21

Click here to load reader

Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Pembelajaran Kolaboratif versus Kooperatif

Dalam sebuah artikelnya Ted Panitz (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran kolaboratif adalah suatu filsafat personal, bukan sekadar teknik pembelajaran di kelas. Menurutnya, kolaborasi adalah filsafat interaksi dan gaya hidup yang menjadikan kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Pada segala situasi, ketika sejumlah orang berada dalam suatu kelompok, kolaborasi merupakan suatu cara untuk berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai kemampuan dan sumbangan setiap anggota kelompok. Di dalamnya terdapat pembagian kewenangan dan penerimaan tanggung jawab di antara para anggota kelompok untuk melaksanakan tindakan kelompok. Pokok pikiran yang mendasari pembelajaran kolaboratif adalah konsensus yang terbina melalui kerjasama di antara anggota kelompok sebagai lawan dari kompetisi yang mengutamakan keunggulan individu. Para praktisi pembelajaran kolaboratif memanfaatkan filsafat ini di kelas, dalam rapat-rapat komite, dalam berbagai komunitas, dalam keluarga dan secara luas sebagai cara hidup dengan dan dalam berhubungan dengan sesama.

John Myers (1991) merujuk pada kamus untuk menjelaskan definisi collaboration yang berasal dari akar kata Latin dengan makna yang menitikberatkan proses kerjasama sedangkan kata cooperation berfokus pada produk kerjasama itu. Selanjutnya Myers menunjukkan beberapa perbedaan di antara kedua konsep itu sebagai berikut:

Supporters of co-operative learning tend to be more teacher-centered, for example when forming heterogeneous groups, structuring positive interdependence, and teaching co-operative skills. Collaborative learning advocates distrust structure and allow students more say if forming friendship and interest groups. Student talk is stressed as a means for working things out. Discovery and contextural approaches are used to teach interpersonal skills.

Such differences can lead to disagreements…. I contend the dispute is not about research, but more about the morality of what should happen in the schools. Beliefs as to what should happen in the schools can be viewed as a continuum of orientations toward curriculum from “transmission” to “transaction” to “transmission”. At one end is the transmission position. As the name suggests, the aim of this orientation is to transmit knowledge to students in the form of facts, skills and values. The transformation position at the other end of the continuum stresses personal and social change in which the person is said to be interrelated with the environment rather than having control over it. The aim of this orientation is self-actualization, personal or organizational change.

Bersandar pada pandangan tersebut, kecenderungan memilih menggunakan konsep kolaboratif dibandingkan kooperatif dapat dimaklumi. Kendati demikian, penggunaan kedua konsep tersebut secara komplementer tampaknya sulit dihindari. Slavin (1991:73), misalnya, mendefinisikan “Cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for one another’s learning as well as their own.”

Page 2: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Atau lebih jelas lagi definisi yang dikemukakan Cohen (1994:3) sebagai berikut: “Cooperative learning will be defined as students working together in a group small enough that everyone can participate on a collective task that has been clearly assigned. Moreover, students are expected to carry out their task without direct and immediate supervision of the teacher.”

Sementara itu Kagan (1990) mengemukakan definisi yang sangat baik tentang pembelajaran kooperatif dengan melihat struktur umum yang dapat disesuaikan dengan berbagai situasi. Definisinya itu meliputi pandangan para spesialis pembelajaran kooperatif seperti Johnsons, Slavin, Cooper, Graves dan Graves, Millis, etc. sebagai berikut:

The structural approach to cooperative learning is based on the creation, analysis and systematic application of structures, or content-free ways of organizing social inter-action in the classroom. Structures usually involve a series of steps, with proscribed behavior at each step. An important cornerstone of the approach is the distinction between “structures” and “activities”.

To illustrate, teachers can design many excellent cooperative activities, such as making a team mural or a quilt. Such activities almost always have a specific content-bound objective and thus cannot be used to deliver a range of academic content. Structures may be used repeatedly with almost any subject matter, at a wide range of grade levels and at various points in a lesson plan.”

Pembelajaran kooperatif dipahami sebagai suatu rangkaian proses yang membantu para siswa dalam berinteraksi bersama untuk mewujudkan tujuan spesifik yang telah disepakati. Dalam hal kewenangan guru, pembelajaran kooperatif lebih bersifat direktif jika dibandingkan dengan pembelajaran kolaboratif karena kontrol secara ketat yang dilakukan oleh guru: “While there are many mechanisms for group analysis and introspection the fundamental approach is teacher centered whereas collaborative learning is more student centered.” (Panitz:1996).

Senada dengan hal itu, Rocky Rockwood (1995) membagikan pengalamannya bahwa pembelajaran kooperatif sangat sesuai untuk pendekatan penguasaan pengetahuan/ keterampilan dasar. Baru ketika para siswa sudah menjadi semakin terampil, mereka siap untuk pembelajaran kolaboratif, siap untuk berdiskusi dan menilai. Pada bagian lain artikelnya tersebut, ia juga menjelaskan perbandingan antara pembelajaran kolaboratif dan kooperatif dengan terlebih dulu memahami kesamaan keduanya, yakni: 1) menggunakan kelompok; 2) memberikan tugas yang spesifik; 3) saling berbagi di antara kelompok; dan 4) membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam kelompok pleno (seluruh kelas).

Sedangkan perbedaan yang paling nyata di antara keduanya adalah kenyataan bahwa pembelajaran kooperatif berkaitan erat dengan pengetahuan tradisional (kanonik) sementara pembelajaran kolaboratif terkait dengan gerakan konstruktivis sosial yang menegaskan bahwa pengetahuan dan otoritas pengetahuan telah berubah secara dramatis pada akhir abad yang lalu. Akibatnya adalah terjadi transisi dari pemahaman pengetahuan secara foundational (kognitif) ke nonfoundational ground sebagaimana diungkapkan oleh Bruffe

Page 3: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

(1993): “We understand knowledge to be a social construct and learning a social process”. Selanjutnya Rockwood menjelaskan:

In the ideal collaborative environment, the authority for testing and determining the appropriateness of the group product rests with, first, the small group, second, the plenary group (the whole class) and finally (but always understood to be subject to challenge and revision) the requisite knowledge community (i.e. the discipline: geography, history, biology etc.) The concept of non-foundational knowledge challenges not only the product acquired, but also the process employed in the acquisition of foundational knowledge.

Most importantly, in cooperative, the authority remains with the instructor, who retains ownership of the task, which involves either a closed or a closable (that is to say foundational) problem (the instructor knows or can predict the answer). In collaborative, the instructor – once the task is set – transfers all authority to the group. In the ideal, the group’s task is always open ended.

Seen from this perspective, cooperative does not empower students. It employs them to serve the instructor’s ends and produces a “right” or acceptable answer. Collaborative does truly empower and braves all the risks of empowerment (for example, having the group or class agree to an embarrassingly simplistic or unconvincing position or produce a solution in conflict with the instructor’s).

Every person, Brufee holds, belongs to several “interpretative or knowledge communities” that share vocabularies, points of view, histories, values, conventions and interests. The job of the instructor is to help students learn to negotiate the boundaries between the communities they already belong to and the community represented by the teacher’s academic discipline, which the students want to join. Every knowledge community has a core of foundational knowledge that its members consider as given (but not necessarily absolute). To function independently within a knowledge community, the fledgling scholar must master enough material to become conversant with the community.

Sehubungan dengan hakikat pendidikan nilai, ada asumsi bahwa penerapan pembelajaran kolaboratif dipandang lebih sesuai dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif. Pemilihan ini juga didasarkan pada pendapat Myers (1991) yang mengusulkan orientasi “transaction” sebagai kompromi di antara tarik-menarik kedua metodologi tersebut.

This orientation views education as a dialogue between the student and the curriculum. Students are viewed as problem solvers. Problem solving and inquiry approaches stressing cognitive skills and the ideas of Vygotsky, Piaget, Kohlberg and Bruner are linked to transaction. This perspective views teaching as a “conversation” in which teachers and students learn together through a process of negotiation with the curriculum to develop a shared view of the world.Definisi dan Pengertian Pembelajaran Kolaboratif

Dari berbagai keterangan tersebut, dapat direkonstruksi unsur-unsur pembelajaran kolaboratif sebagai berikut: suatu filsafat pengajaran, bukan serangkaian teknik untuk

Page 4: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

mengurangi tugas guru dan mengalihkan tugas-tugasnya kepada para siswa. Hal terakhir ini perlu ditekankan karena mungkin begitulah kesan banyak orang tentang pembelajaran kolaboratif. Mereka merasa bahwa tidak ada yang dapat menandingi pembelajaran konvensional, yang menempatkan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran di kelasnya.

Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk meremehkan seluruh metode pembelajaran konvensional (tradisional). Namun, pembelajaran konvensional kurang efektif untuk menumbuhkembangkan minat belajar siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran. Mungkin saja para siswa mempelajari lebih banyak materi pelajaran dalam pembelajaran konvensional, tetapi mungkin pula mereka akan segera melupakannya jika tidak terinternalisasi dalam perubahan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipelajari. Padahal, Gagne (1992:6) mengartikan pembelajaran bertolak dari hakikat belajar sebagai berikut:

Changes in behavior of human beings and in their capabilities for particular behaviors take place following their experience within certain indentifiable situations. These situations stimulate the individual in such a way as to bring about the change in behavior. The process that makes such change happen is called learning, and the situations that sets the process into effect is called a learning situation.

Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang berbeda pola pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional bahkan mondial.

Jelaslah bahwa pembelajaran kolaboratif lebih daripada sekadar kooperatif. Jika pembelajaran kooperatif merupakan teknik untuk mencapai hasil tertentu secara lebih cepat, lebih baik, setiap orang mengerjakan bagian yang lebih sedikit dibandingkan jika semua dikerjakannya sendiri, maka pembelajaran kolaboratif mencakup keseluruhan proses pembelajaran, siswa saling mengajar sesamanya. Bahkan bukan tidak mungkin, ada kalanya siswa mengajar gurunya juga.

Pembelajaran kolaboratif memudahkan para siswa belajar dan bekerja bersama, saling menyumbangkan pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, tekanan utama pembelajaran kolaboratif maupun kooperatif adalah “belajar bersama”.

Tetapi, dalam perspektif ini tidak semua “belajar bersama” dapat digolongkan sebagai belajar kooperatif, apalagi kolaboratif. Bila para siswa di dalam suatu kelompok tidak saling menyumbangkan pikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara kelompok maupun individu, kelompok itu tak dapat digolongkan sebagai kelompok

Page 5: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

pembelajaran kolaboratif. Kelompok itu mungkin merupakan kelompok pembelajaran kooperatif atau bahkan sekadar belajar bersama-sama.

Inti pembelajaran kolaboratif adalah bahwa para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Antaranggota kelompok saling belajar dan membelajarkan untuk mencapai tujuan bersama. Keberhasilan kelompok adalah keberhasilan individu dan demikian pula sebaliknya.Pembelajaran Kolaboratif versus Konvensional

Pembelajaran kolaboratif dilandasi oleh pandangan konstruktivistik yang berpegang pada premis bahwa pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang berkesinambungan di dalam diri setiap pebelajar. Kaum konstruktivis menekankan belajar bukan dalam hubungannya dengan otoritas eksternal, melainkan konstruksi pengetahuan oleh pebelajar sendiri. Pendekatan konstruktivistik dalam belajar mengajar sesungguhnya didasarkan pada kombinasi dari serangkaian riset dalam psikologi kognitif dan psikologi sosial, sebagaimana teknik-teknik pengubahan perilaku didasarkan pada teori pengandaian dalam psikologi tingkah laku. Premis dasarnya ialah bahwa seorang pebelajar mandiri harus secara aktif membentuk pengetahuan dan keterampilan-keterampilannya sendiri dan bahwa informasi yang ada di dalam konstruksi yang terbentuk secara internal itu melebihi yang tersaji di lingkungan eksternal. Dengan demikian, pendekatan konstruktivistik menekankan pembentukan perilaku internal yang dengan sendirinya memengaruhi perilaku eksternal lebih daripada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Para konstruktivis radikal yang dipelopori Ernst von Glassersfeld (1995) bahkan menyatakan bahwa “pengetahuan” tidak bisa dipisahkan dari “mengetahui”. Dengan perkataan lain, konstruktivisme dapat dianggap sebagai proses belajar yang membentuk pengetahuan lewat hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya. Lebih lanjut, kaum konstruktivis sosial percaya bahwa interaksi sosial sangat penting bagi setiap individu dalam membentuk pengetahuannya. Demikianlah siswa membentuk pengetahuannya, yaitu lewat interaksi dengan bahan yang dipelajari atau pengalaman baru melalui indranya dan hal itu dapat dilakukan secara personal maupun sosial.

Glassersfeld mengutip pandangan Tobin dan Tippins (1993) yang menggunakan istilah konstruktivisme kritis (critical constructivism) untuk memasukkan aturan pribadi (self-regulation) yang mewujudnyatakan kepercayaan-kepercayaan psikologis, etis, moral, dan politis ke dalam bentukan pengetahuan sedemikian hingga diperoleh pengetahuan komprehensif yang tak pernah berhenti membina dirinya sendiri. Sesungguhnya pandangan ini bukanlah hal baru, melainkan merupakan pengembangan diktum Giambatista Vico, pelopor filsafat konstruktivisme pada awal abad ke-18: “Verum ipsum factum” (Kebenaran menyatakan dirinya sendiri), maupun adagium terkenal Rene Descartes: “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada) atau ucapan senada oleh George Berkeley: “Esse est percipi” (Ada adalah karena persepsi).

Glassersfeld tidak percaya bahwa kompetensi pengetahuan dapat dicapai hanya dengan sistem drill (pembiasaan dan kiat instan untuk menjawab soal dengan benar, meskipun tidak

Page 6: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

cukup dimengerti). “Only the student who has built up such a conceptual repertoire has a chance of success when faced with novel problem. Concepts cannot simply be transferred from teachers to students – they have to be conceived.” Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja oleh guru kepada siswa apabila siswa tidak terlibat aktif membentuknya dalam dirinya sendiri.

Glassersfeld juga mengutip J. Bruner (1990) dan G. Kearsley (1999) yang mengajukan tiga prinsip pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut:

1. Instruksi harus berkaitan dengan pengalaman dan konteks yang mendorong siswa untuk mau dan mampu belajar (readines); 2. Instruksi harus disusun sedemikian rupa hingga dapat dengan mudah dimengerti siswa (spiral organization); 3. Instruksi hendaknya didesain untuk memfasilitasi ekstrapolasi dan/ atau menguruk jurang pemisah (going beyond the information given).

Para pendukung pendekatan konstruktivistik menganjurkan agar para pendidik pertama-tama menyadari pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki siswa dalam proses pembelajaran sebelumnya. Kurikulum yang kemudian disusun hendaknya memungkinkan siswa untuk memperluas dan membentuk pengetahuan dan pengalaman mereka itu lewat proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman itu dengan hal-hal baru yang akan dipelajari.

Pandangan konstruktivistik berbeda dengan pendekatan behavioristik yang terlebih dulu menentukan pengetahuan atau keterampilan apa yang perlu dimiliki siswa dan kemudian membentuk kurikulum yang dianggap sesuai untuk pengembangan diri mereka. Padahal, jika mulai dengan menentukan pengetahuan yang harus diperoleh siswa sebelum kita memastikan hasil akhir yang dikehendaki, kita akan membatasi siswa yang tidak memiliki persiapan yang memadai. Siswa yang demikian mungkin saja membentuk keterampilan berpikir yang kemudian mencukupi, tetapi ia akan menghadapi jurang yang memisahkan pengetahuannya dengan keterampilan-keterampilan yang dituntut.

Di sisi lain, jika kita hanya berfokus pada tujuan-tujuan akhir yang diharapkan, khususnya tujuan-tujuan pengetahuan, dengan mengabaikan pengetahuan maupun latar belakang siswa, kita menghadapi risiko pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang tidak berarti apa-apa dan karenanya akan mudah terlupakan.

Pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran dijelaskan dengan baik oleh Merril (1992:102): “There is no shared reality, learning is a personal interpretation of the world … meaning is a negotiated from multiple perspectives.”

Sedangkan Cunningham (1992:157) memaparkan epistemologi pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran sebagai berikut:

At the heart of constructivism is the notion that knowledge is constructed, which in the present instance means that our theoretical views are personal creations, embedded in a

Page 7: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

social context, within a social community that accepts the assumptions underlying the perspective.

Duffy dan Jonassen (1992) serta Garrison (1993) menyimpulkan: (a) realitas dapat dibentuk melalui banyak cara; (b) setiap konsep dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda; (c) tidak ada jawaban tunggal tentang kebenaran; (d) bentukan pengetahuan individual bergantung pada pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.

Pengetahuan adalah interpretasi personal dan tak dapat dialihkan ke dalam pikiran seorang individu jika ia sendiri tidak membentuk pengetahuannya melalui komunikasi. Siswa menjadi partisipan aktif dalam proses pembelajaran seumur hidup yang akan memampukannya sebagai pemecah masalah karena ia dapat melihat suatu masalah melalui berbagai sudut pandang.

Belajar tentang dunia tidak dilakukan dalam vakum sosial. Pembelajaran bukan bersifat student’s “correct” replication dari perilaku guru, melainkan student’s succesful organization of his or her own experiences (Driver & Leach. 1993: 104). Sekolah dapat dipandang sebagai “masyarakat mini”, tempat para siswa belajar mengaktualisasikan diri dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Lebih kecil lagi, dalam kegiatan belajar mengajar, lingkungan kelas pun merupakan setting sosial untuk mendukung konstruksi pengetahuan, sebagaimana dikatakan Waras (1997): “Lingkungan belajar juga mencakup organisasi sosial dan interaksi antara siswa-guru dan siswa-siswa.”

Mengutip pandangan Driver dan Leach (1993) serta Connor (1990), Waras (1997) merinci karakteristik lingkungan kelas yang berperspektif konstruktivis antara lain sebagai berikut:

1. siswa tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar mereka sendiri – mereka membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar; 2. belajar mengutamakan proses aktif siswa mengkonstruksi makna, dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal; 3. pengetahuan tidak bersifat “out there”, tetapi terkonstruk secara personal dan secara sosial; 4. guru juga membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar, tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka, tetapi juga pandangan mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas; 5. pengajaran bukan mentransmisi pengetahuan tetapi mencakup organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang memudahkan siswa menemukan makna; dan 6. kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari tetapi program-program tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan wacana dari mana siswa mengkonstruk pengetahuan mereka.

Demikianlah dalam pembelajaran kolaboratif diciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk terlaksananya interaksi yang memadukan segenap kemauan dan kemampuan belajar siswa. Lingkungan yang dibentuk berupa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima siswa pada setiap kelas dengan anggota-anggota kelompok yang sedapat mungkin tidak bersifat homogen. Artinya, anggota-anggota suatu kelompok diupayakan terdiri dari

Page 8: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

siswa laki-laki dan perempuan, siswa yang relatif aktif dan yang kurang aktif, siswa yang relatif pintar dan yang kurang pintar. Dengan komposisi sedemikian itu dapat diharapkan terlaksananya peran tutor beserta tutee antarteman dalam setiap kelompok.

Perbedaan yang bersifat mendasar antara metode pembelajaran kolaboratif dan konvensional dapat ditabulasikan sebagai berikut:

Perbedaan Pembelajaran Kolaboratif dan Konvensional

Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran Konvensional

Siswa belajar secara berkelompokSiswa belajar secara klasikal

Antarsiswa berkolaborasi (bekerjasama)Antarsiswa berkompetisi (bersaing)

Keberhasilan individu siswa bergantung pula pada keberhasilan teman, terutama dalam kelompoknya Keberhasilan individu siswa tidak bergantung pada keberhasilan teman-temannyaFilsafat yang mendasari pengetahuan diperoleh siswa melalui interaksi antara pancaindranya dengan lingkungan kelompoknya Filsafat yang mendasari pengetahuan diperoleh melalui transfer/ transmisi dari guru kepada siswa

Menurut Johnsons (1974), sekurang-kurangnya terdapat lima unsur dasar agar dalam suatu kelompok terjadi pembelajaran kooperatif/ kolaboratif, yaitu:

1. Saling ketergantungan positif. Dalam pembelajaran ini setiap siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab: (1) menguasai bahan pelajaran; dan (2) memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses. 2. Interaksi langsung antarsiswa. Hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar.

3. Pertanggungajawaban individu. Agar dalam suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok. 4. Keterampilan berkolaborasi. Keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam

Page 9: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif. 5. Keefektifan proses kelompok. Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang perlu diubah.

Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif

Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada John Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:

1. Learning Together. Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok. 2. Teams-Games-Tournament (TGT). Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok. 3. Group Investigation (GI). Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok. 4. Academic-Constructive Controversy (AC). Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya. 5. Jigsaw Proscedure (JP). Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok. 6. Student Team Achievement Divisions (STAD). Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok. 7. Complex Instruction (CI). Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan

Page 10: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok. 8. Team Accelerated Instruction (TAI). Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok. 9. Cooperative Learning Stuctures (CLS). Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling berpasangan itu berganti peran. 10. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.

Penyebutan dan penjelasan singkat tentang macam-macam pembelajaran tersebut diurutkan berdasarkan saat pelaksanaan penelitian awalnya oleh para ahli sebagaimana tampak pada Tabel Modern Methods of Cooperative Learning (Johnson et.al.:2000).

Seberapa banyak pun macam metode pembelajaran kooperatif/ kolaboratif yang pernah dikembangkan para ahli, Slavin (1995:12) merinci enam karakteristik dasar masing-masing, yaitu: (1) tujuan kelompok (group goals); (2) tanggung jawab individual (individual accountability); (3) kesempatan yang sama untuk menapai keberhasilan (equal opportunities for success); (4) kompetisi antarkelompok (team competition); (5) pengkhususan tugas (task specialization); dan (6) adaptasi terhadap kebutuhan-kebutuhan individu (adaptation to individual needs).

Modern Methods Of Cooperative LearningResearcher-Developer Date MethodJohnson & Johnson Mid 1960s Learning Together & AloneDeVries & Edwards Early 1970s

Teams-Games-Tournaments (TGT)Sharan & Sharan Mid 1970s Group InvestigationJohnson & Johnson Mid 1970s Constructive ControversyAronson & Associates Late 1970s Jigsaw Procedure

Page 11: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Slavin & Associates Late 1970s Student Teams Achievement Divisions (STAD)Cohen Early 1980s Complex InstructionSlavin & Associates Early 1980s Team Accelerated Instruction (TAI)Kagan Mid 1980s Cooperative Learning StructuresStevens, Slavin, & Associates Late 1980s Cooperative Integrated Reading & Composition (CIRC)Pemanfaatan Komputer dalam Pembelajaran

Pembelajaran dengan bantuan komputer atau Computer Assisted Instruction (CAI) adalah pengajaran yang menggunakan komputer sebagai alat bantu. Kemajuan teknologi komputer (informatika) bahkan memungkinkan komputer berperan komplementer dengan dan sebagai instruktur dengan kemampuan, antara lain seperti yang dirinci Nasution (2000, 60-61) sebagai berikut:

* menyimpan bahan pelajaran yang dapat dimanfaatkan kapan saja diperlukan; * memberikan informasi tentang berbagai referensi dan sumber-sumber serta alat audio-visual yang tersedia; * memberikan informasi tentang ruangan belajar, murid-murid dan tenaga pengajar; * memberikan informasi tentang hasil belajar murid; dan * menyarankan kegiatan-kegiatan belajar yang diperlukan oleh seorang murid serta menilai kembali pekerjaan murid pada waktunya serta memberi tugas-tugas baru untuk dikerjakan selanjutnya.

Dengan singkat dapat dipahami bahwa komputer telah membuka berbagai kemungkinan yang dapat dimanfaatkan guna pendidikan.Pemanfaatan Internet dalam Metode Pembelajaran Kolaboratif

Pengalaman yang dilaporkan Annete de Jager dalam The Use of Internet: An Alternative Learning Experience oleh peneliti digunakan sebagai acuan untuk mendukung pembelajaran kolaboratif yang ditelitinya. Secara umum diakui bahwa internet telah menyediakan diri sebagai referensi yang murah-meriah bagi mereka yang hendak mengubah wajah dunia.

Percepatan perkembangan dunia ternyata juga telah menuntut pengembangan berbagai alternatif perspektif pembelajaran. Pemikiran tentang strategi baru dalam pembelajaran dikemukakan oleh Azimov (1996): “I do not fear computers. I fear the lack of them.” dan Papert (1992): “… the competitive ability is the ability to learn … new ways of thinking.”

Dipandang dari segi bisnis, sekolah adalah lembaga yang menawarkan pendidikan. Salah satu produk pendidikan adalah pengetahuan: pengetahuan tentang diri sendiri, dunia, lingkungan, dan sebagainya. Robinson (1994:106) melaporkan bahwa perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial setiap dua setengah tahun. Tetapi hingga kini kiranya belum pernah ada upaya membandingkan waktu antara suatu informasi dapat dipublikasikan pada internet dengan waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku-buku dan menjajakannya di toko-toko.

Page 12: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Pada kenyataannya perkembangan teknologi informatika yang sedemikian pesat telah membuktikan bahwa internet telah bersicepat dengan sumber-sumber informasi lain dalam penyampaian informasi terbaru. Masa depan adalah milik mereka yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas itu dan mereka yang mampu menjadikan informasi diterima secepat mungkin.

Isu-isu utama yang dimuat dalam White Paper (1995) mencakup: pendidikan berkualitas tinggi, integrasi teknologi, pembelajaran seumur hidup, komunikasi, keterampilan berpikir kritis dan mandiri, calon-calon yang dipersiapkan dengan baik untuk memasuki pendidikan tinggi dan pembinaan karir.

Sementara itu Wheatly (1991:15) dan Merrill (1992:11) menyimpulkan bahwa mayoritas siswa menganggap matapelajaran berhubungan dengan problematika dari:

* sesuatu yang oleh para guru disampaikan begitu saja tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyusunnya sendiri; * sesuatu yang harus dapat dijawab segera; * sesuatu yang tidak akan terpecahkan jika siswa tak menemukan jawabannya dalam waktu lima menit; * sesuatu yang jika sudah dikuasai akan memberikan nilai A.

Untuk mencapainya, para guru pada umumnya menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang berpola Stimulus-Response dan penilaian dilakukan dalam masa belajar tertentu dari tujuan-tujuan akhir pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya beserta dan di dalam kurikulum yang seragam.

Berdasarkan alasan penyebaran pengetahuan, isu-isu dalam White Paper dan kebutuhan-kebutuhan siswa, jelaslah bahwa:

* Kualitas pendidikan menuntut adanya suatu alternatif strategi pembelajaran yang baru; * Peranan guru sebagai sumber informasi harus diubah menjadi fasilitator pembelajaran (Carey 1993:107); * Peranan siswa sebagai peserta pasif harus diubah menjadi peserta yang aktif terlibat dalam upaya kolektif mengatasi masalah (Jonassen:1996).

Teknologi komputer dan pendekatan kognitif-konstruktivistik dalam pembelajaran membuka peluang emas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan itu (Bruder, 1992:18; Papert, 1992: 168). Hal senada diungkapkan oleh Purbo et.al. (2002) sebagai berikut: “Konsep Knowledge Management belajar mandiri yang berbasis pada kreativitas siswa dan mendorong siswa melakukan analisa hingga sintesa pengetahuan menghasilkan tulisan, informasi dan pengetahuan sendiri menjadi fokus yang lebih mengarah ke masa depan. Siswa tidak lagi dibombardir dengan doktrin ilmu pengetahuan, tetapi lebih dirangsang untuk mengeksplorasi pengetahuan dan menjadi bagian integral proses pemurnian pengetahuan itu sendiri.”Tahap-tahap Rancangan Kognitif-Konstruktivistik dan Komunikasi Elektronik

Page 13: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Perangkat lunak komputer dapat dibedakan menjadi dua, yakni perangkat lunak single dan perangkat lunak multipurpose. Yang pertama mengarah pada drill, tutorial, simulasi, permainan dan referensi, sementara yang kedua memasukkan pula pengolahkata, lembar kerja, pangkalan data, presentasi dan komunikasi elektronik.

Komunikasi elektronik cocok dengan pembelajaran kognitif-konstruktivistik dan memberikan kesempatan kepada partisipan aktif untuk belajar melalui aneka sudut pandang dan untuk menjadi pengolah informasi ke dalam susunan jaringan semantik pengetahuan yang terhubung dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Hal ini diyakini akan dapat mengubah situasi pembelajaran konvensional yang masih diselenggarakan sekarang seperti dikatakan oleh Kort (1996): “…the biggest failure of our system of education is the manner in which learning has been transformed from a joyous experience into one of boredom and anxiety.” Kendati demikian perlu pula diwaspadai peringatan Maddux (1994:40) bahwa: “… the Internet will likely remain a huge, unwieldly collection of resources that is not completely understood by anyone.”

Lebih jauh, komunikasi elektronik memberikan akses ke informasi dan komunikasi yang nyaris tak terbatas. Menurut de Jager, prinsip ini mengarah pada metodologi rancangan empat tahap pembelajaran kognitif-konstruktivistik: persiapan, penyusunan gugus belajar, kesempatan belajar dan pelengkapannya.

Tahap persiapan

* Analisis terhadap perangkat keras dan perangkat lunak * Analisis terhadap para siswa, apakah mereka cukup memahami cara menggunakan komputer dan perangkat lunaknya * Pokok bahasan dalam kurikulum yang sesuai * Pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.

Tahap penyusunan gugus belajar

Guru menyusun gugus belajar ke dalam waktu yang sesuai dengan problem otentik. Pebelajar menyusun tujuan-tujuan mereka sendiri dan pertanyaan-pertanyaan untuk memecahkan permasalahan.

Kesempatan belajar

Siswa memiliki akses ke teknologi komputer dari tempat terpisah. Mereka memiliki kesempatan berkomunikasi lewat e-mail dengan pribadi-pribadi lain atau kelompok layanan terdaftar, menjelajahi World Wide Web (WWW) dan menggunakan referensi-referensi lain yang tersedia. Melalui e-mail, setiap kelompok melaporkan kepada guru perkembangan aktivitasnya, atau menanyakan hal-hal tertentu dan mendiskusikan berbagai problem keseharian.

Pelengkapan

Page 14: Pembelajaran Kolaboratif Versus Kooperatif

Pada akhir kesempatan belajar, para siswa memiliki portofolio yang lengkap dari pemecahan masalah mereka sendiri sebaik yang terdapat pada referensi, misalnya surat-surat (e-mail), hasil yang terdapat pada WWW, dan sebagainya.

Penilaian

Penilaian berasal dari berbagai sudut pandang: guru-guru, teman-teman sekolah, orangtua, dan sebagainya.1 Votes

Quantcast