Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
LIMFOMA NON HODGKINS
Disusun Oleh:
Putu Dinary Chandrapatni (1702612200)
Ni Made Suartiningsih (1702612105)
Pembimbing:
dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, Sp.PD., K-HOM
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP SANGLAH DENPASAR
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, case based discussion yang berjudul “Limfoma Non Hodgkins” ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Case based discussion ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam
divisi Hematologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan case based discussion ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
- Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Bagian/KSM Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
- dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan
Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
- dr. Ni Made Renny Anggreni Rena, Sp.PD., K-HOM selaku dokter
pembimbing yang senantiasa memberikan informasi dan masukan dalam
penyusunan laporan ini,
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan
ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan.
Denpasar, 27 Februari 2019
Penulis
Ii
3
BAB I
PENDAHULUAN
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening
dan jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologinya, limfoma dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Limfoma Non
Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer kelenjar getah
bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit
T, dan sel natural killer. Pada LNH sel limfosit akan mengalami proliferasi secara tak
terkendali yang menyebabkan terbentuknya tumor. Semua sel dalam tumor pasien
LNH memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaannya, oleh karena seluruh sel
LNH berasal dari satu sel limfosit 1.
Angka kejadian LNH terus mengalami peningkatan . Lebih dari 45.000 pasien
didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.2
Limfoma maligna menempati 3,37% dari seluruh keganasan di seluruh dunia. Insiden
Limfoma maligna di dunia mengalami peningkatan dengan rata-rata 3 - 4% dalam 4
dekade terakhir. Kenaikan insiden Limfoma Non Hodgkin pada pria 6% dan wanita
4,1%. Limfoma Hodgkin 1,1% pada pria dan 0,7% pada wanita. Data dari
Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, angka kejadian Limfoma di
Indonesia sebesar 0,06% dengan estimasi 14.905 pasien.1
Manifestasi Klinis dari Limfoma non-hodgkin yaitu pembesaran kelenjar
getah bening tanpa adanya rasa sakit, demam, keringat malam, rasa lelah yang
dirasakan terus menerus, gangguan pencernaan dan nyeri perut, hilangnya nafsu
makan, nyeri tulang, bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe
yang terkena, dan limfadenopati. 1
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya LNH, yaitu onkogen, infeksi virus Ebstein Barr,
Human T-leukemia Virus-I (HTLV-I), penyakit autoimun dan defisiensi imun1,3.
4
Diagnosis LNH ditegakkan dari hasil pemeriksaan histologi biopsi eksisi
(excisional biopsy) kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal3. Stadium LNH
didasarkan atas kriteria Ann Arbor, yang dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan
luasnya keterlibatan KGB yang terkena. Pengobatan dengan menggunakan kombinasi
kemoterapi (multiagent) dapat mempengaruhi prognosis dari penyakit. Prognosis
limfoma tergantung pada tipe histologi dan staging4.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan
primer kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal
dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer 1. Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau
non-Hodgkin Lymphomas merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari
segi patologi dan klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin
serta bentuk ekstra-nodal jauh lebih sering dijumpai4.
2.2 Epidemiologi
Limfoma non Hodgkin merupakan penyakit terbanyak ke 7 dalam kanker
kasus baru, dengan 4.3% merupakan kasus baru dan 3.3% kematian akibat kanker.
National Cancer Institute memperkirakan pada tahun 2018 sebanyak 4.3% dari
seluruh kasus kanker baru, yakni 74.680 kasus merupakan limfoma non Hodgkin,
dimana umur terdiagnosa kasus baru paling sering pada usia 65 – 74 tahun, dan
jumlah kematian akibat penyakit ini sebanyak 19.910 orang, dengan rentang usia
terbanyak adalah 75 – 84 tahun.2 Di Indonesia, LNH menduduki peringat ke-6 kanker
terbanyak, bahkan Badan Koordinasi Nasional Hematologi Onkologi Medik Penyakit
Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN) menyatakan, insiden Limfoma lebih
tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat ketiga kanker yang tumbuh paling
cepat setelah melanoma dan paru3.
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi terjadinya sebagian besar LNH sampai saat ini belum diketahui. Ada
beberapa faktor risiko terjadinya LNH yaitu2, 5:
a. Usia: sebagian besar kasus limfoma terjadi pada penderita berusia 60 tahun ke
atas. Namun pada beberapa jenis kasus limfoma juga terjadi pada usia muda.
6
b. Jenis Kelamin: risiko menderita limfona non Hodgkin meningkat pada jenis
kelamin laki-laki dibanding perempuan, tidak diketahui penyebab dari
kejadian ini.
c. Ras, etnis, dan geografi: di Amerika Serikat, orang kulit putih lebih banyak
menderita linfoma non Hodgkin dibanding keturunan Afrika dan Asia. Di
dunia, limfoma non Hodgkin lebih banyak diderita pada negara-negara maju,
dengan Amerika dan Eropa memiliki angka tertinggi. Beberapa jenis limfoma
berhubungan dengan kejadian infeksi yang hanya ada di wilayah tertentu.
d. Paparan terhadap bahan kimia dan obat tertentu: beberapa studi
mengungkapkan bahan-bahan seperti benzene dan herbisida serta insektisida
berhubungan dengan meningkatnya risiko limfoma non Hodgkin. Obat
kemoterapi yang digunakan dalam mengobati kanker dapat meningkatkan
risiko berkembangnya limfoma non Hodgkin beberapa tahun setelah
penggunaan, namun belum jelas diketahui apakah kejadian ini berhubungan
dengan penyakit kankernya sendiri ataupun efek dari pengobatannya.
Beberapa studi juga mengungkapkan obat tertentu yang digunakan untuk
mengobati rematoid artitis seperti methotrexate dan tumor nekrosis faktor
(TNF) inhibitor dapat meningkatkan risiko limfoma non Hodgkin. Hal ini
juga meliputi keadaan rematoid arthritis itu sendiri merupakan suatu penyakit
autoimun yang juga sudah meningkatkan risiko terjadinya limfoma non
Hodgkin.
e. Kondisi penurunan fungsi imun: beberapa contoh penderita dengan penurunan
fungsi imun memiliki risiko tinggi menderita limfoma non Hodgkin, pasien
penerima transplantasi organ yang mengkonsumsi imunosupresan, human
immunodeficiency virus (HIV), pada penyakit genetik seperti ataxia-
telangiectasia (AT) dan Wiskott-Aldrich syndrome, anak lahir degan defisiensi
sistem imun.
f. Penyakit autoimun: beberapa kondisi penyakit autoimun seperti rheumatoid
arthritis, systemic lupus erythematosus (SLE), Sjogren disease, Celiac disease
(gluten sensitive enteropathy) meningkatkan risiko menderita limfoma non
7
Hodgkin. Sistem imun yang meningkat pada penyakit autoimun menyebabkan
aktivitas limfosit membelah lebih tinggi dari normal dan meningkatkan risiko
berkembang menjadi sel-sel limfoma.
g. Infeksi: beberapa tipe infeksi dapat meningkatkan risiko limfoma non
Hodgkin melalui jalur yang berbeda.
Infeksi yang menstransformasi limfosit secara langsung
Virus dapat secara langsung mempengaruhi DNA dari limfosit, mengubah
limfosit menjadi sel kanker :
- Infeksi human T-cell lymphotropic virus (HTLV-1) menyebabkan
kejadian angka limfoma < 1%. HTLV-1 menular melalui hubungan
seksual dan darah yang terkontaminasi, dapat menular pada bayi lewat
air susu dari ibu yang terinfeksi.
- Infeksi Eipstein-Barr virus : EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma
Burkit endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkit
sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan
EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma
Burkit belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi
awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor
yang terinfeksi EBV dan meningkatkan risiko terjadinya kerusakan
genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttranspIant lymphoproIifer
ative disorders (PTLDs) dan AIDS-associat ed lymphomas.
- Human herpes virus 8 (HHV-8) juga menginfeksi limfosit, menyebabkan
kejadian limfoma yang langka yang disebut dengan primary effusion
lymphoma. Limfoma ini lebih sering ditemukan pada pasien yang
terinfeksi HIV. HHV 8 juga berhubungan dengan kanker lainnya yaitu
Kaposi sarcoma (Kaposi sarcoma-associated herpes virus).
Infeksi yang melemahkan sistem imun
- Infeksi HIV/AIDS menurunkan sistem imun yang berisiko
meningkatkan kejadian limfoma non Hodgkin tipe tertentu, seperti
8
primary CNS lymphoma, Burkitt lymphoma, dan diffuse large B-cell
lymphoma.
Infeksi yang menyebabkan stimulasi imun kronik
- Beberapa infeksi kronis meningkatkan riiko terjadinya limfoma non
Hodgkin dengan mendorong sistem imun aktif secara konstan. Semakin
banyak limfosit diproduksi untuk melawan infeksi yang terjadi, semakin
tinggi kesempatan terjadinya mutasi gen, menyebabkan terjadinya
limfoma. Beberapa jenis limfoma yang berhubungan dengan infeksi ini
seringkali menjadi lebih baik ketika infeksinya tertangani. Helicobater
pylori, bakteri penyebab ulkus gaster berhubungan dengan mucosa-
associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma pada gaster.
Chlamydophila psittaci, bakteri penyebab infeksi paru yang disebut
psittacosis, berhubungan dengan MALT lymphoma pada jaringan sekitar
mata yang disebut ocular anexal marginal zone lymphoma. Infeksi
Campylobacter jejuni berhubungan dengan MALT lymphoma yang
disebut immunoproliferative small intestine disease. Infeksi kronis virus
hepatitis C (HCV) menjadi risiko splenic marginal zone lymphoma.
h. Berat badan dan diet : studi menunjukkan keadaan obesitas meningkatkan
risiko terjadinya limfoma non Hodgkin. Studi lain juga menunjukkan diet
berupa makanan tinggi lemak dan daging juga meningkatkan risiko.
i. Implan payudara : walaupun jarang, pada beberapa wanita dengan implan
berkembang tipe anaplastic large cell lymphoma (ALCL) pada payudara.
Lebih sering ditemukan pada implan yang bertekstur pada permukaannya
dibanding implan dengan permukaan halus.
2.4 Patogenesis Limfoma Non Hodgkin
Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent
independent) dan tahap yang tergantung antigen (antigent dependent). Pada tahap I,
sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B imatur dan
9
sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B
terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang
terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma
yang akan pulang kembali ke sumsum tulang4.
Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh zat asing, sistem kekebalan tubuh
seperti sel limfosit T dan B yang matur akan berproliferasi menjadi suatu sel yang
disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada LNH, proses proliferasi ini berlangsung
secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini disebabkan akibat terjadinya mutasi
pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan ini menyebabkan ukuran dari sel
limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar, kromatinnya menjadi lebih
halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya mengalami perubahan4.
Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naive B cell dapat
langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi sel
plasma. Sebagian besar naive B cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi
immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naive B cell mengalami
transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast, centrocyte, monocyte
B cell dan sel plasma4.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang
tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya
rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel
limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum" sedangkan imunoblast berada di
bagian paling sentral dari "centrum germinativum" Beberapa perubahan yang terjadi
pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin besar; 2). Kromatin inti menjadi
lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein permukaan sel mengalami perubahan
reseptor4.
10
2.5 Klasifikasi Limfoma Non-Hodgkin
Secara umum klasifikasi LNH dibuat berdasarkan kemiripan sel-sel pada
suatu tipe LNH dengan limfosit normal dalam berbagai kompartemen diferensiasi.
Klasifikasi histopatologik harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta
fasilitas yang tersedia. Dua jenis klasifikasi yang paling umum dipakai adalah
klasifikasi Kiel dan Working formulation. Dibawah ini di uraikan klasifikasi
Rappaport yang merupakan awal klasifikasi LNH modern, Working formulation,
serta klasifikasi terbaru REAL10,11.
Tabel 2. Klasifikasi Rappaport
1. Lymphocytic, poorly differentiated
a. Nodular (NLPD)
b. Diffuse (DLPD)
2. Lymphocytic, well differentiated
a. Diffuse (DLWD)
3. Mixed lymphocytic histiocytic
a. Nodular (NMLH)
b. Diffuse (DMLH)
4. Undifferentiated
a. Diffuse (DU)
Burkitt type
Non-Burkitt (lymphoblastic) type
Klasifikasi Rappaport memakai dasar bentuk morfologik, makin mendekati bentuk
limfosit kecil dianggap sel yang berdiferensiasi baik, sedangkan sel yang lebih besar
dianggap berdiferensiasi tidak baik. Sehubungan dengan itu, dilihat susunan sel,
apakah noduler, atau difus.
11
Klasifikasi Kiel
Klasifikasi Kiel membagi LNH menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. LNH dengan derajat keganasan rendah
b. LNH dengan derajat keganasan tinggi
Klasifikasi Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartemen dari kelenjar getah
bening, serta membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T10.
Tabel 3. Klasifikasi Kiel
Sel B
Low grade malignancy
Lymphocytic
Lymphoplasmacytic
Plasmacytic
Centroblastic/centrocytic
Follicular
Diffuse
Centrocytic
High grade malignancy
Centroblastic
Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+)
Burkitt’s lymphoma
Lymphoblastic
Rare types
Sel T
High grade malignancy
Lymphocytic
Small cerebriform cell
Mycosis funguides
Sezary’s syndrome
Lymphoepitheloid (Lenner’s lymphomas)
Angioimmunoblastic T zone
Pleomorphic small cell
High grade malignancy
Pleomorphic medium and large cell
Immunoblastic
Large cell anaplastic (Ki-1+)
Lymphoblastic
Rare types
Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL)
Pada tahun 1994 telah dikeluarkan klasifikasi Revisied American European
Lymphoma (REAL) dan diterapkan secara luas. Klasifikasi REAL/WHO mencakup
semua keganasan limfoid dan limfoma dan lebih berdasarkan klinis dibandingkan
dengan skema-skema klasifikasi sebelumnya. Secara umum terjadi pergeseran
pembagian limfoma yang awalnya hanya berdasarkan penampilan histologik menjadi
12
lebih ke arah sindrom dengan gambaran morfologik, imunofenotipe, genetik, dan
klinis yang khas. Klasifikasi ini juga berguna untuk mempertimbangkan
kemungkinan asal keganasan masing-masing limfoid berdasarkan fenotipe dan status
penataan ulang imunoglobulinnya6.
Tabel 1. Klasifikasi Revisied American European Lymphoma (REAL) untuk
neoplasma limfoid
Sel B (85%) Sel T dan sel NK (15%)
Neoplasma prekursor sel B
Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor B (ALL-B/LBL)
Neoplasma prekursor sel T
Limfoma/leukimia limfoblastik
prekursor T (ALL-T/LBL)
Neoplasma sel B matur (perifer)
Leukimia limfositik kronik sel
B/ Limfoma limfositik kecil
Leukimia prolimfositik sel B
Limfoma limfoplasmasitik
Limfoma sel B zona marginal
limpa (limfosit vilosa)
Leukimia sel berambut
Myeloma sel plasma/
plasmasitoma
Limfoma sel B zona marginal
ekstranodal tipe MALT
Limfoma sel mantel
Limfoma folikular
Limfoma sel B zona marginal
nodal
Limfoma sel B besar difus
Neoplasma sel T matur (perifer)
Leukimia prolimfositik sel T
Leukimia limfositik granular sel T
Leukimia sel NK agresif
Leukimia/Limfoma sel T dewasa
(HTLV-1)
Limfoma sel T/NK ekstranodal,
tipe nasal
Limfoma sel T jenis enteropati
Mycosis fungoides/ sindrom
Sezary
Limfoma sel besar anaplastik, tipe
kutaneus primer
Limfoma sel T perifer, tidak
dispesifikasi
Limfoma sel T angioimunoblastik
13
Limfoma Burkitt
Limfoma sel besar anaplastik, tipe
sistemik primer
Perumusan Praktis untuk Penggunaan Klinis
Perumusan praktis untuk penggunaan klinik (working formulation for clinical
usage) merupakan klasifikasi yang banyak dipakai. Sebetulnya klasifikasi ini
merupakan jembatan antar berbagai klasifikasi yang ada4.
Klasifikasi yang baru dibuat berdasarkan perkembangan limfosit yang dengan
demikian dapat dihubungkan dengan letak sel pada kompartemen kelenjar getah
bening normal. Maka secara umum klasifikasi limfoma berasal dari sel B adalah:
1. Precursor B-cell lymphoma
Limfoma dianggap berasal dari limfoblast. Dapat terjadi dalam bentuk
leukemia ataupun limfoma, yang keduanya identik atau disebut lymphoblastic
leukemia/lymphoma.
2. LNH yang berasal dari naive B-cell
LNH ini disebut sebagai small lymphocytic lymphoma (SLL) yang identik
dengan bentuk chronic lymphocytic leukemia (CLL).
3. LNH berasal dari germinal center dari suatu folikel limfoid. LNH dari
germinal center dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
a. Follicular lymphoma: terdiri dari sel yang sangat mirip dengan sel dari
germinal center normal. LNH jenis ini biasanya bersifat indolen, tetapi
incurable. Follicular lympoma sering disertai translokasi kromosom 14
dan 18 {t(14;18)} yang menyebabkan juxtaposisi bcl-2 gene yang
mengatur apoptosis dengan Ig heavy chain gene.
b. Large cell lymphoma: terdiri dari sel-sel besar yang terdapat dalam folikel
normal (centroblast). Jenis ini sering bersifat difus karena itu disebut
sebagai diffuse large cell lymphoma. LNH jenis ini bersifat agresif, tetapi
sangat responsif terhadap kemoterapi.
4. LNH yang berasal dari mantle zone
14
LNH jenis ini disebut sebagai mantle zone lymphoma. Secara
imunofenotipe mirip dengan SLL, tetapi menunjukkan CD5 positif. Perjalanan
klinis slowly progressive dan incurable dengan standard chemotherapy.
5. LNH yang berasal dari marginal zone atau parafollicular
Termasuk dalam golongan ini adalah: B-cell monocytoid lymphoma, low-
grade mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lymphoma dan splenic
marginal zone lymphoma. Terdiri dari sel-sel limfosit kecil yang menempati zone
marginal atau prafolikuler dari folikel limfoid normal4.
2.6 Stadium Penyakit
Penentuan stadium didasarkan pada jenis patologi dan tingkat keterlibatan.
Jenis patologi (tingkat rendah, sedang atau tinggi) didasarkan pada formulasi kerja
yang baru. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor.1,4
b. Tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor
Stadium I:
Pembesaran kelenjar getah bening hanya pada satu regio
Stadium II:
Pembesaran kelenjar getah bening pada 2 regio atau lebih, tetapi masih dalam
satu sisi diafragma :
II 2 : pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma
II 3 : pembesaran 3 regio KGB pada 1 sisi diafragma
II E : Pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam satu sisi diafragma dan 1
organ ekstra limfatik tidak difus/batas tegas.
Stadium III:
Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua sisi diafragma
Stadium IV:
Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.
Keterangan:
A : Tanpa Gejala Konstutional
B: Dengan Gejala Konstutional
15
C : Keterlibatan Ekstranodal
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis secara umum didapatkan:1,12
- Limfadenopati superfisial. Sebagian besar pasien datang dengan pembesaran
kelenjar getah bening asimetris yang tidak nyeri pada satu atau lebih regio
kelenjar getah bening perifer.
- Gejala konstutisional, seperti malaise umum, demam tinggi 380C 1 minggu
tanpa sebab, keringat pada malam hari, dan penurunan berat badan 10% dalam
waktu 6 bulan lebih jarang terjadi pada penyakit Hodgkin. Dapat terjadi
anemia dan infeksi dengan jenis yang ditemukan pada penyakit Hodgkin
- Gangguan orofaring. Pada 5-10% pasein, terdapat penyakit di struktur
orofaringeal (cincin Waldeyer) yang dapat menyebabkan timbulnya keluhan
sakit tenggorok atau nafas berbunyi atau tersumbat.
- Anemia, netropenia dengan infeksi, atau trombositopeni dengan purpura
merupakan gambaran pada penderita penyakit sumsum tulang difus. Sitopenia
juga dapat disebabkan oleh autoimun.
- Penyakit abdomen. Hati dan limpa seringkali membesar dan kelenjar getah
bening retroperitonela atau mesentrika sering terkena. Saluran gastrointestinal
adalah lokasi ekstranodal yang paling sering terkena setelah sumsum tulang,
dan pasien bisa datang gejala nyeri abdomen akut.
- Gejala pada organ lain. kulit, otak, testis, atau tiroid sering terkena. Kulit juga
secara primer terkena pada dua jenis limfoma sel T yang tidak umum dan
terkait erat: mikosis fungoides dan sindrom Sezary.
- Keluhan anemia, seperti lemas, pusing, jantung berdebar.
- Keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring)
- Penggunaan obat (Diphantoine)
Anamnesis yang dapat digali lainnya, meliputi:1,12
- Penyakit autoimun (SLE, sjorgen, rheumatoid)
16
- Kelainan darah
- Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis)
- Keadaan defisiensi imun.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat dilihat dari pembesaran kelenjar getah bening, yang
biasanya terjadi pada leher, ketiak dan lipat paha, serta kelainan/pembesaran organ.1,7
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pendekatan evaluasi diagnostik untuk pasien dengan LNH, meliputi:1,4
a. Laboratorium
Rutin
Hematologi:
- Darah perifer lengkap
Pada pemeriksaan darah lengkap seorang LNH dapat dijumpai
kondisi sebagai berikut:
Biasanya ditemukan anemia normositik normokrom, tetapi
hemolitik autoimun juga dapat terjadi3.
Pada penyakit lanjut yang disertai dengan keterlibatan sumsum
tulang, mungkin terdapat netropenia, trombositopenia
(khususnya jika limpa membesar), atau gambaran
leukoeritroblastik.
- Gambaran darah tepi
Dapat dijumpa sel sel limfoma (misalnya sel zona selubung, sel
limfoma folikuler berbelah, atau blast) dengan kelainan inti yang
bervariasi, dapat ditemukan dalam darah tepi beberapa pasien.
- Urinalisa: pemeriksaan urin lengkap
Kimia klinik:
Dapat terjadi peningkatan asam urat serum. Uji fungsi hati yang
abnormal mengesankan adanya penyakit diseminata. Kadar LDH serum
17
meningkat pada penyakit yang lebih cepat berproliferasi dan kuas serta
dapat digunakan sebagai suatu petanda prognostik.
Khusus
- Gamma GT
- Cholinesterase (CHE)
- LDH/fraksi
- Serum Protein Elektroforesis (SPE)
- Imuno Elektroforese (IEP)
- Tes coombs
- B2 Mikroglobulin
b. Biopsi eksisional atau core biopsy
Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,
superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/superfisial yang
representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal.
Kelenjar getah bening yang diperiksa disarankan dari leher dan
supraclavicular, pilihan kedua adalah axilla dan terakhir inguinal.
Spesimen kelenjar rutin diperiksa berupa histopatologi yang sesuai
klasifikasi WHO terbaru, yaitu REAL-WHO dan Working Formulation.
Pemeriksaan khusus dapat dilakukan immunohistokimia.8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya
dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit di biopsi, maka
kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain seperti
flowcytometri dapat mencukupi untuk diagnosis.9
c. Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina
iliaca dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Biopsi trephin sumsum tulang
menunjukkan lesi fokal pada 20% kasus. Keterlibatan sumsum tulang lebih
sering ditemukan pada limfoma maligna derajat rendah.9
d. Radiologi
Untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan foto toraks dan CT scan
toraks/abdomen
18
Untuk pemeriksaan khusus dilakukan USG Abdomen, limfografi, dan
limfosintigrafi
e. Cairan tubuh lain: cairan pleura, asites, cairan serebrospinal jika dilakukan
punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping
pemeriksaan rutin lainnya
f. Immunophenotyping
Pemeriksaan petanda imunologik (immunological marker) untuk
melihat ekspresi antigen pada permukaan sel sangat penting untuk
menentukan jenis sel (sel B atau sel T) serta tingkat perkembangannya.
Antigen diferensiasi kelompok yang berguna dalam penegakan diagnosis
limfoma dapat dilihat pada tabel.8
Tabel 4. Antigen diferensiasi kelompok (cluster differentiation, CD)
Sel T Sel B Petanda aktivasi Antigen umum leokosit
CD2
CD3
CD5
CD7
Subset sel T
CD4
CD8
CD19
CD20
CD22
CD24
Sel B langka
CD5
CD23
CD25
CD30
CD45
Berbagai subtipe limfoma non-hodgkin dikaitkan dengan translokasi
kromosom khas yang mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Kalainan
yang sangat khas adalah t(8;4) pada limfoma Butkitt, t(14;18) pada limfoma
folikular, t(11;14) pada limfoma sel selubung, t(2;5) pada sel besar
anaplastik.9
Diagnosis LNH harus ditegakkan dari pemeriksaan histologi biopsi
eksisi kelenjar getah bening atau jaringan ekstranodal. Pemeriksaan dari hasil
aspirasi jarum tidak memadai untuk diagnosis komfirmatif. Dilakukan
klasifikasi histopatologik menurut klasifikasi yang umum dipakai (di
Indonesia umumnya gabungan working formulation dan Kiel). Kemudian
19
dilakukan prosedur penilaian derajat penyakit sehingga derajat penyakit dapat
ditentukan.4
2.8 Penatalaksanaan
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan
terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk
menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH
dapat diberikan dalam bentuk berikut6:
1. Radioterapi
a. Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
b. Untuk ajuvan pada bulky disease
c. Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
a. Kemoterapi tunggal (singel agent)
Chlorambucil atau siklofosfamid untuk LNH derajat keganasan rendah
b. Kemoterapi kombinasi dibagi menjadi 3, yaitu:
i. Kemoterapi kombinasi generasi I terdiri atas:
CHOP (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine, prednison)
CHOP-Bleo/Bacop (CHOP + bleomycine)
COMLA (cyclophosphamide, vincristine, methotrexate with
leucovorin rescue)
CVP/COP (cyclophosphamide, vincristine, prednison)
C-MOPP (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, procarbazine)
ii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COP-Blam (cyclophosphamide, mechlorethamine, vincristine,
prednison, bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
Pro-MACE-MOPP (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
mechlorethamine, vincristine, procarbazine).
20
M-BACOD (methotrexate with leucovorin rescue, bleomycin,
doxorubicine, cyclophosphamide, vincristine, dexamethasone).
iii. Kemoterapi kombinasi generasi II terdiri atas:
COPBLAM III (cyclophosphamide, infusional vincristine,
prednison, infusional bleomycin, doxorubicine, procarbazine).
ProMACE-CytaBOM (prednison, methotrexate with leucovorin
rescue, doxorubicine, doxorubicine, cyclophosphamide, etoposide,
cytarabine, bleomycin, vincristine, methotrexate with leucovorin
rescue).
MACOP-B (methotrexate with leucovorin rescue, doxorubicine,
cyclophosphamide, vincristine, prednison, bleomycin).
Dari perkembangan terapi sampai saat ini ternyata kemoterapi kombinasi
CHOP terbukti paling efektif dibandingkan kemoterapi kombinasi lain.
Penambahan jenis kemoterapi ataupun lama pemberian tidak menambah
angka kesembuhan. Oleh karena itu, kemoterapi generasi kedua dan ketiga
jarang digunakan.6
3. Transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel induk merupakan terapi
baru dengan memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
4. Kemoterapi dosis tinggi dengan rescue memakai peripheral blood stem cell
transplantasi.
5. Terapi dengan imunomodulator
Terapi dengan interferon diberikan untuk indolent lymphoma, dikombinasikan
dengan kemoterpai atau diberikan setelah kemoterapi untuk memperpanjang
masa remisi. Tetapi hasilnya sampai sekarang masih kontroversial.
6. Targeted therapy
Antibodi monoklonal: rituximab suatu chimeric monoclonal antibody
ditujukan untuk antigen CD20 yang diekspresikan oleh semua sel limfosit B.
Pemberian rituximab intravena setiap minggu selama 4 minggu memberikan
remisi parsial pada 50% LNH indolen. Sekaran gcenderung digabung dengan
kemoterapi (CHOP) dan juga dicobakan pada LNH agresif.6
21
Regimen kemoterapi yang paling umum dipakai adalah CHOP:
1. Cyclophosphamide 750 mg/m2 i.v. hari 1
2. Hydroxydaunomycine (adriamycine) 50 mg/m2 i.v. hari 1
3. Oncovin (vincristine) 2 mg/m2 i.v. hari 1 dan 5
Siklus diulangi setiap 3 minggu, sampai terjadi remisi komplit, kemudian
ditambah 2 siklus lagi. Jika sampai siklus ke-6 tidak terjadi remisi komplit, sebaiknya
diganti regimen lain. Data terbaru menunjukkan bahwa penambahan anti-CD20
(Rituximab) pada terapi CHOP memperbaiki tingkat remisi DLCL.6
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat langsung penyakitnya:
Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf
Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Komplikasi akibat terapi:
Radioterapi
Dapat menimbulkan nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid.
Kemoterapi
Dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas dan timbulnya keganasan
hematologik sekunder.11,13
2.10 Prognosis
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik yaitu Indolent Lymphoma
dan Agresif Lymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan
median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium
lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma
agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat
disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko
kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada
kelompok Indolen maupun Agresif.10
22
International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome
pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi
yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua
subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum
LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal.1
Setiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga
abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat
arfiara 0-5. Pada pasien usia <60 “ (age adjusted IPI), indeks yang digunakan lebih
sederhana yaitu hanya meliputi faktor stadium anatomis, serum LDH, dan status
“performance”, tanpa status ekstra nodal.1
Gambar 1. Indeks Prognostik Internasional Pasien LNH
23
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : I Wayan Sisi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 56 tahun
Alamat : Br. Kelabang Moding, Tegalalang, Gianyar
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Status Pernikahan : Kawin
Tanggal MRS : 12 Februari 2019
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2019
II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Benjolan di leher kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah diantar oleh paramedis dan keluarganya
pada tanggal 12 Februari 2019 dengan keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan
dikatakan muncul 4 bulan sebelum MRS dan muncul mendadak. Awalnya benjolan
dikeluhkan kecil namun lama kelamaan bertambah besar hingga mencapai ukuran
15cm dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Benjolan dikatakan bertekstur kenyal saat
24
diraba, tidak terasa nyeri saat ditekan, dan keluhan yang dirasakan membuat pasien
kesulitan menelan makanan. Keluhan ini merupakan keluhan yang pertama kali
dialami oleh pasien. Pasien sempat mengeluh kesulitan BAB pada 5 hari sebelum
MRS. Keluhan membaik setelah diberikan obat pencahar di RSUP Sanglah. Pasien
mengalami demam satu setengah bulan. Demam muncul mendadak. Demam
dikatakan naik turun dan membaik dengan obat penurun panas namun muncul
kembali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala sejak 1 bulan sebelum MRS. Nyeri
kepala dirasakan pada seluruh bagian kepala dan seperti tertusuk-tusuk. Nyeri
membaik dengan obat penghilang rasa nyeri namun kemudian muncul kembali.
Selain itu, pasien juga mengalami hidung tersumbat sejak 1 bulan sebelum MRS
disertai dengan cairan berwarna bening, dirasakan hilang timbul, memberat pada
malam hari atau cuaca dingin, dan membaik ketika pasien beristirahat.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien sebelumnya berobat ke dokter spesialis THT kemudian diberikan obat
untuk keluhan benjolan di lehernya namun kemudian disarankan berobat ke RSUD
Sanjiwani dan kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah untuk pengobatan lebih lanjut.
Pasien sudah menjalani pengobatan kemoterapi sebanyak 10 kali di RSUP Sanglah.
Riwayat tumor atau kanker, asma, penyakit jantung, Diabetes Melitus, dan penyakit
sistemik lainnya disangkal.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita keluhan yang sama
sebelumnya. Riwayat tumor atau kanker , penyakit ginjal, Diabetes Melitus, penyakit,
jantung, asma, dan hipertensi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Sosial dan Pribadi
Pasien adalah seorang bapak dari dua anak perempuan yang kini salah satunya
tinggal bersamanya di rumah. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan selama kurang
lebih 28 tahun dan berhenti sejak pasien sakit. Pasien tidak memiliki kebiasaan
25
merokok dan minum alkohol namun menantu pasien memiliki kebiasaan merokok di
rumah dan terkadang terpapar. Tidak ada orang di lingkungan sekitar pasien yang
pernah menderita keluhan yang sama.
III. PEMERIKSAAN FISIK
3.1 Tanda-tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84x /menit
Laju Pernafasan : 20x/menit
Suhu Aksila : 36,5oC
Skor Nyeri : 1/10
Saturasi Oksigen : 98 %
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-),
refleks pupil (+/+) isokor 2mm/2mm
Leher : JVP + 0 cmH2O, PKGB (-)
THT
26
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : T1/T1, hiperemis (-)
Lidah : Normal
Bibir : Sianosis (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V MCL Sinistra , thrill(-)
Perkusi : Batas kanan jantung : ICS IV PSL Dextra
Batas kiri jantung : ICS IV MCL Sinistra
Batas atas jantung : ICS II PSL Dextra
Batas bawah jantung : ICS V MCL Sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
27
Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas : Hangat + + Edema - -
+ + - -
Pemeriksaan Fisik Neurologis
- GCS E4V5M6
- Meningeal sign (-)
- Paresis N. VII & XII (-)
- Hemiparesis (-)
- Refleks Babinski (-)
III. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap di RSUP Sanglah (01/02/2019)
PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN REMARKS
WBC 3,04 103/µL 4.1 – 11.0 ↓
NE % 49,53 % 47 – 80 ↓
28
LY % 21,59 % 13 – 40
BA % 9,38 % 0.0 – 2.0 ↑
RBC 3,82 103/µL 4.5 – 5.9 ↓
HGB 10,37 g/dL 13.5 – 17.5 ↓
HCT 34,53 % 41.0 – 53.0 ↓
MCV 90,36 fL 80.0 –100.0
MCH 27,12 Pg 26.0 – 34.0
MCHC 30,02 g/dL 31 – 36 ↓
PLT 538,90 10µ/µL 150 – 440 ↑
SGOT 19,4 U/L 11-33
SGPT 29,00 U/L 11-50
BUN 18,00 mg/dL 8-23
SC 0,82 mg/dL 0,7-1,2
Foto Thoraks AP (27/10/2018)
Cor : besar dan bentuk kesan normal
Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul. Corakan bronchovaskuler normal
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Kesan:
Cor dan pulmo tak tampak kelainan
29
CT Scan (21/09/2018)
Tampak pemadatan pada nasofaring yang menyebabkan obliterasi fossa
rossenmuller dan torus tubarius kanan kiri yang pada pemberian kontras tampak
heterogenous abnormal contrast enhancement. Tampak perluasan massa ke
parafaring bilateral sampai retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus
sphenoidalis kanan. Tak tampak perluasan massa ke intrakranial.
Tampak pembesaran KGB susentimeter pada regio colli kanan kiri
Tampak perselubungan berdensitas cairan kental pada sinus maksilaris kanan
dan ethmoidalis bilateral
Tampak perselubungan pada os mastoid kanan kiri
Orbita kanan kiri tampak normal
Parenkim otak tidak tampak kelainan
Tulang calvaria tampak normal ,tak tampak destruksi tulang
Sinunusitis maksilaris kanan dan ethmoidalis bilateral
Kesan:
Massa nasofaring kanan yang meluas ke parafaring bilateral sampai
retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus sphenoidalis
kanandisertai multiple limfadenopati pada region colli kanan kiri.
30
Hasil Biopsi Hematoxylin and Eosin (24/10/2018)
1. Makroskopis
Diterima dalam kontainer plastik kecil berisi potongan - potongan
jaringan ukuran keseluruhan 1,5x1,,50,5 cm, bentuk tidak teratur. Diproses
semua dalam 1 kaset.
2. Mikroskopis
Sediaan potongan jaringan kavum nasi yang sebagian dilapisi epitel
respiratorius mengandung massa tumor terdiri dari proliferasi sel neoplastik
tersebar difus infiltratif di antara stroma jaringan ikat. Morfologi sel - sel
tersebut bentuk bulat, sitoplasma sempit, inti bulat sebagian berlekuk, ukuran
sedang - besar, anak inti prominent tunggal - multiple, sebagian di tengah
sebagian ditepi. Mitosis 12/10 LPB. Tampak sebaran sel - sel radang
limfoplasmasitik diantaranya.
3. Kesimpulan :
Orofaring (LNH Post kemoterapi) dan kavum nasi (cenderung LNH) ;
Biopsi Kavum Nasi :
- Masih tampak sel - sel ganas viable pada sediaan ini.
IV. Diagnosis
Diagnosis Kerja
LNH Orofaring T3N1Mx (H1)
V. Terapi
- IVFD R 20 tpm
1. Premedikasi
-O2 NRM 15 lpm
-Paracetamol tab 1000 mg IO
2. Kemoterapi
- Dipenhidramine 20mg IV
31
- Rifoximab 375 mg/m2 (525 mg) dalam 500 cc NS
- Cyclofosfamide 750mg (1050 mg) dalam 250 cc NS habis 10 menit (D1)
- Vincristin 1,4 mg/m2 (2 mg) dalam 20 cc NS habis dalam 1-2 menit (D1)
- Prednison 20 mg tab tiap 8 jam IO
VI. KIE
- Menggunakan masker dan kacamata pelindung saat bekerja
- Diet tinggi kalori dan protein
- Rutin kontrol Poli Interna
VII. Monitoring
- Vital sign
- Keluhan
32
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 Alur Kunjungan Lapangan
Praktek Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dilakukan pada tanggal 17
Februari 2019 bertempat di Rumah Bapak I Wayan Sisi, Br. Kelabang Moding,
Tegalalang, Gianyar. Saat melakukan kunjungan kami mendapat sambutan
hangat dari pasien dan keluarga. Tujuan diadakannya kunjungan ini adalah untuk
mengenal lebih dekat kehidupan pasien sehari-hari, mengidentifikasi
permasalahan terkait dengan penyakit pasien dan faktor resiko apa saja yang
terdapat pada pasien terkait dengan penyakit pasien. Kunjungan ini juga
bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
kondisi penyakit yang dialami pasien.
4.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam menghadapi
penyakitnya antara lain sebagai berikut.
1. Pasien tinggal di sebuah lingkungan rumah layaknya rumah orang Bali
bersama orangtua, istri, satu anaknya dan menantunya, dan cucu-cucunya. Pasien
tidur bersama istri dalam satu kamar berukuran 3 meter x 4 meter, sementara
anaknya tidur bersama suami dan anak-anaknya dalam satu kamar. Orangtua
pasien tidur di kamar berbeda yang berukuran 3 meter x 4 meter yang letaknya di
sebelah kamar pasien.
2. Pasien merasa mudah lemas semenjak sakit, pasien tidak bisa bekerja seperti
biasanya, sehingga membuatnya tidak mampu bekerja untuk mencari nafkah dan
menjadi beban tersendiri bagi pasien karena banyak menghabiskan biaya untuk
33
menjalani pengobatannya. Namun pasien tetap semangat berjuang supaya sembuh
dari penyakitnya.
3. Pekerjaan pasien sebagai buruh bangunan yang kesehariannya banyak
terpapar debu dan sinar matahari terlebih lagi pasien bekerja selalu menggunakan
sepeda motor yang beresiko terpapar polusi udara juga.
4. Pasien tidak begitu paham mengenai penyakitnya namun pasien taat peraturan
pengobatan dari dokter supaya segera pulih.
4.3 Analisis Kebutuhan Pasien
1. Kebutuhan Fisik-Biomedis
a. Kecukupan Gizi
Pasien sehari-hari dirumah mengonsumsi makanan yang dimasak oleh
istrinya dan kadang anaknya. Istri pasien cukup memahami kebutuhan setiap
makanan yang harus dikonsumsi pasien sesuai dengan kebutuhannya. Diet yang
disarankan yaitu diet tinggi kalori dan tinggi protein untuk mempercepat proses
penyembuhan. Konsumsi buah-buahan dan air yang diminum oleh pasien juga
diatur oleh istri pasien.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :
BMR (pria) = 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x Umur)
= 66 + (13,7 x 58) + (5 x 160) – (6,8 x 56)
= 66+ 794,6+800-380,8
= 1279,8
Jumlah kebutuhan kalori per hari
o Kebutuhan kalori basal = BMR x koefisien aktifitas (sedang)
= 1279,8 x 1,375 = 1759,72 kkal
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1759,72 kilokalori.
Distribusi makanan:
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1759,72 kilokalori = 1055,83 kkal dari
karbohidrat.
34
Karbohidrat dibutuhkan sebesar 1055,83 kkal setara dengan 263,95 gram
karbohidrat (1055,83 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1759,72 kkal = 351,94 kkal dari protein. Protein
dibutuhkan sebesar 351,94 kkal setara dengan 87,98 gram protein (351,94
kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 1759,72 kkal = 351,94 kkal dari lemak.
Lemak dibutuhkan sebesar 351,94 kkal setara dengan 39,10 gram lemak
(351,94 kalori : 9 kalori/gram lemak).
Nutrisi harian pasien yang disarankan untuk kebutuhan kalori sejumlah
1759,72 kkal adalah:
Waktu Jumlah Jenis
Makan Pagi ± 20% dari total
asupan harian
(351,94 kalori)
- Nasi putih (100 gr)
- Sayuran (100gr)
- Tempe (50 gr)
Selingan Pagi ± 10% dari total
asupan harian
(175,97 kalori)
- Pepaya (100gr)
Makan Siang ± 30% dari total
asupan harian
(527,91 kalori)
- Nasi putih (120 gr)
- Telur ayam rebus (60 gr)
- Tempe 2 potong (10 gr)
- Sop (100 gr)
Selingan Siang ± 15% dari total
asupan harian
(263,95 kalori)
- Pepaya / buah (100 gr)
- Roti/kue (100 gr)
Makan malam ± 25% dari total
asupan harian
(439,93 kalori)
- Nasi putih (100 gr)
- Sayur (100 gr)
- Semangka / buah (150 gr)
35
b. Kegiatan Fisik
Pasien merupakan seorang buruh bangunan. Pada pagi hari sekitar jam
09.00 WITA pasien biasanya memulai pekerjaanya kadang hingga larut malam
tergantung jumlah proyek yang harus diselesaikan dan lokasi bekerjanya
dimana. Jam makan pasien tidak menentu dan pasien beberapa kali
mengeluhkan telat makan sehingga menderita sakit maag. Sehari – hari pasien
sering bergerak dikarenakan pekerjaan buruh banyak berpindah-pindah dan
jarang berolahraga. Jika pasien tidak ada jadwal proyek, biasanya pasien
mencari nafkah dengan menjadi supir tamu untuk guest house yang
dijalankannya bersama keluarganya saat ini.
c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Pasien tinggal di Br. Kelabang Moding, Tegalalang, Gianyar. Sekitar 4,6 km dari
rumah pasien terdapat Puskesmas Tegalalang I. Kemudian sekitar 14,6 km dari
rumah pasien terdapat RSU Sanjiwani Gianyar, tempat pasien biasanya datang
berobat. Jarak tempuh dari rumah pasien ke RSUD Sanjiwani Gianyar ± 27
menit jika menggunakan motor. Rumah pasien berjarak ± 31,3 km dari RSUP
Sanglah Denpasar. Pasien disarankan melakukan kontrol ke poli bulan depan
untuk pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk memantau
keberhasilan pengobatan, mencegah perburukan penyakit dan timbulnya
komplikasi. Pasien mampu mengendarai kendaraan secara mandiri ke tempat
pelayanan kesehatan untuk melakukan pemeriksaan namun selalu ditemani
anaknya.
d. Lingkungan
Pasien berasal dari Gianyar, saat ini pasien tinggal bersama orangtua, istri,
satu anaknya dan menantunya, dan cucu-cucunya. Pasien dan keluarganya
tinggal disatu pekarangan rumah yang sama. Lingkungan tempat tinggal pasien
cukup padat karena terdiri dari beberapa bangunan rumah dan beberapa vila dan
guest house. Tempat tinggal pasien terletak di jalan kecil dekat sawah di Desa
36
Tegalalang, Gianyar. Bangunan tempat tinggal pasien merupakan bangunan
permanen. Tempat tinggal pasien terdiri dari dua kamar tidur pribadi, satu
kamar tidur tamu yang memanjang ke belakang, satu balai untuk beristirahat,
dua buah dapur, satu tempat ibadah. Terdapat 1 kamar mandi, dimana 1 terletak
di dalam rumah yang sama dan 1 terletak di halaman gerbang masuk. Di depan
bangunan rumah tempat tinggal pasien terdapat beberapa bangunan lain seperti
bangunan balai yang letaknya diluar rumah untuk melihat pemandangan sawah,
pelinggih (tempat suci) dan halaman yang beratap seng untuk tempat pasien
memarkir kendaraannya. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien sudah rapi.
Ventilasi udara tempat tinggal pasien cukup baik. Pasien menggunakan sumber
air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak.
2. Kebutuhan Bio-Psikososial
a. Lingkungan Biologis
Keluhan pasien didasarkan karena adanya penyakit Tumor Orofaring. Oleh
sebab itu, sangat perlu diperhatikan pola hidup bersih dan sehat serta
pengobatan terhadap kondisi pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat.
b. Faktor Psikologis
Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien membutuhkan
dukungan dari keluarga. Istri dan anak pasien selalu mengingatkan pasien untuk
mengonsumsi obat – obatan, menjaga asupan makan dan minum pasien, serta
menemani pasien untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Istri dan anak
pasien sangat memerhatikan kondisi kesehatan pasien. Anak dan menantu
pasien juga membantu dalam mencari nafkah, sehingga pasien tidak merasa
terbebani karena tidak mampu bekerja selama sakit.
c. Faktor Sosial dan Kultural
37
Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien memahami keadaan yang dialami
pasien saat ini. Pasien mendapatkan dukungan dari keluarga, teman dan
lingkungan sekitar pasien.
d. Faktor Spiritual
Keluarga pasien selalu mengingatkan dan mengajak pasien untuk terus
beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
begitu dapat menjauhkan pasien dari pikiran – pikiran negatif tentang penyakit
serta tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan kedepannya.
4.4 Penyelesaian Masalah
Terkait beberapa permasalahan pasien yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka kami mengusulkan penyelesaian untuk masalah pasien yaitu:
1. Edukasi pasien dan keluarga secara lebih lengkap mengenai penyakit
Limfoma Non Hodgkins, tentang penyebab munculnya penyakit serta
pencegahan kambuhnya penyakit kepada keluarga pasien dan penatalaksanaan
yang dilakukan terkait penyakit yang dialami pasien.
2. Memberikan motivasi dan semangat kepada pasien dan keluarga mengenai
hal-hal positif dan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga, baik dukungan secara psikis maupun
yang lain.
3. Memberikan penjelasan mengenai komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi
akibat penyakit pasien dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi tersebut. Contohnya seperti pada pasien Limfoma Non
Hodgkins sangat rentan terjadinya komplikasi karena pertumbuhan kanker itu
sendiri dan komplikasi karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena
pertumbuhan kanker itu sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi,
kelainan pada jantung, kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior,
kompresi pada spinal cord, kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan
38
pada traktus gastrointestinal nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah
memasuki tahap leukemia. Komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat
berupa pansitopenia, mual dan muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi
setelah diare atau muntah, toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin,
kanker sekunder, dan sindrom lisis tumor. Limfoma Non Hodgkins yang
belum sembuh secara total sehingga perlu menyarankan pasien untuk rutin
melakukan kontrol ke poli.
4. Edukasi dan mengajak pasien untuk memulai melakukan olahraga yang ringan
ketika sedang libur bekerja. Olahraga yang dapat dilakukan seperti berjalan
kaki, bersepeda, atau senam. Memberikan edukasi kepada istri, dan keluarga
pasien untuk memperhatikan dan mengingatkan pasien mengenai pola makan
yang sehat dan tinggi serat.
5. Pasien diingatkan untuk mengonsumsi obat yang diberikan dan rutin
melakukan kontrol ke rumah sakit.
4.5 Denah Rumah
Bale Dangin
Ruang Makan
Kandang Ayam
Dapur Kamar
Merajan
Bangunan
Rumah Utama
Kamar Mandi
dan Cuci Baju
Pintu Masuk Rumah
Teras
Depan
U
Garasi
Dapur
Kamar Tamu yang
Menginap
39
4.6 Foto Kunjungan
Foto Pasien dengan Pemeriksa
Dapur Pasien
40
Kamar Mandi Pasien
Kamar Tidur Pasien
41
Teras Bangunan Utama Rumah Pasien
Merajan (Tempat Ibadah) Pasien
42
BAB V
KESIMPULAN
Pasien laki-laki, 56 tahun, datang ke UGD RSUP Sanglah diantar oleh
paramedis dan keluarganya pada tanggal 12 Februari 2019 dengan keluhan benjolan
di leher kanan. Benjolan dikatakan muncul 4 bulan sebelum MRS dan muncul
mendadak. Pasien adalah seorang bapak dari dua anak perempuan yang kini salah
satunya tinggal bersamanya di rumah. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan selama
kurang lebih 28 tahun dan berhenti sejak pasien sakit. Pasien tidak memiliki
kebiasaan merokok dan minum alkohol namun menantu pasien memiliki kebiasaan
merokok di rumah dan terkadang terpapar.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium darah didapatkan penurunan WBC, RBC, dan peningkatan PLT. Dari
hasil pemeriksaan thoraks AP tidak didapatkan kelainan. Dari hasil pemeriksaan CT
Scan didapatkan massa nasofaring kanan yang meluas ke parafaring bilateral
sampai retrofaring kanan, konka nasi inferior kanan, dan sinus sphenoidalis
kanandisertai multiple limfadenopati pada region colli kanan kiri. Pada pemeriksaan
biopsi Orofaring (LNH Post kemoterapi) dan kavum nasi (cenderung LNH) masih
tampak sel - sel ganas viable. Terapi yang diberikan berupa premedikasi yaitu
pemberian infus NaCL dan kemoterapi. Edukasi yang diberikan yaitu pasien
menggunakan masker dan kacamata pelindung saat bekerja, diet tinggi kalori dan
protein, dan rutin kontrol Poli Interna.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 2016. Panduan Penatalaksanaan
Limfoma Non-Hodgkin. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2. SEER Cancer Stat Facts: Non-Hodgkin Lymphoma. National Cancer Institute.
Bethesda, MD, https://seer.cancer.gov/statfacts/html/nhl.html
3. Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-
Hodgkin Yang Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam
volume 2; 96-102
4. Roschewski MJ, Wilson WH. Chapter 106: Non-Hodgkin Lymphoma. In:
Niederhuber JE, Armitage JO, Doroshow JH, Kastan MB, Tepper JE, eds.
Abeloff’s Clinical Oncology. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier; 2014.
5. American Cancer Society. 2016. About Non-Hodgkin Lymphoma; 1-96.
6. John Walter. Non-Hodgkin Lymphoma. Leukemia and Lyphoma Society. 2013.
P 1-56.
7. Karlin L, Coiffier B. Improving survival and preventing recurrence of diffuse
large B-cell lymphoma in younger patients: current strategies and future
directions. OncoTargets and Therapy. 2013:6;289-296.
8. National Comprehensive Cancer Network. Practice Guidelines in Oncology—
v.1.2013. Non-Hodgkin Lymphoma. Available at:
www.nccn.org/professionals/physician_gls/pdf/ nhl.pdf. Accessed November 22,
2013.
44
9. Pasqualucci, at al. 2003. Molecular Pathogenesis of Non-Hodgkin's Lymphoma:
the Role of Bcl-6. Institute for Cancer Genetics, Columbia University. Vol 44
(S3) S5-S12.
10. Swerdlow SH, Campo E, Pileri SA, et al. The 2016 revision of the World Health
Organization classification of lymphoid neoplasms. Blood 2016; 127: 2375e90
11. Bakta IM. 2007. Limfoma maligna. Hematologi klinik ringkas. Cetakan I.
Jakarta: EGC;.p.192- 219.
12. Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma. Lancet.
2012; 380: 848–857.
13. Patmore R, Roman E, Smith A, Apleton S, Bagguley T, Blas_e J. Patient’s age
and treatment for haematological malignancy: a report from the Haematological
Malignancy Research Network. York: Leukaemia and Lymphoma Research &
Association of the British Pharmaceutical Industry, 2014.