22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud penafsiran hukum? 2. Apa saja metode penafsiran hukum? 3. Apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum? C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian penafsiran hukum 2. Mengetahui metode penafsiran hukum 3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum 1

Penafsiran Hukum Php

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Pengantar Hukum Pajak. Pengantar Ilmu Hukum. Perpajakan Indonesia. TAX

Citation preview

Page 1: Penafsiran Hukum Php

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangB. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud penafsiran hukum?2. Apa saja metode penafsiran hukum?3. Apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum?

C. Tujuan1. Mengetahui pengertian penafsiran hukum2. Mengetahui metode penafsiran hukum3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum

1

Page 2: Penafsiran Hukum Php

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penafsiran Hukum

1. Pengertian Penafsiran Hukum

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum

yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang

lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Terdapat

beberapa aliran dalam menafsirkan hukum, yaitu aliran Legisme, aliran Freie

rechtslehre, dan aliran Rechtsvinding. Aliran Legisme terikat sekali pada undang-

undang. Aliran Freie rechtslehre bebas/tidak terikat pada undang-undang sedangkan

aliran Rechtsvinding merupakan aliran diantara kedua aliran sebelumnya. Atau dengan

perkatan lain aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tetapi tidak

seketat aliran Legisme dan tidak sebebas aliran Freie Rechtslehre.

Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan

perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam

masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid

(ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang

menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22

AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan

kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak

mengadili perkara dapat dituntut.

Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat

menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum

(rechtsverfijning) dan argumentum a contracio.

Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian

atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang

dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang. Inti dari upaya

penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh “keadilan”, sedangkan

ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak sesuai lagi dengan

keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang sendiri tidak

2

Page 3: Penafsiran Hukum Php

menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan

hukum dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas melaksanakan

penafsiran pasal undang-undang menurut keyakinannya.

2. Metode Penafsiran

1. Penafsiran Gramatikal 

Penafsiran Gramatikal yaitu penafsiran terhadap tata bahasa/ arti kata kata/

istilah, yang berhubungan satu sama lain yang disusun oleh si pembuat undang-

undang. Metode gramatikal disebut juga metode obyektif. Contoh:  dalam pasal 1

penetapan presiden (PENPRES) no. 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan

hukuman mati di Indonesia, di tegaskan bahwa hukuman mati dengan jalan di

tembak. Penafsiran kata “di tembak” di sini secara gramatikal adalah penembakan

pada bagian yang bisa menyebabkan kematian si terhukum,jadi bukan asal

sembarang tembak. Selain itu, dalam pasal 13 ayat 1 KUP, bahwa pengertian

dapat ‟ menerbitkan SKPKB mengandung artian bahwa hal tersebut boleh

dilakukan maupun tidak dilakukan sama sekali.

Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara

lain, ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan:

“Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau

berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur

Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam

hal-hal sebagai berikut. . .”

Redaksi kata “dapat” disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib,

sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut

bukan merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya

alternatif selain bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang

ada.

2. Penafsiran Sistematis/Dogmatis 

Penafsiran Sistematis yaitu penafsiran dengan menghubungkan antarpasal

dalam suatu peraturan hukum serta mengaitkannya dengan pasal-pasal lain dalam

undang-undang. Mengenai contoh dari penafsiran ini sebagai berikut:3

Page 4: Penafsiran Hukum Php

Pengertian tentang “makar” (tindakan yang membahayakan

keamanan/keselamatan Negara) yang diatur dalam pasal 87 KUHP dapat di

jadikan sebagai dasar bagi pasal-pasal lain dalam KUHP yang mengatur

tentang makar .

Pada kalimat “…sebagaimana diatur dalam  pasal…” atau “tata cara….diatur

dengan undang-undang”. Terdapat hubungan atau sangkut paut pasal satu

dengan yang lainnya.

DalamUU kepabeanan yakni UU no 17 tahun 2006 pasal 1 : “Kepabeanan

adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas

barang yang masuk atau keluar daerah  pabean‟ serta pemungutan bea masuk

dan bea keluar ”. Pasal selanjutnya menjelaskan tentang pengertian daerah

pabean, yakni pasal 2. Daerah  pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang

meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-

tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di

dalamnya berlaku Undang-Undang ini.

Penafsiran dari pengertian “memenuhi persyaratan” dalam pengajuan surat

keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (4) UU KUP,

haruslah dikaitkan pula dengan pengertian “keterangan tertulis”yang wajib

diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 26

ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal

Pajak tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar

pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau

pemungutan pajak, maka sebenarnya tidak ada hak bagi Direktur

Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan di dalam

pengajuan keberatan.

3. Penafsiran Historis 

Penafsiran Historis yaitu penafsiran atas undang-undang berdasarkan

sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Contohnya sebagai berikut:

Dalam dekrit presiden 5 july 1959 di sebutkan bahwa pembentukan lembaga

MPRS dan DPAS akan di selenggarakan dalam waktu yang sesingkat

singkatnya. Dari sisi dekrit presiden tersebut secara historis dapat di tafsirkan

4

Page 5: Penafsiran Hukum Php

bahwa hingga tahun 1959 indonesia belum juga memiliki lembaga MPR dan

DPAB.

Mengenai “pasal pengajuan keberatan”, mengapa demikian? Karena….(salah

satunya dengan disangkut pautkan dengan UU yang lama misalnya)

perkembangan pengertian “pembayaran dalam Masa Pajak dari Pajak

Penghasilan“, dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu

dengan “official assessment “ dimana pembayaran masa berarti “ angsuran

terhadap Surat Ketetapan Pajak Sementara (SKP/s)” yang diterbitkan oleh

fiskus, yang kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya

(akhir tahun). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut

dihapuskan dan diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan

Menghitung Pajak Orang Lain (MPO), di sini pembayaran masa ditentukan

sekian persen (misalnya 2%) dari jumlah peredaran selama satu bulan. Dan

sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983 sistem yang dianut adalah self

assessment, dengan cara penentuan besarnya pembayaran masa yang berbeda.

4. Penafsiran Sosiologis/Teologis

Penafsiran Sosiologis yaitu penafsiran yang didasarkan atas situasi dan

kondisi yang ada di masyarakat. Contoh: Orang yang melakukan penimbunan

barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dapat di tafsirkan sebagai pelaku

tindak pidana ekonomi (kejahatan untuk menghacurkan perekonomian masyarakat),

meskipun tujuan orang itu melakukan penimbunan hanyalah untuk mencari laba

yang sebesar besarnya bagi dirinya. - Selain itu, sekarang sudah ditetapkan

peraturan self assessment dimana SPT diambil sendiri oleh si pembayar pajak.

Contoh lainnya, Syarat-syarat pengajuan keberatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) KUP atau syarat banding

sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) KUP, yang tidak dapat dilakukan

oleh Wajib Pajak yang buta huruf atau buta huruf latin, maka pegawai pajak

yang menanganinya maupun Sekretaris Pengadilan Pajak harus bertindak seolah-

olah sebagai panitera yang menuliskan maksud dari Wajib Pajak dan

membacakannya sebelum Wajib Pajak memberikan cap jarinya.

5. Penafsiran Restriktif dan Ekstensif 5

Page 6: Penafsiran Hukum Php

Penafsiran Restriktif yakni penafsiran yang bersifat membatasi, arti

membatasi disini adalah dengan melakukan penyempitan pengertian.

Contoh dari penafsiran Restriktif: pengertian wajib pajak dalam UU PPh

adalah “subjek pajak yang memiiki objek pajak berupa penghasilan”, sedangkan

menurut UU KUP pengertian wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi

pembayar pajak, pemotong pajak, pemungut pajak, yang mempunyai hak dan

kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Penafsiran Ekstensif yakni penafsiran yang bersifat memperluas

pengertian.Contoh dari penafsiran ekstensif: hakim menyamakan pencurian listrik

dengan pencurian benda (hal ini dilakukan karena pada jaman dahulu belum ada

listrik, jadi tidak ada UU yang mengatur tentang listrik.

6. Penafsiran Otentik/Resmi/Shahih

Penafsiran Otentik yaitu penafsiran atas suatu ketentuan UU dengan

melihat apa yang telah dijelaskan dalam UU tersebut. Biasanya dalam suatu

undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum, biasanya ada

pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang

telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk

menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan

dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat

dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik,

tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.

Contoh: penafsiran terhadap kata “malam” yang di muat dalam pasal 98

KUHP adalah: “masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit”.(bukan

malam yang artinya sebagai bahan untuk membuat lilin). Terminologi inilah yang

dimaksud dengan penafsiran otentik.

7. Penafsiran Analogis

Pebafsiran Analogis  yaitu penafsiran yang menganggap suatu suatu hal

yang belum diatur dalam suatu peraturan hukum dianggap/ disamakan dengan hal

yang sudah diatur dalam peraturan hukum. Contoh: aliran listrik yang sebenarnya

bukan barang di anggap sama dengan barang yang dapat di ilhat dan di pegang,

sehingga pencurian aliran listrik tetap dapat di hukum meskipun dalam undang-6

Page 7: Penafsiran Hukum Php

undang masalah puncurian aliran listrik ini tidak diatur, alasanya karena alasanya

untuk mendapatkan aliran listrik tetap di perlukan sejumlah uang atau harus di

bayar dengan sejumlah uang.

Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena

dapat merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap

peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang

pajak yang merupakan aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal

pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara harus diatur undang-undang.

8. Penafsiran A Contrario

Penasfiran A Contrario adalah  penafsiran atas ketentuan UU berdasarkan

pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur

dalam UU. Contoh: Pada pasal 4 ayat 3g bahwa “wanita tidak boleh menikah lagi

sebelum waktu 300hari”. Jika menggunakan argumen a contraro, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa laki-laki dibolehkan untuk menikah lagi dalam waktu

kurang dari 300 hari.

Penafsiran Analogi dan penafsiran A Contrario tidak boleh digunakan

sebagai landasan bagi penetapan pidana, karena lebih cenderung merugikan

masyarakat serta menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas

pengaturannya.

Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan

dari Objek PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya

telah disetujui oleh Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor

KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran

pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi

tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun

yang belum disahkan Menteri Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a

contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang

belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan

perpajakan atas premi asuransi, yaitu merupakan Objek PPh.

7

Page 8: Penafsiran Hukum Php

Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak

diperbolehkan karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian

dalam hukum yang sudah jelas pengaturnya.

9. Penafsiran Perbandingan

Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan

antara ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat

ini, atau ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum asing. Contoh:

Kebijaksanaan yang pernah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir

tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat

Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar, sering disebut juga dengan

istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self

assessment sekarang ini.

10. Penafsiran Doktriner

Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat

dari para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya.

Penafsiran ini biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan

pajak.

8

Page 9: Penafsiran Hukum Php

B. Kekosongan Hukum

Definisi Kekosongan Hukum

Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hukum

(rechtsvacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut :

Hukum atau recht (Bld)

Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau

hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan

bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin

keadilan”. Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”

mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang

bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-

hentinya dengan gejalagejala lainnya”.

Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum” memberikan

pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan

hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib

dalam kehidupan masyarakat”. Dengan peraturan-peraturan hidup disini

dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan

perundangundangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).

Kekosongan atau vacuum (Bld)

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,

“Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau

kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang

diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”.  Dari penjelasan

diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai “suatu

keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang

mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum

dalam

1

Page 10: Penafsiran Hukum Php

Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan

undang-undang/peraturan

perundang-undangan”. Mengapa Terjadi? Dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya

memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan

itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh

peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi

karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu

peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan

perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini

sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu

peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang

dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”.

Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang

berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem

yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya

walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus

diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.

Akibat apa yang timbul?

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal

atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum

(rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di

masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum

(rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama

belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah

yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan

apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada

kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang

terjadi.

2

Page 11: Penafsiran Hukum Php

Solusi apabila terjadi kekosongan hukum

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan masyarakat

selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan

perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak

masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Hukum yang stabil dan ajeg dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat,

namun hukum yang berjalan ditempat pada kenyataannya akan menjadi hukum

yang usang yang tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat yang acapkali

menimbulkan kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan)

terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya

belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau

sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel

dan mampu mengikuti perkembangan tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terjadinya kekosongan hukum

adalah sebagai berikut :

Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim

Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran

peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran

terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi,

karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak

relevan dengan zaman (out of date).

Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor

Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok

kekuasaan Kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak

memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan

hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim

harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum diartikan

sebagai

sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya

terhadap  peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lain

penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum

3

Page 12: Penafsiran Hukum Php

dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim

harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena

peraturanperaturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul

dalam masyarakat.

Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka

hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang

sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai

kepastian hukum.

Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan. Walaupun hakim ikut

menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangundangan, namun

kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun

eksekutif (sebagai badan pembentuk perundang-undangan) sebagaimana DPR dan

Pemerintah (Presiden). Keputusan Hakim tidak mempunyai

kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya

berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21

A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang

menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku

sebagai peraturan umum”. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917 KUH

Perdata (B.W.) bahwa “kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal

yang diputuskan dalam keputusan itu”.

Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat

diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundangundangan,

yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945 yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan

bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “setiap

rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat

persetujuan bersama”. Pasal 5 UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan pula

bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”

dan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-

undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan

4

Page 13: Penafsiran Hukum Php

(political will) dari DPR dan Pemerintah (Presiden) memegang peranan yang

sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu undang-undang (lebih

luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang

tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan

perundang-undangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan

perkembangan di masyarakat.

Lebih lanjut dalam upaya mengatasi kekosongan hukum maka dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU

No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses

pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari

perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Kemudian dalam Pasal 15 ayat

(1) UU No. 10

Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang

dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Prolegnas itu

sendiri menurut Pasal 1 angka 9 adalah “instrumen perencanaan program

pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan

sistematis”.  Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi.

Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-

rencana legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme

program

legislasi yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan juga ada

program legislasi yang dikelola oleh masyarakat (organisasi profesi dan lembaga

swadaya masyarakat).

5

Page 14: Penafsiran Hukum Php

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran

Dari penjelasan di atas, diharapkan wajib pajak membayar dengan

tertib dan fiskus mengurus pemungutan dengan tepat. Semoga hakim dan

penegak hukum lainnya dapat melakukan praktik supremasi hukum di

Indonesia dengan baik, adil, dan tepat, terutama mengenai hukum pajak.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak

terdapat kekurangan. Kami selaku penulis makalah meminta maaf serta

mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terciptanya sebuah

makalah yang lebih baik lagi.

C.

6

Page 15: Penafsiran Hukum Php

DAFTAR PUSTAKA

---. Kodifikasi Hukum Dan Interpretasi Hukum.” http://www.academia.edu/514

7635/KODIFIKASI_HUKUM_DAN_INTERPRETASI_HUKUM”,

diakses pada Sabtu, 8 November 2014 pukul 08.00 WIB.

Henrich. Penafsiran Dalam Hukum Pajak. “http://henrich27.blogspot.com/

2013/04/penafsiran-dalam-hukum-pajak.html”, diakses pada Sabtu, 8

November 2014 pukul 08.10 WIB.

Tiara. Dilema Hukuman Mati. “http://tiarramon.wordpress.com/2009/12/13/

dilema-hukuman-mati”, diakses pada Sabtu, 8 November 2014 pukul 07.54 WIB.

Zulvina, Susi. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta.

7