Pedoman Umum Penataan Dan an Lingkungan an Aman Bencana

Embed Size (px)

Citation preview

PEDOMAN UMUMPENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

PEDOMAN UMUM Penataan dan Pengembangan Lingkungan Permukiman Aman Bencana Desain dan Tata Letak : A. Firman Gambar/Ilustrasi : Sigit Wisnuadji, Permen PU No.26/PRT/M/2008 Cetakan ke -1 : Juni 2011 : 18,2 x 25,7 cm ; 90 hlm Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Barat

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa kami telah dapat menyusun sebuah buku Pedoman Penataan dan Pengembangan Lingkungan Permukiman Aman Bencana bagi masyarakat di wilayah Kabupaten dan Kota seluruh Provinsi Jawa Barat. Buku pedoman ini disusun dengan tujuan agar dapat menjadi pedoman bagi masyarakat didaerah-daerah lain di Jawa Barat yang memerlukan suatu alat atau instrumen di dalam penataan dan pengembangan lingkungan permukiman aman bencana, yang dapat diimplementasikan dan lebih jauh lagi dipakai sebagai acuan model dasar penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam menciptakan lingkungan permukiman yang aman bencana.

Bab I Pendahuluan. Bab II hingga Bab VI pedoman ini menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala Daftar isi lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana banjir, longsor, tsunami, gempa, dan kebakaran. Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu dalam penyusunan pedoman ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Semoga pedoman ini bermanfaat bagi pengurangan resiko bencana di wilayah Provinsi Jawa Barat serta pihak-pihak lain yang memerlukannya dalam kerangka penanggulangan bencana Wassalamualaikum Wr. Wb.Kota Bandung, Penyusun Juni 2011

BPBD Provinsi Jawa Barat

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Lingkup Panduan Istilah Kebencanaan yang Perlu Dipahami Cara Menggunakan Pedoman Ini LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA BANJIR Skala Kota dan Kawasan Skala Lingkungan

ii vii ix x I-1 I-2 I-3 I-3 I-4 I-8 II-1 II-2 II-6 III-1 III-2 III-3 IV-1 IV-2 IV-2 IV-3 IV-4 V-1 V-2 V-3 VI-1 VI-2 VI-3 VII-1

BAB II

i

BAB III LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA LONGSOR Skala Kota dan Kawasan Skala Lingkungan BAB IV LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA TSUNAMI Identifikasi Kerentanan Tsunami Faktor Resiko Skenario Pengurangan Resiko Bencana Tsunami Perencanaan Permukiman Tanggap Bencana Tsunami BAB V LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA GEMPA Skala Kota dan Kawasan Skala Lingkungan

BAB VI LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA KEBAKARAN Skala Kota dan Kawasan Skala Lingkungan BAB VII PENUTUP

iv v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 3.1 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3

Ketentuan Penetapan Garis Sempadan Sungai Ketentuan Penetapan Garis Sempadan Pantai Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng Jarak Antar Bangunan Volume Bangunan Gedung Untuk Penentuan Jalur Akses Volume Bangunan Gedung Untuk Penentuan Jalur Akses

II-3 II-4 III-4

VI-5 VI-16 VI-19

vi

DAFTAR Gambar

Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 2.10 Gambar 3.1

Skema Penanganan Struktur Kota Tata Letak Bangunan yang Memungkinkan Terjadinya Peresapan Air Hierarki Saluran Drainase Pemanfaatan Area Sempadan Sungai Sebagai Area Fungsional Pemanfaatan Sumur Resapan Untuk Membantu Penyerapan Air Rumah Panggung Sebagai Alternatif Bentuk Hunian Tanggap Banjir Kolam Retensi Sebagai Upaya Persiapan Banjir Hierarki Drainase sebagai Pelayanan Air Buangan Pemanfaatan Ruang Terbuka Sebagai Daerah Resapan di Sekitar Drainase Potongan Jalan Konfigurasi Bangunan Pada Tanah Berkontur Pemanfaatan Sumur Resapan Untuk Membantu Penyerapan Air Kolam Retensi Sebagai Upaya Persiapan Banjir Drainase Pada Lereng Tanah Yang Berpotensi Longsor Potongan Jalan Pola Perletakan Bangunan dari Garis Pantai dengan Ruang Terbuka Bervegetasi Pola Perletakan Bangunan yang Relatif Dekat Dengan Garis Pantai Tipikal Potongan Bangunan di Sekitar Garis Pantai Ilustrasi Escape Hill Sebagai Area Evakuasi Bencana Beberapa Contoh Signage Penanda Jalur Evakuasi Aksesibilitas lingkungan permukiman Susunan bangunan tunggal dalam lingkungan perumahan Susunan bangunan kopel Susunan bangunan deretvii vi

II-5 II-6 II-7 II-8 II-9 II-10 II-13 II-14 II-15 II-16

Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4

III-4 III-6 III-8 III-9 III-10 IV-6 IV-7 IV-8 IV-9 IV-13 VI-4 VI-6 VI-7 VI-8

DAFTAR Gambar

Gambar 6.5

Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 6.9 Gambar 6.10 Gambar 6.11

Susunan bangunan deret yang bersambungan pada sisi kanan dan kirinya dengan bidang sambungan maksimal Ruang Bebas Pandang Pada Tikungan Pada Proses Pemadaman oleh Mobil Pemadam Kebakaran Contoh Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran Contoh Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran Contoh Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran Radius terluar untuk belokaan yang dapat dilalui Bangunan sarana pendidikan yang terpisah dengan bangunan di sebelah-sebelahnya dapat menghambat penjalaran api

VI-9 VI-9 VI-13 VI-13 VI-14 VI-15

VI-21

viii

PENDAHULUAN

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Lingkungan permukiman yang aman bencana dan rumah yang nyaman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang. Rumah bagi penghuninya berfungsi sebagai alat berlindung dari gangguan alam dan makhluk lainnya. Rumah dan lingkungannya memiliki peran sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, penyiapan generasi muda dan sebagai manifestasi jatidiri, sehingga sangat mungkin akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Atau dengan kata lain SDM akan dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman dimana masyarakat menempatinya. Perumahan dan permukiman yang kondusif dan aman bencana pada kenyataannya menjadi potensial dalam mendorong dan menggerakkan roda kegiatan ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja. Untuk golongan-golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan barang modal karena dengan aset rumah ini mereka dapat melakukan kegiatan ekonominya. Penanganan masalah perumahan dan permukiman di Indonesia telah menjadi program nasional dimana pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang aman bencana dan nyaman adalah tanggung jawab bersama dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penyelenggaraannya (secara multisektoral), sedangkan peran pemerintah sebagai pendorong/fasilitator. Menangani permasalahan yang timbul dalam bidang permukiman tidak dapat dilihat sebagai permasalahan fisik semata namun harus dikaitkan dengan masalah sosial, ekonomi serta budaya masyarakat secara berkeadilan, harmonis dan berkelanjutan karena sasaran akhir dari upaya penataan dan pengembangan permukiman yang aman bencana adalah terwujudnya kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola permukiman serta lingkungannya secara mandiri. Dalam kondisi penanganan masalah lingkungan permukiman yang aman bencana dewasa ini dimana pelaksanaannya secara terdesentralisasi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, persepsi, pola pikir dan langkah kegiatan yang diselenggarakan di setiap daerah serta kesiapan kelembagaan dituntut lebih banyak melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-2

PENDAHULUAN

Penduduk Jawa Barat yang rentan terhadap ancaman bahaya bencana, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir, merupakan sasaran dari kegiatan penataan dan pengembangan lingkungan permukiman aman bencana sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku yang positif termasuk perilaku terhadap penanganan lingkungan permukimannya. Melihat potensi ini perlu inovasi dan ide kreatif membuat suatu model penataan dan pengembangan lingkungan permukiman aman bencana, yang dapat diimplementasikan dan lebih jauh lagi dipakai sebagai acuan model dasar penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam menciptakan lingkungan permukiman yang aman bencana. B. TUJUAN Buku Pedoman ini ditujukan untuk memberikan pengetahuan dan acuan bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan penataan dan pengembangan lingkungan permukiman aman bencana yang diarahkan pada pemanfaatan potensi lokal dengan mempertimbangkan daya dukung lahan serta sosial budaya setempat. C. LINGKUP PANDUAN Lingkup tahapan dalam buku Pedoman Penataan dan Pengembangan Lingkungan Permukiman Aman Bencana, secara garis besar adalah : 1. Pendahuluan, yang meliputi : a. Latar Belakang b. Tujuan c. Lingkup Panduan d. Istilah Kebencanaan Yang Perlu Dipahami e. Cara Menggunakan Pedoman Ini 2. Lingkungan Permukiman Aman Bencana Banjir, yang meliputi : a. Skala Kota dan Kawasan b. Skala Lingkungan 3. Lingkungan Permukiman Aman Bencana Longsor, yang meliputi : a. Skala Kota dan Kawasan b. Skala LingkunganPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-3

PENDAHULUAN

4. Lingkungan Permukiman Aman Bencana Gempa, yang meliputi : a. Skala Kota dan Kawasan b. Skala Lingkungan 5. Lingkungan Permukiman Aman Bencana Tsunami, yang meliputi : a. Skala Kota dan Kawasan b. Skala Lingkungan 6. Lingkungan Permukiman Aman Bencana Kebakaran, yang meliputi : a. Skala Kota dan Kawasan b. Skala Lingkungan D. ISTILAH KEBENCANAAN YANG PERLU DIPAHAMI Ancaman bencana adalah kejadian-kejadian, gejala atau kegiatan manusia yang berpotensi untuk menimbulkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Bahaya dapat mencakup kondisi-kondisi laten yang bisa mewakili ancaman di masa depan dan dapat disebabkan oleh berbagai hal: alam atau yang diakibatkan oleh proses-proses yang dilakukan manusia (kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi). Bahaya dapat berbentuk tunggal, berurutan atau gabungan antara asal dan dampak mereka. Setiap bahaya dicirikan oleh lokasi, frekuensi dan peluang. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat berupa pangan, sandang, tempat tinggal sementara, perlindungan, kesehatan, sanitasi dan air bersih. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-4

PENDAHULUAN

gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Daya tahan adalah kapasitas sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang memiliki potensi terpapar pada bencana untuk beradaptasi, dengan cara bertahan atau berubah sedemikian rupa sehingga mencapai dan mempertahankan suatu tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh tingkat kemampuan sistem sosial dalam mengorganisir diri untuk meningkatkan kapasitasnya untuk belajar dari bencana di masa lalu untuk perlindungan yang lebih baik di masa mendatang dan untuk meningkatkan upaya-upaya pengurangan risiko. Deteksi adalah kegiatan penelitian suatu keadaan, hal, unsur, tindakan yang tersembunyi Deteksi dini adalah sebuah kegiatan untuk mengetahui kemungkinan bencana. Donor adalah pemberi bantuan perorangan atau instansi yang menyumbang bantuan berupa uang, bahan-bahan, tenaga ahli, pelatihan, dan lainlain. Kapasitas adalah penguasaan sumber daya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kedaruratan adalah suatu keadaan kritis yang terjadi dengan cepat dimana kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat terancam. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Kemampuan adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mengurangi tingkat risiko bencana dengan cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kapasitas bisa mencakup cara-cara fisik, kelembagaan, sosial atau ekonomi serta karakteristik keterampilan pribadi atau kolektif seperti misalnya kepemimpinan dan manajemen.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-5

PENDAHULUAN

Kapasitas juga bisa digambarkan sebagai kemampuan (capability). Kerentanan adalah kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan masyarakat tersebut mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdayaguna. Konflik adalah pertentangan fisik antara dua pihak atau lebih yang menyebabkan hilangnya hak kelompok masyarakat, timbulnya rasa takut, terancamnya keamanan dan ketentraman, terganggunya keselamatan atau martabat, hilangnya aset dan terganggunya keseimbangan kehidupan masyarakat. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. LSM adalah lembaga swadaya masyarakat nirlaba yang bergerak dalam berbagai aspek untuk membantu masyarakat. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. MPBI (Masyarakat Penanggulanagn Bencana Indonesia) adalah badan yang menampung jaringan organisasi yang bergerak dalam bidang penanggulangan bencana di Indonesia.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-6

PENDAHULUAN

Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-7

PENDAHULUAN

segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. SAR (Search and Rescue) adalah Lembaga atau kegiatan untuk mencari dan menyelamatkan orang, hewan atau barang akibat bencana. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi dari institusi/badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Trauma adalah cedera yang terjadi pada batin dan tubuh akibat suatu peristiwa tertentu. E. CARA MENGGUNAKAN PEDOMAN INI Buku Pedoman Penataan dan Pengembangan Lingkungan Permukiman Aman Bencana ini merupakan hasil kerjasama BPBD Provinsi Jawa Barat dengan mitra kerjanya dan para ahli di berbagai bidang yang menggabungkan pengalaman dan penelitiannya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia sederhana agar mudah dipahami oleh seluruh kelompok masyarakat. Buku pedoman ini menggabungkan masukan dan rekomendasi dari para ahli, praktisi dan masyarakat. Strukturnya disederhanakan sehingga lebih ringkas dan lebih mudah diikutinya dengan tetap mempertahankan keutuhan isi pedoman. Buku pedoman ini dibuat untuk masyarakat di wilayah Jawa Barat yang berisiko terhadap bencana. Oleh karena itu, pengalaman, pembelajaran, usul dan pemikiran Anda tentang buku ini sangat penting. Namun begitu, pedoman ini dapat dijadikan referensi juga bagi masyarakat di wilayah lainnya di Indonesia.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-8

PENDAHULUAN

Buku ini dipergunakan khususnya oleh masyarakat Jawa Barat. Oleh karena itu dibuat sesuai dengan kondisi dan situasi Jawa Barat secara umum. Penyesuaian lebih lanjut dari materi ini harus dibuat oleh masyarakat setempat untuk memperoleh hasil yang maksimal, karena kondisi daerah di Jawa Barat beragam. Pedoman ini juga dapat digunakan oleh organisasi kemanusiaan, lembaga pemerintah dan unsur masyarakat yang membutuhkan. Buku ini akan sangat berguna apabila seluruh isinya dibaca dan dipahami sebelum bencana terjadi. Anda juga dapat menggunakan buku ini pada saat atau setelah bencana terjadi dengan langsung membuka bagian yang tepat dan diperlukan. Bab 1 Pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang, lingkup panduan dan tujuan agar dapat menjadi pedoman bagi pemerintah maupun masyarakat di Jawa Barat yang memerlukan suatu alat atau instrumen di dalam melakukan penataan dan pengembangan lingkungan permukiman aman bencana yang diarahkan pada pemanfaatan potensi lokal dengan mempertimbangkan daya dukung lahan serta sosial budaya setempat. Bab 2 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Banjir, menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana banjir. Bab 3 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Longsor, menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana longsor. Bab 4 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Gempa, menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana gempa. Bab 5 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Tsunami, menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana banjir. Bab 6 Lingkungan Permukiman Aman Bencana Kebakaran, menguraikan tentang pendekatan-pendekatan berdasarkan skala kota dan kawasan, serta skala lingkungan, dalam upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana Kebakaran.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

I-9

LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA BANJIR

2

BANJIR

Banjir adalah aliran air di permukaan tanah yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah yang melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Daerah rawan banjir adalah kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulang kali). Berdasarkan Dokumen Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi kriteria kebencanaan banjir adalah: a. tinggi : 3, jika mengancam lebih 100 jiwa jiwa (banjir pada kawasan pemukiman), waktu genangan lebih dari 3 hari b. sedang : 2, jika mengancam kurang dari 100 jiwa (banjir pada kawasan pemukiman), waktu genangan kurang dari 2 hari c. rendah : 1, jika lebih rendah dari point b atau genangan pada kawasan pertanian Dalam rangka pencegahan dan pengurangan resiko banjir, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan fisik struktural dan non-struktural. A. SKALA KOTA DAN KAWASAN a. Struktur Kota Mengatur tingkat intensitas penggunaan lahan yang dapat mencegah terjadinya genangan air permukaan Penempatan fungsi-fungsi dengan kepadatan yang paling tinggi (dapat berupa kawasan ekonomi utama kota seperti kawasan perdagangan, jasa, perkantoran) tidak berada pada area dengan level tanah (elevasi) paling rendah. Hal ini dimaksudkan agar air masih dapat mengalir melewati fungsi-fungsi tersebut atau diresapkan pada area tersebut untuk mengurangi limpasan air permukaan (runoff). Permukiman sedapat mungkin memiliki jarak teretentu dengan badan air, sesuai ketentuan garis sempadan, baik garis sempadan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-2

BANJIR

sungai, garis sempadan pantai, maupun garis sempadan waduk. Ketentuan mengenai garis sempadan sungai dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 063 Tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai; sebagai berikut: Tabel 2.1 Ketentuan Penetapan Garis Sempadan Sungai Badan Air1. Sungai Bertanggul (GSS dihitung dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul) 2. Sungai Tak Bertanggul (GSS dihitung dari tepi sungai waktu ditetapkan) Sungai Besar 100 m 3. Danau 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat 4. Mata Air 200 m di sekitar mata air 5. Sungai yang terpengaruh pasang surut air laut 5m 3m Kedalaman Sungai 20 m 30 m

100 m dari tepi sungai; berfungsi sebagai jalur hijau

Sedangkan menurut Pedoman Pemanfaatan Tepi Pantai di Kawasan Perkotaan, lebar sempadan pantai dihitung dari titik pasang tertinggi, bervariasi sesuai dengan fungsi / aktivitas yang berada di sekitarnya; sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini:

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-3

BANJIR

Tabel 2.2 Ketentuan Penetapan Garis Sempadan Pantai NO1

JENIS AKTIVITASKawasan Permukiman

BENTUK PANTAIlandai dengan gelombang < 2m

KONDISI FISIK PANTAIstabil dengan pengendapan stabil dengan pengendapan labil dengan pengendapan labil dengan pengendapan

LEBAR SEMPADAN (m)30 50 50 75 50 75 75 100 100 150 150 200 150 200 200 250 200 250 250 300

landai dengan gelombang > 2m

stabil dengan pengendapan stabil dengan pengendapan labil dengan pengendapan labil dengan pengendapan

2

Kawasan Non Permukiman

landai dengan gelombang < 2m

stabil dengan pengendapan stabil dengan pengendapan labil dengan pengendapan labil dengan pengendapan

landai dengan gelombang > 2m

stabil dengan pengendapan stabil dengan pengendapan labil dengan pengendapan labil dengan pengendapan

curam dengan gelombang < 2m curam dengan gelombang > 2m

stabil labil stabil labil

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-4

BANJIR

Permukiman dikembangkan di area yang elevasinya lebih tinggi daripada muka air. Apabila dikembangkan di daerah yang lebih rendah, maka harus ada upaya rekayasa tata air agar area tersebut tidak tergenang air.

Gambar 2.1 Skema Penanganan Struktur Kota

b. Penggunaan Lahan Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi keterbukaan dan ketertutupan (solid-void) lahan agar memungkinkan adanya peresapan air di ruang terbuka hijau sehingga volume air permukaan dapat dikurangi untuk mengurangi beban saluran drainase yang ada. Menempatkan fungsi-fungsi ruang terbuka hijau perkotaan pada area yang berpotensi terkena genangan air ataupun luapan sungai agar dapat meresapkan air sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Pengembangan permukiman harus memperhatikan bukaan dan tutupan lahan. Pengembangannya disesuaikan dengan pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) yang ditetapkan masing-masing daerah dalam dokumen Rencana Tata Ruang, sesuai dengan karakter dan daya dukungnya.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-5

BANJIR

B. SKALA LINGKUNGAN a. LingkunganPerumahan,Perdagangan,Industridan/atauCampuran Konfigurasi Tata Letak Bangunan Dalam upaya untuk menghindari genangan air, maka bangunan harus memiliki area terbuka yang digunakan untuk meresapkan air ke dalam tanah untuk mengurangi volume air permukaan dan sebagai cadangan air tanah.

Gambar 2.2 Tata Letak Bangunan yang Memungkinkan Terjadinya Peresapan Air Apabila tanah peresapan ini sangat terbatas keberadaannya, maka peresapan air dapat dibantu dengan lubang biopori atau sumur resapan. Air yang tidak meresap ke dalam tanah harus diarahkan kepada saluran pembuangan (drainase) untuk diteruskan melalui saluransaluran yang lebih besar untuk sampai ke tempat pembuangan akhir (sungai, laut). Bangunan ditata dan diletakkan sedemikian rupa sehingga sistem drainase yang terbentuk memudahkan air permukaan dapat mengalir dengan lancar.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-6

BANJIR

Disusun dengan pola yang memungkinkan adanya hierarki saluran drainase dari yang kecil (saluran tersier) sampai yang besar (saluran primer).

Gambar 2.3 Hierarki Saluran Drainase Untuk bangunan yang sudah tidak memiliki ruang hijau sempadan, maka harus ada jalan sebagai orientasi akses utama. Area sempadan sungai dapat dimanfaatkan sebagai area fungsional pada kawasan padat di perkotaan. Lebar bantaran sungai mengikuti ketentuan yang ditetapkan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-7

BANJIR

Gambar 2.4 Pemanfaatan Area Sempadan Sungai Sebagai Area Fungsional Kavling dan Bangunan Pengaturan proposi tutupan dan bukaan lahan (rata-rata 60 % 40 %) sebagai sarana untuk meresapkan air ke dalam tanah.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-8

BANJIR

Gambar 2.5 Pemanfaatan Sumur Resapan Untuk Membantu Penyerapan Air Apabila dimungkinkan, adanya sumur-sumur resapan dapat membantu peresapan air. Adapun pembuatan sumur resapan mengikuti standarstandar sebagai berikut: 1. Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 03-2453-2002) 2. Spesifikasi Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 062459-2002)

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-9

BANJIR

Untuk bangunan yang sudah berada di dataran banjir, maka perlu didirikan dengan konsep rumah panggung atau menggunakan lantai bawah sebagai ruang-ruang servis.

Gambar2.6RumahPanggungSebagaiAlternatifBentukHunianTanggap Banjir

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-10

BANJIR

Penggunaan material permanen dapat mengurangi resiko kerusakan bangunan. Pembuatan penampung air hujan dapat mengurangi jumlah air permukaan yang berpotensi menjadi genangan. Apabila setiap rumah memiliki penampungan air hujan, jumlah air limpasan yang ada dapat dikurangi sehingga banjir akibat genangan sedikit banyak dapat dihindari. Pembuatan penampungan air hujan hendaknya mengikuti standar yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum: Tata Cara Pembuatan & Pemeliharaan Penampung Air Hujan (PAH)

b. Sarana Sarana Yang Berupa Bangunan Sarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan kebudayaan tanggap banjir hendaknya dibuat berdasarkan upaya-upaya penanganan banjir seperti yang dijelaskan di bawah ini. Upaya pencegahan : Halaman diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area parkir yang dapat berfungsi juga sebagai area peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah banyaknya air permukaan sehingga dapat mengurangi kemungkinan banjir. Upaya persiapan : Terletak di elevasi yang tinggi diantara lingkungan yang ada agar pada saat banjir sarana ini relatif tidak terendam setinggi lingkungan yang lain. Diletakkan pada posisi yang jauh dari sungai sehingga mengurangi resiko banjir terutama karena luapan sungai. Upaya evakuasi : Perlu diletakkan pada lokasi yang mudah diakses sehingga mudah dijangkau pada saat banjir dan dapat berfungsi sebagai tempat penampungan (evakuasi). Pos hansip perlu diletakkan di titik yang mudah terlihat dari lingkungan perumahan sehingga dapat menjadi titik pemberi peringatan.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-11

BANJIR

Sarana Non Bangunan Upaya penanganan ruang terbuka hijau, lapangan rumput, lapangan olah raga tanggap bencana banjir adalah sebagai berikut: Upaya pencegahan : RTH dan lapangan rumput diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah banyaknya air permukaan sehingga dapat mengurangi kemungkinan banjir. Upaya persiapan : Terletak di elevasi yang rendah diantara lingkungan yang ada agar pada saat banjir area ini dapat menjadi kolam retensi yang menampung air permukaan dan menyerapkannya ke dalam tanah. Dialokasikan area yang dekat dengan sungai sehingga dapat menjadi area penghambat (barrier) masuknya air lebih jauh ke komplek perumahan.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-12

BANJIR

Gambar 2.7 Kolam Retensi Sebagai Upaya Persiapan Banjir c. Utilitas Drainase Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air buangan dapat mengalir lancar.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-13

BANJIR

Gambar 2.8 Hierarki Drainase sebagai Pelayanan Air Buangan Untuk lingkungan dengan ruang terbuka yang cukup besar, drainase dapat dibuat dan difungsikan sebagai daerah resapan.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-14

BANJIR

Gambar 2.9 Pemanfaatan Ruang Terbuka Sebagai Daerah Resapan di Sekitar Drainase Perlunya pemerliharaan drainase untuk menghindari saluran yang mampet dan terjadinya pendangkalan yang akan mengurangi kapasitas dan daya tampung saluran.

Jalan Pada ruas jalan yang sering tergenang air, penggunaan material beton lebih baik daripada aspal. Pada ketinggian yang sama, elevasi jalan lebih rendah dari elevasi lantai bangunan di sampingnya. Elevasi as jalan dibuat lebih tinggi dari saluran drainase agar dapat mengalirkan air dari jalan ke drainase. Jalan sebagai jalur evakuasi dan jalur air yang meluap. Untuk daerah rawan banjir, jalan diupayakan menggunakan konstruksi beton.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-15

BANJIR

Gambar 2.10 Potongan Jalan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

II-16

LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA LONGSOR

3

LONGSOR

Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006, gerakan tanah atau tanah Iongsor merusakkan jalan, pipa dan kabel baik akibat gerakan dibawahnya atau karena penimbunan material hasil longsoran. Gerakan tanah yang berjalan lambat menyebabkan penggelembungan (tilting) dan bangunan tidak dapat digunakan. Rekahan pada tanah menyebabkan fondasi bangunan terpisah dan menghancurkan utilitas lainnya didalam tanah. Runtuhan lereng yang tiba-tiba dapat menyeret permukiman turun jauh dibawah lereng. Runtuhan batuan (rockfalls) yang berupa luncuran batuan dapat menerjang bangunan- bangunan atau permukiman dibawahnya. Aliran butiran (debris flow) dalam tanah yang lebih lunak, menyebabkan aliran lumpur yang dapat mengubur bangunan permukiman, menutup aliran sungai sehingga menyebabkan banjir, dan menutup jalan. Liquefaction adalah proses terpisahnya air di dalam pori-pori tanah akibat getaran sehingga tanah kehilangan daya dukung terhadap bangunan yang ada diatasnya sebagai akibatnya bangunan akan amblas atau terjungkal. Berdasarkan Dokumen Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi kriteria kebencanaan longsor adalah: a. tinggi : 3, jika mengancam lebih 50 jiwa (longsor pada pemukiman) kawasan

b. sedang : 2, jika mengancam kurang dari 25-50 jiwa (longsor pada kawasan pemukiman) c. rendah : 1, jika mengancam hanya mengancam kawasan non pemukiman (sawah/ladang, hutan, jalan) Dalam rangka pencegahan dan pengurangan resiko tanah longsor ini, ada dua pendekatan perwilayahan yaitu pengaturan dalam skala kota dan kawasan serta dalam skala lingkungan permukiman. A. SKALA KOTA DAN KAWASAN a. Struktur Kota Perlu adanya identifikasi awal tentang kelerengan yang berpotensi longsor dengan memperhatikan jenis tanah yang menutupinya (Distamben Jabar) :PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-2

LONGSOR

Merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang tebal Merupakan lereng yang tersusun oleh tumpukan tanah lempung yang menumpang di atas batuan kompak dan keras Merupakan lereng yang tersusun oleh perlapisan tanah atau perlapisan batuan yang miring ke arah luar lereng Memanfaatkan kawasan yang dianggap rawan bencana longsor sebagai kawasan lindung (ruang terbuka hijau, paru-paru kota atau lingkungan).

b. Penggunaan Lahan Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi keterbukaan dan ketertutupan (solid-void) lahan agar memungkinkan adanya peresapan air di ruang terbuka hijau sehingga volume air permukaan dapat dikurangi untuk mengurangi beban saluran drainase yang ada.

B. SKALA LINGKUNGAN a. LingkunganPerumahan,Perdagangan,Industridan/atauCampuran. Sarana Yang Berupa Bangunan Konfigurasi bangunan dibuat dengan mengikuti pola kontur yang ada. Ketentuan dasar fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktorfaktor berikut ini (SNI 03-1733-2004) : i. Ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.

ii. Kemiringan lahan tidak melebihi 15% (lihat Tabel 2) dengan ketentuan: Tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8%; dan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-3

LONGSOR

Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%. Tabel 3.1 Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng KELAS SUDUT LERENG (%)0-3 3-5 5-10 10-15 15-20 20-30 30-40 >40

PERUNTUKKAN LAHANJalan Raya Area Parkir Taman Bermain Area Perdagangan Drainase Permukiman Trotoar Bidang Resapan Septik Tangga Umum Rekreasi

Gambar3.1KonfigurasiBangunanPadaTanahBerkonturPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-4

LONGSOR

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-5

LONGSOR

Kavling dan Bangunan Bangunan tidak berdiri di lahan miring. Seandainya berdiri di lahan miring, maka perlu dipertimbangkan dengan menggunakan material yang lebih ringan dalam rangka mengurangi pembebanan pada tanah yang dapat mengakibatkan longsor. Pengaturan proposi tutupan dan bukaan lahan (rata-rata 60 % 40 %) sebagai sarana untuk meresapkan air ke dalam tanah

Gambar 2.5 Pemanfaatan Sumur Resapan Untuk Membantu Penyerapan Air Apabila dimungkinkan, adanya sumur-sumur resapan dapat membantu peresapan air. Adapun pembuatan sumur resapan mengikuti standarstandar sebagai berikut: 1. Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 03-2453-2002) 2. Spesifikasi Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 062459-2002)

Untuk bangunan yang sudah berada di dataran banjir, maka perlu didirikan dengan konsep rumah panggung atau menggunakan lantai bawah sebagai ruang-ruang servis.

Gambar 3.2 Pemanfaatan Sumur Resapan Untuk Membantu Penyerapan AirPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-6

LONGSOR

Apabila dimungkinkan, adanya sumur-sumur resapan dapat membantu peresapan air. Namun hal ini perlu juga memperhatikan struktur tanah yang membentuknya. Adapun pembuatan sumur resapan mengikuti standar-standar sebagai berikut : 1. Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 03-2453-2002). 2. Spesifikasi Sumur Resapan Air Hujan Untuk Lahan Pekarangan (SNI 062459-2002). b. Sarana Sarana Yang Berupa Bangunan Sarana pemerintahan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan kebudayaan tanggap banjir hendaknya dibuat berdasarkan upaya-upaya pencegahan dampak longsor seperti yang dijelaskan di bawah ini. Upaya pencegahan : Sarana umum harus diletakkan di daerah yang aman terhadap bahaya longsor dari sebuah kawasan permukiman. Halaman diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area parkir yang dapat berfungsi juga sebagai area peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah banyaknya air permukaan sehingga dapat mengurangi debit air limpasan (run-off). Perlu diletakkan pada lokasi yang aman dan mudah diakses sehingga pada saat bagian lain terkena longsor, bangunan tetap aman dan dapat berfungsi sebagai tempat penampungan (evakuasi). Pos hansip perlu diletakkan di titik yang mudah terlihat dari lingkungan perumahan sehingga dapat menjadi titik pemberi peringatan kepada masyarakat dalam suatu lingkungan pada saat hujan turun dimana yang secara historis merupakan karakter hujan yang dapat menyebabkan longsor di area-area yang pernah mengalami kelongsoran. Sarana Non Bangunan Upaya penanganan ruang terbuka hijau, lapangan rumput, lapangan olah raga tanggap bencana longsor adalah sebagai berikut:PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-7

LONGSOR

Upaya pencegahan : Pada area dengan jenis tanah yang mudah meresapkan air, RTH dan lapangan rumput diusahakan memiliki luasan yang cukup sehingga dapat menjadi area peresapan air langsung atau menggunakan lubang biopori untuk mencegah banyaknya air permukaan.

Upaya persiapan : Terletak di elevasi yang rendah diantara lingkungan yang ada agar pada saat longsor area ini dapat menjadi area penerima longsornya lereng sehingga tidak menimpa perumahan dan fasilitas lain yang ada di bawahnya.

Gambar 3.3 Kolam Retensi Sebagai Upaya Persiapan Banjir c. Utilitas Drainase Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air buangan dapat mengalir lancar. Atur drainase lereng sehingga tingkat kejenuhan air dalam lereng setelah hujan turun dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan membuat parit yang berfungsi untuk menyalurkan air limpasan hujan ke arah menjauhi lereng yang rawan longsor. Membuat saluran drainase dalam lereng dengan cara menusukkan pipa-pipa bambu yang dilubangi kedua ujungnya. Pipa ini ditusukkan pada bagian bawah lereng kurang lebih 1 m di atas titik-titik rembesan air yang keluar dari lereng. Panjang pipa minimal 2 meter. UntukPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-8

LONGSOR

menghindari penyumbatan oleh butir-butir tanah yang ikut terbawa air, di dalam pila dapat diberi filter berselang-seling berupa ijuk dan pasir. Hal ini dilakukan untuk untuk menguras air yang sudah terlanjur terjebak di dalam lereng (Distamben Jabar).

Gambar 3.4 Drainase Pada Lereng Tanah Yang Berpotensi LongsorPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-9

LONGSOR

Jalan Jalan direncanakan dengan mengikuti pola kontur lereng.

Gambar 3.5 Potongan Jalan Air Bersih Jaringan air bersih harus terletak pada area yang aman dari bencana longsor. Jaringan ini dapat digabungkan areanya dengan area untuk jalan.

Persampahan Sistem persampahan yang baik dapat menghindarkan penumpukan tanah. Pola sanitary landfill dapat dikembangkan dengan pola yang sesuai dengan standar yang ada agar tingkat kestabilan tanah dapat diupayakan.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

III-10

LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA TSUNAMI

4

TSUNAMI

A. IDENTIFIKASI KERENTANAN TSUNAMI a. Untuk Kawasan Dengan Area Evakuasi Berikut adalah identifikasi kerentanan tsunami pada kawasan yang memiliki area evakuasi: Tinggi : 3, jika kawasan /lokasi bahaya tsunami tidak terdapat area/bangunan yang tinggi Sedang : 2, jika kawasan/area bahaya tsunami tersedia area/ bangunan cukup tinggi tetapi masih dalam jarak bahaya (kurang dari 500 m dari pantai) Rendah : 1, jika kawasan/area bahaya tsunami tersedia area/ bangunan yang tinggi dengan jarak lebih dari 500 m dari pantai

b. Untuk Kawasan Dengan Ketersediaan Jalan Berikut adalah identifikasi kerentanan tsunami pada kawasan yang memiliki ketersediaan jalan: Tinggi : 3, kurang jalan alternatif untuk penyelamatan (1-2 jalur alternatif) Sedang : 2, ada jalur penyelamatan ( > 2 jalur alternatif) Rendah : 1, ada jalur penyelamatan ( > 2 jalur alternatif) dan dapat dilalui oleh angkutan roda 4

B. FAKTOR RESIKO Pratiwi (2010) dalam Dampak Tsunami Semakin Intensif Pada Lingkungan menyatakan beberapa kawasan memiliki faktor resiko lebih besar akan terjadinya tsunami. Kawasan-kawasan tersebut mencakup: Pantainya terletak di bagian teluk yang setengah tertutup Pantainya tidak ditumbuhi pepohonan yang cukup lebat Pantainya tidak memiliki tanggul atau galengan penahan gelombang yang cukup tinggi Pantainya tidak diperkuat dengan sistem tanggul pantai Terletak ditepi atau dekat dengan muara sungaiPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-2

TSUNAMI

Terletak pada daerah dataran banjir Bangunan terletak di tepi atau sangat dekat dengan pantai Bangunan terbuat dari bahan bangunan berkualitas rendah

C. SKENARIO PENGURANGAN RESIKO BENCANA TSUNAMI Skenario pengurangan resiko bencana tsunami mencakup hal-hal sebagai berikut. a. Umum 1. Ploting lokasi/area resiko bencana tsunami 2. Ploting jumlah dan persebaran penduduk yang terancam Mengidentifikasi lokasi/tempat yang aman sebagai area evakuasi, bukit dan bangunan tinggi Mengidentifikasi kapasitas tampung area evakuasi, Mengidentifikasi jumlah penduduk pada area yang terkena dampak resiko bencana. Jaringan jalan terdekat menuju lokasi/tempat evakuasi yang aman/akses cepat, Mengidentifikasi jenis kendaraan yang melewati jalan menuju area evakuasi Mengidentifikasi alterenatif jalur menuju area evakuasi (lebar dan kondisi) Mengarahkan penyelamatan ke area evakuasi per kawasan (konsentrasi penduduk) dengan mempertimbangkan jarak dan jaringan jalan Membuat petunjuk arah / rambu penyelamatan menuju lokasi/ tempat pengungsian yang aman (area evakuasi bisa lebih dari satu tempat) Dibutuhkan langkah penyelamatan yang cepat sehingga butuh akses jalan yang lebar dengan kondisi baik untuk menuju area evakuasi Jalan sebagai jalur evakuasi dibuat tegak lurus dengan garis pantaiPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-3

TSUNAMI

b. Skala Kota Dan Kawasan 1. Pemanfaatan Ruang Untuk Bencana Tsunami Menurut REKOMPAK Departemen Pekerjaan Umum Tahun 2010, usaha mitigasi bencana tsunami melalui pemanfaatan ruang mencakup hal-hal sebagai berikut: Pengaturan untuk daerah pengembangan baru (kawasan jauh dari pantai, letak bangunan, sempadan bangunan) Pengaturan kepadatan penduduk/bangunan Pencegahan untuk fungsi tertentu Relokasi elemen untuk jalur evakuasi Pengaturan lahan konservasi/kawasan mangrove Penyediaan jalur evakuasi Penyediaan prasarana kritis

D. PERENCANAAN PERMUKIMAN TANGGAP BENCANA TSUNAMI a. Skala Lingkungan Pada skala lingkungan, pada dasarnya terdapat prinsip utama yang menjadi pertimbangan pada perencanaan lingkungan tanggap bencana yaitu: 1. Rencanakan evakuasi. 2. Hindari pembangunan baru di daerah terpaan tsunami untuk mengurangi korban pada masa mendatang. 3. Atur pembangunan baru di daerah terpaan tsunami untuk memperkecil kerugian pada masa mendatang. 4. Rancang dan bangun bangunan baru untuk mengurangi kerusakan. 5. Lindungi pembangunan yang ada dari kerugian melalui pembangunan kembali, perencanaan dan proyek pemanfaatan kembali lahan.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-4

TSUNAMI

6. Lakukan pencegahan khusus dalam menempatkan serta merancang infrastruktur dan fasilitas penting untuk mengurangi kerusakan. Tata Letak Bahaya tsunami secara efektif bisa ditanggulangi dengan melindungi penduduk melalui rencana tata ruang. Sedapat mungkin pembangunan tidak dilakukan di daerah beresiko terkena tsunami. 1. Bila pembangunan di daerah beresiko ini tidak dapat dihindari, intensitas pemanfaatan lahan, jumlah bangunan dan penggunaannya diusahakan sesedikit mungkin. 2. Bila hal ini juga tidak mungkin, para perencana dan perancang harus mengusahakan penanggulangan bahaya melalui teknik perencanaan lokasi dan teknik konstruksi bangunan. 3. Perencanaan tata guna lahan membantu masyarakat dalam menentukan lokasi, tipe, dan intensitas pembangunan, dan oleh sebab itu bisa memperkecil kemungkinan persentuhan komunitas setempat dengan bahaya tsunami. 4. Di daerah-daerah di mana tidak mungkin membatasi tata guna lahan hanya untuk ruang terbuka, peraturan-peraturan perencanaan tata guna lahan lainnya bisa dipakai. 5. Termasuk pengaturan ketat terhadap jenis pembangunan dan tata guna lahan yang diizinkan di daerah bahaya, dan menghindari pemanfaatan nilai lahan yang tinggi dan tingkat hunian yang tinggi.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-5

TSUNAMI

Gambar 4.1 Pola Perletakan Bangunan dari Garis Pantai dengan Ruang Terbuka Bervegetasi

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-6

TSUNAMI

Gambar4.2PolaPerletakanBangunanyangRelatifDekatdenganGaris PantaiPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-7

TSUNAMI

Gambar 4.3 Tipikal Potongan Bangunan di Sekitar Garis Pantai Variasi Ketinggian 1. Berdasarkan pengamatan lapangan pada lokasi desa Pananjung, di Pantai Selatan Jawa Barat, terdapat rumah penduduk yang masih relatif bertahan sementara rumah-rumah di sekelilingnya hancur tak bersisa. 2. Hal ini karena pada saat terjadi tsunami, lokasi rumah yang berada tepat di belakang bangunan hotel besar terlindungi dari gelombang besar yang datang dari laut. 3. Beberapa jenis model pembangunan baru sebagai strategi penanggulangan bencana dapat diterapkan pada pembangunan baru yang memiliki resiko tsunami. Konsepnya melindungi bangunan-bangunan kecil dengan hotel hotel besar dan bangunan-bangunan batas air lainnya. Misalnya resort terdapat variasi penginapan yang berukuran kecil dan bangunan hotel yang relatif besar. Ruang Terbuka dan Vegetasi 1. Terdapat empat strategi dasar perencanaan wilayah yang dapat dipakai dalam upaya mengurangi risiko tsunami, yaitu: Menghindari daerah terpaan Memperlambat arus airPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-8

TSUNAMI

Membelokkan kekuatan air Menghambat terpaan air

2. Strategi dasar ini dapat dipakai secara terpisah atau dikombinasikan dalam strategi yang lebih luas. Metodenya dapat dipakai secara pasif untuk membuat gelombang tsunami melewati wilayah tanpa menyebabkan kerusakan besar, atau dapat dipakai untuk memperkuat struktur dan diletakkan untuk menghadapi kekuatan tsunami. 3. Efektivitas masing-masing teknik tergantung pada intensitas dari kejadian tsunami. Teknik memperlambat termasuk membuat penahan akan mengurangi daya hancur gelombang. Hutan buatan yang dirancang khusus dan jalur hijau dapat memperlambat dan menahan arus dan puing yang dibawa ombak.

Gambar 4.4 Ilustrasi Escape Hill Sebagai Area Evakuasi Bencana Infrastruktur 1. Fasilitas Umum Beberapa sarana umum masyarakat sepatutnya mendapatkan perhatian khusus untuk memperkecil kerusakan. Prasarana seperti sistem transportasi baik untuk manusia maupun barang, dan sistem seperti komunikasi, gas alam, persediaan air, pembangkit listrik,dan sistem pengiriman/penyaluran sangat penting untuk kelangsungan suatu masyarakat setempat dan dibutuhkan untuk tetap berfungsiatau setidaknya dengan mudah dan cepat dapat diperbaiki-seusai terjadinya suatu bencana. Fasilitas dan sarana umum (gedung kantor pemerintah, SD, puskesmas) diupayakan untuk bisa dipakai sebagai tempatPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-9

TSUNAMI

evakuasi. Untuk itu penempatannya harus mempertimbangkan kemungkinan bencana gempa & tsunami. 2. Jalan Strategi utama untuk segera menyelamatkan jiwa sebelum gelombang tsunami datang adalah mengevakuasi penduduk dari wilayah bahaya. Dua metode yang umumnya diterapkan: Evakuasi horisontal, yaitu memindahkan penduduk ke lokasilokasi yang lebih jauh atau ke dataran yang lebih tinggi Evakuasi vertikal, yaitu memindahkan penduduk ke lantailantai lebih tinggi di dalam bangunan-bangunan.

Jalan lingkungan merupakan salah satu sarana bagi penduduk untuk dapat menyelamatkan diri mereka menuju lokasi yang lebih jauh dan lebih tinggi. Bentuk jalan lingkungan akan menentukan bagaimana tata letak perumahan yang akan tercipta, dan dapat sebaliknya. Perumahan yang ditata dengan baik dan sejajar garis pantai, relatif aman terhadap resiko kerusakan yang tinggi bila dibandingkan dengan perumahan yang tidak, karena akan menimbulkan arus turbulensi tsunami. Jalan lingkungan juga dapat menjadi elemen lingkungan yang bisa meningkatkan kewaspadaan warga saat terjadi bencana. Karakteristik jalan lingkungan mempengaruhi tingkat keefektifannya dalam mendukung peningkatan kewaspadaan tersebut. Jalan lingkungan yang berukuran lebar dan tegak lurus dengan pantai, menyebabkan warga dapat melihat datangnya gelombang tsunami yang masih jauh dari arah jalan lingkungan ini. Cukup banyak warga yang kemudian segera menyelamatkan diri menuju tempat yang lebih tinggi. Jalan lingkungan itu sendiri juga mengarah ke tempat yang lebih tinggi sehingga memudahkan upaya penyelamatan diri dari bencana.salah satu sarana bagi penduduk untuk dapat menyelamatkan diri mereka menuju lokasi yang lebih jauh dan lebih tinggi. Bentuk jalan lingkungan akan menentukan bagaimana tata letak perumahan yang akan tercipta, dan dapat sebaliknya. PerumahanPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-10

TSUNAMI

yang ditata dengan baik dan sejajar garis pantai, relatif aman terhadap resiko kerusakan yang tinggi bila dibandingkan dengan perumahan yang tidak, karena akan menimbulkan arus turbulensi tsunami. 3. Saluran Air Lingkungan perumahan dapat dilindungi dengan adanya saluran buatan atau saluran alam. Saluran-saluran pengendali ini diharapkan dapat mengalirkan aliran gelombang tsunami sehingga mengurangi kuantitas aliran air laut sampai ke area yang lebih dalam dan mengurangi pula kuantitas arus balik yang cenderung pula dapat lebih menghancurkan dikarenakan membawa serta puing-puing dari bangunan-bangunan yang dilewati sebelumnya.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-11

TSUNAMI

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-12

TSUNAMI

Gambar 4.5 Ilustrasi Penanganan Saluran Air pada Skala Lingkungan

Gambar 4.6 Beberapa Contoh Signage Penanda Jalur Evakuasi

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-13

TSUNAMI

b. Skala Bangunan 1. Langkah yang paling efektif adalah dengan menempatkan bangunanbangunan baru jauh dari wilayah yang potensial tersapu air. Bila tak mungkin menghindari pembangunan di wilayah terpaan, aspek rancangan dan konstruksi akan memainkan peran penting dalam kinerja struktur saat terjadi tsunami. 2. Untuk mendapatkan bangunan dengan kinerja ideal yang diharapkan perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut : Lokasi bangunan, Konfigurasinya (bentuk, ukuran, ketinggian, dan orientasinya) Intensitas dan frekuensi ancaman tsunami di daerah tersebut Standar-standar rancangan struktural dan non-struktural Pilihan bahan bangunan inti dan pendukung Bisa diandalkan atau tidaknya peralatan yang digunakan Kemampuan profesional dari arsitek atau perancang bangunan tersebut Kualitas konstruksinya Tingkat kepercayaan terhadap faktor-faktor tersebut.

Bahan Bangunan dan Karakter Fisik Bangunan 1. Bahan bangunan serta rancangan dan konstruksi bangunan-bangunan baru harus memperhatikan kekuatan-kekuatan yang berhubungan dengan tekanan air, daya apung, arus dan gelombang, dampak reruntuhan, pergeseran dan api. 2. Pada dasarnya bangunan-bangunan dari beton, batu, dan kerangka baja berat cukup kokoh menghadang tsunami, kecuali bila didahului dengan gempa bumi. Bangunan berrangka kayu, atau struktur rangka besi ringan di daerah yang rendah dekat garis pantai pasti akan hancur diterjang tsunami. 3. Tidak semua wilayah terpengaruh oleh gelombang tsunami dan arus yang membawa kerusakan yang dihancurkannya. Bangunanbangunan yang berada di area yang lebih tidak beresiko terendam air seharusnya dapat bertahan dengan tingkat kerusakan yang bisa diperbaiki bila dirancang dan dibangun dengan baik.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-14

TSUNAMI

4. Kekuatan arus dan pecahan gelombang, puing dan reruntuhan yang bergerak sangat cepat disapu air, serta arus yang mengikis bisa melampaui daya tahan sebagian besar bangunan kecuali bangunanbangunan tersebut dibangun dengan elemen-elemen rancangan dan material khusus. 5. Bangunan hendaknya ditempatkan, dirancang dan dikonstruksi pada ketinggian minimum dan harus cukup kokoh bila diterjang air deras tanpa terangkat dari pondasinya dan hanyut, walaupun masih mungkin rusak, runtuh, terbanjiri, rusak lantai/permukaannya atau dampak-dampak lain.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-15

LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA GEMPA

5

G E M PA

Berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006, gempa bumi adalah getaran partikel batuan atau goncangan pada kulit bumi yang disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat aktivitas tektonik (gempa bumi tektonik) dan rekahan akibat naiknya fluida (magma, gas, uap dan Iainnya) dari dalam bumi menuju ke permukaan, di sekitar gunung api, disebut gempa bumi gunung api/vulkanik. Getaran tersebut menyebabkan kerusakan dan runtuhnya struktur bangunan yang menimbulkan korban bagi penghuninya. Getaran gempa ini juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan dan kerusakan tanah Iainnya yang merusakkan permukiman disekitarnya. Getaran gempa bumi juga dapat menyebabkan bencana ikutan yang berupa kebakaran, kecelakaan industri dan transportasi dan juga banjir akibat runtuhnya bendungan dan tanggultanggul penahan lainnya. Sumber gempa bumi di Indonesia banyak dijumpai di lepas pantai/di bawah laut yang disebabkan oleh aktivitas subduksi dan sesar bawah laut. Beberapa gempa bumi dengan sumber di bawah laut, dengan magnitude besar dengan mekanisme sesar naik dapat menyebabkan tsunami. Dijumpai pula sumber gempa bumi di darat yang disebabkan oleh aktivitas sesar di darat A. SKALA KOTA DAN KAWASAN a. Struktur Kota Berorientasi kepada ruang-ruang terbuka di lingkungan. Semakin tinggi kepadatan penduduk atau bangunan, harus semakin besar pula ruang terbuka yang tersedia; dengan daya tampung sejumlah manusia yang ada di dalam bangunan tersebut. Pada rumah susun, diperlukan ruang-ruang terbuka yang lebih banyak daripada pada bangunan rumah tinggal pribadi.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-2

G E M PA

B. SKALA LINGKUNGAN a. LingkunganPerumahan,Perdagangan,Industridan/atauCampuran. Konfigurasi dan Tata Letak Bangunan Agar dapat berlangsung lebih lancar, proses evakuasi harus dilakukan melalui jalan yang relatif lurus dan memudahkan orientasi orang menuju area evakuasi.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-3

G E M PA

Jarak antarbangunan harus memungkinkan ruang yang cukup dan aman sebagai tempat berkumpul.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-4

G E M PA

Kombinasi ruang terbuka tertutup yang memungkinkan kemudahan evakuasi. Untuk kasus permukiman padat, di mana ruang terbuka (halaman rumah) yang ada sangat minim, jalan merupakan satu-satunya ruang evakuasi. Maka, dimensi jalan harus mencukupi untuk evakuasi.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-5

G E M PA

Kavling dan Bangunan Di daerah rawan gempa, layout di dalam bangunan juga harus jelas dan memudahkan proses evakuasi secara cepat.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-6

G E M PA

b. Sarana Sarana Yang Berupa Bangunan Masing-masing bangunan sarana umum harus dibuat mengikuti standar bangunan tahan gempa agar kemudian dapat digunakan sebagai area penampungan/evakuasi gempa :

Sarana Non Bangunan Bangunan sarana umum juga harus memiliki ruang terbuka di sekelilingnya dengan daya tampung yang memadai; sesuai dengan estimasi jumlah orang yang akan dievakuasi ke ruang terbuka tersebut. Sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan ruang terbuka lainnya diperlukan sebagai tempat evakuasi gempa

c. Utilitas Jaringan utilitas yang tanggap gempa diperlukan untuk mendukung proses evakuasi dan proses pemulihan pasca bencana. Drainase Drainase disusun dengan pola yang memungkinkan hierarki pelayanan air buangan dapat mengalir lancar.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-7

G E M PA

Untuk lingkungan dengan ruang terbuka yang cukup besar, drainase dapat dibuat dan difungsikan sebagai daerah resapan. Perlunya pemerliharaan drainase untuk menghindari saluran yang mampet dan terjadinya pendangkalan yang akan mengurangi kapasitas dan daya tampung saluran

Jalan Material jalan sebaiknya terbuat dari beton untuk mengurangi resiko keretakan yang dapat menghambat evakuasi dan penanganan pasca gempa. Jalan harus memiliki orientasi yang jelas dan relatif lurus menuju ruang terbuka yang lebih luas.

Air Bersih Sumber air bersih harus tetap ada pada masa pasca bencana. Untuk menghindari kerusakan (patahnya pipa distribusi, dsb.), maka pipa yang digunakan di daerah rawan gempa adalah pipa lentur yang memungkinkan adanya gerakan tanah.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

V-8

LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA KEBAKARAN

6

KEBAKARAN

Kebakaran yang terjadi dipengaruhi oleh faktor alam yang berupa cuaca yang kering serta faktor manusia yang berupa pembakaran baik sengaja maupun tidak sengaja. Kebakaran ini akan menimbulkan efek panas yang sangat tinggi sehingga akan meluas dengan cepat (Permendagri No.33 Tahun 2006). Kerusakan yang ditimbulkan berupa kerusakan lingkungan, jiwa dan harta benda. Dampak lebih lanjut adalah adanya asap yang ditimbulkan yang dapat mengakibatkan pengaruh pada kesehatan terutama pernafasan serta gangguan aktivitas sehari-hari seperti terganggunya jadwal penerbangan. Tebalnya asap juga dapat mengganggu cuaca Berdasarkan Dokumen Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman Berbasis Mitigasi Bencana, maka asumsi kriteria kebencanaan kebakaran adalah: a. tinggi b. sedang c. rendah : 3, jika mengancam penduduk > 50 jiwa/ha) : 2, jika mengancam penduduk 25-50 : 1, jika mengancam penduduk kurang 25

Akses dan pasokan air untuk pemadam kebakaran harus memenuhi persyaratan dalam bab ini. Dalam konteks lingkungan permukiman, sistem proteksi kebakaran yang digunakan adalah sistem proteksi aktif (SPA) antara lain dengan pemasangan hidran dan sistem proteksi pasif (SPP) antara lain pengaturan tata letak bangunan, tata letak jalan dan pengaturan ruang luar. A. SKALA KOTA DAN KAWASAN a. Struktur Kota Menempatkan fungsi-fungsi dengan kepadatan tinggi pada area dengan akses terbaik (hierarki jalan tertinggi) agar memudahkan mobil pemadam kebakaran untuk mengakses lokasi. b. Penggunaan Lahan Pengaturan penggunaan lahan dilakukan dengan mempertimbangkan kombinasi keterbukaan dan ketertutupan lahan agar perambatan api tidak mudah menjalar ke deretan bangunan. Disamping itu, kondisi ini diperlukan juga pada saat kebakaran dimana perlu adanya area untuk evakuasi. Menempatkan fungsi-fungsi yang berpotensi terbakar atau sebagai tempat penyimpanan bahan bakar dalam jumlah yang besar ataupunPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-2

KEBAKARAN

adanya kegiatan menggunakan api sebagai proses utama kegiatan jauh dari permukiman penduduk. B. SKALA LINGKUNGAN BANGUNAN GEDUNG a. LingkunganPerumahan,Perdagangan,Industridan/atauCampuran. Lingkungan tersebut di atas harus direncanakan sedemikian rupa sehingga tersedia sumber air berupa hidran halaman, sumur kebakaran atau reservoir air dan sebagainya yang memudahkan instansi pemadam kebakaran untuk menggunakannya, sehingga setiap rumah dan bangunan gedung dapat dijangkau oleh pancaran air unit pemadam kebakaran dari jalan di lingkungannya. Setiap lingkungan bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana komunikasi umum yang dapat dipakai setiap saat untuk memudahkan penyampaian informasi kebakaran. Dalam hal ini fungsi penyampaian informasi dalam konteks permukiman seperti masjid atau tempat ibadah lainnya, pos ronda (dengan kentongannya) dapat difungsikan sebagai tempat penyebaran informasi umum

Jalan Lingkungan Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia jalan lingkungan dengan perkerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran. Namun apabila karena keterbatasan lahan dan mengakibatkan jalan depan permukiman tidak bisa dilalui mobil pemadam kebakaran, maka hierarki jalan sebelumnya harus merupakan jalan yang bisa diakses mobil pemadam kebakaran.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-3

KEBAKARAN

Gambar 6.1 Aksesibilitaslingkunganpermukimanharusmempertimbangkanruang aksesuntukmobilpemadamkebakaran(MPK).ApabilaMPKtidak dapat menjangkau bangunan secara langsung maka minimal MPK bisa menjangkau jalan di depan gang Jarak Antar Bangunan dan Gedung Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, harus disediakan jalur akses mobil pemadam kebakaran dan ditentukan jarak minimum antar bangunan gedung dengan memperhatikan tabel di bawah ini

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-4

KEBAKARAN

Tabel 6.1 Jarak Antar BangunanTINGGI BANGUNAN GEDUNG (m) s.d 8 > 8 s.d 14 > 14 s.d 40 > 40 JARAK MINIMUM ANTAR BANGUNAN GEDUNG (m) 3 > 3 s.d 6 > 6 s.d 8 >8

NO 1 2 3 4

Sumber : Lampiran Permen PU No.26/PRT/M/2008

Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan untuk menentukan garis sempadan bangunan gedung. Garis sempadan bangunan gedung tetap mengikuti ketentuan rencana tata ruang wilayah yang berlaku di kabupaten/kota atau Provinsi DKI Jakarta. Disamping pemisahan jarak antar bangunan ini, tentunya bangunan permukiman yang ada harus menggunakan material yang lebih tahan terhadap api (bangunan permanen). Beberapa tipe yang mewakili karakter pembangunan permukiman di perkotaan adalah 1. Bangunan tunggal, yaitu bangunan hunian yang berdiri secara terpisah pada suatu kavling 2. Bangunan kopel, yaitu bangunan hunian yang berhimpit pada satu sisi sedangkan sisi lainnya terpisah dengan bangunan di sebelahnya. 3. Bangunan deret, yaitu bangunan yang pada kedua sisi sampingnya berhimpitan langsung dengan bangunan di sebelahnya. Berikut adalah ilustrasi tipe bangunan-bangunan tersebut dalam konteks pengurangan resiko kebakaran.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-5

KEBAKARAN

Gambar 6.2 Susunan bangunan tunggal dalam lingkungan perumahan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-6

KEBAKARAN

Gambar 6.3 Susunan bangunan kopel, menyatukan bangunan pada satu sisi

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-7

KEBAKARAN

Gambar 6.4 Susunan bangunan deret, menyatukan bangunan pada kedua sisinya, namun bidang sambungan diperkecil dan dipisahkan dengan dinding yang tahan apiPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-8

KEBAKARAN

Gambar 6.5 Susunan bangunan deret yang bersambungan pada sisi kanan dan kirinya dengan bidang sambungan maksimal

Gambar 6.6 Ruang Bebas Pandang Pada Tikungan Pada Proses Pemadaman oleh Mobil Pemadam KebakaranPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-9

KEBAKARAN

C. AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE LINGKUNGAN a. Akses Kendaraan Pemadam Kebakaran Akses kendaraan pemadam kebakaran harus disediakan dan dipelihara sesuai persyaratan teknis ini. Cetak biru akses jalan untuk kendaraan pemadam kebakaran sebaiknya disampaikan kepada Instansi pemadam kebakaran untuk dikaji dan diberi persetujuan sebelum dilakukan konstruksinya.

b. Akses Kendaraan Pemadam Kebakaran Sambungan Siamase Otoritas berwenang setempat (OBS) memiliki kewenangan untuk mengharuskan pemilik/ pengelola bangunan gedung menyediakan sambungan siamese yang dipasang di lokasi dimana akses ke atau di dalam bangunan gedung atau lingkungan bangunan gedung menjadi sulit karena alasan keamanan. Akses ke Bagian Pintu Masuk atau Pintu Lokasi Pembangunan Gedung OBS memiliki kewenangan untuk mengharuskan pemilik bangunan gedung menyediakan akses untuk pemadam kebakaran lewat bagian pintu masuk atau pintu lokasi pembangunan gedung dengan pemakaian peralatan atau sistem yang disetujui. Pemeliharaan Akses Pemilik atau penghuni bangunan gedung dengan adanya akses harus memberitahu OBS manakala akses tersebut diubah sedemikian rupa sehingga bisa menghambat akses pemadam kebakaran ke lokasi bangunan gedung. c. Jalan Akses Pemadam Kebakaran Akses yang Disyaratkan Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus disediakan pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung setelah selesai dibangun atau direlokasidalamPEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-10

KEBAKARAN

bangunan gedung atau lingkungan bangunan gedung menjadi sulit karena alasan keamanan. Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan untuk pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi jalan-jalan tersebut. Apabila tidak ada garasi untuk rumah tinggal untuk satu atau dua keluarga, atau garasi pribadi, tempat parkir, gudang/bangsal, bangunan gedung pertanian atau bangunan gedung gandeng atau bangunan gedung seluas (37 m2) 400 ft2 atau kurang, maka ketentuan sebagaimana tersebut dalam butir 2.3.2.1 dan butir 2.3.2.2 diizinkan untuk dimodifikasi oleh OBS. Apabila jalan akses pemadam kebakaran tidak dapat dibangun karena alasan lokasi, topografi, jalur air, ukuran-ukuran yang tidak dapat dinegosiasi, atau kondisi-kondisi semacam itu, maka pihak yang berwenang bisa mensyaratkan adanya fitur proteksi kebakaran tambahan.

Jalur Akses Lebih Dari Satu Jalur akses pemadam kebakaran lebih dari satu bisa disediakan apabila ditentukan oleh OBS dengan pertimbangan bahwa jalan akses tunggal kurang bisa diandalkan karena kemacetan lalu lintas, kondisi ketinggian, kondisi iklim, dan faktor-faktor lainnya yang bisa menghalangi akses tersebut.

Akses yang Disyaratkan OBS memiliki kewenangan untuk mensyaratkan pemasangan dan pemeliharaan gerbang atau penghalang-penghalang yang disetujui sepanjang jalan, jalan kecil atau jalan terusan lainnya, tidak termasuk jalan-jalan umum, gang untuk umum atau jalan besar. Apabila diperlukan, pintu gerbang dan penghalang-penghalang tersebut harus diberi pengaman secara rapih. Jalan-jalan, jalan kecil, dan jalan terusan yang telah ditutup dan dihalangi tidak boleh diterobos atau digunakan kecuali jika ada izin dari pemilik atau OBS.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-11

KEBAKARAN

Pengunci, gerbang, pintu-pintu, penghalang, kunci, penutup, tanda-tanda, label atau segel yang telah dipasang oleh unit pemadam kebakaran atau atas instruksinya atau dibawah kendalinya, tidak boleh dipindahkan, dibuka, dibongkar, dirusak atau diperlakukan tidak dengan baik.

Lapis Perkerasan (hard standing) dan Jalur Akses masuk (accessway) Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai hunian tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan, asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran. Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung rumah tinggal satu atau dua keluarga), perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung. Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut : 1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15 meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter. 2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses pemadam kebakaran diukur secara horizontal. 3. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack) seperti terlihat pada contoh gambar berikut.PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-12

KEBAKARAN

Sumber:LampiranPermenPUNo.26/PRT/M/2008

Sumber:LampiranPermenPUNo.26/PRT/M/2008PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-13

KEBAKARAN

4. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih dari 1 : 8,3. 5. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 harus diberi fasilitas belokan.

Sumber:LampiranPermenPUNo.26/PRT/M/2008 Gambar 6.7, 6.8, 6.9 Contoh Fasilitas belokan untuk mobil pemadam kebakaran 6. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5 m dan harus memenuhi persyaratan seperti terlihat pada gambar 2.3.4.2.(7). 7. Tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam minimum 4,5 m untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut. 8. Jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan (hard-standing) asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran (access openings).PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-14

KEBAKARAN

9. Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain bangunan gedung, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh menghambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran.

Sumber:LampiranPermenPUNo.26/PRT/M/2008 Gambar 6.10 Radius terluar untuk belokaan yang dapat dilalui Pada pembangunan bangunan gedung bukan hunian seperti pabrik dan gudang, harus disediakan jalur akses dan ruang lapis perkerasan yang berdekatan dengan bangunan gedung untuk peralatan pemadam kebakaran. Jalur akses tersebut harus mempunyai lebar minimal 6 m dan posisinya minimal 2 m dari bangunan gedung dan dibuat minimal pada 2 sisi bangunan gedung. Ketentuan jalur masuk harus diperhitungkan berdasarkan volume kubikasi bangunan gedung sebagai berikut :PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-15

KEBAKARAN

Tabel 6.2 Volume Bangunan Gedung Untuk Penentuan Jalur AksesNO 1 2 3 4 5 VOLUME BANGUNAN GEDUNG (m3) > 7.100 > 28.000 > 56.800 > 85.200 > 113.600 KETERANGAN minimal 1/6 keliling bangunan gedung minimal 1/4 keliling bangunan gedung minimal 1/2 keliling bangunan gedung minimal 3/4 keliling bangunan gedung harus sekeliling bangunan gedung

Sumber : Lampiran Permen PU No.26/PRT/M/2008

Penandaan Jalur Pada ke-4 sudut area lapis perkerasan untuk mobil pemadam harus diberi tanda. Penandaan sudut-sudut pada permukaan lapis perkerasan harus dari warna yang kontras dengan warna permukaan tanah atau lapisan penutup permukaan tanah. Area jalur masuk pada kedua sisinya harus ditandai dengan bahan yang kontras dan bersifat reflektif sehingga jalur masuk dan lapis perkerasan dapat terlihat pada malam hari.Penandaan tersebut diberi jarak antara tidak melebihi 3 m satu sama lain dan harus diberikan pada kedua sisi jalur. Tulisan JALUR PEMADAM KEBAKARAN JANGAN DIHALANGI harus dibuat dengan tinggi huruf tidak kurang dari 50 mm.

Hidran Halaman Rencana dan spesifikasi sistem hidran halaman harus disampaikan ke instansi pemadam kebakaran untuk dikaji dan diberi persetujuan sebelum dilakukan konstruksinya. Tiap bagian dari jalur untuk akses mobil pemadam di lahan bangunan gedung harus dalam jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota tidak tersedia, maka harus disediakan hidran halaman (lihat gambar di bawah ini).PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-16

KEBAKARAN

Sumber:LampiranPermenPUNo.26/PRT/M/2008PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-17

KEBAKARAN

Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam sedemikian hingga tiap bagian dari jalur tersebut berada dealam jarak radius 50 m dari hidran. Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 38 liter/detik pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimmal selama 30 menit.

Pasokan Air Suatu pasokan air yang disetujui dan mampu memasok aliran air yang diperlukan untuk roteksi kebakaran harus disediakan guna menjangkau seluruh lingkungan dimana fasilitas, bangunan gedung atau bagian bangunan gedung di konstruksi atau akan disahkan secara formal. Apabila tidak ada sistem distribusi air yang handal, maka diperbolehkan untuk memasang atau menyediakan reservoir, tangki bertekanan, tangki elevasi, atau berlangganan air dari pemadam kebakaran atau sistem lainnya yang disetujui. Jumlah dan jenis hidran halaman dan sambungannya ke sumber air lainnya yang disetujui harus mampu memasok air untuk pemadaman kebakaran dan harus disediakan di lokasi-lokasi yang disetujui. Hidran halaman dan sambungannya ke pasokan air lainnya yang disetujui harus dapat dijangkau oleh pemadam kebakaran. Sistem pasokan air individu, harus diuji dan dipelihara sesuai ketentuan baku atau standar yang berlaku. Apabila dipersyaratkan oleh OBS, hidran halaman yang rawan terkena kerusakan akibat kendaraan, harus dilindungi, kecuali apabila terletak dalam lokasi jalan umum.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-18

KEBAKARAN

Tabel 6.3 Volume Bangunan Gedung Untuk Penentuan Jalur AksesJUMLAH HIDRAN WAKTU YANG AKAN DIPAKAI PASOKAN AIR UNTUK HIDPASOKAN AIR UNTUK PEMADAM RAN YANG AKAN DIPAKAI SIMPANAN KEBAKARAN 1 Tidak kurang dari 38 liter/ detik pada 3,5 bar 45 menit

NO

JENIS BANGUNAN

1 2

Perumahan

Bukan Perumahan (didasarkan pada luas lantai dari lantai yang terbesar) Tidak kurang dari 38 liter/ detik pada 3,5 bar untuk hidran pertama dan 19 liter / detik pada 3,5 bar untuk hidran kedua untuk setiap hidran berikutnya , 1200 lt/menit ditambahkan pasokan air umum untuk hidran

< 1.000 m2

2

45 menit

setiap penambahan berikutnya dari 1.000 m2 luas lantai

Penambahan 1 Hidran

45 menit

Sumber : SNI 03-1735-2000

Di perumahan padat yang bersebelahan dengan sungai, sedapat mungkin memanfaatkan air sungai sebagai sumber air untuk pemadam kebakaran. Untuk itu, akses terhadap sungai harus ada (sungai sebagai orientasi muka / depan bangunan). Di samping lebih terjaga kebersihannya, model penataan ini secara estetika juga lebih menarik

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-19

KEBAKARAN

D. AKSES PETUGAS PEMADAM KEBAKARAN KE LINGKUNGAN Dalam suatu lingkungan permukiman, perlu adanya berbagai sarana penunjang kehidupan permukiman, seperti sarana pemerintahan (kantor lurah, camat), sarana pendidikan (gedung sekolah), sarana kesehatan (puskesmas, rumah sakit), sarana sosial budaya (balai RT, RW) dan sarana-sarana lainnya. Disamping perlu memperkuat diri dengan material yang tidak mudah terbakar, sarana ini perlu ditempatkan terpisah secara fisik dengan bangunan di sebelahnya. Pemisahan ini diperlukan agar dapat menghambat penjalaran api pada saat bangunan di sebelahnya terbakar. Dengan terselamatkannya sarana ini maka nantinya sarana ini dapat digunakan sebagai tempat evakuasi sementara bagi para korban kebakaran yang rumahnya sudah tidak dapat dipergunakan lagi.

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-20

KEBAKARAN

Gambar 6.11 Bangunan sarana pendidikan yang terpisah dengan bangunan di sebelah-sebelahnya dapat menghambat penjalaran api

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

VI-21

PENUTUP

7

TSUNAMI

Pedoman ini dibuat untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan usaha penanggulangan bencana yang mandiri supaya bisa bertindak secara cepat dan tepat pada waktu bencana terjadi. Dampak bencana bisa dikurangi karena kemampuan orang-orang yang siap bertindak tepat pada waktu yang diperlukan. Di samping itu, beberapa bencana juga bisa dicegah dengan melakukan tindakan yang tepat. Penggunaan pedoman ini bisa membantu masyarakat dalam merencanakan tindakan penanggulangan bencana secara keseluruhan. Dengan penerbitan pedoman ini, diharapkan bisa meningkatkan kesiapsiagaan dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi tantangan yang mungkin terjadi. Kami berharap seluruh masyarakat yang berkeinginan bisa melaksanakan program penanggulangan bencana di wilayahnya sendiri. Kami juga berharap keberhasilan penuh bagi seluruh masyarakat dalam menciptakan kehidupan yang aman dan berkelanjutan

PEDOMAN UMUM PENATAAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN AMAN BENCANA

IV-2