Upload
yudi-hendrani
View
224
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
peb
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Fitri nurmala
Umur :21 tahun
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : pegawai pabrik
Alamat : cilaku
Nama :Tn. syamsudin
Umur : 43 Tahun
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : cilaku
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sakit kepala sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku hamil 9 bulan dan sakit kepala sejak satu minggu sebelum masuk rumah
sakit serta bengkak pada kedua kaki, nyeri ulu hati, gerakan janin terasa/+. Mules-mules
sejak jam 11.30 wib.keluar lendir bercampur darah jam 06.30. Tidak ada mual, tidak ada
muntah, dan pandangan tidak kabur. Air ketuban belum pecah/- .
.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus, asma dan hipertensi
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus, asma dan hipertensi di keluarga.
Riwayat Perkawinan
Pernikahan pertama dengan suami saat ini
Riwayat Haid
Haid pertama 14 tahun, teratur, tidak sakit, lama 7 hari, siklus 28 hari.
Riwayat Persalinan
Riwayat Psikososial
Pola makan teratur, merokok dan alkohol disangkal
Riwayat Operasi
Pasien belum pernah di operasi sebelumnya.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat-obatan sebelumnya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 200/130 mmHg
Nadi : 88 x/m
Pernapasan : 22 x/m
Suhu : 36,30C
Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Reflex cahaya positif
Hidung : Septum deviasi tidak ada
Sekret tidak ada, darah tidak ada
Mulut : Bibir tidak pucat
Telinga : Sekret tidak ada, darah tidak ada
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada pembesaran tiroid
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, tidak terdapat bunyi napas tambahan wheezing dan ronki
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5
Perkusi : Batas jantung kanan pada linea parasternalis, batas jantung kiri pada
linea midclavicula ICS 5
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II murni regular, tidak terdapat bunyi gallop dan
murmur
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, sianosis tidak ada, edema tidak ada
Bawah : Akral hangat, sianosis tidak ada, edema pada kedua ekstremitas bawah
Status Obstetri
Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Membesar sesuai kehamilan
Terlihat striae dan linea nigra.
Palpasi :
Leopold I : TFU 31 cm, bokong
Leopold II : Punggung kiri
Leopold III : Kepala
Leopold IV : divergen
DJJ : 140 x/menit
Pemeriksaan Dalam
Vulva, Vagina tidak ada keluhan, Portio tebal lunak pembukaan 4-5 ket (+),H1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
E. RESUME
Pasien mengaku hamil 9 bulan dan sakit kepala sejak satu minggu sebelum masuk rumah
sakit serta bengkak pada kedua kaki, nyeri ulu hati, gerakan janin terasa/+. Mules-mules
sejak jam 11.30 wib.keluar lendir bercampur darah jam 06.30. Tidak ada mual, tidak ada
muntah, dan pandangan tidak kabur. Air ketuban belum pecah/- .
F. Pada pemeriksaan fisik kesadaran Composmentis, tekanan darah: 200/130 mmHg.
G. Status obstetri inspeksi : membesar sesuai kehamilan terlihat striae dan linea nigra.
H. Palpasi Status obstetri inspeksi : membesar sesuai kehamilan terlihat striae dan
linea nigra.
Palpasi :
Leopold I : Tinggi fundus uteri 31 cm, bokong
Leopold II : Punggung kiri
Leopold III : Kepala
Leopold IV : divergen
Pemeriksaan urinalisa protein positif 2
I. DIAGNOSIS
Diagnosa Ibu
G1P0A0 parturien aterm kala 1 fase aktif dengan PEB
Diagnosa Janin
Janin tunggal hidup persentasi kepala
J. PENATALAKSANAAN
Informed consent
Observasi keluhan utama, tanda-tanda vital dan DJJ
Terpasang infuse RL dan DC
Cek laboratorium analyzer, lengkap, protein urine
Pemberian MgSO4 :
Dosis awal
4 gr (20 cc MgSO4 20%) dilarutkan kedalam 100 cc RL, diberikan selama 15-20 menit
Dosis pemeliharaan
10 gr (50cc MgSO4 20%) dilarutkan kedalam 500 cc RL, diberikan dgn kec 1-2 gr/jm
(20-30/mnt)
Diberikan Nifedipin 10 mg , 3 kali sehari
Diberikan Methyl Dopa 3 x 500 mg
Rawat konservatif
LAPORAN PE RSALINAN
Tanggal persalinan : 15 SEPTEMBER 2015 pukul 00.35 WIB
Jenis persalinan : Spontan
Keadaan ibu pasca persalinan :
- Keadaan umum : Baik - Kesadaran : Composmentis
- TD : 140/100 mmHg - Nadi : 80 x/menit, reguler,cukup
- Perdarahan kala IV : ±200 cc
- Plasenta lahir spontan lengkap, Kontraksi (+).
LAPORAN P ERSALINAN
• Keadaan anak :
- JK : Perempuan
- BB : 3300 gr
- PB : 51 cm
- Lahir hidup
FOLLOW UP
Tanggal : 15 september i 2015
S : tidak ada keluhan
O : TD : 140/90 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : Afebris
Abdomen : datar,lembut
TFU : 2 jari
A: P1A0 post partus spontan
Tanggal : 16 september 2015
S : tidak ada keluhan
O : TD : 90/70 mmHg
N : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : Afebris
A : P1A0 post partum spontan H2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi Preeklampsia Berat
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ
akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi yang timbul setelah 20
minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah
tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya
dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin
24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008).
Preeklampsia termasuk dalam kelompok penyakit hipertensi dalam kehamilan, yakni
hipertensi yang ditemukan pada masa kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari
preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+.
Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang
dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan
dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang
relative singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
Preeklampsia berat dibagi menjadi:
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa :
Muntah-muntah
Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak
Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit
karena perubahan pada lambung
Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini
disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan – perubahan ini dapat
dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008).
2.2 Faktor Resiko Preeklampsia Berat
Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, termasuk
preeclampsia berat, yaitu:
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops
fetalis, bayi besar.
Umur yang ekstrim.
Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.
Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar, 2008)
Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang dari 19,8
kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2
Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa ibu hamil
yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden preeclampsia yang tinggi.
Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan secara
umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi kehamilan. Plasenta
previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al,
2007).
2.3 Etiologi Preeklampsia Berat
Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat menjelaskan
alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan kembar
atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam rahim.
Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya preeklampsia. Namun
demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang mengarah ke sindrom preeklampsia
ditandai dengan sejumlah kelainan yang mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan
vasospasme, transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003),
penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi dari
kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).
2.3.1 Invasi trofoblas abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling akibat invasi
endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis. Hal ini menimbulkan
degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan distensi (Gambar 2.1).
Pada preeclampsia, terjadi invasi trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi
sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh darah
desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh endovaskuler trofoblas.
Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras serta tidak memungkinkan untuk
mengalami distensi dan dilatasi. Ini menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis
mengalami vasokonstriksi relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa
keparahan defek invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan hipertensi
(Cunningham, et al, 2007).
Gambar 2.1
Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas extravili,
membentuk saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas extravillous menginvasi desidua
dan masuk ke dalam artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan pada endotel dan
dinding otot pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)
Gambar 2.2
Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeclampsia. Tampak
pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri
spiralis relative menjadi lebih konstriksi.
(Cunningham, et al, 2007)
De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil dari sisi
implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron. Mereka menemukan bahwa
perubahan preeklampsi pada tahap awal termasuk kerusakan endotel, insudasi plasma ke
dalam pembuluh darah, proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial. Mereka
menemukan adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian di
dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel inflamasi lainnya di
dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya, pembuluh darah yang terkena
atherosis akan berkembang menjadi aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola
spiralis yang gagal untuk melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat perfusi
plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi (Cunningham, et al,
2007)
Gambar 2.3
Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah kiri, menunjukkan
gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan diagram skematik dari pembuluh darah).
Kerusakan endotel menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh darah akibat akumulasi
protein plasma dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag ditunjukkan oleh anak
panah yang melengkung, sedangkan anak panah yang lurus menunjukkan kerusakan endotel.
2.3.2 Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut;
Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam
kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida
Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.
Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini
makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi”
yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leucocyte Antigen Protein G (HLA-
G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak
hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin
dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam
jaringan decidua ibu (Angsar, 2008).
Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.
Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas kedalam decidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan decidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan
terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga
memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal trimester kedua kehamilan,
perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai
proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada normotensive (Angsar, 2008)
2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel
Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia disebabkan oleh
gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan sehingga memicu proses inflamasi
intravaskuler sistemik (Gambar 2.4). Dalam teori ini dinyatakan bahwa preeclampsia
timbul akibat adanya leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem dalam sirkulasi ibu.
Singkatnya, sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL) dapat
memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres oksidatif ini ditandai
oleh spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang memicu terbentuknya peroksida lipid.
Proses ini selanjutnya menghasilkan radikal beracun yang merusak sel-sel endotel,
mengacaukan produksi nitrit oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat
lainnya adalah terbentuknya sel makrofag yang mengandung lipid (sel foam) di dalam
atherosis; aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler menyebabkan trombositopenia; dan
peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan terjadinya edema dan proteinuria
(Cunningham, 2007).
Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini menimbulkan
ketertarikan untuk memberikan antioksidan sebagai pencegahan preeclampsia. Antioksidan
merupakan kelompok senyawa yang berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat produksi
radikal bebas yang berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E atau tokoferol,
vitamin C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).
Gambar 2.4
Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)
2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi
Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk hati
halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba
melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam
lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah preeclampsia (Angsar, 2008).
Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buah-buahan dan
sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan penurunan tekanan darah.
Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang bahwa resiko preeklampsi menjadi dua kali
lipat pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive
Protein (CRP) yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini
selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas pada orang tidak hamil
pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik akibat
atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007).
2.3.5 Faktor genetik
Preeklampsia adalah gangguan multifaktorial poligenik. Dalam review
komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan insiden risiko
preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita ibu preeklampsia; 11 sampai
37 persen untuk saudara wanita preeklampsia dan 22-47 persen dalam studi kembar.
Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang mencakup hampir
1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan komponen genetik untuk hipertensi
kehamilan serta preeklampsia. Mereka juga melaporkan konkordansi 60 persen di
monozigotik pasangan kembar wanita.
Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil interaksi dari
ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi metabolik enzimatik dan
banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan demikian, manifestasi klinis pada wanita
diberikan dengan sindrom preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara genotipe yang sama
tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan (Cunningham, et al, 2007).
2.4 Patogenesis Preeklampsia Berat
2.4.1 Vasospasme
Konsep vasospasme diajukan oleh Volhard (1918) berdasarkan pengamatan langsung
tentang pembuluh darah kecil di kuku, mata, dan conjunctivae bulbar. Ia juga menduga dari
perubahan histologis terlihat dalam berbagai organ yang terkena.
Penyempitan pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi dan hipertensi
berikutnya. Pada saat yang sama, kerusakan sel endotel menyebabkan kebocoran yang
interstisial melalui darah konstituen, termasuk platelet dan fibrinogen, yang disimpan pada
subendothelial.
Wang dan kolega (2002) juga menunjukkan gangguan protein endothel junctional.
Suzuki dan rekannya (2003) menjelaskan perubahan resistensi ultrastruktural di wilayah
subendothelial arteri pada wanita preeklampsia. Dengan aliran darah yang berkurang
karena maldistribusi, iskemia jaringan sekitarnya akan menyebabkan nekrosis, perdarahan,
dan lain organ akhir gangguan karakteristik sindrom tersebut (Cunningham, et al, 2007).
2.4.2 Aktivasi sel endotel
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi bintang dalam pemahaman
kontemporer dari patogenesis preeklampsia. Dalam skema ini, faktor yang tidak diketahui -
kemungkinan berasal dalam plasenta - juga dikeluarkan ke sirkulasi ibu dan memprovokasi
aktivasi dan disfungsi vaskular endotelium. Sindrom klinis preeklampsia diperkirakan
merupakan hasil dari perubahan sel endotel yang luas.
Selain mikropartikel, Grundmann dan rekan (2008) telah melaporkan bahwa sirkulasi
sel endotel, secara signifikan meningkat empat kali lipat dalam darah perifer wanita
preeklampsia.
Endotelium utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respon
otot polos vaskular untuk agonis dengan melepaskan oksida nitrat. Sel endotel yang rusak
atau teraktivasi dapat memproduksi oksida nitrat dan mengeluarkan zat yang
mempromosikan koagulasi dan meningkatkan kepekaan terhadap vasopressors
(Cunningham, et al, 2007).
Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel
akan terjadi:
Gangguan metabolism prostaglandin (vasodilator kuat)
Agregasi sel trombosit untuk menutup endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi
trombosit ini memproduksi tromboksan (TXA2), suatu vasokonstriktor kuat. Dalam
keadaan normal, kadar prostasklin lebih tinggi daripada kadar tromboksan. Pada
preeclampsia, terjadi sebaliknya sehingga berakibat naiknya tekanan darah.
Peningkatan endotelin (vasopresor), penurunan oksida nitrit (vasodilator).
Peningkatan faktor koagulasi.
Bukti lebih lanjut dari aktivasi endotel termasuk perubahan karakteristik morfologi
endotel kapiler glomerulus, permeabilitas kapiler meningkat, dan meningkatnya
konsentrasi mediator yang berperan untuk menimbulkan aktivasi endotel. Penelitian
menunjukkan bahwa serum dari wanita dengan preeklampsia merangsang sel endotel yang
dikultur untuk memproduksi prostasiklin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan
serum wanita hamil normal (Cunningham, et al, 2007).
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Preeklampsia Berat
Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut:
Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg. Tekanan
darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani
tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan
kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula
Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).
Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
Edema paru-paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
Sindrom HELLP.
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada umur
kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
2.7.1 Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien
dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas
yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau
eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RL, berikan MgS04 4
gram iv (10 cc MgSO4 40% + 10 cc Aquades) pelan-pelan selama 5 menit, atau jika
akses IV sulit berikan injeksi MgSO4 40 % masing-masing 5 gram im pada glutea kiri
dan kanan bergantian
2. Dosis rumatan setelah initial dose di atas dengan cara 6 gram MgSO4 40% (15 cc
MgSO4 40%) dalam 500 cc RL melalui infus 28 tpm selama 6 jam (1 gram/jam).
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah diberikan.
5. Menyiapkan partus kit.
6. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.
2.7.2 Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan terhadap
penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian MgSO4 pada PEB
Loading dose Maintenance dose
MgSO4 40 % 4 g iv pelan-
pelan selama 5 menit
- MgSO4 40 % 6 g im dalam 500cc
RL habiskan dalam 6 jam 28 tpm.
- Jika kejang berulang setelah 15
menit, berikan 2 gram MgSO4
40% (5cc) selama lima menit.
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau
MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan
menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif.
a. Perawatan konservatif
1. Tujuan :
• Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi
syarat janin dapat hidup di luar rahim
• Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu
2. Indikasi :
Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia
3. Pemberian anti kejang :
Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose
tidak diberikan )
4. Antihipertensi
Diberikan sesuai protokol untuk PER.
5. Induksi Maturasi Paru
Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16
mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.
6. Cara perawatan :
• Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia
• Menimbang berat badan tiap hari
• Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya
• Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur
• Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum
dan faktor koagulasi
• Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER,
pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan.
Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.
7. Terminasi kehamilan
• Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm
• Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik
b. Perawatan aktif
1. Tujuan : Terminasi kehamilan
2. Indikasi :
(i). Indikasi Ibu :
• Kegagalan terapi medikamentosa :
- Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan
tekanan darah persisten
- Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan
tekanan darah yang progresif
• Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia
• Didapatkan gangguan fungsi hepar
• Didapatkan gangguan fungsi ginjal
• Terjadi solusio plasenta
• Timbul onset persalinan atau ketuban pecah
(ii). Indikasi Janin
• Usia kehamilan ≥ 37 minggu
• PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial
• NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8
• Terjadi oligohidramnion
(iii). Indikasi Laboratorium
• Timbulnya HELLP syndrome
3. Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.
4. Terminasi kehamilan :
Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of
delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut :
(i) Pasien belum inpartu
• Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8
bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg
intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II
sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan
gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar.
• Indikasi operasi sesar :
- Indikasi obstetrik untuk operasi sesar
- Induksi persalinan gagal
- Terjadi maternal distress
- Terjadi fetal compromised
- Usia kehamilan < 33 minggu
(ii) Pasien sudah inpartu
• Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf
• Kala II diperingan
• Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan
dilakukan dengan operasi sesar
• Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar
2.8 Komplikasi Preeklampsia Berat
2.8.1 Penyulit Ibu
a. SSP : Perdarahan Intrakranial
Thrombosis vena sentral
Hipertensi ensephalopati
Edema cerebri
Edema retina
Macular atau retinal detachment
Kebutaan cortex
b. Gastrointestinal-hepatik:
Subcapsular hematoma hepar
Ruptur kapsul hepar
Ascites
c. Ginjal : Gagal ginjal akut
Nekrosis Tubular Akuta
d. Hematologik:
DIC
Trombositopenia
e. Kardiopulmonal:
Edema paru
Arrest napas
Cardiac arrest
Iskemia miokardium
(Angsar, 2008)
2.8.2 Penyulit Janin
a. PJT
b. Solusio plasenta
c. IUFD
d. Kematian neonatal
e. Prematuritas
f. Cerebral palsy (Prasetyorini, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Prasetyawan.2005.Perbandingan kadar kalsium darah pada PreEklampsia berat dan
kehamilan normotensi.SMF OBGIN FK Univ. Diponegoro : Semarang
Rambulangi,John.2003.Penanganan dan pendahuluan prarujukan penderita preeklampsia
berat dan eklampsia. SMF OBGIN FK Univ. Hasanuddin : Makassar
Cunningham FG, et al. William Obstetrics 21th ed.London: McGraw-Hill,2001: 567-618.
Wiknjosastro, HanifaProf. dr. DSOG. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta : 1999.