Upload
et-maulanarzz
View
48
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
menjelaskan tetang arsitektur rumah betawi
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
kebudayaan merupakan kompleks budi dan daya, bukan semata-mata kesenian dan
kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami perubahan dan transformasi dari masa
ke masa. Semakin meningkatnya apresiasi seni dan budaya telah menunjukkan bahwa seni
dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Orang Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta, diyakini oleh banyak ahli
merupakan perpaduan dari beberapa kelompok etnis budaya yang tinggal bersama-sama
selama beberapa abad seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Sumbawa, Ambon, Cina dan
Melayu. Oleh karena itu, beberapa produk budayanya termasuk arsitektur juga mencerminkan
perpaduan tersebut. Sejak menjadi ibukota, laju pembangunan di kota Jakarta telah membuat
orang Betawi tercerabut dari kelompoknya sehingga mempersulit komunikasi di antara mereka.
Orang Betawi menjadi semakin terdesak dan tergusur. Akibatnya ribuan orang Betawi pindah
dan bercerai berai ke pinggiran kota. Menurut Saidi (1996), orang Betawi telah berusaha untuk
memelihara eksistensi budayanya. Namun, pendukung kebudayaan Betawi di Jakarta kian hari
kian menipis. Pada dekade I970an, pemerintah berinisiatif untuk membuat konservasi budaya
kampung Betawi di wila Condet. Namun pembangunan yang spekulatif ini justru telah
meminggirkan orang Betawi Pinggir di Conder dengan dibukanya wilayah ini. Pada dekade I990
an jumlah orang Betawi di Condet yang diperkirakan tinggal 30% merupakan jumlah yang
optimistis. Belajar dari pengalaman ini, pada dekade 2000an pemerintah mengembangkan lagi
konservasi budaya di Setu Babakan. Dalam upaya ini, arsitektur vernakular baru dibangun
untuk menggantikan bangunan tua, disertai dengan konservasi terhadap pertanian, seni dan
makanan untuk menarik wisatawan. Di wilayah pesisir, orang Betawi Pesisir "bertemu" dengan
orang Cina dan Bugis. Pertemuan ini telah menghasilkan arsitektur vernakular bergaya Cina
pedesaan di wilayah Teluk Naga, Tangerang dan Bugis nelayan di wilayah Kamal
Muara,Jakarta Utara. Sementara di wilayah selatan, orang Betawi Udik "berternu" dengan
orang Sunda yang menghasilkan arsitektur vernakular rumah panggung di wilayah Kranggan,
Bekasi. Makalah ini merupakan kajian terhadap arsitektur vernakular di lima wilayah Jakarta
dan sekitarnya yang meliputi Teluk Naga, Kamal Muara, Condet, Setu Babakan, dan Kranggan.
Beberapa aspek kajian antara lain adalah spasial, aksesibilitas, tampak bangunan, dan
ornamen bangunan.
1.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang ada, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sejarah arsitektur tradisional/vernakular rumah betawi
2. Memahami dan menganalisis konsep bangunan vernacular rumah betawi yang menjadi
konservasi budaya di daerah jakarta
3. Mengetahui bentukan rumah betawi serta detail dan sirkulasi ruangnya
4. Mengetahui bentuk penerapan/aplikasi/apresiasi (modern/vernakular) dalam bangunan
rumah betawi
5. Memahami dan menganalisis potensi yang ditimbulkan dalam pengembangan
konservasi budaya terhadap daerah rumah betawi
1.3. Metode penulisan
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kualitatif. Yang mana
secara garis besar metode yang dipakai digunakan untuk mendapatkan data dan informasi
selengkapnya mengenai kondisi fisik, yaitu metode pengamatan, menentukan variabel
perbandingan karakteristik dan wawancara dengan pemilik bangunan atau masyarakat sekitar.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif dan komparatif.
BAB II
OBYEK STUDI
2.1 Obyek Arsitektur Tradisional/Vernakular
Kota Jakarta terletak pada 106 derajat 49′ 35″ Bujur Timur dan 06 derajat 10′ 37″
Lintang Selatan. Luas Wilayah 650,40 Km2 (termasuk Kepulauan Seribu, 9.20 Km2). Berada di
dataran rendah pantai Utara Bagian Barat Pulau Jawa. Terdapat sekitar 10 buah sungai alam
dan buatan.
a. Lokasi dan Tempat Demografi
Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah
Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan luas ±289 Ha.
Batas fisik ; sebelah utara Jl. Mochamad Kahfi II sampai dengan Jl. Desa Putra (Jl. H.
Pangkat), sebelah timur Jl. Desa Putra (H. Pangkat) Jl. Pratama (Wika, Mangga Bolong Timur)
Jl. Lapangan Merah, sebelah selatan batas wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan Kota Depok,
sebelah barat Jl. Mohammad Kahfi II
Setu Babakan atau Danau Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan
Jagakarsa, Jakarta Selatan, Indonesia dekat Depok yang berfungsi sebagai pusat
Perkampungan Budaya Betawi, suatu area yang dijaga untuk menjaga warisan budaya Jakarta,
yaitu budaya asli Betawi. Situ atau setu Babakan merupakan danau buatan dengan area 32
hektar (79 akre) dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini digunakan untuk
memancing bagi warga sekitarnya. Danau ini juga merupakan tempat untuk rekreasi air seperti
memancing, sepeda air, atau bersepeda mengelilingi tepian setu.
b. Asal Muasal Sejarah Tempat
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya
bertempat tinggal di Jakarta.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang
Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan
oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya
terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok
etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab,
Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke
17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan
asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15
(tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis
terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.
Sejak menjadi ibukota, laju pembangunan di kota Jakarta telah membuat orang
Betawi tercerabut dari kelompoknya sehingga mempersulit komunikasi di antara mereka. Orang
Betawi menjadi semakin terdesak dan tergusur. Akibatnya ribuan orang Betawi pindah dan
bercerai berai ke pinggiran kota. Menurut Saidi (1996), orang Betawi telah berusaha untuk
memelihara eksistensi budayanya. Namun, pendukung kebudayaan Betawi di Jakarta kian hari
kian menipis. Pada dekade I970an, pemerintah berinisiatif untuk membuat konservasi budaya
kampung Betawi di wila Condet. Namun pembangunan yang spekulatif ini justru telah
meminggirkan orang Betawi Pinggir di Condet dengan dibukanya wilayah ini. Pada dekade I990
an jumlah orang Betawi di Condet yang diperkirakan tinggal 30% merupakan jumlah yang
optimistis. Belajar dari pengalaman ini, pada dekade 2000an pemerintah mengembangkan lagi
konservasi budaya di Setu Babakan yang kini dikenal dengan Perkampungan Budaya Betawi.
Perkampungan Budaya Betawi adalah satu kawasan di Jakarta Selatan dengan
Komunitas yang ditumbuhkan kembangkan budaya yang meliputi seluruh hasil gagasan dan
karya baik fisik maupun non fisik yaitu : Kesenian, adat istiadat, Foklor, Kesastraan dan
Kebahasaan, Kesejahteraan serta bangunan yang bercirikan kebetawian.
Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah
Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara
berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah
satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan
atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Setu
Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi, memancing, bercocok
tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Melalui
cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.
Setu Babakan adalah kawasan hunian yang memiliki nuansa yang masih kuat dan
murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,, rutinitas keagamaan, maupun
bentuk rumah Betawi. Dari perkampungan yang luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya
adalah milik pemerintah di mana yang baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan ini
didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli
Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya
adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan, dll yang
sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.
Setu Babakan, sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi, sebenarnya
merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya
dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474.
Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi,
seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.
Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi
sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga
pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar
Budaya Betawi, namun urung (batal) dilakukan karena seiring perjalanan waktu perkampungan
tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI
Jakarta kemudian merencanakan kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah
direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu
Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan
masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai
kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah persiapan dirasa
cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso,
sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu, perkampungan Setu Babakan juga
merupakan salah satu objek yang dipilih Pacifik Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat
kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.
c. Sistem Kepercayaan dan Religi
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara
penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,
Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk
komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap
di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
d. Bahasa
Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu
Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari
asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun
kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar
"Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi).
Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan
ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk
asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda
Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada
juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga
ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat,
penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu
lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai
tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk
sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian
dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda
diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya
sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang
masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak,
Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan
tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan
dalam naskah kuno Bujangga Manik[8] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford,
Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia,
bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi
pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah
"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena
berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar
Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling
selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan,
Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.
Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah
Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.
Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling
jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah
jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati
dalam cara baca mengaji Al Quran.
e. Sistem Pemerintahan
Untuk sistem pemerintahannya sendiri mengikuti status sebagai ibu kota negara
Republik Indonesia presidensial yang merupakan suatu kawasan administrative. menjadi pusat
pemerintahan juga dikenal sebagai kota perdagangan dan kebudayaan. Dengan kedudukannya
sebagai ibu kota Republik Indonesia, ia merupakan pusat kegiatan kebudayaan yang
jaringannya meliputi suatu kompleks satuan-satuan administrasi, politik, ekonomi, dan
komunikasi.(Suparlan, 1980)
f. Kesenian
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten
Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses
campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa
dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara
atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik
pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa
Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan
perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan
Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Adapun beberapa kesenian yang dilestarikan antara lain:
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong
yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik
Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-
Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan
seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat
yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong
Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh
Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul
seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional
ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,
pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi
langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal
seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang
yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang
dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita
Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari
Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Teater tradisional
Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik
gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor,
suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.
Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral,yaitu menolong yang lemah,
membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah
bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Sejarah Lenong Lenong
berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abadke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin
merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi
bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman
Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang
kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Lakon-lakon lenong
berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi
pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Pada mulanya kesenian ini
dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara
terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris
mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai
dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti
resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan
panggung. Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang
dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang
direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.
Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang
ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong
yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen. Jenis lenong
Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari
kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya
umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum
bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh
sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Lenong denes dapat dianggap
sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini telah
punah,yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang dermuluk. Sedang lenong preman adalah
perkembangan dari wayang sironda. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari
bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa
Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari,
sehingga sangat akrab dan komunikatif dengan para penontonya. Kisah yang dilakonkan dalam
lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan
pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan
melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah
1001 malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang
dibandingkan lenong denes.
g. Peralatan dan Teknologi
Betawi memiliki perkembangan yang bisa dikatakan paling pesat dari semua daerah
yang tersebar di Indonesia. Begitu juga dengan pesatnya perkembangan teknologi yang dialami
di Jakarta.
Teknologi Suku Betawi didatangkan dari negara asing, seperti senjata api, kapal laut,
kompas, teropong, peralatan pabrik dan bercocok tanam, dan lain sebagainya.
Masyarakat Betawi banyak mengadaptasi perkembangan peralatan teknologi yang di
buat di Jepang. Sayang untuk dikatakan, tetapi masyarakat Betawi merupakan konsumen yang
memiliki sifat ‘konsumtif’ yang secara langsung mempengaruhi negara kita.
h. Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Betawi bisa dibedakan. Antara lain sebagai berikut :
Mereka yang berada di tengah kota menunjukkan mata pencaharian yang bervariasi,
misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang
seperti membuat meubel.
Mereka yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan,
pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi
buruh pabrik, guru, dan lain-lain.
i. Sistem Pengetahuan
Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa Orang Betawi itu malas bekerja,
berebut warisan, sering berkelahi, dan lain-lain. Sehingga mereka dibilang “Ngontrak di Tanah
Sendiri”.
Sebenarnya banyak orang- orang Betawi yang sudah sangat maju dalam hal
pendidikan dan cara berpikir karena tersentuh modernisasi oleh karena itu mereka mempunyai
visi yang jelas, tujuan hidup yang pasti dan berpendidikan.
Sayangnya, citra orang Betawi yang terus-menerus ditampilkan di layar televisi
adalah orang Betawi yang malas bekerja, berebut warisan, berkelahi dengan keluarga,
kalaupun sekolah sifatnya mengaji gaya kampung. Karena pada umumnya mereka masih
mempunyai sikap yang sama dengan pendahulunya, seperti tidak kemaruk pangkat, tidak
mempunyai ambisi yang terlalu tinggi, hidup bagaikan mengikuti aliran air atau ke mana angin
berembus.
j. Daur Hidup
Dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik
garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu.
Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum
perpisahan berlangsung. Ada yang menetap secara patrilokal maupun matrilokal
Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem
kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal
Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sisitem
kekerabatanya, pada umumnya menganut sisitem patrilineal yaitu menghitung hubungan
kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap individu
dalam masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan kekerabatannya,
sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan kekerabatannya.
Perlu diakui, asumsi masyarakat tentang Suku Betawi memiliki penilaian yang
menganggap bahwa masyarakat Betawi jarang mencapai keberhasilan, baik dalam segi
ekonomi, pendidikan dan teknologi. Padahal, bila kita tinjau lebih jauh, tidak sedikit orang
Betawi yang berhasil. Misalnya saja Muhammad Husni Thamrin, Benyamin S, bahkan hingga
Gubernur Jakarta saat ini, Fauzi Bowo.
Ada beberapa hal yang positif yang dimiliki oleh masyarakat Betawi antara lain, jiwa
sosial mereka tergolong sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih
dan cenderung tendensius atau fanatik. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai – nilai agama
yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya.
Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik
antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta. Orang Betawi sangat menghormati
budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan
lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel,
gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi
masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi yang ironisnya terjadi di daerah atau tanah
masyarakat Betawi sendiri. Namun, tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi bahwa
masyarakat generasi mendatang akan mampu menopang modernisasi tersebut.
k. Sandang, Pangan, Papan
Sandang, Pangan, Papan merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia. Sama
halnya dengan kehidupan masyarakat betawipun membutuhkan 3 pokok kebutuhan ini antara
lain:
Pangan untuk masyarakat betawi merupakan kebutuhan pokok yang sama dengan
yang lainnya manusia yang harus terpenuhi untuk dapat bertahan hidup dan melakukan
aktivitas sehari-hari. Kebutuhan pangan disini sebagai kebutuhan makanan dan minuman.
Makanan berasal dari tumbuhan atau hewan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk
memberikan tenaga dan nutrisi.
Dalam kebutuhan pangan yang masyarakat betawi ini adalah kebutuhan pangan
yang termasuk kedalam jenis SEMBAKO (Sembilan bahan pokok) dan sayuran. Menurut
keputusan menteri industri dan perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari
1998, Kesembilan bahan itu adalah:
1. Beras
2. Gula pasir
3. Minyak goreng dan margarine
4. Daging sapi dan ayam
5. Telur ayam
6. Susu
7. Jagung
8. Minyak tanah
9. Garam beryodium
Untuk Sandang/pakaiannya itu sendiri sama halnya dengan yang lain kebutuhan
pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia
membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan,
ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian
bergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya dimana masing masing bangsa memiliki
ciri khas masing masing.
Dan tidak lupa untuk papannya Kebudayaan Betawi juga memiliki rumah adat yang
disebut Rumah Kebaya.
l. Peralatan
Bendo atau Golok
Golok merupakan senjata tajam yang umumnya digunakan oleh masyarakat Betawi,
Bagi mereka, keberadaan golok sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Barat, namun
diantara keduanya memiliki perbedaan yang bisa dilihat dari bentuk model dan pemberian
nama.
m. Arsitektur Bangunan
Arsitektur Rumah Betawi: Bentuk tradisional rumah Betawi dengan sifat lebih
terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Hal ini bisa dilihat dari pola tapak, pola tata ruang
dalam, sistem stuktur dan bentuk serta detail dan ragam hiasnya. Rumah tradisional Betawi
tidak memiliki arah mata angin, ke mana rumah harus menghadap dan juga tidak ada bangunan
atau ruang tertentu yang menjadi orientasi/pusat perkampungan. Pada pemukiman Betawi,
orientasi atau arah mata angin rumah dan pekarangan lebih ditentukan oleh alasan praktis
seperti aksesibilitas pekarangan (kemudahan mencapai jalan) juga tergantung pada kebutuhan
pemilik rumah. Di atas tapak rumah (pekarangan rumah) selain didirikan beberapa rumah
tinggal (karena adanya pewarisan atau dibeli orang untuk dibangun rumah) juga dibangun
fungsi-fungsi lain seperti kuburan, lapangan badminton, dsb. Di daerah pesisir, kelampok-
kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai. Namun
tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau
orientasi tertentu.
Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, arsitektur rumah tradisional
Betawi, khususnya di Jakarta Selatan dan Timur, dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis: (1)
Rumah Gudang; (2) Rumah Joglo; (3) Rumah Bapang/Kebaya. Tata letak ketiga rumah itu
hampir sama, terdiri dari ruang depan (serambi depan), ruang tengah (ruang dalam), dan ruang
belakang. Pada rumah gudang, ruang belakang secara abstrak berbaur dengan ruang tengah
dari rumah sehingga terkesan hanya terbagi dalam dua ruang, ruang depan dan tengah. Dahulu
ruang depan berisi balai-balai sedang sekarang umumnya diganti kursi dan meja tamu. Ruang
tengah merupakan bagian pokok rumah Betawi yang berisi kamar tidur, kamar makan, dan
pendaringan (untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi dan beras). Kamar tidur
ada yang berbentuk kamar yang tertutup tetapi juga ada kamar tidur terbuka (tanpa dinding
pembatas) yang bercampur fungsi menjadi kamar makan. Kamar tidur terdepan biasanya
diperuntukkan anak perempuan si empunya rumah. Sedang anak laki-laki biasanya tidur di
balai-balai serambi depan atau di masjid. Sedang ruang belakang digunakan untuk memasak
dan menyimpan alat-alat pertanian juga kayu bakar.
Organisasi ruang dan aktivitas dalam rumah tradisional Betawi sebenarnya relatif
sederhana. Tidak ada definisi fungsi ruang berdasarkan jenis kelamin. Kalaupun rumah dibagi
dalam tiga kelompok ruang yang pada rumah Jawa dan Sunda menyimbolkan sifat laki-laki,
netral, dan wanita, pada rumah Betawi hal itu terjadi karena tuntutan-tuntutan kepraktisan saja.
Tata letak ruang rumah tradisional Betawi cenderung bersifat simetris. Dilihat dari letak pintu
masuk ke ruang lain dan letak jendela jendela depan yang membentuk garis sumbu abstrak dari
depan ke belakang. Kesan simetris bertambah kuat karena ruang depan dan belakang dimulai
dari pinggir kiri ke kanan tanpa pembagian ruang lagi. Selain itu rumah tradisional Betawi juga
menganut dua konsep ruang, yang bersifat abstrak dan kongkrit. Konsep ini diterapkan pada
jenis kamar tidur yang tertutup dan terbuka.
n. Arsitektur Bentang Alam
Secara keseluruhan rumah-rumah di Betawi berstruktur rangka kayu, beralas tanah
yang diberi lantai tegel atau semen (rumah Depok). Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya,
rumah tradisional Betawi secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu
potongan gudang, potongan joglo (limasan) dan potongan bapang atau kebaya. Masing-masing
potongan atau bentuk itu berkaitan erat dengan pembagian denahnya.
Secara umum rumah Betawi memiliki serambi bagian depan yang terbuka. Serambi
bagian depan ini ada yang menyebutnya sebagai 'langkan'. Di serambi, jika tidak berkolong,
terdapat bale, semacam balai-balai yang kakinya dipancangkan di tanah. Di bagian kanan dan
kiri serambi terdapat jendela tanpa daun dan kadang-kadang di bagian atas jendela
melengkung menyerupai kubah masjid. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun
rumah adalah kayu sawo, kayu kecapi, bambu, ijuk, rumbia, genteng, kapur, pasir, semen, ter,
plitur, dan batu untuk pondasi tiang. Dan sebagai pengisi sebagian besar digunakan kayu
nangka atau bambu bagi orang-orang yang tinggal di daerah pesisir. Ada juga orang yang
sudah menggunakan dinding setengah tembok sebagai pengisi. Penggunaan tembok seperti ini
adalah pengaruh dari Belanda.
Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si
Pitung di Marunda. Atapnya ada yang berbentuk bapang, joglo, dan lain sebagainya. Di daerah
pinggiran seperti di Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur masih dapat dijumpai rumah-rumah
berkolong, tetapi tidak terlalu tinggi seperti rumah Si Pitung. Rumah-rumah yang merupakan
peralihan dari rumah berkolong ke rumah tanpa kolong terdapat di daerah Pondok Rangon,
Keranggan, danTipar. Lebar kolong kurang lebih 20-30 cm.
Rumah tanpa kolong ada yang berlantai tanah, tembok, ubin dan batu pipih atau
semen. Pada rumah yang beralas tanah, pengaruh Belanda dapat dilihat dari penggunaan
Rorag (terbuat dari bata) sebagai penghubung antara struktur tegak (baik setengah tembok
maupun dinding kayu/bambu) dengan lantai. Pada rumah panggung penggunaan alas untuk
lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah panggung penggunaan
alas untuk lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah yang bukan
panggung dipergunakan tanah sebagai lantai atau menggunakan ubin tembikar (pada orang
kaya setempat), kemudian pada perkembangannya dipergunakan ubin semen. Penggunaan
ubin tembikar dan semen ini merupakan pengaruh Belanda. Rumah petani yang berkecukupan
biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian inti disebut Paseban atau Belandongan atau
dapur.
Struktur atap bangunan tradisional Betawi memiliki variasi-variasi yang dipengaruhi
oleh unsur-unsur dari luar. Sebagai contoh sekor untuk penahan dak (markis) dan struktur
overstek atau penanggap. Untuk sekor penahan dak selain terbuat dari kayu, ada pula yang
terbuat dari logam yang menunjukkan pengaruh Eropa. Juga untuk siku penanggap selain
kedua variasi dilihat dari aspek penggunaan bahan, kita juga melihat adanya pengaruh Cina
seperti adanya konstruksi Tou-Kung, khususnya pada rumah-rumah tradisional Betawi di
Angke.
Bangunan inti berfungsi sebagai tempat tidur keluarga dan letaknya biasanya
berseberangan. Pada rumah tradisional Betawi, di samping jendelanya berdaun biasa, juga
diberi bahan yang kuat seperti batang kelapa atau aren yang sudah tua. Jendela yang ada di
sebelah kanan dan kiri pintu yang menghadap ke paseban atau langkan ada yang dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat digeser-geser, membuka, dan menutup. Jendela seperti itu
disebut jendela bujang atau jendela intip. Selain berfungsi sebagai ventilasi dan jalan cahaya,
jendela juga berfungsi sebagai tempat pertemuan perawan yang punya rumah dengan pemuda
yang datang pada malam hari. Si gadis ada di sebelah dalam, sedangkan si pemuda ada di
luar, dibatasi jendela berjeruji. Sebelum sampai pada taraf 'ngelancong' yang agak intim, anak
perawan yang bersangkutan cukup mengintip dari celah-celahnya.
Pada rumah tradisional Betawi tidak dikenal adanya pembagian ruang berdasar jenis
kelamin, namun lebih banyak ditentukan berdasar tuntutan praktis. Rumah tradisional Betawi
ditinjau dari tata letak dan fungsinya, cenderung bersifat simetris, hal ini dapat dilihat dari letak
pintu masuk dan pintu belakang yang sejajar dan membentuk garis lurus.
Kepercayaan mengenai larangan dan aturan yang harus dipatuhi saat pembangunan
rumah. Bertujuan supaya penghuni rumah mendapatkan keselamatan di tempat tinggalnya dan
mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya. Beberapa pantangan dan aturan dalam
penggunaan bahan bangunan: Kayu nangka tidak boleh dibuat trampa atau drampol, yaitu
bagian bawah kusen pintu. Sebab ada kepercayaan bahwa orang yang berani melangkahi kayu
nangka bisa terkena penyakit kuning. Kayu cempaka dibuat untuk kusen pintu bagian atas
supaya harum. Ada kepercayaan bahwa penggunaan kayu cempaka akan membuat penghuni
rumah selalu baik-baik dan disenangi tetangga. Kayu asem tidak boleh dipakai untuk bahan
bangunan rumah karena akan menganggu hubungan dengan tetangga.
Ada pula pantangan untuk membuat atap rumah dari tanah karena tanah tempatnya
di bawah. Jadi kalau ditempatkan di atas atap berarti penghuni rumah terkubur tanah. Pemilik
rumah juga dilarang untuk menempati bangunan yang belum dipasangi jendela dan pintu.
Dalam menentukan tempat untuk mendirikan rumah ada beberapa ketentuan yang
bersifat umum, yaitu (1) tidak boleh mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan; (2)
tempat rumah untuk anak yang berkeluarga harus berada di sebelah kiri orang tua karena kalau
menantunya mendirikan rumah di sebelah kanan orang tua bakal "tidak kuat", artinya keluarga
anak tersebut akan sakit-sakitan atau susah rejeki.
2.2. Apresiasi Budaya Berarsitektur (Tradisional/Vernakular Indonesia)
a. Bentuk penerapan/aplikasi/ apresiasi dalam bangunan (modern/vernakular)
Dewasa ini orang mulai menengok kembali Rumah Tradisional Betawi karena
menghawatirkan akan keberadaan rumah ini yang sulit ditemukan pada masa kini sehingga
pemerintah juga membuat cagar budaya Betawi di tempat lain (di kawasan setu babakan) dan
beberapa orang yang mencintai kebudayaan Betawi malah dengan sengaja membuat rumah
"Tradisional Betawi", yaitu rumah yang dibangun dengan menggunakan "pakem" Rumah
Tradisional Betawi tetapi dengan memasukkan unsur modern ke dalamnya, seperti penggunaan
material lantai modern (keramik) ataupun material dinding bata.
Bentuk aplikasi dalam bangunan betawi sebelumnya merupakan organisasi ruang
yang dikelompokan antara lain bagian luar / teras (beranda, digunakan untuk menerima tamu,
tidur siang, bersosialisasi dengan tetangga, dsb), bagian dalam (ruang dalam, digunakan untuk
ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur), dan bagian belakang (dapur yang kadang juga
berfungsi sebagai ruang makan), tanpa KM / WC (KM / WC 'umumnya berada di luar bangunan
rumah).
Berdasarkan bentuknya, rumah Betawi dapat dikelompokkan atas :
a. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang, dapur hanya merupakan
tambahan, beratap pelana memanjang dari depan kebelakang, sedangkan atap
bagian dapur sering hanya berupa atap tambahan (atap meja), dengan bagian
tertinggi menempel ke dinding ruang dalam, dan miring ke arah belakang
b. Rumah Joglo, denah berbentuk bujur sangkar, bentuk atap dipengaruhi oleh bentuk
atap rumah Jawa, namun tidak seperti Joglo murni, karena pada rumah Betawi
ditambah dengan tekukan (dalam bahasa Sunda dinamakan"sorondoy")
c. Rumah Bapang / Kebaya, denah berbentuk empat persegi panjang, atap rumah
berbentuk pelana yang dilipat (memiliki dua sudut kemiringan)
Material yang digunakan
1) Material Atap :
Material penutup atap digunakan genteng atau atep (daun kiraiyang dianyam),
konstruksi kuda-kuda dan gording menggunakan kayu gowok (Syzygium Polycephalum)
atau kayu kecapi (Sandoricum Koetjape), balok tepi, terutama diatas dinding luar
menggunakan kayu nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk) yang sudah tua,
sedangkan kaso dan reng menggunakan bambu tali (Giganto Chloa Apus). Bambu yang
digunakan sebagai kaso adalah bambu utuh dengan diameter ± 4 cm, sedangkan yang
digunakan untuk reng adalah bambu yang dibelah.
2) Material Dinding
Material yang digunakan untuk dinding depan adalah kayu gowok / kayu nangka
yang terkadang dicat dengan dominasi warna kuning dan hijau.
Dinding rumah lainnya menggunakan bahan anyaman bambu (gedhek) dengan atau
tanpa pasangan bata di bagian bawahnya.
Daun pintu / jendela biasanya terdiri dari rangka kayu dengan jalusi horisontal pada
bagian atasnya atau pada keseluruhan daun pintu / jendela.Bentuk daun pintu / jendela
3) Material Struktur
Bahan yang digunakan untuk pondasi rumah adalah batu kali dengan sistem
pondasi umpak yang diletakkan di bawah setiap kolom, sementara untuk landasan
dinding digunakan pasangan batu bata (rollag) dengan kolon dari kayu nangka yang
sudah tua.
Seiring berkembangnya zaman bentuk penerapan dan aplikasi dalam bangunan
betawi mulai mengikuti era globalisasi dan mengikuti masanya. Dengan masa kini penerapan
aplikasi modern pada rumah betawi mulai muncul dengan menambhakan beberapa ornamen
seperti aplikasi pada jendela dengan menambahkan kaca dan bentukan kusennya. Juga
lantainya yang mengusung lantai era modern dengan menggunakan ubin atau keramik dan
sebagainya. Namun aplikasi pada konsep bangunan modern konsep Betawi, ada beberapa
bagian-bagian yang dapat dipertahankan antara lain adanya beranda di bagian depan, ornamen
atau hiasan, serta penggunaan material alami untuk dinding dan atap.
b. Kritik Arsitektur Terkait Aplikasi
BABIII
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN DAN ARAHAN RANCANGAN
DAFTAR PUSTAKA / SUMBER
http://surya-skripsi.blogspot.com/2013/01/arsitektur-vernakular-di-jakarta-dan.html
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2598/Rumah-Betawi
http://lembagakebudayaanbetawi.com/agenda/setu-babakan
http://setubabakan.wordpress.com/about/
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi
https://adelkudel30.wordpress.com/education/ilmu-pengetahuan-sosial/7-unsur-kebudayaan/7-
unsur-budaya-suku-betawi/
http://nenxgendis.wordpress.com/about/suku-betawi/
https://alyanurhaliza30.wordpress.com/