Upload
melda-erivhani
View
27
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Difteri pada Anak
Melania Kristin 10 2009 128
Rio Ramadhona 10 2011 446
Melda Erivhani 10 2012 081
Julisman Daeli 10 2012 245
Vania Rafelia 10 2012 251
Febe Ardilla 10 2012 330
Andrew Danny 10 2012 460
Nurainaa Ayuni 10 2012 484
B7
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Pada skenario 10 PBL kali ini, dikatakan bahwa seorang anak laki-laki berusia 3
tahun dibawa ibunya ke IGD RS karena sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan didahului
batuk-pilek sejak 1 minggu yang lalu. Dua hari yang lalu anak mengalami demam disertai
nyeri menelan. Pasien juga tidak mau makan. Riwayat imunisasi pasien ternyata tidak
lengkap.
Difteri adalah penyakit infeksi yang menyerang jaringan respirasi lokal bagian atas
yang memproduksi toksin yang akan menyebabkan efek sistemik, bisa menjalar ke jantung
dan saraf perifer. Difteri sudah banyak hilang di negara-negara berkembang sesudah
imunisasi massal, tetapi masih endemik di banyak wilayah di dunia.
Pembahasan
Anamnesis Pasien
Anamnesis dilakukan dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepada pasien.
Setiap jawaban dari pasien akan membantu penegakkan diagnosis, pemeriksaan fisik dan
penunjang, serta terapi dan edukasi. Pertanyaan yang ditanyakan selama anamnesis harus
meliputi keluhan utama, keluhan penyerta, penyakit saat ini, riwayat kesehatan masa lalu,
riwayat keluarga, serta riwayat pribadi dan sosial.1 Pada pasien anak 3 tahun, pertanyaan bisa
disampaikan baik kepada anak itu sendiri maupun ibunya.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 1
Pertanyaan yang dapat ditanyakan pada pasien anak dengan difteri antara lain:1,2
Sejak kapan timbul gejala?
Adakah rasa sakit ketika menelan?
Adakah rasa sesak nafas?
Apakah timbul demam? Seberapa tinggi demamnya?
Apakah suara anak menjadi parau atau serak?
Apakah ada kerabat terdekat yang mengalami gejala yang sama?
Apakah pasien sedang sakit tertentu? (yang diperkirakan dapat menurunkan kekebalan
tubuh)
Apakah pasien pernah menelan benda-benda asing, baik disengaja maupun tidak
disengaja?
Bagaimana keadaan tempat tinggal? (ventilasi, lantai rumah, plafon, kepadatan)
Bagaimana riwayat imunisasi anak, terutama imunisasi DPT?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada anak dengan keluhan seperti yang
terdapat pada skenario 10 didahului dengan pemeriksaan TTV terlebih dahulu, yang
nencakup pengukuran tekanan darah, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, dan suhu tubuh.
Lalu, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik paru dan tonsil, yang terdiri atas:
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mendapatkan bentuk dan besar dada, dinding dada,
simetri dada, gerakan pernapasan dada, apakah ditemukan adanya kelainan lokal. Selain
dada, kita juga harus melakukan inspeksi pada leher dan daerah sekitar tonsil karena
pasien mengeluh nyeri ketika menelan dan leher tampak membesar.
Pada penderita difteri dapat ditemukan leher yang membesar akibat pembesaran
kelenjar getah bening servikal serta pembesaran tonsil. Tonsil yang membesar bisa
disebabkan akibat adanya radang. Besarnya tonsil dibagi menjadi beberapa tingkat
(grade):3 (Lihat Gambar 1)
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 2
Gambar 1. Derajat Pembesaran Tonsil3
Grade 0 – Tonsil seluruhnya ada di dalam fossa tonsilaris
Grade 1 – Tonsil menempati kurang dari 25% dimensi lateral orofaring yang diukur
antara pilar tonsil anterior
Grade 2 – Tonsil menempati kurang dari 50% dimensi lateral orofaring
Grade 3 - Tonsil menempati kurang dari 75% dimensi lateral orofaring
Grade 4 - Tonsil menempati lebih dari 75% dimensi lateral orofaring
b. Palpasi
Palpasi sangat penting untuk menegaskan penemuan-penemuan yang ditemukan saat
inspeksi. Palpasi dilakukan dengan meletakkan telapak tangan serta jari-jari pada seluruh
dinding dada dan punggung. Pada palpasi, dicari dan ditentukan simetri dan asimetri
toraks, bagian-bagian yang nyeri pada palpasi, lalu dilakukan pula pemeriksaan vokal
fremitus yang secara normal akan didapatkan adanya getaran yang sama pada kedua
telapak tangan yang diletakkan di kedua sisi dada dan kemudian kedua sisi punggung.
Fremitus suara akan meninggi bila ada konsolidasi, misal pada pneumonia. Fremitus akan
berkurang bila ada obstruksi jalur napas, atelektasis, pleuritis, efusi pleura, serta tumor
antara paru dan dada.
c. Perkusi
Pada anak, perkusi tidak boleh dilakukan terlalu keras karena dinding dada anak masih
tipis dan otot-otot masih kecil, sehingga suara perkusi lebih resonans dibandingkan suara
perkusi pada orang dewasa. Suara perkusi paru normal ialah sonor, suara perkusi yang
redup/pekak normal terdapat di daerah skapula, diafragma, hati dan jantung. Pada perkusi
dilakukan perkusi hati dan peranjakan hati, sedangkan perkusi batas paru-jantung sulit
dilakukan pada bayi dan anak kecil. Bunyi perkusi yang abnormal dapat berupa
hipersonor bila udara dalam paru atau pleura bertambah dan redup atau pekak bila
terdapat konsolidasi jaringan paru dan cairan dalam rongga pleura.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 3
d. Auskultasi
Auskultasi paru dilakukan untuk mendengarkan menilai suara napas dasar atau pokok dan
suara napas tambahan. Auskultasi dilakukan pada seluruh dada dan punggung, termasuk
daerah aksila. Sebaiknya stetoskop ditekan cukup kuat pada sela iga untuk
menghindarkan suara artefak (bunyi gesekan dengan kulit dan rambut). Perlu diingat
bahwa dikarenakan dinding dada anak dan bayi yang masih tipis maka bunyi suara napas
akan lebih kerasa daripada suara napas pada orang dewasa. Suara napas dasar berupa:
vesikuler, bronkial, bronkovesikuler, dan amforik. Suara napas tambahan yang dapat
didengar, antara lain ronki basah, ronki kering, krepitasi, bunyi gesekan pleura, dan
sukusio Hipocrates, bisa juga stridor. Pada anak dengan difteri dapat terdengar suara
stridor, yakni suara pernapasan dengan nada tinggi sebagai akibat adanya obstruksi di
tenggorokan atau laring.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis antara lain:4,5
1. Pemeriksaan Mikroskopik (untuk diagnosis cepat)
Pemeriksaan langsung spesimen dengan menggunakan pewarnaan biru metilen,
pewarnaan Gram, dan imunofluoresens. C. dyphteriae terlihat sebagai basil gram positif,
berkelompok, tidak bergerak, dan tidak berkapsul. Dengan pewarnaan Gram jarang
ditemukan koloni basil. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung kadang-kadang tidak
memberikan hasil yang pasti, karena hasil yang negatif belum bisa menyingkirkan
diagnosis.
2. Kultur bakteri (untuk diagnosis pasti)
Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya C. dyphteriae dengan melakukan
pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai. Kultur ini dapat membedakan 3 tipe koloni
yang menunjukkan isolate tiap tipe dari strain toksigenik. Pemeriksaan ini membutuhkan
waktu dan media yang selektif, yaitu media selektif Loffler, media Tellurite, dan Agar
Tindale. Pada agar darah telurit, koloni C. dyphteriae berwarna hitam karena adanya
reduksi garam natrium tellurium. Sedangkan pada media serum Loffler, koloni C.
dyphteriae berwarna putih.
3. Tes Virulensi
Tes virulensi dapat dilakukan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Secara in vivo,
tes dilakukan dengan menyuntikkan kuman difteri yang diasingkan dari penderita pada
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 4
binatang percobaan (marmut). Bila kuman difteri yang disuntikkan adalah toksigenik
maka marmut akan mati dalam 2-3 hari. Sedangkan tes secara in vitro (Tes Elek-
Ouchterlony) dilakukan dengan membasahi kertas saring steril (1x5 cm) dengan
antitoksin difteri kemudian diletakkan pada cawan petri, ke atasnya dituang agar. Kuman
yang akan diperiksa ditanam menyilang dengan kertas saring tadi. Inkubasi 2-3 hari, lihat
adanya garis presipitasi. Lihat gambar 2.
Gambar 2. Hasil Uji Elek-Ouchterlony untuk Deteksi Virulensi C. diphtheriae
4. Shick Test
Sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikkan intrakutan pada lengan tersangka,
pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi
dibaca pada hari ke 4 dan 5, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang
diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya
antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi
alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan
indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam, sedangkan yang positif karena
adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
Working Diagnosis
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 5
Diagnosis kerja atau working diagnosis saya untuk kasus kali ini ialah penyakit difteri pada
anak.
Differential Diagnosis
Diagnosis banding atau differential diagnosis saya ialah sebagai berikut:
Abses retrofaring
Abses retrofaring yang berasal dari faringitis dan disebabkan oleh pecahnya limfadenitis
purulen retrofaring jarang ditemukan pada anak usia di atas 10 tahun. Infeksi terletak
antara m.konstriktor faring dan fasia prevertebralis. Tanda yang mencolok pada abses
retrofaring ialah stridor dengan sikap leher anak yang hiperekstensi. Gejala lain berupa
hipersalivasi dan regurgitasi. Pada inspeksi seluruh dinding posterior faring menonjol ke
depan, mungkin tanpa reaksi radang pada mukosa, sedangkan pada pemeriksaan abses
menunjukkan fluktuasi dan korpus vertebra servikal tak dapat diraba. Jika penderita
adalah bayi, sebaiknya bayi diletakkan dalam posisi tengkurap dengan kepala lebih
rendah agar bila abses pecah pada waktu pemeriksaan, nanah keluar lewat mulut dan
tidak terjadi aspirasi. Abses cukup diinsisi dan tidak perlu dipasang penyalir.6
Abses peritonsiler
Abses peritonsiler yang biasanya disebabkan oleh stafilokokus atau streptokokus,
merupakan kelanjutan tonsillitis akut atau kronik melalui selulitis peritonsilar. Penderita
biasanya demam, mungkin sakit berat dan merasa sangat nyeri terutama saat menelan
dan membuka mulut disertai trismus. Pada inspeksi tampak arkus palatines anterior
terdorong ke luar dan uvula terdesak melewati garis tengah. Membedakan abses
peritonsiler dari selulitis peritonsiler mungkin sulit. Kira-kira 48 jam setelah mulainya
selulitis peritonsiler akan terbentuk abses peritonsiler. Abses ini perlu diinsisi, disalir
(drainage), dan diberi antibiotik. 6
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium dyphteriae. Istilah coryneform
digunakan untuk mendeskripsikan basil gram positif yang aerobik, tidak berspora, dan
bentuknya tidak teratur. Sel-selnya sering mengandung granula metakromatik yang
memberikan warna ungu kebiruan pada pewarnaan dengan biru metilen, atau warna hijau
kekuningan dengan pewarnaan Albert. (Lihat gambar 3) C. dyphteriae adalah bakteri aerob
dan anaerob fakultatif, paling baik tumbuh di media yang mengandung darah atau serum pada
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 6
suhu 35-37⁰C dengan atau tanpa penambahan karbondioksida. Pada agar yang mengandung
telurit, koloni C. dyphteriae berwarna hitam atau abu-abu setelah dibiak selama 24-48 jam.7
Gambar 3. Penampang Corynebacterium diphtheriae dengan Pewarnaan Albert8
Biotipe (eksotoksin) C. dyphteriae antara lain gravis, intermedius, atau mitis yang
struktur morfologi dan komposisi genomnya mirip satu sama lain.7 Biotipe gravis koloninya
besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu, dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit. Biotipe
intermedius koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit. Sedangkan biotipe mitis koloninya kecil, halus, berwarna
hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit. Jenis gravis dan intermedius
lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis adalah dapat
memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua
jenis basil ini dapat menghasilkan eksotoksin akan tetapi virulensinya berbeda.4
Sebagian besar C. dyphteriae apabila diinfeksi oleh bakteriofag akan memproduksi
eksotoksin berupa protein dengan berat molekul 62 kilodalton. Pada pemeriksaan
bakteriologik, basil difteri ini kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang
bentuknya mirip dengan basil difteri, dan hidup secara normal pada daerah nasofaring dan
kulit, misalnya basil Hoffman dan Corynebacterium xerosis.
Patogenesis
Corynebacterium dyphteriae adalah mikroorganisme yang tidak invasif, hanya
menyerang bagian superficial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat menimbulkan
reaksi peradangan lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan penyakit terjadi melalui
kontak langsung dengan pasien atau carrier difteri melalui batuk, bersin, atau berbicara; atau
melalui kontak tidak langsung melalui debu, baju, buku, maupun mainan yang
terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 7
udara panas, dingin, dan suasana kering, dan tahan hidup pada debu dan muntahan selama 6
bulan. 4
Corynebacterium dyphteriae masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian
bertumbuh dan berkembang pada mukosa saluran napas atas terutama daerah tonsil, faring,
laring, kadang-kadang di kulit, konjungtiva, atau genital. Untuk menyebabkan suatu penyakit,
C. Dyphteriae harus menginvasi, berkolonisasi, dan berproliferasi dalam jaringan lokal; serta
dilisogenisasi dengan faga spesifik β, yang menyebabkan kuman ini menghasilkan toksin. 5
Corynebacterium dyphteriae dapat berkoloni di tenggorokan orang-orang yang sudah
pernah diimunisasi difteri atau yang sudah kebal akibat paparan sebelumnya, tapi biasanya
tidak terdapat pseudomembran. Toksin difteri adalah suatu polipeptida tahan panas, tersusun
atas dua fragmen: A (aktif) dan B (binding – ikatan). Toksin tersebut terikat pada reseptor
spesifik di sel-sel yang rentan dan masuk dengan cara endositosis. Subunit A terbelah dan
terlepas sambil masuk dan melewati membran sel ke sitoplasma. Fragmen A mengkatalisasi
transfer ribosa adenosin difosfat (ADP) dari nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) ke
faktor elongasi eukariotik 2, yang menghambat fungsi sintesis protein selanjutnya.
Penghambatan atau inhibisi sistesis protein mungkin berpengaruh terhadap efek nekrotik
ataupun neurotoksik dari toksin difteri. Produksi toksin dari C. Dyphteriae yang
terlisogenisasi ditingkatkan ketika bakteri berkembangbiak pada kondisi sedikit besi (low
iron condition). Faktor lain yang berpengaruh antara lain osmolaritas, konsentrasi asam
amino, dan pH. Toksin difteri mungkin menyertai kolonisasi di tenggorokan atau kulit
dengan menghancurkan sel epitel atau neutrofil. Organisme-organisme tersebut tidak
menembus dalam ke dalam jaringan mukosa dan biasanya tidak terjadi bakteremia.
Eksotoksin dihasilkan lokal dan tersebar di pembuluh darah ke organ-organ yang jauh dengan
afinitas khusus terhadap otot jantung, sistem saraf perifer, dan kelenjar adrenal.4,5
Dalam saluran pernapasan atas, basil difteria menyebabkan adanya eksudat radang
dan nekrosis sel mukosa fausial. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin, kemudian
diinfiltrasi oleh sel leukosit. Keadaan ini akan mengakibatkan terbentuknya patchy exudate
yang pada permulaan masih bisa terkelupas.
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat,
menyebabkan daerah nekrosis meluas dan bertambah dalam, sehingga menimbulkan
terbentuknya fibrous exudate (membran palsu/pseudomembran) yang terdiri atas jaringan
nekrotik, fibrin, sel epitel, leukosit, dan eritrosit, berwarna abu sampai hitam. Membran ini
sukar terkelupas, sehingga jika dipaksa lepas akan menimbulkan perdarahan. Lihat gambar 4.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 8
Gambar 4. Pseudomembran pada Daerah Tonsil Penderita Difteri9
Pseudomembran ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan berat
dapat meluas sampai ke trakea dan kadang ke bronkus, kemudian diikuti edem soft tissue di
bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran pernapasan sehingga
memerlukan tindakan segera.
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening servikal
dan edema pada wajah. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema wajah
menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bull’s neck appearance. Lihat gambar 5.
Gambar 5. Gambaran Difteri Leher Lembu (“Bull’s Neck Appearance”)
C. dyphteriae strain non-toksigenik dapat menyebabkan faringitis dan abses kutan.
Penyakit sistemik seperti endokarditiis, arthritis septik, dan osteomielitis juga pernah
dilaporkan. Faktor virulensi strain non-toksigenik ini masih belum diketahui. Perubahan
strain non-toksigenik menjadi toksigenik bisa terjadi dalam populasi manusia melalui infeksi
faga.
Epidemiologi
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 9
Difteri terjadi di seluruh dunia dan pada setiap waktu sepanjang tahun, meskipun
paling sering di musim dingin. Reservoir infeksi utama adalah manusia; peran peralatan
seperti baju atau handuk dan hewan dapat diabaikan. Kedekatan dan lama kontak dengan
pasien difteri atau karier penyakit yang sehat merupakan penentu penting penyebaran infeksi.
Akibatnya, laju serangan penyakit di rumah tangga dan di pemukiman padat sangat tinggi.
Sumber C. dyphteriae di nasofaring adalah sumber utama infeksi baru, tetapi lesi kulit
juga dapat menjadi reservoir. Pada tempat dengan iklim bermusim, lesi kulit difteri berupa
ulkus superfisial yang tidak terlalu bermakna yang menyerupai impetigo. Orang yang
mempunyai lesi kulit umumnya tidak memperlihatkan manifestasi toksik, tetapi lesi ini secara
epidemiologi penting sebagai sumber penyakit saluran pernapasan yang baru.
Tanpa pengobatan, orang sehat pembawa infeksi di nasofaring dapat memiliki
kolonisasi selama berminggu-minggu; laju penurunan pembawaan ini kira-kira 5% sehari.
Insidensi difteri berbanding terbalik dengan persentase orang yang kebal di daerah itu. Difteri
tetap merupakan penyakit yang umum di negara-negara tanpa program imunisasi yang
efektif. Di Amerika Serikat, insiden difteri menurun secara dramatis sejak tahun 1950, dan
terutama selama tahun 1960-an saat dilaksanakannya usaha imunisasi yang agresif. Sejak
tahun 1980 dilaporkan kurang dari 5 pasien per tahun. Bersamaan dengan itu, difteri beralih
dari penyakit anak menjadi penyakit orang dewasa. Namun, kemungkinan wabah berlanjut
bila masyarakat tidak diimunisasi. Hal ini dilihat dari pecahnya wabah di San Antonio, Texas,
tahun 1970, yang mengenai 196 pasienm terutama anak kulit hitam dan Spanyol yang tidak
diimunisasi, dengan laju serangan penyakit sekitar 45 per 100.000, sedangkan pada populasi
kulit putih non-Spanyol dalam masyarakat yang sama hanya 4 per 100.000. Epidemik besar
terjadi di Rusia pada tahun 1993 merupakan peringatan adanya wabah potensiial saat angka
imunisasi menurun.5
Gejala Klinis
Masa tunas difteri singkat, umunya 2-5 hari, tapi kadang-kadang 1 minggu. Gejala
klinis tergantung pada tempat infeksi primer dalam hal tanda dan gejala lokal, tetapi
manifestasi toksiknya sama tanpa memandang tempat primer proliferasi organisme. Tonsil
adalah tempat infeksi yang paling umum. Keluhan-keluhan pertama yang muncul tidak
spesifik, seperti 1) Demam yang tidak tinggi, sekitar 38⁰C, 2) Kerongkongan sakit dan suara
parau, 3) Perasaan tidak enak, mual, muntah, dan lesu, 4) Sakit kepala, 5) Rinorea, berlendir
kadang-kadang bercampur darah.5
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 10
Difteri Tonsilofaringeal
Mulainya gejala biasanya perlahan, berbeda dengan sakit tenggorokan akibat
streptokokus. Terjadi sakit tenggorokan yang ringan dengan sedikit kemerahan dan
demam ringan. Tanda penyakit sistemik tidak ada pada stadium dini. Dalam 1 atau 2 hari,
tampak bintik eksudat putih kekuningan pucat dan menyatu membentuk pseudomembran
berkilat yang berbatas tegas. Orang dengan kekebalan antitoksik parsial mungkin tidak
berlanjut melewati stadium eksudatif.
Pada orang dengan kekebalan minimal, pseudomembran akan meluas ke palatum
mole dan faring posterior; pseudomembran tidak meluas ke anterior. Terjadi perdarahan
bila eksudat dipaksa diangkat. Kadang-kadang napas agak berbau mirip bawang putih.
Pada banyak pasien, nodus limfatikus leher sedikit membesar, tetapi tidak
ditemukan nodus khas infeksi streptokokus yang tunggal, besar, dan nyeri. Dengan
adanya pembentukan membran yang luas, dapat terjadi disfagia dan saliva menetes.
Setelah kira-kira 5 hari, pseudomembran berubah menjadi keabu-abuan akibat perdarahan
saat melepas dan terkelupas. Kadang-kadang (10% pasien), penyakit berbentuk hiperakut
dengan demam tinggi, keracunan sistemik proliferasi cepat pseudomembran, edema nyata
pada muka dan leher, serta gangguan serebri. Keadaan ini disebut difteri “leher lembu”
(“Bull’s neck appearance) dan prognosisnya buruk.
Difteri Laringotrakeobronkial
Pada kurang dari 5% pasien, terjadi difteri daerah laringotrakeal tanpa mengenai
daerah tonsilofaringeal, tetapi pada kira-kira 10% pasien terjadi perluasan sekunder ke
bawah dari faring. Terjadi serak dengan berbagai derajat, stridor (“croup” sejati), dan
terjadi kesulitan bernapas, bergantung pada ketebalan dan luas membran berkaitan
dengan diameter saluran napas. Anak kecil lebih berisiko terganggu karena saluran napas
mereka kecil. Jarang membran meluas ke bronkus, menimbulkan sumbatan saluran napas
yang hampir selalu bersifat fatal.
Difteri Nasal
Difteri nasal primer lebih umum ditemukan pada bayi dan anak kecil. Sekret
mukoid, banyak, dan berwarna keabu-abuan. Setelah beberapa hari, bila membran mulai
mengelupas, sering terdapat darah pada sekret. Ini adalah bentuk difteri yang paling
ringan dan jarang disertai dengan manifestasi toksik.
Membran mukosa lain dan kulit
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 11
Tempat infeksi primer yang jarang adalah di membran mukosa mata, vagina, atau
telinga. Terbentuk lesi ulkus dengan eksudat atau pseudomembran. Lesi ini sembuh
sendiri dan jarang disertai keracunan. Lesi kulit paling sering superfisial, berbentuk tidak
khas, dan tidak disertai pseudomembran. Kadang-kadang terjadi lesi berulkus atau
ektima. Bentuk ini terjadi pada orang yang sebelumnya mempunyai kekebalan antitoksik
atau lesi ini memicu kekebalan karena tidak disertai manifestasi toksik. Tiap-tiap lesi
sembuh, tetapi lesi baru dapat terjadi di tempat yang integritas kulitnya terganggu akibat
gigitan serangga atau trauma dalam waktu beberapa minggu.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Antitoksin difteri menetralkan toksin dalam sirkulasi, tetapi tidak mempunyai efek pada
toksin yang terikat pada jaringan. Antitoksin harus diberikan sesegera mungkin setelah
serangan penyakit. Oleh karena itu, biasanya keputusan pengobatan dibuat sebelum hasil
biakan diperoleh, dan didasarkan pada gambaran klinis yang cocok pada individu yang
dicurigai.4,5
Terapi Antitoksin
Antitoksin bakteri adalah serum yang diambil dari kuda, sehingga tes kepekaan
harus dilakukan dengan memberikan larutan 1:10 ke dalam kantung konjungtiva atau
melakukan tes intradermal dengan larutan antiserum 1:100. Bila pasien mengalami reaksi
akut, prosedur desensitisasi harus dilakukan.
Dosis antitoksin bersifat empirik dan didasarkan pada luasnya penyakit. Dosis
tidak berdasarkan berat badan, tetapi berdasarkan jumlah perkiraan toksin. Dosis yang
dianjurkan diberikan dalam Tabel 1. Antiserum diberikan secara intravena. Kegunaan
pemberian antitoksin diragukan pada pasien yang menderita difteri kulit, tetapi beberapa
ahli menganjurkannya karena manifestasi toksik kadang-kadang juga ditemukan.
Tabel 1. Petunjuk Terapi Antitoksin Difteri5
Keadaan Penyakit Dosis Antitoksin
Faringeal, laryngeal, atau nasal dengan durasi <48
jam
20.000-40.000 U
Nasofaringeal 40.000-60.000 U
Bull’s neck appearance atau segala penyakit
dengan durasi >48 jam
80.000-100.000 U
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 12
Lesi kulit Tidak diberi atau 20.000-40.000 U
Kontak pada orang rentan yang asimtomatis Tidak diberi atau 5000-10.000 U
Terapi Antimikroba
C. diphtheriae rentan terhadap beberapa antibiotik, termasuk penisilin dan eritromisin.
Terapi antibiotik mempunyai sedikit efek atau tidak sama sekali terhadap evolusi klinis
difteri. Antibiotik terutama diberikan untuk mencegah pasien menularkan penyakit.
Eritromisin (40 mg/kg/hari, maksimal 2 gram/hari, terbagi setiap 6 jam) diberikan secara
oral. Sebagi pengobatan alternatif diberikan prokain penisilin G setiap hari (25.000
sampai 50.000 U/kg dibagi dalam dua dosis) secara intramuskular. Pengobatan diberikan
selama 14 hari. Setelah pengobatan antibiotik selesai, faring dan nasofaring dikultur dua
kali, setidaknya berjarak 24 jam, untuk menentukan apakah kuman patogen telah dibasmi.
Tindakan penjagaan terhadap pernapasan terus dilakukan sampai ada kepastian biakan
bahwa patogen telah habis pada nasofaring. Beberapa pasien yang menderita difteri kulit
mempunyai kolonisasi saluran pernapasan yang asimtomatis dengan C. dyphteriae.
Biakan faring dan nasofaring juga perlu pada pasien ini. Bila ada keluhan pada nasofaring
yang menetap setelah tindakan terapi pertama, harus diberikan terapi eritromisin
ulangan.4,5
Pengobatan lain
Terapi kortikosteroid (untuk mengurangi miokarditis dan nefritis) telah menunjukkan
tidak efektif dan tidak direkomendasikan. Karnitin adalah kofaktor dalam pengangkutan
asam lemak ke bagian dalam mitokondria sel. Karena asam lemak berkumpul dalam
sitoplasma sel jantung manusia pada pasien miokarditis bakteri, karnitin mungkin
bermanfaat. Pada satu penelitian, sekelompok 10% DL-karnitin (100 mg/kg/hari dalam 2
dosis terbagi selama 4 hari) menurunkan insiden miokarditis dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Penelitian ini perlu dipastikan sebelum karnitin dianjurkan untuk
terapi rutin. 5
Terapi Nonmedikamentosa untuk Difteri
Pasien dirawat di ruangan isolasi untuk menghindari kontak dengan orang sehat.
Istirahat di tempat tidur, minimal 2-3 minggu. Makanan lunak atau cair, bergantung pada
keadaan penderita. Kebersihan jalan nafas dan pengisapan lender diindikasikan. Kontrol EKG
secara serial 2-3 kali seminggu selama 4-6 minggu untuk mendeteksi miokarditis secara dini.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 13
Bila terjadi miokarditis harus istirahat total di tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi
secara gradual baru boleh dilakukan bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG
menghilang.4,5
Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif bila
keadaan membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi, maka dianjurkan
pemberian makanan cair melalui selang lambung. Pasien difteri dalam keadaan berat,
dianjurkan dirawat di ruang rawat intensif. Bila terjadi obstruksi laring, secepat mungkin
dilakukan trakeostomi.
Komplikasi
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya diserap masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ-organ tubuh berupa
degenerasi, infiltrasi lemak, dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal, hati, kelenjar adrenal
dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung menimbulkan miokarditis, disosiasi AV,
sampai blok AV total, dan payah jantung.4,5
Kerusakan jaringan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa demielinasi saraf,
yang dapat menimbulkan paralisis, terutama pada palatum mole, otot mata, dan ekstremitas
inferior. Akibat lain dari C. dyphteriae adalah terjadinya trombositopenia dan proteinuria.
Kematian biasanya disebabkan oleh gagal jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran
pernafasan. Pada daerah tropis, C. dyphteriae dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit
(difteri kutan), yang dapat menimbulkan epidemi pada populasi yang menerima imunisasi
yang tidak sempurna serta pada pasien immunocompromise.
Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi
aktif pada masa anak-anak secara komplit. Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya
pemberian vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-
acellular-pertussis vaccine (DTaP) untuk anak-anak dan tetanus-diphtheria vaccine (Td)
untuk dewasa. DTaP adalah pilihan vaksin yang tepat untuk anak-anak dari usia 6 minggu
hingga 6 tahun. Jadwal rutinnya adalah 4 dosis pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan. Interval
dosis DTaP pertama, kedua, dan ketiga minimal 4 minggu. Dosis vaksin keempat mengikuti
dosis ketiga tidak lebih dari 6 bulan, dan sebaiknya tidak diberikan sebelum usia 12 bulan.10
Jika seorang anak memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis, vaksin DT anak
bisa digunakan untuk melengkapi serial vaksinasi. Jika anak berumur kurang dari 12 bulan
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 14
ketika pemberian dosis pertama (sebagai DTP, DTaP, atau DT), anak tersebut sebaiknya
menerima total seluruh 4 dosis primer DT. Jika anak berumur 12 bulan atau lebih ketika
pemberian dosis DT pertama, 3 dosis (dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis kedua)
cukup diberikan sebagai seri pertama vaksin DT.
Jika keempat dosis DT, DTP, atau DTaP diberikan sebelum usia 4 tahun, dosis kelima
(booster) direkomendasikan pada usia 4 hingga 6 tahun. Dosis booster ini tidak diperlukan
bila dosis keempat sudah diberikan pada atau setelah usia 4 tahun. Karena titer antitoksin bisa
memudar (berkurang), kebanyakan orang memiliki konsentrasi antitoksin di bawah
konsentrasi optimal 10 tahun setelah pemberian dosis vaksin terakhir. Tetanus toxoid
sebaiknya diberikan bersamaan dengan difteri toxoid sebagai Td setiap 10 tahun. Dosis
booster pertama boleh diberikan pada usia 11 atau 12 tahun. Jika vaksin diberikan sebagai
bagian dari manajemen luka (wound management), booster berikutnya tidak diindikasikan
dan sudah dilaporkan justru akan meningkatkan insiden reaksi lokal.10
Prognosis
Secara keseluruhan, angka kematian adalah sekitar 10%, tetapi prognosis bergantung
pada jenis penyakit, usia, dan keadaan umum pasien, serta jarak antara serangan penyakit
dengan terapi antitoksin. Lebih dari separuh pasien dengan difter leher lembu meninggal
meskipun diberikan perawatan intensif yang agresif. Prognosis buruk bila terjadi miokarditis
atau gagal ginjal pada perjalanan penyakit yang dini.4
Bila pasien ditangani dengan fasilitas perawatan intensif, kematian akibat sumbatan
saluran napas kecil kemungkinannya, kecuali bila pseudomembran meluas ke bronkus.
Sesudah sembuh dari penyakit akut, pasien masih mempunyai risiko mengalami kelumpuhan
atau miokarditis yang timbul lambat. Tidak ada gejala sisa yang menetap akibat difteri
kecuali bila terjadi kerusakan yang bersifat anoksik.
Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh karena adanya invasi kuman
Corynebacterium diphtheriae, yang ditandai oleh terbentuknya eksudat yang membentuk
membran pada tempat infeksi. Karena dapat melibatkan saluran pernapasan, gejala-gejala
klinisnya pun berhubungan dengan pernapasan. Sampai sekarang prevalensi penyakit ini
sudah banyak berkurang karena adanya penggalakkan program imunisasi, termasuk di
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 15
antaranya imunisasi difteri yang terintegrasi dengan dua imunisasi untuk penyakit lainnya,
yakni pertusis dan tetanus.
Daftar Pustaka
1. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC; 2008.p.3-4,64.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005.
h. 155.
3. Center for Disease Control and Prevention. Pink book “diphtheria”. USA: CDC; 2010;
h.82-3.
4. Acang N. Difteri. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2956-60.
5. Nelson JD. Esensi pediatri nelson. Jakarta: EGC; 2010. h.635-8.
6. Reksoprawiro S, dkk. Kelainan laring. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong. Buku ajar ilmu
bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2013. h. 451,5.
7. McLauchlin J, Riegel P. Coryneform bacteria, listeria, and erysipelothrix. Dalam:
Greenwood D, Slack R, Peuthere J, Barer M. Medical Microbiology. 17 th Ed.
Philadelphia: Elsevier; 2007. p. 194-5.
8. Todar K. Corynebacterium diphtheriae. Todar’s online textbook of bacteriology 2012.
Tersedia dari URL: http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html. Diakses pada 6 Juli
2014.
9. Santer DM, D’Alessandro MP. Diphtheriae. Virtual pediatric hospital 2012. Tersedia dari
URL:http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/PathImages/
DiptheriaPseudo.shtml . Diakses pada 6 Juli 2014.
10. Li AM, Wong E, Kew J, Hui S, Fok TF. Use of tonsil size in the evaluation of abstructive
sleep apnea. Arch Dis Child 2002;87:157.
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2014Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 16