensitivitas tipe 4.17,21

    Pada reaksi hipersensitivitas tipe 4, ketika pertama kali terekspos terhadap

    antigen protein dari Sarcoptes scabiei.17,21

    Hasil scabies gene discovery project

    didapatkan bahwa alergen Sarcoptes scabiei homolog dengan tungau debu

    rumah.17

    Sel CD4+ mengenali antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada

    permukaan APC kemudian berdiferensiasi dari sel T CD4+ menjadi sel

    Th1.22,23,24

    Pada skabies respon imun didominasi oleh sel Th1 dengan sel T

    CD4+, sedangkan pada crusted scabies respon imun yang mendominasi adalah

    sel Th2 dan sel efektor predominan di kulit kemungkinan sel T CD8+.17

    Beberapa

    sel Th1 masuk ke sirkulasi dan berada pada pool memori sel T untuk waktu yang

    lama.22,23,24

    Sel-sel Th1 ini akan menyekresikan sitokin terutama IFN-γ, yang

    bertanggung jawab terhadap ekspresi hipersensitivitas tipe lambat.22,23,24

    Pada

    analisis level sitokin, rasio IFN-γ/IL-4 tinggi pada skabies dan menstimulasi

    peripheral blood mononuclear cells (PBMCs).17

    Sedangkan pada crusted scabies,

    kadar IL-5 dan IL-3 tinggi dan menstimulasi PBMCs.17

    Ekspresi hipersensitivitas

    tipe lambat ini bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel

    Th1.22,23,24

    Sitokin-sitokin yang dihasilkan dan efek yang ditimbulkan adalah sebagai

    berikut.22,23,24

    IFN-γ mengaktivasi makrofag. Paling penting sebagai aktivator makrofag

    yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi

    antigen yang menyerang. IFN-γ juga akan memperbanyak diferensiasi sel

    Th1.

  • 10

    IL-12 adalah sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik. Sekresi

    sitokin ini menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. IL-12

    juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK.

    Il-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T.

    TNF dan limfotoksin akan meningkatkan sekresi dari prostasiklin, yang

    meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal. Selain

    itu, terjadi peningkatan ekspresi P-E-Selektin, molekul adhesi yang

    mempromosikan penempelan limfosit dan monosit. Efek lain yang

    ditimbulkan adalah induksi dan sekresi kemokin seoerti IL-8.

    Kemokin diproduksi oleh sel T dan makrofag. Kemokin ini akan merekrut

    lebih banyak lagi leukosit.

    Gambar 2.3 Patogenesis hipersensitivitas tipe 4. Sumber: Goldys RA et al.

    Immunology 5th

    Ed, 2003, p 384.

    Pada sebuah ekperimen menunjukkan bahwa tungau skabies dapat

    menurunkan regulasi dari ekspresi banyak sitokin dan molekul adhesi dari sel

    keratinosit epidermis kulit, fibroblast dermis, dan sel endotel mikrovaskular

    dermis.17

    2.1.5 Gejala klinis

    Gejala klinis yang timbul disebabkan oleh reaksi imun host terhadap

    tunggau betina yang menggali lubang ke dalam kulit dan produk dari tungau.11

    Gejala klinis pada skabies adalah sebagai berikut.

    1. Gatal hebat terutama saat malam hari.11,12,17, 25

  • 11

    2. Gatal dapat timbul lebih dari 6 minggu setelah infeksi.9,17,25.

    3. Pada individu dengan immune compromised, gatal mungkin tidak

    ada.17,25

    4. Lesi yang paling sering timbul adalah papula kecil.25 Lesi yang timbul

    adalah papul, vesikel, pustul dan nodul.11

    5. Lokasi papul dan terowongan yang disebabkan oleh tungau ini dapat

    ditemukan di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, lipat

    ketiak bagian depan, siku, bokong, genitalia eksterna, lipat

    payudara.12,25,38

    Pada anak yang masih muda, sebagian bayi dan lansia,

    infestasi terdapat terjadi di leher , kepala, telapak kaki, dan telapak

    tangan.25,38

    Gambar 2.4 Predileksi skabies. Sumber: CDC, 2010. Diakses dari:

    http://www.cdc.gov/parasites/scabies/biology.html

    6. Ambang gatal pada setiap individu berbeda. Mungkin pada beberapa

    individu tidak ada gatal.25

    Individu seperti ini disebut sebagai karier.38

    7. Luka pada kulit diakibatkan oleh garukan yang berpotensi untuk infeksi

    bakteri. Hal ini merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.25

  • 12

    Gambar 2.5 Gambaran umum lesi skabies dan terowongan pada sela-sela jari dan

    buku-buku jari. Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2012.

    2.1.6 Diagnosis

    Terdapat 4 tanda kardinal untuk menegakkan diagnosis yaitu sebagai

    berikut.12

    1. Pruritus nokturna, aktivitas tungau lebih tinggi pada malam

    hari.12,25,26

    2. Menyerang manusia secara kelompok, misalnya tinggal di asrama,

    panti asuhan dan sebagainya.12

    3. Adanya terowongan (kunikulus) berwarna putih atau keabu-abuan,

    garis lurus atau berkelok, panjang sekitar 1 cm, pada ujung

    terowongan terdapat papul atau vesikel.12

    Bentuk terowongan yang

    pendek, lurus atau kadang berkelok-kelok biasanya sulit ditemukan

    pada tahap awal penyakit atau penderita memiliki eksoriasis pada

    lesi.26,38

    4. Menemukan tungau pada stadium hidup tungau ini.12,17,25

    Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal

    tersebut.12

    Pada komunitas di iklim tropis, skabies normal kemungkinan sulit

    untuk di diagnosis di setiap pasien. Oleh karena itu dibedakan dari penyebab gatal

    dan bentuk papul.17

    Untuk mengkonfirmasi diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan langsung

    dengan menemukan tungau dewasa atau imatur, telur atau feses tungau yang

  • 13

    diambil pada terowongan kulit dengan cara dikorek.17,25,38

    Kemudian diberi

    potassium hydroxide dan dilihat di bawah mikroskop.17,25,38

    Pemeriksaan

    penunjang seperti dermatoskop, PCR atau serodiagnosis untuk menegakkan

    diagnosis tidak digunakan di lingkungan tropis.17

    Gambar 2.6 Gambaran tungau betina gravid, telur, dan skibala tungau pada

    pemeriksaan mikroskopik dari kerokan kulit. Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology

    in General Medicine,2012.

    Di kebanyakan daerah tropis, diagnosis bergantung pada gejala dan tanda

    klinis.17

    Simple clinically based diagnostic algorithm merupakan pendekatan

    kombinasi dari gejala dan tanda klinis dan dapat digunakan untuk mendukung

    diagnosis komunitas.17

    2.1.7 Tatalaksana

    Setelah diagnosis skabies ditegakkan, terapi yang dapat diberikan adalah

    terapi spesifik yaitu antiskabies dan nonspesifik yaitu manajemen keluhan

    sekunder akibat gatal, eczema dan kemungkinan pioderma.26

    Pengobatan harus diberikan pada seluruh orang yang kontak dengan

    penderita khususnya penderita karier, anggota keluarga dan kerabat dekat untuk

    pencegahan dan menahan penyebaran.17,38

    Seluruh pakaian, sarung bantal, seprai

    dan handuk harus dicuci menggunakan air panas dan dikeringkan pada suhu yang

    panas selama penderita mendapat pengobatan.38

    Bahan atau barang yang tidak

    dapat dicuci harus di dry-cleaning, disetrika, diletakkan di pengering tanpa dicuci,

  • 14

    atau disimpan dalam kantong plastik tertutup pada tempat yang hangat selama 2

    minggu.38

    2.1.7.1 Obat Topikal

    Obat topikal memiliki efektivitas yang tinggi.17

    Prinsip pemilihan obat

    berdasarkan efektivitas obat dan potensi toksik.26

    Obat topikal harus diaplikasikan

    mulai dari leher ke seluruh tubuh khususnya lipatan pada tangan dan kaki,

    belahan bokong, umbilikus, di bawah kuku jari tangan dan kuku jari kaki, kecuali

    mata, mulut dan kulit yang terluka.17,25,26,38

    Digunakan selama periode spesifik

    dan kemudian dibersihkan dari kulit.17

    Semua terapi insektisida, aplikasi kedua

    biasanya setelah 1 minggu terapi awal untuk mengurangi potensi reinfestasi.38

    Absorpsi obat salep lebih tinggi pada bayi dan anak-anak dan agen topikal tidak

    boleh diaplikasikan pada kulit yang hangat atau kulit yang basah setelah mandi.17

    Pada negara berkembang, harga obat yang murah seperti sulfur dan benzyl

    benzoate, lebih sering digunakan.17

    a. Permetrin

    Permetrin adalah piretroid, sintesis insektisida.16,26

    Permetrin merupakan

    pilihan pertama sebagai pengobatan skabies karena efek toksik yang rendah dan

    efektif untuk semua stadium hidup tunggau.11,16,17

    Permetrin digunakan selama 8-

    12 jam.11

    Pada bayi diaplikasikan kurang dari 6 jam.25

    Permetrin tidak

    direkomendasikan untuk bayi dibawah 2 bulan.26

    Wanita hamil, menyusui dan

    anak dibawah usia 2 tahun pemakaian permetrin dibatasi selama 2 jam pada 2 kali

    aplikasi dengan jarak 1 minggu.38

    Dosis per aplikasi untuk anak usia dibawah 1 tahun 4 g, anak usia 1-4

    tahun 8 g, anak usia 5-11 tahun 15 g, anak usia diatas 12 tahun sampai dewasa 30

    g, dan dewasa dengan ukuran tubuh besar mungkin membutuhkan lebih dari 60

    g.25

    b. Lindane

    Lindane adalah gamma benzene hexacloride yang termasuk sebagai

    insektisida.16

    Krim atau lotion lindane adalah pengobatan alternatif jika tidak ada

    permethrin.11

    Efektivitas lindane sama dengan permetrin tetapi lindane dapat

    menjadi toksik pada susunan saraf pusat.26

    Gejala keracunan yang timbul setelah

  • 15

    pemakaian lindane antara lain pusing, sakit kepala, mual, muntah, gelisah, tremor,

    disorientasi, lemah, kelopak mata berkedut, kejang, gagal nafas, koma, bahkan

    kematian.16

    Terdapat beberapa bukti bahwa lindane mungkin berpengaruh pada

    gangguan hematologi seperti anemia aplastic, trombositopenia dan pansitopenia.16

    Lindane tidak di rekomendasikan bagi bayi atau anak-anak yang masih

    kecil.16,25,26

    Lindane diaplikasikan selama 12-24 jam dengan dosis untuk anak usia

    diatas 12 tahun dan dewasa 200 ml untuk setiap pemakaian.25

    c. Benzyl Benzoate

    Benzyl Benzoate adalah ester dari asam bezoat dan benzyl alcohol yang

    neurotoksik bagi tungau.16

    Benzyl Benzoate dalam lotion diaplikasikan 3 kali

    dalam 24 jam tanpa mandi.16,17

    Iritasi kulit sementara dan rasa terbakar setelah

    pemakaian biasanya terjadi pada lotion 25%.17

    Tidak direkomendasikan untuk ibu

    hamil atau menyusui, bayi serta anak-anak dibawah 12 tahun karena sering

    menimbulkan iritasi.16,25

    Untuk mengurangi iritas, benzyl benzoate dicairkan

    sampai 12,5% untuk anak-anak dan 6,25% untuk bayi tetapi efektivitasnya

    berkurang.17

    Dapat menimbulkan dermatitis iritan pada wajah dan skrotum.16

    Benzyl Benzoate sangat efektif jika digunakan dengan benar tetapi dapat

    menimbulkan komplikasi gangguan saraf jika disalahgunakan.16,17

    Dosis yang digunakan untuk anak usia diatas 12 tahun dan dewasa adalah

    200 ml setiap pemakaian.25

    d. Crotamiton

    Crotamiton dalam 10 % cream atau lotion digunakan 2 kali sehari selama 5

    sampai 7 hari setelah mandi dan berganti pakaian.16,26

    Penggunaan crotamiton

    dapat diulang 3 sampai 5 hari.17

    Efek samping yang dapat ditimbulkan dari

    pemaikan crotamiton adalah iritasi kulit.16

    Crotamiton tidak direkomendasikan

    karena kurang efektif dan toksik, tetapi efektif sebagai antipruritus.16,26

    Direkomendasikan sebagai pilihan alternatif bagi bayi dan aman bagi ibu hamil

    maupun menyusui.17

    Crotamiton paling tidak efektif dibandingkan terapi lain.38

  • 16

    e. Malation

    Malation adalah insektisida golongan organofosfat yang bekerja dengan

    cara memblokade enzim kolinesterase secara irreversibel.16

    Malation 0,5%

    diaplikasikan pada kulit selama 24 jam dan diulang setelah 3 sampai 4 hari.17,25

    Dosis setiap aplikasi untuk anak usia diatas 1 tahun 20 ml, anak usia 1

    sampai 4 tahun 40 ml, anak usia 5 sampai 11 tahun 100 ml, dan anak usia diatas

    12 tahun sampai dewasa 200 ml.25

    Namun saat ini Malation tidak digunakan lagi

    karena berpotensi menimbulkan efek samping yang parah.16

    f. Sulfur

    Sulfur dalam bentuk salep lebih berguna dibandingkan dengan preparat

    lain.16

    . Salep Sulfur merupakan obat yang dapat membentuk hidrogen sulfida dan

    asam pentationat pada jaringan hidup yang bersifat toksik terhadap tungau.32

    Sulfur 2-10% dalam bentuk salep dan biasanya 6% lebih sering dipilih, efektif

    terhadap stadium larva, nimfa dan dewasa tetapi tidak dapat membunuh telur.12,16

    Oleh karena itu, pengobatan dengan sulfur presipitatum ini minimal digunakan

    selama 3 hari agar larva menetas dari telurnya dan dapat dimatikan.12,16,25,26

    Sulfur digunakan jika penderita tidak dapat mentolerasi lindane, permetrin atau

    ivermectin dan direkomendasikan bagi bayi, anak-anak dan ibu hamil.16

    Kekurangan dari sulfur ini adalah kurang efektif, menodai pakaian, berbau dan

    pada keadaan yang panas atau lembab dapat menyebabkan dermatitis iritan.11,26

    Sedangkan kelebihan dari sulfur diantaranya murah dan merupakan pilihan

    sebagai terapi massal.16

    Pemakaian sulfur dapat diulang setelah 10 hari jika

    dibutuhkan.25

    Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan salep sulfur

    adalah kulit kering dan iritasi.27

    Kontraindikasi bagi penderita yang memiliki

    alergi sulfonamide.27

    Dosis yang digunakan untuk setiap pemakaian untuk anak usia kurang

    dari 1 tahun 8 g, anak usia 1-4 tahun 12 g, anak usia 5-11 tahun 25 g, anak usia 12

    tahun sampai dewasa 50 g.25

    Ruam dan gatal mungkin masih menetap sampai lebih dari 2 minggu

    sampai 4 minggu setelah pengobatan lengkap obat topikal.17,38

    Gatal selama

    periode ini umumnya menunjukkan “gatal pasca skabies”.38

  • 17

    2.1.7.2 Obat oral

    Obat topikal merupakan pilihan pertama, sedangkan oral ivermectin

    diberikan untuk kasus recurrent, tidak sembuh dengan obat topikal, atau pasien

    crusted scabies.17

    a. Ivermectin

    Ivermectin hampir sama dengan makrolit tertapi tidak memiliki efek

    antimikroba.16

    Ivermectin adalah substrat bagi jalur sitokrom P450 3A4 sehingga

    perlu diperhatikan jika sedang mengkonsumsi obat yang dapat meningkatkan atau

    menghambat kerja obat ivermectin.17

    Ivermectin menstimulasi asam gamma

    amino butirat pada ujung saraf presinaps dan meningkatkan ikatan di reseptor

    postsinaps sehingga menekan konduksi dari impuls saraf pada sinaps saraf-otot

    tungau.16

    Efek samping ivermectin antara lain sakit kepala, gatal, nyeri sendi,

    nyeri otot, demam, ruam makulopapular, dan limfadenopati.16

    Kontraindikasi

    bagi ibu hamil maupun menyusui, anak usia dibawah 5 tahun atau 15 kg serta

    pasien yang alergi terhadap ivermectin dan gangguan sistem saraf pusat.16,38

    Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB dalam dosis tunggal.16,17

    Pengobatan dapat

    diulang setelah 1-2 minggu.17

  • 18

    Tabel 2.1 Pengobatan untuk Skabies

    Obat Dosis Komentar

    Krim permetrin 5% Pakai selama 8 jam,

    diulang pada hari ke-7

    Pengobatan yang paling

    umum saat ini, kategori B

    untuk wanita hamil,

    toleransi sudah mulai

    berkembang.

    Lotion lindane 1% Pakai selama 8 jam,

    diulang pada hari ke-7

    US Food and Drug

    Administration saat ini

    memberlakukan

    peringatan a“black blox”,

    Dilarang di California.

    Krim crotamiton 10% Pakai selama 8 jam pada

    hari ke-1,2,3 dan 8

    Memiliki antipruritus

    yang baik, efektivitas

    marginal.

    Sulfur presipitatum 5-

    10%

    Pakai selama 8 jam pada

    hari ke-1,2 dan 3

    Dianggap aman pada

    neonatus dan wanita

    hamil. Data efikasi

    terbatas, murah.

    Lotion benzyl benzoate

    10% Pakai selama 24 jam

    Tidak tersedia di

    Amerika Serikat

    Ivermectin 200µg/kg Diminum pada hari ke-1

    dan 8

    Sangat efektif dan aman,

    tidak direkomendasikan

    untuk anak dibawah 15

    kg, wanita hamil dan

    menyusui.

    aBlack box melarang digunakan pada bayi prematur dan individu dengan

    gangguan kejang tidak dikontrol, serta perlu diperhatikan penggunaan pada bayi,

    anak-anak, dan individu dengan kondisi kulit lain, seperti dermatitis dan

    psoriasis, dan orang-orang dengan berat kurang dari 50 kg karena mereka

    mungkin berisiko neurotoksisitas serius.

    Sumber: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 2012.

  • 19

    Alur penatalaksanaan skabies

    Gambar 2.7 Alur penatalaksanaan skabies. Sumber: Panduan Pelayanan Medis

    Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan

    Kelamin (PERDOSKI). 2011.

    2.1.8 Komplikasi

    Komplikasi yang timbul adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh

    garukan.17

    Bakteri yang menginfeksi jejas pada kulit diantaranya Streptococcus

    pyogenes, dapat berkembang menjadi glomerulonefritis.17,38

    Pada bayi telah dilaporkan di Gambia, kemungkinan adanya hubungan

    skabies dengan bakterial sepsis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus

  • 20

    tetapi untuk saat ini belum dapat dibuktikan lebih lanjut.17

    Infeksi bakteri

    sekunder harus diobati dengan antibiotik.16

    Limfangitis dan septikemis telah dilaporkan pada crusted scabies.38

    Infestasi skabies juga dapat memicu terjadi pemfigoid bulosa.38

    2.1.9 Pencegahan

    Untuk memutus rantai transmisi skabies, media yang dapat menjadi

    transmisi tidak langsung seperti pakaian, seprai, dan lain-lain harus dicuci

    menggunakan air panas diatas 50oC selama 10 menit.

    17,27

    Jika tidak dapat dilakukan, maka pakaian, seprai dan lain-lain serta bahan

    yang tidak dapat dicuci seperti kasur ditempatkan pada suhu yang panas selama

    20 menit atau dimasukkan kedalam plastik selama 5-7 hari minggu.27

    2.1.10 Prognosis

    Syarat keberhasilan untuk pengobatan skabies adalah sebagai berikut.11

    1. Diagnosis yang tepat.

    2. Eliminasi tungau menggunakan anti-skabies dengan aplikasi yang tepat.

    3. Pengobatan untuk gejala klinis.

    4. Pengobatan untuk infeksi sekunder jika ada.

    Penyebab pengobatan gagal diantaranya adalah sebagai berikut.

    1. Aplikasi obat topikal tidak sesuai yang dianjurkan.16 Kesalahan yang

    sering terjadi adalah pengaplikasian obat topikal hanya pada daerah

    yang terkena saja tidak dari leher ke seluruh tubuh.16

    2. Aplikasi yang tidak adekuat.16

    3. Reinfestasi skabies.16 Infestasi kembali skabies ini sering terjadi,

    kemungkinan disebabkan oleh aplikasi obat topikal kurang, tidak semua

    penderita skabies teridentifikasi, pengobatan pada seluruh kasus skabies

    termasuk pasien, tenaga medis, keluarga, dan lainnya gagal, masih

    terpapar atau kontak dengan individu yang skabies dan penggunaan obat

    steroid selama masa pengobatan.27

    4. Resisten telah dilaporkan pada penggunaan obat lindane, permetrin dan

    crotamiton.16

  • 21

    Serta menghilangkan faktor predisposisi, prognosis dari penyakit ini

    adalah baik.11

    2.2 Salep 3-6

    Salep 3-6 terdiri atas campuran asam salisilat 3% dan sulfur 6%. Obat ini

    telah dipakai sejak dahulu untuk mengobati skabies.16

    2.2.1 Asam Salisilat

    Gambar 2. 8 Struktur kimia asam salisilat. Sumber: PubChem. Diakses dari:

    http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov.

    Nama kimia 2-Hydroxybenzoic acid, dengan rumus kimia C7H6O3

    merupakan senyawa yang diperoleh dari kulit pohon willow putih dan daun dari

    tanaman wintergreen. Asam salisilat dapat berbentuk bubuk kering, cairan dan

    butiran kristal berwarna putih dan tidak berbau.

    Asam salisilat bersifat bakteriostatik, fungisida, dan keratolitik.31

    Sebagai

    obat, asam salisilat digunakan secara topikal sebagai anti infeksi, antifungal dan

    keratolitik dan dapat digunakan bersama dengan bahan lain seperti asam benzoat,

    tar, resorsin dan sulfur.31

    Bila dikombinasikan dengan sulfur, efeknya sinergik.39

    Pada konsentrasi 2% bersifat keratoplastik, dalam salap digunakan untuk

    merangsang epitel pada ulkus yang telah bersih.39

    Pada konsentrasi 3%-20%

    bersifat keratolitik, digunakan untuk dermatosis yang hiperkeratolitik.39

    Asam

    salisilat 3%-5% juga bersifat mempertinggi absorbs perkutan bahan-bahan aktif.39

    Pada konsentrasi tinggi 30%-60% bersifat destruktif digunakan sebagai

    http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/

  • 22

    pengobatan halus dan veruka.39

    Asam salisilat tidak digunakan untuk sistemik

    karena dapat menyebabkan efek iritasi yang parah pada mukosa saluran cerna dan

    jaringan lain.28

    Konsentrasi yang tinggi yaitu diatas 20% dapat memberikan efek

    terbakar pada kulit sehingga penggunaan obat yang berlebihan dapat

    menyebabkan nekrosis pada jaringan normal.28

    Asam salisilat diabsorpsi secara cepat pada kulit, khususnya jika

    diaplikasikan dalam bentuk salep.29

    Efek samping dari asam salisilat adalah iritasi

    ringan dan dermatitis kontak, sedangkan pemakaian luas dapat mengakibatkan

    gejala seperti keracunan asam salisilat sistemik.30

    Gejala keracunan asam salisilat

    diantaranya mual, muntah, rasa tidak enak di epigastrium, tinnitus, gangguan

    pendengaran, berkeringat, vasodilatasi perifer, takipneu dan hiperpneu.31

    2.2.2 Sulfur

    Sulfur atau Belerang adalah unsur kimia yang berbentuk zat padat kristal

    kuning.30

    Di alam, belerang ditemukan sebagai unsur murni atau mineral sulfida

    dan sulfat.30

    Belerang dapat berbentuk serbuk kering, cairan, kristal, padatan dan

    gas.30

    Sulfur murni tidak berbau, tetapi dalam bentuk hidrogen sulfida bau seperti

    telur busuk.30

    Yang digunakan ialah sulfur yang terhalus, yaitu sulfur

    presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning kehijauan.39

    Sulfur bersifat antiseboroik, antiakne, antiskabies, antibakteri positif-

    Gram, dan anti jamur.39

    Biasanya dipakai dalam konsentrasi 4%-20%.39

    Sulfur

    topikal 5-10% dalam bentuk salep digunakan sebagai pengobatan skabies.32

    Mekanisme kerja sulfur topikal dengan cara membentuk hidrogen sulfida

    dan/atau asam polithionik yang mendesak aktivitas germisida (zat pembunuh

    mikroorganisme) dan toksik bagi Sarcoptes scabiei.32

    Sulfur presipitatum dalam sabun terkandung sulfur 10% dan dapat

    dikombinasikan dengan asam salisilat dengan kandungan sulfur 10%, asam

    salisilat 3%.30

    Sabun sulfur digosokkan dengan lembut pada seluruh tubuh

    terutama yang terdapat lesi sampai berbusa selama 3-5 menit.37

    Kemudian bilas

    secara menyeluruh menggunakan air hangat.37

    Pemakaian sabun diulang kembali

    dan bilas.37

    Sabun sulfur 10% digunakan 2 kali sehari setiap mandi.37

    Pada

    sebuah penelitian uji klinis produk salep oleh Alebiosu dkk di Nigeria (2003),

    observasi dilakukan pada minggu ke-6 setelah diberikan pengobatan kombinasi

  • 23

    salep sulfur dan sabun non sulfur.7 Sabun sulfur disimpan pada suhu antara 15

    o-

    30oC.

    37 Salep sulfur dikombinasikan dengan asam salisilat dengan perbandingan

    1:2. Salep 3-6 terdiri dari 3% asam salisilat dan 6% sulfur, lebih dipilih.12,16

    Sebelum memakai salep, bersihkan seluruh tubuh dengan sabun dan air dan

    keringkan.37

    Salep sulfur dioleskan secara lembut di seluruh tubuh mulai dari

    leher kebawah sebelum tidur selama 3 hari.12,16,25,26,37

    Salep sulfur dihapus dengan

    mandi setelah 24 jam pemakaian salep terkahir, kemudian salep dioleskan

    kembali.25,37

    Penyimpanan salep sulfur pada keadaan tertutup dengan suhu 15o-

    30oC dan hindari terjadi pembekuan.

    37

    Pada penelitian Moh.Amer (1981) terhadap 22 bayi yang diberi

    pengobatan salep sulfur 5% didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 15

    orang (68,2%) pada follow up 1 dan 18 orang (81,8%) pada follow up 2.6

    Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004) terhadap 16 santri

    dari 3 pondok pesantren di wilayah Kabupaten Kendal menggunakan salep sulfur

    2-4, didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 2 orang (12,5%) pada follow

    up 1, 11 orang (68,8%) pada follow up 2, dan 14 orang (87,5%) pada follow up

    3.15

  • 24

    2.3 Kerangka teori

    2.4 Kerangka konsep

  • 25

    2.5 Definisi Operasional

    Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

    Ukur

    Salep 3-6 Salep 3-6

    merupakan salep

    yang mengandung

    zat aktif asam

    salisiliat 3% dan

    sulfur 6% yang

    efektif untuk

    mengobati

    penyakit

    skabies.39

    Aplikasikan salep

    3-6 seluruh tubuh

    mulai dari leher ke

    bawah selama 8

    jam 3 hari

    berturut-turut.38

    Salep 3-6

    diaplikasikan ulang

    setelah wudhu

    pada bagian salep

    yang terhapus oleh

    air.

    Catatan harian

    pemakaian salep

    3-6

    1. Ya

    2. Tidak

    Kriteria :

    1. Ya :

    Salep 3-6 telah

    diaplikasikan sesuai

    arahan

    2. Tidak :

    Salep 3-6 tidak atau

    kurang lengkap

    diaplikasikannya

    Nominal

    Sabun sulfur

    10%

    Sabun sulfur 10%

    merupakan terapi

    topikal dalam

    sediaan sabun

    yang mengandung

    10% sulfur.37

    Aplikasikan sabun

    sulfur tiap mandi

    pagi dan sore 3-5

    menit selama 6

    minggu.7,37

    Catatan harian

    pemakaian

    sabun sulfur

    1. Ya

    2. Tidak

    Kriteria :

    1. Ya :

    Sabun sulfur

    diaplikasikan sesuai

    arahan

    2. Tidak :

    Sabun sulfur tidak

    atau kurang lengkap

    diaplikasikannya

    Nominal

  • 26

    Kesembuhan

    klinis

    skabies

    Kesembuhan

    klinis skabies

    ditandai dengan

    tidak ada lesi baru

    dalam dua

    minggu, papul,

    dan vesikel

    meenghilang

    80%.40

    Anamnesis dan

    pemeriksaan fisik

    setelah

    pengobatan di

    minggu pertama,

    minggu kedua dan

    minggu ketiga

    Catatan kontrol

    minggu

    pertama,

    minggu kedua

    dan

    minggu ketiga

    1. Sembuh

    2. Tidak Sembuh

    Kriteria:

    1. Sembuh : Tidak

    ada lesi baru

    dalam dua

    minggu, papul

    dan vesikel

    menghi lang

    80%.4 0

    2.Tidak Sembuh:

    Terdapat lesi baru

    pada kontrol 1

    minggu kemudian.40

    Nominal

  • 27

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

    Penelitian ini termasuk penelitian uji klinis untuk mengetahui kecepatan

    sembuh penyakit skabies dengan terapi kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10%

    dibandingkan salep 3-6 tunggal.

    3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Ummul Qura, Pondok Cabe

    selama 3 minggu dimulai dari tanggal 21 Maret 2015 sampai 11 April 2015.

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

    Populasi penelitian adalah santri dari Pondok Pesantren Ummul Qura yang

    memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel penelitian yang diambil

    sebanyak jumlah perhitungan sampel.

    3.3.1 Jumlah Sampel

    Penelitian ini menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik

    kategorik tidak berpasangan sebagai berikut.

    √ √

    √ √

    Keterangan

    n = jumlah sampel tiap kelompok

    Zα = derivat baku alfa 1-arah 5% = 1,64

  • 28

    Zβ = derivat baku beta 20%= 0,84

    P2 = proporsi kesembuhan salep standar menurut pustaka = 0,69

    Q2 = 1-P2= 1-0,69= 0,31

    P1-P2 = selisih proporsi minimal= 0,20

    P1 = proporsi kesembuhan obat yang diuji = P2+0,20 = 0,69+0,20= 0,89

    Q1 = 1-P1= 1-0,89 = 0,11

    P =

    Q = 1- P = 1- 0,79 = 0,21

    Berdasarkan rumus tersebut, dibutuhkan minimal 26 orang untuk setiap

    kelompok perlakuan sehingga jumlah sampel 52 orang.

    3.3.2 Cara Pengambilan Sampel

    Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara consecutive

    sampling. Semua santri yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

    termasuk sebagai sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

    Sebagai parameter evaluasi kesembuhan klinis skabies digunakan kontrol

    positif dan kontrol negatif dengan jumlah kontrol masing-masing 1 orang yang

    memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

    3.3.3 Kriteria Sampel

    3.3.3.1 Kriteria Inklusi

    1. Santri dengan gejala klinis skabies dan memenuhi kriteria diagnosis

    skabies.

    2. Santri yang belum mendapatkan pengobatan skabies.

    3. Santri Pondok Pesantren Ummul Qura yang bersedia menjadi sampel

    peneilitian.

    4. Santri yang tinggal serta menginap di Pondok Pesantren Ummul Qura.

    3.3.3.2 Kriteria Ekslusi

    1. Santri dengan komplikasi skabies seperti penyakit infeksi sekunder.

    2. Santri dengan riwayat hipersensitivitas terhadap obat sulfur.

  • 29

    3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO)

    1. Santri yang tidak mengikuti pengobatan sesuai anjuran sebagai sampel

    penelitian.

    2. Santri yang mengundurkan diri dari sampel penelitian.

    3.4 Variabel

    3.4.1 Variabel Bebas

    Salep 3-6 dan sabun sulfur 10%

    Salep 3-6

    3.4.2 Variabel terikat

    Kesembuhan skabies

    3.5 Alat dan Bahan

    3.5.1 Alat

    Hand schoen

    Kaca pembesar

    Senter

    Kamera

    Catatan harian pemakaian obat

    3.5.2 Bahan

    Salep 3-6

    Sabun sulfur 10% yaitu Sabun JF Sulfur®

    Sabun non-sulfur dan non-antiseptik yaitu Sabun Giv®

    3.6 Cara Kerja Penelitian

    1. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis

    skabies kepada seluruh santri.

    2. Sampel diambil secara consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi

    dan kriteria eksklusi.

    3. Pengisian Informed Consent oleh santri yang bersedia mengikuti

    penelitian.

  • 30

    4. Sampel yang terkumpul dibagi menjadi dua kelompok dengan alokasi

    sampel secara randomisasi sederhana (simple randomization).

    5. Kelompok I diberi pengobatan kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10%

    dan Kelompok II diberi pengobatan salep 3-6 dan sabun non sulfur

    maupun nonantiseptik.

    6. Aplikasi salep 3-6 sebelum tidur selama 8 jam 3 hari berturut-turut,

    dioleskan seluruh tubuh mulai dari leher sampai kaki. Sabun sulfur 10%

    dipakai setiap mandi 2x per hari selama 6 minggu.

    7. Observasi pemakaian obat dan dikontrol oleh pengawas pemakai obat

    dengan catatan harian pemakaian obat masing-masing santri.

    8. Setelah 1 minggu dari hari pertama pemakaian obat dilakukan evaluasi

    klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik kembali untuk menilai

    kesembuhan penyakit skabies.

    9. Jika tidak terdapat kesembuhan klinis skabies maka pengobatan diulang

    kembali pada hari ke 7.

    10. Observasi dilakukan dalam kurun waktu 3 minggu kemudian data yang

    diperoleh diolah.

  • 31

    3.7 Alur Penelitian

  • 32

    3.8 Manajemen Data

    3.8.1 Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik

    untuk menegakkan diagnosis kerja skabies dan menentukan kesembuhan klinis

    skabies.

    3.8.2 Pengolahan Data

    Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS versi 21.

    3.8.3 Analisa Data

    Analisa perbedaan efektivitas obat dilakukan dengan menggunakan uji

    Fisher’s Exact.

    3.8.4 Rencana Penyajian Data

    Data hasil penelitian secara deskriptif dan analitik dalam bentuk tabel,

    grafik dan gambar.

    3.9 Etika Penelitian

    a. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari Kaprodi

    Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    b. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari Komite Etik

    Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    c. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari pihak Pondok

    Pesantren Ummul Qura.

    d. Semua subjek penelitian akan diberikan penjelasan secara lisan dan

    tertulis mengenai tujuan dan cara penelitian.

    e. Penelitian ini akan dijalankan setalah mendapatkan persetujuan secara

    sukarela (informed consent) dari sampel.

    f. Subjek yang akan diteliti berhak menolak untuk tidak mengikuti

    penelitian.

  • 33

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Pada penelitian ini dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik kulit pada

    240 santri Pondok Pesantren Ummul Qura, didapatkan 44 santri skabies dengan 20

    santri skabies dengan infeksi sekunder dan 24 santri skabies tanpa infeksi

    sekunder. Berdasarkan pengambilan sampel dengan consecutive sampling serta

    memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 24 santri memenuhi kriteria

    tersebut sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel tidak sesuai dengan perhitungan

    besar sampel yaitu 52 orang. Hal ini dikarenakan kurangnya waktu penelitian dan

    kejadian skabies saat pengambilan sampel di Pondok Pesantren Ummul Qura

    sedikit.

    Dari 24 santri sampel penelitian dilakukan alokasi sampel menggunakan

    random sampling sehingga didapatkan 13 santri diberikan pengobatan kombinasi

    salep 3-6 dan sabun sulfur dan 11 santri diberikan pengobatan salep 3-6 tunggal.

    Sebagai parameter kesembuhan klinis digunakan kontrol positif dan

    kontrol negatif dengan jumlah kontrol masing-masing 1 orang yang memenuhi

    kriteria inklusi dan eksklusi. Kontrol positif diberikan pengobatan dengan obat

    standar yaitu permetrin 5% dan di evaluasi 1 minggu berikutnya. Hasil evaluasi

    pengobatan permetrin 5% didapatkan hasil sesuai panduan praktik klinik

    departemen penyakit kulit dan kelamin RSCM tahun 2012 yaitu tidak terdapat lesi

    baru, papul dan vesikel menghilang >80%. Sedangkan kontrol negatif tidak

    diberikan pengobatan skabies apapun dan didapatkan hasil tidak ada perbaikan

    rasa gatal dan lesi kulit setelah evaluasi 1 minggu berikutnya.

  • 34

    4.1 Prevalensi Skabies di pondok pesantren.

    Prevalensi Skabies di Pondok Pesanten Ummul Qura dapat dilihat pada

    tabel 4.1 berikut ini.

    Tabel 4.12Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura

    Kejadian Frekuensi Persentase (%)

    Skabies Dengan Infeksi

    Sekuder 20 8,3%

    18,3% Tanpa Infeksi

    Sekunder 24 10%

    Tidak Skabies 196 81,7 %

    Jumlah 240 100,0 %

    Pondok pesantren tempat dilakukan penelitian ini adalah pondok pesantren

    Ummul Qura di Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan. Dari 240 santri yang

    diperiksa didapatkan 44 santri (18,3%) yang menderita skabies. Skabies dengan

    infeksi sekunder sejumlah 20 santri (8,3%) dan skabies tanpa infeksi sekunder

    sejumlah 24 santri (10%). Prevalensi skabies ini termasuk rendah sesuai dengan

    penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004), prevalensi skabies di 3 pondok

    pesantren wilayah Kendal sebesar 18,1 %.15

    Pada penelitian ini, prevalensi skabies yang rendah kemungkinan

    disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut.

    1. Fluktuasi kejadian skabies berhubungan dengan perubahan musim. Penelitian

    ini dilakukan pada bulan maret akhir sampai april awal saat musim kemarau.

    Variasi prevalensi skabies di berbagai tempat kemungkinan disebabkan oleh

    faktor usia, jenis kelamin, ras, kepadatan hunian, higienitas, dan musim.17

    Berdasarkan data BMKG, daerah tropis memiliki suhu hangat biasanya diatas

    22oC. Sedangkan pada musim kemarau, suhu udara tinggi yaitu >30

    oC dan

    kelembaban udara rendah mencapai 55%. Kondisi ini tidak mendukung

    kelangsungan hidup tungau Sarcoptes scabiei. Pada iklim tropis dengan suhu

    30oC dan kelembaban relatif 75%, tungau betina dapat bertahan hidup selama

    55-67 jam diluar host.17

  • 35

    2. Berdasarkan observasi, santri tidak tidur menggunakan kasur tetapi tidur di

    lantai. Peneliti menduga transmisi skabies secara tidak langsung seperti

    melalui kasur, seprai, dan selimut kejadiannya rendah sehingga transmisi

    skabies secara langsung lebih berperan yaitu kontak langsung antara kulit

    dengan kulit pada santri di Pondok Pesantren Ummul Qura.

    4.2 Karakteristik penderita

    4.2.1 Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin

    Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin di Pondok Pesantren

    Ummul Qura dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.

    Tabel 4.23Distribusi penderita skabies berdasarkan jenis kelamin.

    Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

    Laki-Laki 30 68,2 %

    Perempuan 14 31,8 %

    Jumlah 44 100,0 %

    Dari 44 santri yang menderita skabies, penderita santri laki-laki adalah 30

    santri (68,2%), lebih banyak dibandingkan dengan santri perempuan 14 santri

    (31,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Eka (2004), jumlah

    penderita skabies laki-laki 27 santri (84,4%) dan perempuan 5 santri (15,4%).15

    Penelitian Suci dkk (2013) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu sebagian

    besar laki-laki 76 orang (55,1%) dibandingkan perempuan 62 orang (44,9%).18

    Penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan Saleha Sungkar (2014) menunjukkan

    prevalensi skabies berhubungan dengan jenis kelamin (p=0,048) prevalensi

    skabies santri laki-laki 66 (57,4%) sedangkan prevalensi skabies santri perempuan

    33 (42,9%).5

    Penyebab hal ini diduga karena higienitas personal laki-laki kurang.

    Perempuan lebih cenderung menjaga kebersihan dan penampilan diri sedangkan

    laki-laki tidak memperhatikan penampilan diri sehingga berpengaruh terhadap

    perawatan kebersihan diri.18

    Higienitas dan penampilan diri antara lain seperti

    perilaku saling meminjam pakaian dan handuk, kebiasaan mandi, dan kebiasaan

    mengganti pakaian, kebiasaan memakai selimut bersama, dan kebiasaan mencuci

  • 36

    pakaian bersama berhubungan dengan kejadian skabies.19

    Pada penelitian Suci dkk

    (2013) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara kejadian skabies dengan

    personal hygiene (p 16 tahun 2 4,5 %

    Jumlah 44 100,0 %

    Pada tabel diatas, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita

    skabies lebih banyak pada kelompok usia 12-16 tahun yaitu sebanyak 39 santri

    (88,6%), sedangkan kelompok usia ≤ 11 tahun sebanyak 3 santri (6,8%), dan

    kelompok usia >16 tahun sebanyak 2 santri (4,5%). Hasil penelitian ini sesuai

    dengan penelitian Eka (2004) didapatkan hasil pada kelompok usia 11-15 tahun

    sebanyak 21 orang (66%).15

    Penelitian Riris (2010) menunjukkan bahwa kelompok

    umur 12-14 tahun lebih banyak menderita skabies yaitu sebanyak 53 orang

    (55,79%) dibandingkan kelompok umur 15-17 tahun sebanyak 30 orang

    (31,58%).19

    Pada penelitian Suci dkk (2013), santri yang skabies paling banyak

  • 37

    berusia 13 tahun sebesar 26,8% diikuti usia 16 tahun sebesar 20,3% , usia 14 tahun

    18,1% dan usia 15 tahun 13,8%.18

    Penelitian yang dilakukan oleh Nanda (2014)

    terdapat hubungan antara umur dengan kejadian skabies. Penelitian tersebut

    menunjukkan semakin umur responden mendekati remaja mempunyai risiko

    terkena skabies (OR=2,263).20

    Hasil ini sesuai dengan teori prevalensi skabies tertinggi adalah anak-anak

    sampai remaja, kemudian menurun pada kelompok dewasa muda, dan meningkat

    kembali pada lansia.17

    4.2.3 Distribusi penderita berdasarkan tingkat pendidikan

    Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan di Pondok

    Pesantren Ummul Qura dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.

    Tabel 4.45 Distribusi penderita skabies berdasarkan tingkat pendidikan

    Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

    MTS/SMP 38 86,4 %

    MA/SMA 6 13,6 %

    Jumlah 44 100,0 %

    Pada tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penderita skabies lebih banyak

    pada tingkat pendidikan MTS/SMP yaitu sebanyak 38 santri (86,4%)

    dibandingkan dengan santri MA/SMA sebanyak 6 santri (13,6%). Hasil penelitian

    ini sesuai dengaan penelitian Ratnasari dan Saleha Sungkar (2014), terdapat

    perbedaan bermakna (p=0,023) prevalensi skabies pada santri MTS/SMP (58,1%)

    lebih tinggi dibandingkan santri MA/SMA (41,3%).5

    Pada penelitian Suci dkk

    (2013), kejadian skabies paling banyak pada tingkat pendidikan Wustha/SMP

    yaitu sebanyak 110 orang (79,7%).18

    Tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuan termasuk

    pengetahuan tentang kesehatan.5 Umumnya tingkat pendidikan mempengaruhi

    prevalensi penyakit di komunitas.5 Hal ini dikarenakan orang dengan tingkat

    pendidikan rendah memiliki kesadaran yang rendah mengenai pentingnya higiene

    pribadi dan tidak mengetahui bahwa higiene buruk berperan penting dalam

    penularan penyakit.5 Responden dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko

  • 38

    tertular penyakit skabies.18

    Semakin tinggi pendidikan sesorang semakin banyak

    mendapatkan pelajaran bagaimana cara pencegahan penyakit menular.18

    4.3 Hasil Uji Klinis

    Uji klinis yang dilakukan hanya pada 24 santri yang skabies dikarenakan

    20 santri skabies yang lain sudah mengalami infeksi sekunder. Jumlah responden

    dengan alokasi random sampling adalah kelompok I yang diberikan pengobatan

    kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebanyak 13 santri dan kelompok II

    yang diberikan pengobatan salep 3-6 tunggal sebanyak 11 santri.

    Penentuan uji klinis sembuh dan tidak sembuh pada santri yang skabies

    berdasarkan parameter kontrol positif dan kontrol negatif yang diberikan

    pengobatan obat standar yaitu permetrin. Hasil uji klinis penelitian ini adalah

    sebagai berikut.

    Tabel 4.56 Uji beda kesembuhan pada kedua kelompok penelitian.

    Follow up Kelompok

    Perlakuaan

    Sembuh Tidak Sembuh

    P Frekuensi

    Presentase

    (%) Frekuensi

    Presentase

    (%)

    Follow up

    1

    Salep 3-6 dan

    sabun sulfur 11 84,6% 2 15,4%

    0,283

    Salep 3-6

    saja 11 100% 0 0,0%

    Follow up

    2

    Salep 3-6 dan

    sabun sulfur 13 100% 0 0,0%

    -

    Salep 3-6

    saja 11 100% 0 0,0%

    Follow up

    3

    Salep 3-6 dan

    sabun sulfur 10 83,3% 3 16,7%

    0,585

    Salep 3-6

    saja 9 75,0% 2 25,0%

    Berdasarkan parameter kontrol positif dan kontrol negatif yang mengacu

    pada kriteria sembuh panduan praktik klinik RSCM tahun 2012 yaitu kesembuhan

    klinis adalah tidak ada lesi baru dalam dua minggu, papul dan vesikel menghilang

  • 39

    80%.40

    Hasil angka kesembuhan klinis pada penelitian ini didapatkan kelompok

    dengan perlakuan kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% pada follow up 1

    sebanyak 11 santri (84,6%), follow up 2 sebanyak 13 santri (100%), dan follow up

    3 sebanyak 10 santri (83,3%).

    Angka kesembuhan klinis kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur pada

    penelitian ini termasuk tinggi pada setiap follow up sesuai dengan uji klinis produk

    salep di Nigeria (2003) oleh Alebiosu dkk pada 12 penderita skabies

    mengaplikasikan kombinasi salep Sulfur BP dengan sabun non sulfur selama 6

    minggu, didapatkan hasil sebanyak 100% penderita sembuh.7

    Hasil angka kesembuhan klinis kelompok dengan perlakuan salep 3-6

    tunggal pada penelitian ini menunjukkan pada follow up 1 sebanyak 11 santri

    (100%), follow up 2 sebanyak 11 santri (100%) dan follow up 3 sebanyak 9 santri

    (75,0%). Angka kesembuhan klinis salep 3-6 tunggal juga termasuk tinggi.

    Sedangkan pada penelitian Moh.Amer (1981) terhadap 22 bayi yang diberi

    pengobatan salep sulfur 5% didapatkan angka kesembuhan klinis sebanyak 15

    orang (68,2%) pada follow up 1 dan 18 orang (81,8%) pada follow up 2.6 Pada

    penelitian yang dilakukan oleh Eka (2004) terhadap 16 santri dari 3 pondok

    pesantren di wilayah Kabupaten Kendal menggunakan salep sulfur 2-4 selama 3

    hari berturut-turut dengan observasi selama 3 minggu, didapatkan angka

    kesembuhan klinis sebanyak 2 orang (12,5%) pada follow up 1, 11 orang (68,8%)

    pada follow up 2, dan 14 orang (87,5%) pada follow up 3.15

    Selisih perbedaan kesembuhan pada kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur

    10% dengan salep 3-6 tunggal yang kecil kemungkinan disebabkan oleh beberapa

    hal sebagai berikut.

    1. Jumlah sampel sedikit dan waktu penelitian yang kurang sehingga

    hasil perbandingan proporsi kesembuhan antar kedua kelompok

    menjadi tidak bermakna secara statistik (p>0,05).

    2 Efektivitas sabun sulfur baru dapat dinilai dengan waktu observasi

    yang lebih lama. Pada sebuah penelitian uji klinis produk salep oleh

    Alebiosu dkk di Nigeria (2003), observasi dilakukan pada minggu ke-

    6 setelah diberikan pengobatan kombinasi salep sulfur dan sabun non

  • 40

    sulfur.7 Pada penelitian ini sabun sulfur digunakan selama 3 minggu,

    sehingga efektivitas sabun tidak dapat dinilai.

    Gambar 4.19Perbandingan proporsi angka kesembuhan klinis pada kelompok

    kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur dengan kelompok salep 3-6 tunggal pada

    follow up 3 minggu.

    Dari uji Fisher’s Exact antara kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun

    sulfur dengan kelompok salep 3-6 tunggal didapatkan pada follow up 1 nilai

    p=0,283 dan follow up 3 nilai p=0,585 yang berarti tidak terdapat perbedaan

    bermakna proporsi kesembuhan antar kelompok serta pada follow up 2 proporsi

    kesembuhan antar kelompok konstan 100% sehingga uji statistik tidak dapat

    dilakukan. Hal ini juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan.

    Berdasarkan jumlah santri yang sembuh pada follow up 1, kelompok

    kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar 84,6% sedangkan kelompok

    salep 3-6 tunggal sebesar 100%. Demikian juga pada follow up 2, jumlah santri

    yang sembuh pada kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar

    100% dan kelompok salep 3-6 tunggal sebanyak 100%. Sedangkan pada follow up

    3, kelompok kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% sebesar 83,3% dan

    kelompok salep 3-6 tunggal sebesar 75%. Hal ini menunjukkan bahwa baik

    kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% maupun salep 3-6 tunggal efektif dalam

    mengobati skabies karena tidak terdapat perbedaan efektivitas pengobatan yang

    84,6

    100

    83,3

    100 100

    75

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    Follow up 1 Follow up 2 Follow up 3

    Per

    sen

    tase

    (%

    )

    Follow up minggu ke-

    Perbandingan Proporsi Kesembuhan Klinis

    salep 3-6 dan sabun sulfur

    salep 3-6

    p=0,585

    p=0,283

  • 41

    signifikan di setiap follow up antar kedua kelompok berdasarkan jumlah santri

    yang sembuh.

    Pada follow up 1 didapatkan angka kesembuhan klinis kombinasi salep 3-6

    dan sabun sulfur sebesar 84,6 % dan salep 3-6 tunggal sebesar 100%. Hal

    disebabkan oleh berbagai respons pasien yang berbeda terhadap obat. Berbagai

    faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap obat diantaranya sebagai

    berikut.41

    Gambar 4.210Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi respons pasien terhadap

    obat. Sumber: Farmakologi dan Terapi, FKUI,2007.

    Pada follow up 3 penelitian ini didapatkan 4 orang mengalami reinfestasi

    skabies, hal ini kemungkinan disebabkan oleh transmisi dari lingkungan sekitar

    dan tatalaksana non farmakologi seperti merendam pakaian pada suhu >50oC

    selama 10 menit atau menyimpan pakaian dalam plastik selama 5-7 hari dan

    menjemur kasur pada suhu yang panas selama 20 menit tidak dilakukan.

  • 42

    4.4 Keterbatasan Penelitian

    Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Jumlah sampel penelitian tidak memenuhi perhitungan besar

    sampel. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang kurang dan

    kejadian skabies saat pengambilan sampel di Pondok Pesantren

    Ummul Qura sedikit.

    2. Penelitian ini hanya melakukan tatalaksana farmakologi berupa

    pengobatan menggunakan salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dan

    tidak melakukan tatalaksana non farmakologi seperti memutus

    rantai transmisi skabies dengan cara merendam pakaian pada suhu

    >50oC selama 10 menit atau menyimpan pakaian dalam plastik

    selama 5-7 hari dan menjemur kasur pada suhu yang panas selama

    20 menit tidak dilakukan.

  • 43

    BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan yang

    telah dibahas sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

    1. Prevalensi penyakit skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura sebesar

    18,3%.

    2. Distribusi penyakit skabies berdasarkan jenis kelamin di Pondok

    Pesantren Ummul Qura, lebih banyak pada laki-laki yaitu sebesar

    68,2% dibandingkan perempuan 31,8%.

    3. Distribusi penyakit skabies berdasarkan usia di Pondok Pesantren

    Ummul Qura, lebih banyak pada kelompok usia 12-16 tahun yaitu

    sebesar 88,6%.

    4. Distribusi penyakit skabies berdasarkan tingkat pendidikan di Pondok

    Pesantren Ummul Qura, lebih banyak pada tingkat pendidikan

    MTS/SMP yaitu sebesar 86,4%.

    5. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan

    efektivitas kombinasi salep 3-6 dan sabun sulfur 10% dengan salep 3-6

    tunggal dalam pengobatan skabies di Pondok Pesantren Ummul Qura.

    Angka kesembuhan