Upload
ngohanh
View
227
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT BETAWI
PASCA REZIM SOEHARTO
Skripsi ini diajukan Kepada Fakultas Usuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana (S1) Politik Islam
Oleh:
M. MAKKI. RAHMANI N.I.M: 0033218889
Dibawah Bimbingan:
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
(Dr. MASYKUR HAKIM, MA) (DRS.H. SAIFUDDIN AMSIR) NIM: 150256937 NIM: 150227884
Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Usuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1425 H/ 2005 M
PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT BETAWI PASCA
REZIM SOEHARTO ini telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Usuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Januari, 2005. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata satu
(S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.
Jakarta 27 Januari, 2005
Ketua Sidang Sekretaris
Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 150 240483 NIP: 150 270808
Angota
Penguji I Penguji II
Nawiruddin, MA. Idris Thaha, M.Si.
NIP: 150 317723 NIP: 150 317965
Dr. Masykur Hakim, MA. Pembimbing I (………….) NIP: 150 256937 Drs. H. Saifuddin Amsir. Pembimbing II (………….) NIP: 150 227884
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………... 9
C. Tujuan Penelitian ………………….…………………………….... 11
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………… 11
E. Metode Penelitian …………………………………………………. 12
F. Sistematika Pembahasan …………………………………………. 14
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Politik ………………………………………………… 16
1. Pengertian Politik Secara Bahasa dan Istilah………………… 16
2. Pengertian Politik Modern ……………………………………. 19
B. Pengertian, Asal Usul Kata Betawi serta Kebudayaan Betawi . 24
1. Pengertian Betawi …………………………………………….. 24
2. Asal Usul Kata Betawi ………………………………………… 26
3. Kebudayaan Betawi …………………………………………... 28
4. Kriteria Betawi dan Orang Betawi ………………………….. 30
C. Penafsiran Politik menurut Orang Betawi ………….................. 32
D. Faktor yang Mempengruhi Pemikiran Politik Orang Betawi.. 36
E. Faktor-faktor yang Mendorong Orang Betawi Berpolitik….... 41
1. Faktor Internal ……………………………………………….. 41
2. Faktor Eksternal ……………………………………………... 42
BAB III. DISKRIPSI BETAWI
A. Sejarah Singkat Lahirnya Komunitas Betawi ………………… 46
B. Sejarah Singkat Kota Jakarta …………………………………. 52
1. Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kalapa ……………………. 52 2. Hasil Bumi dan Komoditi Ekspor Impor Pelabuhan Sunda Kalapa …………………………………………………. 53
3. Keagamaan Masyarakat Sunda Kalapa hingga Penamaan Jayakarta ……………………………………………………… 56
C. Organisasi yang Mewadahi Pemikiran Politik Masyarakat Betawi ……….……………………………………… 59
BAB IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Arah atau Pola Pikir Politik Masyarakat Betawi terhadap Perkembangan Politik Nasional Pasca Soeharto ………………. 62
1. Demokrasi Negara Versus Demokrasi Orang Betawi ……….. 62 2. Basis Ideologi Politik Masyarakat Betawi ...………………….. 68
B. Sumbangan Dokrin Agama Islam dalam Pemikiran
Orang Betawi …………………………………………………. …. 69
C. Treak Record Politik Masyarakat Betawi terhadap Perkembangan Politik Nasional Pasca Rezim Soeharto ………. 72
D. Analisa dan Evaluasi Arah Politik Masyarat Betawi dalam Membangkitkan Semangat Pendidikan Politik dan Perjuangan Semangat Kebangsaan ……………………………………………. 77
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 83
B. Saran-saran ……………………………………………………. 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tiga puluh dua tahun sudah perkembangan kediktatoran dan semangat
korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh para politisi dan birokrasi busuk1 baik dari
tingkat pusat hingga jajaran birokrasi yang ada di daerah-daerah itu sendiri, serta
penempatan Jakarta sebagai totaliter Negara Indonesia lintas sektoral, baik dari sektor
ekonomi, politik, hingga industri, yang keseluruhannya tersentralkan oleh kebijakan
pemerintah pusat (central policy).
Imbas terhadap sistem yang dipegang oleh pemerintahan Soeharto ini secara
sengaja telah melupakan eksistensi daerah sebagai pemasok dana yang sangat besar
untuk pusat, sehingga, yang terjadi adalah pembangunan yang tidak merata dan
diskriminasi sumber daya daerah dan masyarakat daerah yang sangat luar biasa tidak
berimbang dengan pusat. Image tersebut seakan-akan telah lama disuarakan oleh raja
dangdut Indonesia Haji Roma Irama: “Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin
miskin”, akan tetapi hal ini tetap akan terus berulang jika sistem dan pemikiran yang
ada tetap berpegang kepada otoriterianisme dan totaliterianisme penguasa.
Situasi politik seperti ini dianggap sebagai ‘ideology static’ dari politik rezim
Soeharto. Artinya, dalam mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan Soeharto
1 Meutia Farida Swasono, “Jawara Dalam Ravitalisasi Betawi”, Jurnal Betawi Media
Komunikasi Social Budaya. No. 1/Januari 2002, hal. 58
yang dibantu ABRI (alat Negara)2, memasung pemahaman politik yang bebas bagi
masyarakat dengan pemahaman politik telah ia titahkan, yaitu, pemahaman politik
arahan demokrasi Pancasila sebagai azas tungggal, yang katanya sudah mencakup
segala bentuk keragaman dan keuniversalitasan bangsa. Pemahaman politik ini
dengan secara tidak langsung melahirkan kebijakan (pemerintah kala itu) yang tidak
dapat diganggu-gugat -bagaikan titah raja-, dan haram hukumnya bagi masyarakat
keluar jalur atau mempunyai ideologi politik yang berseberangan dengan pemerintah
saat itu,3 ini terbukti dengan banyaknya para tahanan dari kalangan politikus (oposan
pemerintah Orba), dan kritikus, yang sangat berani menentang pemerintah Orde Baru
atau katakanlah mereka memperjuangkan kebenaran arti demokrasi. Hal ini
merupakan percontohan dari buruknya sistem demokrasi terpimpin pada saat itu,
serta berimbas buruk pula bagi pendidikan politik rakyat, dan jika tetap dibiarkan,
nantinya akan menjadi sangat buruk lagi dan menyalahi salah satu asas demokrasi,
yaitu, kebebasan berpendapat atau menuangkan pemikiran dan gagasan.
Adalah suatu ciri politik yang mengedepankan atau menjadikan demokrasi
sebagai pembungkus segala kebijakan pemerintah yang kotor, berbau ‘mob rule’4 dari
segi hukum dan berstatus quo, berjalan hilir mudik dengan leluasanya di hadapan kita
selama tiga dekade, dan sama sekali tidak ada pergerakan-pergerakan massa dari
2 Bakhtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia”, Jurnal Kajian Agama dan
Filsafat. Vol. V No. 2, 2003, hal. 2 3 Abu Zahra., (ed), Politik Demi Tuhan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet. ke-I, h. 133 4 Kata ini adalah istilah dari sentuhan hukum yang tidak merata, artinya ketika Hukum hanya
berlaku kepada rakyat jelata, dan kebalikannya hukum tidak berlaku kepada para pejabat dan orang penting yang ada di Negara tersebut. Maka hal ini disebut dengan ‘Mob Rule’
kalangan apapun yang nyata dalam menentang sistem yang ada kala itu dengan
alasan-alasan yang sekiranya membungkam hasrat ingin bebas. Maka dengan
kebesaran Tuhanlah rezim tersebut tumbang dengan diawalinya kerusuhan di pusat
kota dan beberapa daerah lainnya, serta pergerakan seluruh mahasiswa Indonesia
pada tahun 19985 yang menduduki gedung MPR, serta memberikan petisi yang
bertujuan kepada perombakan sistem pemerintahan yang otoriter tersebut.
Para mahasiswa dengan semangat revolusi membawa bendera reformasi untuk
ditancapkan di sadapan sistem politik yang tidak merakyat itu sebagai aksi anti
otoriterianis, dan militeris, hingga pada klimaksnya penyerahan jabatan secara
“paksa” dari Presiden Soeharto kepada Bahrudin Jusuf Habibie atau akrab dengan
nama B.J. Habibie.
Seiring dengan masa transisi sistem politik Indonesia menuju Indonesia baru,
BJ. Habibie lengser dan kemudian kepada KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa
disapa Gus Dur, kemudian kepada Megawati Soekarno Putri,6 dan kemudian kepada
bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Peralihan itu pulalah -setelah masa pemerintah yang otoriter hilang- akan
tetap tercatat dalam sejarah perpolitikan Negara Indonesia, dan kemudian diganti
dengan era baru, sistem baru dan pejabat pemerintah yang baru pula, dengan harapan
mereka dapat memberikan sebuah wacana menuju Indonesia baru.
5 Bakhtiar Effendy, op. cit., 6 Meutia Farida Swasono, op. cit., hal. 61
Memang kita tidak dapat pungkiri pada masa pra Habibie, pra Gus Dur dan
pra Mega, kondisi Jakarta sangat stabil, makmur, dapat diakui nyaman, dan politik
nasional terbukti stabil7 dan juga pada saat itu Jakarta layak disebut dengan salah satu
penopang kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam segala bentuk kecemerlangan perekonomian dan ke-eksotikan sarana
yang ada di Jakarta sebagai metropolitan Indonesia. Namun, dibalik itu pula Jakarta
menyimpan kepedihan-kepedihan orang-orang yang hidup jauh dibelakang segala
pernak-pernik warna-warni lampu Jakarta. Khazanah kebudayaan setempat seakan-
akan tertutupi atau mungkin terlupakan dengan segala bentuk kemewahannya, belum
lagi kemiskinan dan kebodohan serta minimnya tingkat kepekaan sosial masyarakat
metropolis dalam memperhatikan orang-orang yang hidup di pelosok-pelosok kota
dan dibelakang megahnya hotel pencakar langit yang kekar dan berlantaikan marmer
yang mewah.
Fenomena di atas akan kita temui di Jakarta dan sering kali menjadi bahan
cemoohan orang-orang ‘berduit’, dan pedihnya lagi ternyata tempat yang kecil dan
terpinggirkan dari segala bentuk keeksotikan dan kemewahan kota Jakarta adalah
tempat warga asli Jakarta (Betawi) berdomisili serta meratapi nasib mereka yang
seakan-akan telah terasingkan di kota kelahirannya sendiri dengan segala
keterbalikan dari mewahnya dan megahnya gedung-gedung kota kelahiran mereka.
Tampaknya fenomena ini bukan saja warga asli Jakarta yang mengalaminya
seorang diri, namun nasib yang tragis ini juga dialami warga asli Papua misalnya,
7 Provinsi Republik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara, 1992), h. 202
suatu daerah yang kaya sekali akan emas, tembaga, dan batu besi, akan tetapi ironik
secara faktual jika penduduknya tidak sama sekali mengenal apa yang dinamakan
emas, tembaga, dan batu besi, dan juga mereka tiada merasakan hasil bumi yang
mereka miliki secara natural selama tiga puluh dua tahun pula.8
Pada masa Orde Baru wewenang pengelolaan dan penataan kota atau provinsi
masih dipegang secara sistemik oleh kebijakan pemerintah pusat, sehingga dapat
dikatakan pemerintah pusat sangat berwenang dalam mengintervensi kebijakan
pemerintah daerah dan juga dalam memberikan restu kepada orang yang
dikehendakinya, maka dengan itu pulalah kewenangan harus dituruti secara patuh dan
harus dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau
pemerintahan di tingkat provinsi, KH. Hasyim Muzadi (pasangan Megawati sebagai
calon wakil presiden 2004-2009) mengakui, bahwa pengamalan otonomi daerah
masih belum sepenuhnya dilakukan, maka dari itu proses demokrasi di tingkat daerah
masih sangat tragis, karena masih adanya intervensi yang sangat kuat dari pemerintah
pusat.9 Sebut saja kasus pencalonan Sutiyoso untuk gubernur DKI masa jabatan
1997-2002-2007.
Dalam tiga puluh dua tahun Jakarta tercatat sebagai salah satu provinsi dari 33
provinsi10 yang tersebar di negeri ini, disamping itu entah mengapa tercatat pula putra
daerahnya sendiri belum ada sama sekali yang merasakan bagaimana mengatur dan
8 WWW. Walhi. Or. id 9 Wawancara di ANTV jum’at malam 18-6-2004 10 Sugeng HR, RPUL, (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), (Semarang: Aneka Ilmu,
1-Pebruari-2003) h. 16
mengelola kota kelahirannya dengan semangat dan rancangan-rancangan yang telah
mereka siapkan dalam membangun dan menjayakan kota kelahirannya. Hal ini terjadi
di sebabkan persoalan sumberdaya masyarakat Betawi yang masih rendah dan sikap
antipati mereka terhadap perkembangan politik dalam negeri.
Adalah dimensi waktu yang sangat begitu lama dan Jakarta telah mengalami
beberapa kali berulang tahun, dan sekarang ia telah berumur 477 tahun, maka
bersamaan dengan itu pulalah Jakarta diselingi beberapa pergantian kepala daerah
(gubernur) yang dipilih lima tahun sekali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
apalagi sekarang di abad reformasi dan telah ditetapkannya undang-undang otonomi
daerah nomor 22 tahun 199911 perihal pemerintahan daerah, dan realisasi dari
pengamalan undang-undang ini terhitung 1 Januari 2004 hingga sekarang yang masih
digarap oleh pemerintah daerah, ternyata semangat demokrasi dan reformasi masih
belum dapat dirasakan bagi kalangan warga Jakarta asli (Betawi) dan penduduk
minoritas Jakarta (migran).
Seharusnya dengan kesempatan itu dan atas nama semangat otonomi daerah,
adalah momen yang tepat untuk menampilkan putra daerah setempat menjadi kepala
rumahnya sendiri, yang mana rumahnya tersebut telah lama diberikan kepercayaanya
kepada tamu untuk memimpin rumahnya tersebut. Ini merupakan sifat ciri khas dari
kepribadian seorang Betawi yang selalu ‘well come’ atau ’ahlan wa sahlan’ terhadap
tamunya, sebagai mana yang dikatakan oleh Cing Oji (47) begitu ia disapa:
11 Sugeng HR. Ibid
“Orang Betawi itu orangnye Suka bergaul, jujur, terbuka, agamis, dan ’ahlan wa sahlan’ ame siape aje”12. Sifat ini ternyata telah membuat mereka kebablasan karena telah terlalu lama
mempercayakan sesuatu pada orang lain, dan orang tersebut tidak mempunyai rasa
terima kasih terhadap mereka (orang Betawi). Sehingga pada kenyataanya, dalam
dekade waktu yang begitu lama dan Jakarta telah berumur sangat tua (477 tahun,
melebihi umur negara) tidak sama sekali putra daerah tersebut pernah mengalami
menjadi pemimpin rumahnya sendiri.
Fenomena di atas kalau kita cermati memang sangat tragis dan menjadi bahan
pertanyaan mengapa dan ada apa dengan sistem politik negara ini di abad reformasi,
dan juga sebagai bahan pekerjaan rumah bagi masyarakat Betawi dalam menyikapi
keadaan politik negara ini secara kritis, dan mencari teka-teki sistem pemerintahan
pusat, wa bil khusus pemerintahan daerah, dan lagi-lagi adalah suatu hal yang sangat
mustahil jika anak dari kepala rumah tangga diberikan kesempatan untuk memimpin
rumahnya sendiri ia enggan, jika kesempatan tersebut memang terbuka untuknya.
Suatu catatan penting pada pemilihan bakal calon gubernur 2002 (balon gubernur)
yang lalu, yang diselengarakan oleh pemerintah daerah Jakarta, dengan menggunakan
sistem yang selalu sama yaitu ‘MP’ (Musyawarah untuk Mufakat).
Permasalahan ini sangat mengecewakan, karena tidak ada transparansi politik
bagi para balon yang lainnya yang berasal dari putra daerah yang jauh lebih baik
mempunyai kridebilitas dan akuntabilitas publik maupun politik dimata masyarakat
12 Kong Fauzi, Sesepuh Betawi Rempoa, Wawancara Pribadi, Jakarta 11 Oktober 2004
lapisan bawah (grassroat people) maupun lapisan menengah dibanding Sutiyoso,
adapun mereka yang mencalonkan di antaranya Prof. DR. Tuti Alawiyah, Drs.
Ridwan Saidi dan Dr. Abdur Razak, serta kawan-kawan Betawi lainnya, yang telah
sah mengikuti prosedur pencalonan balon Gubernur DKI. Hal ini membuat sebuah
pertanyaan yang sangat besar, dan pertanyaannya adalah, kemana aspirasi mayarakat
Betawi yang berjumlah 2 juta itu, yang pada umumnya mereka (masyarakat Betawi)
menginginkan putra daerah menjadi kepala daerahnya sendiri (Gubernur)?.
Memang kalau dilihat dari garis sejarah politik (political historis) sebelum dan sejak zaman Jendral Jan Pieterszon Coen (1619), orang-orang Betawi mengambil jarak yang sangat jauh dengan politik, upaya ini mereka ambil akibat tromatik politik mereka pada masa yang lalu, sehingga mereka mangambil sikap ‘disengegament’ terhadap politik, langkah seperti ini telah lama mereka lakukan karena kebencian mereka terhadap penjajah, (dalam hal ini adalah Belanda) dan dengan segala macam yang mereka bawa, seperti yang dikatakan oleh Haji Muhyidin (74), “Sampe belajar tulis eja itu di haromin ame orang tue dulu kite”. 13 Hal ini masih berbekas disebagian orang-orang Betawi (pengikut aliran Nahdlatul Ulama), karena tulis eja itu berasal dari Belanda dan dianggap Kristen, maka menurut mereka haram untuk dipelajari. Transformasi pendidikan bacaan dan komunikasi pada kalangan orang Betawi saat itu adalah dengan mengunakan bahasa Melayu, adapun gaya tulisan yang mereka gunakan adalah dengan tulisan yang bercirikhaskan Arab Melayu, mengapa, karena menurut mereka sarana seperti inilah yang dianjurkan oleh agama.
Adapun karir politik masyarakat Betawi pada masa kolonial lebih sering
mengambil sikap oposan terhadap pemerintah berkuasa pada saat itu daripada ikut
bermain dalam politik kompeni, sikap ini juga didorong oleh farktor doktrin agama
yang mengharamkan mengikuti orang asing (non-Muslim) dan perintah taat kepada
aturan orang tua, karena sangsi yang akan mereka dapatkan ketika melawan aturan
orang tua adalah ‘kualat’.14
Dari rangkaian permasalahan yang telah diungkapkan diatas, khususnya
kondisi sistem politik pemerintah belakangan ini, serta melirik akan adanya
kemungkinan respon dari masyarakat Betawi sekarang atas sikap politik
13 H. Muhyidin, Sesepuh Betawi Senayan, Wawancara Pribadi, Jakarta 3 september 2003 14 Kualat dalam penafsiaran orang Betawi adalah, mendapat musibah yang buruk dalam
kehidupannya akibat melawan perintah orang tua dan agama
pemerintahnya, dan sebagaimana lumrah kita ketahui dalam pola sistem politik akan
adanya input, proses, serta output yang pada akhirnya menghasilkan sebuah umpan
balik. Maka dari itu penulis merasa tertarik dengan dilema politik yang terjadi dan
mencoba mengangkatnya dalam sebuah skripsi, dengan harapan dapat membuka
cakrawala pengetahuan politik masyarakat Betawi pada khususnya dan masyarakat
Jakarta pada umumnya diera reformasi dan demokrasi ini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi pelebaran masalah dalam kajian penelitan politik ini, maka
penulis membatasi masalah politik yang hanya dialami oleh masyarakat Betawi. Serta
dibatasi pula masalah tersebut setelah atau pasca keruntuhan presiden Soeharto pada
tahun 1999 hingga sekarang. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat Betawi
adalah masyarakat dengan jumlah populitas tertentu yang telah sangat lama menetap
di Betawi (kota Jakarta), sehingga mereka mempunyai garis keturunan lebih dari lima
generasi, dan mereka juga mempunyai karakteristik budaya, bahasa, dan ciri khas
tersendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pemikiran politik disini adalah sangat
luas penafsirannya, namun penulis membatasi kepada pemikiran politik yang
bernuansa islami yang sejak lama ada pada diri dan benak pikiran masyarakat Betawi.
2. Perumusan Masalah
Masalah penelitian yang diangkat penulis dalam skripsi ini adalah pemikiran
politik masyarakat Betawi pasca ‘rezim Soeharto’. Masalah tersebut dirangkum dan
dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa langkah-langka politik yang akan mereka ambil diera
reformasi dan keterbukaan ini setelah hampir 32 tahun tidak
pernah diberikan kesempatan.
2. Sejauh mana interes masyarakat Betawi terhadap perkembangan
politik setelah tumbangnya rezim Soeharto.
3. Apakah mungkin masyarakat Betawi sangat agresif terhadap
politik setelah runtuhnya rezim otoriter atau malah sebaliknya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan skipsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui corak dan pemikiran atau penafsiran politik dalam
persepsi masyarakat Betawi.
2. Untuk mengetahui apakah ada gerakan pemikiran dan pergerakan
politik masyarakat Betawi setelah pemerintahan otoriter musnah.
3. Mengevaluasi pergerakan politik masyarakat Betawi secara jeneral,
atau apa yang telah dilakukan masyarakat Betawi dalam kaitannya
dengan pembangunan kota Jakarta setelah kepemerintahan Soeharto.
4. Untuk mengetahui apakah sepenuhnya apakah masyarakat Betawi
mempunyai keinginan dalam berpolitik praktis.
5. Untuk memberikan sebagian pengalaman dari penelitian ini kepada
masyarakat umum dan mahasiswa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan (input) bagi
kegiatan-kegiatan akademik yang berkenaan dengan pemikiran politik kesukuan atau
kedaerahan di Indonesia. Selain itu juga penelitian ini bermanfaat sebagai masukan
penting yang bersifat ilmiyah, dan juga sebagai sumbangsih untuk masyarakat Jakarta
umumnya dan masyarakat Betawi pada khususnya, guna dijadikan sebagai salah satu
bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut yang mengangkat masalah dibidang
pemikiran politik.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian pemikiran politik masyarakat Betawi pasca rezim Soeharto ini, penulis menggunakan arah dan metode serta sasaran yang jelas, maka diperlukan beberapa metode yang mendukung penelitian ini antara lain:
1. Metode Diskriftif
Untuk mencapai tujuan dari penulisan ini maksud penulis melakukan langkah
langkah sebagai berikut, antara lain:
b. Mengumpulkan informasi secara aktual dan rinci yang berkenaan
dengan situasi yang ada.
c. Mengindentifikasi masalah atau melakukan pemeriksaan secara
koperhensif terhadap prektek-prektek lapangan yang berlaku.
d. Mencermati sikap masyarakat Betawi terhadap masalah politik yang
sedang terjadi, dan belajar dari pengalaman mereka yang menerapkan
rencana-rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
2. Metode Pengumpulan Data
1. Library Research (penelitian kepustakaan), yang digunakan untuk
memperoleh data-data sekunder melalui:
a. Leteratur-leteratur tentang keBetawian yang berkaitan erat dengan
topik permasalahan.
b. Data perkembangan masyarakat Betawi yang diperoleh dari dirjen
lembaga kebudayaan Betawi (LKB) dan organisasi pusat masyarakat
Betawi (Bamus Betawi)
2. Field Reseach (penelitian lapangan), yang akan memperkuat data-data
sekunder berikutnya, melalui:
a. Wawancara dengan para politikus Betawi.
b. Wawancara dengan para tokoh, sesepuh, dan ulama besar Betawi.
c. Wawancara dengan masyarakat Betawi lapisan bawah.
d. Wawancara dengan tokoh organisasi-organisasi Betawi.
D. Sistematika Pembahasan
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II Landasan Teori
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Pengertian Politik.
Pengertian Betawi secara umum, Penafsiaran politik dalam
pemikiran orang Betawi, Manajemen dan Sistem pemikiran
politik orang Betawi, Faktor-faktor yang mendorong
Masyarakat Betawi berpolitik.
BAB III Diskripsi Betawi
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Sejarah singkat lahirnya
komunitas Betawi, Sejarah singkat kota Jakarta, organisasi-
organisasi yang mewadahi pemikiran politik masyarakat
Betawi.
BAB IV Analisa dan Pembahasan
Dalam bab ini akan dibahas prihal: Arah atau pola pikir
masyarakat Betawi terhadap politik pemerintah daerah maupun
pusat, perkembangan pengaruh mitos doktrin agama terhadap
pemikiran politik masyarakat Betawi, Track record politik
masyarakat Betawi terhadap perkembangan politik nasional
pasca Soeharto, Analisa dan Evaluasi politik masyarakat
Betawi dalam membangkitkan semangan pendidikan politik
dan perjuangan semangat kebangsaan.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan dari pembahasan
pada bab-bab sebelumnya. Juga di dalamnya memuat saran-
saran yang kiranya bermanfaat umumnya bagi bangsa
Indonesia dan masyarakat Betawi khususnya.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Politik
1. Pengertian Politik Secara Bahasa dan Istilah
Dalam suatu kajian pemikiran apalagi yang berkenaan dengan kajian pemikiran
ilmiyah yang bersifat kualitatif deskriptif, yaitu suatu kajian yang didalamnya
membutuhkan prangkat seperti wawancara, laporan penelitian kutipan-kutipan data
yang didalamnya mencangkup penegertian-pengertian tentang data yang dapat
memperkuat penelitian tersebut.15 Seperti pemikiran politik masyarakat Betawi pasca
rezim Soeharto dengan landasan kajian sosial kemasyarakatan16, dan salah satu dari
pendukung kajian tersebut diperlukannya pengertian-pengertian yang kiranya dapat
mepermudah suatu kajian tersebut agar tidak melebar atau salah dalam melakukan
suatu penafsiran dan penjabarannya ketika kita kolerasikan dengan kajian tersebut.
Dengan adanya pengertian, maka kiranya telah dapat memberikan gambaran yang
menjurus dan terfokus kepada pokok yang akan dipermasalahkan atau dikaji.
Seperti yang kita ketahui bahwa kata politik berasal dari kata ‘polis’, yang
berarti masyarakat kota, seperti apa yang telah diungkapkan oleh Plato (429-
347).17Pengertian ini adalah dasar dari pengertian ilmu politik secara bahasa, adapun
ilmu politik dalam istilanya adalah suatu ilmu yang mempelajari sistem (susunan),
15 Ahmad Sonhadji, Bahan-Bahan Kuliah Metode Penelitian, (Malang: Universitas Islam
Malang), h. 3 16 Ahmad Sonhadji. Ibid., h. 2 17 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2000), cet ke-VI, h. 3
bentuk, dan proses pembentukan suatu Negara dan pemerintahan (“The study of
formation, form and processes of states and governments”). 18
Dalam diri politik dibutuhkan adanya suatu susunan negara yang sistemik dan
kongkrit, dan masyarakat kota (polis) hadir menjadi satu kesatuan di dalamnya, dan
fungsi dari susunan yang sistemik tersebut adalah untuk mengatur kehidupan
masyarakat kota menuju kehidupan yang teratur dan sejahtera di dalam Negara.
Tentunya hal ini tidaklah dapat berjalan secara natural begitu saja, apabila, menurut
pandangan Plato, tidak didukung oleh adanya perangkat hokum yang jelas, baik
hukum secara yuridis maupun dalam pandangan normative,19 seperti etika bergaul
antara individu dengan individu yang lain atau individu dengan kelompok, bahkan
kelompok dengan individu, oleh karenanya hukum disini yang berguna lebih spesifik
dan esensial dalam mengatur kehidupan masyarakat kota tersebut, dan hukum
tersebut juga dapat dikatakan sebagai bagian dari politik.
Berbeda orang berbeda pula keyakinanya, adalah Aristoteles (384-322) murid
Plato yang mempunyai perbedaan keyakinan dalam hal yang berkenaan dengan
penafsiaran politik, pandangannya tentang politik meyakinkan bahwa:
“Manusia adalah makhluk politik (zoon politikon) …yang dapat mencapai kesempurnaan hanya didalam masyarakat dan negara.20
Tentunya hal ini harus dibubuhi oleh pandangan Plato yang telah menerangkan pengertian dari politik atau polis (masyarakat kota), namun Aristoteles lebih menekankan kepada adanya kekuatan supremasi hukum, yang menurutnya di dalam suatu negara entah itu menganut sistem demokrasi, otokrasi ataupun yang lainnya, hukum tetap yang harus
18 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), cet ke-I, h. 19 19 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Ibid., h. 7-9 20 Deliar Noer. Ibid., h. 28
diletakkan di atas segala-galanya, karena dengan tegaknya atau minimal dengan adanya aturan-aturan, maka masyarakat kota akan dapat tertib dalam melakukan segala aktifitasnya.21
Jika kita tarik sebuah pengertian dari kedua pemikir besar politik di atas menjadi sebagai berikut, bahwa pernyataan Plato sang guru yang telah menggambarkan suatu susunan yang sistemik yang tentunya ada hanya dalam suatu negara, dan sedangkan Aristoteles sang murid mengatakan tentang pentingnya prilaku hubungan masyarakat dengan mentaati hukum (konstitusi) yang berlaku sebagai aksi politik mereka terhadap negara. Maka dalam pengertian inilah politik mempunyai arti yang sangat signifikan, yang berguna sebagai pengabadikan masyarakat kota terhadap Negara.
Seiring dengan perkembangan pemikiran dan terjadinya pengalaman-pengalaman yang menyatakan suatu yang ambivelen (perbedaan pengertian politik dan pelaksanaan atau aksi politik) terhadap padangan dasar politik menurut Plato dan Aristoteles di atas, maka adalah kemungkinan besar di sini suatu ilmu yang mempunyai sifat bebas nilai menjadi mempunyai nilai. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat perubahan pola pikir manusia yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang bersifat individualis, matrealis dan semu daripada pemikiran yang universal (masalahah jam’I), dan abadi. Perilaku ini medorong akan pengertian persamaan arti politik dengan kepentingan, yang pada akhirnya terjadi suatu kebiasaan yang telah membudaya dalam politik, yaitu budaya mempreoritaskan kepentingan daripada persahabatan dan kemaslahatan antara para pelaku politik, sehingga timbul sebuah persepsi yang menyatakan: “di dalam politik ada kawan abadi ataupun musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Pandangan ini adalah pandangan politik jahiliyah.22
Pada era kekinian pengertian politik yang seperti diungkapkan di ataslah (tidak ada kawan abadi atau musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi) yang berlaku, pengertian yang bertumpu pada perinsip-prinsip dasar moral sebagaimana yang telah dititahkan para pendahulu politik tidak lagi diindahkan oleh para aktor politik pada masa modern.
2. Pengertian Politik Modern
Mayoritas ahli politik kekinian berpendapat bahwa politik adalah ilmu tentang kekuasaan,23 hal ini merupakan tujuan baku (objek formal) dari politik, dan pandangan yang seperti ini menurut Maurice Duverger, politik mempunyai satu keunggulan yang lebih mendasar dibandingkan dengan ilmu yang lainnya, yaitu karena ia lebih operasional.24
Pandangan Maurice Duverger ini merupakan salah satu dari pengertian-pengertian politik yang secara langsung melegalkan politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, bagaimana tidak, jika ada sesuatu kendaraan dalam meraih kekuasaan, baik dengan suatu tindakan yang bermoral, ataupun kotor sekalipun, yang penting disini adalah keabsahan dan legalitas menuju kepentingan tersebut dan kekuasaan, mengapa tidak digunakan.
Dalam pengertian yang lebih moderat yang lebih menjurus kepada esensi dan eksistensi dari politik tersebut adalah pandangan Edward Hallet Carr dalam tulisannya yang diberi judul ‘Awal Mula Ilmu Politik dan Ilmu Internasional’ menerangkan:25
“Keinginan mengobati penyakit dalam tubuh politik memberi dorongan dan inspisrasi pada ilmu politik. “Kehendak melahirkan pemikiran” adalah permulaan manusia yang berfikir secara normal.
…Ilmu politik adalah ilmu yang tidak hanya bertaya apakah ini apakah itu, apakah yang seharusnya berlaku”
pandangan ini telah menggambarkan suatu objek atau sasaran yang seharusnya dari politik itu sendiri seperti apa yang dikatakan Aristo teles: “Apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan”,26 dan juga didalamnya tersiratkan norma-norma yang seharusnya berlaku, dalam artian, ketika sesuatu komunitas masyarakat tidak menghendaki adanya sistem politik yang kotor yang mengeruk kekuasaan secara otoriter dan radikal, maka hal tersebut adalah wajib dijauhkan karena tidak sesuai dengan apa yang seharusnya berlaku pada masyarakat tersebut, atau dengan kata lain adanya kontrak sosial antara para politikus dan masyarakat sebagai penghantar kedepan roda pemerintahan.
Pada kalangan bangsa Arab politik dikenal dengan nama As-Siyasy yang dalam pengertiannya menurut Dr. Syaukat Muhammad I’liyan adalah bentuk kata masdar (sandaran) yang menunjukkan kepada suatu pekerjaan, contohnya, “telah
21 Deliar Noer. Ibid., h. 32 22 Nurcholis Majid, (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) cet. ke-
3, h. 125-127 23 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Daniel Dhakidae, trej, (Jakarta: PT GajaGrafindo
Persada, 1996), cet. ke-V, h. VIII 24 Maurice Duverger. Ibid. 25 Frans Bona Sihombing, (ed), Ilmu Politik Internasional, (Teori, konsep, dan Sistem),
(Jakarta: Ghahlia Indonesia, 1984), cet. ke-II, h.14 26 Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (PT. Gramedia: Jakarta, 1999), cet. ke-IV, h. 1
memimpin seorang pemimpin akan yang dipimpin” (rakyat),27 (pengertian Dr. Syaukat sepertinya menyerupai Edward Hallet Carr) tidak hanya pada kata dasar dari arti politik saja, disamping itu politik menurut pandangannya menjadi tiga bagian yaitu, pertama politik konstitusi, artinya didalam politik ini terdapat ruang untuk menentukan bentuk hukum yang kemudian diikat dengan kekuasaan politik. Yang kedua implementasi politik yang mempunyai hubungan dengan pelaksanaan politik, dan yang terakhir adalah kebijakan politik, yakni suatu kesimpulan dalam menjatuhkan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang akan sampai kepada rakyat.
Pengertian Dr. Syaukat ini dapat pula disebut dengan pola sistem politik, yang mengandung di dalamnya Input, Proses, dan Output yang akan pada akhirnya menjadi umpan balik atas input tersebut. Dalam suatu Negara input ini sering diartikan dengan masyarakat, organisasi, dan lembaga swadaya atau yang sejenisnya, yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah para wakil rakyat yang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat, dan dari merekalah keluar suatu output atau yang sering diartikan sebagai kebijakan (policy) yang akan dikembalikan kepada peng-input tadi.
Disamping itu pula As-Siyasy mempunyai pengertian lain, seperti dalam pandangan As Syekh Abdurrahman Taaj,28
“ As-Siyasah (politik) adalah suatu nama dari perangkat-perangkat hukum, dan juga ia sebagai implementasi dari palaksanaan hukum itu sendiri, yang mengatur rakyat dalam aturan-aturannya (konstitusi politik) dan dengan jalanya (kebijakan politik), serta pelaksanaan putusan hukuman itu sendiri (output), dan didalam kekuasaannya (politik) melakukan terobosan-terobosan dan keparlemenan, terobosan yang dimaksud adalah berhubungan dengan politik luar negeri yang secara dengan sendirinya telah mengikatnya demi kepentingan-kepentingan umat (rakyat)”.
Pengertiaan politik seperti ini yang sering dipakai oleh negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Iran, Saudi Arabia, Kuwait, dan Sudan era kekinian walupun ngara tersebut tidak menjalankan sistem demokrasi yang sedang marak sekarang ini29, dimana didalam kontitusi negara ini selalu mengedepankan kemaslahatan kepada ummat daripada kepentingan pribadinya, sebagaimanna dikatakan oleh agama Islam, “kepentingan bersama harus dikedepankan dari pada kepentingan pribadi”30.
Selain itu tututan dalam menjalankan syariat agama Islam, salah satunya dengan menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara-negara muslim di Timur Tengah ini merupakan salah satu kewajiban politik, sebagai amanah dari Tuhan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barang siapa yang tidak menggunakan kitab Allah sebagai landasan konstitusi (hukum), maka mereka adalah orang-orang yang kafir, zhalim, fasik” (Qs. Al-Maidah; 47,48,50)31
Dari penegertian-pengertian politik yang telah diungkapkan oleh para pemikir politik baik dari Barat maupun Timur diatas, maka kita dapat mengambil bahan keterangan yang jelas yang berguna nantinya sebagai bahan pijakan dalam kajian ini, yang tentunya kita dapat mengerti setelah mendapatkan lawan32 pemahaman dari para pemikir politik diatas, ada pemikir yang mengartikan politik sebagai kepentingan pribadi dan ada juga pemikir yang mengedepankan kepentingan umum, walaupun dari masing-masing pemikir mempunyai landasan yang kuat.
Berbagai pengertian yang telah dikemukakan para ahli politik modern Barat maupun Timur di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, yaitu, pertama politik sebagai alat menuju kekuasaan yang legal, dengan cara memaksa atau tidak dalam pengoprasiannya, dan yang kedua sebagai hukum yang sistemik yang berguna untuk mengatur dan mengajarkan kehidupan manusia dengan manusia yang lainnya dalam suatu negara, atau manusia dengan negara itu sendiri, hal ini berguna agar dapat saling berinteraksi menuju kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi,33 ini yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk lainnya, yang telah menjalankan kehidupannya sesuai fitrah34 sebagaimana yang telah digariskan oleh Tuhan. Pengertian politik dalam dua kesimpulan diatas menurut penulis adalah menjadikan makna politik menjadi balans, karena kekuasaan tanpa dibekali dengan sistem yang jelas, maka kekuasaan tersebut akan menjadi brutal
27 Syaukat Muhammad I’liyan, An-Nizam As-Siyasi Fil Islam, (Riyad: Jami’ Hukuk
Mahfuzhat lil Mualif), h.7 28 Syaukat Muhammad I’liyan. Ibid. 29 Ramlan Surbakti, op. cit., h. 231 30 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (SA’ADIYAH PUTRA: Jakarta), h. 16 31 Ahmad Bin Hasan At Thabarih, Fathur Rahman, Lithalibat Ayatil al-Qur’an, (Bairut: Al
Mathba’ah Ahliyah, 1323), h. 112 32 Muhdhor Achmad, Ilmu dan Keinginan Tahu, (Epistemologi dalam Filsafat), (Bandung:
TRIGENDA KARYA, 1994), cet. I, h. 23 33 Nurcholis Majid, (ed), op. cit., h. 124-125 34 Deliar Noer, op. cit., h. 28-29
dan otoriter, sebaliknya sistem yang jelas tanpa didorong dengan kekuasaan tidak akan berjalan, 35 maka ia akan menjadi isapan jempol belaka.
B. Pengertian, Asal Usul Kata Serta Kebudayaan Betawi
1. Pengertian Betawi
Kalau kita melihat masyarakat Jakarta dalam perpektif nasional, maka penduduk Jakarta secara keseluruhan merupakan orang Betawi, namun jika ditarik kedalam perspektif kultural, maka orang Betawi adalah orang dengan jumlah tertentu yang memiliki norma, sistem sosial, dan tingkah laku tersendiri, dan tentunya mereka telah lama menetap di Jakarta. Adapun Betawi dalam pandangan politikus besar Betawi Dr. H. Amrullah Asbah:36
“Orang dapat dikatakan sebagai orang Betawi jika ia lama hidup di Betawi (jabotabek) dan tidak bisa berbahasa kecuali bahasa Betawi, selain itu ia konsisten dengan betawinya, artinya jika ia mengadakan acara seperti perkawinan, maka acara tersebut diselenggarakan dengan menggunakan adat Betawi.”
Betawi adalah suku asli yang menempati pertama kalinya kota Jakarta atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Sunda kelapa. Suku Betawi juga termasuk suku tertua yang ada di negeri ini, jadi mereka bukanlah suku yang baru-baru saja muncul atau istilah Bang Ridwan Saidi adalah, ‘suku yang tulangnya masih muda’.37
Suku Betawi ini pada mulanya adalah suatu suku yang kehidupannya hanya mengandalkan persaudaraan sesama mereka saja (eksplisit), --Maka tidak heran kalau di kampung-kampung yang ada di Jakarta ini terdapat masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih mempunyai hubungan darah (famili), seperti kaum Betawi di jalan Senopati (Senayan)-- artinya mereka sangat tertutup terhadap pendatang, khususnya terhadap penjajah dan dengan apa yang mereka (penjajah) bawa. Ini disebabkan karena mereka mengalami ‘political disengegament’ terhadap keadaan politik, dan hal ini pulalah yang menyebabkan mereka egaliter dan terbuka dengan siapa saja (lihat kondisi suku Betawi kontemporer), namun tidak untuk apa saja.
Pada dasarnya mereka mepunyai sikap egaliter yang tinggi terhadap sesama, hal ini didasari kuat oleh nilai-nilai agama, selain itu juga sikap ini timbul disebabkan Jakarta (kekinian) telah dihuni oleh beragam etnis. Maka dengan nilai-nilai agamalah yang menjadi pegangan yang kuat, masyarakat Betawi dapat memilah-milah mana yang mubah menurut agama, dan mana yang diharamkan agama.
Keeksplisitan mereka ternyata tidak lagi mereka gunakan, terutama sejak proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan di negara Indonesia pada tahun 1945, Maka seiring dengan itu kaum Betawi membaur dengan para pendatang, pembauran tersebut terjadi semata-mata mengatasnamakan persaudaraan sesama manusia, apalagi sesama muslim, sebagaimana yang dianjurkan oleh agama mereka (suku Betawi). Untuk lebih dalam lagi kita mengenal Betawi, maka alangkah baiknya jika Betawi ini diberikan suatu pengertian, sebagaimana pemberian pengertian kepada kata politik yang telah lalu diatas, supaya tidak terjadi penerangan yang keliru terhadap asal-usul Betawi yang sekarang banyak disalahkaprahkan pengertiannya.
2. Asal Usul Kata Betawi
Banyak orang yang memberikan persepsi kata Betawi, salah satunya menyatakan bahwa kata Betawi, katanya, diambil dari kata Batavia yang bertepatan dengan masuknya para kompeni dan budak-budak bawaan Jendral Jan Pieterszon Coen (30 Mei 1619) ke Sunda kelapa,38 pengertian kata Betawi seperti ini merupakan kekeliruan data sejarah yang sangat besar. Menurut sejarawan sekaligus pemikir politik Betawi Drs. Ridwan Saidi, menerangkan, bahwa penamaan Betawi itu sudah muncul jauh sebelum Jendral Jan Pieterszon Coen 1619 hadir ditanah Jakarta dan berambisi untuk membangun kota, maka dengan kemunculan Pieterszon Coen Jakarta dinamakan olehnya dengan nama Batavia.
Menurut Dr. H. Amrullah Asbah:
35 Basofi Sudirman, Lepas Malam, (Jakarta: TRANS TV, 13-10-04) 36 Amrullah Asbah, Wawancara Pribadi, Jakarta 28 Desember 2004 37 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya,
(Jakarta: PT. Gunara Kata, 2004), cet. Ke-4. h. vii 38 Persepsi ini diungkapkan Prof. DR. Lerisa sebagai penyaji sejarah Betawi, pada suatu acara
seminar di pusat studi Jepang Univesitas Indonesia (UI) 28-29 Juni 2004
“Menurut sejarahnya kata betawi diambil kata Fatawi, dimana fatawi ini adalah nama dari suatu golongan (kaum) yang terdiri dari 40 orang, orang-orang ini adalah para pembawa fatwa dari panglima Fatahilah, dari 40 orang ini dibagi menjadi lima bagian yang mana pembagian tersebut sesuai dengan proporsi keahlian mereka. Ada ahli setrategi, alhi politik, mata-mata, ekonomi, dan agama.
Mereka manyatakan diri mereka senagai kaum fatawi, orang betawi menyebutnya dengan kaum betawi, dengan mengubah fa’ menjadi be’.”
Kalau melihat sumber dari sejarawan Jawa Raden Arya Sastradarma yang pernah meneliti sejarah Jakarta mengatakan: 39
“…orang-orang ini (Betawi) sejak 1865 telah menamakan dirinnya sebagai orang Betawi bercampur dengan sebutan orang selam. Tetapi penyebutan nama selam ini telah lama tidak dipakai oleh orang Betawi sendiri…”
sebelum adanya penamaan Betawi 1865 orang-orang melayu (Muslim) Jakarta
mempunyai sebutan khusus dari para pendatang, baik orang Cina, Arab, bahkan
Eropa sekalipun mereka menyebut orang-orang Melayu Jakarta ini dengan sebutan
orang selam, mengapa mereka disebut dengan nama selam, karena para kaum Melayu
Jakarta ini kebanyakan memeluk agama Islam. Kata selam sendiri diambil dari kata
Islam, penamaan ini masih mereka pakai sampai kira-kira awal abad ke-19, dan
setelah itu mereka orang-orang Betawi lebih sering menyebut mereka sebagai orang
Betawi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Yasmine Zaki Shahab dalam kutipan artikel
yang berjudul ‘ Betawi Dalam Jumlah Dan Permasalahannya’, menegaskan bahwa:
“Kepopuleran istilah Betawi sangat tinggi pada tahun 1970-an hingga sekarang, dan pada umumnya mereka menyebut diri mereka sebagai orang Betawi. Sebelum ini, penduduk asli Jakarta mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu”
begitu pula ulama-ulama dan keturunan-keturunan Betawi, yang pada umumnya
mereka lebih suka menamai akhir dari nama mereka dengan Betawi daripada selam.
Betawi dalam tulisan arabnya al-Batawi, dengan mengubah penyebutan huruf ‘T’
dalam bahasa Indonesia dengan ‘Ta’ (huruf Arab) didalam penulisan dan
39 Ridwan Saidi. Ibid., h.14
penyebutannya, yang sering dipergunakan oleh ulama-ulama Betawi sebagai nama
akhir mereka. Seperti Mu’alim Marzuki al-Batawi dan Syeik Junaid al-Batawi.
Melihat dari alur faktual dan kultural orang Betawi yang sangat kesukuan
(kuat dengan nama Betawinya) dan agamis, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
akan penamaan Betawi, bahwa penamaan Betawi ini muncul bukan karena kota
Batavia (Jakarta) yang dinamakan oleh orang Belanda, melihat kebencian mereka
terhadap para penjajah dan sikap keeksplisitan mereka dan juga mereka membenci
dengan apa yang dibawa oleh Belanda, atau pengaruh yang lainnya. Akan tetapi
penamaan tersebut muncul akibat konsensus yang berjalan begitu saja yang tentunya
mempunyai kaitan dengan sikap nasionalaisme dan agama yang mereka anut.
3. Kebudayaan Betawi
Warna dasar budaya Betawi adalah budaya Melayu tetapi karena letak
geografisnya di kelilingi budaya Jawa Barat, maka pengaruh daerah tersebut cukup
dominan (lihat Banjarmasin Pos, 14 Juli 1986). Selanjutnya budaya Betawi banyak
juga dipengaruhi budaya Jawa yang dapat dilihat dari adanya berbagai jenis kesenian
wayang. Budaya-budaya lain yang juga mempengaruhi budaya Betawi adalah budaya
Bali, Bugis, Cina, Arab dan Eropa. Pengaruh dari budaya-budaya tersebut dapat
disaksikan pada bentuk-bentuk kesenian Betawi seperti topeng, lenong, tanjidor,
rebana dan lain-lain (Dinas Kebudayaan DKI, 1995).
kebudayan Betawi dalan hal seperti ini sering disebut dengan kebudayaan
‘mailthingpot’, artinya mereka (orang-orang Betawi) mengambil kebudayaan mereka
dari para imigran yang datang ke negeri mereka, baik imigran Arab, Cina, Bugis
(Bali), ataupun Eropa seperti yang diungkap diatas. Atas dasar demikian mereka
mencampur-baurkan kebudayaan para imigran menjadi kebudayaan Betawi, yang
tentunya pengadopsian tersebut tidak secara penuh artinya hanya setengah-setengah.
Akulturasi budaya orang-orang Betawi ini sangat intens sekali hingga Batavia
berubah nama menjadi Jakarta.40 Hal tersebut terjadi karena orang Betawi tidak
mempunyai raja, senopati atau yang lain sebagainya, dan juga disebabkan mereka
tidak mepunyai ‘lenskip’ atau kraton yang menjadi ‘base’ otoritas kebudayaanya,41
tidak seperti orang keturunan kerajaan Majapait, Demak, Cirebon atau Keraton.
Akibat dari pengadopsian yang setengah-setengah dan mereka tidak
mempunyai Istana kerajaan tertentu, pada akhirnya orang Betawi berbondong-
bondong menjadikan Islam sebagai leanskip kebudayaan mereka, manakala
kebudayaan tersebut tidak sesuai dengan khazanah Islam, maka orang Betawi
meninggalkannya dengan segera.42
Selain itu pula orang Betawi tidak mengenal akan adanya klasifikasi sosial,
priayi atau abangan, atau strata sosial seperti orang hindu, lagi-lagi gambaran derajat
kemanusiaan yang dianggap terhormat yang ada dalam kehidupan orang Betawi
adalah agama dan keterampilan ‘maen pukul’43 (seni beladiri Betawi) seseorang.
40 Ridwan Saidi. Ibid., h. 165 41 Muhammad Rafiudin, “Ulama dan Kepemimpinan Politik Tinjauan Praktek Politik KH.
Zainuddin MZ”, Skipsi S1, (UIN Jakarta, 2004), h. 13-14 42 Yasmine Zaki Shahab,”Lenong”, Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No.
1/Januari 2002, op. cit., h. 23 43 Tulisan ‘MAEN’diambil dari ucapan lisan orang Betawi.
Ketika seseorang telah memahami agama secara baik, maka ia akan mempunyai
kedudukan yang terhormat dimata masyarakat Betawi, begitu juga orang yang
mempunyai keterampilan maen pukul sampai-sampai tidak ada tandingannya juga
disegani oleh orang Betawi44, ini adalah model kepemimpinan masyarakat Betawi
yang masih tetap terjaga hingga hari ini.
4. Kriteria Betawi dan Orang Betawi.
Bamus BETAWI sebagai landasan besar organisasi Betawi yang didirikan
pada tanggal 22 juni tahun 1982, telah menyepakati pengertian Betawi yang
terangkum dalam angaran dasar dan rumah tangga organisasi tersebut (AD/ART
Badan Musyawarah Masyarakat Betawi).
Dalam AD/ART Bamus BETAWI BAB V KEMASYARAKATAN DAN
KRITERIA BETAWI, pada pasal 8 tentang kemasyarakatan di jelaskan, bahwa
pengertian Betawi adalah:
“Penduduk inti kota Jakarta yang hidup secara turun temurun serta memiliki karakteristik kebudayaan sendiri (kebudayaan Betawi)”. Maka dari itu jelas sudah siapa dan apa yang disebut dengan Betawi, oleh
karenanya penamaan dan justifikasi Betawi yang keliru telah dapat diluruskan dengan
pengertian dan keterangan Betawi dari segi historis dan kultur mereka yang telah di
ungkapkan penulis diatas.
Pada pasal berikutnya berkaitan dengan kemasayarakatan dan kriteria orang
Betawi. Sebagai mana yang telah dirapatkan Bamus Betawi prihal masyarakat dan
44 Ridwan Saidi, op. cit., h. 86-90
kriteria orang Betawi, maka Bamus Betawi memutuskan kriteria orang Betawi
menjadi sebagai berikut:45
1. Keturunan Betawi asli (Bapak atau Ibunya orang Betawi). 2. Salah satu Orang tua (Bapak/Ibu) atau (Kakek/Nenek) keturunan
Betawi. 3. Lahir di Jakarta dan sekitarnya. 4. Orang yang peduli dan rela mengabdikan dirinya untuk masyarakat
Betawi (termasuk suku lain yang lahir di Betawi). 5. Orang yang berjasa dan bermanfaat bagi orang Betawi (di sini
termasuk pula para gubernur yang pernah dan sedang memerintah Jakarta).
6. Orang yang mengakui dan diakui oleh masyarakat atau ormas Betawi sebagai orang Betawi.
7. Mengakui dan menerima budaya Betawi serta melestarikanya.
Keputusan yang telah dibuat oleh Bamus Betawi yang tertuangkan dalam AD/
ART-nya diatas adalah merupakan pengertian Betawi dan pengertian orang betawi
bukan dilihat dari aspek nasionalaisme, namun Bamus melihatnya dari aspek kultural
yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat Betawi yang tersebar di kota Jakarta
dan sekitarnya. Kemungkinan besar dari kesepakatan tersebut adalah merupakan
lisensi sebuah keabsahan pengertian Betawi dan orang Betawi secara mutlak dan
tidak dapat diganggu gugat.
C. Penafsiran Politik Menurut Orang Betawi
Penafsiaran politik yang berkembang pada umumnya adalah menyatakan
bahwa politik adalah ilmu tentang sistem kenegaraan dan pemerintahan46 atau:47
45 Sumber Bamus BETAWI Gedung CIK’S Jl. Cikini Raya No 84-86, Jakarta Pusat. AD/ART
Badan Musyawarah Masyarakat Betawi 2002 46 Inu Kencana Syafiie, op. cit., 47 Ramlan Surbakti, op. cit., h. 3
“Politik dalam pengertiannya terkandung tujuan dan etika masyarakat yang jelas. Berpolitik bicara atau membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama.”
Gambaran ini tentulah bersumberkan dari pelbagai buku dan sedikit dimuatkan di
dalamnya pengamatan-pengamatan di lapangan yang ada. Sedangkan politik dalam
penafsiran orang betawi lebih banyak kepada pengetian politik sebagai aksi, salah
satunya sebagaimana yang diutarakan oleh sesepuh kaum Betawi Rempoa Cing Oji
(46) begitu dia disapa kalangan pemuda Rempoa dan jalan Limo Cinere.
Dalam benak pikiran Cing Oji, dia menafsirkan bahwa politik itu, upaya
mendapatkan sesuatu, atau dalam bahasa Betawinya sering dibilang ‘orang nyang
mikirin jeroan perutnye (kepentingan dunyawi) ame kelompoknye aje’, artinya ketika
seseorang terjun kedalam dunia politik, maka pastinya ia akan berusaha mendapatkan
apa yang ia inginkan supaya isi kepentingan dunianya terpenuhi, dan politik
menurutnya salah satu wadah yang dapat mengabulkan kepentingan duniawi.
Penafsiran politik Cing Oji ini lebih kepada praktik-praktik politik praktis
para kaum elit (aksi poltik), sehingga praktik tersebut dirasakan oleh Cing Oji.
Tentunya penafsiran Cing Oji berbeda dari penafsiaran politik sebagai ilmu
pendidikan ilmiyah (political scientific education) yang telah diungkapkan pada
pengertian politik yang telah lewat di atas.
Adapaun politik menurut penafsiaran Haji Zayadi Musa (53),48 berdasarkan
kepada hasil pengamatan beliau semasa menjabat sebagai anggota DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) fraksi PPP, adalah sebagai berikut:
“Politik adalah suatu metode “membunuh atau dibunuh”, dalam artian, ketika seseorang berkecimpung kedalam dunia politik maka ia harus membenamkan segala kepentingan yang tidak sangat penting untuk pribadinya dan kelompok, dan kepentingan pribadi serta kelompok -yang sekarang terreplesentasikan dengan sebuah partai- harus ada dan harus diutamakan dari pada kepentingan yang lainnya,… …disinilah kotornya politik, dan disini pulalah metode membunuh atau dibunuh itu bermain, (walaupun sesama orang Betawi) akan tetapi sekalipun politik itu kotor dan kejam, saya mau tidak mau harus dijalani karena sistem dan aturannya sudah begitu”. Uraian H. Zayadi ini adalah sebuah kenyataan politik yang ia alami ketika
anggota parlemen daerah ingin memutuskan suatu kebijakan yang berkenaan dengan
permasalahan daerah, dalam hal ini masalah-masalah yang berada di Jakarta, dan
terlebih lagi pada saat terjadinya proses pemilihan gubernur DKI. 2002-2007 yang
telah berlalu, sehingga putra daerah yang mencalonkan sebagai balon Gubernur 2002-
2007 terlululantahkan begitu saja akibat kekalahan proporsi dari jumlah anggota yang
pro Sutiyoso dari yang anti Sutiyoso.
Dari uraian pemikiran politik menurut kedua tokoh ini, seakan-akan
mengakomodir persepsi politik menurut orang Betawi kalangan bawah dan
menengah. Kita telah menyimak, disatu pihak Cing Oji sebagai bagian dari rakyat
kecil yang selalu mengamati keadaan negara, dan mengandalkan pengalaman dan
pengamatanya sebagai dalil logis Cing Oji yang mengatakan politik merupakan suatu
48 Zayadi Musa, Sesepuh Betawi Cipete, Jakarta Selatan (Mantan Anggota DPRD preode 1999-2004), Wawancara Pribadi, Jakarta 20 Oktober 2004
keinginan, sedangkan H. Zayadi, salah satu anak Betawi yang pernah berkecimpung
dan merasakan jahat dan mempesonanya dunia politik, dan yang mengatas namakan
rakyat Betawi kalangan menengah mengatakan, ia (politik) metode “dibunuh atau
membunuh” dalam memperjuangkan kepentingan. Dua pandangan tersebut di atas
yang seakan-akan mengambarkan suatu realita politik praktis yang tengah berjalan di
negeri ini, dan seakan-akan mengklaim politik sebagai sesuatu yang kotor menurut
orang Betawi.
Pandangan mereka (H. Zayadi dan Cing Oji) terhadap pengertian politik jauh
mengenai kajian teoritisnya yang tidak pernah sekali-kali mengajarkan bagaimana
meraih kekuasaan dan mempertahankan kepentingan politik, apalagi politik Islam
yang syarat akan pesan-pesan Ilahiyat, namun jika kita kembalikan kepada fakta
politik yang berada dilapangan yang tengah berlaku sekarang, hal tersebut
(memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok dalam politik) adalah telah
menjadi suatu yang lumrah dalam dunia politik praktis.
Dari contoh kasus yang mereka gambarkan yang kurang lebih adalah sama,
yaitu persoalan pemilihan gubernur DKI dan kebijakan yang berkenaan dengan
rakyat kecil. Menurut H. Zayadi dalam persoalan gubernur ini telah terjadi kompromi
politik dan kepentingan kekuasaan akibat aturan politik yang ada, bayangkan jika
didalam parlemen daerah jumlah orang Betawi dapat dihitung dengan jari, sedangkan
jumlah anggota parlemen yang berasal dari tanah Jakarta hanya 7 persen dari jumlah
parlemen secara keseluruhan, apakah mungkin mereka akan menang, apalagi jika
diambil voting, ini sangat bermasalah, dan adapun jalan penyelesaiannya adalah
perubahan sistem dan aturan pemilihan gubernur yang ada sekarang, begitu menurut
Bapak H. Zayadi. Hal ini pulalah (jumlah 7% dari gabungan masyarakat Betawi yang
duduk di DPRD, dan aturan-aturan yang berlaku di dalam pemilihan balon gubernur)
yang menyebabkan putra daerah tidak berksempatan menjadi gubernur, sehingga
Cing Oji mensinyalir akan adanya pengambilan kekuasaan orang pribumi atas tanah
kelahirannya. Pada kenyataannya kita telah mengetahui banyak orang Betawi yang
telah mejabat menjadi kepala di tingkat Rt atau Rw hingga Lurah bahkan Walikota,
namun menjabat sebagai seorang gubernur DKI merupakan hal yang masih
diperjuang orang Betawi, akan tetapi hal ini tidak akan tercapai jika masyarakat
Betawi tidak mempunyai kualitas yang memadai dibidang politik dan yang lainnya,
sehingga mereka harus benar-benar sadar bahwa masih banyak yang harus mereka
benahi.
Problematika seperti ini merupakan persoalan yang sangat krusisal, yang
sampai saat ini yang masih didiskusikan oleh kalangan cendikiawan dan para sesepuh
politik Betawi untuk mendobrak ketertinggalan masyarakat Betawi dalam segala hal
terhadap para tamu-tamunya.
Adapun politik menurut pandangan KH. Asmuni Rahman ulama senopati49
mengatakan bahwa:
“Politik dalam segi kata yang benar (kata umum orang Betawi sering ucapkan) adalah mengelitik orang, sehingga orang tersebut menjadi tepesona
49 Asmuni Rahman, Sesepuh dan ulama Betawi Senopati, Jakarta Selatan, Wawancara
Pribadi, Jakarta 1 Desember 2004
dengan kita, adapun dalam segi bahasa arabnya sering disebut dengan kata asyasah atau siasat, artinya bagaimana manusia atau orang tersebut dapat mensiasati suatu perkara kepada orang lain dengan maksud hanya ia dan Allah yang mengetahuinya. …adapun kita orang Betawi jangan pernah melakukan penyiasatan kecuali dalam keadaan yang hak”.
Pendapat KH. Asmuni ini lebih menekankan kepada pesan agama, dimana
agama telah berpesan kepada kita bahwa ‘sebaik-baiknya manusia adalah yang lebih
memberikan manfaatnya kepada manusia bukan sebaliknya’. Dalam penafsiaran KH.
Asmuni politik adalah sesuatu yang natural yang dapat dipraktikkan tanpa harus
belajar, karena manusia telah mempunyai potensi tersebut. Kalangan orang tua
Betawi umumnya lebih cenderung untuk memprektikkan petuah KH. Asmuni, dengan
kata lain jika anda bekerja, dan dengan pekerjaan tersebut merugikan orang lain maka
tinggalkanlah pekerjaan tersebut atau anda berdosa.
D. Faktor-faktor yang Mempengruhi Pemikiran Politik Orang Betawi
Orang Betawi seperti yang telah diungkapkan KH. Asmuni Rahman (67)
Ulama Betawi kelahiran Senayan tersebut yang mempunyai pemikiran tersendiri
tentang politik. Dasar dari pemikiran yang dilakukan KH. Asmuni dan orang Betawi
lainnya adalah berdasarkan keyakinan, kepastian, dan kesungguhan50 yang mereka
alami.
Dalam benak KH. Asmuni menyatakan bahwa, politik mengelitik orang atau
mensiasati permasalahan. Dalam ungkapannya terjadi dua pengertian dan dua
maksud. Maksud dan mengertian yang pertama yaitu mengelitik orang, disini
50 Muhdhor Achmad, op. cit., h.39
tersiratkan petunjuk untuk menaklukan manusia (‘how to tame human’) dengan
segala macam cara, yang pastinya harus mengunakan ajaran-ajaran agama, contohnya
sejarah perjuangan nabi Muhammad melawan orang kafir. Yang kedua maksud
mensiasati permasalahan adalah menjadikan suatu perkara yang dialami dirinya atau
orang lain menjadi tepecahkan upaya menghilangkan rasa putus asa sebagaimana
dilarang oleh agama, pemikiran ini semua sangat berkaitan sekali dengan interaksi
sosial orang Betawi dengan orang Betawi dan orang Betawi dengan non Betawi.
Pengaruh pemikiran tersebut di atas sangat terkait dengan perkembangan
manajemen --sedangkan defenisi dari manajemen sendiri adalah untuk mengatur,
untuk menangani, untuk mengkontrol dan untuk membimbing51-- kesehari-harian
mereka yang merdeka, ‘well come’, atau ‘ahlan wa’ sahlan’, menerima apa adanya
dan egaliter, oleh karenanya mereka tidak ingin ditunggangi orang lain atau
menunggangi orang lain. Hal seperti ini disebabkan oleh karena orang Betawi
menginginkan kebebasan yang mereka miliki tidak terhalangi, kebebasan orang
Betawi dapat dilihat dari prilaku dan bahasa mereka yang tidak mempunyai pringkat
penggunaan, kecuali moral dan etika berbicara ketika berhadapan dengan orang yang
lebih tua.
Ketika seorang ibu dari orang Betawi mengandung anaknya, maka hal yang
pertama ia lakukan adalah memberikan nasehat dan wejangan kepada anaknya, dan
hal ini akan terus berlanjut sampai sang anak lahir di dunia, setelah anak ini
51 E.K. Mochtar Efendy, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan aJaran Islam, (Jakarta:
Bharatara Askara, 1996), cet. ke-2, h. 6
mengalami masa kanak-kanak maka mitos-mitos seperti ‘hati-hati jangan keluar di
waktu magrib nanti di makan kalong wewe’, maksudnya supaya anak itu takut dan
tetap di rumah, adajuga ‘jangan duduk di meje entar kakinye pateh’, maksudnya jaga
sopan santun. Mitos seperti ini diberikan kepada anak-anak sebagai antisipasi dalam
bersikap, dan prilakunya. Pada saat itu pula dokrin-dokrin agama diberikan kepada
anak-anak Betawi dalam upaya membentuk akhlak seorang anak Betawi.
Prinsip moral dan etika dalam agama orang Betawi adalah jauh lebih kuat
diatas kekuatan materi dan yang lainnya. Sebagai contoh iklan motor Honda yang
diperankan oleh aktor kelahiran Betawi Mandra yang berperan sebagai satpam lalu
lintas. Dari contoh tersebut dapat dikenal bahwa moral dan prilaku atau sikap seorang
Mandra terhadap para pengendara motor yang notabene pemuda menjadi sopan
ketika ia behadapan dengan seorang haji yang juga mengendarai motor, dan dari
sinilah kita mengetahui sikap moral orang Betawi yang dipengruhi kuat atas nasehat
orang tua dan dokrin agama.
Permasalahan dan contoh yang telah diutarakan penulis diatas adalah
merupakan suatu pengaruh pemikiran dan tindakan yang dapat mempengaruhi
manajemen pemikiran serta prilaku orang Betawi secara keseluruhan yang
merupakan arti atau maksud dari manajemen tersebut, yaitu dengan mengunakan
sumberdaya mereka yang efektif untuk mencapai sasaran,52 dan hal tersebut dapat
terangkum menjadi empat bagian berikut:
52 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1997), cet. ke-9, h.
623
1. Nasihat orang tua
2. Mitos
3. Dokrin agama
4. Moral atau orang Betawi lebih mengenalnnya dengan sebutan akhlak
Berdasarkan pengamatan atas pemikiran orang Betawi ada di atas yang terdiri atas empat unsur tersebut, maka dari itu kita dapat mengetahui dengan mudah manakala pemikiran tersebut dikorelasikan menjadi pemikiran politik orang Betawi
Pada dasarnya pola pikir atau unsur logika manusia dapat terjadi dalam tiga unsur, dan tiga unsur terebut adalah merupakan kegiatan akal budi manusia dalam melakukan suatu pemikiran dan tiga unsur tersebut yaitu: Pertama pengertian, artiya ia menangkap sesuatu masukan seperti apa adanya, yang kedua keputusan, dengan membuat suatu pernyataan sikap apakah yang ia telah dapatkan akan digunakan atau ditindak lanjuti, dan yang terakhir adalah penuturan, hal ini merupakan suatu hasil final dari pernyataan yang telah ia ungkapkan.53.
Tiga pola pikir atau unsur logika manusia tersebut merupakan dasar manusia dalam melakukan sebuah pemikiran yang akan diutarakan, dan dengan itu pulalah manusia dapat mengaktualisasikannya dengan suatu tindakan-tindakan mereka. Hal ini sangat berkaitan erat sekali dengan latar belakang budaya mereka yang sering menggunakan akal atau rasio dalam bertintak.
Ketika masyarakat Betawi ingin melakukan sebuah pemikiran politik, maka yang lebih diutamakan adalah adanya sebuah korelasi nasehat orang tua mereka dengan pengalaman hidup yang mereka miliki, dengan itu mereka melakukan suatu pemikiran berikutnya, kemudian yang kedua adanya pengaruh yang sangat kuat atas diri mereka yang semua itu sangat berkaitan dengan mitos-mitos yang pernah diucapkan atau dipringati oleh orang tua mereka. Mitos tersebut akan tetap berbekas dalam benak fikiran mereka kapanpun dimanapun walau mereka telah mengalami pendidikan yang modern.
Adapun tahapan pemikiran orang Betawi selanjutnya adalah filterisasi diri dari yang pernah orang Betawi dapat dari orang tuanya yang berupa nasehat dan mitos-mitos, dan filterisasi tersebut adalah dengan pendidikan agama, yang pada akhirnya membentuk sebuah karekter seorang Betawi yang berakhlakul karimah serta membuat mental keimanan mereka laksana baja, maka dari itu Almarhum Buya HAMKA salut dengan akhlak dan pengamalan agama orang Betawi.54 Perumpamaan tersebut menurut Dhofier Hamam Gastama, MA, seorang dosen Universitas Azzahra,
53 Muhdhor Achmad. Ibid., h. 45 54 Alwi Shahab, op. cit., h. 11
adalah merupakan pembentukan sistem budaya Islam yang sangat kuat dalam karakter masyarakat Islam, dan pembentukan tersebut harus mempunyai keempat unsur berikut :
1. Sifat spiritual/ ilahiyyat.
2. Rasional.
3. Perpaduan antara sifat rasional dan spiritual.
4. Ilmu pengetahuan yang dapat dipadukan dengan rasio dan spirit.
Oleh karena itu seringkali orang Betawi melakuan suatu pemikiran dan tindakan pada diri mereka dengan melalui proses-proses di atas, dan juga tindakan atau pemikiran mereka mengenai politik. Proses ini semua adalah merupakan sebuah sistem pemikiran yang merasuki pemikiran politik kebanyakan orang Betawi, dan hal ini pulalah yang menyebabkan orang betawi kekinian tidak banyak yang konsern dalam politik nasional.
E. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Betawi Berpolitik 1. Faktor Iternal
Ada dua faktor penting masyarakat Betawi untuk bangkit dari keterpurukan
mereka, yaitu faktor iternal (di dalam diri masyarakat Betawi) dan eksternal (di luar
diri masyarakat Betawi). Adapu faktor yang pertama yang mendorong masyarakat
Betawi berpolitik adalah di dalam diri masyarakat Betawi mulai sadar akan
pentingnya ilmu yang berkaitan dengan pendidikan (umum dan agama). Selain itu
mereka juga sadar akan hambatan kemampuan mengaktualisasikan budaya mereka
sendiri dalam meningkatkan pengembangan SDM masyarakat Betawi. Hal ini telah
lama diutarakan oleh ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) Rahmat HS:
“Masyarakat Betawi harus melek sekolah, harus melek yang namanya politik, harus melek yang namanya ekonomi, supaya punya daya saing. Kita lebih unggul kalau kita levelnya sama, karena kita lebih tahu Jakarta, secara psikologi kita lebih PD (Percaya Diri)”
Yang kedua, dirasakannya ketidak adilan yang dialami orang Betawi, yang
menurut mereka (orang Betawi), hal ini terjadi akibat sikap ototriter pemerintah pusat
dan daerah terhadap masyarakat pribumi yang dirampas hak-hak mereka begitu saja.
Seperti penggusuran-penggusuran perkampungan milik pribumi, dengan alasan
kepentingan Negara, dan yang ketiga adalah telah dirasakannya ketidak nyaman
kehidupan mereka di tanah kelahiran mereka yang disebabkan pengusuran hak milik
mereka yang ada di Jakarta.
2. Faktor Eksternal
Factor ini merupakan pionir kesempatan mereka untuk bangkit dari
keterpurukan. Adapaun faktor tersebut diawali dengan munculnya gerakan
pembaharuan melalui perubahan strategi pengembangan SDM bagi masyarakat
Betawi, mengingat mereka tidak hidup seperti zaman kompeni lagi, dan upaya
menghidar dari kemungkinan hilangannya sejarah Betawi (dalam istilah orang Betawi
disebut dengan ‘kematian obor’) bagi para generasi Betawi berikutnya, maka gerakan
pembaharuan tersebut membentuk semisal Badan Musyawarah Masyarakat Betawi
(1982) dan organisasi-organisasi kedaerahan Betawi lainnya yang bergerak dibidang
sosial dan politik, yang dapat mengakomodir aspirasi masyarakat Betawi dan dapat
mensosialisasikan keBetawian terhadap para pendatang, serta kiranya dapat
membawa masyarakat Betawi maninggalkan ketertinggalan mereka terhadap etnis
lain dari berbagai hal, baik ekonomi, sosial, budaya, serta politik, dan obor mereka
tertap berkobar-kobar sampai ke generasi Betawi selanjutnya.
Ditetapkannya undang-undang otonomi daerah nomor 22 tahun 1999 dan
uluran Pemda DKI dan Bamus Betawi untuk berpartisipasi dalam pembangunan DKI,
yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat orang Betawi
atas kampung halamannya sendiri. Undang-undang ini merupakan peluang yang
sangat penting bagi masyarakat Betawi untuk meningkatkan kreatifitas dan SDM
mereka kedepan, upaya menjadi tuan dirumahnya sendiri. Terjadi peristiwa sejarah
yang memunculkan arus reformasi pada tahun 1998 dengan segala dampaknya, yang
menggugah masyarakat Betawi untuk menjaga “kampung”nya sendiri dari kerusuhan
dan kebinasaan yang dipicu oleh pihak-pihak yang lebih mengutamakan
kepentingannya sendiri atau kelompoknya daripada kepentingan rakyat banyak.
Dengan pristiwa tersebut adalah merupakan peluang masyarakat Betawi untuk
menjadi sadar dan bangkit untuk menjaga secara penuh “kampungnya”, serta
menunjukkan kepemilikannya terhadap para perusuh.
Dimasa yang akan datang, peranan masyarakat Betawi dibidang politik
nantinya akan banyak lagi bagian dari mereka yang berkecimpung di parlemen, baik
ditingkat pusat atau daerah yang dapat memberikan masukan-masukan yang penting
kepada pemerintah yang berkenaan dengan kemajuan masyarakat Betawi dan kota
Jakarta.
Adapun di bidang keamanan tentu diharapkan untuk benar-benar berfungsi
sebagai pengayom ibukota dari hal yang tidak di inginkan, selain itu menjalin
kerjasama yang solid antara mereka (masyarakat Betawi) dengan aparat keamanan
dan Pemda DKI. Dengan berpedoman pada nilai-nilai budaya Betawi yang pada
dasarnya tidak menyukai kekerasan kecuali bila terdesak, diharapkan pula bahwa
kerja sama itu dapat membuahkan hasil yang diharapkan.
Salah satunya adalah tercapainya tindakan penertiban yang bersifat lebih
manusiawi dan kemasyarakatan, terwujudnya disiplin sosial dan politik yang lebih
baik, dan keamanan negara, khususnya keamanan ibukota negara ini akan menjadi
lebih terjamin, maka dari itu muncullah organisasi-organisasi yang mewadahi
keamanan ibukota dibawah bimbingan oraganisasi besar orang Betawi (Bamus
Betawi), yang kurang lebih ada 73 organisasi yang tersebar di seantero Betawi,
seperti Forum Betawi Rempug (FBR), Forum komunikasi Anak Betawi (FORKABI),
Ikatan Betawi Asli (Ikbas), Forum Pemuda Betawi (FPB), Persatuan Wanita Betawi
(PWB) dan yang sejenisnya. Keberadaan oraganisasi ini sangat terasa manfaatnya
bagi kepentingan masyarakat ibukota pada umumnya, khususnya masyarakat Betawi.
Faktor-faktor yang telah disebutkan diatas merupakan keadaan yang ada di
lapangan sekarang, di mana masyarakat Betawi telah sadar akan kelemahan mereka
selama ini dibandingkan dengan para pendatang. Seiring dengan perubahan kebijakan
pemerintah dan dengan adanya pengusuran-pengusuran lahan yang mereka miliki dan
dengan itu mereka menjadi semakin tepinggirkan dari tanah kelahiran, dan ternyata
hal tersebut membuat masyarakat Betawi sadar akan pentingnya sebuah pendidikan
bagi generasi Batawi yang akan datang agar tidak kehilangan obor (sejarah Betawi)
.
BAB III DISKRIPSI BETAWI
A. Sejarah Singkat Lahirnya Komunitas Betawi
Setelah kota Sunda kalapa diduduki Jenderal Pieter zoon Coen dan berubah
nama menjadi Batavia (30 Mei 1619), bersamaan hal itu Jenderal juga membawa para
tahanan perang keBatavia untuk dijadikan pekerja paksa. Tujuan Jenderal setelah
menaklukkan kalapa adalah untuk menjadikan Batavia sebagai sentral kegiatan para
kompeni atau VOC, selain itu ia juga dijadikan Batavia sebagai tandingan kota
Malaka.55 Orang-orang Cina (abad ke-17-18) dan Eropa merupakan penduduk utama
yang dibiarkan oleh Jenderal menjadi penduduk kota Batavia, kedatangan orang asing
ketanah air tidak beserta para harim-harim56 mereka -kecuali para imigran Cina- oleh
karenanya mereka membutuhkan para pekerja (budak) termasuk juga orang-orang
Cina untuk dijadikan harim mereka atau gundik.57
Imigran pertama di kota Batavia selain bekas para pasukan Jayakarta yang
berasal dari tanah air adalah orang Banda (Maluku Selatan) pada tahun 1612 yang
merupakan tawanan kompeni, orang-orang Banda ini diangkut keBatavia lantaran
mereka melawan kompeni ketika ambisi perniagaan cengkeh yang mereka miliki
dimonopoli oleh kompeni. Setelah orang-orang Banda barulah disusul orang-orang
Melayu, Bali, Bugis, Ambon, yang diantaranya mereka ada juga sebagai tawanan
55 Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, (Jakarta: REPUBLIKA 2002), cet ke-II, h. 24 56 Dalam bahasa Betawi Tanah Abang, khsusnya orang keturunan Arab, harim menurut
mereka artinya adalah seorang istri. Adapun bagi kalangan muda mereka disebut sebagai pacar, contohnya, “ini harim ane”, artinya ini istri saya atau pacar saya.
57 Alwi Shahab. Ibid., h. 74
Kompeni yang dibawa keBatavia. Selain imigran pribumi ada juga imigran asing dari
India selatan (orang Moors) yang beragama Islam yang hendak melakukan aktifitas
perniagaan mereka di kota Batavia. Seperti yang terdata dalam table 1 sensus tahun
1673, 1815 dan 1893 dibawah.
Disamping mereka (orang Cina, Banda dan yang lainnya), Jenderal Pieter
zoon dengan pasukan kompeninya juga mendatangkan para pekerja58 dari sebelah
Timur Indonesia, Bali, dan dari luar Indonesia, di antaranya dari pantai Koromandel,
dan diantara para pekerja tersebut ada yang merupakan tawanan perang Jenderal yang
terdiri dari orang-orang Portugis (orang Betawi menyebut mereka sebagai orang
Peringgi) setelah ia (Jenderal) memenangkan kekuasaan orang-orang Portugis
(1641)59, selain itu juga ada yang berasal dari tanah air seperti orang-orang Banda
tadi.
Para tawanan yang dibawa oleh kompeni tidak ditempatkan sembarang
tempat, artinya kompeni tidak membiarkan mereka untuk membaur dengn pnduduk
setempat, melainkan mereka terisolasi disudut-sudut kota Batavia. Seperti budak
yang berasal dari Portugis yang ditempatkan di Desa Tugu, Cilincing Jakarta Utara,
Jalan Merdeka, kota Depok sampai Kreo,60 dan dari sekian para tawanan kompeni
tersebut mayoritas dari mereka adalah non-muslim, dengan kata lain dan melihat
58 Persepsi kata “pekerja” dalam sejarah merupakan kata yang dapat diinterpretsikan secara
bebas, ia dapat diartikan sebagai budak paksaan atau pekerja profesional tergandung seberapa besar data dalam kajian sejarah yang dimiliki. Meneurut Dr. Yasmin Zaki Shahab, “Ketika seseorang melakukan penelitian kasus sejarah, maka orang tersebut membuatnya sesuai dengan back round keilmuan yang dimiliki, dan selinitu pula ia mempunyai maksud dan tujuan tertentu”.
59 Alwi Shahab. Ibid., h. 21 60 Ridwan Saidi, op. cit., h. 16
sejarah pangeran Jayakarta (Fatahilah) yang muslim dan para pasukannya yang juga
muslim itu nampakanya terjadi kesenjangan pergaulan diantara mereka dengan para
kaum batawiyin.
Setelah penaklukan kalapa (22 Juni 1527) oleh Fatahilah dan para kaum
Jayakarta dan tentara gabungan Banten serta Cerbon bawaannya ini mereka menetap
di Jayakarta, sampai VOC merebutnya kembali (30 mei 1619),61 sehingga mereka
mempunyai ‘political disengagment’ yang dapat melatarbelakangi mereka untuk
tidak mempunyai rasa memiliki, dan pada kenyataannya mereka hanya sebagai para
penonton (‘watcher’) yang tidak ikut andil dalam permainan terhadap segala kejadian
yang disebabkan oleh pihak manapun di kota Jayakarta, hal ini yang melandasi sikap
egaliter mereka, dan orang-orang inilah yang disebut dengan orang Betawi62.
Sampai dengan awal abad ke-19, unsur terpenting penduduk Jakarta adalah
golongan pekerja dan golongan Cina. Tetapi pada akhir abad ke-19 golongan pekerja
itu bercampur menjadi satu kepada kelompok penduduk yang dikenal sebagai orang
Betawi tadi, atau penduduk asli kota Jakarta (pembauran tersebut hanya sebatas
muslim dengan muslim dan serani dengan serani63). Jumlah keseluruhan mereka
(orang Betawi dan para pekerja) setelah mengalami pembauran adalah merupakan
jumlah penduduk terbesar di antara golongan lain yang ada di kota Betawi yakni
Arab, Cina, dan Eropa (lihat FS-UI, 1976/77:3).
61 Keterangan Amrullah Asbah pada penulis (Selasa 28-12-20004) 62 Ridwan Saidi. Ibid., h. 71-72 63 Orang-orang Tugu yang non muslim menyebut agama Nasrani dengan sebutan Serani.
Tabel 1 Sensus penduduk Jakarta pada tahun 1673, 1815 dan 1893
Sumber Lance Castles, 1969:15
1673 1815 1893 1 2 3 4
1. Eropa 2750 2028 9017 2. Cina 2747 11584 26569 3. Mardjikers 5362 - - 4. Arab - 318 - 5. Moors - 119 2842 6. Jawa (termasuk Sunda) 6339 3331 - 7. Kelompok Sulawesi Selatan - 4139 - 8. Bali 981 7720 - 9. Sumbawa - 232 72.241 10 Ambon dan Banda - 82 - 11 Melayu 611 3155 - 12 Budak 13278 14249 -
Selanjutnya juga disebutkan bahwa, kawasan kepulauan jawa merupakan
pemasok sumber migrasi manusia paling besar ke kota Jakarta, dan menurut sensus
tahun 1930, kurang lebih 64.3 % penduduk Jakarta adalah kelahiran kota Jakarta, dan
36.7 % lagi kelahiran luar kota Jakarta yang unsur terbesarnya dari para imigran
tersebut adalah para kelahiran Jawa dan Sunda. Seperti hasil olahan Dr. Yasmin Zaki
Shahab dalam tebel ke-2 yang bersumber dari Lance Castles, diatas. Dan dalam tabel
berikut beliau menyebutkan jumlah besarnya para imigran Jawa dan Sunda yang
dimulai sejak tahun 1930 telah menetap ditanah Betawi dan sekitarnya dan menjadi
penduduk Betawi dalam perspektif nasionalisme, dan olahan tersebut menjadi sebagai
berikut:
Tabel 2
Pesebaran penduduk Batavia tahun 1930
1 2 SENSUS
1930 3
4 ESTIMASI 5 6
1. Suku Bangsa Jumlah % Jumlah % 2. Betawi 419.800 64.3 655.400 22.9 3. Sunda 150.300 24.5 952.500 32.8 4. Jawa 60.000 9.2 737.700 25.4 5. Aceh - - 5.200 0.2 6. Batak 1.300 0.2 28.900 1.0 7. Minangkabau 3.202 0.5 60.100 2.1 8. Sumatra
Selatan 800 0.1 34.900 1.2
9. Banjar - - 4.800 0.2 10. Sulawesi
Selatan - - 17.200 0.6
11. Sulawesi Utara 3.800 0.6 21.000 0.7 12. Maluku dan
Irian 2.000 0.3 11.800 0.4
13. NTT - - 4.800 0.2 14. NTB - - 1.300 0.0 15. Bali - - 1.900 0.1 16. Melayu 5.300 0.8 19.800 0.3 17. TOTAL 653.400 100.0 2.906.500 100.0
Tabel ini menunjukkan bahwa penduduk Jakarta pada tahun 1930 telah
tersebar menjadi beberapa bagian suku, yang mereka semua menempati Jakarta,
selain dari suku asli Jakarta (suku Betawi). Suku-suku yang tercantum dalam sensus
ini hanya menggambarkan empat belas suku saja, namun dapat dijadikan sebagai
gambaran sensus yang akan dilakukan pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam urutan jumlah pada sensus tersebut suku Betawi menempati uturan
ketiga setelah suku Jawa dan Sunda, dan pada sensus tahun 2000 jumlah orang
Betawi meningkat 4.8% jika pendekatan yang digunakan oleh Castles mendekati
kebenaran untuk tahun 1961 berjumlah 22.9%, seperti pada pada tebel 3 dibawah ini:
Tabel 3
Pesebaran penduduk Jakarta Menurut Suku Bangsa Pada Tahun 1930
PENDUDUK ASLI ANGKA PERSENTASE Betawi (Asli Jakarta) 655.400 22.9 Sunda 952.500 32.8 Jawa dan Madura 737.700 25.4 Aceh 5.200 0.2 Batak 28.900 1 Minangkabau 60.100 2.1 Sumatra Selatan 34.900 1.2 Banjar 4.800 0.2 Sulawesi Selatan 17.200 0.6 Sulawesi Utara 21.000 0.7 Maluku dan Irian 11.800 0.4 NTT 4.800 0.2 NTB 1.300 0 Bali 1.900 0.1 Melayu dan kepulauan lainnya 19.800 0.7 Lainnya 38.600 1.3
PENDATANG
Teonghoa 294.000 10.1 Cina Asing 102.200
Lainnya 16.500 0.6 Orang Asing, arab India dan Eropa 10.200 Total orang Asing 112.400
Total 2.906.500 100
Sumber: Castles, L 1967, Table VI hal. 185
B. Sejarah Singkat kota Jakarta
1. Sejarah Kota Pelabuhan Sunda Kalapa
Pada abad ke-16 terdapat bekas-bekas daerah Tarumanegara yang rajanya
dikenal Purnawarman yang berdasarkan sumber dari sebuah batu tulis yang terdapat
disungai Ciaruteun, dekat dengan kota Bogor dan berdasarkan itu pulalah data
arkeologis, histories dan berita-berita asing menyatakan bahwa kekuasaan daerah
bekas-bekas kerajaan Tarumanegara telah diambil alih oleh Kerajan Sunda
Padjadjaran yang ibukotanya di daerah Bogor, dan ia merupakan kerajaan yang
mengawasi daerah bekas kerjaan Purnawarman tesebut.
Setalah Padjajaran menancapkan kakinya di daerah bekas kekuasaan
Purnawarman, kalapa sudah merupakan kota pelabuhan yang terpenting dan terutama
bagi kerajaan tersebut sebagaimana diberitakan Tome Pires (1512-1515) waktu itu
Kerajaan Sunda memiliki 6 kota pelabuhan, yaitu Banten, Pontang, Cigeude,
Tanggerang, Kalapa, Cimanuk. Sebenarnya sebelum Tome Pires Cirebon termasuk
pula kota pelabuhan Kerajaan Sunda. Meskipun Kerajaan Sunda Padjadjaran
pusatnya terletak di daerah pesisir, namun kerjaan itu mempunyi fungsi sebagai
Negara-Kota (City-State) yang diantaranya melakukan kegiatan perdagangan yang
bersifat regional dan internasional.
Diberitakan Tome Pires Sunda Kalapa pelabuhan yang terletak di antara
Banten, Pontang, Tangerang dan Cimanuk, sebagai pelabuhan terpenting dan
terutama dari Keajaan Sunda diekspor barang-barang hasil pengumpulan dari
berbagai daerah pedalaman melalui jalan perairan. Peranan sungai Ciliwung yang
menghubungkan Bogor tempat pusat Kerajaan Sunda amat penting, demikian pula
Cisadane yang dapat menghubungkan daerah dengan mudah menuju pelabuhan
Kalapa. Demikian pula Citarum yang dapat membawa barang dagangan sampai di
muara mudah menghubungi pelabuhan Kalapa64.
2. Hasil Bumi Dan Komoditi Expor Impor Pelabuhan Sunda Kalapa
Komoditi perdagangan yang diekspor dari pelabuahan Sunda Kalapa yang
terutama adalah lada, beras, asam, sayur-sayuran, daging dan ternak seperti sapi,
kambing, babi, domba dan bermacam buah-buahan.65 Hasil-hasil bumi itu di ekspor
ke Malaka, Maladiva dan negeri-negeri lainnya selain hubungan dengan Kerajaan-
Kerajaan di Nusantara juga dilakukan. Hasil-hasil yang diperdagangkan itu yang
diambil dari daerah pedalaman sebagai hasil para petani, peternak dll. Informasi ini
berkat gambaran dari ceritera dalam naskah Sunda “Sang Hyang Siksa Kandang
Karesian” dari IK. Tahun 1518 M.
Kalapa sebagai kota pelabuhan bukan hanya mengekspor komoditi-komoditi
hasil bumi masyarakat Kerajaan Sunda semata tetapi juga pelabuhan tempat
mengimpor komoditi-komoditi yang penting bagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Komoditi yang diimpor ada bermacam cita seperti balacu, pakaian dan Cambay,
Keling, tak terkecuali karena hubungan dengan Cina dan negrei-negeri di Asia
64 Uka Tjandrasasmita, “Kehidupan Masyarakat di Jakarta Sebelum Batavia”, Makalah
Seminar Batavia, h.8 65 Abdurrahman Surjomiharjo, Sejarah Perkembangan Jakarta, (Jakarta : Dinas Musium Dan
Pemugaran Propinsi DKI Jakarta 1999/2000), h. 12
Tenggara seperti Thailand, dan juga terdapat barang-barang keramik yang merupakan
komoditi import. Hubungan perdagangan yang bersifat internasional dan regional itu
menyebabkan kota Pelabuhan Kalapa menjadi ramai dikunjungi orang-orang India,
Cina, Melayu dan juga orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia seperti orang-
orang Maluku dan lainnya.
Sistem perdagangan kecuali barter dan sangat mungkin juga sudah
menggunakan uang sebagai penukar, hal itu diberitakan oleh Tome Pires bahwa
bentuk uang yang dipakai sebagai alat penukar antara lain cash mata uang Cina
bentuknya kecil-kecil mempunyai lubang dan beratus-ratus cash itu diikat oleh
benang seperti halnya mata uang yang disebut ceiti. Seribu mata uang Cina cash itu
sebanding dengan dua puluh lima calais mata uang Malaka. Mata uang tumdaya yang
dibuat orang pribumi dari emas yang beratnya delapan mate sama dengan dua belas
ribu cash atau sembilan crusado (mata uang Portugis).
Kota pebuhan Kalapa yang sudah dikunjungi oleh para pedagang dari dalam
dan luar Indonesia menambah keramaian dan tentu saja perlu ada aturan-aturan yang
memadai dan memerlukan penanganan para pemimpinnya. Oleh karena itu di kota
pelabuhan yang amat penting itu menurut berita Tome Pires dipimpin oleh Raja
(prabu), atau Pate (adipati). Di pusat kerajaan dipimpin oleh Sambriang dan wakilnya
Coconum, setelah itu Makubumy. Yang dimaksud dengan nama-nama jabatan itu
ialah mungkin Sang Hyang, Prabu Anom, Mangkubuni. Jabatan Mangkubumi itu
disamakan oleh Tome Pires dengan Bendahara, sebagai suatu jabatan yang di kenal di
Malaka. Di Kerajaan Malaka jabatan Bendahara bertugas menghubungkan para
pedagang asing dengan Raja atau Sultan.
Mengenal jabatan di kota pelabuhan Kalapa seperti dalam pantun orang
Betawi, kita dapat pula berita dari De Barros yang menceritakan tentang hubungan
antara Portugis di Malaka dengan Kerajaan Sunda pada tanggal 21 Agustus 1522.
Henrique Leme yang mewakili Jorge D’Albuquerque dalam perundingan dengan
Ratu Samiam (Ratu Sang Hyang) yang waktu itu sudah menjadi Raja Sunda
Padjadjaran. Raja didampingi oleh Madar Tadam (Menteri Dalem), Tumango Sangue
De Pate (Tumenggung Sang Adipati), dan Bengar Xabandar (Syahbandar). Menurut
sumber naskah Carita Parahyangan Ratu Samiam atau Sang Hyang ialah Ratu
Sarawisesa yang sebelum menjadi Raja Pakuan ia sebagai Putra Mahkota
ditempatkan sebagai penguasa kota Pelabuhan Kalapa. Ia pernh diperintah ayahnya
yaitu Sang Ratu Jaya Dewata Raja di Pakuan, untuk menjadi utusan di Malaka tahun
1512 untuk minta bantuan kepada Alfonso D’Albuquerque.
Jumlah kependudukan kota pelabuhan Kalapa tidak dapat diketahui dengan
pasti. De Barros memperkirakan jumlah penduduk Kerajaan Sunda sekiar 100.000
orang dan di lima kota pelabuhan lebih kurang ada 50.000 orang. Mengingat kota
pelabuhan Kalapa merupakan pelabuhan yang terpenting dan terbesar maka dari
perkiraan itu mungkin penduduk kota Kalapa ada 15.000 orang.66 Dari jumlah
tersebut yang disebut kota pelabuhan penduduknya banyak sebagai pedangang.
Sedang di daerah pedalaman seperti kita ketahui dari naskah Sang Hyang Siksa
66 Abdurrahman. Ibid.,
Kandang Karesian banyak para petani, peternak, pencari ikan dan lainnya. Pertanian
di daerah Kerajaan Sunda Padjadjaran pada umumnya masih mengerjakan huma atau
ladang.
Apabila kita ketahui dari uraian di atas kehidupan perekonomian dan
perdagangan dan keteraturan pemerintah maka bagaimana kehidupan budaya dan
keagamaan. Jika kita dasarkan kepada sang Hyang Siksa Kandang Karesian di dalam
Kerajaan Sunda Padjadjaran sudah pula mengenal kesenian seperti tukang banyol,
tukang ngamen, gamelan, wayang, penyanyi dan yang lain sebagainya.
3. Keagamaan Masyarakat Sunda Kalapa Hingga Penamaan Jayakarta
Tentang kehidupan keagamaan masyarakat Sunda Kalapa dari sumber naskah
tersebut jelas keagamaan setempat Sunda Wiwitan yang bersifat animisme,
dinamisme, Hindu serta Buda67. Keagamaan waktu itu bukan hanya diketahui dari
naskah-naskah Sunda Kuno tetapi juga dari apa yang tertulis dalam prasasti: Batu
tulis di Bogor, Lempengan tembaga dari Kebantenan dan juga dari berita asing
seperti Tome Pires telah memberikan gambaran tentang keagamaan yang dianut oleh
raja dan masyarakatnya. Demikian tentunya berbeda dengan kehidupan keagamaan
yang dianut oleh para penduduk kota pelabuhan Sunda Kalapa.
Situasi sosial politik menjelang tahun 1527 M, mengalami perubahan karena
mulai perluasan Kesultanan Demak di mana Cirebon yang semula menjadi daerah
Kerajaan Sunda ketika kehadiran Tome Pires (1513) dikatakan bahwa Cirebon masuk
ke Jawa maksudnya tentu sedang mendapat pengaruh politik Demak bahkan sebelum
67 Ridwan Saidi. Op, cit., h. 71
tahun 1527 sudah menyiapkan pengiriman tentaranya untuk menyerang Kalapa yang
sudah bersabat dengan Portugis. Setelah penyerangan tersebut proses kehidupan
masyarakat kota pelabuhan Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta (22 Juni 1527
M).
Kerajaan sunda Padjajaran yang ibukotanya yang disebut Tome pires dan de
Barros day o yang diperkirakan di Bogor dengan pelabuhannya yang utama Kelapa
masih meneruskan hubungan dengan Portugis antara lain perjanjian 1522 yang
bersifat ekonomi dan politik.68 Perjanjian ini tentu saja diketahui pula oleh Kerajaan
Islam Demak yang membahayakan kedudukan Kerajaan Demak yang sedang
meluaskan Kekuasaannya baik ke arah timur maupun ke arah barat Pulau Jawa.
Situasi dan kondisi politik diatas menggugah ingatan kekalahan Demak
sewaktu tahun 1513 yang gagal menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Dengan
demikian dan dengan semangat untuk tidak mengulangi kekalahannya, maka dengan
secara kebetulan Demak kedatangan seorang saudagar muslim yang gagah dan cerdas
yang berasal dari Pasai bernama Fadhillah ke Demak, kemudian diangkat menjadi
mantu oleh Sunan Gunung Jati69 dan dengan itu belaiu dijadikan panglima untuk
menyerang Sunda Kelapa yang disertai prajurit gabungan dari Demak dan Cirebon,
ketika panglima Fadhillah itu singgah di Cirebon karena juga ia mantu Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dan dengan mendapat dorongan semangat
68 Keterangan Amrullah Asbah pada penulis (Jakarta 28-12-2004)
dengan tentara gabungan Demak dan Cirebon 1967 orang menuju dan maju ke
medang perang.
Akan tetapi mereka terlebih dahulu menuju Banten untuk mendapat bantuan
bala tentara dari Maulana Hasanuddin yang sejak tahun 1526 sudah menguasai
daerah Banten. Dari sana mereka menuju Kelapa dan serangan dilancarkan serangan
dari arah barat yang pada tahun 1527 M tanggal. 22 Juni (berdasarkan Sukamto yang
disyahkan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai hari jadinya Jakarta), berhasil
mengenyahkan orang-orang Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa.
Dengan itu pulalah para tawan portugis yang berada di Batavia di islamkan
oleh pengeran Jayakarta dan para prajuritnya yang mayoritas muslim tersebut. Dalam
proses islamisasi penduduk Jayakarta, pangeran Jayakarta dan para prajuritnya tidak
mempunyai banyak hambatatan atau tentangan, dan salah satunya yang membuat
proses tersebut berjalan lancar adaya pertentangan Islam terhadap perbudakkan, hal
ini yang membuat masyarakat Batavia berbondong-bondong memeluk islam
Sejak tanggal dan bulan serta tahun (1527 M tanggal. 22 Juni) tersebut Kelapa
diganti namanya menjadi Jayakarta yang berarti telah “Membuat Kemenangan” yang
terinspirasi oleh ayat Qur’an Al-Fath ‘ Inna Fatahna laka fathan Mubinaa’
sesungguhnya kemenagan ini adalah kemenangan sempurna yang artinya sama
dengan ‘Jayakarta’. Penyerahan kota pelabuhan Kelapa beritanya terdapat dalam
berita Portugis dan dalam CeritaPurwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya
Cirebon. 1720 M. Perbedaaan penyebutan nama yang memimpin penyerahan ke
Kelapa disebut Faletehan berita Portugis, sedangkan berita Carita Purwaka Caruban
Nagari menyebut Fadhillah atau Fadhillahkan yang lebih sesuai dengan sebutan
Fathahillah. Akan tetapi perbedaan penyebutan pahlawan Jakarta tersebut telah
membawa kita untuk mengenal sejarah Jakarta yang kita cintai.
D. Organisasi Yang Mewadahi Pemikiran Politik Masyarakat Betawi.
Dilihat dari segi kultural orang Betawi, biasanya mereka bertindak sendiri
sendri dalam melakukan segala aktifitas dan permasalahan yang mereka hadapi. Dan
merupakan watak dari orang Betawi yang berani menyelesaikan suatu masalah
dengan tangannya sendiri, maka dari itu sangat jarang orang Betawi memecahkan
masalah yang dialaminya dengan mengaharap bantuan orang lain.
Seiring dengan perkembangan sistem yang ada di negeri ini, yang tidak dapat
melakukan suatu aksi dengan tangan sendiri (arogan), maka dibutuhkannya struktur
yang kuat dalam rangkan mengatasi permasalahan yang mereka (orang Betawi)
hadapi. Bekaitan dengan hal tersebut, yang bermula dari kondisi objektif setelah
mengalami segala latar belakang permasalahan dan problematika yang dialami
masyarakat Betawi sekaligus mencari solusi yang terbaik, maka pada tanggal 22 juni
1982 diera kepemimpinan gubernur DKI Bapak Tjokropranoto dibentuklah badan
organisasi politik masyarakat Betawi (Bamus BETAWI) yang bergerak secara
spesifik pada persoalan social politik, dan budaya, selain sebagai organisasi besar
orang Betawi.
Sebelum bamus Betawi berdiri, telah terdapat pada kalangan masyarakat
Betawi beragam organisasi dengan latar belakang perkumpulan, kekeluargaaan,
organisasi profesi dan oraganisasi massa serta yayasan-yayasan yang telah berkiprah
di tengah-tengah masyarakat Betawi. Seperti PERMATA MHT, IWARDA dan
IKRAR.
Kebutuhan mereka akan adanya bamus Betawi pada saat itu dilatar belakangi
belum adanya lembaga Betawi yang dapat mempresentasikan eksistentinya di
hadapan pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta maupun pusat. Disamping itu pula,
sesuai dengan iklim politik yang berkembang pada saat itu, pemerintah akan lebih
mudah untuk melakukan komunikasi terhadap suku yang terkenal sangat religius ini.
Sebagai wadah yang menampung dan menangani organisasi kebetawiaan, dan
seiring dengan iklim politik Negara tercatat pertambahan oraganisasi masyarakat
Betawi yang berada dalam payung bamus Betawi menambah. Pada tahun 1990
(zaman orde baru) kurang lebih ada 20 organisasi Betawi yang bergabung dengan
bamus Betawi, dan pada musyawarah besar Bamus Betawi yang ke-III yang digelar
pada tanggal 23 juni 2001 (pasca rezim Soeharto) tercatat 43 organisasi yang
bergabung di bawah payung Bamus Betawi. Dan pada tahun 2003 menyusul 30
organisasi Betawi lainnya yang berada dinaungan Bamus Betawi, maka keseluruhan
organisasi yang mewadahi pemikiran dan aspirasi politik masyarakat Betawi
mencapai kurang lebih 73 oraganisasi, oraganisasi-organisasi tersebut antara lain
FORKABI (Forum Komunikasi Anak Betawi) didirikan tahun1999, FPB (Forum
Pemuda Betawi), PWB (Persatuan Wanita Betawi), FBR (Forum Betawi Rempug),
FSMB (Forum Silaturrahmi Masyarakat Betawi), IKMB (Ikatan Mahasiswa Betawi),
FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi).
Diantara organisasi-organisasi Betawi yang tersebar di seartero Jakarta, secara
spesifik mereka mempunyai visi dan misi politik masing-masing. Adapun tipelogi
aksi dan pemikiran politik organisasi Betawi beragam, seperti Bamus BETAWI yang
mempunyai sikap politik yang akomodatif, artinya menyikapi problematika politik
dengan mempertimbangkan untung rugi terhadp aksi politik tersebut, selain itu ada
juga organisasi Betawi yang mempunyai sikap ekstrim terhadap aksi dan pemikiran
politik mereka, contohnya Forum Betawi Rempug (FBR), FPB, dan Forum
Komunikasi Anak Betawi (FORKABI), ada juga yang mempunyai tipelogi pemikiran
dan aksi politik yang moderat seperti PERMATA, PWB, FSMB, FKMB dan yang
lainnya.
Kini hampir seluruh masyarakat Betawi sadar akan pentingnya suatu wadah
yang merupakan bentuk dari suatu aspirasi dan aplikasi atau komunikasi antar
masyarakat Betawi dan masyarakat Betawi dengan pemerintah. Oleh karenanya,
Bamus BETAWI sebagai organisasi besar masyarakat Betawi yang berusaha untuk
menampung aspirasi dan pemikiran politik masyarakat Betawi berupaya semaksimal
mungkin untuk meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat Betawi. Adapun
langkah awal yang Bamus lakukan adalah menamkan kepada masyarakat Betawi
akan arti pentingnya sebuah kesadaran organisasi di era reformasi dan demokrasi
sekarang ini, agar segala ketertinggalan mereka (masyarakat Betawi) dapat tertutupi
dengan adanya oraganisasi.
BAB VI ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Arah Atau Pola Pikir Masyarakat Betawi Terhadap Perkembangan
Politik Nasional Pasca Soeharto Negara Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara
berkembang yang menerapan sistem demokrasi, walaupun dapat dikatakan perjalanan
karirnya dalam menerapkan sistem yang disebut dengan demokrasi masih seumur
jagung akan tetapi Negara ini mempunyai susunan-susunan yang jelas dalam
melaksanankan roda pemerintahan yang demokratis. Susunan tersebut tercantum
dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
merupaka pijakan Negara ini dalam menjalankan roda pemerintahannya, disamping
dengan adanya UUD dan GBHN, negara ini juga menjunjung tinggi adanya
supremasi hukum yang tertera dalam perundang-undangan yang tersusun rapih baik
secara formal seperti kitab undang hukum pidana, ataupun informal seperti hukum
adat.
Hukum adat dalam republik ini sangat di hormati walaupun dalam tatanan
Negara modern seperti Amerika dan Eropa sudah sangat termarjinalkan. Hal ini yang
membuat Negara kesatuan republik Indonesia berbeda dengan Negara-negara
demokrasi lainnya.
Pada tahun 1999 Indonesia mengalami masa transisi dari pemerintah yang
otoriter yang menjadikan demokrasi sebagai tameng kekuasaan kepada demokrasi
kebebasan, masa ini dilaluinya dengan penuh ritangan dan cobaan yang sangat berat,
dari munculnya krisis ekonomi, keamanan, politik, sampai krisis kepercayaan antara
masyarakatnya terhadap pemerintah, ini terjadi akibat lambatnya lengan pemeritah
dalam meyakinkan masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik.
Dalam keadaan yang seperti itu masyarakat Betawi mencoba untuk membantu
pemerintah daerah dan pusat dengan memberikan trobosan-trobosan yang bersifat
social kemasyarakatan, semisal memunculkan organisasi-oraganisasi yang bergerak
di bidang social, ekonomi, dan politik, sehingga dari sekian banyak penduduk DKI
dapat langsung melakukan berbagai macam kegiatan-kegiatan yang positif dan
terampil demi menunjang sumberdaya manusia Indonesia.
Setelah pemerintahan yang otoriter tersebut tumbang, masyarakt Betawi ikut
bersyukur dan menyambut baik langkah yang diambil oleh para mahasiswa (1998)
dan segenap perkumpulan oraganisasi masyarakat dalam mengembalikan kebebasan
kepada masyarakat secara utuh. Dalam sejarah demokrasi Indonesia, pasca
soehartolah baru dapat dibilang demokrasi yang sesungguhnya, hal ini sebagaimana
di ungkapkan oleh Bapak ustaz Syatiri (73) 70 sebagai berikut:
“Pada masa Soeharto kehidupan masyarakat Jakarta sangat terasingkan, paling tinggi jabatan pada masa itu bagi orang Jakarta adalah sebagai sopir, dan menjadi seorang sopirpun itu sudah alhmadullilah, hal itu terjadi karena pemerintah Soeharto sangat mementingkan sukunya daripada orang pribumi, dan pemerintahannya suka kkn… masa sekaranglah yang lebih baik ketimbang masa Soeharto…”
70 Syatiri, Sesepuh/Ulama Betawi Pasar Kemiri Sawangan, Wawancara Pribadi, Sawangan
11 Desember 2004
Menyoal sistem yang dipakai dinegara ini yaitu demokrasi yang penulis
tanyakan kepada beliau, lantas ustaz Syatiri yang mantan ketua cabang partai
Masyumi tahun 1950an itu menegaskan:
“…sebenarnya sistem demokrasi nyang ada sekarang ini sudah baik, namun nyang lebih baik lagi adalah demokrasi Islam, karena Islam itu agama yang demokratis dan kelengkapannya udah kaga diraguin lagi, kata orangkan hukuman mati (hukum kisos) itu melanggar ham, sebenarnya penjaralah yang lebih parah melanggar hamnya, sebab dengan dipenjara orang yang tadinya tidak punya urusan dengan orang nyang bakal mati tadi, seperti sanak familinya jadi kebingungan mikirin makan dan hidupnya tu orang…, …saya pikir semua orang tahu itu dan khususnya orang Betawi pasti sangat ngedukung demokrasi Islam. Contohnya orang yang berkerja baik tidak punya pendidikan agama maka nantinya ia juga akan kecolongan (bebuat dosa) kerna dalam dirinya kaga punya rasa takut dosa. Iman itu bisa dicolong…, maka dengan agama (Islam) Negara akan lebih bae lagi.” Sebagai kultur masyarakat Betawi Islam bukan hanya sebagai agama yang
menuntun masyarakatnya kepada Tuhan semata, namun Islam pada kalangan kaum
Betawi dikenal sebagai paham politik mereka ini terbukti ketika tahun 1955 dan
1977,71 dimana masyarakat Betawi lebih membanggakan partai-partai Islam seperti
Masyumi, NU dan PPP daripada partai yang berbasis nasionalisme,72 keadaan ini
masih tetap berbekas hingga sekarang. Seperti di Mampang Jakarta Selatan PPP
dengan dukungan mayoritas orang Betawi dapat bertahan dukungan orang Betawi
kepada partai tersebut hingga pada pemilu tahun 2004 yang lalu,73 hal ini terjadi
karena warisan orang tua dan para alim ulama orang Betawi.
71 Ridwan Saidi, Sisi Lain Kebudayaan Betawi, “Orang Betawi dan Alam Gaib”, Ceramah
Budaya, 4 November 1997. h. 1 72 Keterangan Syatiri kepada penulis 73 Keterangan Muhammad Yazid (28), Pemuda Betawi Mampang Perapatan, Jakarta Selatan
Kepada Penulis. Jakarta 3 Januari 2005
Kekuatan politik Islam pada benak orang Betawi sudah tidak dapat dipisakan
lagi ibarat orang Betawi bilang “makan nasi kaga pake sambel, atawe sayur asem
kurang garemnye” hal tesebut diperkuat lagi dengan turut sertanya para tokoh-tokoh
alim ulama Betawi yang terkenal di Jakarta kedalam jajaran partai-partai Islam.
Keseluruhan alim ulama Betawi memilih partai Islam dari partai lainnya, seperti
yang diutarakan oleh H. Irwan Sjafi’ie:
“Kalo…kalo…kalo… melihat…sebenarnya kalo melihat sebenarnya dari kapannya ya…saya ingetsih sejak tahun pemilu 1955, sudah banyak seperti saya sebutin tokoh-tokohnya, seperti KH. Abdullah Syafi’ie itu tokoh Masyumi, trus Amidullah tokoh Masyumi. Murtado…H, Murtado itu tokoh Masyumi. Itu berpolitik kaerena sudah masuk partai iya kan…masyumi, kalo dilihat dari situ sudah berpolitik”
tokoh ulama Betawi terkemuka seperti KH. Abdullah Syafi’ie, Amidullah, H,
Murtado, KH. Syafi’ie Hazami, adapun pada kalangan pemuda Masyumi, GPII
(Gerakan Pemuda Islam Indonesia) terdapat para ustaz muda Betawi seperti H.
Syahrani, H. Abubakar Salam dan H. Amrani dan yang lainnya mereka semua
merupakan tokoh penting dalam jajaran orang yang dianggap orang Betawi sebagai
pamimpin umat, oleh karenanya apapun yang mereka wejangkan, lakukan, dan
amanatkan pasti kebanyakan orang Betawi mengekor mereka, supaya mendapat
berkah atau dalam bahasa Betawi dikenal dengan tabarukan.
Maka dari itu orang Betawi sangat mendambakan kembalinya Islam dalam
kehidupan bernegara di Indonesia, sebagaimanan pooling yang penulis buat pada
table 4 dibawah untuk 50 reponden pada lima wilayah di Jakarta, antara lain Jakarta
Selatan, Pusat, Barat, Timur, dan Utara. Dari keseluruhan masyarakt Betawi di lima
wilayah tersebut antara umur 20-70 tahun menginginkan Islam sebagai asas Negara
seperti dalam jumlah tebel dibawah ini:
Tabel 4 Jejak Pendapat Masyarakat Betawi Di Jakarta 2004
Menyoal Sistem Negara dan Islam Sebagai Asas Negara
Pertanyaan Politik Setuju Tidak Setuju
Persentase
1 Setujukah anda jika Negara Indonesia menerapkan syriat islam sebagaimana tertera dalam piagam Jakarta
50 orang
0 orang 100 %
2 Setujukah anda jika demokrasi yang ada sekarang diubah menjadi demokrasi Islam
48 orang
2 orang 96 %
3 Setujukah anda jika Jakarta menerapkan hukum Islam seperti di Aceh
34 orang
16 orang 68 %
Sumber : Pribadi
Pada umunya jejak pendapat yang penulis lakukan adalah mengunakan
metode ‘top down’ artinya penulis mengambil pendapat kalangan orang Betawi asli
yang menengah kebawah, yang tidak berkecimpung pada patai politik dan oraganisasi
Betawi atau yang lainnya, dan disamping itu juga penulis menjaga keaslian para
responden jejak pendapat tersebut dengan menimbang beberapa kreteria atau syarat
orang Betawi, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam AD/ART bamus Betawi.
Pertanyaan mengenai sistem politik Negara diatas, umumnya orang Betawi
kisaran umur 20 sampai dengan 48 tahun yang berlatar belakang pendidikan akhir
SMA (Sekolah Menengan Atas) dengan jumlah pendapatan mereka perbulan lima
ratus ribu rupian (Rp. 500.000,00) sampai satu juta lima ratus ribu rupian (Rp.
1.500.000,00), tidak menghendaki atau katakanlah mereka tidak setuju dengan sistem
yang ada sekarang, dan mereka umumnya menginginkan Syari’at Islam sebagai
sistem Negara dengan jumlah 100 %, kondisi demikian terjadi akibat Negara ini telah
banyak mengecewakan Islam sebagai agama yang ‘rahmatan lil alamin’ bagi mereka
(orang Betawi), apalagi dengan terjadinya penangkapan sepihak terhadap ustaz Abu
Bakar Ba’asyir dan para aktivis muslim pada tahun 2002-2003 yang lalu.
Keinginan masyarakat Betawi terhadap Syari’at Islam dan demokrasi Islam
akan lebih mengkristal lagi ketika penulis mencoba memberikan jejak pendapat
tersebut kepada para responden yang kisaran umur 50 tahun hingga 70 tahun, mereka
sangat setuju jika sistem yang ada berubah menjadi Islam dengan persentase 100
untuk syriat Islam dan 82 untuk Demokrasi Islam.
Menyoal supremasi hukum, masyarakat Betawi juga mempunyai antosias
yang tinggi dengan menginginkan hukum Islam ditegakkan di Indonesia, minimal di
Jakarta (Betawi), karena menurut orang Betawi dengan hukum Islam ( dalam jumlah
poling, terdapat 61% orang Betawi yang setuju dengan penerapan hukum Islam)
segala kemaksiatan dan bentuk korupsi, kolusi dapat dituntaskan74 sebagaimana yang
dikatakan ketua Rt. Jalan Senopati dalam II Rt 3 no 35 A Muhammad Ali Abdul
Kosim:75
74 Penjelasan Umar (28 th) Pemuda Betawi Benhil (Bendungan Hilir) Jakarta Pusat pada
penulis, Jakarta 19 Desember 2004 75 Muhammad Ali Abdul Kosim (47) Ketua Rt Jalan senopati Dlm II, Wawancara Pribadi,
Jakarta 22 Desember 2004
“Cuman ame hukum Islam Jakarta bisa aman dari segala bentuk kriminal, orang-orang nyang korupsi ampe triliunan kalo dipenjara doang kage ade kapoknye, mendingan dipotong aje tangannye… …orang nyolong ayam aje hukumannye mati, mase nyang nyolong triliunan tuh ye…kan… kage diape-apein” Harapan ini (Syariat Islam dan hukum Islam) bukan merupakan keniscayaan
orang Betawi dalam memperjuangkan Islam sebagai asas dan hukum Negara, hanya
saja mereka (orang-orang Betawi) telah enggan melihat keadaan Betawi dan orang
Betawi berada dalam kehidupan yang berbau maksiat, korupsi, kolusi, serta
meningkatnya angka kriminalitas, dan kotor.
Upaya yang dilakukan masyarakat Betawi untuk menunjukkan performans
kebetawian dalam sendi-sendi kehidupan bernegara adalah dengan menepis segala
bentuk kemaksiatan yang ada, hal ini pernah dilakukan oleh kawan-kawan FBR
pimpinan KH. Ahmad Fhadoli, yang didukung oleh seorang Habib kelahiran Betawi
el-Habib Rizik Shihab. Adapun terobosan mereka di bidangan yang lebih politis
dalam memperjuangkan hal tersebut adalah dengan mempercayakan wakil-wakil
(personal) mereka yang ada di jajaran pemerintahan atau organisasi besar, seperti
K.H.Saifuddin Amsir yang sekarang aktif di N.U (Nahdhatul Ulama), dan pada
jajaran pemerintahan daerah (pemda).H. Fauzi Bowo sebagai wakil Gubernur DKI
Raya.
B. Sumbangan Dokrin Agama Dalam Pemikiran Orang Betawi
Salah satu keunggulan Islam dalam mempengaruhi jiwa dan pemikiran orang
Betawi adalah suaranya yang menentang perbudakan, oleh karenanya Islam dapat
dengan mudah dianut oleh mayoritas orang Betawi yang pada besik awal keyakinan
mereka adalah animisme, dinamisme, Budha dan Hindu. Tingkat keimanan orang
Betawi terhadap Islam memang sudah tidak dapat diragukan lagi karena islam telah
menjadi suatu jalan hidup, dan selain itu islam juga telah menjadikan betawi abadi,
sebagaimana yang dikatakan el-Habib Rizik Shihab:
“Betawi akan tetap terjaga dan awet karena Islamnya yang kuat, makanya acapkali orang Betawi berfikir maka islamlah yang pertama menjadi referensi pemikirannya”. Pengakuan kekuatan Islam dalam diri dan benak fikiran orang Betawi bukan
saja beliau (el-Habib Rizik), al-Marhum Buya HAMKA, Koentjaraningrat dan para
pemikir asing seperti Tilden, Abayasekere dan Dr. Snouck Hurgronje juga menyakini
dan mengkui kekuatan Islam dalam Benak fikiran dan jiwa orang Betawi yang
seakan-akan mereka (orang betawi dan islamnya) mempersakasikan kepada manusia
bahwa ‘Saksikanlah Bahwa Kami ini Orang Muslim’ (‘isyhaduu bi anna muslimun’),
seperti dalam kutipan-kutipan komentar mereka di bawah ini:
“Pukulan yang diderita penduduk Jakarta asli dari pihak Belanda kepadanya sebagai rakyat terjajah, sangatlah parahnya (… …) rumah-rumah orang Jakarta yang terdiri dari dinding bambu anyaman dan atap rumbia ditempat yang becek. Namun apabila waktu telah masuk, fajar pun telah menyingsing, terdengaranlah sayup-sayup dari lorong-lorong yang becek itu suara azan yang mendayu-dayu (… …) Sesudah sembahyang merekapun ratib bersama, la illa haillalah. Dengan suara yang keras dan berulang-ulang sampai ada yang jadzab, hilang kesadaran diri lantaran ingat kepada Allah dan lantaran berzikir itu bersama-sama dengan suara yang keras (… …) Maka itu anak Jakarta berzikir keras, la illa haillalah, maka itu saya (orang Jakarta) tetap ada. (HAMKA)
“(…….). Meskipun begitu penduduk kampung dimanapun di Jawa tidak ada yang lebih taat beragama muhammad dan dalam tingkahlakunya daripada di Betawi (……)” (Dr. Snouck Hurgronje )76. : “ … the orang Betawi …… were devout and orthodox muslim … (Abayasekere, 1985: 21) : “ … the orang Betawi were strongly Islamic, as can be seen in their customary law (Tilden, 1985: 35)77 Berdasarkan komentar dan melihat pada kenyataan orang Betawi yang berada
di Jakarta dan sekitarnya, maka penulis beranggapan bahwa pendidikan yang paling
di utamakan oleh orang Betawi adalah pendidikan agama, dimana agama sebagai
jalan hidup mereka sangat berperan penting dalam jiwa, tingkakah laku dan
pemikiran orang Betawi dibandingkan dengan hal yang lainnya, hal ini dapat
dibuktikan dengan ketidak adanya orang Betawi asli yang menganut ajaran agama
lain selain Islam,78 oleh karena itu pada dikalangan orang Betawi terkenal sekali
filafat agama yang membuat pengaruh agama dalam diri mereka menjadi kuat,
berikut filafat agama berbunyi:79
“Kekayaan tanpa ilmu murah Agama tanpa ilmu buta Hidup tanpa ilmu sengsara
Kekayaan tanpa agama kikir Hidup tanpa agama kafir Ilmu tanpa agama terjungkir
Ilmu tanpa kekayaan bahagia Ilmu tanpa agama berdosa Ilmu tanpa amal tak berguna”
76 Ridwan Saidi. Ibid., 77 Yasmin Zaki Shahab, “Betawi Dalam Jumlah dan Permasalahannya”, Makalah Seminar
Batavia, h. 15 78 Keterangan H. Nur (60 th) Sesepuh Betawi Jln. Ciragil. Jakarta Selatan Kepada Penulis,
Jum’at Malam 16 Desember 2004 79 Ceramah agama KH. Drs. Kholidin (Jakarta, 10, Januari 2000)
Kekuatan mereka (orang Betawi) dalam menjadikan agama Islam
sebagai landasan hidup dan pemikiran mereka selain dari ajaran agama itu
sendiri juga dikarenakan juga oleh nasihat orang-orang yang menguasai
agama, karena selain agama itu sendiri orang Betawi juga sangat menghormati
orang yang menguasai agama seperti para Ustaz, Guru, dan Mualim,80
sebagaimana kutipan yang telah diutarakan Koentjaraningrat dibawah ini:
“Orientasi yang kuat terhadap agama Islam dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli Jakarta ini merupakan salah satu faktor yang menghambat pendidikan mereka. Sekolah dilihat sebagai Kristen atau Belanda…disamping itu guru agama mendorong mereka masuk sekolah agama…( Koentjaraningrat, 1975: 4-5) .
C. Track Record Politik Masyarakat Betawi Terhadap Perkembangan Politik Nasional Pasca Soeharto
Pasca keruntuhan pak Harto, Indonesia mengalami situasi yang bersahabat
dan demokratis, serta pada saat sekaranglah era keterbukaan dalam mengungkapkan
pendapat amat sangat dapat dilakukan dengan tanpa ada rasa waswas akan adanya
control yang ketat dari pemerintah. Di samping itu masyarakat Indonesia dapat
memulai untuk membukan lembaran baru dalam segala bidang.
80 Dalam kehidupan keagamaan orang Betawi istilah Ustaz, Guru dan Mu’alim mempunyai
predikat masing-masing. Jika ada seseorang di panggil Ustaz, oleh masyarakat Betawi, maka orang tersebut boleh jadi seseorang yang menguasai agama namun umurnya masih muda, berbeda dengan guru. Pada kalangan masyarakat Betawi predikat guru lebih dinobatkan kepada seorang yang menguasai agama, berumur tua, punya banyak pengalaman, dan juga ia sering berdakwah (ceramah) contohnya, Guru Abdullah Syafi’ie sekarang terkenal dengan sebutan KH. Abdullah Syafi’ie. Adapaun predikat Mu’alim atau Tuan Guru adalah predikat yang tinggi dari pada dua predikat sebelumnya. Selain ia menguasai agama dan mempunyai umur yang tua dan banyak pengalamannya, orang yang mempunyai predikat seperti ini dapat memberikan fatwa kapada orang Betawi yang memintanya. Dalam segi ini (fatwa) predikat Mu’alim atau Tuan Guru berbeda dengan dua predikat sebelummnya (ustaz dan guru).
Kehidupan berpolitik dalam Negara menurut masyarakat Betawi seperti yang
sudah diungkapkan diatas merupakan bagian dari kehidupan mereka dalam bernegara,
hanya saja orang Betawi tetap kukuh dan tidak dapat dipisahkan dengan politik
Islamnya, namun masyarakat Betawi tidak dapat berbuat banyak untuk
memperjuangkan politik Islam mereka, karena Negara yang di diaminya tidak
menganut sistem Islam walupun kebanyakan dari penduduknya adalah muslim.
Kendati demikian masyarakat Betawi -walaupun mereka sadar bahwasannya
mereka hidup didalam Negara yang non-islam- tidak tinggal diam begitu saja dalam
memperjuangkan semangat Islam politik yang ada pada diri mereka, banyak orang
Betawi yang maju secara personal kedalam partai politik baik yang berbesik islam
atau nasional, seperti PPP, PAN, GOLKAR, PK, PDIP, PBB, PKB, dan PP.81 pada
saat mereka berada dalam partai tersebut, perjuangan yang berkaitan dengan agama,
orang betawi maju lebih awal, seperti pengakuan Dr. H. Amrullah Asbah pada
penulis berikut:
“...banyak orang Betawi yang masuk kedalam partai politik (khususnya pasca Soeharto) yang berbasik nasional atau Islam... ketika mereka (angota dewan) membicarakan masalah yang berkaitan dengan agama seperti kuburan, mesjid, dan tanah wakaf, maka saya maju lebih dulu... Salah satu pergerakan riil masyarakat Betawi dalam memperjuangkan politik
mereka yang kita bisa record sampai sekarang adalah dengan adanya oraganisasi-
oarganisasi Betawi dan sarana-sarana pengajian (majlis taklim) juga sarana
pendidikan seperti pondok pesantren, disamping saranan budaya yang mereka miliki.
81 Dr. H. Amrullah Asbah, “Pandangan Masyarakat Betawi Terhadap Partai Golkar pada pemilu 2004”, Makalah 2004, h. 2
Sarana pengajian (majlis taklim) yang dimiliki oleh masyarakat Betawi di
dalam pengajian yang rutin di laksanakan pada hari libur tersebut tidak saja
membahas permasalah agama dan muamalahnnya, namun sesekali penyaji membahas
permasalah politik Negara. Sebagai contoh adalah majlis taklim Assyafiiyah
pimpinan KH. Abdur Rasyid Abdullah Syafi’ie anak mendiang Guru Abdullah
Syafi’ie dan majlis taklim ibu-ibu Atahiriyyah pimpinan Uztazah Hj. Suryani Thahir.
Kedua contoh majlis taklim yang dimiliki orang Betawi asli tersebut yang
sangat terkenal di kalangan warga Jakarta diatas, pernah membahas persoalan
pemimpin (presiden) wanita dalam Islam dan bagaimana milih pemimpin yang
berpihak kepada kaum muslimin, serta isu-isu politik lainnya baik isu politik regional
atau isu politik internasional khususnya yang berkenaan dengan Islam dan kaum
muslimin.
Pada umumnya masyarakat Betawi lebih mempersoalkan (fokus) kepada
permasalahan keagamaan daripada persoalan budaya mereka, hal ini mereka
perjuangkan dengan dibentuknya berbagai macam lembaga pendidikan yang konsern
kepada pendidikan agama seperti MTS/MA (Madrasah Tsanawiyah/ Aliyah) sampai
pondok pesantren, dan baiknya lagi kebanyakan pemimpin lembaga pendidikan
agama tersebut adalah orang penting dalam jajaran oraganisasi Betawi seperti KH.
Fudholi El-Munir (Ketua Umum FBR), dan ustaz H. Nu’man Muhasyim (wakil ketua
FORKABI pusat), serta kiayi kondang sejuta ummat KH. Zainuddin. MZ anak
Betawi kelahiran jalan Gandaria (Ketua umum Yayasan Orang Betawi) dan yang
lainnya.
Perjuangan seperti yang telah mereka (orang Betawi) lakukan merupakan
perjuangan yang bersifat personal menurut mereka, adapun perjungan mereka yang
berifat kelompok seperti Bamus BETAWI, FORKABI, FBR dan yang lainnya, pada
umunya organisasi Betawi tersebut dipercayakan masyarakat Betawi untuk
memperjuangkan politik, sosial, dan budaya Betawi dari pada agama, hal ini
dilakukan karena orang Betawi mengerti bahwa politik, sosial, dan budaya di
bandingkan dengan agama merupakan sesuatu yang berbeda satu dengan yang
lainnya.
Menurut orang Betawi lenong, tari cokek, tajidor, menjadi politikus, dan yang
lainnya adalah suatu bagian kecil dari Betawi, namun menurut mereka bagian yang
sangat universal dan mencangkup keseluruhan dari Betawi adalah agama (memahami
agama dan mengamalkannya), oleh kerena didalam agama tersirat amanat Tuhan
yang harus di pejuangkan dan ditegakkan (‘li’Ilaai’kalimatillah’) dan bersifat
personal, artinya setiap insan Betawi dititipkan oleh para leluhur mereka untuk
memperjuangkan agama (sebagai budaya yang sangat tinggi) mereka sampai
kapanpun.
Selain itu dibidang politik regional, masyarakat Betawi telah berbuat banyak
untuk kepentingan bangsa dan negaranya, seperti pengamanan kota Jakarta berikut
penyuluhan pemilu pada setiap tahunnya, sebagaimana yang telah dikalukan petugas
TPS setu babakan serengseng sawah dan kawasan Jakarta lainnya, di samping itu juga
pengamanan sarana ibadah pada setiap hari raya, dan adapun kegiatan-kegiatan sosial
politik yang telah mereka (orang Betawi) lakukan selama pasca rezim Soeharto antara
lainnya seperti yang terangendakan dalam organisasi besar Betawi Bamus BETAWI
sepanjang kepengurusan baru bamus BETAWI tahun 2001-2002 Berikut:82
1. Yayasan Peduli Betawi (Betawi Society) dewasa ini sedang menghimpun judul-judul tulisan Betawi (skripsi, tesis, disertasi, buku, makalah, artikel). Kegiatan ini diharapkan dapat membantu orang yang berminat untuk menulis mengenai kebetawian. Hal tersebut disusun dengan sistem kartu dan disimpan serta dapat ditemukan di VOC Galangan Jl. Kakap no. 1-3 Jakara Utara.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Peduli Betawi ini telah merangkum
ratusan tulisan-tulisan mengenai Betawi, sejarah Betawi dan politik Betawi, para
penulis tersebut mempunyai beragam latar belakang keilmuan. Contonya “Jakarta
Kini Dahulu dan Akan datang”, makalah Dr. H. Arullah Asbah yang menceritakan
tentang politik Betawi, “Jakarta dalam Jumlah dan Permasalahannya” makalah Prof.
Dr. Yasmin Zaki Shahab dan yang lainnya.
2. Tanggal 8 Oktober 2001, LSM JEDAH (Jakarta Environment Development And Humanity) mengadakan diskusi publik yang bertemakan “Gubernur Putera Daerah” di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat. Dalam konteks di atas, didiskusikan kemungkinan putra daerah Jakarta (orang Betawi) untuk menjadi gubernur daerah ini dengan mengundang pembicara-pembicara seperti DR. Laode Ida, dr. H. abdul Syukur, dan DR. Yasmine Z. Shahab.
82 Sumber: Dirjen Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Jln: HR. Rasuna Said (kuningan Jak-
Sel), Gedung Nyi Ageng Serang Lantai 6. Dokumentasi Kegiatan Bamus BETAWI 2001-2002
Resolusi politik yang dikeluarkan pada acara tersebut adalah pendukungan calon
gubernur yang berasal dari putra asli daerah (Betawi asli) dan penolakan atas
dukungan calon gubernur yang non pribumi, serta langkah-langkah pensuksesan
balon gubernur yang berasal dari putra daerah.
3. Tanggal 18 Oktober 2001, D3 Pariwisata UI telah
membawa mahasiswa semester satu ke Setu Babakan Jagakarsa Jakarta Selatan sebagai salah satu objek kunjungan acara city Tour. Acara ini diisi dengan pembawaan cerita sohibul hikayat oleh H. Sofyan Jaid dan mendapat tanggapan yang berhasil menimbulkan rasa senang mahasiswa. Peristiwa ini telah menggugah pengelola program (D3 Pariwisata UI) untuk melestarikan seni bercerita sohibul hikayat.
4. Organisasi MABES (Masyarakat Betawi se-Jabotabek) telah menyelenggarakan acara “ Legendary Award” pada bulan Oktober 2001. Acara yang baru pertama kali diadakan itu memilih figure Ali Sadikin karena telah berjasa membangun jalan-jalan dikampung-kampung menjadi lebih bagus dengan proyek MHT-nya.
5. Penulisan tentang tokoh-tokoh Betawi kini sedang digarap oleh aktivis FKMB (Forum akeluarga Mahasiswa Betawi). Penulisan ini sudah dimulai bulan November 2001 dan saat ini masih berlangsung.
6. Tanggal 3 Desember 2001 Partai Masyumi Baru berkerjasama dengan Lembaga Kebudayaan Betawi mengadakan acara Debat terbuka mengenai “ asal mula orang Betawi berasal” di auditorium gedung Nyi Agung Serang Jl. HR Rasuna Said Kav. C-22 Kuningan Jakarta Selatan. Debat antara Ridwan Saidi dengan Lance Castle mengambil tema “Betawi Keturunan Budak?”. Acara ini dihadiri antara lain oleh beberapa akademi dari UI.
7. Tanggal 29 Oktober 2001, diselenggarakan acara : “ngederes (Al-qur`an), pukul bedug, Nujuh bulanin, pupus puser” oleh Suku Dinas Pariwisata Jakarta Selatan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
8. Tanggal 8 Januari 2002 diselenggarakan acara “Jakarta Berdialog, Refleksi Tahun 2001 dan Prediksi tahun 2002” oleh LSM JEDAH. Dialog ini bertempat di Wisma Antara, Jakarta Pusat.
9. Tanggal 10 Januari 2002, dr. H. Abdul Syukur, SKM atas nama BAMUS Betawi membawakan makalah mengenai Kepahlawanan Daerah DKI Jakarta. Acara diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia.
D. Analisa dan Evaluasi Politik Masyarakat Betawi Dalam Membangkitkan Semangat Pendidikan Politik Dan Perjuangan Semangat Kebangsaan.
Dalam suatu perjuangan sebuah idealisme memang merupakan daya tarik atau
dapat kita katakan sebagai motor penggerak dari pergerakan yang akan
diperjuangkan. Hal ini yang rupanya yang membawa insan-insan Betawi untuk
menjadikan Islam sebagi landasan mereka dalam memperjuangkan politik Islam.
Mereka telah menjadikan Islam sebagai landasan idealisme mereka, sehingga mereka
tidak sama sekali dapat melepaskan baju Islam yang telah merekat dekat dengan
jantung kehidupan mereka.
Selain itu politik Islam yang masyarakat Betawi perjuangkan adalah politik
Islam yang konstitusional (menurut hukum yang berlaku) dan prosedural (menurut
aturan yang berlaku), artinya mereka tidak memaksakan kehendak mereka dengan
cara yang berutal seperti yang telah dilakukan Karto Suwiryo dengan DI (Darul
Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia). Masyarakat Betawi lebih elegan dalam hal
ini (politik), sebab dalam bantin mereka tertancapkan firman yang menyuruh mereka
untuk bergerak semaksimal mungkin, dan jika telah berusaha maka selanjutnya
adalah ‘tawakkal ala’lah’.
Kehidupan berpolitik bagi orang Betawi yang berkecimpung didalamnya
seperti makan buah simalakamah, artinya sistempoltik yang ada sekarang sangat
ambivalen dengan idealisme islamnya orang Betawi, akan tetapi jika tidak ada orang
Betawi yang berkecimpung dalam politik, maka Betawi akan binasa dan Betawi
bukan saja menjadi suku yang di nomor duakan, bahkan bukan suatu hal yang
mustahil Betawi akan menjadi fosil-fosil sejarah. Situasi seperti ini merupakan situasi
yang mau tidak mau orang Betawi harus pilih dan jalankan demi sesuatu yang lebih
besar dan berharga dari pada kepeng, yaitu menjaga Betawi dan obor Betawi.
Pendidikan politik orang Betawi yang sangat berharga seperti yang telah
dilakukan oleh para pendahulu orang Betawi salah satunya Bang Haji Muhammad
Husni Tamrin ketika mengeluarkan suara geledeknya dihadapan para kompeni
(penjajah) dalam Gemeenteraad 29-10- 1919, beliau berkata:83
“Toean kepala, saja doedoek dalam dewan kota boekan sebagai wakil dari K.P.M. tetapi sebagai wakil ra’jat Betawi, maka toean djangan loepa bahwa saja bagian dari ra’jat itu”
pidato Bang Husni ini merupakan pidato politik yang memberikan kepada kita sebuah
arti dari idealisme dan perjuangan semangat kebangsaan yang abadi, dimana Bang
Husni dengan darah betawinya yang menjumud dalam dirinya menyatakan dengan
lantang dihadapan para kompeni bahwa Betawi itu adalah rakyat yang harus juga di
hormati seperti yang lainnya.
83 Uka Tjandrasasmita., op. cit., h.16
Dalam hal ini pula kita telah mendapatkan sebuah arti pendidikan politik
kebangsaan yang sangat penting bagi kita dalam menggugah semangat pendidikan
politik Masyarakat Indosesia, dimana ketika kita hendak menyatakan sesuatu yang
benar (hak) maka nyawa dan darah adalah taruhannya, harta dan segalah kehidupan
dunia tidak terindahkan lagi. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bang Husni
Tamrin (‘Allahummagfir lahu’).
Menurut seorang politikus besar Betawi Dr. H. Amrullah Asbah pada suatu
acara malam debat calon anggota DPD 2004 yang para anggotanya debat adalah 10
unggulan anak Betawi, yang di antaranya KH. Drs. Sayfuddin Amsir, KH. Fudholi
El-Munir. MA. Ustaz H. Nu’man Muhasyim, Ir. H. Agus, Ir. H. Biem Triani
Bunyamis S. dan yang lainnya, dan acara tersebut diselenggarakan di aula hotel
Sopyan Betawi TIM (Taman Islamil Marzuki).
Bang Uwo’ (Dr. H. Amrullah Asbah) begitu penggilan akrabnya menyatakan,
bahwa pidato Bang Husni ini mengkaitkan Betawi sebagai nama perjuangan bangsa
(nasionalisme), dan secara tidak langsung nama Betawi tersebut mempunyai
kaitannya dengan perjuangan nasionalisme bangsa dan Negara dengan cara dialektis,
mengingat telah berakhirnya era perjuangan yang menggunakan senjata, contoh yang
telah dilakuan oleh Bang Husni adalah merupakan prilaku atau sikap politik orang
Betawi yang harus di contoh oleh para generasi Betawi berikutnya..
Analisa dan evaluasi semangat pendidikan politik yang kiranya penulis dapati
dari hasil pemikiran politik orang Betawi diatas adalah pertama, Betawi sebagai nama
salah satu bangsa atau suku yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) ini bukan saja nama yang lahir begitu saja dengan tanpa mempunyai arti apa-
apa, dan melihat perjuangan Bang Husni diatas telah menyatakan, bahwa dalam nama
Betawi tersebut tersiratkan arti perjuangan dan pemberontakan bangsa (semangat
nasionalisme) dan perjuangan kaum muslimin terhadap bangsa penjajah atau
pemerintah yang memberikan tekanan politik yang tidak merakyat.
Kedua politik orang Betawi yang syarat akan Islamnnya merupakan
pemancing yang sangat ampuh dan tepat dari segala motor penggerak pergerakan,
upayanya didalam berkehidupan negara masyarakat dapat lebih cermat, cerdas, dan
bersahaja, dan juga merespon keadaan politik Negara, tidak saja sebagai penonton
yang pasrah terhadap keadaan (‘man behind the gun not gun behind the man)’.
Ketiga Islam yang dimiliki orang Betawi alangkah baiknya jika tertancapkan
kepada setiap prilaku mereka sehari-hari, baik didalam kehidupan sosial maupun
kehidupan politik yang mereka jalani sebagai bagian dari budaya asli mereka.
Perjuangan-perjuangan mereka terhadap penegakan syariat Islam jangan hanya
berhenti akibat hambatan kontitusional dan perundang-undangan, perjuangan mereka
akan hal itu (syariat Islam) harus konsisten dan terus, hingga tercapai tujuan dan
keinginan orang Betawi dalan menegakkan syariat Islam di Negara Indonesia
minimal di Jakarta, tentunya harus dengan cara yang elegan dan terhormat tidak
arogan atau makar.
Keempat, bagi kalangan muda Betawi sudah saatnya sadar untuk belajar
banyak tentang politik dan sejarah perjuangan jajaran orang-orang penting Betawi
yang berkecimpung dalam politik, dan menjadikan pendidikan politik yang ada
sekarang ini sebagai suatu pendidikan yang sama pentingnya dengan khazanah
keimuan yng lannya yang untuk dipelajari dan di amalkan.
Kelima sabagaimana yang dikatakan dalam al-Quran, “Jangan engkau
memutar balikkan kebenaran dengan kebatilan” (QS: 1: 42) 84, firman ini hendaknya
dijadikan sebagai pegangan yang kuat bagi para politikus Betawi agar lebih
memprioritaskan untuk melihat permasalahan yang ada di tubuh bangsanya dari pada
permasalahan yang ada ditubuh partai dan perutnya saja, dan yang terakhir dari hasil
analisa dan evaluasi politik masyarakat Betawi dalam membangkitkan semangat
pendidikan politik dan perjuangan semangat kebangsaan yang penulis tangkap
adalah, jadikan kekalahan, kelemahan, dan kekuarang orang Betawi dengan para
pendatang sebagai pembelajaran dan bahan instropeksi diri bagi kalangan orang
Betawi agar sumber daya manusia Betawi kedepan menjadi lebih unggul dan layak
jual, bukan dijadikan sebagai ratapan hidup.
Pasca Soeharto hingga pemilihan presiden dan gubernur DKI mendatang,
adalah momen yang harus digunakan semaksimal mungkin oleh masyarakat Betawi
sebagai makna pentingnya berpolitik dalam memperjuangkan Betawi. Sebagaimana
masyarakat lainnya kepekaan masyarakat Betawi sekarang lebih kritis bahkan
emosional serta mereka telah memahami atau lebih memahami akan arti pentingnya
84 Ahmad bin Hasan Thobarih, op. cit., h. 396
stabilitas dan kesatuan politik bangsa. Sikap kritis dan emosional mereka
diungkapkan dengan mendirikan organisasi-organisasi kebetawian. Ini semua
merupakan pendidikan politik masyarakat Betawi terhadap bangsa dan negaranya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kehidupan politik masyarakat Betawi dari zaman kezaman adalah merupakan
imbas dari kehidupan mereka yang sejak dulu kala mereka tinggal dan menetap di
kota yang selalu dikelilingi oleh kegiatan politik pemerintah, dan oleh karenanya
mereka mempunyai sikap dingin terhadap politik (‘political disengegament’). Dari
hasil tulisan penulis tentang pemikiran politik masyarakat Betawi dapat disimpulkan
bahwa corak politik masyarkat Betawi pada sekala jeneral (umum) adalah Politik
Islam.
Politik Islam dijadikan mereka sebagai basis politik mereka dapat
diindentivikasi kepada beberapa factor berikut:
1. Orang Betawi mempunyai hutang budi yang sangat kuat dengan Islam
oleh karena Islam telah yang memperjuangkan kebebebasan mereka
dari penjajah dan perbudakan yang nenek moyang mereka pernah
alami. Maka dari itu kedatangan Islam membawa pencerahan kedalam
pemikiran dan jiwa mereka untuk bergerak maju kedepan menuju peru
bahan dan kehidupan yang lebih baik
2. Sejarah Jayakarta yang islami yang menerapkan kebaikan dan
kesahajaan diantara rakyat Betawi membawa pengalaman dan perasan
tentram bagi mereka, dengan itu mereka membiarkan Islam merasuki
jiwa dan pemikiran mereka.
3. Kondisi regiaonal yang tengah dilanda kerisis teryata membuat mereka
berfikir dan bergerak progresif demi obor mereka apalagi dengan
terjadinya serangan “teroris” terhadap Amerika dengan hancurnya
gedung kebanggaan mereka WTC (Wolrd Tread Center) dan kasus
Abubakar Ba’asir dan para ustaz yang ditangkap secara sepihak.
Justifikasi Amerika terhadap Islam membuat masyarakat Betawi
berang (marah) dan menginginkan Islam di kembaliakan namanya
seperti yang mereka harapkan (rahmatan lilalamin), kasus seperti ini
ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap kadar kepercayaan
masyarakat Betawi terhadap Islam, malahan sebaliknya mereka bersih
kukuh dengan penerapan syariat Islam di negara ini.
Pada garis besarnya politik masyarakat Betawi dari dulu terhitung sejak
zaman Bang Husni Tamrin (1919) sampai awal pemilu pasca kemerdekaan (1955)
hingga pasca Soeharto (2002) dan sekarang, ternyata masih dalam keadaan yang
stabil dan konsisten terhadap perjuangan para politikus-politikus Muslim Betawi.
Konsistensi mereka terhadap politik Islam mereka replesentasikan dengan cara
mereka sendiri, salah satunya dengan membuka lembaga pendidikan, sarana ibadah,
sosial, dan organisasi-organisasi Betawi dengan misi dan visi yang mengedepankan
kepada ajaran-ajaran agama dan hal ini yang merupakan bagian yang sangat penting
dari Betawi dan masyrakat Betawi.
Dalam kehidupan politik praktis masyarakat Betawi masih menganggap
politik yang ada sekarang masih kotor, atas dasar tersebut mayarakat Betawi lagi-lagi
‘disseggement’ terhadap politik, oleh karenanya kebanyakan masyarakat Betawi
mengambil jarak terhadap politik dengan mengkonsentrasikan diri mereka kepada
pendidikan agama dan mencari nafkah.
Namun setelah rezim Soeharto hengkang dari persada perjuangan demi
perjuangan mereka gencarkan lagi dengan mencoba mencalonkan diri untuk menjadi
politikus dan berkecimpung dalam politik sebagai wadah untuk mengangkat harkat
dan martabat mereka di negara yang berhukum dan berperaturan ini. Hal ini mereka
(politikus Betawi) lakukan adalah semata-mata untuk memperjuangkan aspirasi
masyarakat Betawi.
Perjuangan yang sekarang mereka lakukan adalah mempersiapkan diri untuk
meraih kursi nomor satu di ibukota. Perjuangan mereka meraih kursi nomor satu
tersebut bukan merupakan sesuatu yang utopis lagi mengingat salah satu dari anak
Betawi (Fauzi Bowo) telah menjadi wakil gubernur dan bukan suatu hal yang
mustahil jika yang di impikan menjadi suatu kenyataan, walaupun pada realita
kehidupan masyarakat Jakarta sekarang ini sudah sangat hetrogen. Kekalahan
masyarakat dalam mengadu sumber daya mereka terhadap para imigran merupakan
perkerjaan rumah organisasi-oraganisasi Betawi yang ada sekarang dan masyarakat
Betawi itu sendiri untuk lebih mementingkan pendidikan, dan serta menjadikan
politik sebagai bagian dari pendidikan yang juga penting dan sama derajatnya dengan
pendidikan agama, karena dengan politik perjuangan mereka menuju Betawi yang
sejahtera dan damai dapat menjadi kenyataan.
B. Saran-saran
Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan penulis diatas
maka penulis kiranya perlu memberikan saran-saran kepada masyarakat Betawi
sebagi bertikut:
1. Agama sebagai dasar dari ajaran yang sangat penting bagi masyarakat
Betawi hendaknya dipegang dan diamalkan secara konsisten, sehingga
identitas Betawi bukan saja dilihat dari perbedaan antara asal usul
serta pengalaman mereka terhadap, namun juga dengan tingkat
pengamalan dan pendidikan agama seperti yang dikagumi bayak
orang.
2. Mencari nafkan merupakan konsekuensi manusia sebagai makluk
yang diciptakan Tuhan yang membutuhkan kelangsungan
kehidupannya dengan nafkah. Namun sama pentingnya dengan
mencari nafkan adalah pendidikan, dimana dengan pendidikan tersebut
kehidupan Betawi dan budaya Betawi akan tetap bertahan, dan obor
mereka yang telah diwarisi oleh para pendahulu mereka akan tetap
terjaga.
3. Walupun politik Negara ini kotor, namun hal terbut bukan merupakan
halangan bagi masyarakat Betawi untuk mengambil sikap antipati
terhadap Negara. Bahkan sebaliknya jadikan hal tersebut tantangan
yang bijak, karena dengan bermain dalam politik eksistensi
masyarakat Betawi akan tetap diakui. Hal ini dapat terwujud jika
politik yang kotor tersebut dapat di murnikan dengan menerapkan
sendi-sendi Islam didalamnya sebagaimana orang betawi
memahaminya.
4. Politik Islam yang diambil sebagai basis hendaknya jangan putus
ditengah jalan, perjuangan ini merupakan perjuangan leluhur betawi
yang harus diteruskan dan diwarisi kepada sanak famili berikutnya.
Pengamalan poltik Islam tidak begitusaja hanya dapat diamalkan di
dalam Negara Islam, namun sebaliknya politik Islam sangat fleksibel
dan dapat diamalkan dimana saja dan dinegara apa saja asalkan
kekuatan pemahaman Islam telah mendarah daging. Orang Betawi
seharusnya tahu itu.
5. Sikap egaliter merupakan sikap yang sangat bijaksana dan dianjurkan
agama, namun jangan jadikan sikap ini menjadi peluang yang luas
bagi para imigran.
6. Masyarakat Betawi harus pro aktif terhadap kondisi politik yang ada di
Negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, karena hal ini
berkaitan dengan keberadan Jakarta sebagai ibukota dimana segala
kebijakan yang dicanangkan pemerintah sangat erat kaitannya dengan
pembangunan Jakarta, dan secara otomatis juga berkaitan dengan
Betawi itu sendiri.
7. Organisasi Betawi yang ada sekarang sebaiknya mengikut sertakan
masyarakat Betawi dalam meningkatkan kerjasama dan musyawarah
Betawi kedepan. Perjuangan-perjuangan yang oraganisasi Betawi
perjuangkan selama ini masih sangat jauh mengena secara kelurahan
kapada lapisan orang-orang Betawi apalagi kalangan Betawi barisan
bawah.
8. Bamus BETAWI sebagai wadah besar organisasi masyarakat Betawi
harus memeras keringat lagi dalam memperjuangkan aspirasi
masyarakat Betawi dan melihat langsung kelapangan apa yang mereka
inginkan, jangan konsern dengan program dan persoalan gubernur
saja.
9. Organisasi-oraganisasi yang mengatasnamakan Betawi sebaiknya
jangan mengangkat nama Betawi tersebut sebagai indentitas pemilik
Jakarta atau penduduk asli Jakarta, namun sebaliknya jadikan nama
Betawi sebagai perjuangan bangsa dan Negara secara universal
terhadap suatu kebijakan yang tidak merakyat, sebagaimana yang
diamanatkan oleh Bang Husni Tamrin.
10. Gunakan sebaik mungkin sarana partai politik yang ada sebagai
ungkapan ketidak puasan atas kebijakan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achmad, Muhdhor, Drs., Ilmu dan Keinginan Tahu, Epistemologi dalam Filsafat, (Bandung: Trigenda Karya, 1994) .
Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Jakarta: Republika 2002
Duverger, Maurice, Daniel Dhakidae, trej, Sosiologi Politik, (Jakarta: PT Gaja Grafindo Persada, 1996)
Efendy, E.K. Mochtar, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan aJaran Islam (Jakarta: Bharatara Askara, 1996)
Hakim, Abdul Hamid, Mabadi’ Awaliyah, Sa’adiyah Putra: (Jakarta)
HR, Sugeng, RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), (Semarang: Aneka Ilmu, 1 Pebruari, 2003) I’liyan, Syaukat Muhammad, Dr., An-Nizam As-Siyasi Fil Islam,
Riyad: Jami’ Hukuk Mahfuzhat lil Mualif
Majid, Nurcholish, (ed), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
Noer, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Bandung: Mizan, 2000)
Provinsi Republik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara, 1992)
Saidi, Ridwan, Drs., Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya”, (Jakarta: PT. Gunara Kata, 2004)
Sihombing, Frans Bona, Drs., Ilmu Politik Internasional, Teori, konsep, dan Sistem, (Jakarta: Ghahlia Indonesia, 1984)
Surbakti, Ramalan, Memahami Ilmu Politik, (PT. Gramedia: Jakarta, 1999)
Surjomiharjo, Abdurrahman, Sejarah Perkembangan Jakarta, (Jakarta : Dinas Musium dan Pemugaran Propinsi Dki Jakarta 1999/2000)
Syafiie, Inu Kencana, Drs., Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)
Zahra, Abu, Politik Demi Tuhan, (ed). (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
JURNAL
Dinas kebudayaan DKI, 1995
Effendy, Bahtiar, DR., ”Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia”, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. V No. 2, 2003
FS-UI, 1976/77:3
Shahab, Yasmine Zaki, DR., “Lenong”, Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No. 1/Januari 2002
Swasono, Meutia Farida, DR., “Jawara dalam Ravitalisasi Betawi” Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No. 1/Januari 2002
MAKALAH
Asbah, Amrullah, “Pandangan Masyarakat Betawi terhadap Partai Golkar pada Pemilu 2004”, Makalah 2004
Saidi, Ridwan, Drs., “Sisi Lain Kebudayaan Betawi, Orang Betawi dan Dalam Gaib”, ceramah budaya 4 November 1997
Shahab, Yasmin Zaki, DR., “Betawi dalam Jumlah dan Permasalahannya”, Makalah Seminar Batavia
Sonhadji, Ahmad, Prof. Dr. H. K.H., M.A, Bahan-Bahan Kuliah Metode Penelitian, (Malang: Universitas Islam Malang)
Tjandrasasmita, Uka, “Kehidupan Masyarakat di Jakarta sebelum Batavia”, Makalah Seminar Batavia
SKRIPSI
Rafiudin, Muhammad, “Ulama dan Kepemimpinan Politik: Tinjauan Praktek Politik
KH. Zainuddin MZ”, Skripsi S1, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004) KORAN
Banjarmasin Pos, 14 Juli 1986
KAMUS
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1997)
Hasan At Thabarih, Ahmad Bin, Fathur Rahman: Lithalibat Ayatil al-Qur’an, (Bairut: Al Mathba’ah Ahliyah, 1323)
INTERNET
WWW. Walhi. Or. Id. 1990/2000
NEGARA DALAM PEMIKIRAN ORANG BETAWI
RESPONDEN ORANG BETAWI ASLI KISARAN UMUR 20-70 TAHUN
No. Pertanyaan Politik Setuju Tidak Setuju
1. Setujukah anda dengan sistem politik yang ada di Indonesia sekarang ini
2. Setujukah anda dengan kebijakan pemerintahan sekarang
3. Setujukah anda jika sistem pemerintahan pak Harto kembali hadir
4. Setujukan anda dengan keadaan Negara yang lalu (Orba)
5. setujukah anda jika pemerintah daerah membuat cagar budaya Betawi
6. Setujukah anda jika masyarakat Betawi di peta-petakan oleh pemerintah seperti di setu babakan
7. Setujukah anda jika presiden Indonesia dari orang Betawi
8. Setujukah anda dengan undang-undang otonomi daerah
9. Setujukah anda jika orang Betawi jadi gubrnur DKI 10. Setujukah anda jika keseluruhan jajaran pemerintahan
Jakarta dipegang oleh orang Betawi
11. Apakah anda setuju jika orang Betawi menjadi menteri 12. Setujukah anda jika Negara Indonesia menerapkan
syariat Islam sebagaimana tertera dalam piagam Jakarta
13. Setujukah anda jika demokrasi yang ada sekarang dirubah menjadi demokrasi Islam
14. Setujukah anda jika jakarta menerapkan hukum islam seperti di Aceh
15. Apakah anda setuju dengan gerakan FBR (Forum Betawi Rempug)
16. Apakah anda setuju jika orang Betawi yang mengendalikan Negara ini
17. Apakah anda setuju dengan organisasi orang Betawi sekarang
18. Setujukah anda jika ada orang betawi yang minta bantuan kepada kelompoknya untuk memecahkan masalah pribadinya
19 Setujukah anda jika jumlah populasi pendatang
dikurangi dengan cara razia ktp dan yang lain sebagainya
20. Setujukah anda jika orang betawi bersikap dingin dengan keadaan negaranya
Ctt: Berikan lis pada jawaban yang anda maksud.
PROFIL RESPONDEN Nama:…………………………………………………………………………….
Tempat Tanggal Lahir:………………………………………………………….
Kebangsaan: ………………………………………………………………………
Umur:……………………………………………………………………………..
Agama: ……………………………………………………………………………
Alamat:……………………………………………………………………………
No telepon:………………………………………………………………………..
Pendidikan: *SD. Pesantren. SMP/MTS. SMA/MA. Sarjana S1/S2/S3. Lain-lain.
Pekerjaan : *GURU. Wira Swasta. Pelajar. Lain-lain.
Pendapatan perbulan:** Rp: 500.000,00. Rp: 1.000.000,00. Rp: 1.500.000,00.
Rp:2.000.000,00. Lain-lain.
---------------------------------------------------- * Bulatkan yang anda maksud. ** Berikan lis