Upload
vuongcong
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
286
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
DALAM PRAKTEK PERBANKAN
Shohib Muslim, Hairus, Khrisna Hadiwinata1
E-mail: [email protected]
E-mail: [email protected]
Abstract
The purpose of this research to know deeply about several appointments that
arrange, about process and barriers in performance of parate eksekusi risk right is
done by private bank people in case to take discharge at debtor debts that deny of
appointment (wanprestasi). The approximation is done by statute approach method
to research of rules that its regulation is very conducive for performance of parate
eksekusi, case approach to research "ratio decidendi or reasoning" of a
jurisdiction judgment and conceptual approach to find some ideas that produce of
means, concepts and principles of law that relevant with news is met, by
manufacture of law material is done deductively, that the product is not numbers
form, but try to express the principle and rule of law or information in statute to
answer the problem of this research. The right election to sell at own authority
(parate eksekusi) risk right as research object, because although this parate
eksekusi is main equipment for creditor as the first risk right holder to get ease in
case to get discharge of his claim again, as one of appearance of special position
as the first risk right holder, bit the buriers still happen in practice, even not
performed yet as we hope. By this research, all of side that connected in process of
parate eksekusi performance can be understand about ratio legis of parate
eksekusi regulation as meant in Chapter 6 of Statute No. 4 at 1996 about Statute of
Risk Right at Land and Things that Connected by Land or before it is ruled in
second paragraph of Chapter 1178 of Civil Law Statute Code about beding van
eigenmachtige verkoop on hyphotic institution / credietverhand, so the institution
of parate eksekusi can be felt really of usefulness actually by economic people and
bank institution.
Keywords: Parate Executie, Risk Right, and Banking
PENDAHULUAN
Penyediaan dana yang dibutuhkan untuk perkembangan ekonomi dan
pembangunan oleh masyarakat banyak, dilakukan oleh bank sebagai badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya lagi
kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Sehingga untuk mencegah terjadinya kerugian
karena tidak kembalinya seluruh atau sebagian dari kredit yang telah disalurkan, bank
perlu memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut. Pentingnya kedudukan
kredit dalam proses pembangunan, maka sudah seharusnya kepentingan bank sebagai
1 Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Malang
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
287
pemberi kredit, yakni agar kredit yang disalurkan dibayar kembali, dapat dilindungi
melalui suatu lembaga jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi
semua pihak yang berkepentingan, yaitu suatu lembaga jaminan yang dikontruksikan
dapat menjamin dan memberikan kemudahan pelunasan suatu tagihan dalam hal debitor
tidak membayar utang-utangnya.
Sebenarnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata telah memberikan pengaman
kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan
jaminan umum menurut pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang menentukan bahwa
semua harta kekayaan kebendaan debitor baik bergerak atau tidak bergerak, yang sudah
ada maupun yang baru akan ada, menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan
kreditor. Apabila terjadi wanprestasi, maka seluruh harta benda debitor akan dijual
lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Namun
oleh karena perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan masih
belum memberikan rasa aman kepada kreditor, sehingga dalam praktek penyaluran
kredit, bank merasa perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat
kebendaan. Karenanya kehadiran Undang-undang Hak Tanggungan sebagai pengganti
lembaga hipotik dan credietverband sangat banyak manfaatnya.
Selama ini lembaga hukum yang dapat dipergunakan dan berfungsi untuk
menyelesaikan masalah kredit macet, adalah :
a. Pengadilan Negeri, apabila kredit macet yang terjadi merupakan tagihan-tagihan
dari bank swasta.
b. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN)/Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL),
berfungsi untuk menyelesaikan masalah kredit macet yang merupakan tagihan-
tagihan dari bank pemerintah.
Pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri selama ini hanya
terhadap tagihan bank, yang oleh pihak kreditor sebelumnya telah mengajukan
permohonan eksekusi terhadap obyek hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri
di wilayah mana hak tanggungan itu berada. Setelah debitor yang ingkar janji dipanggil
dan diberi tenggang waktu untuk membayar hutangnya dengan sukarela, namun tetap
lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan disita dengan sita eksekutorial. Jika
setelah disita debitor tetap lalai untuk membayar, maka obyek hak tanggungan tersebut
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
288
akan dilelang secara umum.
Proses pelaksanaan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang dilakukan oleh
pihak kreditor, sebenarnya tidaklah sulit. Karena disamping sertifikat Hak Tanggungan
berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hak Tanggungan, dimana pada sertifikat
tersebut dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa'', yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pemegang Hak
Tanggungan pertama juga mempunyai hak untuk melakukan eksekusi langsung
terhadap obyek Hak Tanggungan yang dijadikan sebagai jaminan kredit, apabila debitor
ingkar janji. Hal mana didasarkan pada kuasa yang diberikan oleh debitor maupun oleh
undang-undang kepada pihak kreditor.
Kemudian merujuk rumusan pasal 6 UUHT proses eksekusi dapat dilakukan
tanpa campur tangan atau meluai pengadilan. Dengan kata lain tidak perlu meminta fiat
eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri, karena hak dari pemegang hak tanggungan
pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak
berdasarkan undang-undang. Jadi tanpa perjanjian pun hak itu sudah lahir.
Dalam praktek, hal tersebut hampir tidak pernah dilaksanakan. Karena juru
lelang kadang kala menolak untuk melakukan penjualan di muka umum sebelum
adanya persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan alasan karena
melalui titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).
PARATE EKSEKUSI
Istilah parate eksekusi secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Parate eksekusi dari kata paraat yang berarti hak itu siap siaga di
tangan kreditor untuk menjual benda jaminan di muka umum atas dasar kekuasaan
sendiri.2
Pengaturan parate eksekusi telah ada pada saat berlakunya lembaga hipotik,
sebagaimana yang diatur dalam pasal 1178 ayat (2) BW, yang isinya :
“Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama
untuk, pada waktu dikarenakannya hipotik, dengan tegas minta
diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau
2 M. Isnaeni, (1996), Hipotik Pesawat Udara di Indonesia. Surabaya: Dharma Muda..
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
289
jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan
dikuasakan menjual persil yang diperikatkan di muka umum, untuk
mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari
pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut
cara sebagaimana diatur dalam pasal 1211 BW.”
Parate eksekusi yang semula diatur di dalam hipotik (pasal 1178 ayat (2) BW)
kemudian tidak dapat dipungkiri diadopsi oleh UUHT, yang dalam pasal 6 UUHT.
Untuk jelasnya substansi pasal 6 UUHT dimaksud adalah :
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mangambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Pasal 6 UUHT dengan pasal 1178 ayat (2) BW ada perbedaan antara parate eksekusi
hipotik dengan parate eksekusi Hak Tanggungan, pada hipotik lahir karena
diperjanjikan, sedankan parate eksekusi Hak Tanggungan lahir karena ditentukan oleh
Undang-undang (ex lege). Kemudian bertolak dari berbagai sumber hukum yang
mengatur parate eksekusi, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa parate eksekusi
dalam Undang-undang Hak Tanggungan adalah pelaksanaan penyelesaian hak tagih
kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melaui pelelangan umum, tanpa didahului fiat
Ketua Pengadilan Negeri manakala debitor cidera janji.
Adanya perbedaan pengertian tentang kewenangan tersebut menunjukkan bahwa
pembentuk UUHT mempunyai sikap yang tidak konsisten, yang menyebabkan
kebingungan dan kekacauan bagi kreditor pada khusunya, sehingga menurut Sutan
Remy Sjahdeini, penjelasan pasal 6 UUHT tersebut justru kembali mementahkan
harapan perbankan.3
Untuk membedakan Hak Tanggungan ini dari bentuk dan jenis jaminan-jaminan
utang yang lain, perlu dipahami asas-asas dari Hak Tanggungan yang tersebar dan
diatur dalam berbagai pasal dari UUHT, asas-asas tersebut diantaranya adalah :
1) Asas droit de preference.
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan pengertian "kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain" disebutkan
3 Sutan Remy Sjahdeini, (2000), “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”, Majalah Hukum
Nasional No. 2 Tahun 2000. Hal 19-20
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
290
di dalam Penjelasan Umum angka 4 UUHT yang menyebutkan:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam
arti, bahwa jika debitor cidera janji kreditor pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan urnum tanah
yang dijadikan jaminan menurut ketentuan perundang-urdangan
yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditor-
kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang
tentu tidak mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.”
2) Asas droit de suite
Pasal 7 UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap
mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada. Dengan demikian,
Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu
beralih/berpindah tarigan kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga.
Ketentuan Pasal 7 UUHT ini "merupakan materialisasi dari asas yang disebut
'droit de suite' atau `zaakgevolg'. Asas ini juga merupakan asas yang diambil
dari hipotik yang diatur dalam pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198
KUHPerdata".4 Asas ini memberikan sifat kepada Hak Tanggungan sebagai hak
kebendaan (zakelijkrecht) sebagai hak yang mutlak, yang dapat dipetahankan
terhadap siapapun.
3) Asas spesialitas
Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan
atas tanah yang dapat ditentukan secara spesifik. Dianutnya asas spesialitas oleh
Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 UUHT yang
menentukan :
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada
pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
4Ibid, hal 39
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
291
dilakukan.5
4) Asas Publisitas
Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan
kepada kreditor, Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak
Tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku tanah di Kantor
Pertanahan.
PEMBAHASAN
Pengaturan Parate Eksekusi Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan
Pengaturan tentang eksekusi Hak Tanggungan dapat ditemukan landasan
hukumnya dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang menyatakan:
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan :
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
Hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2).
Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut
tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak
mendahului dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang
Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa
setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan
cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) batal demi hukum.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dihindarkan dengan
pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta
biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.6
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT
5 Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1996), Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta, hal 5-6
6 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit., hal 13
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
292
sebagaimana disebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi atas obyek jaminan Hak
Tanggungan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu :
1. parate eksekusi;
2. titel eksekutorial; dan
3. penjualan di bawah tangan.
Ketiga jenis eksekusi Hak Tanggungan tersebut masing-masing memiliki
prosedur pelaksanan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Tentang pengertian
parate eksekusi sebenarnya dapat ditemukan dalam Pasal 6 UUHT yaitu, "hak
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut". Akan tetapi, seperti telah dikemukakan sebelumnya, hak
tersebut haruslah terlebih dahulu diperjanjikan oleh para pihak dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT atau
yang sebelum berlakunya UUHT diatur dalam ketentuan Pasal 1178 ayat (2)
KUHPerdata.
Melaksanakan kewenangan/hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT dan Penjelasannya ada beberapa hal
pokok yang perlu diperhatikan oleh kreditur, yaitu :
a. Klausula ini harus tegas diperjanjikan dan harus didaftarkan
Pada prinsipnya, seorang kreditor/pemegang Hak Tanggungan bebas
untuk memperjanjikan klausula ini atau tidak. Namun, seperti yang telah
dikemukan sebelumnya, hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk
melaksanakan penjualan obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut
tidaklah dengan sendirinya ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu
oleh para pihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atas hak atas tanah.
Oleh karena itu janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e
yang telah tercetak dalam blanko formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan
haruslah tetap dipertahankan/diperjanjikan oleh para pihak. Selanjutnya Akta
Pemberian Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan, dimana dalam proses pendaftaran ini PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
293
lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
b. Debitor harus cidera janji (wanprestasi).
Kreditor/pemegang Hak Tanggungan pada dasarnya tidak membutuhkan
eksekusi selama debitor memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik.
Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri tersebut hanya ditujukan kepada debitor
yang cidera janji (wanprestasi) saja.
Cidera janji atau yang disebut dalam bahasa Belanda "wanprestatie"
artinya adalah prestasi yang buruk. Atau dengan kata lain "tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul
karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang".7
Menurut M. Yahya Harahap adapaun pengertian yang umum tentang
wanprestasi adalah :
“Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur
disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apa bila dia
dalam melakukan pelaksanan prestasi perjanjian telah lalai
sehingga „terlambat‟ dari jadwal waktu yang ditentukan atau
dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
'sepatutnya/selayaknya'.8
Terjadinya cidera janji (wanprestasi) dalam perjanjian kredit bank, pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan wanprestasi yang terjadi pada jenis
perjanjian lain. Hanya saja pada perjanjian kredit bank, wanprestasi pada
umumnya terjadi karena disebabkan pelunasan kembali kredit yang diberikan
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari masalah
"pernyataan lalai" dan "kelalaian". Tentang hal ini oleh Pasal 1238 KUHPerdata
telah memberikan petunjuk dengan menyatakan "Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan,
bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
7 Abdulkadir Muhammad, (1982), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, hal 20
8 M. Yahya Harahap, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, hal 60
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
294
ditentukan".9 Adapun yang dimaksud dengan surat perintah dalam Pasal 1238
KUHPerdata tersebut adalah peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan,
sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu tulisan biasa yang
tujuannya sama, yakni untuk memberikan peringatan kepada debitor agar
memenuhi prestasi dalam seketika.
Dengan demikian, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi) seperti
tersebut di atas, undang-undang sebenarnya mewajibkan kreditor/pemegang Hak
Tanggungan untuk memberikan pernyataan lalai kepada debitor. Akan tetapi
kewajiban untuk memberikan pernyataan lalai itu dapat ditiadakan dengan jalan
mengadakan ketentuan dalam perjanjian yang menyatakan bahwa wanprestasi
tersebut cukup dibuktikan dengan lewatnya waktu yang telah diperjanjikan,
seperti waktu pembayaran/ pelunasan kredit.
Dalam prakteknya, menurut J. Satrio :
“Kreditur-pemegang-hipotik pada umumnya memperjanjikan
dalam perjanjian kreditnya, bahwa `dengan lewatnya waktu
(tanggal tertentu) yang telah disepakati bersama untuk
pengembalian kredit saja, sudah merupakan bukti yang nyata akan
kelalaian debitur, sehingga tak diperlukan adanya somasi, dan
dengan sendirinya kredit yang bersangkutan menjadi matang
untuk ditagih”.10
Jadi pada prinsipnya, dengan berpatokan pada tanggal yang ditetapkan
sebagai batas akhir pengembalian kredit saja sudah bisa dijadikan pedoman
untuk menentukan apakah debitur sudah cidera janji (wanprestasi) atau belum.
c. Merupakan hak pemegang Hak Tanggungan pertama.
Undang-undang menetapkan bahwa kewenangan untuk menjual atas
kekuasaan sendiri tersebut adalah merupakan hak pemegang Hak Tanggungan
pertama saja. Hal ini dimaksudkan adalah untuk menjaga agar tidak timbul
kesulitan disebabkan adanya sengketa diantara sesama pemegang Hak
Tanggungan dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan.
Meskipun dalam pasal 11 ayat (2) huruf e ditetapkan bahwa yang dapat
memperjanjikan klausula seperti itu hanya pemegang Hak Tanggungan pertama
saja, narnun dalam prakteknya semua pemegang Hak Tanggungan
9 Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., hal 269
10 J. Satrio, op. cit. hal 24
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
295
memperjanjikan klausula seperti itu, karena disamping sudah tercetak dalam
blanko formulir Akta Pembebanan Hak Tanggungan, undang-undang sendiri
tidak melarang pemegang Hak Tanggungan lain memperjanjikan kewenangan
seperti itu, apalagi ada kemungkinan terjadi pergeseran kedudukan, dimana Hak
Tanggungan pertama oleh karena pelunasan akan menjadi hapus dan pemegang
Hak Tanggungan berikutnya atau di bawahnya akan bergeser ke atas menjadi
yang pertama.
Pelaksanaan parate eksekusi obyek Hak Tanggungan pada kreditor (bank)
berdasarkan pasal 6 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
didasarkan pada hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan atau berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan penjualan obyek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum untuk pelunasan hutang debitor.
Dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) UUHT, antara lain disebutkan :
Pada prinsipnya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui
pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh
harga yang paling tinggi untuk obyek Hak Tanggungan. Kreditor
berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil
penjualan obyek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih
besar daripada piutang tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai
tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.11
Dari ketentuan di atas, diperoleh ketegasan bahwa setiap eksekusi harus
dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum,
yang hasilnya digunakan untuk pelunasan utang debitor. Utang yang harus dibayar dari
hasil lelang obyek Hak Tanggungan maksimal adalah sebesar nilai tanggungan yang
disebut dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Dalam proses eksekusi Hak Tanggungan pada bank yang terjadi selama ini
dalam praktek apabila debitor ingkar janji dan jalan damai tidak berhasil ditempuh,
maka kreditor tidak perlu melalui proses gugatan di pengadilan. Akan tetapi kreditor
cukup membawa sertifikat Hak Tanggungan yang memakai irah-irah "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ke pengadilan negeri dan langsung
11
Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit. hal 44
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
296
mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri di
wilayah mana obyek Hak Tanggungan itu berada.
Setelah menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan memeriksa
bukti yang diajukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan itu,
maka Ketua Pengadilan Negeri akan menindaklanjuti dengan menerbitkan surat tegoran
(aanmaning) agar debibur dalam waktu 8 (delapan) hari sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 196 HIR/207 RBg segera memenuhi kewajibannya untuk membayar utangnya
secara sukarela. Apabila debitor tetap lalai untuk memenuhi kewajibannya sesuai jadwal
yang ditentukan, atas perintah/penetapan Ketua Pengadilan Negeri akan dilakukan sita
eksekusi terhadap tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan yang diikuti pula dengan
dikeluarkannya Penetapan Lelang. Selanjutnya Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri
akan mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL untuk dijadwalkan lelangnya.
Uang dari hasil lelang akan dipergunakan untuk membayar utang debitor,
setelah dibayarkan terlebih dahulu biaya-biaya yang diperlukan seperti bea lelang, dan
apabila ada kelebihannya, maka sisa uang tersebut akan dikembalikan kepada pemberi
Hak Tanggungan (debitor).
Jadi pada prinsipnya proses eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh bank
selama ini adalah masih mengacu kepada eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau
berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana juga dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, yang
pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224 HIR/258 RBg, dan bukan atau belum
dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT.
Eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT (parate eksekusi) tidak atau
belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya karena dalam prakteknya pejabat/juru
lelang menolak untuk melaksanakan penjualan di muka umum atas obyek Hak
Tanggungan sebelum ada persetujuan atau fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri.
Hal ini berhubungan erat dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 3210 K/Pdt/1084 tanggal 30 Januari 1986 yang telah membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Bandung dan menyatakan penjualan lelang berdasarkan parate
eksekusi yang telah dilakukan tanpa melalui Ketua Pengadilan adalah perbuatan
melawan hukum dan lelang yang bersangkutan adalah batal.
Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b serta ayat (2) UUHT tersebut
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
297
telah diatur adanya 3 (tiga) cara eksekusi yang dapat ditempuh oleh kreditor/pemegang
Hak Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan bilamana debitor/pemberi Hak
Tanggungan cidera janji (wanprestasi), yaitu :
1. Eksekusi berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual
obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang
ini (Parate Eksekusi), atau
2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) undang-undang ini,
dan
3. Eksekusi melalui penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Pendapat Sudikno Mertokusumo menyatakan :
Dalam sistem kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia,
seperti yang telah disinggung di muka, hakim tidak terikat pada
putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang
serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut di atas dalam
sistem Kontinental ini hakim diikat oleh undang-undang. Disini hakim
berpikir deduktif dari undang-undang yang sifatnya umum ke
peristiwa khusus. Dalam sistem Anglo-saks hakim terikat pada
'precedent' atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang
akan diputus, Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan
pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu peristiwa.
Disini hakim berpikir induktif.12
Dalam ilmu hukum kalau terjadi konflik norma dikenal apa yang disebut dengan
azas preferensi, yaitu suatu azas pengutamaan atau azas mengalahkan. Ada beberapa
azas-azas penyelesaian konflik13
, adalah :
a. Azas lex posterior (lex posterior derogate legi priori): undang-undang yang
kemudian mengalahkah yang terdahulu.
b. Azas lex specialis (lex specialis deroga legi general): undang-undang khusus
mengalahkan yang umum.
c. Azas lex superior (lex superior deroga legi inferiors): undang-undang yang
lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.
12
Sudikno Mertokusumo, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 13
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, (2005), Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, hal 31, dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and Conflict in Law,
W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle, hal. 217-223
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
298
Dari ketiga azas tersebut yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik norma
adalah lex specialis deroga legi general (undang-undang khusus mengalahkan yang
umum). Azas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan yang secara
hirarkis mempunyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan
antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan
pengaturan secara khusus dari yang lain. Berarti prosedur untuk pelaksanaan penjualan
obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi) sebagai hak dari
kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, tanpa melalui fiat Ketua Pengadilan
Negeri.
Dalam Edisi Revisi Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. KMA/007/SK/IV/1994 tanggal 1 April 1994, telah
ditegaskan bahwa "Untuk menjaga penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga
berdasarkan pasal 1178 BW (kecuali penjualan lelang ini dilaksanakan berdasarkan
pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan) selalu baru dapat dilaksanakan setelah ada
izin dari Ketua Pengadilan Negeri".14
Dengan demikian, jelas bisa dipahami bahwa
sejak diberlakukan dan diundangkannya UUHT, Mahkamah Agung sendiri cenderung
mengakui akan eksistensi parate eksekusi sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUHT
KESIMPULAN
1. Pengaturan parate eksekusi (pasal 6 UUHT) tidak konsisten dengan prinsip
hukum jaminan, sebab terdapat kerancuan pengaturan mengenai perolehan hak
kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama, karena di satu sisi hak itu lahir
karena Undang-undang di sisi lain hak tersebut terlahir secara diperjanjikan,
sehingga pengertian parate eksekusi menimbulkan makna ganda / kabur. Maka
satu sisi parate eksekusi berdasarkan Pasal 16 UUHT yaitu melalui pelelangan
umum dan di sisi lain melalui titel eksekutorial sehingga melalui fiat Ketua
Pengadilan Negeri.
2. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemegang
hak tanggungan dalam prakteknya selama ini adalah masih mengacu kepada
eksekusi melalui fiat pengadilan negeri atau berdasarkan titel eksekutorial yang
14
Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1997), Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrfasi
Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahakmah Agung RI, hal 136
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
299
terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf b UUHT, yang pelaksanaannya didasarkan kepada Pasal 224
HIR/258 RBg, dan masih sedikit dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 6 jo. Pasal
20 ayat (1) huruf a UUHT.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, (2005), Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press dikutip dari P.W. Brouwer, et. Al., Coherence and
Conflict in Law, W.E.J. Tjeenk Willink, Kluwer, Zwolle.
Harahap, M. Yahya, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.
Isnaeni, M. (1996), Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, Surabaya: Dharma Muda.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1992), Beberapa Yurisprudensi Perdata Yang
Panting Serta Hubungan Keentuan Hukum Acara Perdata, Jakarta.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1997), Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrfasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Proyek Pembinaan Teknis
Yustisial Mahakmah Agung RI.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, (1996), Pustaka Peradilan Jilid XIV, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, (2005), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Muhammad, Abdulkadir, (1982), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni.
Satrio, J, (1993), Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Bandung: Alumni.
Sjahdeini.Sutan Remy ( 2000), “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”.
Majalah Hukum Nasional No. 2 Tahun 2000.
Subekti, (1982), Jaminan Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
Alumni.