Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE ET CAUSA SUSPEK
GLUMERONEPHRITIS KRONIS
Mahasiswa :
Christopher Vincent (1302006295)
Pembimbing :
dr. Tjokorda Istri Anom Saturti,SpPD,MARS
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DEPARTEMEN / KSM PENYAKIT DALAM
FK UNUD / RSUP SANGLAH
TAHUN 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, laporan PBL yang berjudul “Chronic Kidney Disease” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.Laporan kasus responsiini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit DalamFakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD – KHOM selaku ketua KSM/Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD , Denpasar.
2. dr. I Made Susila Susila Utama, Sp.PD- KPTI selaku koordinator pendidikan
di KSM/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
3. dr. Tjokorda Istri Anom Saturti,SpPD, MARS selaku pembimbing laporan
responsi di RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, September 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. ..1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1Chronic Kideny Disease (CKD) .................................................................. 3
2.1.1 Definisi ............................................................................................ 3
2.1.2 Klasifikasi ......................................................................................... 4
2.1.3Epidemiologi...................................................................................... 6
2.1.4 Faktor Risiko .................................................................................... 7
2.1.5 Patofisiologi .................................................................................... 10
2.1.6 Manifestasi Klinis ........................................................................... 12
2.1.7 Diagnosis ........................................................................................ 13
2.1.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 15
2.1.9 Prognosis ........................................................................................ 23
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 25
I. Identitas Pasien .......................................................................................... 25
II. Anamnesis ................................................................................................ 25
III. Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 26
IV. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 30
V. Diagnosis .................................................................................................. 35
VI. Penatalaksanaan....................................................................................... 35
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN............................................................... 37
BAB V SIMPULAN .......................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK)
merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai ditemui di masyarakat.
CKD dapat disebabkan oleh proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir
dengan gagal ginjal.1The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of
the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan
ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu > 3 bulan, atau
tingkat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2
dalam waktu ≥3 bulan yang dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Chronic Kidney Diseasedipengaruhi oleh banyak faktor resiko dengan
patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Kebanyakan penderita
CKD tidak sampai pada tahap kegagalan ginjal, namun penderita akan meninggal
terlebih dahulu karena komplikasi dari penyakit kardiovaskular. Dewasa ini insiden
dan prevalensi CKD semakin meningkat dan menjadi masalah kesehatan global.1
Di negara barat CKD telah menjadi suatupermasalahan dengan angka
peningkatan kasus dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade
terakhir terjadi peningkatan secara progresif CKD yang memerlukan terapi pengganti
ginjal.1 Di Indonesia sendiri jumlah penderita baru CKD semakin meningkat setiap
tahunnya. Menurut IRR, pada tahun 2014 tercatat penderita baru CKD sebanyak
17.193 dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak 1.258 pasien.3
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,
yang mengakibatkan kerusakan massa ginjal dengan sklerosis ireversibel dan
hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Dalam
menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan LFG.
Meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan
hiperfiltrasi dan kompensasi hipertropi nefron sehat yang tersisa. Kandungan toksin
2
dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang
signifikan hanya setelah total LFG menurun hingga 50%, dimana ginjal sudah tidak
mampu mengkompensasi lagi.1
Pada CKD, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium
1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul
dalam tahap 4-5. Manifestasi klinis CKD dapat sesuai dengan penyakit yang
mendasari, karena adanya sindrom uremia, maupun gejala dari komplikasi yang
ditimbulkan.1
Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan
pengobatan penyakit yang mendasari. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim
medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun CKD merupakan penyakit yang
ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.1
Pada CKD stadium 5, mutlak dilakukan terapi pengganti ginjal. Terapi
pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis, maupun transplantasi
ginjal.1 Saat ini jumlah pasien CKD stadium 5 yang memerlukan dialisis makin
meningkat. Tidak semua pasien CKD stadium 5 mendapatkan pelayanan hemodialisis
karena keterbatasan fasilitas, kurangnya sumber daya manusia, dan mesin
hemodialisis yang mahal. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah pasien CKD yang
mengalami berulang masuk rumah sakit akibat komplikasi dari hemodialysis, baik
berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)
2.1.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, dapat
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai
macam kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-
spesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi
ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada
hampir semua kasus CKD. Adapun yang termasuk kriteria CKD menurut KDIGO
2012 adalah sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungional yang
dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥
30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3 mg/mmol]), abnormalitas sedimen
urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada
tubulus, kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang
terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam
waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.2
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan
atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar
LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
4
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault tidak
berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah 40
kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI),
kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang
tidak lengkap (amputasi).1
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. DERAJAT PENYAKIT BERDASARKAN LFG DAN ALBUMIN
Kategori GFR ( ml/min/1.73m2)
Kategori Albumin Persistent
A1 A2 A3
Peningkatan
Normal hingga
sedang
Peningkatan
sedang
Peningkatan
berat
< 30 mg/g
<3mg/mmol
30-300mg/g
3-30mg/mmol
>300mg/g
>30mg/mmol
G1 Normal atau
high
>90
G2 Penurunan
ringan
60-89
G3a Penurunan
ringan samai
sedang
45-59
G3b Penurunan
sedang sampai
berat
30-44
G4 Penurunan
berat
16-29
G5 Gagal ginjal <15
5
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2
Tabel 2. KLASIFIKASI ATAS DASAR DIAGNOSIS ETIOLOGI
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau
patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2
6
TABEL 3. PENYAKIT SISTEMIK DAN KELAINAN GINJAL
Contoh Penyakit Sistemik
yang Mempengaruhi Ginjal
Contoh Penyakit Ginjal
Primer (tidak disertai
penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun
sistemik, infeksi sistemik,
obat, neoplasia (termasuk
amyloidosis)
Glomerulonefritis diffuse,
focal, crescentic
proliferative,
gromerulonekrosis focal
dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit
tubulointerstitial
Infeksi sistemik, autoimun,
sarcoidosis, obat, urat, toksin
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Infeksi saluran kemih,
batu, obstruksi
Penyakit pembuluh
darah
Aterosklerosis, hipertensi,
iskemia, emboli kolesterol,
vaskulitis sistemik,
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Associated renal limited
vasculitis (ANCA),
fibromuscular dysplasia
Penyakit kistik dan
congenital
Penyakit polikistik ginjal,
Alport syndrome, Fabry
disease
Displasia renal, penyakit
kistik medulla,
podositopati
2.1.3 Epidemiologi
Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari
populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang
menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di Australi mengalami
Chronic Kidney Disease.4 Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.1
7
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih
rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes 2013
prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang dilakukan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5% populasi di Indonesia
mengalami penurunan fungsi ginjal.4
2.1.4 Faktor Resiko
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat penyebab
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4. Walaupun
menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, hipertensi muncul sebagai
penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus,
nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab
yang tidak diketahui.3
Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia
Tahun 2000 dan Tahun 2014
Penyebab Insiden Tahun 2000 Insiden Tahun 2014
Glomerulonefritis 46,39% 10%
Diabetes mellitus 18,65% 27%
Obstruksi dan infeksi 12,85% 14%
Hipertensi 8,46% 37%
Sebab lain 13,65% 11%
2.1.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi
progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.
Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas
glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya
penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun
8
uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera
ditangani, maka glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD,
penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit kardiovaskular.5
2.1.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada.
Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar
glukosa dalam darah.6
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada
aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam
darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan
terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin,
dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk
memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf
pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat
merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung
kemih yang tinggi akan dapat merusak ginjal.7
Urin yang terlalu lama terdiam di kandung kemih juga akan
memberikan dampak berupa infeksi pada kandung kemih, yang disebabkan
oleh bakteri. Bakteri tersebut akan tumbuh dengan cepat pada keadaan gula
yang tinggi. Infeksi tersebut paling sering menyerang kandung kemih, namun
tidak jarang dapat menyebar hingga ke ginjal.6,7
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :
9
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai
dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses
penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus
tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat
berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan
diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya
muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang
terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien
tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan
muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan
diobati dengan exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan
diet makanan yang sudah direncanakan.1,8
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari
resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi
glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani
dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada
sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga
neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan
arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan
komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf
autonomik maupun perifer.8
10
2.1.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi
primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi
primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder
apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal.
Penyakit ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.6
Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan1,6:
1. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi
sistemik, infeksi saluran kencing, batu kandung kencing, obstruksi
saluran kencing bawah, keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan
massa ginjal, paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.
- Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan
kimia dan kondisi lingkungan dan rendahnya pendidikan
2.1.5 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan
secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin. Selain itu,
dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka
panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan
ginjal.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
11
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit
dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1
Gambar 1. Patogenesis CKD1
12
2.1.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat 1 hingga 3 dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2
sering asimptomatik atau tidak menunjukkan gejala, yang artinya pasien belum
mengalami gejala yang terdapat pada gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit,
atau kekacauan dari sistem endokrin dansistem metabolik.2,5
Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan CKD derajat 4 hingga 5 dengan
LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada tubulointerstitial, cystic,
sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut dengan gejala positif
seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit
pada derajat yang lebih awal.2,5
Manifestasi klinis berupa sindrom uremic pada pasien dengan CKD derajat 5
biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi dari berbagai racun dengan jenis yang
belum diketahui. Asidosis metabolic pada CKD derajat 5 akan termanifestasi sebagai
malnutrisi energi dan protein, kehilangan massa tubuh, dan kelemahan otot.
Peningkatan kadar garam dan cairan yang di hadapi oleh ginjal pada CKD dapat
menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang hingga menjadi edema paru
dan hipertensi.2,5
Anemia pada CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal,
yang akhirnya akan menimbulkan gejala seperti lemas, penurunan kemampuan dalam
berkegiatan, penurunan kesadaran dan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup.
Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit kardiovaskular, kejadian baru
dari gagal jantung ataupun perburukan dari penyakit gagal jantung, hingga
peningkatan kematian yang disebabkan oleh sistem kardiovaskular.2,5
Manifestasi klinis uremia lainnya yang dapat muncul pada derajat akhir dari
CKD, utamanya pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa dengan adekuat,
diuraikan sebagai berikut: 7
13
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung,
yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
- Disfungsi platelet dengan peningkatan keumngkinan untuk perdarahan.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat jarang
dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsi ginjal
dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan
dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah baik pengobatan
maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.5
2.1.7.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus
Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
14
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, klorida).
2.1.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
2.1.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.1.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak
15
bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya
dapat dilihat pada tabel berikut.1
Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal
Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1
2.1.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi
16
ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila
LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar
sudah tidak banyak bermanfaat.1,2
2.1.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal ini
untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor komorbid
tersebut antara lain
gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-
obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2
2.1.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
1. Restriksi Protein.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel
berikut:1Tabel 6.Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD
LFG
mL/menit
Asupan Protein g/kh/hari Fosfat
g/kg/hari
17
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8
gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi)
dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada
pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut
uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan
hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan
asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein
dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan
protein dan kalori dapat ditingkatkan.1,5
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena
pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien
>60 Tidak dianjurkan Tidak
dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau
tambahan 0,3 g asamamino
esensial atau asam keton
≤ 10 g
<60
(Sindrom
Nefrotik)
0,8/kg/hari(=1 gr protein /g
proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam
amino esensialatau asam
keton
≤ 9 g
18
HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi
kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid,
gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat,
overhidrasi interdialitik.7
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama
penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui
berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat
mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1
3. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.1
1. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk
DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.8
2. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian
19
dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.1,2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin
reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau
terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium
channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.1,2
3. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin.1
4. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan
darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum
tulang, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap
status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1,2
5. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena
fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti
susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan
20
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah
terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan
pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium
mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis
obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium
mimetic agent.1,2
6. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui
insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan
masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan
edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium
dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1,2
7. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah
mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah
hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi:1
Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta
sayuran rendah kalium;
Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
21
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu: 1,2
Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram
glukosa
Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
8. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis
berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.
2.1.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
1. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan
produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga
ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah
merahyang pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi
sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas
aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan
malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status
besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal
sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah
adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati
dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1
Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
22
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO
ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi
preparat besi intravena. 1
2. Osteodistrofi Renal
Osteofdistrofi adala istilah yang menggambarkan secara umum semua
kelainan tulang akibat gangguan metabolisme Kalsium karena terjadinya
penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia
diatasi dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian
bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada
pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol
pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam
fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah
(kalsifikasi metastatik).1,6
Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6
2.1.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal
Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens
kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.
2.1.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Diseas
23
Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu
stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal
yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre
dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan
medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara
perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih
banyak dialami pasien dengan CKD.5,10
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang
sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan
dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi
status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan
dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas
kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan
gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai
status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan
dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.5,10
Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:5,10
1. Pengaturan asupan protein.
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari
11. Asam folat pasien HD: 5mg
24
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
2.1.9 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk
mengalami kerusakan yang progresif dari fungsi ginjal, dan menjadi faktor risiko
untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut
bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada
pencegahan sekunderm dan individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang
dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi
akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 6,7
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika
disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat 30%.
Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD,
kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah
terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.
25
Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori Albuminuria
Kebanyakan pasien dengan CKD akan meninggal dengan komplikasi penyakit
kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak tersedia maka akan terjadi sindrom
uremia yang progresif (hiperkalemia, asidosis, malnutrisi, perubahan fungsi mental).
Diantara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal, penyakit kardiovaskuler
merupakan penyebab mortalitas tersering kira-kira 40% dari populasi. Volume
ekstraseluler yang overload dan hipertensi diketahui sebagai faktor prediktor
terjadinya hipertropi ventrikular kiri dan peningkatan risiko mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler di populasi. Setelah disesuaikan dengan umur, ras, jenis kelamin, dan
etnik, dan keberadaan diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler tetap menjadi
penyebab kematian tertinggi terutama pada pasien muda.2
26
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : YS
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pulau Kae Selatan, Denpasar
Agama : Kristen
Bangsa/Suku : Indonesia/
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : Belum Menikah
Tanggal MRS : 4 November 2018
Tanggal Pemeriksaan : 5 November 2018
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 4 November 2018 diantar
oleh keluarga dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dikeluhkan sejak 3 hari yang
lalu dan membaik dengan posisi duduk. Keluhan sesak dirasakan semakin memberat
setiap harinya sehingga mengganggu aktifitas pasien. Pasien juga mengeluhkan batuk
hilang timbul dan dahak sulit untuk dikeluarkan. Batuk bercampur darah disangkal.
Selain itu pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit bersamaan dengan sesak yang dialaminya dan makin memberat hingga
pasien lebih banyak beristirahat. Keluhan lemas awalnya mulai dirasakan sejak 1
minggu namun masih terasa ringan. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan
27
istirahat, namun dalam 3 hari terakhir keluhan tersebut menetap. BAB dikatakan
normal, 1 kali sehari. BAK dikatakan ± 500-700 ml/hari. Keluhan nyeri perut dan
demam disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 3 bulan yang lalu. Setelah itu pasien
juga di periksa, dan didiagnosis dengan CKD std IV. Pasien diberi obat untuk CKD
dan hipertensi dan telah routine minum obatnya.
Riwayat penyakit jantung, penyakit hati, diabetes mellitus disangkal oleh
pasien. Riwayat alergi obat maupun makanan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Orang tuapasien dikatakan memiliki riwayat hipertensi, dan bapak pasien
meninggal karena penyakit jantung. Riwayat penyakit sistemik pada anggota keluarga
lain seperti diabetes mellitus, asma, ginjal maupun kelainan jantung di dalam
keluarga disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pekerja swasta namun sudah berhenti karena
penyakit yang dideritanya. Riwayat merokokdan minuman alkohol ada namun sudah
berhenti sejak sakit.Konsumsi obat-obatan terlarang disangkal pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Status Present
Tensi : 160/90 mmHg
28
Nadi : 88 x/mnt reguler, kuat angkat
Respirasi : 23 x/mnt
Suhu aksila : 36,5o C
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 170 cm
BMI : 20,76 kg/m2
Status General
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Ikterus -/-, Reflek pupil
+/+ 3/3mm isokor, Edema palpebra -/-
Telinga : Daun telinga N/N, Sekret (-), Pendengaran normal
Hidung : Napas cuping hidung (-), Epistaksis (-)
Mulut :Sianosis (-), Ginggiva pucat(-),Ginggiva
hipertrofi(-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Faring hiperemi (-)
Leher : JVP 0cm H2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax : Simetris statis dinamis
COR
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
29
Perkusi :
Batas kanan : Parastrenal line (D)
Batas kiri : Mid clavicula line (S)
Auskultasi : S1S2 Normal, regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Simetris, statis dinamis
Palpasi : Tactile fremitus N/N, Pergerakan simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - -
+ + + +
+ + + +
Wheezing - -
- -
- -
Abdomen
Inspeksi :Distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri
tekan (-)
Perkusi : Timpani(+), ascites (-), nyeri ketok CVA(-)
Inguinal : Pembesaran kelenjar (-)
30
Genitalia : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Hangat + / + Edema - / -
+ / + + / +
31
PEMERIKSAANPENUNJANG
Darah Lengkap (4/11/2018)
Parameter Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Keterangan
WBC 6,06 103/µL 4,1 - 11,0
NEU% 68,69 % 47,0 - 80,0
LYM% 20,69 % 13,0 - 40,0
MONO% 5,58 % 2,0 - 11,0
EOS% 4,16 % 0,0 - 5,0
BASO% 0,88 % 0,0 - 2,0
NEU# 4,16 103/µL 2,50 - 7,50
LYM# 1,25 103/µL 1,00 - 4,00
MONO# 0,34 103/µL 0,10 - 1,20
EOS# 0,25 103/µL 0,00 - 0,50
BASO# 0,05 103/µL 0,00 - 0,10
RBC 1,83 106/µL 4,00 - 5,20 Rendah
HGB 4,38 g/dL 12,0 - 16,0 Rendah
HCT 14,99 % 36,0 - 46,0 Rendah
MCV 81,94 fL 80,0 - 100,0
MCH 23,94 Pg 26,0 - 34,0 Rendah
MCHC 29,22 g/dL 31,0 - 36,0 Rendah
PLT 135,20 103/µL 140 – 440 Rendah
RDW 12,74 % 11,6 - 14,8
MPV 5,71 fL 6,80 – 10,0 Rendah
32
Kimia Klinik (4/11/2018)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
SGOT 22,10 U/L 11,00 – 27,00
SGPT 14,50 U/L 11,00 – 34,00 Rendah
BUN 141.00 mg/dL 8,00 - 23,00 Tinggi
Kreatinin 22,71 mg/dL 0,50 – 0,90 Tinggi
Asam Urat 10,0 mg/dL 2,00 - 5,70 Tinggi
Glukosa Sewaktu 93 mg/dL 70-140 Tinggi
Albumin 3,70 g/dL 3,40 – 4,80
GFR = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
= (140-25)x60= 6900 = 4,22
72x22,71 1635
Analisis Gas Darah (4/11/2018)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Ph 7,27 7,35 – 7,45 Rendah
pCO2 25,7 mmHg 35,00 – 45,00 Rendah
pO2 166,00 mmHg 80,00 - 100,00 Tinggi
HCO3- 11,60 mmol/L 22,00 – 26,00 Rendah
TCO2 12,30 mmol/L 24,00 – 30,00 Rendah
SO2c 98,9 % 95 - 100
BEecf -15,30 mmol/L -2 - 2 Rendah
33
Elektrolit (4/11/2018)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Natrium (Na) 135 mmol/L 136 – 145 Rendah
Kalium (K) 5,86 mmol/L 3,50 – 5,10 Tinggi
Clorida (Cl) 90 mmol/L 96 - 108 Rendah
Urinalisis (4/11/2018)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Berat Jenis 1,005 1,003-1,035
Nitrit Negatif Negatif
Protein (3+)300 negatif
Keton Negatif Negatif
Glukosa (3+)300 Normal
Urubilinogen Normal Normal
Leukosit Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Warna Colour less p.yellow-yellow
Darah (1+) Negatif
pH 6,00 4,5-8
Eritrosit Sedimen 5 LPB <5 Tinggi
Leukosit Sedimen 4 LPB <7 Tinggi
Bakteri +
34
Foto Thorax AP (4/11/2018)
Foto Thorax AP :
Cor : kesan prominen, CTR 59%. Tampak kalsifikasi aortic knob
Pulmo : tampak infiltrate pada paracardial kanan. Coracan bronchovaskuler
normal
Sinus pleura kanan kiri tumpul
Diaphragma kanan kiri tertutup perselubungan
Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Tampak terpasang double lumen dengan tip terproyeksi setinggi costae 9 posterior
kanan, tak tampak komplikasi pemasangan
Kesan:
Cor prominen dengan aortosklerosis
Pneumonia,
Efusi pleura bilateral, dominan kiri
Terpasangan double lumen dengan tip terproyeksi setinggi costae 8 posterior kanan
35
USG Abdomen atas bawah (5/11/2018)
Hasil USG Abdomen atas bawah:
Hepar : ukuran tidak membesar, permukaan licin, sudut tajam, tepi rata, system
vaskuler dan bilier tampak normal, echoparenckin normal, tak tampak
massa/nodul/kista
GB : ukuran normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu
Lien : ukuran normal, ekoparenkin normal, tak tampak SOL
Ginjal kanan : ukuran normal, ekokorteks meningkat, medulla prominent, batas sinus
korteks mengabur, pelviocalyceal system tidak melebar, tampak kista pada pole
tengah ginjal kanan dengan pnp terukur 3.01 x 3.14cm dengan kalsifikasi di
dindingnya
Ginjal kiri : ukuran normal, ekokorteks meningkat, medulla prominent, batas sinus
konteks mengabur peliviocalyceal system tidak melebar, tak tampak batu/massa/kista.
Buli : terisi urine cukup, dinding buli tak tampak menebal, tak tampak batu/massa.
Prostat : ukuram membesar ringan dengan bolume 27.20cc, parenchym normal, tak
tampak kalsifikasi
36
Kesan:
Diffuse parenchymal renal disease bilateral dengan simple cyst pada pole tengah
ginjal kanan
Hypertrophy prostat ringan
DIAGNOSIS
- CKD Stage V ec susp glomerulonephritis kronis
Anemia berat normo-normo on CKD
Hiperkalemia
Hipertensi gr II
PENATALAKSANAAN
Terapi :
O2 2-4 lpm nasal canul
Infus NaCL 0.9% 8 tpm
Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari
Furosemide 40mg @24 jam PO
Amlodipine 5mg @ 24 jam PO
Captopril 25mg @ 12 jam PO
Kalsium Karbonat 500mg @ 8 jam PO
HD elektif
Monitoring
Keluhan
Vital Sign
37
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 Alur Kunjungan Lapangan
Kunjungan lapangan dilakukan pada tanggal 13 November 2018, bertempat di
rumah pasien Jl. Pulau Kae Selatan Denpasar. Kunjungan kami mendapat sambutan
baik dari pasien. Tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal
lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah dan faktor risiko yang
ada pada pasien. Selain itu kunjungan ini juga bertujuan untuk memberikan edukasi
tentang penyakit yang dimiliki oleh pasien.
4.2 Identifikasi Masalah
Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal
menghadapi penyakitnya adalah:
1. Pasien dan keluarga belum mengerti tentang penyakitnya beserta komplikasi
yang mungkin muncul.
2. Pasien masih belum bisa untuk menerapkan pola hidup sehat dan bersih, salah
satunya adalah tempat tinggal, sanitasi, serta makanan yang kurang sehat dan
bersih.
3. Pasien merasakan sulitnya membagi waktu antara aktivitas sehari-hari dan
kebutuhan untuk menjaga kesehatannya serta untuk kontrol ke rumah sakit,
sehingga dapat menjadi penyebab kemungkinan ketidaktahuan pasien akan risiko
penyebab penyakit ginjal kronisnya.
3.3 Analisis Kebutuhan Pasien
a. Kebutuhan Fisik-Biomedis
Kecukupan Gizi
38
Pasien sehari-hari memakan makanan rumah yang dimasakkan oleh istri pasien.
Porsi makan pasien terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien. Porsi
nasi yang dimakan pasien terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien,
satu porsi yang dimakan pasien biasanya dengan lauk-pauk seperti daging
ayam, sayuran, dan tempe.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :
Berat badan ideal = (TB cm-100) – 10% BB = (170-100) – (10% 60 kg) =
64 kg
Status gizi = BMI = 20,76 kg/m2 =cukup
Jumlah kebutuhan kalori per hari =
o Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 35 kalori (laki-laki) = 64x 35 =
2.240 kalori
o Kebutuhan aktivitas (ringan) = +20% x Kebutuhan kalori basal = 20%
x 2.240 kalori = +448 kalori
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita adalah 2.688kalori.
Distribusi makanan:
1. Karbohidrat 60% = 60% x 2688 kalori = 1612,8 kalori dari karbohidrat.
2. Protein 20% = 20% x 2688 kalori = 537,6 kalori dari protein.
3. Lemak 20% = 20% x 2688 kalori = 537,6 kalori dari lemak.
Waktu Jumlah Jenis
Makan Pagi ± 20% dari total
asupan harian
(537,6kalori)
- Nasi putih (100 gr)
- Tempe dan tahu (20 gr)
Selingan Pagi ± 10% dari total
asupan harian
(268,8 kalori)
- Risoles / kue (50 gr)
Makan Siang ± 30% dari total
asupan harian
- Nasi putih (120 gr)
- Pepes ayam/ikan laut (10 gr)
39
(806,4 kalori) - Tempe 2 potong (10 gr)
- Sup/ sayur (25 gr)
Selingan Siang ± 15% dari total
asupan harian
(403,2 kalori)
- Buah rendah serat (50 gr)
- Kue (25 gr)
Makan malam ± 25% dari total
asupan harian
(672 kalori)
- Nasi putih (100 gr)
- Ikan / daging (10 gr)
- Tahu (10 gr)
- Buah rendah serat (25 gr)
Kegiatan Fisik
Pasien saat ini hanya beraktivitas di rumah yaitu istirahat dan menjaga
keponakan serta membantu pekerjaan ringan sehari - hari di rumah.
Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Rumah pasien berada dekat dengan RSUP Sanglahyang jarak
tempuhnya kurang lebih 5 menit menggunakan motor.
Lingkungan
Pasien tinggal bersama ibu, kedua kakaknya, dan keponakan nya yang
ditinggalinya sudah lebih dari 20 tahun. Atap rumah pasien terbuat dari genteng
berbahan tanah liat, dinding rumah pasien terbuat dari batako yang dicat, dan
lantai rumah terbuat dari keramik.
Rumah pasien sendiri terdiri dari 1 kamar tamu, 3 kamar tidur, 1
dapur, dan 1 kamar mandi. Ukuran kamar tidur berukuran 4x 4 m dan 3x4 m.
Pasien menggunakan sumber air PAM untuk MCK, dan mencuci. Pasien
mengkonsumsi air minum isi ulang untuk keperluan minumnya.
b. Kebutuhan Bio-Psikososial
40
Lingkungan biologis
Karena keadaan pasien yang berisiko terkena infeksi, maka sangat
diperlukan kontrol kebersihan tempat tinggal dan makanan maupun minuman
serta pengobatan yang teratur, dan mawas pada kondisi badan pasien agar tidak
terjadi perburukan yang berat. Pasien kami sarankan untuk lebih sering
mengkomsumsi air putih. Disarankan untuk membuat makanan dan minuman
sendiri untuk kesehariannya. Pasien juga kami sarankan untuk tetap menjaga
kebersihan lingkungan, dan menjaga kebersihan diri. Pasien juga disarankan
untuk dapat mengatur antara jam untuk beraktivitas dan jam istirahat.
Faktor Psikologi
Pasien adalah anak ketiga keluarga. Selama keadaan sakit dan menjalani terapi
pasien mendapat dukungan sepenuhnya dari keluarga pasien. Ibu, kedua
kakaknya dan keponakan pasien selalu mendampingi pasien dari sejak awal
pasien masuk rumah sakit hingga satu minggu keluar rumah sakit. Ibu dan
kedua kakak pasien selalu mengingatkan untuk rutin minum obat serta makan
makanan yang bergizi dan teratur.
Faktor Sosial dan kultural
Pasien tinggal di rumah yang ditinggali bersama ibu, kedua kakak, dan
keponakan pasien. Pasien sebelum sakit bekerja sebagai pegawai swasta di
Denpasar. Tidak ada anggapan negatif tentang penyakit yang diderita oleh
pasien. Pasien mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Kerabat pasien juga
menjenguk selama pasien dirawat di RSUP Sanglah.
Faktor Spiritual
Keluarga pasien sebaiknya mengajak pasien untuk terus mendekatkan diri
dengan Tuhan yang Maha Esa, karena dengan begitu dapat menjauhkan pasien
dari pikiran-pikiran negatif tentang penyakitnya.
41
4.4 Penyelesaian Masalah
Sehubungan dengan beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami
mengusulkan penyelesaian masalah yaitu sebagai berikut:
1. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit yang dimilikinya serta
penanganan yang dilakukan, dan komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh
karena itu, sangat penting bagi pasien untuk tetap mengkonsumsi obat pulang
yang diberikan oleh dokter dan datang untuk control sebelum obat benar-
benar habis agar pengobatan tidak terputus. Hal lainnya yang perlu
diperhatikan adalah perawatan double lumen, agar tidak menimbulkan
komplikasi seperti infeksi.
2. Edukasi pasien dan keluarga serta pentingnya pasien untuk dapat mengajak
tetangga di sekitar kos maupun lingkungan tempat kerja pasien untuk
melakukan pencegahan terjadi maupun terulangnya kembali penyakit yang
diderita oleh pasien dengan cara menyadari dan mempraktikkan langsung
pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, makanan dan kebersihan tempat
atau sarana yang dipakai. Disarankan pasien untuk memperhatikan kebersihan
sumber air minum, memasak sendiri air minum dan menanak sendiri makanan
dibantu oleh keluarga selama masa penyembuhan. Disarankan untuk
memperbanyak minum air putih.
3. Menyarankan kepada pasien agar dapat membagi diri dan waktu untuk
pekerjaan dan kesehatan. Menyarankan kepada pasien agar beristirahat dahulu
dari aktivitas sehari-harinya sementara waktu untuk proses penyembuhan,
tetap kontrol ke dokter sesuai dengan arahan dari dokter sebelumnya.
42
4.5 Denah Rumah
Keterangan:
1. Halaman rumah
2. Kamar tidur
3. Toilet
4. Kamar Tamu
5. Dapur
U
2 2
2
4
1
5 3
43
4.6 Foto Kunjungan
44
BAB V
SIMPULAN
Dalam pengalaman belajar lapangan ini, pasien adalah seorang laki-laki
berusia 25 tahun dengan diagnosis CKD stage V ec susp glumeronephritis kronis
disertai dengan anemia berat normokromik normositer on CKD, dan hipertensi gr II.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah sesuai dengan literature yang ada. Dari hasil kunjungan rumah,
didapatkan bahwa faktor risiko yang mungkin mendasari terjadinya penyakit adalah
riwayat hipertensi dan riwayat hipertensikeluarga. Dengan pemberian informasi dan
edukasi baik kepada pasien maupun keluarganya, diharapkan faktor risiko tersebut
dapat lebih terkontrol dan mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi di
kemudian hari.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1035-1040.
2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international
Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation
and management of CKD. 2013;3(1).
3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.
Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your
kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-
876.
6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and
Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.
hal 1-63.
7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5. New
York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in
Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes.2016
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik. Surabaya:
Gizi Indonesia; 2004.