Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan · PDF filehoa maupun non-Tionghoa (Pribumi dan Belanda), ... seperti Cerita Nyai Dasima. Kedudu-kan sastra Melayu Tionghoa disamakan

Embed Size (px)

Citation preview

  • Integrasi Budaya Tionghoake Dalam Budaya Bali

    dan Indonesia(Sebuah Bunga Rampai)

    Editor : Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA.

    PenerbitUniversitas Udayana

    2011

  • INTEGRASI BUDAYA TIONGHOAKE DALAM BUDAYA BALI

    DAN INDONESIA(Sebuah Bunga Rampai)

    Para Penyumbang Tulisan/Nara Sumber :

    Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA Prof.Dr. I Wayan Ardika, MA.

    Prof.Dr. I Made Bandem Prof.Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU

    Prof.Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, MA.Prof.Dr. AA Bagus Wirawan, SU.

    Editor :Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA

    Penerbit :Universitas Udayana

    2011

  • DAFTAR ISI

    Prakata Editor .......................................................................................................... viiSambutan Ketua INTI Bali ...................................................................................... xiiiSambutan Dewan Pembina INTI Bali ...................................................................... xvSambutan Dekan Fakultas Sastra Unud ................................................................... xvii

    1. HUBUNGAN KOMUNITAS TIONGHOA DAN BALI : PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME Oleh: Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA..................................................................... 1

    2. PENGARUH KEBUDAYAAN TIONGHOA TERHADAP PERADABAN BUDAYA BALI Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA .................................................... 13

    3. AKULTURASI BUDAYA BALI DAN TIONGHOA DALAM ARSITEKTUR GRIYA KONGCO DWIPAYANA, KUTA Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA .................................................... 43

    4. BARONG LANDUNG: PERSPEKTIF SEJARAH, FUNGSI, DAN PERGELARAN Oleh: Prof. Dr. I Made Bandem .......................................................................... 83

    5. BERBAGAI KISAH LAHIRNYA BARONG LANDUNG DI BALI, FUNGSI DAN MAKNA SIMBOLIKNYA Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA ................................................. 105

    6. PERANAN SASTRA MELAYU TIONGHOA TERHADAP KESATUAN BANGSA Oleh: Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU......................................................... 133

    v

    Perpustakaan Nasional RIKatalog Dalam Terbitan (KDT)

    INTEGRASI BUDAYA TIONGHOAKE DALAM BUDAYA BALI

    DAN INDONESIA(Sebuah Bunga Rampai)

    xviii + 232 halaman : 15 x 21 x 1,4 cm

    Editor :Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA

    Desain Cover : SulistyawatiFoto: Made Nagi Oka M.

    Diterbitkan oleh :Universitas Udayana, Bali, 2011

    Cetakan I : Februari 2011

    Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

    Dicetak oleh :Maestro OffsetDenpasar - Bali

    Isi Di Luar Tanggung Jawab Percetakan

    iv

  • 7. MENELADANI ETOS KERJA WARGA TIONGHOA Oleh: Prof.Dr.Ir. Sulistyawati, MS.,MM.,MA ................................................. 149

    8. ORIENTASI ORANG TIONGHOA DAN BALI DALAM KONVERSI MODAL MELALUI DESA PAKRAMAN : PERSPEKTIF MULTIKULTURALISME Oleh : Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, MA., Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA, Dr. I Nyoman Dana, MA.................................................................................... 169

    9. PERAN ETNIS TIONGHOA MENYAMBUT REVOLUSI DI INDONESIA DI BALI Oleh: Prof. Dr. AA Bagus Wirawan, SU. ........................................................... 195

    Profi l Penulis .......................................................................................................... 209

    Glosarium .............................. ................................................................................. 218

    vi vii

    Prakata Editor

    Salam Sejahtera,Setelah lewat hampir tiga tahun terbitnya buku Integrasi Budaya

    Tionghoa Ke Dalam Budaya Bali (Sebuah Bunga Rampai) yang boleh dianggap sebagai Jilid I, kini editor kembali menerbitkan buku Jilid II dengan judul Integrasi Budaya Tionghoa Ke Dalam Budaya Bali dan Budaya Indonesia (Sebuah Bunga Rampai). Adanya tambahan Budaya Indonesia pada judul buku, adalah semata-mata untuk memperluas bidang cakupan. Dengan demikian, akan memperluas kesempatan par-tisipasi setiap orang untuk turut berpartisipasi dalam menyumbangkan artikel, seperti artikel yang disumbangkan oleh Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna dalam buku ini. Semua artikel yang disajikan oleh setiap penulis adalah hasil kajian sesuai dengan bidang kepakarannya, tetapi tetap mengacu pada tema seputar masalah integrasi budaya Tionghoa ke dalam budaya Bali. Adanya integrasi budaya itu ditelusuri berdasarkan temuan artefak-artefak budaya maupun aktivitas sosial budaya serta pra-nata-pranata budaya Tionghoa yang masih hidup berdampingan dengan budaya Bali pada kasus-kasus yang dijadikan objek kajian penelitian.

    Tulisan pertama diisi oleh Prof. Dr. I Wayan Ardika (arkeolog), dengan judul Hubungan Komunitas Tionghoa dan Bali dalam Perspek-tif Multikulturalisme. Dari hasil risetnya diketahui, bahwa hubungan antara komunitas Tionghoa dan Bali di tiga desa kajian menunjukkan adanya kondisi yang harmonis, toleran, dan saling menghormati dan mengagungkan kesederajatan dalam perbedaan. Realita ini menurut Ardika adalah cerminan dari ideologi multikulturalisme yang telah di-praktikkan oleh kedua komunitas di desa Baturiti, Carangsari dan Pa-dangbai. Tumbuh suburnya ideologi multikulturalisme di antara komu-nitas Tionghoa dan Bali tampaknya dilandasi oleh nilai-nilai dalam agama Buddha/Khonghucu dan Hindu yang senantiasa menjunjung tinggi kesamaan dalam perbedaan.

    Tulisan kedua disajikan oleh editor sendiri (arsitek), dengan judul Pengaruh Kebudayaan Tionghoa terhadap Budaya Bali. Berdasarkan

  • ixviii

    kajian pustaka dan studi lapangan di beberapa tempat, diketahui bahwa berdasar fakta-fakta sejarah dapat diketahui bahwa masyarakat Bali tidak pernah alergi terhadap perbedaan etnik yang datang ke Bali dengan berbagai pengaruh budaya yang mereka bawa. Sebaliknya, orang Bali dengan arif dan bijaksana sangat jenius dalam memanfaatkan penga-ruh budaya lain untuk membangun kemajuan peradaban budaya Bali sendiri, menjadi lebih kaya dan indah. Kemampuan selektif dan adaptif masyarakat Bali yang sangat tinggi dalam menyerap pengaruh budaya luar (Tionghoa) ini, mampu melahirkan karya-karya budaya baru yang dapat menjadi milik budaya Bali sendiri, yang dikenal dengan genius loci atau local genius, seperti dapat dilihat pada peninggalan artefak-artefak budaya hasil kolaborasi budaya Tionghoa dan Bali di beberapa tempat penelitian ini.

    Tulisan ketiga kembali disajikan oleh editor sendiri, dengan judul Akulturasi Budaya Bali dan Tionghoa dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana, Kuta. Dari hasil kajian kasus ini dapat diketahui bahwa ciri-ciri Arsitektur Tradisional Kongco Tiongkok hampir sebagian besar telah diakulturasikan dengan Arsitektur Tradisional Bali ke dalam Arsitektur Griya Kongco Dwipayana tersebut. Akulturasi budaya arsi-tektur ini dapat dilihat dari Nama Kongco Dwipayana, Pola Tata Ruang, Bentuk Bangunan, Material, Warna, Tekstur dan Ragam hiasnya serta makna-makna dibalik bentuk-bentuk simbolis dari Kongco Dwipayana tersebut. Akulturasi kedua unsur arsitektur etnik yang berbeda ini dilaku-kan dengan sangat jenius, sehingga terlihat menjadi lebih indah dan lebih kaya kreativitas tanpa harus meninggalkan kekhasan arsitektur masing-masing etnik. Semua itu terpadu serasi, sebagai contoh hasil bentuk olah pikir yang memang jenius dari manusia Bali.

    Tulisan keempat dipersembahkan oleh Prof. Dr. I Made Bandem (pakar seni dan seniman) berjudul Barong Landung: Perspektif Sejarah, Fungsi, dan Pergelaran. Tulisan ini memaparkan sejarah pertunjukan topeng (atapukan) seperti pada Barong Landung dan barong-barong lain, yang memiliki akar sangat tua, karena ada disebutkan pada prasasti Bebetin yang berangka tahun 896 Masehi dan prasasti Raja Bali Kuno

    Anak Wungsu berangka tahun 1045-1071 Masehi. Keberadaan seni topeng ini, kemungkinan ada hubungan dengan mulai masuknya pe-ngaruh sinkretisme keyakinan agama Buddha (seperti di Jepang dan Tiongkok) dengan Hindu yang berkembang selalu hidup berdampingan sampai kini di Bali. Barong Landung diduga sebagai bentuk manifestasi raja Balingkang yang bergelar Jaya Pangus dengan permaisurinya puteri Tiongkok bernama Kang Ching Wie, atas jasa besarnya terhadap kese-jahteraan masyarakat Bali pada masa lampau. Pergelaran cerita dalam kesenian Barong Landung memiliki fungsi dan tujuan untuk pendaki-an spiritual dan mendekatkan diri dengan Tuhan atau raja yang pernah memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyat Bali. Hal ini berhubungan dengan adanya keyakinan orang Bali Hindu akan adanya berbagai manifestasi Tuhan seperti raja Jaya Pangus dan permaisurinya (dalam bentuk topeng-topeng Barong Landung) sebagai kekuatan lain yang menjadi tangga untuk mencapai kemanunggalan dengan Beliau yang tertinggi.

    Tulisan kelima juga disajikan oleh editor, dengan judul Berba-gai Kisah Lahirnya Barong Landung di Bali: Fungsi dan Makna Sim-boliknya. Kajian ini lebih bersifat kajian keperpustakaan dan analisis penulis serta wawancara mendalam. Sedikitnya ada tujuh versi yang telah diketahui sebagai awal kisah lahirnya seni Barong Landung. Masing-masing versi berangkat dari latar belakang sejarah dan sosial budaya yang berbeda, dengan argumentasi yang cukup kuat. Semua versi memiliki alasan sejarah yang kuat dan mengandung nilai-nilai budaya yang kaya makna bagi masyarakat pendukung budayanya. Be-berapa makna seni ini dapat dilihat berdasarkan atribut-atribut dalam perwujudan fi sik kesenian Barong Landung, sebagai berikut. Jero Gede dengan warna hitam simbol Wisnu, sedangkan Jero Luh yang berwarna putih adalah simbol Iswara, serta Cupak berwarna merah adalah simbol Brahma. Jadi,