BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangB. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penafsiran hukum?2. Apa saja metode penafsiran hukum?3. Apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum?
C. Tujuan1. Mengetahui pengertian penafsiran hukum2. Mengetahui metode penafsiran hukum3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kekosongan hukum
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penafsiran Hukum
1. Pengertian Penafsiran Hukum
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum
yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Terdapat
beberapa aliran dalam menafsirkan hukum, yaitu aliran Legisme, aliran Freie
rechtslehre, dan aliran Rechtsvinding. Aliran Legisme terikat sekali pada undang-
undang. Aliran Freie rechtslehre bebas/tidak terikat pada undang-undang sedangkan
aliran Rechtsvinding merupakan aliran diantara kedua aliran sebelumnya. Atau dengan
perkatan lain aliran Rechtsvinding tetap berpegang pada undang-undang, tetapi tidak
seketat aliran Legisme dan tidak sebebas aliran Freie Rechtslehre.
Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan
perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam
masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid
(ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang
menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22
AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak
mengadili perkara dapat dituntut.
Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat
menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum
(rechtsverfijning) dan argumentum a contracio.
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian
atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang. Inti dari upaya
penafsiran ketentuan undang-undang adalah agar diperoleh “keadilan”, sedangkan
ketentuan pada pasal undang-undang ada kemungkinan tidak sesuai lagi dengan
keadaan pada waktu dilaksanakan. Pembuat undang-undang sendiri tidak
2
menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi pelaksanaan
hukum dalam penafsiran undang-undang. Oleh karena itu, hakim bebas melaksanakan
penafsiran pasal undang-undang menurut keyakinannya.
2. Metode Penafsiran
1. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran Gramatikal yaitu penafsiran terhadap tata bahasa/ arti kata kata/
istilah, yang berhubungan satu sama lain yang disusun oleh si pembuat undang-
undang. Metode gramatikal disebut juga metode obyektif. Contoh: dalam pasal 1
penetapan presiden (PENPRES) no. 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia, di tegaskan bahwa hukuman mati dengan jalan di
tembak. Penafsiran kata “di tembak” di sini secara gramatikal adalah penembakan
pada bagian yang bisa menyebabkan kematian si terhukum,jadi bukan asal
sembarang tembak. Selain itu, dalam pasal 13 ayat 1 KUP, bahwa pengertian
dapat ‟ menerbitkan SKPKB mengandung artian bahwa hal tersebut boleh
dilakukan maupun tidak dilakukan sama sekali.
Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara
lain, ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan:
“Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal-hal sebagai berikut. . .”
Redaksi kata “dapat” disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib,
sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut
bukan merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya
alternatif selain bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang
ada.
2. Penafsiran Sistematis/Dogmatis
Penafsiran Sistematis yaitu penafsiran dengan menghubungkan antarpasal
dalam suatu peraturan hukum serta mengaitkannya dengan pasal-pasal lain dalam
undang-undang. Mengenai contoh dari penafsiran ini sebagai berikut:3
Pengertian tentang “makar” (tindakan yang membahayakan
keamanan/keselamatan Negara) yang diatur dalam pasal 87 KUHP dapat di
jadikan sebagai dasar bagi pasal-pasal lain dalam KUHP yang mengatur
tentang makar .
Pada kalimat “…sebagaimana diatur dalam pasal…” atau “tata cara….diatur
dengan undang-undang”. Terdapat hubungan atau sangkut paut pasal satu
dengan yang lainnya.
DalamUU kepabeanan yakni UU no 17 tahun 2006 pasal 1 : “Kepabeanan
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas
barang yang masuk atau keluar daerah pabean‟ serta pemungutan bea masuk
dan bea keluar ”. Pasal selanjutnya menjelaskan tentang pengertian daerah
pabean, yakni pasal 2. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-
tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di
dalamnya berlaku Undang-Undang ini.
Penafsiran dari pengertian “memenuhi persyaratan” dalam pengajuan surat
keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (4) UU KUP,
haruslah dikaitkan pula dengan pengertian “keterangan tertulis”yang wajib
diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal
Pajak tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau
pemungutan pajak, maka sebenarnya tidak ada hak bagi Direktur
Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan di dalam
pengajuan keberatan.
3. Penafsiran Historis
Penafsiran Historis yaitu penafsiran atas undang-undang berdasarkan
sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Contohnya sebagai berikut:
Dalam dekrit presiden 5 july 1959 di sebutkan bahwa pembentukan lembaga
MPRS dan DPAS akan di selenggarakan dalam waktu yang sesingkat
singkatnya. Dari sisi dekrit presiden tersebut secara historis dapat di tafsirkan
4
bahwa hingga tahun 1959 indonesia belum juga memiliki lembaga MPR dan
DPAB.
Mengenai “pasal pengajuan keberatan”, mengapa demikian? Karena….(salah
satunya dengan disangkut pautkan dengan UU yang lama misalnya)
perkembangan pengertian “pembayaran dalam Masa Pajak dari Pajak
Penghasilan“, dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu
dengan “official assessment “ dimana pembayaran masa berarti “ angsuran
terhadap Surat Ketetapan Pajak Sementara (SKP/s)” yang diterbitkan oleh
fiskus, yang kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya
(akhir tahun). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut
dihapuskan dan diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan
Menghitung Pajak Orang Lain (MPO), di sini pembayaran masa ditentukan
sekian persen (misalnya 2%) dari jumlah peredaran selama satu bulan. Dan
sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983 sistem yang dianut adalah self
assessment, dengan cara penentuan besarnya pembayaran masa yang berbeda.
4. Penafsiran Sosiologis/Teologis
Penafsiran Sosiologis yaitu penafsiran yang didasarkan atas situasi dan
kondisi yang ada di masyarakat. Contoh: Orang yang melakukan penimbunan
barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dapat di tafsirkan sebagai pelaku
tindak pidana ekonomi (kejahatan untuk menghacurkan perekonomian masyarakat),
meskipun tujuan orang itu melakukan penimbunan hanyalah untuk mencari laba
yang sebesar besarnya bagi dirinya. - Selain itu, sekarang sudah ditetapkan
peraturan self assessment dimana SPT diambil sendiri oleh si pembayar pajak.
Contoh lainnya, Syarat-syarat pengajuan keberatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) KUP atau syarat banding
sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) KUP, yang tidak dapat dilakukan
oleh Wajib Pajak yang buta huruf atau buta huruf latin, maka pegawai pajak
yang menanganinya maupun Sekretaris Pengadilan Pajak harus bertindak seolah-
olah sebagai panitera yang menuliskan maksud dari Wajib Pajak dan
membacakannya sebelum Wajib Pajak memberikan cap jarinya.
5. Penafsiran Restriktif dan Ekstensif 5
Penafsiran Restriktif yakni penafsiran yang bersifat membatasi, arti
membatasi disini adalah dengan melakukan penyempitan pengertian.
Contoh dari penafsiran Restriktif: pengertian wajib pajak dalam UU PPh
adalah “subjek pajak yang memiiki objek pajak berupa penghasilan”, sedangkan
menurut UU KUP pengertian wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penafsiran Ekstensif yakni penafsiran yang bersifat memperluas
pengertian.Contoh dari penafsiran ekstensif: hakim menyamakan pencurian listrik
dengan pencurian benda (hal ini dilakukan karena pada jaman dahulu belum ada
listrik, jadi tidak ada UU yang mengatur tentang listrik.
6. Penafsiran Otentik/Resmi/Shahih
Penafsiran Otentik yaitu penafsiran atas suatu ketentuan UU dengan
melihat apa yang telah dijelaskan dalam UU tersebut. Biasanya dalam suatu
undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum, biasanya ada
pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang
telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk
menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan
dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik,
tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.
Contoh: penafsiran terhadap kata “malam” yang di muat dalam pasal 98
KUHP adalah: “masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit”.(bukan
malam yang artinya sebagai bahan untuk membuat lilin). Terminologi inilah yang
dimaksud dengan penafsiran otentik.
7. Penafsiran Analogis
Pebafsiran Analogis yaitu penafsiran yang menganggap suatu suatu hal
yang belum diatur dalam suatu peraturan hukum dianggap/ disamakan dengan hal
yang sudah diatur dalam peraturan hukum. Contoh: aliran listrik yang sebenarnya
bukan barang di anggap sama dengan barang yang dapat di ilhat dan di pegang,
sehingga pencurian aliran listrik tetap dapat di hukum meskipun dalam undang-6
undang masalah puncurian aliran listrik ini tidak diatur, alasanya karena alasanya
untuk mendapatkan aliran listrik tetap di perlukan sejumlah uang atau harus di
bayar dengan sejumlah uang.
Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena
dapat merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap
peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang
pajak yang merupakan aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal
pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara harus diatur undang-undang.
8. Penafsiran A Contrario
Penasfiran A Contrario adalah penafsiran atas ketentuan UU berdasarkan
pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur
dalam UU. Contoh: Pada pasal 4 ayat 3g bahwa “wanita tidak boleh menikah lagi
sebelum waktu 300hari”. Jika menggunakan argumen a contraro, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa laki-laki dibolehkan untuk menikah lagi dalam waktu
kurang dari 300 hari.
Penafsiran Analogi dan penafsiran A Contrario tidak boleh digunakan
sebagai landasan bagi penetapan pidana, karena lebih cenderung merugikan
masyarakat serta menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas
pengaturannya.
Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan
dari Objek PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disetujui oleh Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor
KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran
pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi
tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun
yang belum disahkan Menteri Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a
contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang
belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan
perpajakan atas premi asuransi, yaitu merupakan Objek PPh.
7
Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak
diperbolehkan karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian
dalam hukum yang sudah jelas pengaturnya.
9. Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan
antara ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat
ini, atau ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum asing. Contoh:
Kebijaksanaan yang pernah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir
tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar, sering disebut juga dengan
istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self
assessment sekarang ini.
10. Penafsiran Doktriner
Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat
dari para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya.
Penafsiran ini biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan
pajak.
8
B. Kekosongan Hukum
Definisi Kekosongan Hukum
Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hukum
(rechtsvacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut :
Hukum atau recht (Bld)
Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau
hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan
bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin
keadilan”. Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie”
mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang
bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-
hentinya dengan gejalagejala lainnya”.
Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum” memberikan
pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan
hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib
dalam kehidupan masyarakat”. Dengan peraturan-peraturan hidup disini
dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan
perundangundangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).
Kekosongan atau vacuum (Bld)
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,
“Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau
kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang
diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”. Dari penjelasan
diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai “suatu
keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang
mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum
dalam
1
Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan
undang-undang/peraturan
perundang-undangan”. Mengapa Terjadi? Dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya
memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan
itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh
peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu kekosongan hukum dapat terjadi
karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini
sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu
peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang
dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”.
Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang
berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem
yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya
walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus
diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Akibat apa yang timbul?
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal
atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di
masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum
(rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama
belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah
yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan
apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada
kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang
terjadi.
2
Solusi apabila terjadi kekosongan hukum
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan masyarakat
selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak
masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Hukum yang stabil dan ajeg dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat,
namun hukum yang berjalan ditempat pada kenyataannya akan menjadi hukum
yang usang yang tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat yang acapkali
menimbulkan kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan)
terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya
belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau
sudah usang. Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel
dan mampu mengikuti perkembangan tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terjadinya kekosongan hukum
adalah sebagai berikut :
Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim
Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran
peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran
terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi,
karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak
relevan dengan zaman (out of date).
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok
kekuasaan Kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak
memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan
hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim
harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum diartikan
sebagai
sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lain
penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum
3
dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim
harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena
peraturanperaturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul
dalam masyarakat.
Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka
hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang
sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai
kepastian hukum.
Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan. Walaupun hakim ikut
menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangundangan, namun
kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun
eksekutif (sebagai badan pembentuk perundang-undangan) sebagaimana DPR dan
Pemerintah (Presiden). Keputusan Hakim tidak mempunyai
kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya
berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21
A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang
menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku
sebagai peraturan umum”. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917 KUH
Perdata (B.W.) bahwa “kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal
yang diputuskan dalam keputusan itu”.
Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat
diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundangundangan,
yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945 yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan
bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama”. Pasal 5 UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan pula
bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”
dan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan
4
(political will) dari DPR dan Pemerintah (Presiden) memegang peranan yang
sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu undang-undang (lebih
luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang
tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan
perundang-undangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan
perkembangan di masyarakat.
Lebih lanjut dalam upaya mengatasi kekosongan hukum maka dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses
pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Kemudian dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No. 10
Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Prolegnas itu
sendiri menurut Pasal 1 angka 9 adalah “instrumen perencanaan program
pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan
sistematis”. Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi.
Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-
rencana legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme
program
legislasi yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan juga ada
program legislasi yang dikelola oleh masyarakat (organisasi profesi dan lembaga
swadaya masyarakat).
5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran
Dari penjelasan di atas, diharapkan wajib pajak membayar dengan
tertib dan fiskus mengurus pemungutan dengan tepat. Semoga hakim dan
penegak hukum lainnya dapat melakukan praktik supremasi hukum di
Indonesia dengan baik, adil, dan tepat, terutama mengenai hukum pajak.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak
terdapat kekurangan. Kami selaku penulis makalah meminta maaf serta
mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terciptanya sebuah
makalah yang lebih baik lagi.
C.
6
DAFTAR PUSTAKA
---. Kodifikasi Hukum Dan Interpretasi Hukum.” http://www.academia.edu/514
7635/KODIFIKASI_HUKUM_DAN_INTERPRETASI_HUKUM”,
diakses pada Sabtu, 8 November 2014 pukul 08.00 WIB.
Henrich. Penafsiran Dalam Hukum Pajak. “http://henrich27.blogspot.com/
2013/04/penafsiran-dalam-hukum-pajak.html”, diakses pada Sabtu, 8
November 2014 pukul 08.10 WIB.
Tiara. Dilema Hukuman Mati. “http://tiarramon.wordpress.com/2009/12/13/
dilema-hukuman-mati”, diakses pada Sabtu, 8 November 2014 pukul 07.54 WIB.
Zulvina, Susi. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta.
7