Upload
trancong
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA ( PITI )
TERHADAP ISLAMISASI DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Moh. Muhyidin
NIM: 1111032100052
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Moh. Muhyidin
Nim : 1111032100052
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Studi Agama-Agama
Alamat Rumah : Jl. Masjid Baiturrohim No. 2 Pasuruhan, Kec, Kayen,
Kab, Pati, Provinsi Jawa Tengah, Kode Pos 59171
Telp/Hp : 0813-1133-2252
Judul Skripsi : Peranan PITI Terhadap Islamisasi di Indonesia
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Desember 2017
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PERANAN PITI TERHADAP ISLAMISASI DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Moh. Muhyidin
NIM: 1111032100052
Di bawah Bimbingan:
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA
NIP: 19471019197703 2 001
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Peranan PITI Terhadap Islamisasi di Indonesia” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada hari Selasa, 06 Maret 2018, Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Jurusan Studi Agama-
Agama.
Jakarta, 06 Maret 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Dr. Media Zainul Bahri, MA
NIP. 19751019 200312 1 003
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Halimah SM, MA
NIP. 19590413 199603 2 001
Anggota,
Penguji I
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
NIP. 19510304 198203 1 003
Penguji II
Dr. H. M. Amin Nurdin, MA
NIP. 19550303 198703 1 003
Pembimbing
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA
NIP: 19471019197703 2 001
iv
ABSTRAK
Moh Muhyidin
PERANAN PITI TERHADAP ISLAMISASI DI INDONESIA
Dalam norma politik, identitas etnis mendapatkan titik tekan yang
dominan. Penggunaan istilah “Tionghoa Muslim” atau “Cina Muslim” lebih
populer dibandingkan “Muslim Tionghoa” yang sempat familiar pada 1980-an.
Namun dalam penggunaan istilah “Tionghoa” atau “Cina” masih banyak
perbedaan pendapat baik di kalangan umum maupun di kalangan Tionghoa
sendiri. Organisasi PITI sebagai saluran partisipasi Tionghoa Muslim mulai rutin
mengadakan musyawarah nasional dan menggunakan kembali kedua
kepanjangannya secara bersamaan. Isu politik Tionghoa Muslim pun merujuk
pada isu-isu yang juga diangkat oleh Tionghoa lain seperti kesamaan hak,
eliminasi diskriminasi, undang-undang kewarganegaraan, dan juga penegakan
hukum.
Sedangkan di tingkat lokal, Tionghoa Muslim masih sama dengan lainnya
dalam hal hubungan konsensus dengan pihak Kesultanan. Dimensi budaya
(tradisi) juga tampak titik tekan yang sama, yaitu dominannya identitas budaya
etnis Tionghoa. Dengan dicabutnya pelarangan terhadap ekspresi kesenian dan
tradisi Tionghoa, Tionghoa Muslim di Yogyakarta juga mulai ikut berekspresi,
misalnya mulai ikut merayakan hari raya Imlek dengan cara-cara tertentu.
v
KATA PENGANTAR
“Secangkir kopi lebih jujur darimu, ia pahit tanpa menyembunyikan pahitnya, ia
hitam tanpa malu mengakui warnanya”
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa
melimpahkan rahmat serta karunianya dalam segala hal, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Peranan PITI Terhadap Islamisasi
di Indonesia”. Sholawat serta selam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para Sahabatnya, serta kepada
umatnya hingga akhir zaman. Amin ya rabb.
Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu pada Program Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat
banyak kesan dan pelajaran dalam setiap proses yang amat panjang dalam
menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata hasil kerja keras
penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada
dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu sudah selayaknya penulis ingin memberikan ucapan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang turut membantu dalam
setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa dukungan, bantuan,
serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Oleh karena itu
setelah rampungnya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyebutkan beberapa
nama yang teramat berkesan dihati penulis, yaitu:
vi
1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA, selaku dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yang tidak pernah
bosan memberikan motivasi, bimbingan, do‟a, dan kepercayaan yang sangat
berarti bagi penulis.
2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua
dan sekretaris jurusan Studi Agama-Agama, yang telah membantu dan
memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama, Dr. Ahmad
Ridho, DESA, Pros. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA,
Dra. Hermawati, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr.
Hamid Nasuhi, M,Ag, Dr. Abdul Muthalib dan Dra. Siti Nadroh, MA, yang
telah memberikan berbagai ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Utama Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Depok, dan
Perpustakaan Nasional yang telah membantu menyediakan referensi yang
dibutuhkan penulis.
6. Keluarga Besarku, Ayahanda tercinta Alm. Ahmad Munajib, Ibunda tercinta
Umy Nur Hidayati yang senantiasa memanjatkan do‟a dan harapannya untuk
anaknya tercinta. Kakak Moh. Ali Mahmudi, serta adikku tersayang Moh.
Afifuddin dan Muadzim yang selalu membantu dan memberi dukungan.
vii
7. Keluarga besar di Ciledug Sepahat Foundation, Kang Mohammad Luthfi,
Kang Abdul Rohman, Kang Abdul Basir, Mbak Soli, Mas Aflah, Mas
Muhsinuddin Tidak lupa juga untuk keluaraga besar di Simbah Suwardi dan
mbah Putri di kampung halaman maupun di Jawa Timur.
8. Teman-teman angkatan terkhusus Hodari Mahdan Abdalla, Ati Puspita, Nisa
Fahradina, Noviah, Mila Kamilah, Fatimah Al- Batul, Erik Ermawan, Roni,
Miftah, Arip Nurahman yang mengisi hari-hari ku di kampus, juga Mylinda
Chaerunissa, Enis Chaerunisa, Anissa Khalida yang selalu mememani untuk
mencari referensi.
9. Teman-teman CURIOUS ( Community Of Religious Studies), dan Pejuang
Toga 2011 yang memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba
ilmu di jurusan Perbandingan Agama.
10. Keluarga Besar Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang sudah
menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu di Jakarta, terkhusus
untuk Herman Saputra, Ahmad Chussanuddin, Annisah, Hanna, yang telah
memberikan banyak pengalaman non akademis sebagai tambahan
pengetahuan untuk bekal hidup di masyarakat.
11. Teman-teman KKN Sagara 2014, Yasser Adnan, Ismadhani, Sogi, Moh.
Sulthon, Hakim, Hadyan, Owi, Fikri Dikriansyah, Ahmad Rojali, Pram
Rosabella, Opitasari, Ayu, Rindiastuti, Hilda Israa, Annisa Fauziah, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Jamilatussa‟adah, si Dinda yang senantiasa menemani penulis dalam segala
situasi dan kondisi, baik susah maupun senang. “Senyum manismu selalu
viii
mendatangkan semangat baru, Jems.” Begitu juga orang tua dan kedua
kakaknya.
Barakallah, semoga kebaikan semua pihak yang penulis cantumkan di atas
dapat menjadi „pemberat‟ timbangan amal baik di yaum al-mizan nanti. Penulis
teringat pada janji Allah yang termaktub di dalam kitab suci-Nya. “Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
balasan-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat balasan-nya pula “ (Q. S. Al-Zalzalah 99:7-8).
Terakhir, dari lubuk hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih rentan terhadap kesalahan dan kekurangan sekaligus masih jauh dari
kata “sempurna”. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas segala bentuk
kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini sekaligus membuka diri
untuk kritik dan saran demi kesempurnaannya di masa yang akan datang.
.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…......................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ….............................................................................. 8
E. Metode Penelitian …............................................................................ 9
F. Sistematika Penulisan …..................................................................... 10
BAB II SEJARAH ISLAMISASI DI INDONESIA
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia …........................................... 12
A.1. Teori Gujarat .............................................................................. 13
A.2. Teori Arab .................................................................................. 15
A.3. Teori Persia ................................................................................ 17
B. Faktor Islamisasi …............................................................................ 19
B.1. Perdagangan …........................................................................... 20
B.2. Perkawinan …............................................................................. 22
B.3. Politik …..................................................................................... 23
iix
BAB III KOMUNITAS MUSLIM CINA DI INDONESIA
A. Organisasi PITI di Indonesia ........................................................... 27
B. Peran Islamisasi PITI ....................................................................... 35
BAB IV PERANAN IMPLEMENTASI ISLAMISASI PITI DI INDONESIA
A. Pengertian Implementasi PITI ....................................................... 41
a. Peran PITI dalam menginternalkan Islam ............................... 42
b. Perkembangan Kegiatan PITI di Indonesia ............................. 43
c. Bukti PITI dalam Bidang Ekonomi ........................................ 46
B. Dinamika Tionghoa Muslim .......................................................... 47
C. Bentuk Usaha-usaha PITI Kolektif dan Personal .......................... 50
D. Geliat PITI Pasca Orde Baru ......................................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …............................................................................... 61
B. Saran …......................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...........................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke 14 M, Kondisi Nusantara sedang mengalami masa
keruntuhan kerajaan Hindu-Budha. Masa ini merupakan masa transisi agama
dari Agama Hindhu-Budha ke masa Islam di Nusantara (baca: Indonesia).1
Masa transisi ini juga dibarengi adanya imigran Cina muslim yang
berbondong-bondong berdatangan hingga menetap di Nusantara. Meskipun
hubungan antara Indonesia dengan Cina sudah terjalin dari abad ke 5 M.2
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Islam lebih dahulu masuk ke
Cina daripada ke Indonesia. Pada sisi lain, Cina sudah memiliki hubungan
yang cukup tua dengan Indonesia, baik dalam konteks perdagangan, politik,
maupun kebudayaan. Ketika sebagian Cina sudah di islamkan, maka yang
berhubungan dengan Nusantarapun sebagiannya adalah Cina muslim. Atas
dasar itu bisa dikatakan bahwa Cina memiliki peran tersendiri dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Hubungan antara Indonesia dan China sudah
berlangsung cukup lama.
Ditinjau secara historis, para sejarawan meyakini bahwa proses
islamisasi Jawa terjadi pada bentangan abad ke-14 sampai 16. Di Jawa,
rentangan abad ini memang sangat penting sebab masa-masa ini merupakan
proses penguatan basis-basis Islam. Islam tidak lagi tampil sebagai
1 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam
di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 4. 2 Liang Jii, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis; 2000 Tahun Perjalanan Hubungan
Tiongkok-Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2012), h. iii.
2
“community” yang sporadis tetapi sudah menjadi “society” yang terstruktur
dengan sistem yang cukup baik dan rapi. Pada masa ini juga terjadi tonggak
sejarah yang penting di Jawa: Kerajaan Majapahit hancur untuk kemudian
berdiri kerajaan-kerajaan Islam (vorstendommen) di pesisir utara Jawa yang
berpusat di Demak. Pada saat yang sama, Rosita Budi Suryaningsih
mengatakan bahwa imigran Tionghoa muslim di Indonesia telah ada sebelum
Portugis dan Belanda datang. Sekitar abad ke-15, imigran Cina Muslim yang
sebagian besar berasal dari Guangzhou dan Fujian mendarat di nusantara.
Mereka tinggal di Indonesia dengan mata pencaharian sebagai pedagang,
bertani, dan sebagai tukang. Secara tidak langsung, keberadaan imigran Cina
tersebut ikut berpartisipasi terhadap proses islamisasi di Nusantara.3
Berita pertama mengenai masyarakat Cina Muslim di Jawa berasal dari
Haji Ma Huan, seorang sekretaris dan juru bahasa Cheng Ho (Zheng He) 14.
Ma Huan sedikitnya telah mengikuti tiga kali misi muhibah Cheng Ho.
Masing-masing muhibah keempat (1413-1415). keenam (1421-1422) dan yang
ketujuh (1431-1433). Dari perjalanan muhibahnya tersebut Ma Huan
berkesempatan melihat dari dekat. Orang Cina Muslim pada abad ke 15 sudah
banyak terdapat dikota-kota pelabuhan, terutama di Pantai Utara.4
Jika pada abad ke 14 hingga 16 di Nusantara sedang terjadi Islamisasi
atau penyebaran Islam, maka bersamaan pada abad tersebut Imigran Tionghoa
3 Rosita Budi Suryaningsih, “Jejak Tionghoa Dalam Penyebaran Islam di Nusantara”
dalam Rubik Khazanah, diambil dari http://khazanah.republika.co.id pada 17 Februari 2017. 4 Handinoto dan Sameul Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan
Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16”, dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1,
Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2007, h. 28.
3
sudah memasuki Nusantara, dapat disimpulkan bahwa China (Tionghoa)
berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kenyataan tersebut
dibuktikan keikutsertaan muslim Cina membangun kesultanan Demak.
Kesultanan Demak merupakan pusat pemerintahan Islam di Nusantara. Muslim
Cina ini adalah para mufassir bermadzhab Hanafi kemudian mendirikan masjid
di daerah Semarang.5
Kenyataan di atas dapat diteliti dari teori masuknya Islam di Nusantara.
Ada beberapa teori yang masih debateable tentang masuknya Islam di
Indonesia ini, apakah dari Arab, Persia, India (Gujarat dan Bangla), atau China.
Namun demikian, jalur Islam awal yang benar adalah berasal dari Bangla,
meskipun ada beberapa batu nisan di bagian Nusantara mungkin berasal dari
Gujarat, namun itu (sesudah al-Malik al-Saleh wafat) bukan berarti Islam
berasal dari sana.6
Secara sosio-historis, Islam mudah diterima dan berkembang pesat di
Nusantara. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Ricklefs membagi menjadi
dua faktor diterimanya Islam di Nusantara, pertama faktor intern dan kedua
adalah faktor ekstern. Faktor internya adalah ajaran Islam mudah diterima,
sedangkan faktor eksternnya adalah adanya keruntuhan kerajaan Majapahit dan
Sriwijaya. Selain itu didukung dengan dua proses yang terjadi, pertama
penduduk melakukan kontak langsung dengan agama Islam. Kedua orang asing
Asia (Arab, India, China, dll.) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara
5 Rochmawati, Masyarakat dan Budaya; Pembaruan yang Tak Terselesaikan
(Jakarta: PMB, 2004), h. 115. 6 M. Abdul Karim. Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi
Teori Bangla dan Gujarat). Makalah, tanpa tahun terbit, h. 15.
4
tetap di suatu wilayah Indonesia. 7
Dari beberapa teori mengenai kedatangan agama Islam ke Indonesia,
teori China belum dieksplorasi secara sungguh-sungguh padahal orang-orang
Muslim China mempunyai peranan penting dalam proses penyebaran agama
Islam di Indonesia, termasuk diantaranya ada seorang penjelajah asal China
beragama Islam yang bernama Cheng Ho atau Zheng He atau Sam Po Kong
pernah berkunjung ke Indonesia dan memberi dampak yang besar.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Slamet Muljana, bahwa belum banyak
sejarawan yang mengupas perhatiannya terhadap orang-orang China dalam
Islamisasi (penyebaran Islam di Nusantara).8
Pendapat di atas dikuatkan oleh Muhammad Husnil. Selama ini banyak
kajian tentang muslim Cina di Jawa, tetapi uraiannya sangat terbatas, partikular
dan spesifik. Maka dari itu sampai ini belum ada karya ilmiah yang membahas
secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia. Padahal
eksistensi Cina muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa dapat
dibuktikan dengan peningggalan purbakala Islam di Jawa. Dengan demikian
menandakan adanya pengaruh Cina yang cukup kuat.9
Salah satunya adalah perkembangan masjid di Indonesia dimulai sejak
7 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT. Serambi Imu
Sejahtera, 2010), h. 3. 8 Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam
di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. v. 9 Muhammad Husnil, “Rekonstrukis Sejarah Masuknya Islam ke Jawa” resensi buku
Arus Cina-Islam Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama
Islam di Nusantara Abad XV-XVI karya Smanto al-Qurtuby, diakses dari
http://islamlib.com/aksara/buku/rekonstruksi-sejarah-masuknya-islam-ke-jawa/ pada 13 Maret
2016.
5
abad ke-16, terdapat adaptasi bangunan bergaya Hindu-Budha pada bangunan
masjid. Ciri khasnya adalah bangunan bertiang tunggal, atapnya perisai dan
bersusun, semakin tinggi kesuciannya. Di Jawa. Bentuk-bentuk seperti ini
berkembang menjadi tempat ibadah Agama Islam.
Penelitian yang dilakukan oleh Fajar Apandi (2011) tentang Islamisasi
di Jawa Barat abad XV M menghasilkan Syekh Quratul’ain adalah Ulama yang
berperan besar dalam penyebaran Islam di Jawa Barat pada Abad ke XV.
Syekh Quro merupakan Ulama besar Mekkah yang menyebarkan Islam di
Campa. Masuknya Syekh Quro justru atas ekspedisi pelayaran Dinasti Cheng
Tu dari Dinasti Ming pada tahun 1409 M dalam rangka menjalin kerjasama
Tiongkok-Malaka.10
Dengan data di atas maka asumsi pengaruh China atau
Tiongkok dalam Islamisasi di Indonesia sangat kuat. Sumanto al-Qurtuby
menjelaskan eksistensi Cina muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa
tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian pengelana asing, sumber Cina dan teks
local Jawa, melainkan ditunjukkan dengan beberapa bukti berbagai
peninggalan purbakala Islam Jawa. Seperti ukiran masjid kuno di Mantingan,
Jepara, menara masjid Pecinaan Banten, arsitektur keraton Cirebon berserta
taman Sunyaragi dan berbagai peninggalan lainnya.11
Selain persoalan sejarah, hal yang mendasar lainnya adalah aspek
budaya yang melekat dalam islam di Nusantara. Salah satu buktinya adalah
10
Fajar Apandi, “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV”, Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 63. 11
Sumanto al-Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan
Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI (Yogyakarta:
INSPEAL, 2013), h. 56.
6
Masjid di Surabaya yang diberi nama masjid Muhammad Cheng Ho. Masjid
tersebut mirip dengan Masjid Nie Jie di Beijing. Bangunan didominasi cat
warna merah, kuning, dan hijau. Selintas, orang melihat bangunan itu sebuah
kelenteng. Tetapi, setelah masuk, terlihat sebuah beduk terpajang sebagai
penanda waktu salat. Pendirian mesjid itu, sebagai bentuk penghormatan
terhadap keteladanan Cheng Ho, seorang muslim yang cinta damai dan
berwawasan luas.12
Pengaruh arsitektur di atas dapat dibenarkan, sebab
banyaknya Cina dari propinsi Guangdong yang terdapat di Jawa. Hal ini
penting karena sebagian besar suku Konghu (asal Guangdong) secara turun
menurun berprofesi sebagai tukang yang sangat ahli dalam pengerjaan kayu
dan batu.13
Walisongo Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah,
pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok14
selain keturunan
Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah
Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif
mempraktikkan kultur Tionghoa.15
Selain itu masih berdampak hingga saat ini. Syiar agama Islam dan
masyarakat Tionghoa Peranakan juga menghasilkan komunitas Tionghoa
Muslim dan masjid-masjid berasitektur khas Tionghoa. Salah satunya Masjid
12
Fadil Satrio Wicaksono, “Peranan Cheng Ho dalam Perkembangan Islam di
Indonesia tahun 1405-1433” Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, h. 2. 13
Handinoto dan Samuel, “Pengaruh Arsitektur”, h. 29. 14
Agus Sunyoto, Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo
Sebagai Fakta Sejarah (Bandung: Mizan, 2012), h. 83. 15
Mulyana, Runtuhnya Raja Hindu-Budha, h. 63.
7
Lautze yang ada di Jakarta Pusat.16
Dengan kata lain, islamisasi yang terjadi
pada masa dahulu masih berdampak hingga saat ini.
Permasalahan yang muncul adalah apakah komunitas muslim Cina
berpengaruh dalam islamisasi di Nusantara. Melihat data yang ada islamisasi
yang terjadi berbarengan dengan adanya imigran Cina yang berdatangan dan
menetap di Indonesia. Adapun urgensinya adalah budaya apa saja yang masih
berkembang dari muslim Cina di Indonesia pada saat ini. Oleh karena itu
penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai Pengaruh komunitas Cina
dalam Islamisasi di Indonesia.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merumuskan masalah pada:
1. Apakah komunitas Cina berpengaruh pada masa Islamisasi di
Indonesia?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pengaruh PITI terhadap Muslim di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi persoalan pengaruh Cina
terhadap Islamisasi di Indonesia. Dengan meninjau aspek sejarah, sosial serta
hubungan politik dan perdangan yang terjadi antara Cina dan Indonesia.
selanjutnya mengeksplorasi keterpengaruhan Muslim Cina yang ada di
Indonesia saat ini.
16
Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara; Catatan Perjalanan dari Barat
ke Timur (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), h. 152.
8
1. Manfaat penelitian ini bersifat dasar atau murni. Dimana penulis berupaya
menjawab permasalahan yang diangkat secara menyeluruh.
2. Selain itu untuk penulis penelitian ini memiliki manfaat sebagai
persyaratan mencapai gelar sarjana strata satu dalam Fakultas Ushuluddin,
jurusan Studi Agama-Agama.
3. Selanjutnya untuk pembaca dapat memperdalam pengetahuan mengenai
pentingnya tauhid serta implemetasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Sekaligus sebagai wahana untuk menambah khasanah keilmuan agar dapat
memberikan penerangan atau informasi kepada pembaca tentang
pentingnya memahami peranan dan pengaruh muslim Cina di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang
diangkat penulis. Di antaranya sebagai berikut:
1. Skripsi yang dibuat oleh Fajar Apandi berjudul “Islamisasi di Jawa
Barat Abad XV”, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Skripsi tersebut terbatas pada
wilayah penelitian dan waktu yang ditentukan. Hasil penelitiannya
adalah pada abad ke XV M di Jawa Barat terjadi Islamisasi yang
dipengaruhi oleh Cina. Adapun pasukan Cina yang datang pada saat
itu adalah Ceng Ho. Akan tetapi tokoh yang paling berpengaruh
pada penelitian tersebut adalah Syeikh Quro.
2. Skripsi yang dibuat oleh Fadil Satrio Wicaksono berjudul Peranan
Ceng Ho dalam Perkembangan Islam di Indonesia pada tahun 1405
9
– 1433 M. penelitian tersebut berorientasi pada Tokoh Ceng Ho
yang berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia. Kemudian
penelitian tersebut terbatas pada tahun 1405 – 1433. Dengan kata
lain, penelitian tersebut terbatas pada abad ke 14 M saja.
3. Beberapa Jurnal terkait penelitian, di antaranya Robert Siburian
melakukan penelitian dengan judul Etnis Cina di Indonesia; Fakta
Komunikasi Antar Budaya dalam Jurnal Penelitian Lembaga Ilmu
Pengaetahuan Indonesia. Kemudian Herdanto dan Samuel Hartono
menulis penelitian berjudul Pengaruh Pertukangan Cina Pada
Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad 15 – 16 M.
Dari penelitian yang ada semuanya berbeda dengan penelitian yang akan
diangkat oleh penulis. Dengan demikian penelitian ini bersifat baru dan
original.
E. Metode Penelitian
Teknik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data, dalam penyusunan
karya akademik ini adalah “library research” (studi kepustakaan). Metode ini
berupa pengumpulan data-data yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas, melalui berbagai literatur baik sumber primer maupun sekunder.
1. Sumber Primber
Data primer penelitian ini adalah mengacu pada buku Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008 karya Ricklefs.
2. Data Sekunder
Data sekunder diambil dari buku Slamet Muljana tentang Runtuhnya
10
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam di Nusantara.
Buku Agus Sunyoto Atlas Walisongo, Dari Relasi Upeti ke Mitra
Strategis Karya Prof. Liang Jii. Buku Iwan Santosa Peranakan
Tionghoa di Indonesia, dan buku Sumanto al-Qurtuby dengan judul
Arus Cina-Islam Jawa.
Sedangkan metode yang diterapkan dalam penulisan ini adalah deskriptif
dan analisis kritis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberi
gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan karya akademik
ini. Analisis kritis digunakan agar penulis dapat menyusun karya akademik ini
dalam bentuk yang sistematis sehingga dapat mengenai pada inti permasalahan.
Adapun panduan dalam penulisan karya ilmiah ini berdasarkan pada buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012, penerbit UIN Jakarta
Press.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika pembahasan disusun untuk memudahkan dalam memahami
penelitian ini secara sistematis. Adapun kerangka penulisannya tersistematika
sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang mendeskripsikan permasalahan tentang
pengaruh Cina dalam Islamisasi di Indonesia pada abad 14 – 16 M. Pada bab
ini dibatasi pada permasalahan pokok yang dijadikan acuan penelitian, serta
merumuskannnya kembali. Selanjutnya diuraikan mengenai tujuan dan
manfaat, tinjauan pustaka, serta metodologi yang digunakan untuk melakukan
11
penelitian.
Bab kedua, berisi uraian penjelasan terkait sejarah masuknya Islam di
Indonesia. Pada bab ini dijelaskan secara umum mengenai hubungan yang
terjadi antara Cina dan Indonesia dari masa awal dan misi atau tujuan adanya
hubungan Cina-Indonesia.
Bab ketiga, menjelaskan tentang komunitas muslim cina di indonesia,
uraian pada bab ini terdiri dari penjelasan mengenai organisasi PITI dan
perannya, serta perkembangan Islam di Indonesia.
Bab ke empat, berisi bukti implementasi islamisasi PITI di Indonesia.
Pada bab ini penulis menganalisa dari mulai keberadaan muslim Cina di
Indonesia. Keberadaan muslim Cina menjadi pijakan awal untuk menganalisa
adanya pengaruh-pengaruh terhadap islamisasi PITI di Indonesia. Selain itu
juga penulis meganalisa dari aspek sosial dan politik.
Bab ke lima Penutup adalah bab terakhir dari keseluruhan rangkaian
pembahasan, memaparkan kesimpulan sehingga memperjelas jawaban
terhadap persoalan yang dikaji serta saran-saran berkenaan dengan
pengembangan keilmuan agar dapat mencapai hal-hal yang lebih baik dan
bermanfaat.
12
BAB II
SEJARAH ISLAMISASI DI INDONESIA
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang paling luas wilayahnya dan terbesar
jumlah penduduknya di Asia Tenggara. Perlu diketahui bahwa wilayah
Indonesia yang dulu disebut dengan istilah Nusantara dikenal mancanegara
sebagai daerah yang subur serta kaya akan potensi alamnya. Karena hal
tersebut, tidak mengherankan jika para pedagang-pedagang asing berdatangan
ke wilayah-wilayah di Nusantara. Sejak lama Indonesia memainkan peranan
penting dalam dunia perdagangan, politik, penyebaran agama dan kebudayaan.
Memahami masuknya Islam di Indonesia merupakan proses yang
sangat penting, namun juga hal yang paling tidak jelas.18
Hal tersebut
disebabkan teori-teori masuknya Islam yang debatable. Kondisi tersebut
mendukung ketidakpastiannya kesimpulan mengenai proses masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia.19
Menurut Azyumardi Azra menyebutkan kemunculan Islam di
Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad -17 menempuh
beberapa fase. Fase pertama, sejak akhir abad ke - 8 M sampai ke-12 M
ditandai dengan hubungan yang ada umumnya berkenaan dengan perdagangan.
Inisiatif dalam hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai Muslim Timur
Tengah, khususnya Arab dan India. Dalam fase berikutnya sampai akhir abad
18
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT. Serambi Imu
Sejahtera, 2010), h. 3. 19
Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, h. 3.
13
ke -15, hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek aspek lebih
luas. Muslim Arab dan India yang terdiri dari pedagang atau pengembara sufi,
mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara.
Pada tahap ini hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Tahap
ketiga adalah sejak abad ke-16 sampai paruh kedua abad ke-17. Dalam masa
ini hubungan yang terjalin lebih bersifat politis di samping keagamaan.20
Beberapa teori yang dikatakan debatable adalah mengenai teori India,
Mekkah (Arab), Persia, serta Bangla (Bangladesh), termasuk teori Cina.
Bentuk debatable teori masuknya Islam di Indonesia salah satunya dibuktikan
dengan antara jalur Islam pada masa awal menunjukkan berasal dari Bangla.
Sedangkan Batu Nisan sebagai simbol makam orang Islam berasal dari Gujarat
(India).21
Akan tetapi gelar seperti Syaikh, Said, Syarif menunjukkan identitas
Arabnya.22
Penulis merincikan beberapa teori masuknya Islam sebagai berikut:
A.1. Teori Gujarat
Teori Gujarat didasarkan atas pandangan yang mengatakan asal daerah
yang membawa Islam ke Nusantara adalah dari Gujarat. Menurut Abdul
Ghofur, Peletak dasar teori ini pertama dikemukakan oleh Pijnepel (1872 M)
yang menafsirkan catatan perjalanan Sulaiman, Marcopolo dan Ibn Batutah.23
Teori ini dikemudian hari mendapat dukungan dari Snouck Hurgronye yang
20
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: kencana Prenada Media
Group,2004), h. 50. 21
M. Abdul Karim. “Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi
Teori Bangla dan Gujarat)”. Makalah tanpa tahun terbit, h. 15. 22
M. Naquib al-Attas, Islam and Secularisme (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), h. 15. 23
Abd. Ghofur, “Tela’ah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara”
dalam Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2, Juli 2011, h. 161.
14
mendasarkan dengan alasan-alasan berikut ini: pertama, kurangnya fakta yang
menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke
Nusantara, kedua, hubungan dagang. antara Indonesia-India telah lama terjalin
dengan baik; ketiga, Inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera
memberikan gambaran hubungan dagang antara Sumatera dan Gujarat.24
Azyumardi menambahkan Islam menyebar dan cukup kuat pada masa
itu dan menduduki kota-kota di pelabuhan. Salah satunya kota Deccan,
mayoritas penduduknya beragama Islam dan berprofesi sebagai pedagang.
Orang Deccan inilah yang berperan menyebarkan Islam di Indonesia melalui
jalur perdagangan.25
Pandangan Snouck Hurgronye tersebut memiliki pengaruh besar pada
masa-masa selanjutnya karena mendapat legitimasi dari sejarawan Barat antara
lain Stutterheim dalam karyanya (De Islam en Zijn Komst in De Archple),
Bernard H.N. Vlekke, (Nusantara A History of Indonesia), BJO. Schriekie
(Indonesian Sociological Studies), Clifford Geertz (The Religion of Java),
Harry J. Benda (A History of Modern South East Asia) Van Leur (Indonesian
Trade And Society), T.W. Arnold (The Preaching of Islam).26
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya berkesimpulan bahwa
tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Kesimpulannya muncul setelah
ia mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan Utara Sumatra (Aceh
24
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 162. 25
Azra, Jaringan Ulama, h. 40. 26
Ahmad Mansur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan 2002), h. 75-78.
15
sekarang) khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831H/ 27 September
1428M. Batu Nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang
ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.822/1419M) di Gresik Jawa
Timur ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang terdapat di Cambay
Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan inilah ia berkesimpulan bahwa
batu nisan dari Gujarat bukan hanya untuk pasar local, tetapi juga diimpor ke
kawasan lain. Salah satunya ke wilayah Nusantara.27
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Islam masuk ke
Indonesia melalui pedagang India yang beragama Islam. Masuknya Islam di
Indonesia (menurut teori India) sekitar abad ke 12M. Bukti corak Indianya
berasal dari batu nisan yang ditemukan pada makam orang Islam di Indonesia.
Batu Nisan inilah yang menjadi bukti identitas antara Islam, India dan
Indonesia saling berhubungan.
A.2. Teori Arab.
Teori masuknya Islam melalui Arab lahir atas kritik terhadap teori
masuknya Islam dari India. Salah satu bentuk kritiknya adalah fakta mayoritas
muslim Indonesia bermadzhab Syafi’i menunjukkan bukan berasal dari India,
melainkan dari Arab. Fajar Affandi dalam sebuah penelitiannya mengutip dari
Alwi bahwa Snouck mengakui bahwa madzhab Syafi’i yang ada di Indonesia
memungkinkan berasal dari Arab yang bermigrasi ke India. Dengan kata lain
27
Azra, Jaringan Ulama, h. 25.
16
India hanya sebatas tempat transit semata.28
Salah satu sejarawan Barat yang pernah memunculkan teori Arab
adalah Crawfurd (1820 M), Keyzer (1859 M), Veith (1878 M).29
Umumnya
sejarawan nusantara yang giat memperjuangkan dan mendukung teori Mekah
adalah mereka yang terlibat langsung dan tak langsung dalam seminar masuk
dan berkembangnya Islam di Nusantara baik di Medan maupun di Aceh, dan
sejarawan yang paling gigih adalah Hamka dan M. Naquib al-Attas.
Hamka menilai wilayah Gujarat bukan tempat asal datangnya Islam,
tetapi Gujarat hanya sebagai tempat singgah dari saudagar-saudagar Arab
seperti dari Mekah, Mesir dan Yaman. Sebenarnya Mekkah atau Mesir adalah
tempat asal pengambilan ajaran Islam13. Ia juga mendasarkan bahwa mazhab
terbesar yang dianut sebagian besar umat Islam Nusantara adalah Mazhab
Syafii sama dengan mazhab yang sama dianut masyarakat Mekkah masa itu,
alasan ini jarang diungkap sejarawan Barat masa awal.
Lain Halnya Naquib al-Attas, menurutnya tidak ada satupun karya
literature yang relevan berasal dari India. Memahami karakteristik internal
Islam sangatlah penting, sehingga mengenai bahwa Islam datang tidak hanya
berasal dari unsur eksternalnya saja. Kebanyakan literature justru berasal dari
Jazirah Arab, atau setidaknya dari Persia.30
Selain itu penggunaan gelar Syarif,
Said, Muhammad, Maulana juga identik dengan asal mereka dari Mekah dan
28
Fajar Apandi, “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV”, Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 34. 29
Azzumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor, 1994),
h. XL. 30
Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah Melayu (Bandung: Mizan, 1997), h. 55.
17
kedatangan mereka termasuk paling awal di kawaasan Nusantara ini. Bukti
lain adalah pada tahun 1297 M Gujarat masih berada di bawah naungan
kerajaan Hindu, setahun kemudian baru ditaklukkan tentara muslim.31
Dengan demikian, teori Arab mendasarkan pandangan masuknya Islam
diidentikan dengan unsur internal Islam itu sendiri. Arab merupakan permulaan
Islam muncul, oleh karena itu Arab lah yang menyebarluaskan Islam, termasuk
sampai ke wilayah Nusantara. Unsur internal lain adalah literature sebagai
sumber-sumber Islam juga menunjukkan bukti bahwa Islam berasal dari Arab.
Namun yang masih menjadi catatan adalah Arab yang dimaksud secara umum
merupakan jazirah arab, tidak diidentikan secara pasti apakah Saudi Arabia,
Mesir atau Iraq dan sebagainya. Semuanya terangkum dalam satu jazirah
Arabia.
A.3. Teori Persia
Teori Persia, dipelopori oleh P.A. Hoesin Djajadiningrat dari Indonesia.
Titik pandang teori ini memiliki perbedaan dengan teori Gujarat dan Mekah
mengenai masuk dan datangnya Islam di Nusantara. Islam masuk ke Indonesia
menurut Hoisen Djajadiningrat berasal dari Persia abad ke-7 M.32
Dasar dari
teori Persia ini adanya perkumpulan orang-orang Persia di Aceh sejak abad ke-
15. Pada saat itu pemakaian gelar Syah yang biasa digunakan di Persia, juga
pernah digunakan raja-raja.33
31
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 163. 32
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 162. 33
Rosita Baiti, “Teori Dan Proses Islamisasi Di Indonesia” dalam Jurnal Wardah, no.
XXVIII/ th. XV/Desember 2014, h. 140.
18
Teori ini memfokuskan tinjauannya pada sosio-kultural di kalangan
masyarakat Islam Indonesia yang ada kesamaan dengan di Persia. Diantaranya
adalah perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya
ajaran Syekh Siti Jenar zaman penyebarann Islam Wali Sanga ada kesamaan
dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia.34
Selain itu, terdapat persamaan
budaya antara masyarakat Indonesia dengan Persia. Contohnya, peringatan hari
Asyura pada tanggal 10 Muharram atas wafatnya cucu Nabi Muhammad,
Hasan dan Husen.35
Teori ini banyak mendapat kritikan ketika diadakan seminar masuk dan
berkembangnya Islam di Indonesia diselenggarakan di Medan tahun 1963 M.
Kritik itu muncul dari Dahlan Mansur, Abu Bakar Atceh, Saifuddin Zuhri, dan
Hamka. Penolakan teori ini didasarkan pada alasan bahwa, bila Islam masuk
abad ke-7 M. yang ketika itu kekuasaan dipimpin Khalifah Umayyah (Arab),
sedangkan Persia Iran belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan
masuknya Islam dalam suatu wilayah, bukankah tidak identik langsung
berdirinya kekuasaan politik Islam.36
Dari penjelasan di atas, secara umum tiga teori masuknya Islam saling
mengisi dan mengritik satu sama lain. Teori masuknya Islam dari berbagai
daerah merupakan kerangka dasar bagaimana memahami proses penyebaran
Islam atau Islamisasi yang terjadi di Indonesia. Dalam konteks Islam
Indonesia, isu penting yang berkembang sejak awal proses Islamisasi adalah
34
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 162. 35
Rosita Baiti, “Teori Dan Proses Islamisasi” h. 141. 36
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 164.
19
perjalanan masuknya Islam itu sendiri serta media yang digunakan masuknya
Islam di Indonesia.
Selain itu corak ajaran Islam juga menjadi isu sentral dalam masuknya
Islam di Indonesia. Di setiap wilayah, Islam berkembang baik level kerajaan
maupun masyarakat. Sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan
gambaran Islam yang muncul37
Islam di Indonesia. Hal tersebut disebarluaskan
melalui kegiatan kaum pedagang dan sufi yang disebut kemudian dengan neo-
sufisme.38
B. Faktor Islamisasi
Lahirnya beragam teori-teori tentang proses Islamisasi di Indonesia,
berangkat dari munculnya pemikiran para ahli sejarah yang dibangun dalam
rangka menjawab tiga persoalan mendasar. Pertama adalah, kapan tepatnya
Islam datang, dan juga masuk pertama kali ke Indonesia, adakah teori-teori
pendukung lainnya. Kedua, adakah bukti-bukti masuknya Islam ke Indonesia,
dan apakah Islam yang datang ke Indonesia langsung dari Jazirah Arab atau
tidak langsung dari Arab, dalam hal ini melalui Parsi (Iran) dan Gujarat (India).
Ketiga, bagaimana proses Islamisasi di Indonesia dapat barlangsung dengan
mudah, sehingga dapat diterima dengan baik oleh penduduk Indonesia, yang
pada waktu itu sudah di kenal sebagai masyarakat mayoritas memeluk agama
Hindu, Budha, dan juga kental dengan kultur maupun tradisi animisme, dan
37
Rizal Sukma dan Clara Joewono, Gerakan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 250. 38
Ira Lapidus. M, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT Raja grafindo,1999), h.717.
20
dinamisme. Selanjutnya, bagaimana pola penyebaran Islam di Indonesia.39
B.1. Perdagangan
Saluran perdagangan merupakan tahap yang paling awal dalam proses
Islamisasi. Tahap ini diperkirakan pada abad ke-7 M yang melibatkan
pedagang Arab, Persia, dan India. Proses ini sangat menguntungkan, sebab bisa
dilaksanakan pada saat mereka berdagang. Dalam agam Islam, semua orang
Islam adalah penyampai ajaran Islam. Pada saluran ini hampir semua
kelompok masyarakat terlibat mulai dari raja, birokrat, bangsawan, masyarakat
kaya, sampai masyarakat bawah. Proses dipercepat dengan mulai runtuhnya
kerajaan- kerajaan bercorak Hindu-Budha.40
Pembawa ajaran Islam ke Wilayah Nusantara pada awalnya adalah
terdiri dari para pedagang dan para sufi. Kemudian mereka berinteraksi dengan
penduduk pribumi dalam jangka pendek (sambil menunggu musim pelayaran)
untuk berpindah ke negara asal atau negara lain. Dalam jangka panjang
saudagar yang pernah datang ke Nusantara atau yang belum mulai bermukim
berbaur bahkan melangsungkan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dari
perkawinan ini lahir komunitas baru, terutama di pesisir-pesisir pantai.41
Sejak awal Islam tidak pernah membeda-bedakan fungsi seseorang
untuk berperan sebagai dai (juru dakwah). Kewajiban berdakwah dalam Islam
bukan hanya kasta (golongan) tertentu saja tetapi bagi setiap masyarakat dalam
Islam. Sedangkan di agama lain hanya golongan tertentu yang mempunyai
otoritas menyebarkan agama, yaitu pendeta. Sambil membawa dagangannya
39
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 162. 40
Rosita, “Teori Islamisasi” h. 143. 41
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 164.
21
juga membawa akhlak Islami sekaligus memperkenalkan nilai-nilai yang
Islami.
Masyarakat ketika berbenalan dengan Islam terbuka pikirannya,
dimuliakan sebagai manusia dan ini yang membedakan masuknya agama lain
sesudah maupun sebelum datangnya Islam. Sebagai contoh masuknya agama
Kristen ke Indonesia ini berbarengan dengan Gold (emas atau kekayaan) dan
Glory (kejayaan atau kekuasaan) selain Gospel yang merupakan motif
penyebaran agama berbarengan dengan penjajahan dan kekuasaan. Sedangkan
Islam dengan cara yang damai. Begitulah Islam pertama-tama disebarkan di
Nusantara, dari komunitas-komunitas muslim yang berada di daerah-daerah
pesisir berkembang menjadi kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan terus
berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan Islam dari mulai Aceh
sampai Ternata dan Tidore yang merupakan pusat kerajaan Indonesia bagian
Timur yang wilayahnya sampai ke Irian jaya.
Alasan masuknya Islam terkuat melalui jalur perdagangan. Hal tersebut
menunjukkan bukti faktor ekonomilah yang menjadi titik utama masuknya
Islam ke Nusantara. Kedekatan secara ekonomi inilah berdampak pada ikatan
kultur yang lebih menguat. Sebagaimana pernyataan Beti Yanura dalam Jurnal
HISTORIA bahwa Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai
kekuatan kultural.42
Dari hubungan antara pedagang bangsa Arab dengan masyarakat
kepulauan Nusantara, maka terjadilah hubungan lintas social budaya. Adanya
42
Beni Yota, “Perkembangan Islam”, h. 77.
22
interkasi dengan kedua belah pihak yang saling mengenal secara perlahan dan
intensif.43
Bahkan Deliar Noer mendukung teori di atas bahwa dalam sejarah
Islam dijumpai adanya suatu kebiasaan para saudagar yang sekaligus berperan
sebagai penyebar agama atau mubaligh.44
Baik dengan sengaja maupun tidak,
bila ada kesempatan para saudagar menjadi mubaligh, bahkan sebagian mereka
justru kedatangannya dengan sengaja untuk menyebarkan Islam dan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mereka berprofesi sebagai saudagar.
Periode islamisasi yang paling kuat, menurut Reid, terjadi bertepatan
dengan kejayaan perdagangan di Nusantara, yaitu membanjirnya perak sekitar
tahun 1570-1630 M. Periode ini adalah masa hubungan langsung secara
ekonomi, agama, dan militer dengan Mekkah dan Dinasti Turki Utsmani. Pada
saat yang sama, kehadiran agama Kristen yang dibawa oleh orang-orang Eropa
juga meningkatkan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk mengislamkan
penduduk di pedalaman.45
B.2. Perkawinan
Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap yang pertama. Para
pedagang lama kelamaan mulai menetap, baik untuk sementara maupun
permanen. Lambat laun para pedagang ini membentuk perkampungan
perkampungan yang dikenal dengan nama Pekojan. Dalam jangka panjang
saudagar yang pernah datang ke Nusantara atau yang belum mulai bermukim
43
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis”, h. 163. 44
Deliar Noer, Bunga Rampai dari Negeri Kanngguru Australia (Jakarta: Panji
Masyarakat, 1986), h. 330. 45
Azis, S.Hum, “Islamisasi Nusantara Perspektif Naskah Sejarah Melayu”, dalam
Jurnal Thaqaffiyat, Vol. 16. No. 1. Juni, 2015, h. 64.
23
berbaur bahkan melangsungkan perkawinan dengan penduduk pribumi.46
Pada tahap selanjutnya para pedagang ini ada yang mulai membentuk
keluarga dengan cara menikahi para penduduk lokal, misalnya antara Raden
Rahmat (Sunan Ampel) dengan Nyai Manila. Namun proses ini tidak begitu
mudah, mengingat perkawinan dengan orang penganut berhala dianggap
kurang sah, karena itu wanita tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu. Hal
ini dapat dijalankan dengan sederhana, karena tidak memerlukan upacara.
Cukup dengan mengucapkan kalimat Syahadat.
Adanya proses ini menyebabkan penyebaran agama Islam berjalan
lancar karena keluarga hasil perkawinan akan membentuk keluarga muslim.
Selain itu, tidak mustahil dari pihak keluarga kedua mempelai timbul
ketertarikkan untuk masuk agama Islam. Dalam beberapa babad diceritakan
adanya proses ini, misalnya Maulana Ishak menikahi Putri Blambangan dan
melahirkan Sunan Giri. Dalam Babad Cirebon diceritakan perkawinan antara
Putri Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati, Babad Tuban menceritakan
tentang perkawinan antara Raden Ayu Teja, Putri Adipati Tuban dengan Syekh
Ngabdurahman.47
B.3. Politik
Dipeluknya Islam oleh seorang raja merupakan faktor utama ter jadinya
islamisasi secara massif masyarakat Nusantara. Ketika Islam di peluk oleh
seorang raja, dengan serta merta rakyat yang dipimpinnya pun mengikuti apa
yang telah dilakukan oleh rajanya. Hal ini dikarenakan seorang raja memiliki
46
Abd. Ghofur, “Telaah Kritis” h. 164. 47
Rosita, “Teori Islamisasi” h. 144.
24
kedudukan yang sangat tinggi bagi masyarakat Nusantara di mana raja
dianggap sebagai titisan Tuhan atau bayangan Tuhan di muka bumi.48
Van Leur menjelaskan terjadinya konversi massal masyarakat
Nusantara kepada Islam karena adanya perubahan politik di India. Pada waktu
itu kekuasaan Brahmana telah runtuh dan digantikan oleh kekuasaan Islam
Mongol (1526).
Lebih lanjut Van Leur menegaskan bahwa motivasi bupati pantai utara
Jawa memeluk Islam bertujuan untuk mempertahankan kedudukannya. Pada
saat ini, para bupati menjadikan Islam sebagai instrumen politik untuk
memperkuat kedudukannya. Hal ini memberikan indikasi bahwa Islam pada
masa itu telah tersebar ke seluruh pelosok nusantara dan telah menjadi agama
rakyat.
Kota-kota di wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-
pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Pada masa inilah bahasa Melayu
memainkan peranan yang penting dalam kegiatan perdagangan dan dakwah
Islamiyah, sehingga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca
di nusantara. Azyumardi Azra menyebutkan bahwa masa-masa ini tidak hanya
mengantarkan wilayah Melayu ke dalam internasionalisasi perdagangan, tetapi
juga kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat
kawasan ini pada masa sebelumnya.49
Taufik Abdullah berkali-kali mencatat bahwa mana Islam masuk, Islam
berkembang dan Islam menjadi kekuatan Politik. Pada abad ke 13 M pada
48
Azis, S.Hum, “Islamisasi Nusantara”, h. 66. 49
Azzumardi, h. Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), h.
14.
25
dasarnya sudah terdapat di satu wilayah yaitu Peurlak dan Samudra Pasai
Aceh, Islam telah menjadi Kekuatan politik, dibuktikan dengan adanya batu
nisan seorang Sultan pertama di Samudra Pasai. Hal ini dibarengi dengan
tumbangnya kerajaan Sriwijaya di Sumatera.50
Pada abad XIII M, Kerajaan Sriwijaya sudah berada pada titik
kehancurannya. Kerajaan Maritim yang sudah berdiri sejak abad VII M itu
mulai kehilangan wilayahnya yang dirampas oleh Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Siam. Hal ini disebabkan karena kebijakan Sriwijaya yang ter lalu
keras dalam bidang perdagangan yang kemudian membangkitkan persaingan
dan pertengkaran. Bersamaan dengan itu, Sriwijaya mulai mera sakan
pengaruh agama Islam yang menjadi salah satu faktor penyebab keruntuhan
kebudayaan India-Melayu.51
Taufik Abdullah menjelaskan yang lebih rinci tentang kerajaan
Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524. Pada tahun 1521 M. Kerajaan
ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Pada
tahun 1524 M dianeksasi (penyatuan kembali daerah yang sudah terpisah) oleh
raja Aceh, Ali Mughayatsya, sehingga kerajaan Samudera Pasai berada di
bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.52
Pembahasan mengenai Islamisasi telah masuk tahap terakhir, dimana
semua teori telah digunakan untuk menjelaskan proses masuknya Islam di
50
Taufik Abdullah, Islam dan Pembentukan Tradsisi di Asia Tenggara, Sebuah
Perspektif Perbandingan dalam Tradisi dan Kebangkitan di Adsia Tenggara (Jakarta : LP3ES,
1996), h. 59.
51 Azis, “Islamisasi Perspektif Sejarah Melayu”, h. 64.
52 Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 1992), h. 55
26
Indonesia serta penyebarannya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa proses
tidak berhenti pada masa awal kedatangan Islam semata. Islamisasi masih terus
dijalankan bahkan memasuki era penjajahan atau era pembaharuan Islam.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ridwan Lubis dalam buku Soekarno
dan Modernisme Islam. Ridwan Lubis menjelaskan pola Islamisasi dalam
perspektif Soekarno bahwa Islam adalah simbol persamaan, Islam, dan
kemajuan. Persamaan berarti menuju pada struktur sosial yang bersifat egaliter
dan demokratis. Islam itu sendiri sebagai agama yang ajarannya mengandung
aspek rasional, khususnya berhubungan dengan kepentingan ummat manusia.
Prinsip terakhir berupa kemajuan yang menunjukkan apabila Islam dipahami
dengan kemajuan maka Islam akan mendorong kemajuan para ummatnya.53
Dengan pernyataan di atas menegaskan bahwa Islamisasi
memungkinkan terjadi hingga saat ini. Hanya saja terdapat perbedaan antara
islamisasi masa awal kedatangan Islam dengan masa sekarang. Akan tetapi jika
kembali pada prinsip utama proses mengislamkannya dapat dipahami bahwa
dulu ataupun sekarang islamisasi tidak lain bentuk penyebaran dan meyakinkan
Islam sebagai agama yang paling baik sehingga dapat diterima dan dijalankan
oleh masyarakat.
53
M. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010), h. 87.
27
BAB III
KOMUNITAS MUSLIM CINA DI INDONESIA
A. Organisasi PITI di Indonesia
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia PITI didirikan di Jakarta, pada
tanggal 14 April 1961, antara lain oleh Abdul Karim Oei Tjeng Hien,
Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari
Persatuan Islam Tionghoa PIT dipimpin oleh Alm Abdusomad Yap A Siong
dan Persatuan Muslim Tionghoa PMT dipimpin oleh Kho Goan Tjin. PIT dan
PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Sumatera
Utara, di Sumatera Barat, di Riau, di Kepulauan Riau, di Jambi, di Bengkulu,
di Sumatera Selatan, dan di Lampung, diizinkan oleh Sutanto Hartono dan
karyawan SCTV, masing-masing masih bersifat lokal sehingga pada saat itu
keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat baik muslim
Tionghoa dan muslim Indonesia.
Karena itulah, untuk merealisasikan perkembangan ''ukhuwah Islamiyah''
di kalangan muslim Tionghoa, maka PIT yang berkedudukan di Medan dan
PTM yang berkedudukan di Medan merelakan diri pindah ke Jakarta dengan
bergabung dalam satu wadah, yakni PITI.
PITI didirikan pada waktu itu sebagai tangapan realistis atas saran KH
Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam
kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama
Islam.
28
Dalam perjalanan sejarah keorganisasiannya, ketika di era tahun 1960-
1970-an khususnya setelah meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) di
mana di saat itu Indonesia sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan
dan kesatuan bangsa, ''nation and character building'', simbol-simbol/identitas
yang bersifat disosiatif (menghambat pembauran) seperti istilah, bahasa dan
budaya asing khususnya Tionghoa dilarang atau dibatasi oleh Pemerintah, PITI
terkena dampaknya yaitu nama Tionghoa pada kepanjangan PITI dilarang.
Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bahwa gerakan dakwah kepada
masyarakat keturunan Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15
Desember 1972, pengurus PITI, mengubah kepanjangan PITI menjadi Pembina
Iman Tauhid Islam.
Pada bulan Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi menetapkan
kepanjangan PITI dikembalikan menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Keberadaan Tionghoa di Indonesia mulai mandapat perhatian dan perlindungan
pada masa Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga
merupakan pimpinan ormas Islam terbesar di dunia yakni Nahdlatul Ulama
(NU)
Teori masuknya Islam ke Indonesia dari Cina didasarkan pada beberapa
hal. Pertama adanya catatan perjalanan Laksamana Cheng Ho. Kedua beberapa
peninggalan purba atau benda fisik yang khas dengan Cina. Ketiga catatan
pendukung penyebaran Islam oleh Cina di Indonesia. Selain ketiga dasar
penerimaan teori masuknya Islam dari Cina, teori tersebut juga memiliki
beberapa catatan serta kritikan. Untuk lebih lengkapnya, penulis uraikan satu
29
persatu di bawah ini.
Teori masuknya Islam dari Cina didukung oleh beberapa pemikir. Slamet
Muljana berkomentar tentang kedatangan Islam di Indonesia melalui Cina.
Secara umum teori ni belum dieksplorasi secara sungguh-sungguh, padahal
orang-orang Muslim China mempunyai peranan penting dalam proses
penyebaran agama Islam di Indonesia.54
Pendapat di atas dikuatkan oleh Muhammad Husnil. Selama ini banyak
kajian tentang muslim Cina di Jawa, tetapi uraiannya sangat terbatas, partikular
dan spesifik. Sampai kini belum ada karya ilmiah yang membahas secara
ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia. Padahal eksistensi
Cina muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa dapat dibuktikan dengan
peningggalan purbakala Islam di Jawa. Dengan demikian menandakan adanya
pengaruh Cina yang cukup kuat.55
Salah satu ide dasar teori masuknya Islam ke Indonesia melalui Cina
adalah adanya penjelajah asal China beragama Islam yang bernama Cheng Ho
atau Zheng He atau Sam Po Kong.56
Catatan perjalanan Cheng Ho diawali
dengan keberadaan Dinasti Ming (Zhu Di). Kebijakan yang diberikan oleh
Dinasti Ming adalah memberikan hak bebas memeluk agama apa saja. Selain
54
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam
di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. v. 55
Muhammad Husnil, “Rekonstrukis Sejarah Masuknya Islam ke Jawa” resensi
buku Arus Cina-Islam Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran
Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI karya Smanto al-Qurtuby, diakses dari
http://islamlib.com/aksara/buku/rekonstruksi-sejarah-masuknya-islam-ke-jawa/ pada 13 Maret
2016. 56
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan
Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. v.
30
itu, Dinasti Ming juga memberikan kesempatan yang sama untuk semua
jabatan sesuai dengan kemampuannya. Tidak terkecuali bagi orang-orang
Islam.57
Kondisi di atas mendukung misi yang dimiliki Dinasti Ming berupa
memperkenalkan kebesaran Cina ke seluruh dunia. Misi tersebut direalisasikan
dengan mengirimkan seorang laksamana. Cheng Ho inilah laksamana yang
ditunjuk oleh Dinasti Ming dalam rangka melakukan misi memperkenalkan
kebesaran Cina.58
Cheng Ho yang merupakan seorang laksamana laut asal tiongkok pada
abad ke-15. Cheng Ho atau dikenal juga dengan nama Zheng He dan Sam Po
Kong lahir sekitar tahun 1371 M di provinsi Yunan sebelah barat daya China.
Mempunyai nama kecil Ma Ho, Cheng Ho tumbuh dan dibesarkan di keluarga
dan lingkungan Muslim. Nama Ma sendiri merujuk pada nama Muhammad
yang digunakan keluarga Muslim di Tiongkok.59
Dalam pelayarannya Cheng Ho sempat singgah di Nusantara, selain untuk
mencapai tujuan yang diperintahkan oleh Dinasti Ming untuk bersilaturahmi
dan memelihara perdamaian dengan warga setempat yang dikunjungi. Adapun
tujuan dari Cheng Ho sendiri ingin memperkenalkan agama Islam bahwa Islam
57
Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibbah di
Nusantara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2000), h. 32. 58
Tan Ta Sen, Cheng Ho: Penyebar Islam Dari Cina ke Nusantara (Jakarta:
Kompas, 2010), h. 223. 59
Fadil Wicaksono, “Peranan Cheng Ho dalam Perkembangan Agama Islam di
Indonesia Tahun 1405-1433” dalam Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2014,
h. 3.
31
adalah agama yang cinta damai. Selain itu Cheng Ho turut serta
menyebarkannya namun tidak memaksakan kehendak karena Cheng Ho sendiri
orang yang memiliki rasa toleransi tinggi. Hal tersebut dikarenakan di China
sendiri Cheng Ho sangat menghargai agama Budha, Kong Hu Chu dan agama
lainnya.60
Sebagai seorang Muslim yang taat, Cheng Ho beberapa kali mengadakan
kegiatan agama Islam, seperti melakukan dakwah di beberapa daerah yang dia
singgahi selama pelayaran tersebut, tak terkecuali di Indonesia. Cheng Ho
singgah di beberapa daerah yang ada di Indonesia dalam tujuh kali
pelayarannya dan kegiatan agama Islam tetap diselenggarakan. Di Semarang
misalnya, Cheng Ho melakukan pendekatan damai dengan menggunakan
media wayang yang dianggap efektif untuk menyebarkan agama Islam yang
disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di wilayah tersebut.61
Cheng Ho giat dan terlibat aktif dalam penyebaran agama Islam baik di
China maupun negara-negara lain yang dia kunjungi. Kegiatan-kegiatan dalam
bidang agama Islam yang dilakukan Cheng Ho antara lain, berziarah di
pekuburan para pendahulu Islam dan sholat di masjid. Dalam pelayaran kaum
Muslim diikutsertakan. Pengetahuannya tentang ajaran agama Islam sangat
dalam karena dibesarkan dalam suasana keagamaan Islam serta Ayah dan
Kakeknya adalah Muslim yang taat. Bahkan beberapa sarjana di Asia Tenggara
60
Mumuh Muhsin, “Islam di antara Cina dan Nusantara”, Makalah dalam Bedah
Buku, oleh Selasar Pusat Kajian Lintas Budaya, (Bandung: Universitas Padjajaran, 2007), h.
15. 61
Mumuh Muhsin, “Islam di antara Cina dan Nusantara”, h. 16.
32
memberikan pernyataan bahwa Cheng Ho telah melaksanakan rukun Islam
menunaikan ibadah Haji ke Mekkah.62
Dengan demikian, penjelasan di atas menunjukkan adanya bukti bahwa
Islam juga hadir melalui Cina. Adapun Cheng Ho merupakan aktor yang
berbperan aktif dalam penyebaran Islam ke Indonesia. Meskipun kedatangan
Cina tidak bisa dikatakan murni dakwah, namun dalam ekspedisinya Cheng Ho
ikut berperan dalam dakwah meluaskan Islam. Dalam menjalankan misi dari
Dinasti Ming, perjalanan serta pelayaran yang dilakukannya mempunyai arti
yang sangat penting bagi rakyat China. Selain itu pengaruh yang dihasilkan
dari hasil pelayarannya tidak hanya dirasakan bagi rakyat China saja, namun
juga memberikan pengaruh bagi Indonesia ataupun umat Islam nusantara.
Sebagaiama penelitian Fajar Affandi, ekspedisi pelayaran laksamana
Cheng Ho membawa 63 kapal dengan awak berjumlah 27.000. salah satu
rombongannnya adalah Syekh Hasanuddin atau Syaikh Quro dari Campa.
Tujuannya juga membawa misi dakwah.63
Keberadaan Syaikh Quro serta awak
kapal yang notabenenya Muslim menunjukkan Cheng Ho memiliki misi
dakwah Islam ke daerah yang dikunjunginya.
Selain data perjalanan, Sumanto al-Qurtubi Teori Cina yang menyatakan
masuknya Islam ke Jawa abad ke 15 dan 16. Pada abad-abad tersebut
disebutnya sebagai jaman Sino-Javanese Muslim Culture dengan bukti di
62
Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, h. 36 – 39. 63
Fajar Apandi, “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV”, Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 5 – 6.
33
lapangan seperti: Konstruksi Mesjid Demak (terutama soko tatal penyangga
mesjid), ukiran batu padas di Mesjid Mantingan, hiasan piring dan elemen
tertentu pada mesjid Menara di Kudus, ukiran kayu di daerah Demak, Kudus
dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, elemen-elemen yang
terdapat di keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, dan sebagainya.64
Selain itu juga didukung dengan pada nama tokoh yang menjadi agen
sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa.
Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang.
Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti
“yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-
it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di
masa ayahnya berusia 31 tahun.65
Slamet Muljana menguatkan Sultan Demak Panembahan Patah, sebagai
pendukung teori ini dalam Kronik Sam Po Kong bernama Panembahan Jin
Bun nama Cinanya. Arya Damar sebagai pengasuh Panembahan Jin Bun pada
waktu di Palembang bernama Cina, Swang Liong. Sultan Trenggono
disebutkan dengan nama Cina yaitu, Tung Ka Lo. Sedangkan Wali Sanga
antara lain Sunan Ampel dengan nama Cina Bong Swee Hoo. Sunan Gunung
Jati dengan nama Cina Toh A Bo.66
Sebenarnya menurut A.M. Suryanegara bahwa dalam budaya Cina,
64
Sumanto al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa (Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003), h. 230. 65
Sumanto al-Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, h. 225. 66
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, h. 78.
34
penulisan sejarah nama tempat yang bukan negeri Cina, dan nama orang yang
bukan bangsa Cina, juga dicinakan penulisannya. Sebagai contoh putri raja
Vikramawardana (Raja Kerajaan Majapahit terahir) adalah Suhita dan sebagai
Ratu kerajaan Hindu Majapahit, dituliskan nama Cinanya yaitu Su King Ta.
Kemudian nama kerajaan Budha Sriwijaya dituliskann dengan nama Cina, San
Fo Tsi. Namun menurut Selamat Muljana ia tidak menyebutkan bahwa ratu
Shita atau Su King Ta adalah orang peranakan Cina dan kerajaan Budha
Sriwijaya atau San Fo Tsi adalah kerajaan Cina.67
Selain catatan sejarah, bukti peninggalan masa lalu juga menjadi simbol
masuknya Islam melalui Cina. Salah satu buktinya adalah Masjid di Surabaya
yang diberi nama masjid Muhammad Cheng Ho. Masjid tersebut mirip dengan
Masjid Nie Jie di Beijing. Bangunan didominasi cat warna merah, kuning, dan
hijau. Masjid tersebut dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap
keteladanan Cheng Ho, seorang muslim yang cinta damai dan berwawasan
luas.68
Dari data di atas maka dapat dipahami bahwa peranan Cina ikut
berpartisipasi dalam menyebarkan Islam ke Indonesia. Catatan perjalanan
Laksamana Cheng Ho, serta peninggalan arsitektur berciri khas Cina
merupakan bukti masuknya Islam dari Cina.
67
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, h. 96. 68
Fadil Satrio Wicaksono, “Peranan Cheng Ho”, h. 2.
35
B. Peran Islamisasi PITI
Keberadaan Cina di Indonesia pada dasarnya sudah terjadi dalam kurun
waktu yang lama. Hubungan yang terjalin antara Cina dan Nusantara
melingkupi persoalan kerjasama, politik, serta ekonomi.69
Selain itu,
keberadaan Cina di Indonesia yang menjamur saat ini membuktikan bahwa
Cina tidak hanya menjalin kerjasama, namun juga bermigrasi ke wilayah
Indonesia. Salah satu bentuk konkritnya adalah adanya komunitas Cina
Muslim, atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).
Priyanto Wibowo berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa yang berada
di Indonesia, sebenarnya asli keturunan dari orang-orang Tionghoa yang
datang ke Indonesia, mereka pada umunya berasal dari Propinsi Fujian dan
Guangdong di bagian Cina selatan. Mereka pada dasarnya terdiri dari beberapa
suku bangsa seperti Hokkian dan Kanton. Pada masa Dinasti Tang,70
daerah
selatan Cina tersebut merupakan tempat yang sangat strategis untuk
perdagangan, dari tempat tersebut timbul lah keinginan untuk memperluas
kolega perdagangan mereka dengan melakukan pelayaran. Dalam perjalanan
perdangan, orang Tionghoa sering bersinggah lalu mereka menetap di wilayah
Laut Cina Selatan. Salah satunya adalah kepulauan Nusantara.71
69
Liang Jii, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis; 2000 Tahun Perjalanan
Hubungan Tiongkok-Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2012), h. 3. 70
Priyanto Wibowo, “Tionghoa Dalam Keberagamaan Indonesia: Perspektif
Historis Tentang Posisi dan Identitas”, Makalah 643. 71
Dinasti Tang, (618M-907M) adalah salah satu dinasti yang paling berpengaruh di
Cina. Lihat Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 139.
36
Pendapat di atas diperkuat oleh Nurali Ahmad Fauzi bahwa pada Dinasti
Tang ini orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia, puncaknya
pada abad XIX dan permulaan abad XX merupakan migrasi besar besaran bagi
orang-orang Tionghoa ke seluruh dunia.72
Menurut Benny G. Setiono, sekitar
pada abad 14 di Jakarta ( dulu Sunda Kelapa) telah ditemukan penduduk
dengan bermata rata-rata sipit dan berkulit putih. Dan pada abad XVI terjadi
migrasi besar-besaran ke daerah Jawa. Rata-rata alasan meninggalkan negeri
mereka karena ekonomi dan perang yang terus terjadi.73
Migrasi orang-orang Cina tidak bisa dilepaskan dengan teori masuknya
Islam Cina. Berita pertama mengenai masyarakat Cina Muslim di Jawa berasal
dari Ma Huan, seorang sekretaris dan juru bahasa Cheng Ho (Zheng He) 14.
Ma Huan sedikitnya telah mengikuti tiga kali misi muhibah Cheng Ho.
Masing-masing muhibah keempat (1413-1415). keenam (1421-1422) dan yang
ketujuh (1431-1433). Dari perjalanan muhibahnya tersebut Ma Huan
berkesempatan melihat dari dekat. Orang Cina Muslim pada abad ke 15 sudah
banyak terdapat dikota-kota pelabuhan, terutama di Pantai Utara.74
Selain itu
pendapat ini juga diperkuat oleh Ibrahim Tien Ying Ma, bahwa keberadaan
orang-orang Tiongkok muslim di Indonesia terjadi pada masa Dinasti Ming.75
72
Nurali Ahmad Fauzi, “Dinamika Tionghoa Islam Pasca Reformasi di
Yogyakarta”, Skripsi Jurusan Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013,
h. 21 73
Nurali Ahmad Fauzi, “Dinamika Tionghoa Islam”, h. 22. 74
Handinoto dan Sameul Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan
Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16”, dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1,
Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2007, h. 28. 75
Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, h. 146.
37
Di bawah pengarah Cheng Ho, kemajuan yang cukup berarti tampak
dalam perkembangan komunitas-komunitas Muslim China di Kepulauan
Melayu pada tahun 1920-an. Sejak perjumpaan pertama dengan satusatunya
kelompok Muslim China di Majapahit selama pelayaran pertamanya pada
1405, semakin banyak komunitas Muslim China yang menetap di Jawa dan
Sumatera. Di Jawa, masjid-masjid dibangun di Semarang, Sembung, Sarincil,
Talang, Ancol, Lasem, Tuban, Gresik, dan Jiaotung.76
Dedy mengutip Tarmizi Taher mengelompokkan fase imigrasi Cina ke
Indonesia dalam tiga tahap. Pertama masa Indonesia dikuasai kerajaan-
kerajaan Hindu Budha. Dalam tahap ini, imigrasi Tionghoa berorientasi pada
perdagangan dan kerjasama. Kedua masa Indonesia dikuasai bangsa Eropa.
Tahap ini imigran Cina bertambah banyak dan masih memiliki motif
perdagangan. Ketiga Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Masa ini
imigran Cina semakin banyak dan bermukin di beberapa daerah, seperti
Kalimantan Barat.77
Dari daerah pemukiman tersebutlah, peranakan Tionghoa
makin berkembang pesat.
Dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan Cina muslim di Indonesia
semakin besar. Semakin banyak pedagang-pedagang Tionghoa muslim yang
datang dan sebagian besar pedagang Tionghoa muslim tersebut memutuskan
untuk menetap dan menikahi penduduk lokal yang melahirkan Tionghoa
76
Fadil Satrio Wicaksono, “Peranan Cheng Ho”, h. 7 – 8. 77
Dedy, “Peranan Cheng Ho dalam Sejarah Perkembangan Muslim Tionghoa di
Indonesia” Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h.
44.
38
peranakan di Nusantara. Kemudian pada akhir abad ke-20 hingga awal abad
ke-21 perkembangan Tionghoa muslim di Indonesia makin berkembang, hal ini
sendiri dibuktikan dengan terbentuknya organisasi-organisasi Tionghoa muslim
di Indonesia. Ada tiga organisasi Tionghoa muslim di Indonesia, yaitu PITI
(Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), Yayasan Haji Karim Oei dan
MUSTIKA (Muslim Tionghoa dan Keluarga).78
PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) berdiri tanggal 14 April 1961
di Jakarta sebagai suatu organisasi masyarakat yang tegas menyebut diri
sebagai wadah berhimpunnya Tionghoa muslim. Didirikan oleh beberapa
tokoh Tionghoa muslim, yaitu H. Abdul Karim Oey, H. Abdusomad Yap, Kho
Goan Tjin, dan kawan-kawan.79
Selain PITI, pada tanggal 19 April 1991 didirikan Yayasan Haji Karim Oei
oleh seorang tokoh Tionghoa muslim bernama Yunus Yahya yang berlokasi
disebuah ruko di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Selain sebagai kantor
yayasan bangunan ruko tersebut juga diperuntukkan untuk menjadi sebuah
masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Lautze. Masjid ini merupakan
masjid pertama yang didirikan oleh organisasi Tionghoa muslim di Jakarta.
Pada tanggal 31 Januari 2006 beberapa kaum muda Tionghoa muslim (
awalnya juga berorganisasi di PITI) membentuk sebuah yayasan bernama
MUSTIKA (Muslim Tionghoa dan Keluarga), pada tanggal 19 Februari 2007
78
Desy Anggraini dkk, “Analisis Cara Organisasi Tionghoa Muslim dalam
Mempertahankan Identitas Tionghoa” dalam jurnal Thesis Binus, 2011, h. 3. 79
Desy Anggraini dkk, “Analisis Cara Organisasi Tionghoa Muslim”, h. 4.
39
bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek yayasan tersebut resmi berdiri.
Berbeda dengan PITI yang berbentuk organisasi masyarakat, Haji Karim Oei
dan MUSTIKA berbentuk yayasan, namun mereka memiliki tujuan yang sama,
yaitu untuk mempererat tali persaudaraan antara Tionghoa muslim, muslim
lokal dan Tionghoa non-muslim. Selain untuk mempererat tali persaudaraan
Tionghoa muslim juga memiliki tujuan untuk menjadi sebuah jembatan
pembauran dan pembaruan antara Tionghoa muslim dengan Tionghoa non-
muslim dan juga antara Tionghoa muslim dengan muslim lokal.80
Syarif Tanudjaja memberikan ulasan yang cukup menarik atas hadirnya
PITI. Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya
kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk
bimbingan. Baik kepada muslim Tionghoa maupun di lingkungan keluarganya
yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam lainnya.
Sampai dengan saat ini, agama Islam tidak dan belum menarik bagi masyarakat
keturunan Tionghoa karena dalam pandangan mereka. Padahal agama Islam
sudah masuk ke Tiongkok sebelum agama Islam masuk ke Indonesia.81
Hingga kini PITI merupakan organisasi dakwah sosial keagamaan yang
berskala nasional. Adapun fungsinya sebagai tempat singgah, tempat
silahturahim untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa.
Selain itu tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang baru masuk Islam.
Salah satu dampaknya syiar agama Islam dan masyarakat Tionghoa Peranakan
80
Desy Anggraini dkk, “Analisis Cara Organisasi Tionghoa Muslim”, h. 5. 81
Syarif Tanudjaja, “Sekilas Tentang Piti”, diakses dari http://piti.or.id/index. Pada
tanggal 10 Mei 2017.
40
juga menghasilkan komunitas Tionghoa Muslim dan masjid-masjid
berasitektur khas Tionghoa. Salah satunya Masjid Lautze yang ada di Jakarta
Pusat.82
82
Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara; Catatan Perjalanan dari Barat
ke Timur (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012), h. 152.
41
BAB IV
PERANAN IMPLEMENTASI ISLAMISASI PITI DI INDONESIA
A. Pengertian Implementasi Piti
Sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta, akibat Perjanjian Giyanti
pada 1755, banyak orang dari berbagai penjuru Nusantara yang
berdatangan ke kota ini untuk berdagang, termasuk pedagang Tionghoa.
Lama-kelamaan jumlah pedagang itu meningkat dan sebagian besar
menetap di Kotapraja. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda mengangkat
seorang kapiten Tionghoa bernama To In sebagai penanda komunitas
tersebut. Pendapat lain menambahkan, orang Tionghoa yang mula-mula
datang ke Yogyakarta kebanyakan kaum lelaki. Kemudian dari mereka
banyak yang menikah lintas suku dengan perempuan setempat.83
Mengenai lokasi awal permukiman orang Tionghoa juga terjadi
perbedaan pendapat. Satu pendapat mengatakan orang Tionghoa mulanya
berada di daerah Pecinan yang terletak di sebelah utara Pasar Gede.
Meskipun sudah diatur oleh Belanda dan mendapat ancaman denda
sebesar f 25-f 100, ternyata sampai 1830 masih ada orang Tionghoa yang
tinggal di luar daerah tersebut dan menyebar di beberapa tempat.84
Mengikuti perkembangan pembangunan kota, pada 1867 permukiman
komunitas Tionghoa menyebar di sekitar ibukota, meliputi Ketandan,
83
Didi Kwartanada, “Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas Cina Kota Yogyakarta
pada Zaman Jepang 1942-1945”, Skripsi pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 1997, h. 39. 84
Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1889-1930,
(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia), h. 48.
42
Gandekan, Ngabean, Ngadiwinatan, Suronatan, Gading, Ngasem, daerah
Patuk ke utara, hingga rel kereta api di sebelah Tugu. Bahkan di daerah
Pakualaman dan Godean, terdapat sejumlah permukiman orang
Tionghoa.85
a. Peran PITI dalam Menginternalkan Islam
Sebanyak 200 keturunan Tionghoa di Sumbar telah menjadi mualaf,
terang Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Buya H. Muslim
Nur saat memberi tausyiah pada Halal bi Halal di Kelurahan Belakang
Pondok, Kecamatan Padang Selatan.
Menurut Buya H. Muslim Nur, semakin bertambahnya jumlah warga
keturunan Tionghoa yang menjadi mualaf akan semakin meramaikan
masjid dan tempat ibadah. Apalagi, sebentar lagi di Kelurahan Belakang
Pondok akan berdiri Masjid Muhammad Cheng Ho.
Masjid itu diharapkan mampu membina dengan baik ratusan mualaf itu
nantinya.
Terkait hasil riset Maaruf Institute beberapa waktu lalu yang menyebut
Padang sebagai kota yang tidak Islami, Buya H. Muslim Nur mengimbau
warga untuk tidak terpengaruh.
Muslim juga mengajak warga untuk tidak menjadikan riset Maaruf
Institute tersebut sebagai beban batin, Caranya dengan meramaikan
masjid.
85
Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan, h. 48.
43
Muslim mengajak warga untuk tidak terpecah belah dan meniru ilmu
padi, Padi semakin berisi kian merunduk. Artinya, selalu menjadi orang
yang bermanfaat bagi orang banyak.
Padi juga berkumpul, dan masjid merupakan tempat kita berkumpul,
bersatu dalam keberagaman.86
b. Perkembangan Kegiatan PITI di Indonesia
Sewaktu lahir pada 14 April 1961 di Jakarta, PITI adalah singkatan
dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, tetapi kemudian diubah
menjadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Karena keluar instruksi dari
pemerintah (14 Desember 1972) yang menekankan agar organisasi ini
tidak berciri etnis tertentu, walaupun PITI tetap merupakan wadah
berhimpunnya orang-orang Tionghoa Muslim.
Kemudian PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
yang ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada pertengahan
Mei 2000. Dengan demikian, dapat dikatakan PITI saat ini kembali ke
Khittah (garis perjuangan) semula, yakni organisasi yang tegas
menyebut diri sebagai wadah berhimpunnya orang-orang Tionghoa
Muslim. Tujuannya adalah mengembangkan dakwah di kalangan
orang-orang Tionghoa, baik yang sudah menjadi Muslim maupun yang
belum. Yang sudah Muslim ditingkatkan pengetahuan dan pengamalan
Islamnya, sedang yang belum muslim diberi penjelasan tentang Islam.
86
Sumatra Barat.com “Hidayah Allah, 200 warga tionghoa jadi muallaf” diakses pada
17 Maret 2018
44
Sejak semula PITI yang didirikan oleh H. Abdul Karim Oey Tjeng
Hien, H. Abdusomad Yap A. Siong, Kho Goan Tjin, dan kawan-
kawan, dimaksudkan sebagai organisasi dakwah untuk membantu
orang-orang Tionghoa yang ingin masuk Islam, mempelajari Islam,
dan mengamalkan Islam melalui kegiatan sosial.
Dari jumlah itu orang Tionghoa Muslim menurut pimpinan PITI
mencapai 5 (lima) persen, seorang pemerhati tentang Tionghoa muslim
HM. Ali Karim memperkirakan Tionghoa Muslim hanya 2 (dua)
persen, dan seorang tokoh Tionghoa Muslim yang sangat terkenal
yaitu Drs. H. Junus Jahya menduga penduduk Tionghoa Muslim hanya
sekitar 1 (satu) persen dari total penduduk Tionghoa di Indonesia.
Angka manapun yang diikuti, baik yang mengatakan 5 (lima)
persen, apalagi yang menduga hanya 1 (satu) persen, penduduk
Tonghoa Muslim memang masih sangat sedikit, sehingga dakwah di
kalangan mereka terasa sangat perlu dan mendesak. Tetapi dakwah di
kalangan mereka tidak dimaksudkan untuk mengajak masuk Islam,
tetapi terutama adalah meluruskan pemahaman mereka yang keliru
tentang Islam.87
Misalnya karena banyak penduduk pribumi muslim yang miskin
dan kurang terdidik, maka timbul persepsi yang salah dikalangan
orang-orang Tionghoa seolah-olah kalau masuk Islam akan membuat
mereka miskin dan bodoh. Kesalahpahaman ini merupakan salah satu
87
“Sejarah PITI di Indonesia” http://masjidlautze.blogspot.com/2008/11/sejarah-masjid-
lautze_6264.html?m=1 diakses pada 18 Maret 2018
45
faktor yang menyebabkan orang-orang Tionghoa enggan masuk Islam
selama ini.
Karena itu, perlu dijelaskan bahwa Islam tidak menghendaki
penganutnya miskin dan bodoh. Islam malah mengharuskan
pemeluknya untuk mencari harta yang sebanyak-banyaknya asal
caranya halal dan mewajibkan penganutnya untuk menuntut ilmu
pengetahuan setinggi-tingginya di bidang apa saja yang bermanfaat
bagi masyarakat dan menuntut ilmu pengetahuan boleh dimana saja.
Ada sebuah hadist yang sangat popular.
Pengertian itulah yang perlu disampaikan kepada orang-orang
Tionghoa. Setelah mereka mengerti hal itu lalu mereka masuk Islam
atau tidak itu sepenuhnya terserah mereka. Sebab masuk suatu agama,
termasuk Islam, tidak boleh dipaksa, tetapi harus didasarkan atas
keimanan dan kesadaran pribadi agar dapat menerima dan
mengamalkam Islam dengan ikhlas.
Faktor lain yang menyebabkan PITI bertambah penting peranannya
saat ini adalah terjadinya perubahan politik, yakni runtuhnya Orde
Baru dan munculnya era reformasi. Perubahan politik ini mendorong
terjadinya perubahan sikap orang-orang Tionghoa ke arah yang
terbuka kepada orang-orang pribumi, yang kemudian mereka
terdorong masuk Islam, karena mayoritas golongan pribumi itu
muslim.
46
Pada masa Orde Baru banyak orang Tionghoa bersikap eksklusif,
karena bisnis mereka maju dengan pesat berkat fasilitas dari
pemerintah, sehingga mereka merasa untuk berbisnis tidak terlalu
mendesak bekerjasama dengan golongan pribumi. Kalau kerjasama
dengan pribumi biasanya mereka lakukan dengan oknum-oknum
pemerintah dan orang-orang yang dekat penguasa.
Dengan demikian, hidup mereka cenderung eksklusif, sehingga kurang
mendapat dorongan masuk Islam, kecuali mereka hatinya mendapat
hidayah dari Allah atau menikah dengan pribumi muslim. Namun
dengan runtuhnya Orde Baru dan diganti oleh era reformasi yang
diharapkan memberi kesempatan yang sama kepada golongan pribumi
dan nonpribumi dalam berusaha, maka orang-orang Tionghoa tidak
bisa lagi berlindung pada kekuasaan. Akibatnya orang-orang Tionghoa
harus lebih banyak berinteraksi dan bekerjasama dengan
golongan pribumi. Interaksi dan kerjasama yang semakin luas bisa
menjadi salah satu dorongan kuat bagi orang-orang Tionghoa untuk
masuk Islam.
Karena itu, bisa diduga bahwa pada era reformasi ini akan banyak
orang-orang Tionghoa masuk Islam. Untuk mengantisipasi
perkembangan ini, maka PITI harus tegas menyebut diri sebagai
organisasi Tionghoa agar mudah dikenali oleh orang-orang Tionghoa
yang hendak masuk Islam.
c. Bukti PITI Dalam Bidang Ekonomi
47
Koperasi Hangtuah telah menghibahkan tanah seluas 100 hektar
untuk seluruh anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia PITI
kepulauan Meranti. Nantinnya, tanah 100 hektar ini akan di tanami
sagu oleh pihak koperasi dan dikelola pengurus PITI. Informasi ini
sebagaimana dismpaikan ketua koperasi hangtuah dr. Misri Hasanto
Mkes, 100 hektar tanah ini telah dihibahkan kepada pengurus dan
anggota PITI kepulauan Meranti. Nantinnya pihak koperasi
bekerjasama dengan pihak desa setempat, akan menyiapkan segala
administrasi atau surat tanah ini. Sementara lokasinya berada di
tebingtinggi barat.
Lahan 100 hektar tersebut milik koperasi hangtuah itu memang
salah satunya diperuntukan bagi muallaf. Lalu, pemanfaatanya harus
menjadi kebun, baik karet maupun sagu. Adapun yang akan menerima
lahan 100 hektar tersebut sebanyak sebanyak 32 KK atau sekitar 84
muallaf. Koperasi Hangtuah merasa prihatin dengan saudara-saudara
muallaf di PITI. Dimana, sejak dikukuhkan 3 tahun silam,
perekonomian anggota PITI kepulauan meranti belum begitu
meningkat. Sehingga, diharapkan dengan lahan 100 hektar dan
ditanami sagu itu, kedepannya bisa meningkatkan perekonomian
seluruh anggota PITI.88
B. Dinamika Tionghoa Muslim
88
Riauaktual.com “Anggota PITI Kepulauan Meranti Segera Miliki 100 Hektar Kebun
Sagu” diakses pada 17 Maret 2018
48
Orang Tionghoa Muslim di Yogyakarta mula-mula merupakan
saudara (adik) dari saudagar Oei Tek Ho asal Banyumas, yaitu Oei Tek
Biauw, yang kemudian dikenal sebagai Kyai Tumenggung Reksonegoro
I.89
Posisi awalnya adalah salah satu bupati di Semarang, yang kemudian
pindah ke Yogyakarta atas permintaan Sultan Hamengku Buwono (HB) I.
Selain itu, Kyai Tumenggung Reksonegoro juga menjadi penasihat Sultan
dalam bidang kerohanian, termasuk mengurusi dan memimpin perayaan
adat atau agama seperti grebeg. Kemudian jejak yang paling menonjol
adalah tokoh Tan Jin Sing (1760-1831), seorang kapiten Tionghoa yang
diangkat sebagai bupati Yogyakarta oleh Sultan HB III atas jasanya dalam
membantu mendapatkan takhta dari Sultan HB II. Sebelum diangkat
sebagai bupati dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat,
Tan Jin Sing masuk Islam bersama istrinya atas bimbingan Kyai
Reksonegoro. Menariknya, dari sumber ini, terdapat juga uraian Kyai
Reksonegoro dan istrinya untuk memantapkan Tan Jin Sing memeluk
Islam menjelang pengangkatan sebagai bupati. Menurut Kyai
Reksonegoro dan istrinya, alasan memeluk Islam ialah kebanyakan
bangsawan Jawa (Bupati) adalah orang Muslim. Alasan kedua, menjadi
Muslim bagi seorang Tionghoa bukanlah hal aneh, karena dalam sejarah
ada tokoh Laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang Tionghoa
Muslim asli dari negeri Cina.90
89
T.S. Werdoyo, Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 5 90
Werdoyo, Tan Jin Sing, h. 64-65
49
Selain Oei Tek Biauw dan Tan Jin Sing, Tionghoa Muslim
Yogyakarta lainnya adalah dua bersaudara dari keluarga Tjan—kemudian
salah satunya mendapat anugerah dari Mangkunegara III berupa gelar
tumenggung dan lainnya mendapat sebidang tanah. Dari saudara yang
mendapat tanah inilah terdapat keturunan Tionghoa Muslim bernama Tjan
Tjoe Som dan adiknya Tjan Tjoe Siem. Kakakadik ini lulusan Universitas
Leiden, Belanda. Sang kakak ahli sinologi, sedangkan adiknya ahli
kebudayaan Jawa yang mengajar di Universitas Indonesia dan Nanyang
University, Singapura, serta pada akhirnya diangkat menjadi guru besar
luar biasa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1978.91
Mengenai data yang lebih valid tentang jumlah Muslim Tionghoa
masa itu, saya mengalami kesulitan karena sumber pada masa Pemerintah
Belanda dalam menghitung penduduk Tionghoa tidak menggunakan
kategori agama. Baru sekitar 1970-an, saat wacana Tionghoa Muslim
mulai muncul ke publik, diperkirakan ada sekitar 150.000 Tionghoa yang
masuk Islam di Indonesia. Tapi angka ini dianggap tidak realistis oleh H.
Junus Jahja. Menurutnya, jumlah Tionghoa Muslim hanya sekitar 0,5%
dari jumlah keseluruhan orang Tionghoa di Indonesia yang berjumlah 2,5
juta orang atau sekitar 12.500 jiwa.92
Bicara tentang konteks Yogyakarta,
jumlah Tionghoa Muslim yang dapat dilacak berdasarkan data monografi
per kecamatan tahun 2007 sejumlah 788 jiwa (8 persen) dari 9.055 orang
91
Junus Jahya, Zaman Harapan bagi Keturunan Tionghoa, (Jakarta: YUI, 1984), h. 9-13. 92
Junus Jahja, “3 Tahun Dakwah di Kalangan Keturunan Tionghoa”, dalam Junus Jahja
(ed.), Zaman Harapan bagi Keturunan Tionghoa, (Jakarta: YUI, 1984), h. 304.
50
Tionghoa yang tinggal di Kota Yogyakarta.93
Tak ada lokasi khusus
seperti kampung Pecinan. Mereka tersebar di kampung-kampung yang ada
di Kota Yogyakarta, seperti Krapyak, Wirobrajan, Samirono, dan Jetis.
Beberapa mereka berpindah-pindah tempat tinggal beberapa kali. Biasanya
mereka keluarga muda atau salah satunya mualaf. Hal ini bisa dimaklumi
karena orang Tionghoa yang telah masuk Islam sering kali terusir dari
rumah orangtuanya yang non-Muslim. Selain itu, mualaf Tionghoa merasa
tak nyaman tinggal bersama lagi dengan saudaranya yang non-Muslim.
Menurut Suryadinata,94
fenomena orang Tionghoa yang masuk Islam pada
1970-an bukan merupakan akibat dari peristiwa kup tahun 1965 saja,
melainkan juga akibat dari perkembangan Islam di panggung sosial
politik, interaksi intensif dengan Muslim di sekitar mereka, dan beberapa
hal lainnya yang lebih pragmatis seperti memperlancar bisnis atau
menyelesaikan “masalah Tionghoa” di Indonesia.
C. Bentuk Usaha-usaha PITI Kolektif dan Personal
Gerakan dakwah pada orang Tionghoa mulai menyebar di berbagai
daerah sekitar 1970-an lewat organisasi yang dipimpin oleh H. Abdul
Karim Oey Tjeng Hien dan Kho Goan Tjin, yakni Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI). Beberapa tokoh Islam di Yogyakarta yang
aktif di Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) berinisiatif
93
M. Khamim,”Relasi Bisnis Komunitas Muslim Tionghoa dengan Tionghoa Non-
Muslim di Kota Yogyakarta: Studi Perspektif Jaringan Sistem Bisnis Tionghoa”, Skripsi pada
Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, 2008, h. 32. 94
Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, terj. Dede Oetomo,
(Jakarta: Gramedia, 1988), h. 94-99.
51
untuk mengajak segelintir Tionghoa Muslim di Yogyakarta mendirikan
PITI koordinator wilayah. Mereka antara lain Prof. KH. Abdul Kahar
Muzzakir, GBPH H. Prabuningrat, KH. M Djoenaid, KH. R. Therus,
H. Muhadi Munawir, KH. Ali Maksum, dan KH. A. Mukti Ali.95
Pada periode pertama kepengurusan PITI DIY, terpilih sebagai
ketua adalah H. Iksan Budi Santoso dan wakilnya KH. Ali Maksum,
sedangkan sekretaris I dan II masing-masing adalah Ahmad Sutanto
dan Moh Amien Mansoer. Jabatan sebagai bendahara dipegang oleh
Yudi Kurniawan. Peresmian PITI Yogyakarta pada 20 September
1970, yang kemudian dijadikan sebagai hari berdirinya PITI
Yogyakarta, dihadiri langsung oleh H. Karim Oey dan beberapa
pejabat pemerintah pusat seperti Menteri Sosial H. M.S Mitardja dan
Brigjen Muklas Prowi (penasihat keislaman TNI Angkatan Darat).
Kegiatan PITI DIY awalnya bergabung dengan kegiatan PDHI, seperti
pengajian rutin dikantor PDHI atau secara bergilir di rumahrumah
anggota PDHI dengan sarana dan prasarana dari PDHI pula. Selain itu,
PITI juga membantu orang Tionghoa yang mendapat masalah ketika
baru masuk Islam atau menjadi mualaf, misalnya ketika diusir oleh
keluarganya. Contohnya adalah seorang mualaf perempuan bernama
Be Han Nio asal Banyuwangi. Karena tak ada dukungan dari
95
Fahmi Rafika Perdana, Integrasi Sosial Muslim Tionghoa: Studi atas Partisipasi PITI
DIY dalam Gerakan Pembauran, (Yogyakarta: Mystico-PITI, 2008), h. 35.
52
keluarganya, PITI DIY memberikan santunan pendidikan di salah satu
lembaga pendidikan keperawatan di Kota Yogyakarta.96
Tampaknya organisasi yang baru berdiri ini menunjukkan
antusiasme yang tinggi dari pengurusnya. Ketuanya, H. Iksan Budi
Santoso dan Sekretaris Ahmad Sutanto secara terbuka mengakui
sebagai Tionghoa Muslim. Mereka sering diundang untuk menjadi
penceramah atau ustaz dalam pengajian di berbagai tempat seperti
Kulonprogo dan Klaten. Bahkan setiap Ramadan, jadwal mereka
menjadi penceramah selalu padat. Sayangnya pemerintah lewat Jaksa
Agung keberatan dengan penggunaan nama “Tionghoa” yang terkesan
eksklusif dalam akronim PITI, yakni “Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia”. Lewat surat tertanggal 15 Juli 1972 No. MA/244/1972,
Menteri Agama RI H.A. Mukti Ali meminta untuk meniadakan usaha
yang dapat menjurus ke arah eksklusivisme dan mempercepat proses
asimilasi serta pembauran warga negara keturunan. Oleh karena itu,
pimpinan PITI pusat membubarkan PITI dengan singkatan “Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia” dan mendirikan organisasi baru bernama
“Persatuan Iman Tauhid Indonesia” yang juga disingkat PITI. Selain
itu, niat PDHI, karena melihat potensi dalam organisasi PITI tersebut,
untuk mendirikan lembaga pendidikan bahasa Mandarin di Yogyakarta
bersama PITI, mengalami tantangan dari Pangkopkamtib Sudomo.
96
Perdana, Integrasi Sosial, h. 37.
53
Pengurus PITI DI Yogyakarta bahkan mendapat panggilan dari
Kejaksaan untuk mengklarifikasi rencana tersebut.97
PITI Yogyakarta pernah mengalami stagnasi dalam usaha
berdakwah di kalangan orang Tionghoa. Beberapa faktor antara lain,
pertama, ketua baru yang menggantikan ketua lama tak menonjolkan
ketionghoannya. Kedua, keterputusan koordinasi PITI Yogyakarta
dengan PITI pusat karena PITI pusat mengalami stagnasi akibat
kepengurusannya dikendalikan militer. Ketiga, belum maksimalnya
manajemen organisasi, utamanya kesulitan dalam mendapatkan dana
operasional. Hal ini salah satunya dikarenakan belum bekerjanya
mekanisme iuran anggota. Keempat, jumlah anggota yang sedikit
akibat enggannya orang Tionghoa Muslim bergabung dalam organisasi
akibat stigma bahwa masuk Islam membuat derajat sosialnya menurun
ke tingkat kaum pribumi. Sekitar pertengahan 1980-an, PITI
Yogyakarta mulai bergerak kembali, salah satunya karena
kepengurusan baru didukung sepenuhnya secara finansial oleh Budy
Setyagraha yang menjadi ketuanya. Sebagai pengusaha yang cukup
sukses, Budy Setyagraha juga secara terbuka mengakui
ketionghoaannya. Dia tidak merupakan penceramah di bidang agama,
namun merangkap sebagai aktivis sosial politik.
Usahanya mungkin bisa dinilai sebagai pembentukan citra bahwa
orang Tionghoa yang masuk Islam tak perlu malu dan takut
97
Perdana, Integrasi Sosial, h. 38
54
mendapatkan tantangan. Di satu sisi hal ini bisa dianggap sebagai nilai
tawar orang Tionghoa Muslim di hadapan orang-orang Tionghoa non-
Muslim dan di hadapan pemerintah. Apalagi di akhir jabatannya
sebagai ketua PITI DI Yogyakarta (1997-2003), Budy Setyagraha
terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi DIY periode 1999-2004
melalui Partai Amanat Nasional (PAN).98
Pada masa Orde Baru tampaknya usaha kolektif berupa organisasi
(PITI) menjadi alat untuk mewujudkan cara masing-masing pihak yang
berbeda dan belum ada titik temunya, sehingga organisasi terlihat
pontang-panting ke sana-kemari. Satu pihak ingin meluruskan jalan
sebagai organisasi dakwah dengan ciri karakternya yang unik
(etnisitas), dan pihak lain ingin menjadikan PITI sebagai media
dakwah tanpa menonjolkan keunikannya serta menyerasikan dengan
program pemerintah dalam hal pembauran.
D. Geliat PITI Pasca Orde Baru
Yang terpenting dari zaman ini adalah adanya kesadaran dari
Tionghoa Muslim bahwa persoalan pembauran bukan semata masalah
horisontal antara orang Tionghoa dan non-Tionghoa, melainkan juga
masalah vertikal yang terkait kebijakan pemerintah terhadap orang
Tionghoa secara umum. Ini kemudian mendorong Tionghoa Muslim
untuk merenungkan kembali hak dan kewajiban mereka sebagai
98
Perdana, Integrasi Sosial, h. 44.
55
komponen bangsa secara utuh. Secara organisasi, PITI pusat kemudian
merespons perubahan pasca-1998 dengan mengadakan Muktamar
Nasional II pada 2000 di Jakarta. Muktamar ini diniatkan untuk
membangkitkan kembali semangat dan struktur PITI. Salah satu
programnya adalah konsolidasi pengurus-pengurus wilayah dan daerah
yang telah terbentuk selama ini di berbagai penjuru di Indonesia.
Kemudian pada 2005 diselenggarakan Muktamar Nasional III di
Surabaya yang dibuka langsung oleh Wakil Presiden H.M. Jusuf Kalla.
Muktamar tersebut juga memutuskan untuk menggunakan kembali
kepanjangan “Persatuan Islam Tionghoa Indonesia” di samping
“Persatuan Iman Tauhid Indonesia”.
Visi PITI yang tertuang dalam Anggaran Dasar hasil Muktamar
Nasional II adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-’alamin
dalam rangka melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan
(kaffah).99
Penjelasan ini tampaknya tidak menunjukkan kecenderungan
orientasi pada organisasi dakwah Islam mana pun seperti Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah atau merujuk pada aliran dalam
Islam mana pun. Tapi jika melihat Program Kerja DPP PITI periode
2005-2010, terdapat program Pengembangan Pemikiran Keagamaan di
urutan pertama meski tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal ini.
Menariknya, di dalam Program Sosial Budaya dan Pendidikan,
99
“Hasil Muktamar Nasional 3 PITI”, Hotel Equator Surabaya, 2-4 Desember 2005, h.
14.
56
terdapat poin-poin spesifik antara lain, pertama, ikut menggali dan
melestarikan budaya setempat yang tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Kedua, menyosialisasikan budaya-budaya Islam bagi Tionghoa
Muslim khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Ketiga,
menyosialisasikan budaya-budaya Islam Tiongkok (dari RRC) kepada
kaum Tionghoa Muslim dan masyarakat Indonesia.100
Kembali ke konteks Yogyakarta, perkembangan organisasi di
tingkat pusat ternyata sejalan dengan perkembangan yang terjadi di
wilayah. Pada 2005, selang sehari perayaan Tahun Baru Islam 1
Muharam 1426 H, Tionghoa Muslim merayakan Tahun Baru Imlek
2556. Perayaan tahun baru dua kebudayaan ini bisa berdekatan karena
adanya kesamaan dalam penggunaan kalender tahunan yang
berdasarkan perhitungan bulan (lunar calendar).
Bagi Tionghoa Muslim di Yogyakarta, merayakan Tahun Baru
Imlek pada 2005 merupakan yang ketiga kalinya dilakukan secara
terbuka. Pertama kali perayaan Imlek oleh warga Tionghoa Muslim
terjadi pada Februari 2003 dan diselenggarakan di Masjid Syuhada,
Kotabaru, Yogyakarta.101
Dalam pandangan Tionghoa Muslim, perayaan Tahun Baru Imlek
di masjid selain sebagai ungkapan rasa syukur, juga mereka ingin
menunjukkan bahwa Imlek adalah bagian dari adat budaya warisan
100
“Hasil Muktamar”, h. 31. 101
Iman Astri Okta Ayuana, “Organisasi dan Kegiatan Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia (PITI) Yogyakarta”, Tugas Akhir pada Program Studi D-3 Bahasa Mandarin, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007, h. 39.
57
leluhur masyarakat Tionghoa yang bisa dirayakan semua golongan dan
agama mana pun, terlepas dari ritual agama tertentu.
Perayaan Imlek oleh Tionghoa Muslim ini didukung oleh PITI
Pusat dengan mengeluarkan surat imbauan perayaan Imlek dengan cara
melakukan sujud syukur di masjid masing-masing. Surat khusus ini
dikeluarkan setelah Muktamar Nasional III di Surabaya dengan No.
004/01/DPP.PITI/I/06. Pada 2007, PITI Yogyakarta bahkan menjadi
penggagas dan panitia penyelenggaraan Festival Imlek Bantul mulai 22
Februari hingga 4 Maret 2007. Rangkaian acaranya antara lain diskusi
buku Menjadi Jawa karya Dr. Rustopo di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, pentas barongsai, pameran dan bazar, pengobatan gratis,
hash dan lomba baca berita Mandarin yang semua bertempat di Pasar
Seni Gabusan, Bantul. Selain itu, juga diadakan pengajian akbar
dengan dai Ustaz Iskandar, seorang Tionghoa Muslim dari Salatiga, di
Masjid Agung Bantul.102
Pada 2008 perayaan Imlek dilangsungkan di Masjid Al Husna,
Iromejan, Gondokusuman, Yogyakarta. Rangkaian agenda peringatan
Imlek diisi pengajian oleh Drs. Moh Damami M.Ag. dari UIN Sunan
Kalijaga. Acara dimeriahkan dengan grup kasidah masjid setempat
serta diakhiri dengan pemberian santunan kepada anakanak sekitar
masjid berwujud amplop merah (angpao).103
102
Ayuana, “Organisasi dan Kegiatan”, h. 43. 103
“PITI Peringati Imlek Bersama”, Bernas, 1 Maret 2008.
58
Dalam beberapa momentum seperti pengajian bulanan, PITI
Yogyakarta menyisipkan bahasa Mandarin dalam memberikan
pengantar pengajian yang dilakukan oleh pembawa acara yang
merupakan Tionghoa Muslim. Di samping itu, penceramah yang
diundang sering kali adalah mereka yang tahu tentang budaya
Tionghoa, antara lain Prof. Lasiyo dari Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada dan Drs. Moh Fahmi Muqoddas, M.Hum. dari Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Selain itu, pernah juga
diselenggarakan pameran kaligrafi Islam bermotif huruf Tionghoa
(Han Zi) dengan perupa Winarso pada 10 Februari 2005 di Sanggar
Kaligrafi, Maguwo, Banguntapan, Bantul. Hal yang cukup menarik
perhatian juga adalah munculnya “makanan Tionghoa Muslim” di
beberapa tempat seperti di Jalan Afandi (Gejayan), Jalan Monjali, dan
Jalan Godean. Keterlibatan PITI di Yogyakarta juga tampak dari
keikutsertaan dengan membuka stan khusus yang tergabung dalam
stan-stan asuhan Kantor Wilayah Kementerian Agama di Yogyakarta
dalam acara Pekan Raya Sekaten setiap tahun. Ini adalah salah satu
sarana penguatan identitas dalam masyarakat. Terakhir yang saya
amati adalah keikutsertaan PITI dalam Pekan Apresiasi Lintas Iman
pada 2007 di Siti Hinggil, Alun-alun Selatan, yang diselenggarakan
oleh Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB). Di dalam acara ini,
digelar berbagai stan dari kelompok-kelompok atau aliran kepercayaan
dan keagamaan yang terdapat di Yogyakarta seperti Majelis Tinggi
59
Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Ahmadiyah, kejawen, dan
penghayat kepercayaan. Di samping membangun interaksi antarorang
Tionghoa Muslim yang sama-sama dalam proses pencarian Islam, PITI
juga berfungsi sebagai media komunikasi dan kerja sama antara
berbagai organisasi Tionghoa. Dalam penyelenggaraan beberapa acara
di Yogyakarta, setiap organisasi atau peguyuban diajak untuk turut
berpastisipasi, seperti dalam Pekan Budaya Tionghoa.104
yang
diselenggarakan setiap perayaan Imlek sejak 2006 di daerah Ketandan
dan Peh Cun yang dilaksanakan 15 hari setelah Imlek di Pantai
Parangtritis, Bantul. Tentu acara semacam ini turut menyertakan
elemen masyarakat dan pemerintahan setempat.
Di Yogyakarta sendiri, sejak 1998, telah berdiri berbagai organisasi
masyarakat yang mendasarkan pada ketionghoaan. Setidaknya ada
sepuluh organisasi lokal atau peguyuban orang Tionghoa dengan
berbagai latar belakang, antara lain Paguyuban Bhakti Putera,
Perhimpunan Warga Cantonese Yogyakarta (Perwacy), Paguyuban
Budi Abadi (Hoo Hap Hwee), Paguyuban Bhakti Loka, Paguyuban
Hakka Yogyakarta, Paguyuban Fu Qing, Perhimpunan
IndonesiaTionghoa (INTI) pengurus daerah di Yogyakarta,
Perkumpulan Urusan Kematian Jogjakarta (PUKJ), Paguyuban Alumni
Sekolah Tionghoa Indonesia (PASTI), dan Yayasan Persaudaraan
Masyarakat Jogjakarta (YPMJ). Sedangkan organisasi sosial umum
104
“Warga Yogya Diminta Mengisi Acara PBT: Diharapkan Menjadi Aset Wisata”,
Kompas edisi Jateng-Jogja, 19 Januari 2006.
60
yang juga banyak orang Tionghoa terlibat di dalamnya antara lain
Hash (bidang olahraga), Paguyuban Mitra Masyarakat Yogyakarta
(Pamitra), Rotary Internasional, Lion Club, Yayasan Buddha Tzu Chi,
dan Paguyuban Pedagang Malioboro (PPM). Pada masa Orde Baru,
selain PITI, organisasi di atas yang eksis dan diperbolehkan adalah
Paguyuban Budi Abadi, PUKJ, dan Bhakti Loka. Penyebabnya, ketiga
organisasi ini hanya melayani pengurusan kematian orang Tionghoa
(dua yang awal) dan pernikahan. Sedangkan yang terkait budaya
Tionghoa dalam ketiga organisasi ini dikebiri. Dalam bidang politik,
PITI tidak berafiliasi kepada organisasi masyarakat atau partai politik
tertentu. Kedekatan beberapa individu yang menjabat dalam struktur
kepengurusan PITI dengan organisasi masyarakat atau partai politik
tertentu sama sekali bersifat personal. Mengenai faktor kedekatan,
salah satunya bisa dilacak dari proses keislaman dan lingkungannya.
Di Yogyakarta Tionghoa Muslim memang cenderung bergabung
dengan Muhammadiyah dan PAN, meskipun rujukan pada organisasi
dan parpol yang lain juga banyak.
61
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bagi Tionghoa Muslim, situasi yang digambarkan di atas tampaknya
menunjukkan identitas yang berlapis. Beberapa orang Tionghoa
mengidentifikasi diri dengan negeri di mana mereka tinggal seraya tetap sadar
sebagai orang Tionghoa. Lainnya ada yang sudah melupakan bagaimana
makna menjadi orang Tionghoa dan berusaha menemukan kembali
ketionghoaan mereka. Bahkan ada yang benar-benar tidak menganggap diri
lagi sebagai orang Tionghoa. Hal ini membuat kita kesulitan untuk
mendefinisikan konsep identitas yang akan digunakan. Namun ini
menunjukkan bahwa konsep identitas merupakan konsep yang labil dan
memerlukan kualifikasi yang runtut. Mempertimbangkan berbagai kajian
tentang identitas Tionghoa Muslim yang melahirkan sejumlah identitas
berdasarkan penekanan masing-masing, tampak bahwa gagasan mengenai
identitas mengalami perubahan dan dari waktu ke waktu. Gagasan-gagasan
baru muncul seiring dengan berubahnya situasi di tingkat nasional dan di
tempat mereka tinggal serta perubahan orang-orang Tionghoa sendiri.
Mengenai fenomena Tionghoa Muslim di Indonesia berdasarkan
pengalaman Yogyakarta, tentu banyak mengandung variabel dan unsur yang
saling berkelindan. Pendekatan yang kiranya bisa diterapkan dengan tepat
adalah pendekatan tentang norma dan pemahaman pada perubahan cara
mereka merespons dan mempertahankan norma-norma tersebut. Norma yang
62
dimaksud di sini lebih mengacu kepada standar-standar ideal yang digunakan
sebagai pengikat diri dan standar ideal lain yang mereka terima dalam
lingkungan mereka yang bukan Tionghoa. Dalam hal tradisi, Tionghoa
Muslim masih memegang atau setidaknya menyelipkan identitas
ketionghoaannya dalam kehidupan sehari-hari, baik mengenai bahasa dan
aksara maupun hubunganhubungan keluarga, terutama melalui pelaksanaan
norma-norma tentang kelahiran, perkawinan, dan kematian. Contoh yang
paling jelas di Yogyakarta adalah Tan Jin Sing yang kemudian mendapat
gelar Tumenggung Secodiningrat. Prinsip-prinsip organisasi sosial yang
diterapkan dalam pembentukan formasi sosial masyarakat baru seperti yang
tecermin dari situasi di atas oleh Habermas disebut sebagai perkembangan
masyarakat yang berdimensi komunikatif. Habermas mengartikan
prinsipprinsip organisasi sosial sebagai inovasi-inovasi yang menjadi
mungkin melalui tahap-tahap proses belajar yang dapat disusun sesuai logika
perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahaptahap baru dari
proses belajar masyarakat.
Masih menurut Habermas, prinsip-prinsip organisasi sosial itu dapat
dilihat pada inti institusi yang menentukan bentuk integrasi sosial yang
dominan. Prinsip-prinsip organisasi ini berkaitan dengan tindakan-tindakan
sosial, khususnya kompetensi tindakan. Ini bermakna bahwa proses belajar
masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi individu-individu
yang menjadi anggota masyarakatnya. Kompetensi ini dikembangkan bukan
secara individual dan terisolasi, melainkan lewat interaksi sosial dengan
medium struktur-struktur simbolis yang berasal dari dunia kehidupan sehari-
hari. Memasuki periode Orde Baru, gambaran politik Tionghoa Muslim
63
mengalami pembekuan. Salah satu organisasi saluran partisipasi mereka,
PITI, dibatasi hingga mengubah penggunaan istilah Tionghoa dalam nama
organisasi dari “Persatuan Islam Tionghoa Indonesia” menjadi “Pembina
Iman Tauhid Islam”. Sebagaimana nasib Tionghoa lainnya, identitas etnis
mereka terdesak hingga paling buncit, sehingga lembaga keluarga menjadi
basis pertahanan paling akhir. Karena itu wajar jika pengajian di dalam
komunitas Tionghoa Muslim hanya bergulir dari satu rumah ke rumah yang
lain. Meskipun sudah memeluk Islam, nama Tionghoa mereka diubah.
Penekanan identitas orang Tionghoa Muslim periode ini lebih pada identitas
agama (nasional dan lokal), politik (nasional dan lokal), baru kemudian
etnisnya. Lewat program asimilasi yang dicanangkan Orde Baru, garis tradisi
keislaman orang Tionghoa diarahkan pada tradisi keislaman lokal sesuai
dengan tempat tinggal mereka. Misalnya, Tionghoa Muslim yang tinggal di
Jawa menyerap Islam Jawa ala NU atau Muhammadiyah.
Paham Pembangunanisme (modernisasi) yang dianut Orde Baru justru
membuat Tionghoa Muslim terlibat dalam kebijakan ekonomi negara (arus
produksi) tanpa diberi kesempatan untuk menemukan pamahaman terhadap
diri dan lingkungan mereka (komunikasi bebas). Logika modernisasi
(rasionalitas) yang diemban Orde Baru malah mengantar pada dimensi kerja
saja bahkan mengerucut pada kuantitas dan logika mekanistis. Peningkatan
jumlah Tionghoa Muslim menjadi target demi program asimilasi yang di balik
itu terkandung kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Identitas pun
menjadi artifisial dan tanpa makna. Pasca-Orde Baru dengan semakin
terbukanya arus komunikasi, cairnya budaya (tradisi) dan derasnya
kapitalisme global membuat pergolakan identitas Tionghoa Muslim menjadi
64
semakin kentara. Setiap individu memilih kompetensinya sesuai dengan
potensi dan selera masing-masing. Dalam norma politik, identitas etnis
mendapatkan titik tekan yang dominan. Penggunaan istilah “Tionghoa
Muslim” atau “Cina Muslim” lebih populer dibandingkan “Muslim
Tionghoa” yang sempat familiar pada 1980-an. Namun dalam penggunaan
istilah “Tionghoa” atau “Cina” masih banyak perbedaan pendapat baik di
kalangan umum maupun di kalangan Tionghoa sendiri. Organisasi PITI
sebagai saluran partisipasi Tionghoa Muslim mulai rutin mengadakan
musyawarah nasional dan menggunakan kembali kedua kepanjangannya
secara bersamaan. Isu politik Tionghoa Muslim pun merujuk pada isu-isu
yang juga diangkat oleh Tionghoa lain seperti kesamaan hak, eliminasi
diskriminasi, undang-undang kewarganegaraan, dan juga penegakan hukum.
Sedangkan di tingkat lokal, Tionghoa Muslim masih sama dengan lainnya
dalam hal hubungan konsensus dengan pihak Kesultanan. Dimensi budaya
(tradisi) juga tampak titik tekan yang sama, yaitu dominannya identitas
budaya etnis Tionghoa. Dengan dicabutnya pelarangan terhadap ekspresi
kesenian dan tradisi Tionghoa, Tionghoa Muslim di Yogyakarta juga mulai
ikut berekspresi, misalnya mulai ikut merayakan hari raya Imlek dengan cara-
cara tertentu.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis kerjakan, maka ada beberapa saran dari
penulis baik untuk PITI dan Cina Muslim, peneliti selanjutnya dan lembaga
Matakin maupun fakultas Ushuluddin lebih khusus program studi agama-
agama.
65
1. Cina Muslim
a. Sebagai etnis yang sebagian besar adalah penganut agama non Islam,
hendaknya muslim etnis tionghoa bisa lebih membaur dengan
masyarakat sekitar dan tidak melihat strata sosial.
b. Meskipun dibeberapa kejadian atau peristiwa keagamaan masih ada
sikap intoleransi terhadap warga keturunan Cina di Indonesia, tetapi
hal tersebut semoga tidak menyurutkan sikap cinta terhadap negara
Indonesia.
2. Peneliti selanjutnya
a. Masih banyak aspek-aspek PITI di Indonesia yang belum diteliti. Jadi
bisa menjadi bahan penelitian selanjutnya, agar dapat menjadi
wawasan keilmuan terutama prodi studi agama-agama.
b. Memperkaya literatur yang berkaitan dengan tionghoa muslim, seperti
jurnal internasional, arsip, dokumentasi, buku-buku dan referensi yang
mendukung.
3. Untuk mendukung penelitian PITI di Indonesia, pihak fakultas dan
jurusan hendaknya bisa memperbanyak literatur yang memadai untuk
penelitian kedepan.
66
Daftar Pustaka
Al-Qurtuby, Sumanto. Arus Cina-Islam Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan
Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI Yogyakarta:
INSPEAL, 2013
Jii, Liang. Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis; 20 Tahun Perjalanan Hubungan
Tiongkok-Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2012
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002
Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam di
Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2007
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Imu Sejahtera,
2010
Rochmawati, Masyarakat dan Budaya; Pembaruan yang Tak Terselesaikan. Jakarta:
PMB, 2004
Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara; Catatan Perjalanan dari Barat ke
Timur. Jakarta: Penerbit Kompas, 2012
Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Menguak Walisongo Sebagai
Fakta Sejarah. Bandung: Mizan, 2012
Jurnal dan Penelitian Lain
Apandi, Fajar. “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV” Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Handinoto dan Hartono, Sameul. “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid
Kuno Di Jawa Abad 15-16”, dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol.
35, No. 1, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2007
Karim, M. Abdul. Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi
Teori Bangla dan Gujarat). Makalah, tanpa tahun terbit
Wicaksono, Fadil Satrio. “Peranan Cheng Ho dalam Perkembangan Islam di
Indonesia tahun 1405-1433” Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Jakarta: PT. Serambi Imu Sejahtera,
2010)
Azra Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: kencana Prenada Media
Group,2004).
67
M. Karim Abdul. “Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi
Teori Bangla dan Gujarat)”. Makalah tanpa tahun terbit.
M. al-Attas Naquib, Islam and Secularisme (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Ghofur. Abd, “Tela’ah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara” dalam
Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2, Juli 2011.
Mansur Ahmad Surya Negara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan 2002).
Azra, Jaringan Ulama.
Apandi Fajar, “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV”, Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Azra Azzumardi, Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta : Yayasan Obor, 1994).
al-Attas Naquib, Islam dalam Sejarah Melayu (Bandung: Mizan, 1997).
Sukma Rizal dan Joewono Clara, Gerakan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer
(Yogyakarta: Kanisius, 2007).
Lapidus Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: PT Raja grafindo,1999).
Noer Deliar, Bunga Rampai dari Negeri Kanngguru Australia (Jakarta: Panji
Masyarakat, 1986).
Azis, S.Hum, “Islamisasi Nusantara Perspektif Naskah Sejarah Melayu”, dalam Jurnal
Thaqaffiyat, Vol. 16. No. 1. Juni, 2015.
Didi Kwartanada, “Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas Cina Kota Yogyakarta
pada Zaman Jepang 1942-1945”, Skripsi pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1997,
Azzumardi, h. Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor, 1994).
Abdullah Taufik, Islam dan Pembentukan Tradsisi di Asia Tenggara, Sebuah
Perspektif Perbandingan dalam Tradisi dan Kebangkitan di Adsia Tenggara (Jakarta
: LP3ES, 1996).
Azis, “Islamisasi Perspektif Sejarah Melayu”.
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 1992).
M. Lubis Ridwan, Soekarno dan Modernisme Islam, (Jakarta: Komunitas Bambu,
2010).
Muljana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam di
Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007).
68
Muljana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Kerajaan Islam di
Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2007).
Yuanzhi Kong, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibbah di
Nusantara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2000).
Sen Tan Ta, Cheng Ho: Penyebar Islam Dari Cina ke Nusantara (Jakarta: Kompas,
2010).
Wicaksono Fadil, “Peranan Cheng Ho dalam Perkembangan Agama Islam di
Indonesia Tahun 1405-1433” dalam Skripsi Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung, 2014.
Muhsin Mumuh, “Islam di antara Cina dan Nusantara”, Makalah dalam Bedah Buku,
oleh Selasar Pusat Kajian Lintas Budaya, (Bandung: Universitas Padjajaran, 2007).
Muhsin Mumuh, “Islam di antara Cina dan Nusantara”.
Apandi Fajar, “Islamisasi di Jawa Barat Abad XV”, Skripsi Fakultas Adab dan
Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Al-Qurtuby Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa (Jogjakarta: Inspeal Ahimsakarya Press,
2003).
Satrio Wicaksono Fadil, “Peranan Cheng Ho”.
Jii Liang, Dari Relasi Upeti Ke Mitra Strategis; 2000 Tahun Perjalanan Hubungan
Tiongkok-Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2012).
Wibowo Priyanto, “Tionghoa Dalam Keberagamaan Indonesia: Perspektif Historis
Tentang Posisi dan Identitas”, Makalah.
Tang Dinasti, (618M-907M) adalah salah satu dinasti yang paling berpengaruh di
Cina. Lihat Ibrahim Tien Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979).
Ahmad Fauzi Nurali, “Dinamika Tionghoa Islam Pasca Reformasi di Yogyakarta”,
Skripsi Jurusan Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
Ahmad Fauzi Nurali, “Dinamika Tionghoa Islam”.
Handinoto dan Hartono Sameul, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid
Kuno Di Jawa Abad 15-16”, dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35, No. 1,
Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2007.
Tien Ying Ma Ibrahim, Perkembangan Islam di Tiongkok.
69
Satrio Wicaksono Fadil, “Peranan Cheng Ho”.
Dedy, “Peranan Cheng Ho dalam Sejarah Perkembangan Muslim Tionghoa di
Indonesia” Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2006.
Anggraini Desy dkk, “Analisis Cara Organisasi Tionghoa Muslim dalam
Mempertahankan Identitas Tionghoa” dalam jurnal Thesis Binus, 2011.
Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara; Catatan Perjalanan dari Barat ke
Timur (Jakarta: Penerbit Kompas, 2012).
Graaf H.J.de dkk. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan
Mitos (Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1998).
Ibid.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2012).
Anindyta Hasna, Pengaruh Kebudayaan Cina Terhadap Arsitektur Masjid Mantingan
(Bandung: Seminar Heritage IPLBI, 2017).
C. Isror, Sejarah Kesenian Islam II, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1957).
Ananta Toer Pramodya, Arus Balik: Sebuah Epik Maritim Nusantara, Wira Karya,
1995.
Handinoto. Perkembangan Arsitektur Tionghoa di Indonesia. Dalam A. H. Kustara
(Ed.). Peranakan Tionghoa Indonesia: Sebuah Perjalanan Budaya (Jakarta: PT.
Intisari Mediatama dan Komunitas Lintas Budaya Indonesia, 2009).
Graaf H.J.de dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historitas dan
Mitos (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya Anggota IKAPI, 1998).
Callin Tjahjana, Akulturasi Budaya Dalam Arsitektur Bangunan Masjid Lautze 2
Bandung. (Makalah, tanpa tahun terbit).
Koentjaningrat, Pengntar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990).
Ibid.
Wijayakusuma Hembing, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah
Nusantara (PT. Praninta Jaya Mandiri, Jakarta, 2011) Cet. 4.
Khoon Choy Lee, Indonesia di Antara Mitos dengan Realitas, (Penerbitan Pendidikan
Singapura, 1976).
70
Wijayakusuma Hembing, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah
Nusantara (PT. Praninta Jaya Mandiri, Jakarta, 2011) Cet. 4.
Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1889-1930,
(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia).
Fahmi Rafika Perdana, Integrasi Sosial Muslim Tionghoa: Studi atas Partisipasi PITI
DIY dalam Gerakan Pembauran, (Yogyakarta: Mystico-PITI, 2008).
Iman Astri Okta Ayuana, “Organisasi dan Kegiatan Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia (PITI) Yogyakarta”, Tugas Akhir pada Program Studi D-3 Bahasa
Mandarin, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007.
T.S. Werdoyo, Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina Sampai Bupati Yogyakarta, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1990).
Website
Husnil, Muhammad. “Rekonstrukis Sejarah Masuknya Islam ke Jawa” resensi buku
Arus Cina-Islam Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam
Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI karya Sumanto al-
Qurtuby. diakses dari http://islamlib.com/aksara/buku/rekonstruksi-sejarah-
masuknya-islam-ke-jawa/ pada 13 Maret 2017 Pukul 21.45
Suryaningsih, Budi Rosita. “Jejak Tionghoa Dalam Penyebaran Islam di Nusantara”
dalam Rubik Khazanah, diambil dari http://khazanah.republika.co.id pada 17
Februari 2017
Tanudjaja Syarif, “Sekilas Tentang Piti”, diakses dari http://piti.or.id/index. Pada
tanggal 10 Mei 2017. Pukul 14.45
Anonim, Pengaruh Akulturasi Budaya Cina Jawa. Dilansir dari
http://chinalibrabryindonesia.blogspot.co.id/2015/04/pengaruh-akulturasi-budaya-
cina-jawa.html. Diakses pada 28 oktober 2017. Pukul 17.10.