7
I. Penafsiran Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang- undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu aliran Legisme terikat sekali pada undang-undang. Aliran Freie rechtslehre bebas/terikat pada undang-undang sedangkan aliran Rechtsvinding merupakan aliran diantara kedua aliran sebelumnya. Atau dengan perkatan lain aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tetapi tidak seketat aliran Legisme dan tidak sebebas aliran Freie Rechtslehre. Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut. Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang. 1) Penafsiran Bahasa (gramatikal) Penafsiran undang-undang menurut arti bahasa bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam Undang-undang. Selanjutnya, bahasa yang digunakan dalam menafsirkan Undang-undang itu berarti mencoba menangkap arti teks menurut bunyi kata-katanya.

penafsiran hukum pajak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pengantar Perpajakan

Citation preview

Page 1: penafsiran hukum pajak

I.                               Penafsiran

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu

aliran Legisme terikat sekali pada undang-undang. Aliran Freie rechtslehre bebas/terikat pada undang-undang sedangkan aliran Rechtsvinding merupakan aliran diantara kedua aliran sebelumnya. Atau dengan perkatan lain aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tetapi tidak seketat aliran Legisme dan tidak sebebas aliran Freie Rechtslehre.

Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut.

Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio.

Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang.

1)                    Penafsiran Bahasa (gramatikal)

Penafsiran undang-undang menurut arti bahasa bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam Undang-undang. Selanjutnya, bahasa yang digunakan dalam menafsirkan Undang-undang itu berarti mencoba menangkap arti teks menurut bunyi kata-katanya.

a.                  Aspek Gramatikal 

Satu bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning), maka hubungan antar bagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantik yang disebut koherensi (coherence) (Sumarlam, 2005 :

Lebih lanjut lagi, menurut Halliday dan Hasan (1976 : 6) membagi kohesi menjadi dua jenis yaitu

kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion).

Page 2: penafsiran hukum pajak

Struktur lahir wacana atau segi bentuk disebut aspek gramatikal wacana, struktur batin wacana atau segi makna disebut aspek leksikal wacana.

Aspek gramatikal wacana meliputi :

(1) pengacuan (reference),

(2) penyulihan (substitution),

(3) pelesapan (ellipsis),

(4) perangkaian (conjunction) (Sumarlam, 2005 : 23).

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai empat aspek gramatikal tersebut :

a. Pengacuan (referensi)

Pengacuan atau referensi adalah salah atau jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Terdapat dua jenis pengacuan yaitu pengacuan endofora dan pengacuan eksofora.

Pengacuan endofora apabila acuannya berada dalam teks wacana itu, dan dikatakan pengacuan eksofora apabila acuannya di luar teks wacana. Pengacuan endofora dibagi menjadi dua jenis yaitu

- pengacuan anaforis

- pengacuan kataforis.

-Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan

lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu.

-Pengacuan kataforis

merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang akan disebut kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan yang unsur yang lain.

Page 3: penafsiran hukum pajak

b. Penyulihan (substitusi)

Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda.

Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal (kata benda), verbal, frasal, dan klausal.

c. Pelesapan (elipsis)

Pelesapan atau elipsis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat.

2)            Penafsiran  Sistematis Penafsiran sistematis adalah penafsiran beberapa pasal yang mempunyai huruf dan bunyi yang diharapkan dapat menjelaskan mengenai hal yang konkrit. Kalimat-kalimat yang terpampang dalam rentetan kata-kata tersebut tersusun secara sistimatis dan apik. Selain itu, pasal-pasal yang terdapat dalam sebuah Undang-undang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya atau menjelaskan antara pasal yang satu dengan yang lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan.

Sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo dimaksud, Chainur Arrasyid mengungkapkan bahwa inti dari penafsiran sistematis terhadap undang-undang, yaitu setiap undang-undang tidak terlepas antara satu dengan lainnya, selalu ada hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur)

Penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU itu maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang merumuskan ”suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan.

Artinya semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum,

Page 4: penafsiran hukum pajak

kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.

3)  Penafsiran menurut Historis Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie).

Misalnya dokumen rapat para pembuat undang-undang, dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan DPR, dan dokumen rapat pembahasan antar pemerintah dengan DPR, dan dokumen surat-surat lainnya yang dibuat secara resmi baik oleh pemerintah maupun pemerintah dengan DPR. Dengan menggunakan penafsiran historis dapat diketahui maksud dari pembuat undang-undang atas isi dari suatu undang-undang.

Penafsiran undang-undang menurut sejarah, maka substansinya adalah menelusuri secara saksama dan cermat terhadap latar belakang terbentuk atau lahirnya sebuah Undang-undang. Penafsiran menurut sejarah terbagi atas 2 (dua), yaitu

(a). penafsiran menurut sejarah undang-undang;

(b) Penafsiran menurut sejarah hukum.

Selain itu, sejarah Undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya.) Pikiran yang mendasari metode interpretasi Undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam konteks Undang-undang atau yang lazim disebut penafsiran subyektif.)

4)  Penafsiran Sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masarakat. atauPenafsiran sosiologis adalah penafsiran yang berintikan mencari maksud atau tujuan pembuat undang-undang di dalam masyarakat. Menurut Chainur Arrasyid bahwa suatu peraturan perundang-undang telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan dan aliran-aliran yang berlainan dengan paham yang ada dalam masyarakat sekarang ini, maka harus dilakukan penafsiran sosiologis. Misalnya di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman Kolonial Belanda, maka untuk menjalankan peraturan itu, hakim dapat menyesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada saat sekarang.21) Sejalan dengan pemikiran penafsiran sosiologis,

Page 5: penafsiran hukum pajak

Achmad Ali memberi contoh mengenai Pasal 362 KUHPidana, yang berbunyi: “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun…. Pada saat pasal ini dibuat, para pembuat undang-undang belum berpikir akan munculnya penggunaan listrik dalam kehidupan manusia.Dengan demikian, ketika terjadi penyadapan dan penggunaan tenaga listrik, timbul persoalan, apakah listrik termasuk “barang” seperti yang dimaksud oleh Pasal 362 KUH Pidana?. Kalau termasuk, berarti penyadapannya termasuk dalam kualifikasi sebagai pencuri.

5)  Penafsiran Autentik Penafsiran otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan, penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilukakan oleh pembuat undang-undang. Dalam hal pembuat undang-undang telah menjelaskan secara rinci beberapa pengertian atau istilah yang terdapat dalam suatu undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam Bab 9 buku 1 KUHPidana disebutkan bahwa, pembuat undang-undang telah memberikan penjelasan secara resmi atau autentik dari pengertian beberapa sebutan dalam KUH Pidana, misalnya Pasal 97 KUHP: yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam, yang disebut bulan adalah waktu selama tiga puluh hari.

6)  Penafsiran Komparatif Penafsiran komparatif adalah penafsiran untuk membandingkan penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Membandingkan hukum dimaksud, untuk mencari kejelasan mengenai ketentuan suatu undang-undang terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaidah hukum untuk beberapa Negara.