39
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Wakaf Menurut Ameer Ali hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam hukum islam, sebab ia terjalin kedalam seluruh kehidupan ibadat dan merupakan ibadat dan perekonomian sosial umat muslimin. 2 Wakaf menurut bahasa Arab berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta karena Allah. 3 Menurut Taufiq Hamami, pada zaman Rasulullah SAW istilah untuk wakaf yang senantiasa dipergunakan habs. Pemakaian istilah semacam ini, tentunya dapat dilihat dalam berbagai muatan hadist yang menerangkan tentangnya. Kendati demikian istilah yang banyak dipakai dan populer di dalam kitab-ktab fikih yang ada, adalah istilah wakaf itu sendiri. Justru istilah semacam inilah yang telah hidup mengakar dalam kehidupan kita. Realitas semacam ini tentu menunjukkan bahwa antara keduanya wakaf dan habs adalah searti. Selain habs, wakaf dikenal juga dengan istilah tasbil dan tahrim. Namun keduanya juga tidak dikenal dan tidak populer dipergunakan oleh masyarakat, kecuali oleh masyarakat (ahli) fikihnya itu sendiiri. 4 Kata tasbil artinya menyerahkan atau menjadikan harta 2 Asaf A.A . Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam, diterjemahkan oleh Arifin Bey, (Jakarta: Tinta Mas, 1966), hal. 75. 3 Adijani al-Alabij, Op., Cit., hal. 39. 4 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta: Tatanusa,2003), hal. 39.

Pengertian Wakaf - repository.uph.edurepository.uph.edu/3562/5/Chapter 2.pdfwakaf menurut istilah syarak adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Wakaf

Menurut Ameer Ali hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting

dalam hukum islam, sebab ia terjalin kedalam seluruh kehidupan ibadat dan

merupakan ibadat dan perekonomian sosial umat muslimin.2 Wakaf menurut

bahasa Arab berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan

menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini

berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta karena Allah.3

Menurut Taufiq Hamami, pada zaman Rasulullah SAW istilah untuk wakaf yang

senantiasa dipergunakan habs. Pemakaian istilah semacam ini, tentunya dapat

dilihat dalam berbagai muatan hadist yang menerangkan tentangnya. Kendati

demikian istilah yang banyak dipakai dan populer di dalam kitab-ktab fikih yang

ada, adalah istilah wakaf itu sendiri. Justru istilah semacam inilah yang telah

hidup mengakar dalam kehidupan kita. Realitas semacam ini tentu menunjukkan

bahwa antara keduanya wakaf dan habs adalah searti. Selain habs, wakaf dikenal

juga dengan istilah tasbil dan tahrim. Namun keduanya juga tidak dikenal dan

tidak populer dipergunakan oleh masyarakat, kecuali oleh masyarakat (ahli)

fikihnya itu sendiiri.4 Kata tasbil artinya menyerahkan atau menjadikan harta

2Asaf A.A . Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam, diterjemahkan oleh Arifin Bey, (Jakarta: Tinta

Mas, 1966), hal. 75. 3Adijani al-Alabij, Op., Cit., hal. 39.

4Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta:

Tatanusa,2003), hal. 39.

9

untuk kepentingan sabilillah. Sedangkan kata tahrim dalam hubungannya dengan

pembicaraan wakaf, berarti mengharamkan harta untuk dipergunakan selain

wakaf.5

Kata wakaf sendiri berasal dari karta kerja waqafa (fiil madi)-yaqifu (fiil

mudari-)-waafan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan

wakaf menurut istilah syarak adalah menahan harta yang mungkin diambil

manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan

digunakan untuk kebaikan.6 Menurut Abd al-Wahhab Khallaf, wakaf berarti

menahan sesuatu baik hissi maupun maknawi. Kata wakaf menurut Abd al-

Wahhab Khallaf juga digunakan untuk objeknya yakni dalam arti sesuatu yang

ditahan.7 Menurut Gamal Komandoko, wakaf menurut istilah fikih menahan

sesuatu baik berupa benda, barang, maupun harta yang digunakan untuk pada hal-

hal yang bersifat kemaslahatan bagi umum, dengan tujuan beribadah kepada Allah

SWT dan mengharapkan pahala daripadanya.8 Beberapa rumusan lain mengenai

wakaf antara lain, yaitu:9

1. Abu Yusuf dan Imam Muhammad.

Wakaf adalah penahanan pokok suatu benda dibawah hukum benda Tuhan

Yang Maha Kuasa sehingga hak kepemilikan dari wakif berakhir dan

berpindah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk sesuatu tujuan yang

hasilnya dipergunakan untuk manfaat makhluknya.

5 Ibid, hal. 57.

6 Adijani al-Alabij, Loc., Cit.

7 Farida Prihatini , Uswatun Hasanah dan Wirdyaningsih, Hukum Zakat & Wakaf: Teori dan

Prateknya Di Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti-Badan Penerbit FHUI,2005),hal. 108. 8 Gamal Komandoko, Ensiklopedia Istilah Islam, (Yogyakarta:Cakrawala,2009).

9 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita,

(Bandung:Alumni,1984), hal. 6.

10

2. Abu Hanifah

Wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam kepemilikan wakaf

dan penggunaan hasil itu yang dapat disebutkan ariah atau commodate

loan untuk tujuan-tujuan amal saleh.

3. Maulana Muhammad Ali

Menurut syara wakaf berarti penatapan yang bersifat abadi untuk

memungut hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang

seorang atau yang bersifat keagamaan atau untuk tujuan amal.

4. Naizaruddin Rachmat

Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang yang semantara

asalnya (zatnya) tetap selalu berubah yang dapat dipetik hasilnya dan yang

empunya sendiri sudah menyerahkan kekuasannya terhadap barang itu

dengan syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk

keperluan amal kebajikan yang diperintahkan syariat.

Menurut Taufiq Hamami, secara terminologis fikihnya tampaknya diantara

para ahli fikih terkemuka baik Maliki, Hanafi, Syafi‟i maupun Hambali berbeda

pendapat terhadap batasan pendefinisian wakaf. Ralitas dan kenyataan ini lantaran

karena adanya keberbedaan landasan dan pemahaman serta

penginterprestasiannya terhadap ketentuan-ketentuan yang ada di dalam berbagai

muatan hadits yang menerangkan tentang wakaf. Sebagai perbandingan akan

dikemukakan dua pendapat, yaitu satu sama lainnya saling bertolak belakang,

meski pada dasarnya sumber rujukan pendapatnya itu sendiri sama-sama hadits

11

tentang wakafnya sahabat Umar bin Khattab terhadap tanahnya di daerah Khaibar

peristiwa tersebut lengkapnya sebagai berikut

2.2 Sejarah Wakaf

2.2.1 Sebelum Datangnya Islam

Sebelum datangnya Islam, sebenarnya telah ada institusi yang mirip

dengan institusi perwakafan, walaupun tidak memakai istilah wakaf. Umat

manusia terlepas dari agama dan kepercayaan mereka anut sesungguhnya telah

mengenal beberapa bentuk praktek pendayagunaan harta benda, yang

substansinya tidak jauh berbeda dengan batasan makna wakaf di kalangan umat

Islam. Hal ini disebabkan pada dasarnya seluruh umat manusia di dunia ini sudah

menyembah Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan mereka.

Hal inilah yang menjadi faktor pendorong umat manusia untuk membangun

rumah peribadatannya masing-masing.10

Rumah-rumah peribadatan yang berdiri sejak zaman dahulu tersebut, pasti

harus didirikan diatas sebuah lahan dan bersifat permanen. Oleh karena itulah,

mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian terhadap kelangsungan

agamanya, akan suka rela menyumbangkan tanah dan hartanya untuk membangun

rumah peribadatan tersebut. Apa yang dilakukan mereka ini, secara subtansial

adalah sama dengan wakaf dalam Islam.11

Di Indonesia menurut Koesoema Atmaja sekalipun masalah tentang wakaf

didasarkan pada ketentuan dan ajaran agama Islam akan tetapi lembaga wakaf ini

10

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Dan Praktek Perwakafan Di Indonesia, (Yogyakarta, Pilar

Media, 2005), hal.14. 11

Ibid, hal.15.

12

sudah dikenal sebelum kedatangan agama Islam. Ia menunjukkan ada beberapa

jenis wakaf yang tidak dikuasai atau oleh aturan-aturan agama Islam, sebagai

contoh dikemukakannya:12

1. Pada suku Badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal Huma Serang. Huma

adalah ladang, ladang ini tiap tahun dikerjakan secara bersama dan

hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama.

2. Di pulau Bali ada pula semacam lembaga wakaf dimana terdapat tanah dan

barang-barang lain, seperti benda-benda perhiasan untuk pesta menjadi

milik candi atau dewa-dewa yang tinggal disana.

3. Di Lombok terdapat tanah yang dinamakan Tanah Pareman, yaitu tanah

negara yang dibebaskan dari pajak Landrente yang diserahkan kepada

desa-desa subak, juga candi, untuk kepentingan bersama.

2.2.2 Setelah Datangnya Islam

Wakaf merupakan salah satu bentuk amal sholeh yang dikenal dalam

Islam, dimana hal itu dianjurkan sebagain cara mendekatkan diri kepada Allah

SWT. Oleh karena itulah pada masa kenabian, wakaf selanjutnya banyak

dilakukan oleh para sahabat. Wakaf yang dilakukan para sahabat ini bertujuan

mulia dan semata-mata mencari ridho Allah SWT.13

Pada masa Daulah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah wakaf telah meluas

serta memicu umat Islam mewakafkan harta mereka. Sehingga jangkauan wakaf

pada masa itu tidak hanya terbatas pada penyaluran kalangan fakir miskin, akan

12

Koesoema Atmadja telah menyusun Disertasi pada Universitas Leiden dibawah dibawah

pimpinan Bapak Hukum Adat Prof. Mr. Van Vollenhoven berkenaan dengan lembaga wakaf,

dengan judul Mohammedaansche Vrome Strichtingen, lihat Abdurrahman,Op., Cit., hal. 14. 13

Muhammad Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Jakarta:Dompet Dhuafa Republika dan

Ilman,2004), hal. 23.

13

tetapi telah merambah pada pendirian sarana ibadah, tempat-tempat pengungsian,

perpustakaan, dan sarana-sarana pendidikan serta beasiswa untuk pelajar, tenaga

pengajar dan orang-orang yang terlibat didalamnya.14

Jangkauan wakaf semakin luas dan semakin penting ini kemudian

menuntut didirikannya suatu lembaga khusus yang bergerak di bidang wakaf baik,

untuk menampung harta wakaf maupun mengelolanya. Selain itu wakaf dahulu

benar-benar menjadi hukum privat, pada perkembangannya membutuhkan campur

tangan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaannya.

Pada masa Daulah Umayah, seorang Hakim dari Mesir yang bernama

Taubah Bin Namr Bin Haumal Al-Hadrami, yang menjadi hakim pada masa

pemerintahan Hisyam Bin Abdul Malik, menjadi orang yang pertama kali yang

mencatat harta wakaf dalam catatan khusus, sehingga keselamatan para mustahik

tetap terjaga. Ketika wafat, Taubah meninggalkan arsip-arsip sistem penataan

wakaf dan menyusunnya dengan sangat rapih, bahkan pada masa ini telah dibuat

pula pembukuan wakaf di Basrah.15

Sejak saat itu wakaf berada di pengawasan qadhi (hakim). Hakim bertugas

menjaga dan mengawasi harta pokok wakaf dan menyalurkan keuntungannya

kepada pihak yang berhak menerima. Jika Wakif telah menunjuk pihak tertentu

untuk mengawasi harta wakaf, maka hakim cukup mengawasi pihak yang

ditunjuknya. Tetapi bila tidak ada pihak yang ditunjuk untuk mengawasi harta

wakaf, maka dalam hal ini hakim memegang langsung kendali sebagai pengawas.

14

Abdul Ghofur Anshori, Op., Cit., hal. 16. 15

Ibid., hal. 17.

14

Pada masa Daulah Abbasiyah, pimpinan lembaga wakaf disebut Shadru

al-wuquf. Ia bertugas mengawasi pengelolaan wakaf serta menunjuk pihak

tertentu untuk membantu pengawasan tersebut.16

Pada masa Daulah Usmaniyah mengusai deratan Arab, jangkauan wakaf

telah meluas dan mendapat sambutan dari penguasa dan pemimpin lainnya.

Sehingga mereka mendirikan lembaga khusus untuk mengawasi wakaf dan

menyusun undang-undang dan peraturan tentang pengaturan pengelolaan wakaf,

penerapan bentuk wakaf dan teknis pendistribusiannya. Prinsp-prinsip yang

terkandung di dalam undang-undang tersebut masih tetap di pakai oleh lembaga-

lembaga wakaf hingga kini.17

Di Indonesia, setelah datangnya agama Islam di Nusantara, praktek

perwakafan mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan. Lembaga

wakaf timbul dimana-mana dan di kelola secara baik oleh organisasi

kemasyarakatan Islam. Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang

menangani perwakafan adalah Muhammadiyah.18

Menurut Adijani al-Alabij,

sejak berdiri, perserikatan Muhammadiyah hampir tidak dipisahkan dari urusan

perwakafan tanah. Karena itu dalam struktur organisasinya pun terdapat satu

bagian khusus yang mengurusi masalah wakaf yaitu Majelis Wakaf dan

Kehartabendaan.19

Perbedaan antara praktek wakaf yang terjadi sebelum datangnya Islam dan

setelah datangnya Islam tersebut terletak pada tujuan wakaf, dalam Islam tujuan

16

Ibid. 17

Ibid. 18

Perserikatan Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhujjah 1303 H atau

bertepatan dengan 18 Nopember 1912, lihat Adijani al-Alabij, Op., Cit., hal. 5. 19

Ibid., hal.6.

15

wakaf adalah mencarin keridoaan Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya,

sedangkan wakaf sebelum datangnya agama Islam seringkali digunakan sebagai

sarana mencari prestise (kebanggan).

2.3 Beberapa Dasar Hukum Wakaf di dalam Al-Quraan dan Hadist

Menurut Syafi‟i, Malik dan Ahmad, wakaf itu adalah suatu ibadat yang

disyariatkan. Hal itu disimpulkan baik dari pengertian-pengertian ayat Al-Quraan

maupun Hadist yang secara khusus menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman

Rasullulah SAW.20

Diantara dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum

wakaf dalam agama Islam adalah:

1. Dari Al-Quraan

a. Al-Quraan (Surah: 2, al-Baqarah, ayat 177), yang artinya:

“Bukalnah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu

suatu kebajikan, akan tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada

Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi,

dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-

anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan

memerdekakan hamba sahaya ..”21

b. Al-Quraan (Surah: 3, Ali Imran, ayat 92), yang artinya: “Kamu

sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)

sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.

20

Ibid., hal.24-25. 21

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quraan Dan Terjemahannya Dengan Transiltelasi

Arab-Latin (Rumy), (Semarang:Asy-Syifa, 2001), hal. 58.

16

Dan apa saja kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah

mengetahuinya.22

c. Al-Quraan (Surah: 2, al-Baqarah, ayat 267), yang artinya: “Hai

orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian hasil

usahamu yang baik-baik dan sebagaian apa dari kami keluarkan

dari bumi untuk kamu.”23

d. Al-Quraan (Surah: 16, an-Nahl, ayat 97), yang artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki mapun

perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan

kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya

akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang baik

dari apa yang mereka telah kerjakan.”24

e. Al-Quraan (Surah: 22, al-Hajj, ayat 77), yang artinya: “Hai orang-

orang yang beriman, ruku‟lah kamu, sujuglah kamu, sembahlah

Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan.”25

Jika menelaah ketentuan firman diatas, maka akan dapat dimengerti

bahwa penyampain perintah penunaiannya bersifat umum, berupa suatu

perintah untuk berbuat kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah

mengandung dan mencakup pengertian zakat, infaq, shadaqah dan wakaf.

Wakaf dikatakan sebagai suatu kebaikan, karena merupakan suatu

22

Ibid., hal. 130. 23

Ibid., hal. 94. 24

Ibid., hal. 594. 25

Ibid., hal. 741.

17

penyerhan harta benda untuk kepentingan sosial yang tujuannya semata-

mata hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam rangka

mendapatkan pahala dari-Nya. Dengan demikian dapat disimpulkan,

bahwa ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat dijadikannya sebagai

dasar umum dari perintah amalan wakaf.26

2. Dari Hadist.

Dari Hadist tercatat, orang yang pertama kali yang melakukan

perbuatan atau amalan wakaf dalam sejarah hukum Islam adalah sahabat

Umar Bin Khatab27

. Perbuatan yang dimaksud adalah berupa perwakafan

sebidang tanah miliknya yang terletak di daerah Khaibar. Sejak perbuatan

wakaf dari Umar Bin Khatab tersebut itulah kemudian diikuti oleh

perbuatan-perbuatan para sahabat lainnya (kata Imam Syafii, sesudah itu

80 orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan

wakaf pula).28

Seperti:

a. Sahabat Utsman Bin Affan, atas anjuran Rasulullah SAW sendiri

telah membeli sebuah sumur, kemudian ia mewakafkannya untuk

digunakan sebagai sumber air minum masyarakat sekitarnya.

Perbuatan wakaf tersebut seperti halnya tercantum dalam hadist

yang diriwayatkan sendiri oleh Katanya:

“Sesungguhnya Nabi SAW telah datang ke Madinah, disini tidak

ada sumber air bersih yang dapat diminum kecuali air yang ada

pada sumur Ruma “Sabdanya: “Barang siapa membeli sumur

26

Taufiq Hamami, Op., Cit. ,hal. 41-42 27

Ibid. 28

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung,Sinar Baru Algesindo,1998), hal. 340.

18

Ruma dan menjadikan timbahnya bersama-sama timbahnya kaum

muslimin (menyedekahkan air sumur tersebut) maka akan masuk

surga. “Lantas kata Utsman Bin Affan kemudian kepada kaum

muslimin: “Aku membelinya dengan hartaku sendiri.”

Untuk wakaf dalam hukum Islam (fiqih) dikenal dengan istilah

Wakaf Khaeri, yakni suatu wakaf dipersasauntukkan untuk

kepentingan umum (masyarakat).

b. Sahabat Abi Thalhah, telah mewakafkan keduanya untuk sanak

familinya. Hal ini terkisah dalam hadist diriwayatkan Anas,

Katanya, Abi Thalhah berkata kepada Nabi SAW: Ya Nabi!,

sesungguhnya Allah telah berfirman bahwa tidak akan

mendapatkan kebaikan sehingga kamu sekalian memberikan

sebagian hartanya yang disenanginya. Sesungguhnya hartaku yang

amat aku senangi adalah kebunku yang di Bairukha. Ia aku jadikan

sedekah untuk Allah. Ya Rasulullah!, tempatkan ia seperti apa

yang Allah tunjukkan kepadamu. “Sabdanya: “Wah,wah, itu harta

yang menguntungkan yang telah aku dengar, dan aku tunjukkan

engkau sedekahkan harta itu kepada familimu yang terdekat.” Abi

Thalhah berkata: aku melaksanakannya ya Rasulullah.” Lalu Abi

Thalhah membagi-bagikannya kepada kaum dan kerabat dan

keponakan-keponakannya. Wakaf macam ini dalam hukum Islam

(fikih) dikenal dengan istilah Wakaf Ahli, yakni wakaf

diperuntukkan untuk kepentinganm keluarga atau perseorangan.

19

c. Bani Najjar, secara bergotong royong mengumpulkan harta

bendanya dan kemudian mewakafkannya untuk membangun

sebuah masjid. Wakaf macam ini seperti halnya yang terkisah di

dalam hadist dari Anas, “bahwa Nabi menyuruh membangun

masjid. Lantas (setelah rampung) lalu beliau bersabda kepada Bani

Najjar: “Berapa harga dinding-dinding itu? “Jawab mereka: Tidak

Rasullullah! Kami tidak ingin diganti, itu adalah untuk Allah.”

Wakaf semacam ini dikenal dengan istilah Wakaf Syuyu, yakni

suatu wakaf dilakukan oleh kelompok perorangan atau dilakukan

secara gotong royong.

Berbagai peristiwa dan perbuatan para sahabat, mulai dari Umar Bin

Khatab, Utsman Bin Affan, Abi Thalhah, Bani najjar, dapat di jadikan

dasar khusus dari perintah amalan wakaf. Setelah peristiwa-peristiwa

perwakafan yang dilakukan para sahabat tersebut, maka selanjutnya wakaf

menjadi berkembang dan melembaga salah satu komponen dalam hukum

Islam yang tidak kalah pentingnya dari komponen-komponen hukum

Islam yang lainnya.29

3. Rukun-rukun dan Syarat-syarat Wakaf

Meskipun para mujtahid berbeda dalam merumuskan definisi wakaf,

namun mereka sepakat bahwa dalam pembentukan wakaf diperlukan

beberapa rukun.30

Rukun adalah merupakan suatu sendi utama dan unsur

pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Perkataan rukun dari bahasa Arab

29

Ibid. 30

Farida Prihatini, Uswatun Hasanah dan Wirdyaningsih, Op., Cit., hal. 10.

20

“ruknun” yang berarti tiang, penopang atau sandaran. Sedangkan istilah

rukun adalah sesuuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perbuatan.

Dengan hal demikian tanpa rukun sesuatu tidak dapat berdiri tegak.31

Dalam fikih Islam dikenal ada empat rukun wakaf, yaitu:

a. Orang yang berwakaf atau Wakif , yakni pemilik harta benda yang

melakukan tindakan hukum.

b. Harta yang diwakafkan atau mauquf bin, sebagai objek perbuatan

hukum.

c. Tujuan wakaf atau yang berhak menerima wakaf, yang disebut mauquf

alaih.

d. Pernyataan wakaf dari Wakif yang disebut juga shighat atau ikrar

wakaf.32

Yang dimaksud wakif adalah subjek hukum, yaitu orang yang berbuat.

Bagi seseorang atau orang-orang yang hendak berwakaf harus memenuhi berbagai

syarat tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ketidaksahan

perbuatan hukumnya, baik karena faktor intern seperti cacat atau kurang sempurna

dalam cara berpikir, maupun faktor bersifat ekstern seperti merasa dipaksa oleh

orang lain. Syarat bagi Wakif adalah:

1) Wakif harus mukallaf, yakni orang-orang yang dianggap mampu untuk

melaksanakan suatu perbuatan hukum. dengan kata lain, ia oleh hukum

tidak dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.

31

Ibid. 32

Taufiq Hamami, Op., Cit., hal. 70.

21

2) Pelaksanaan perwakafan oleh Wakif harus atas dasar kehendak sendiri,

yaitu suatu kehendak dan kemauan yang ikhlas lillahi ta’ ala (hanya

karena Allah Maha Tinggi), tanpa adanya disertai suatu paksaan atau

ancaman dari pihak lain.

Agar harta yang diwakafkan sah, maka harta benda yang diwakafkan itu

harus memenuhi syarat-syarat tertetntu. Adapun syarat-syarat itu adalah sebagai

berikut:

1) Benda yang diwakafkan itu harus mutaqawwin dan aqar.

Sebagian besar ulama sepakat bahwa harta yang diwakafkan itu harus

mutaqawwin, yaitu barang yang dimiliki seseorang dan barang yang

dimiliki itu boleh dimanfaatkan menurut syariat (Islam) dalam keadaan

apapun. Misalnya, kitab-kitab dan barang-barang yang tidak bergerak,

disamping itu benda tersebut juga aqar (benda yang tidak bergerak)

dan dapat diambil manfaatnya. Manfaat suatu benda saja tidak bisa

diwakafkan karena maksud wakaf adalah pengambilan manfaat zat

oleh mauquf alaih dan pahala bagi Wakif.

2) Benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan pasti batas-

batasnya.

Syarat ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan

permasalahan yang mungkin terjadi dikemudian hari setelah harta

tersebut diwakafkan. Dengan kata lain persyaratan inibertujuan untuk

22

menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi mustahiq (orang

yang berhak menerimanya) untuk memanfaatkan benda wakaf itu.33

3) Benda yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan Wakif secara

sempurna, artinya bebas dari segala beban.

4) Benda yang diwakafkan harus kekal.

Para ulama berpendapat bahwa benda yang diwakafkan ain(zatnya)

harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus.

Menurut ulama golongan Hanafiyah pada dasarnya benda yang dapat

diwakafkan adalah benda tidak bergerak, benda bergerak dapat

diwakafkan kalau memenuhi kriteria tertentu. Pertama, keadaan benda

bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak. Kedua, kebolehan benda

bergerak itu berdasarkan asar yang memperbolehkan wakaf senjata dan

binatang-binatang yang dipergunakan untuk berperang. Ketiga, wakaf

benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan seperti wakaf kitab-

kitab dan mushaf. Ulama Hanafiyah membolehkan wakaf uang,

begitupun Imam az-Zuhri dan sebagian ulama Mazhab Syafii.34

Wakaf harus dimanfaatkan atau diperuntukkan sebagai kepentingan

peribadatan atau kepentingam umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Syarat-

syarat mauquf alaih adalah qurbat atau pendekatan diri kepada Allah SWT.

Wakaf adalah perbuatan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Oleh karena itu yang menjadi objek atau tujuan wakaf (mauquf alaih)nya harus

33

Farida Prihatini, Uswatun Hasanah dan Wirdyaningsih, Op., Cit., hal. 112. 34

Ibid. Hal. 113-114.

23

objek kebajikan yang termasuk dalam bidang qurbat kepada Allah. Beberapa

contoh yang dapat dikemukakan seperti:

1) Kepentingan perbidatan:

a) Masjid;

b) Mushalla;

c) Langgar dan lain-lain

2) Kepentingan umum lainnya:

a) Lembaga-lembaga pendidikan, seperti untuk madrasah dan lain-

lain;

b) Lembaga sosial masyarakat seperti untuk bangunan asrama yatim

piatu, panti asuhan, poliklinik, rumah sakit, dan lain-lainnya;

c) Sumber dana bagi pengurusan dan pengelolaan lembaga seperti

tersebut diatas;

d) Kepentingan pembangunan, seperti jalan raya, pasar, dan lain-lain.

Shighat Wakaf adalah pernyataan Wakif yang merupakan tanda

penyerahan barang atau benda yang diwakafkan (Shighat wakaf biasa juga disebut

dengan Ikrar Wakaf), harus mematuhi persyaratan:

1) Ikrar harus jelas dan tegas kepada siapa (nadzir atau pengelola) dan

untuk apa tanah tersebut diwakafkan.

2) Ikrar harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.

3) Ikrar harus berlaku seketika itu juga, tanpa digantungkan dengan

terjadinya sesuatu peristiwa dimasa yang akan datang. Jika sesuatu

wakaf digantungkan kepada kematian seseorang (wakif) yang dikenal

24

dengan Wakaf Mu’alaq, maka dalam hal ini fikih Islam

memandangnya sebagai suatu perbuatan wasiat.

4) Ikrar tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu pernyataan apapun.

Di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia Ikrar

Wakaf harus dilakukan dihadapan Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPIW)

2.4 Pengaturan Wakaf Di Indonesia

2.4.1 Sebelum Kemerdekaan

Tidak banyak catatan mengenai wakaf sejak kedatangan Islam sampai

sebelum jaman penjajahan. Catatan mengenai wakaf mungkin tersimpan dalam

artefak kerajaan dan oraganisasi kerakyatan. Sepanjang mengenai organisasi

kerakyatan, Adijani al-Alabij mengemukakan bahwa organisasi Muhammadiyah

yang didirikan pada tahun 1912, telah lama mehgelola wakaf, yang tidak terbatas

pada tanah saja namun meliputi juga buku-buku, kitab-kitab agama, bahan

bangunan peralatan isi bangunan seperti mebel, mikrofon, karpet mesjid, kipas

angin jam dinding dan kendaraan.35

Selama masa penjajahan terdapat beberapa keterangan keterangan tertulis

yang memberi petunjuk mengenai keadaan wakaf pada masa itu. Keterangan-

keterangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen yang pertama tentang Toezicht op

den bow van Mohammedaansche bedehuizin tanggal 31 Januari 1905

35

Adijani al-Alabij, Op., Cit., hal. 5-7.

25

nomor 435, sebagaimana termuat dalam Bijblad Tahun 1905 nomor

6196.36

Surat Edaran tersebut ditunjukkan kepada para kepala wilayah di Jawa dan

Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah swapraja untuk melakukan

pendataftaran terhadap rumah-rumah ibadat Islam yang ada di Kabupaten

masing-masing. Sepanjang belum dilakukan pendaftaran yang dimaksud,

para Bupati diperintahkan untuk membuat daftar sementara. Di dalam

daftar itu harus di catat tentang asal usul rumah ibadat dipakai untuk Solat

Jumat atau tidak, ada perkarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak.

Selain itu kepada setiap Bupati diwajibkan pula membuat daftar yang

memuat keterangan tentang benda yang tidak bergerak yang oleh

pemiliknya ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau

dengan nama lain dan supaya dicatat selengkap-lengkapnya batas benda

tersebut serta keterangan-keterangan lainnya, nama-nama orang yang

mewakafkannya waktu barang diwakafkan dan untuk apa benda tersebut

diwakafkan.

2. Surat Edaran Sekretaris Governemen tentang Toezicht van de Regeering

op Mohammedaansche bedehuizin, Vrijdagsdiensten en Wakaps tanggal 4

Juni 1931 nomor 1361/A, sebagaimana termuat dalam Bijblad Tahun 1931

nomor 12573.37

36

Ichtijanto, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Aspek Hukum Wakaf Dalam

Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman, 1995/1997), hal. 29. 37

Ibid., hal. 30.

26

Surat Edaran ini mengadakan beberapa perubahan terhadap Bijblad Tahun

1905 nomor 6196, antara lain ditentukan agar para Bupati sepanjang

belum ada daftar yang dimaksud oleh Bijblad tahun 1905 nomor 6196,

membuat daftar rumah-rumah ibadat yang dipergunakan untuk solat

Jumat, dimana dicatat tentang asal usul wakaf dan wakaf atau tidak.

Bijblad Tahun 1905 nomor 6196 harus diperhatikan baik oleh para Bupati

dalam membuat daftar yang dimaksud supaya diperoleh register harta

benda wakaf.

Untuk mewakafkan harta tetap diperlukan perlu izin Bupati, yang menilai

permohonan itu hanya dari segi tempat harta tetap itu dan dimaksud

pendirian. Bupati memberikan perintah supaya wakaf yang diizinkannya

dimasukkan kedalam daftar, yang dipelihara oleh ketua Pengadilan

Agama, dari setiap pendafatan diberitahukan kepada Asisten Wedana

untuk bahan baginya dalam pembuatan laporan kepada kantor landrente.

3. Surat Edaran Sekretaris Governemen tentang Toezicht van de Regeering

op

Mohammedaansche bedehuizin, Vrijdagsdiensten en Wakaps tanggal 24

Desember 1934, sebagaimana termuat dalam Bijblad Tahun 1934 nomor

13390.38

Surat Edaran ini bersifatnya mempertegas apa yang telah disebutkan di

dalam Surat Edaran sebelumnya, dimana antara lain ditentukan bahwa

seandainya tentang mengadakan Solat Jumat terdapat sengketa di dalam

38

Abdurrahman, Op., Cit., hal.20-21.

27

masyarakat Islam. Bupati boleh memimpin usaha mencari penyelesaian

asalkan diminta oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal yang

demikian keputusan itu kalau salah satu pihak tidak mematuhinya.39

4. Surat Edaran Sekretaris Governemen tentang Toezicht van de Regeering

op Mohammedaansche bedehuizin, Vrijdagsdiensten en Wakaps tanggal

27 Mei 1935 nomor 1273/A, sebagaimana termuat dalam Bijblad Tahun

1935 nomor 13480.

Sebagaimana dengan Surat Edaran sebelumnya, maka dalam Surat Edaran

ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan dimana

anatara lain ditenukan bahwa Bijblad nomor 6196 mengigatkan registrasi

harta tetap wakaf yang dapat dipercaya. Di samping itu, untuk dimaksud

mewafkan suatu harta tetap harus diberitahukan kepada Bupati dengan

maksud supaya Bupati dapat kesempatan untuk mendaftarkan wakaf itu

dalam daftar disediakan untuk itu dan meneliti apakah ada aturan umum

atau peraturan setempat yang dilanggar dalam pelaksanaan maksud itu.40

2.4.2 Zaman Kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, salah satu kelengkapan struktur

pemerintahannya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, di bidang agama

didirikanlah Departemen Agama. Dengan didirikannya Departemen Agama

tersebut, maka oleh permsalahan perwakafan tanah ini selain berkaitan erat

39

Ibid. 40

Ibid.

28

dengan masalah keagrarian juga berkaitan erat dengan masalah keagamaan, maka

tugas pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh Dapertemen Agama.41

Pada masa ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang

menyangkut wakaf, antara lain sebagai berikut.42

1. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 jo Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1950 jo Peraturan Menteri Agama 9 dan 10 Tahun 1952.

Ketiga peraturan tersebut memuat ketentuan-ketentuan bahwa Jawatan

Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran secara vertikal di daerah-

daerah mulai dari kantor urusan agama Propinsi, Kabupaten, dan

Kecamatan berkewajiban untuk menyelidiki, menentukan dan mendataftar

serta mengawasi atau menyelenggarakan kepemilikan wakaf.

Kesimpulannya peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah

sebagai dasar kompetensi dari kementrian (Departemen Agama) untuk

mengurusi soal-soal perwakafan.

2. Petunjuk Departemen Agama tanggal 22 Desember 1952 tentang

petunjuk-petunjuk mengenai wakaf.

3. Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Islam tanggal 8 Oktober 1956,

Nomor 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemasjidan.

4. Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Islam Nomor 5/D/1956 tentang

prosedur perwakafan tanah.

41

Taufiq Hamami, Op, Cit., hal. 8. 42

Ibid, hal 8-9.

29

Peraturan-peraturan tersebut diatas keadaannya sama dengan peraturan-

peraturan yang di keluarkan di zaman kolonial dalam arti tidak memberikan

aturan yang jelas tegas dan tuntas terhadap praktek perwakafan tanah dalam arti:43

a. Mengatur tata caranya;

b. Peruntukan dan kegunaannya;

c. Hak dan kewajiban pengelolannya;

d. Kewajiban pendaftaran tanahnya;

e. Cara perubahan status dan perutukannya dan sebagainya.

Akibat dari ketidaktegasan dan ketidaktuntasan peraturan-peraturan

tersebut diatas mengatur masalah perwakafan tanah, tetap saja memudahkan

timbulnya penyimpangan dan penyelewengan dari hakekat dan tujuan wakaf itu

sendiri, sehingga di dalam prakteknya, peraturan perundang-undangan dimaksud

baik dikeluarkan di zaman kolonial maupun dikeluarkan setelah kemerdekaan

tidak dijalankan semestinya.44

2.4.3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik, termuat dalam Lembaran Negara (LN) Tahun 1977, Nomor 38 dan

Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3107. Peraturan Pemerintah ini

merupakan realisasi dan pelaksanaan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA)/ Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Peraturan Pemerintah

ini mulai berlaku pada tanggal 17 Mei 1977 atau 17 (tujuh belas) tahun setelah

berlakunya UUPA.

43

Ibid. 44

Ibid.

30

Sistemtaika Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah sebagai

berikut:

BAB I :Ketentuan Umum, Pasal 1

BAB II :Fungsi Wakaf, Pasal 2 s/d Pasal 8

BAB III :Tata Cara Mewakafkan Dan Pendaftarannya; Pasal 9 dan Pasal 10.

BAB IV :Perubahan, Penyelesaian Perselisihan dan Pengawasan

Perwakafan Tanah Milik, Pasal 11 s/d Pasal 13.

BAB V :Ketentuan Pidana, Pasal 14 dan Pasal 15.

BAB VI :Ketentuan Peralihan, Pasal 16 dan Pasal 17.

BAB VII :Ketentuan Penutup, Pasal 18

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 ini

peraturan perwakafan tanah milik dan sebagainya peninggalan Pemerintah

Kolonial Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi. Setelah ditetapkan Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (2) Peraturan

Pemerintah tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana antara lain

adalah:

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tanggal 26

Nopember 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan

Tanah Milik. Untuk keperluan pembuktian yang kuat, maka tanah-tanah

yang diwakafkan perlu dicatat dan didaftarkan sesuai dengan ketentuan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

31

2. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah Milik.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1978 tentang

Penambahan Ketentuan Mengenai Biaya Pendaftaran untuk Badan-Badan

Hukum Tertentu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun

1978.

4. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi ini ditujukan kepada para

Gurbernur Kepala Daerah Tingkat 1 dan Kepala Kantor Wilayah

Departemen Agama di seluruh Indonesia.

5. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

No.Kep/D/75/78 tanggal 18 April 1978, tentang Formulir dan Pedoman

Pelaksanaan Peraturan-Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.

6. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian

Wewenang Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama

Propinsi/Setingkat di seluruh wilayah Indonesia untuk

mengangkat/memberhentikan setiap Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPIAW).

7. Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978.

32

8. Surat Edaran Direktur Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.

DII/5/Ed//14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai, dengan Lampiran

Surat Dirjen Pajak No.S-629/PJ.331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang

menentukan jenis formulir wakaf mana yang bebas materai dan berapa

besar bea materainya.

9. Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan

Haji No. DII/5/Ed//07/1981 tanggal 17 Pebruari 1981 kepada Gurbernur

Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia tentang Perwakafan Tanah

Milik dan Permohonan Keringanan atau Pembebasan dari semua

Pembebanan Biaya.

10. Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan

Haji No. DII/5/Ed/11/1981 tenang Petunjuk Pemberian nomor pada

Formulir Perwakafan Tanah Milik.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan

peraturan pelaksanaannya maka terjadilah perubahan yang mendasar terhadap

hukum yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, karena lembaga wakaf

tidak lagi dipandang sebagai lembaga keagamaan yang bersandar kepada hukum

Islam, tetapi lebih dari itu perwakafan tanah milik telah diangkat kedudukannya

sebagai suatu lembaga yang diakui dan diatur dalam hukum Agraria Nasional,

sebagaimana kosekuensinya segala sesuatu harus memenuhi prasyarat yang diatur

dan ditentukan oleh ajaran agama Islam, juga harus memenuhi syarat formal yang

dikeluarkan oleh PP tersebut.

33

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah 28 Tahun 1977 menyebutkan:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum

yang memisahkan yang sebagian harta kekayaannya yang berupa

tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk

kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran agama Islam.”

Wakaf yang diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

hanya wakaf sosial yang objeknya tanah Hak Milik, selain itu juga masih

menganut prinsip kekekalan wakaf terdapat sebagaimana kalimat: “untuk

selamanya-lamanya.” Pengaturan wakaf dalam peraturan perundang-undangan

lain mengenai wakaf di luar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tidak

ada. Dengan demikian, pengaturan wakaf selain yang diatur Peraturan Pemerintah

tersebut tetap diserahkan pada syariah Islam sebagai lembaga hukum yang hidup

di masyarakat Islam Indonesia. Keadaan ini terus berlanjut sampai dengan tahun

1991.45

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan

peraturan pelaksananya maka lembaga wakaf akan lebih teratur, terarah, dan tertib

sehingga diharapkan wakaf sebagai lembaga keagamaan akan dapat dipergunakan

sebagai satu sarana guna pengembangan kehidupan khususnya bagi umat Islam

dan sebagai aset umat beragama.. pada tanggal 10 Juni 1991 dikeluarkan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) kepada semua instansi pemerintah dan bagi

masyarakat yang memerlukannya. Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk

unifikasi terhadap paham aliran-aliran Islam di Indonesia.

45

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik.

34

Pengaturan wakaf di dalam KHI diletakkan pada buku ketiga, yang

merupakan buku terakhir kompilasi tersebut, dengan judul Hukum Perwakafan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat substansi hukum perwakafan yang terdiri

dari 5 (lima) bab, 15 (lima belas) Pasal, yaitu mulai dari Pasal 215 sampai dengan

229 tentang pengertian wakaf, Pasal 215 angka 1 KHI menyebutkan:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang

atau badan hukum yang memisahkan dari benda miliknya dan

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat

atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.”

Mengenai apa yang dimaksud dengan benda wakaf, Pasal 215 angka 4

KHI menyebutkan: “Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau

tidak bergerak memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai

menurut ajaran agama Islam.” Pada dasarnya KHI merupakan suatu elenborasi PP

No.28 Tahun 1977. Namun antara keduanya ada perbedaan. Dalam PP No28

Tahun 1977 obyek wakaf yang diatur hanya tanah milik bedasarkan UUPA,

sehingga obyek wakaf menurut PP No.28 Tahun 1977 sangat terbatas. Sedangkan

KHI obyek wakafnya meliputi benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Selain itu KHI mengatur pula tentang ketentuan yang belum diatur dalam PP

No.28 Tahun 1977 yaitu pembatasan Nadzir sampai 3 orang. Dengan demikian

pengaturan wakaf di KHI lebih luas dibandingkan pengaturan wakaf di PP No,28

Tahun 1977. Untuk jangka waktu wakaf , KHI masih menganut prinsip kekalan

wakaf. Jika diperhatikan KHI lebih bersifat ansipatif terhadap perkembangan

kebutuhan umat Islam tentang wakaf.46

46

Pasal 219 ayat 5 (KHI) menyebutkan: “Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit

perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan

sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas

35

2.4.4 Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Pada tanggaln 27 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang Nomor 41

tahun 2004 tentang Wakaf, LN Tahun 2004, Nomor 159, TLN Nomor 4459. Salah

satu pertimbangan perlunya dikeluarkannya UU Wakaf adalah bahwa lembaga

wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi

perlu dikelola secara efektif dan efesien untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum. Selain itu wakaf, merupakan perbuatan hukum

yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya

belum lengkap serta masih tesebar dalam berbagai peraturan perundang-

undangan.

Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan

peraturan perundang-undangan yang dicantumkan kembali kedalam UU Wakaf,

namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain sebagai

berikut:47

1. Untuk menciptakan tata tertib hukum dan administrasi wakaf guna

melindungi harta benda wakaf, UU Wakaf menegaskan bahwa perbuatan

hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan

didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai tata

cara yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai

wakaf dan harus dilaksanakan.

2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung

terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan,

saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat. 47

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

36

menurut UU Wakaf, Wakif dapat pula mewakafkan sebagaian

kekayaaannya berupa harta benda wakaf baik berwujud maupun tidak

berwujud.

3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan

sarana ibadah dan sosial.tetapi juga diarahkan utnuk memajukan

kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat

ekonomi harta benda wakaf.

4. Untuk mengamankanm harta benda wakaf dari campur tangan pihak

ketiga yang merugikan kepentingan wakaf perlu meningkatkan

kepentingam profesional Nazhir.

5. UU Wakaf juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang

dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan.

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau

untuk jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah

dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 48

Wakaf bertujuan memanfaatkan

harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.49

Sedangkan fungsi wakaf adalah

mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan

ibadh dan untuk memajukan kesejahteraan umum.50

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:51

a. Wakif;

48

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 49

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 50

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 51

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

37

b. Nazhir.

c. Harta benda wakaf;

d. Ikrar wakaf;

e. Peruntukan harta benda wakaf;

f. Jangka waktu wakaf.

a. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.52

Wakif

meliputi: perseorangan, organisasi dan badan hukum.53

Persyaratan wakif

perseorangan adalah:54

a. Dewasa;

b. Berakal sehat;

c. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;dan

d. Pemilik sah harta benda wakaf.

Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi

ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda milik badan hukum

sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.55

Wakif

badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan

badan hukum untuk mewakafkan harta benda milik badan hukum sesuai

dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.56

52

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 53

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 54

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 55

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 56

Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

38

b. Nazhir

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai dangan peruntukannya (Pasal 1 angka

4). Nazhir meliputi perseorangan atau badan hukum (Pasal 9). Persyaratan

Nazhir perseorangan adalah:57

a. Warga negara Indonesia;

b. Beragama Islam;

c. Dewasa;

d. Amanah;

e. Mampu sehat jasmani dan rohani;

f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Organisasi hanya dapat menjadi Nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a. Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir

perseorangan;

b. Organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

Badan hukum hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:

a. Pengurus badan hukum bersangkutan memenuhi persyaratan

perseorangan nazhir:

b. Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;dan

57

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

39

c. Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,

pendidikan, kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

Tugas nazhir adalah:

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan

tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Dalam melakukan tugasnya nazhir dapat menerima imbalan dari hasil

bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang

besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).58

Nazhir memperoleh

pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia, juga harus terdaftar

pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.59

c. Harta Benda Wakaf.

Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki dayan tahan lama

dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut

syariah yang diwakafkan oleh Wakif.60

Mengenai harta benda wakaf diatur

dalam Pasal 16 yang selengkapnya berbunyi:

1. Harta benda wakaf terdiri dari:

a. Benda tidak bergerak;dan

b. Benda bergerak.

58

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 59

Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 60

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

40

2. Benda bergerak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a

meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum

terdaftar;

b. Bagunan atau bagian bangunan yang terdiri dari atas sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku;

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (b) adalah

harta benda yang tidak habis di konsumsi, meliputi:

a. Uang;

b. Logam mulia;

c. Surat berharga;

d. Kendaraan;

e. Hak atas kekayaan intelektual;

f. Hak sewa;dan

g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

41

Hak atas tanah yang dapat diwakafkan menurut Pasal 17 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, terdiri dari:

a. Hak atas milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar;

b. Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang- undangan;

c. Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada di

atas tanah negara;

d. Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah hak

pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin

tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik

Mengenai kebolehan wakaf uang diatur dalam Pasal 28 yang

menegaskan: “Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang

melalui lembaga syariah yang ditujuk oleh Menteri.” Wakaf uang yang

dapat diwakafkan adalah mata uang Rupiah. Dalam hal uang yang

diwakafkan masih mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu

kedalam mata uang Rupiah (Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006).

Wakaf benda bergerak berupa uang sebelumnya belum pernah diatur

dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf diIndonesia, namun

berbagai negara seperti Malaysia, Bangladesh, Mesir, Kuwait, dan negara-

negara Islam di Timur Tengah lainnya wakaf uang telah lama di

praktikan.61

Dukungan tentang wakaf uang di Indonesia dimulai pada

61

Abdul Ghofur Anshori, Op., Cit., hal. 89.

42

tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

menerapkan fatwa tentang wakaf uang yang isinya sebagai berikut:62

1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Wakaf al-Nuqud) adalah wakaf yang

dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum

dalam bentuk uang tunai;

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;

3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);

4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang

dibolehkan secara syar‟i;

5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh di

jual, dihibahkan dan atau diwariskan.

d. Ikrar Wakaf

Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan

secara lisan dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda

miliknya (Pasal 1 angka 3). Ikrar wakaf dilaksanakan Wakif kepada

Nazahir di hadapan PPAIW dengan di saksikan oleh 2 (dua) orang saksi

serta dituangakan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW (Pasal 17).

e. Peruntukan wakaf

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf harta benda wakaf hanya

diperuntukan bagi:63

1) Sarana dan kegiatan ibadah;

2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

62

Farida Prihatini, Uswatun Hasanah dan Wirdyaningsih, Op., Cit., hal.115. 63

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

43

3) Bantuan fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa;

4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan

5) Kemajuan sejahtera umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan.

f. Jangka Waktu Wakaf.

Terdapat perbedaan jangka waktu wakaf dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 28 tahun 1977 dan KHI dengan Undang-Undang Wakaf. Jika

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan KHI wakaf adalah

selamanya (kekal), maka dalam Undang-Undang Wakaf jangka Wakaf

tidak semestinya selamanya. Wakaf untuk jangka waktu tertentu oleh

Undang-Undang Wakaf diperbolehkan oleh Undang-Undang Wakaf

asalkan sesuai dengan kepetingannya.

PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada

instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar

wakaf ditandatangani dengan menyerahkan:64

a. Salinan akta ikrar wakaf

b. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dokumen terkait lainnya

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda

wakaf, kemudian bukti pendaftaran harta benda wakaf tersebut disimpan

oleh PPAIW kepada Nazhir.

Hal yang lain terdapat Undang-Undang Wakaf dan tidak terdapat

dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya adalah mengenai

64

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

44

dibentuknya badan baru, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI

adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah untuk

memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional.65

BWI

berkedudukan di Ibukota negara dan dapat membentuk perwakilan di

propinsi dan/atau kabupaten atau kota sesuai dengan kebutuhan.66

BWI

beranggotakan paling sedikit 20 (duapuluh)orang dan paling banyak 30

(tigapuluh) yang berasaln dari unsur masyarakat.67

Anggota BWI diangkat

dengan masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali

untuk satu kali masa jabatan.68

Tugas dan wewenang BWI diatur dalam

Pasal 49 UU wakaf yang selengkapnya berbunyi:

1. Badan Wakaf Indoneia mempunyai tugas dan wewenang sebagai

berikut:

a. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan

mengembangkan harta benda wakaf;

b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf

bersekala nasional dan internasional;

c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukkan

dan status harta benda wakaf;

d. Memberhentikan dan mengangkat Nazhir;

e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

65

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 66

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 67

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 68

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

45

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam

penyusunan dan kebijakan di bidang perwakafan.

2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

Badan Wakaf Indonesia dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah

baik pusat maupun daerah, organisasi masyrakat, para ahli, badan

internasional dan pihakn lain yang dipandang perlu.

Dalam menjalakan tugasnya, biaya operasional BWI dibantu oleh

pemerintah. Pertanggung jawaban pelaksanaan tugas BWI dilakukan melalui

laporan tahunan yang diaudit independen dan disampaikan kepada Menteri.

Laporan tahunan ini kemudian diumumkan kepada masyarakat.69

Dengan

dibentuknya BWI, tugas-tugas yang berkaitan dengan wakaf sebelumnya

ditangani oleh KUA sebagian menjadi kewenangan BWI sehingga diharapakan

pengelolaan dan pengembangan wakaf bisa menjadi lebih baik karena BWI adalah

badan yang memang secara khusus hanya mengurusi wakaf.

Hal berbeda lain yang terdapat dalam Undang-Undang wakaf adalah

mengenai penyelsaian sengketa perwwakafan. Penyelesaian sengketa perwakafan

diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Wakaf yang selengkapnya berbunyi:

1. Penyelesaian sengketa perwakafan, ditempuh melalui musyawarah untuk

mencapai mufakat.

2. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak

berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau

pengadilan.

69

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

46

Pada Undang-Undang Wakaf pengadilan benar-benar menjadi jalan

terakhir yang dilakukan bila jalan lain tidak berhasil meyeleseaikan sengketa

wakaf. Hal ini juga dapat dilihat sebagai salah satu peningkatan di bidang

perwakafan dan dapat mengurangi penilaian negatif dari masyarakat yang selama

ini melihat banyaknya kasus wakaf yang harus diselesaikan melalui pengadilan.