14
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017 286 PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DALAM PRAKTEK PERBANKAN Shohib Muslim, Hairus, Khrisna Hadiwinata 1 E-mail: [email protected] E-mail: [email protected] Abstract The purpose of this research to know deeply about several appointments that arrange, about process and barriers in performance of parate eksekusi risk right is done by private bank people in case to take discharge at debtor debts that deny of appointment (wanprestasi). The approximation is done by statute approach method to research of rules that its regulation is very conducive for performance of parate eksekusi, case approach to research "ratio decidendi or reasoning" of a jurisdiction judgment and conceptual approach to find some ideas that produce of means, concepts and principles of law that relevant with news is met, by manufacture of law material is done deductively, that the product is not numbers form, but try to express the principle and rule of law or information in statute to answer the problem of this research. The right election to sell at own authority (parate eksekusi) risk right as research object, because although this parate eksekusi is main equipment for creditor as the first risk right holder to get ease in case to get discharge of his claim again, as one of appearance of special position as the first risk right holder, bit the buriers still happen in practice, even not performed yet as we hope. By this research, all of side that connected in process of parate eksekusi performance can be understand about ratio legis of parate eksekusi regulation as meant in Chapter 6 of Statute No. 4 at 1996 about Statute of Risk Right at Land and Things that Connected by Land or before it is ruled in second paragraph of Chapter 1178 of Civil Law Statute Code about beding van eigenmachtige verkoop on hyphotic institution / credietverhand, so the institution of parate eksekusi can be felt really of usefulness actually by economic people and bank institution. Keywords: Parate Executie, Risk Right, and Banking PENDAHULUAN Penyediaan dana yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi dan pembangunan oleh masyarakat banyak, dilakukan oleh bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank perlu memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Pentingnya kedudukan kredit dalam proses pembangunan, maka sudah seharusnya kepentingan bank sebagai 1 Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Malang

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN … · tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka umum atas dasar kekuasaan sendiri.2 ... mengambil pelunasan uang pokok, maupun

Embed Size (px)

Citation preview

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

286

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

DALAM PRAKTEK PERBANKAN

Shohib Muslim, Hairus, Khrisna Hadiwinata1

E-mail: [email protected]

E-mail: [email protected]

Abstract

The purpose of this research to know deeply about several appointments that

arrange, about process and barriers in performance of parate eksekusi risk right is

done by private bank people in case to take discharge at debtor debts that deny of

appointment (wanprestasi). The approximation is done by statute approach method

to research of rules that its regulation is very conducive for performance of parate

eksekusi, case approach to research "ratio decidendi or reasoning" of a

jurisdiction judgment and conceptual approach to find some ideas that produce of

means, concepts and principles of law that relevant with news is met, by

manufacture of law material is done deductively, that the product is not numbers

form, but try to express the principle and rule of law or information in statute to

answer the problem of this research. The right election to sell at own authority

(parate eksekusi) risk right as research object, because although this parate

eksekusi is main equipment for creditor as the first risk right holder to get ease in

case to get discharge of his claim again, as one of appearance of special position

as the first risk right holder, bit the buriers still happen in practice, even not

performed yet as we hope. By this research, all of side that connected in process of

parate eksekusi performance can be understand about ratio legis of parate

eksekusi regulation as meant in Chapter 6 of Statute No. 4 at 1996 about Statute of

Risk Right at Land and Things that Connected by Land or before it is ruled in

second paragraph of Chapter 1178 of Civil Law Statute Code about beding van

eigenmachtige verkoop on hyphotic institution / credietverhand, so the institution

of parate eksekusi can be felt really of usefulness actually by economic people and

bank institution.

Keywords: Parate Executie, Risk Right, and Banking

PENDAHULUAN

Penyediaan dana yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi dan

pembangunan oleh masyarakat banyak, dilakukan oleh bank sebagai badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya lagi

kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian

karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank

perlu memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Pentingnya kedudukan

kredit dalam proses pembangunan, maka sudah seharusnya kepentingan bank sebagai

1 Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Malang

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

287

pemberi kredit, yakni agar kredit yang disalurkan dibayar kembali, dapat dilindungi

melalui suatu lembaga jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi

semua pihak yang berkepentingan, yaitu suatu lembaga jaminan yang dikontruksikan

dapat menjamin dan memberikan kemudahan pelunasan suatu tagihan dalam hal debitor

tidak membayar utang-utangnya.

Sebenarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan pengaman

kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan

jaminan umum menurut pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang menentukan bahwa

semua harta kekayaan kebendaan debitor baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah

ada maupun yang baru akan ada, menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan

kreditor. Apabila terjadi wanprestasi, maka seluruh harta benda debitor akan dijual

lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun

oleh karena perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan masih

belum memberikan rasa aman kepada kreditor, sehingga dalam praktek penyaluran

kredit, bank merasa perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat

kebendaan. Karenanya kehadiran Undang-undang Hak Tanggungan sebagai pengganti

lembaga hipotik dan credietverband sangat banyak manfaatnya.

Selama ini lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi untuk

menyelesaikan masalah kredit macet, adalah :

a. Pengadilan Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihan-tagihan

dari bank swasta.

b. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL),

berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang merupakan tagihan-

tagihan dari bank pemerintah.

Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama ini hanya

terhadap tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah mengajukan

permohonan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri

di wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah debitor yang ingkar janji dipanggil

dan diberi tenggang waktu untuk membayar hutangnya dengan sukarela, namun tetap

lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan disita dengan sita eksekutorial. Jika

setelah disita debitor tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan tersebut

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

288

akan dilelang secara umum.

Proses pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang dilakukan oleh

pihak kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping sertifikat Hak Tanggungan

berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dimana pada sertifikat

tersebut dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pemegang Hak

Tanggungan pertama juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi langsung

terhadap obyek Hak Tanggungan yang dijadikan sebagai jaminan kredit, apabila debitor

ingkar janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh debitor maupun oleh

undang-undang kepada pihak kreditor.

Kemudian merujuk rumusan pasal 6 UUHT proses eksekusi dapat dilakukan

tanpa campur tangan atau meluai pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat

eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang hak tanggungan

pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak

berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir.

Dalam praktek, hal tersebut hampir tidak pernah dilaksanakan. Karena juru

lelang kadang kala menolak untuk melakukan penjualan di muka umum sebelum

adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan alasan karena

melalui titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).

PARATE EKSEKUSI

Istilah parate eksekusi secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan

perundang-undangan. Parate eksekusi dari kata paraat yang berarti hak itu siap siaga di

tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka umum atas dasar kekuasaan

sendiri.2

Pengaturan parate eksekusi telah ada pada saat berlakunya lembaga hipotik,

sebagaimana yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) BW, yang isinya :

“Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama

untuk, pada waktu dikarenakannya hipotik, dengan tegas minta

diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau

2 M. Isnaeni, (1996), Hipotik Pesawat Udara di Indonesia. Surabaya: Dharma Muda..

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

289

jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan

dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk

mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari

pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut

cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211 BW.”

Parate eksekusi yang semula diatur di dalam hipotik (pasal 1178 ayat (2) BW)

kemudian tidak dapat dipungkiri diadopsi oleh UUHT, yang dalam pasal 6 UUHT.

Untuk jelasnya substansi pasal 6 UUHT dimaksud adalah :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama

mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan

sendiri melalui pelelangan umum serta mangambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”

Pasal 6 UUHT dengan pasal 1178 ayat (2) BW ada perbedaan antara parate eksekusi

hipotik dengan parate eksekusi Hak Tanggungan, pada hipotik lahir karena

diperjanjikan, sedankan parate eksekusi Hak Tanggungan lahir karena ditentukan oleh

Undang-undang (ex lege). Kemudian bertolak dari berbagai sumber hukum yang

mengatur parate eksekusi, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa parate eksekusi

dalam Undang-undang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan penyelesaian hak tagih

kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum, tanpa didahului fiat

Ketua Pengadilan Negeri manakala debitor cidera janji.

Adanya perbedaan pengertian tentang kewenangan tersebut menunjukkan bahwa

pembentuk UUHT mempunyai sikap yang tidak konsisten, yang menyebabkan

kebingungan dan kekacauan bagi kreditor pada khusunya, sehingga menurut Sutan

Remy Sjahdeini, penjelasan pasal 6 UUHT tersebut justru kembali mementahkan

harapan perbankan.3

Untuk membedakan Hak Tanggungan ini dari bentuk dan jenis jaminan-jaminan

utang yang lain, perlu dipahami asas-asas dari Hak Tanggungan yang tersebar dan

diatur dalam berbagai pasal dari UUHT, asas-asas tersebut diantaranya adalah :

1) Asas droit de preference.

Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian "kedudukan yang

diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain" disebutkan

3 Sutan Remy Sjahdeini, (2000), “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”, Majalah Hukum

Nasional No. 2 Tahun 2000. Hal 19-20

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

290

di dalam Penjelasan Umum angka 4 UUHT yang menyebutkan:

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam

arti, bahwa jika debitor cidera janji kreditor pemegang Hak

Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan urnum tanah

yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-urdangan

yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-

kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang

tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.”

2) Asas droit de suite

Pasal 7 UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap

mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Dengan demikian,

Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu

beralih/berpindah tarigan kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga.

Ketentuan Pasal 7 UUHT ini "merupakan materialisasi dari asas yang disebut

'droit de suite' atau `zaakgevolg'. Asas ini juga merupakan asas yang diambil

dari hipotik yang diatur dalam pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198

KUHPerdata".4 Asas ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak

kebendaan (zakelijkrecht) sebagai hak yang mutlak, yang dapat dipetahankan

terhadap siapapun.

3) Asas spesialitas

Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan

atas tanah yang dapat ditentukan secara spesifik. Dianutnya asas spesialitas oleh

Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 UUHT yang

menentukan :

(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan

hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan

hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.

(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada

pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan

4Ibid, hal 39

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

291

dilakukan.5

4) Asas Publisitas

Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan

kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak

Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah di Kantor

Pertanahan.

PEMBAHASAN

Pengaturan Parate Eksekusi Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan

Pengaturan tentang eksekusi Hak Tanggungan dapat ditemukan landasan

hukumnya dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang menyatakan:

(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :

a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek

Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).

Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut

tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak

mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.

(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,

penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah

tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga

tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak

diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang

Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan

diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang

beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa

setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan

cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) batal demi hukum.

(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan

sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihindarkan dengan

pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta

biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT

5 Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1996), Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta, hal 5-6

6 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 13

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

292

sebagaimana disebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi atas obyek jaminan Hak

Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu :

1. parate eksekusi;

2. titel eksekutorial; dan

3. penjualan di bawah tangan.

Ketiga jenis eksekusi Hak Tanggungan tersebut masing-masing memiliki

prosedur pelaksanan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tentang pengertian

parate eksekusi sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 6 UUHT yaitu, "hak

pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas

kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari

hasil penjualan tersebut". Akan tetapi, seperti telah dikemukakan sebelumnya, hak

tersebut haruslah terlebih dahulu diperjanjikan oleh para pihak dalam Akta Pemberian

Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT atau

yang sebelum berlakunya UUHT diatur dalam ketentuan Pasal 1178 ayat (2)

KUHPerdata.

Melaksanakan kewenangan/hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT dan Penjelasannya ada beberapa hal

pokok yang perlu diperhatikan oleh kreditur, yaitu :

a. Klausula ini harus tegas diperjanjikan dan harus didaftarkan

Pada prinsipnya, seorang kreditor/pemegang Hak Tanggungan bebas

untuk memperjanjikan klausula ini atau tidak. Namun, seperti yang telah

dikemukan sebelumnya, hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk

melaksanakan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut

tidaklah dengan sendirinya ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu

oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah.

Oleh karena itu janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e

yang telah tercetak dalam blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan

haruslah tetap dipertahankan/diperjanjikan oleh para pihak. Selanjutnya Akta

Pemberian Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta

Pemberian Hak Tanggungan, dimana dalam proses pendaftaran ini PPAT wajib

mengirimkan Akta Pemberian hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

293

lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

b. Debitor harus cidera janji (wanprestasi).

Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pada dasarnya tidak membutuhkan

eksekusi selama debitor memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik.

Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut hanya ditujukan kepada debitor

yang cidera janji (wanprestasi) saja.

Cidera janji atau yang disebut dalam bahasa Belanda "wanprestatie"

artinya adalah prestasi yang buruk. Atau dengan kata lain "tidak memenuhi

kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul

karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".7

Menurut M. Yahya Harahap adapaun pengertian yang umum tentang

wanprestasi adalah :

“Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau

dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur

disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apa bila dia

dalam melakukan pelaksanan prestasi perjanjian telah lalai

sehingga „terlambat‟ dari jadwal waktu yang ditentukan atau

dalam melaksanakan prestasi tidak menurut

'sepatutnya/selayaknya'.8

Terjadinya cidera janji (wanprestasi) dalam perjanjian kredit bank, pada

dasarnya tidak jauh berbeda dengan wanprestasi yang terjadi pada jenis

perjanjian lain. Hanya saja pada perjanjian kredit bank, wanprestasi pada

umumnya terjadi karena disebabkan pelunasan kembali kredit yang diberikan

tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

Membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari masalah

"pernyataan lalai" dan "kelalaian". Tentang hal ini oleh Pasal 1238 KUHPerdata

telah memberikan petunjuk dengan menyatakan "Si berutang adalah lalai,

apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan,

bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

7 Abdulkadir Muhammad, (1982), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal 20

8 M. Yahya Harahap, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, hal 60

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

294

ditentukan".9 Adapun yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238

KUHPerdata tersebut adalah peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan,

sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa yang

tujuannya sama, yakni untuk memberikan peringatan kepada debitor agar

memenuhi prestasi dalam seketika.

Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) seperti

tersebut di atas, undang-undang sebenarnya mewajibkan kreditor/pemegang Hak

Tanggungan untuk memberikan pernyataan lalai kepada debitor. Akan tetapi

kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai itu dapat ditiadakan dengan jalan

mengadakan ketentuan dalam perjanjian yang menyatakan bahwa wanprestasi

tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah diperjanjikan,

seperti waktu pembayaran/ pelunasan kredit.

Dalam prakteknya, menurut J. Satrio :

“Kreditur-pemegang-hipotik pada umumnya memperjanjikan

dalam perjanjian kreditnya, bahwa `dengan lewatnya waktu

(tanggal tertentu) yang telah disepakati bersama untuk

pengembalian kredit saja, sudah merupakan bukti yang nyata akan

kelalaian debitur, sehingga tak diperlukan adanya somasi, dan

dengan sendirinya kredit yang bersangkutan menjadi matang

untuk ditagih”.10

Jadi pada prinsipnya, dengan berpatokan pada tanggal yang ditetapkan

sebagai batas akhir pengembalian kredit saja sudah bisa dijadikan pedoman

untuk menentukan apakah debitur sudah cidera janji (wanprestasi) atau belum.

c. Merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama.

Undang-undang menetapkan bahwa kewenangan untuk menjual atas

kekuasaan sendiri tersebut adalah merupakan hak pemegang Hak Tanggungan

pertama saja. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menjaga agar tidak timbul

kesulitan disebabkan adanya sengketa diantara sesama pemegang Hak

Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.

Meskipun dalam pasal 11 ayat (2) huruf e ditetapkan bahwa yang dapat

memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan pertama

saja, narnun dalam prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan

9 Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hal 269

10 J. Satrio, op. cit. hal 24

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

295

memperjanjikan klausula seperti itu, karena disamping sudah tercetak dalam

blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan, undang-undang sendiri

tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lain memperjanjikan kewenangan

seperti itu, apalagi ada kemungkinan terjadi pergeseran kedudukan, dimana Hak

Tanggungan pertama oleh karena pelunasan akan menjadi hapus dan pemegang

Hak Tanggungan berikutnya atau di bawahnya akan bergeser ke atas menjadi

yang pertama.

Pelaksanaan parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor (bank)

berdasarkan pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

Seperti telah diuraikan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan

didasarkan pada hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak

Tanggungan atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan penjualan obyek Hak Tanggungan

melalui pelelangan umum untuk pelunasan hutang debitor.

Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, antara lain disebutkan :

Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui

pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh

harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor

berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil

penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih

besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai

tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.11

Dari ketentuan di atas, diperoleh ketegasan bahwa setiap eksekusi harus

dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum,

yang hasilnya digunakan untuk pelunasan utang debitor. Utang yang harus dibayar dari

hasil lelang obyek Hak Tanggungan maksimal adalah sebesar nilai tanggungan yang

disebut dalam sertifikat Hak Tanggungan.

Dalam proses eksekusi Hak Tanggungan pada bank yang terjadi selama ini

dalam praktek apabila debitor ingkar janji dan jalan damai tidak berhasil ditempuh,

maka kreditor tidak perlu melalui proses gugatan di pengadilan. Akan tetapi kreditor

cukup membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memakai irah-irah "Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ke pengadilan negeri dan langsung

11

Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit. hal 44

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

296

mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di

wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu berada.

Setelah menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa

bukti yang diajukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan itu,

maka Ketua Pengadilan Negeri akan menindaklanjuti dengan menerbitkan surat tegoran

(aanmaning) agar debibur dalam waktu 8 (delapan) hari sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 196 HIR/207 RBg segera memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya

secara sukarela. Apabila debitor tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya sesuai jadwal

yang ditentukan, atas perintah/penetapan Ketua Pengadilan Negeri akan dilakukan sita

eksekusi terhadap tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan yang diikuti pula dengan

dikeluarkannya Penetapan Lelang. Selanjutnya Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri

akan mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL untuk dijadwalkan lelangnya.

Uang dari hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar utang debitor,

setelah dibayarkan terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan seperti bea lelang, dan

apabila ada kelebihannya, maka sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada pemberi

Hak Tanggungan (debitor).

Jadi pada prinsipnya proses eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank

selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau

berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan

sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang

pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan bukan atau belum

dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.

Eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT (parate eksekusi) tidak atau

belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam prakteknya pejabat/juru

lelang menolak untuk melaksanakan penjualan di muka umum atas obyek Hak

Tanggungan sebelum ada persetujuan atau fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri.

Hal ini berhubungan erat dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

No. 3210 K/Pdt/1084 tanggal 30 Januari 1986 yang telah membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi Bandung dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate

eksekusi yang telah dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan adalah perbuatan

melawan hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.

Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT tersebut

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

297

telah diatur adanya 3 (tiga) cara eksekusi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang

Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan bilamana debitor/pemberi Hak

Tanggungan cidera janji (wanprestasi), yaitu :

1. Eksekusi berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual

obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang

ini (Parate Eksekusi), atau

2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak

Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini,

dan

3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan atas

kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.

Pendapat Sudikno Mertokusumo menyatakan :

Dalam sistem kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia,

seperti yang telah disinggung di muka, hakim tidak terikat pada

putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang

serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut di atas dalam

sistem Kontinental ini hakim diikat oleh undang-undang. Disini hakim

berpikir deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke

peristiwa khusus. Dalam sistem Anglo-saks hakim terikat pada

'precedent' atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang

akan diputus, Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan

pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa.

Disini hakim berpikir induktif.12

Dalam ilmu hukum kalau terjadi konflik norma dikenal apa yang disebut dengan

azas preferensi, yaitu suatu azas pengutamaan atau azas mengalahkan. Ada beberapa

azas-azas penyelesaian konflik13

, adalah :

a. Azas lex posterior (lex posterior derogate legi priori): undang-undang yang

kemudian mengalahkah yang terdahulu.

b. Azas lex specialis (lex specialis deroga legi general): undang-undang khusus

mengalahkan yang umum.

c. Azas lex superior (lex superior deroga legi inferiors): undang-undang yang

lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.

12

Sudikno Mertokusumo, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 13

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, (2005), Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gajah

Mada University Press, hal 31, dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and Conflict in Law,

W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle, hal. 217-223

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

298

Dari ketiga azas tersebut yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik norma

adalah lex specialis deroga legi general (undang-undang khusus mengalahkan yang

umum). Azas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara

hirarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan

antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan

pengaturan secara khusus dari yang lain. Berarti prosedur untuk pelaksanaan penjualan

obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sebagai hak dari

kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan

Negeri.

Dalam Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Pengadilan yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah

Agung Republik Indonesia No. KMA/007/SK/IV/1994 tanggal 1 April 1994, telah

ditegaskan bahwa "Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga

berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan

pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada

izin dari Ketua Pengadilan Negeri".14

Dengan demikian, jelas bisa dipahami bahwa

sejak diberlakukan dan diundangkannya UUHT, Mahkamah Agung sendiri cenderung

mengakui akan eksistensi parate eksekusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUHT

KESIMPULAN

1. Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan prinsip

hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak

kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu lahir

karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan,

sehingga pengertian parate eksekusi menimbulkan makna ganda / kabur. Maka

satu sisi parate eksekusi berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan

umum dan di sisi lain melalui titel eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua

Pengadilan Negeri.

2. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang

hak tanggungan dalam prakteknya selama ini adalah masih mengacu kepada

eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang

14

Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1997), Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrfasi

Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahakmah Agung RI, hal 136

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

299

terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224

HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal

20 ayat (1) huruf a UUHT.

DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, (2005), Argumentasi Hukum, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and

Conflict in Law, W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle.

Harahap, M. Yahya, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.

Isnaeni, M. (1996), Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya: Dharma Muda.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1992), Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang

Panting Serta Hubungan Keentuan Hukum Acara Perdata, Jakarta.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1997), Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrfasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis

Yustisial Mahakmah Agung RI.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1996), Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:

Liberty.

Muhammad, Abdulkadir, (1982), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.

Satrio, J, (1993), Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni.

Sjahdeini.Sutan Remy ( 2000), “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”.

Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2000.

Subekti, (1982), Jaminan Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,

Alumni.