164
NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN PANGGILAN RASULKARYA HAMSAD RANGKUTI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh: MARIA ULFA 1113013000032 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

  • Upload
    others

  • View
    55

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

“PANGGILAN RASUL” KARYA HAMSAD RANGKUTI DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh:

MARIA ULFA

1113013000032

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 3: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 4: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 5: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

i

ABSTRAK

Maria Ulfa, NIM.1113013000032. Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen

“Panggilan Rasul” Karya Hamsad Rangkuti dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu tidak ditemukan penelitian

terkait nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen, khususnya cerpen “Panggilan

Rasul”, rendahnya minat baca siswa terhadap karya sastra dan masih ditemukan

kesulitan siswa dalam menganalisis karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti serta implikasinya terhadap pembelajaran

sastra di SMA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai kemanusiaan

berdasarkan perspektif kebudayaan, sehingga teori yang digunakan adalah nilai

kemanusiaan berdasarkan aspek kebudayaan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

terdapat enam nilai kemanusiaan pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul”. Tiga cerpen yang dimaksud yaitu, “Panggilan Rasul”, “Karjan

dan Kambingnya”, dan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Nilai kemanusiaan yang

terdapat dalam tiga cerpen tersebut yaitu: 1) manusia dan penderitaan, 2) manusia dan

kegelisahan, 3) manusia dan pandangan hidup, 4) manusia dan harapan, 5) manusia

dan cinta kasih serta 6) manusia dan keadilan. Keenam nilai kemanusiaan tersebut

terefleksikan melalui permasalahan yang dihadapi oleh tokoh-tokoh yang ada dalam

cerpen. Permasalahan tersebut di antaranya adalah keserakahan, keyakinan, dan

ketidakadilan. Penelitian ini dapat dimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di

SMA, yaitu pada materi pokok menginterpretasi makna cerita pendek baik secara

lisan maupun tulisan.

Kata Kunci: Nilai, Kemanusiaan, Cerpen “Panggilan Rasul”, Cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji”, Cerpen “Karjan dan Kambingnya”, Hamsad Rangkuti.

Page 6: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

ii

ABSTRACT

Maria Ulfa, NIM.1113013000032 The Humanity Values in a Collection of Short

Stories “Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti and Its Implication for

Literature Learning in Senior High School.

This research is motivated by several factors such as, it has not been found the

research of the humanity values in a collection of short stories, especially short

stories of the “Panggilan Rasul”, the low interest of reading students to the literary

works and still found students' difficulties in analyzing the literary works. The

purpose of this research is to describe the humanity values that exist in a collection of

short stories “Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti and its implications for learning

literature in high school. This research is undertaken because there is no research

about the value of humanity in a collection of short stories, especially short stories

“Panggilan Rasul” by Hamsad Rangkuti. In addition, the students still have the

difficulties in analyzing a literary work. The theory of humanity values that used in

this research is based on cultural perspective, so the theory that used are humanity

values are based on cultural aspects . The method used in this research is qualitative

method. The results of this research indicate that there are six humanity values at

three short stories of collection short stories Panggilan Rasul”. The three of short

stories are “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang Guru Mengaji” and “Karjan dan

Kambingnya”. The humanity values that exist in the three short stories are 1) human

and suffering, 2) human and anxiety, 3) human and life view, 4) man and hope, 5)

man and love, also 6) man and justice. The six values are reflected through the

problems that faced by the character in the short stories. The problems that appeared

are greed, faithfulness, and injustice. The digging of the values are to carried out

character building of the student in the learning proccess and its help them to

evaluating and appreciating the literature. This research can be applied to the study of

literature in senior high school, that is on the subject matter to interpret the meaning

of short story both orally and in writing.

Keywords: Values, Humanity, Short Stories “Panggilan Rasul”, Short Stories

“Ayahku Seorang Guru Mengaji”, Short Stories “Karjan and Kambingnya”, Hamsad

Rangkuti.

Page 7: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang

senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nilai kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen

Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti dan Implikasinya terhadap Pembelajaran

Sastra di SMA”. Salawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi

Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar

sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini membutuhkan

bimbingan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat,

penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Toto Edidarmo, M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia yang memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, arahan, motivasi, dan saran selama penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

memberikan banyak ilmu pengetahuan selama penulis menyelesaikan studi di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Orang tua tercinta; Bapak Sanuri dan Ibu Ko’imah, yang tiada hentinya

mendoakan penulis dalam setiap sujudnya.

Page 8: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

iv

7. Orang tua tersayang; Bunda Syarifah Abbas dan Romo Edi Sulaksono, yang

senantiasa mencurahkan kasih sayang serta dukungan moril dan materil tanpa

lelah dan kesah.

8. Adik dan ponakan tersayang; Arizal, Faik Afdhal, Kurrota A’yunin, Bintan

Azalia N., Idelia Elsamara, Mikail Muhammad A., Adila Litakuna K., Rakai

M.A., kalian adalah energi positif bagi penulis.

9. Para sahabat; Wini Astriani (teman tersayang), Nurul Hidayati (teman

seperjuangan), Elva Rosyidah (teman penuh rasa sabar), Mar’atun Sholihah

(emak kedua), Desi Yuliyanti (terbawel dan terbaik), Buyung Firmansyah

(self reminder), Rahma Murdiaweni, Nadya Maris Najmi Sakhiyyah, S.Pd,

Windi Mulya Jayanti, Ajeng Restiyani, Sartika, dan Fanny Widyanty yang

senantiasa membantu, mendoakan, dan menghibur penulis.

10. Teman-teman angkatan 2013 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

yang telah mewarnai kehidupan penulis.

11. Teman-teman Eks-Strawberry Accessories Lucky, Nanda, dan Nana

Penulis berharap semoga seluruh doa dan pengorbanan yang telah

diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan.

Oleh karena itu, saran dan kritik serta masukan yang membangun sangat penulis

harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis,

pembaca, serta dunia pendidikan.

Jakarta, 11 Mei 2018

Maria Ulfa

Page 9: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ....................................................................................................... i

ABSTRACT ..................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................v

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1

B. Identifikasi Masalah ..............................................................................5

C. Batasan Masalah....................................................................................5

D. Rumusan Masalah .................................................................................5

E. Tujuan Penelitian ..................................................................................6

F. Manfaat Penelitian ................................................................................6

G. Metodologi Penelitian ...........................................................................7

BAB II KAJIAN TEORETIS .......................................................................10

A. Hakikat Cerpen....................................................................................10

1. Pengertian Cerpen .........................................................................10

Page 10: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

vi

2. Unsur Intrinsik Cerpen ..................................................................11

B. Nilai-nilai Kemanusiaan......................................................................18

1. Manusia dan Cinta Kasih ..............................................................19

2. Manusia dan Keindahan ................................................................20

3. Manusia dan Penderitaan ..............................................................20

4. Manusia dan Keadilan ...................................................................23

5. Manusia dan Pandangan Hidup .....................................................24

6. Manusia dan Tanggung Jawab ......................................................25

7. Manusia dan Kegelisahan .............................................................26

8. Manusia dan Harapan ....................................................................28

C. Pembelajaran Sastra di SMA ..............................................................29

D. Penelitian Relevan ...............................................................................32

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ..............................................35

A. Biografi ...............................................................................................35

B. Pemikiran Hamsad Rangkuti ..............................................................38

C. Sinopsis Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” ..................................42

1. “Panggilan Rasul” .........................................................................42

2. “Karjan dan Kambingnya” ............................................................43

3. “Ayahku Seorang Guru Mengaji” .................................................43

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................45

A. Unsur Intrinsik ....................................................................................45

1. Tema ..............................................................................................45

2. Tokoh dan Penokohan ...................................................................51

3. Alur ...............................................................................................66

4. Latar ..............................................................................................77

5. Sudut Pandang ...............................................................................88

6. Gaya Bahasa ..................................................................................90

Page 11: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

vii

B. Analisis Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen

“Panggilan Rasul” ...............................................................................92

1. Manusia dan Penderitaan ..............................................................93

2. Manusia dan Kegelisahan ...........................................................101

3. Manusia dan Pandangan Hidup ...................................................104

4. Manusia dan Harapan .................................................................112

5. Manusia dan Keadilan .................................................................118

6. Manusia dan Cinta Kasih ............................................................121

C. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di SMA..............................127

BAB V PENUTUP .......................................................................................130

A. SIMPULAN ......................................................................................130

B. SARAN .............................................................................................131

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................132

LAMPIRAN-LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

LEMBAR UJI REFERENSI

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI

SAMPUL KUMPULAN CERPEN “PANGGILAN RASUL”

TENTANG PENULIS

Page 12: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 2 Lembar Uji Referensi

Lampiran 3 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 4 Sampul Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul”

Lampiran 5 Tentang Penulis

Page 13: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang universal. Pemaknaan tentang manusia

seakan tidak pernah menemui titik mutlak. Manusia sebagai makhluk sosial,

hidup dan berelasi dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Selain

berhubungan dengan masyarakat, manusia juga merupakan bagian dari

masyarakat itu sendiri. Sebagai bagian dari masyarakat, manusia terikat pada

aturan-aturan dan nilai yang berlaku dan disetujui secara bersama.

Satu dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam karya sastra di

antaranya adalah nilai kemanusiaan. Nilai tersebut menjadi tolok ukur

manusia dalam menjalani kehidupan. Nilai kemanusiaan berkaitan dengan

harkat manusia, yakni tata cara memanusiakan manusia. Nilai ini meliputi

nilai manusia dan cinta kasih, manusia dan keindahan, manusia dan

penderitaan, manusia dan keadilan, manusia dan tanggung jawab, manusia

dan kegelisahan hidup, manusia dan pandangan hidup, serta manusia dan

harapan.1

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nyatanya tidak diimbangi

dengan kemajuan intelektualitas dan kualitas manusianya, sehingga masalah-

masalah yang menyangkut kemanusiaan kerap terjadi di era globalisasi saat

ini. Beberapa contoh masalah kemanusiaan saat ini adalah permusuhan

antarumat beragama, korupsi yang merajalela, kemiskinan dan pengangguran

di mana-mana, dan masih banyak lagi.2 Hal itu terjadi karena manusia sudah

tidak lagi memaknai pentingnya nilai-nilai kemanusian dalam diri masing-

1 Hermanto dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara,2010), h.22.

2Mikhael Giwati, Bunuh Diri, Kemiskinan, dan Korupsi di Indonesia,

https://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/14170551/bunuh-diri-kemiskinan-dan-korupsi-di

indonesia, diunduh pada tanggal 13 April 2018, pukul.10.40 WIB.

Page 14: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

2

masing individu. Oleh sebab itu, dalam dunia pendidikan saat ini perlu adanya

penerapan dan penanaman nilai-nilai tersebut.

Pentingnya nilai kemanusiaan untuk diterapkan di sekolah di

antaranya sebagai pembentukan karakter peserta didik. Ada enam pilar

karakter dasar yang perlu dimiliki manusia, khususunya peserta didik yaitu,

penghormatan (respect), tanggung jawab (responsibility), kesadaran

berwarga-negara (citizenship-civic duty), keadilan dan kejujuran (fairness),

kepedulian dan kemauan berbagi (carring), serta kepercayaan

(trustworthiness).3 Keenam karakter itulah yang dibentuk melalui penanaman

nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusiaan berhubungan erat dengan karya sastra. Hal itu

didasarkan pada makna atau pesan yang dibawa oleh karya sastra. Walaupun

demikian, karya sastra dalam makna yang lebih luas, tidak hanya memuat

nilai-nilai kemanusiaan akan tetapi mencakup keseluruhan pemikiran dan

keresahan pengarang terhadap suatu permasalahan.

Salah satu bentuk karya sastra yang banyak digunakan pengarang

dalam menyampaikan pemikirannya adalah cerpen. Cerpen merupakan cerita

yang berbentuk singkat dan padat. Walaupun memiliki bentuk yang singkat

dan padat, cerpen tidak kehilangan esensi dan maknanya dalam

menyampaikan gagasan dan pemikiran pengarang. Cerpen-cerpen yang

berkembang di Indonesia banyak mengangkat masalah sosial dan

kemanusiaan, salah satunya adalah cerpen yang dimuat dalam kumpulan

cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.

“Panggilan Rasul” adalah satu dari beberapa kumpulan cerpen yang ditulis

oleh Hamsad Rangkuti. Sebagai sebuah karya sastra, kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” belum pernah diteliti, khususnya terkait dengan nilai-nilai

kemanusiaan. Kumpulan cerpen tersebut terdiri dari empat belas cerpen yang

3 Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruz

Media, 2011), h.211-212.

Page 15: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

3

mengangkat permasalahan manusia yang terdapat dalam kehidupan sehari-

hari. Akan tetapi, berdasarkan pembacaan secara intensif yang dilakukan

peneliti, terdapat keterkaitan nilai kemanusiaan yang tercermin melalui tiga

cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”. Keterkaitan yang

dimaksud adalah adanya empat nilai kemanusiaan yang sama dan dominan

pada tiga cerpen tersebut yaitu manusia dan penderitaan, manusia dan

pandangan hidup, manusia dan harapan, serta manusia dan cinta kasih.

sedangkan dalam sebelas cerpen lainnya lebih merefleksikan nilai-nilai

kemanusiaan yang tidak memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Selain itu,

nilai kemanusiaan yang terdapat dalam tiga cerpen tersebut masih relevan jika

dikaitkan dengan permasalahan yang dihadapi manusia saat ini. Adapun tiga

cerpen yang dimaksud yaitu cerpen “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang

Guru Mengaji”, dan “Karjan dan Kambingnya”.

Selain adanya keterkaitan nilai kemanusiaan dari ketiga cerpen yang

dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”, teknik penceritaan yang

sederhana dan mudah dipahami juga merupakan salah satu faktor yang

melatarbelakangi pemilihan kumpulan cerpen tersebut menjadi objek

penelitian. Kesederhanaan yang dimaksud yakni pemilihan kata yang

sederhana dan tidak banyak menggunakan kata-kata konotasi membuat cerpen

tersebut mudah dipahami oleh siswa tingkat menengah atas maupun tingkat

menengah pertama. Kesederhanaan kata dan bahasa yang digunakan dalam

kumpulan cerpen tersebut diharapkan dapat memperbaiki minat baca siswa

terhadap karya sastra. Minimnya minat baca siswa juga banyak dipengaruhi

oleh perkembangan teknologi seperti maraknya siaran televisi yang menarik,

sosial media, serta alat komunikasi dengan berbagai fitur terbaik dan

mutakhir.4 Hal itu membuat siswa lebih memilih berkutat dengan teknologi

4 Shahruddin El-Fikri, Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat,

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/05/26/noyj6v-menumbuhkan-minat-

baca-masyarakat, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.

Page 16: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

4

dibanding membaca buku, khususnya buku sastra. Siswa juga lebih memilih

teenlit dan cheeklit dengan bahasa yang mudah dipahami dan tema ringan

yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dibanding cerpen dengan muatan

makna yang berbobot.5 Hal itu pula yang membuat siswa tidak memahami

bahkan tidak mengenal istilah karya sastra dan unsur intrinsik yang

membangun sebuah karya.

Pembelajaran menginterpretasi makna teks cerita pendek baik secara lisan

maupun tulisan terdapat di kelas XI SMA, yaitu pada kompetensi dasar 4.1

tentang “Menginterpretasi Makna Teks Cerita Pendek secara Lisan dan

Tertulis”. Hal itu sesuai dengan silabus SMA kurikulum 2013. Peserta didik

dituntut untuk mampu menganalisis isi dan kebahasaan cerita pendek serta

menemukan makna yang terdapat dalam cerita pendek. Pembahasan mengenai

nilai kemanusiaan dalam cerita pendek memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga

siswa mendapatkan pengalaman belajar yang utuh. Oleh sebab itu, pemilihan

cerpen dan strategi pembelajaran yang baik dapat menunjang keberhasilan

proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti

merasa tertarik untuk membuat penelitian terkait kumpulan cerpen “Panggilan

Rasul” karya Hamsad Rangkuti. Adapun judul penelitian peneliti yaitu “Nilai

Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” Karya

Hamsad Rangkuti dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di

SMA”.

5 Untung Wahyudi, Eksistensi Sastra dan Minat Baca Tulis di Kalangan Remaja,

http://riaupos.co/559-spesial-eksistensi-sastra-dan-minat-baca-tulis-di-kalangan-remaja.html, diunduh

pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.

Page 17: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

5

B. Identifikasi Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang

terdapat dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat

diidentifikasikan adalah sebagai berikut.

1. Sebagai kumpulan cerpen, dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”

belum banyak diteliti.

2. Kurangnya pembahasan mengenai nilai-nilai kemanusiaan dalam

kumpulan cerpen, khususnya kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya

Hamsad Rangkuti.

3. Kurangnya minat siswa dalam membaca karya sastra terutama

pembelajaran tentang cerpen, karena pemilihan cerpen yang kurang tepat.

4. Kurangnya pemahaman siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik

karya sastra, khususnya cerpen.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah

dengan memfokuskan penelitian pada “Nilai-nilai Kemanusiaan dalam

Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti dan

Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”.

Penelitian ini juga diperlukan untuk mengetahui struktur dari cerpen serta

implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti?

2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad

Rangkuti dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?

Page 18: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

6

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti.

2. Mendeskripsikan implikasi kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya

Hamsad Rangkuti dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di

SMA.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah ilmu

pengetahuan, terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia. Khususnya

bagi pembaca dan penikmat sastra.

b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan kepustakaan untuk

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis:

a. Peneliti

Menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti terhadap unsur

intrinsik cerpen serta nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Panggilan Rasul karya Hamsad Rangkuti.

b. Guru

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang nilai-

nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai lain yang terkandung di

dalamnya.

c. Siswa

Dapat meningkatkan minat dan motivasi dalam belajar bahasa dan

sastra Indonesia serta memahami makna dan nilai-nilai yang terdapat

dalam karya sastra, yang dapat dihubungkan dengan kehidupan nyata.

d. Peneliti Lain

Page 19: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

7

Dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang sejenis secara

lebih mendalam.

G. Metodologi Penelitian

1. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah “Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan

Cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti. Cerpen-cerpen yang

terdapat dalam kumpulan cerpen ini pernah diterbitkan dalam harian

Kompas dan Horison pada tahun 1981-2003, dan diterbitkan kembali

dalam bentuk kumpulan cerpen oleh Diva Press pada bulan Juni 2017.

Objek dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”

karya Hamsad Rangkuti. Tiga cerpen yang menjadi pilihan peneliti di

antaranya adalah “Panggilan Rasul”, “Karjan dan Kambingnya”, dan

“Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Setelah membaca kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” secara intensif peneliti menemukan keterkaitan nilai

kemanusiaan yang terdapat dalam ketiga cerpen tersebut, dan nilai-nilai

tersebut masih relevan jika dikaitkan dengan permasalahan yang

berkembang saat ini, sedangkan sebelas cerpen lainnya memiliki nilai

kemanusiaan yang berbeda dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.

Oleh karena itu, peneliti memilih tiga cerpen sebagai objek penelitian.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

deskripsi kualitatif. Metode ini merupakan varian dari metode kualitatif.

Laporan berdasarkan metode kualitatif mencakup masalah deskripsi

murni tentang program dan/atau pengalaman orang di lingkungan

penelitian. Tujuan deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca

mengetahui apa yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti

apa pandangan para partisipan yang berada di latar penelitian, dan seperti

Page 20: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

8

apa peristiwa atau aktivitas yang terjadi di latar penelitian. 6 Oleh karena

itu, untuk mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di dalam objek

penelitian, maka peneliti akan menguraikan peristiwa berdasarkan unsur-

unsur yang membangun cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul”. Dengan menganalisis tiga cerpen yang menjadi fokus

penelitian. Peneliti berusaha mendeskripsikan hasil penelitian melalui

kata-kata sesuai dengan aspek yang diteliti, yaitu mengenai nilai-nilai

kemanusiaan.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti, cetakan pertama, tahun

2017, terbitan Diva Press.

Sementara itu, data sekunder adalah data pelengkap dalam

penelitian berupa bahan bacaan kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel,

karya ilmiah yang terkait dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi

pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka adalah teknik

pengumpulan data melalui literatur kepustakaan seperti buku, artikel,

jurnal, dan tulisan ilmiah yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan

teknik simak dan catat merupakan instrumen pokok yang dilakukan

terhadap sumber data. Penyimakan dan pencatatan secara cermat dan

terarah terhadap sumber data primer, yaitu adalah kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti, dilakukan untuk memperoleh

data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan

sebagai sumber data primer dalam penyusunan hasil penelitian.

6 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. (Jakarta: PT Raja

Grafindo), 2012, h. 174.

Page 21: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

9

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan untuk menganalisis masalah

yang ada dalam novel adalah sebagai berikut.

a. Peneliti membaca objek penelitian secara intensif, yakni

dengan membaca secara berulang-ulang.

b. Melakukan analisis struktur cerpen yang meliputi, tema,

penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan gaya bahasa.

Sehingga pembaca maupun peneliti memperoleh gambaran

yang utuh dari kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya

Hamsad Rangkuti.

c. Analisis selanjutnya adalah dengan mengelompokkan bagian-

bagian dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya

Hamsad Rangkuti yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kemudian menambahkan informasi-informasi lain yang

mendukung analisis tersebut.

d. Mengimplikasikan kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya

Hamsad Rangkuti terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di SMA dengan cara menerapkannya dalam

pembelajaran sastra di sekolah.

Page 22: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

10

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Cerpen

1. Pengertian Cerpen

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita pendek. Akan tetapi, ukuran

panjang pendek itu memang tidak ada turannya. Tidak ada satu kesepakatan

antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe dalam Burhan

menjelaskan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam

sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam — suatu hal

yang tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.1 Sementara itu, dalam

kamus istilah sastra cerpen diartikan sebagai kisahan yang memberi kesan

tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi

dramatik.2

Lebih lanjut HB Jassin dalam Waluyo mengatakan bahwa dalam cerita

pendek, pengarang mengambil sarinya saja. Oleh karena itu, ceritanya

(pendek) saja. Kejadian-kejadian perlu dibatasi pada kejadian yang benar-

benar dianggap penting untuk membentuk kesatuan cerita. Di samping itu,

cerita harus memiliki kepaduan atau kebulatan yang tinggi. Senada dengan

pendapat tersebut Hudson dalam Walujo mengatakan bahwa:

“ A Short story must contain one and only one informing idea and that this

idea must be worked out to this logical conclusion with absolute singleness

of aim and directness of method”.3

1 Burhan Nurgiantoro,Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press,

2012), h.10. 2 Abdul Rozak Zaidan dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.50.

3 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press,

1994), h.35.

Page 23: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

11

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa cerita pendek harus berisi satu

gagasan dan kesimpulan logis yang membentuk satu kesatuan. Sejalan dengan

Hudson, Stanton mengatakan bahwa cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’.

Jumlah kata dalam cerpen harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam

novel. Setiap bab dalam novel menjelaskan unsurnya satu demi satu.

Sebaliknya, dalam cerpen pengarang menciptakan karakter-karakter, semesta

mereka, tindakan-tindakannya sekaligus, secara bersamaan.4

Berdasarkan uraian di atas, cerpen dapat diartikan sebagai cerita yang

dapat dibaca sekali duduk, di dalamnya terdapat cerita atau kisah yang

dirangkai secara singkat, padat, dan jelas serta memiliki satu gagasan atau

kesimpulan.

Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan

suatu secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.

Dengan kata lain, bentuk cerpen yang padat dapat menyampaikan

kompleksitas cerita dalam waktu yang singkat.5 Hal itulah yang menjadi

perbedaan mencolok antara cerpen dengan novel maupun karya sastra lainnya.

2. Unsur Intrinsik Cerpen

Cerpen sebagai karya sastra memiliki kesamaan dengan novel, yakni

dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita. Baik cerpen maupun novel

dibangun oleh dua unsur yang sering disebut dengan unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar teks sastra,

tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,

meskipun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Lain halnya dengan unsur

intrinsik, unsur tersebut diartikan sebagai unsur-unsur yang membangun karya

sastra dari dalam. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang secara faktual akan

4 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan

Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.76. 5 Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.11.

Page 24: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

12

dijumpai oleh orang yang membaca karya sastra.6 Unsur intrinsik cerpen

meliputi tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang dan gaya bahasa, sama halnya

dengan unsur intrinsik novel, yang membedakan adalah secara umum unsur

intrinsik dalam novel lebih rinci dan kompleks dari unsur-unsur cerpen.

Berikut akan dijelaskan bagian-bagian dari unsur intrinsik sebuah karya

sastra, baik cerpen maupun novel.

a. Tema

Tema adalah ide yang mendasari cerita.7 Lebih lanjut Stanton

mengatakan bahwa tema merupakan sebuah gagasan utama. Tema

memberi kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian

yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam

konteksnya yang paling umum.8

Selanjutnya, Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiantoro

mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang

menopang sebuah karya sastra, dan yang terkandung di dalam teks

sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-

persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif

yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan

hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.9

Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk

dapat merumuskan tema suatu karya baik itu cerpen maupun novel,

pembaca harus terlebih dulu mengenali unsur-unsur intrinsik yang

dipakai oleh pengarang dalam mengembangkan ceritanya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tema

merupakan gagasan utama sebuah cerita. Tema sebuah cerita dapat

6 Ibid, h.23.

7 Wahyudi Siswanto,Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo,2008), h.161.

8 Robert Stanton, Op,Cit., h.37.

9 Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.68.

Page 25: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

13

ditemukan melalui cara membaca dan memahami keseluruhan teks

atau cerita tersebut.

b. Tokoh dan Penokohan

Nurgiantoro dalam bukunya membedakan istilah tokoh dan

penokohan secara tegas. Menurutnya, istilah “tokoh” menunjuk pada

orangnya, atau pelaku cerita, sedangkan penokohan merupakan

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan

dalam sebuah cerita.10

Kebanyakan pengarang menyajikan karakter para tokoh melalui

dua cara atau metode dalam karyanya, yaitu metode langsung

(telling) dan metode langsung (showing). Metode telling

mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar

pengarang. Berbeda dengan metode telling, metode showing (tidak

langsung) memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar

kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk

menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action.11

Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam

sebuah cerita, tokoh dibagi menjadi dua, yakni tokoh utama dan

tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting

dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak

diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai

kejadian. Sementara itu, tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang

hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, itu pun

mungkin dalam porsi penceritaann yang relatif pendek.12

10

Ibid, h.165. 11

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2011), h.6. 12

Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.176-177.

Page 26: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

14

Dibanding dengan novel, tokoh-tokoh dalam cerpen lebih terbatas

lagi, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan, pembaca harus

merekonstruksi sendiri gambaran lengkap mengenai tokoh yang ada

di dalam cerpen.13

c. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.14

Lebih

lanjut Stanton menjelaskan bahwa latar adalah lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi

dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.15

Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi

yang melengkapi cerita, baik dalam dimensi waktu maupun

tempatnya. Suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu

imajiner ataupun faktual. Dan yang paling menentukan bagi

keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana

penulis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka

melakoni perannya.16

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar

merupakan situasi yang melandasi dan berkaitan dengan peristiwa-

peristiwa yang ada dalam cerita.

d. Alur (Plot)

Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita. istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa

13

Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.13. 14

Ibid, h.216. 15

Robert Stanton, Op,Cit., h.35. 16

Furqonul Aziz dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2010), h.74.

Page 27: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

15

yang terhubung secara kausal saja.17

Lebih lanjut Abrams dalam

Nurgiantoro menjelaskan bahwa sebuah plot atau alur sebuah karya

fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana

yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa

tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.18

Plot memiliki lima tahapan, di antaranya adalah tahap

penyituasian, yaitu tahapan pengenalan situasi cerita yang berkaitan

dengan pengenalan latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap kedua yakni

tahap pemunculan konflik, pada tahapan ini peristiwa-peristiwa yang

menyulut konflik mulai dimunculkan. Tahap ketiga yaitu tahap

peningkatan konflik. Pada tahapan ini konflik yang telah

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang

intensitasnya. Tahap selanjutnya yaitu tahap klimaks, pada tahap ini

intensitas konflik yang terjadi telah mencapai titik puncak.

Selanjutnya yaitu tahap penyelesaian. Pada tahap ini konflik yang

telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Pada tahap ini bentuk

penyelesaian konflik yang terdapat dalam cerita berbeda-beda

tergantung keinginan pengarangnya.19

Plot pada cerpen umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan

peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan, selesai, sebab

banyak cerpen maupun novel yang tidak berisi penyelesaian yang

jelas, penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca. Urutan

peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang

telah meningkat, tidak harus bermula dari tahap perkenalan (para)

tokoh atau latar. Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar,

biasanya tidak berkepanjangan. Oleh karena plot dalam cerpen

17

Robert Stanton, Op,Cit., h.26. 18

Burhan Nurgiantoro, Op,Cit.,h.113. 19

Ibid 149-150.

Page 28: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

16

merupakan plot tunggal, maka konflik dan klimaksnya bersifat

tunggal.20

e. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view merupakan cara atau pandangan

yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam

sebuah karya fiksi.21

Berbeda dengan Nurgiantoro, Stanton menjelaskan bahwa sudut

pandang merupakan posisi ‘kita’ yang berbeda-beda dan memiliki

hubungan yang berbeda dengan peristiwa dalam cerita.22

.

Berdasarkan uraian tersebut, sudut pandang dapat diartikan sebagai

posisi pengarang dalam bercerita atau menyampaikan ceritanya.

Secara garis besar, sudut pandang cerita dibedakan menjadi dua

macam. Pembedaan tersebut didasarkan pada tujuan dan akibat yang

ditimbulkan dalam cerita.23

Kedua sudut pandang yang dimaksud

adalah sebagai berikut.

1. Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”

Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona

ketiga menempatkan narator di luar cerita yang menampilkan

tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata ganti. Sudut

pandang “Dia” dapat dibedakan menjadi dua jenis, dibedakan

berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang. Sudut

pandang “Dia” Mahatahu menempatkan posisi pengarang yang

serba tahu dan bebas menceritakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di lain pihak “Dia” yang

20

Ibid, h.12. 21

Ibid, h.248. 22

Robert Stanton, Op,Cit.,h.53. 23

Burhan Nurgiantoro, Op,Cit.,h.256-259.

Page 29: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

17

bersifat serba terbatas, yakni memposisikan narator sebatas

pengamat cerita.

2. Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”

Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang persona

pertama menempatkan narator sebagai seseorang yang terlibat

dalam cerita. Narator dalam cerita mengambil posisi sebagai

“Aku” yang mengisahkan dirinya sendiri. Sudut pandang “Aku”

dibedakan menjadi dua bagian yaitu, “Aku” sebagai tokoh utama

yang menjadi fokus, pusat kesadaran dan pusat cerita., dan “Aku”

sebagai tokoh tambahan yang hanya tampil sebagai saksi, witness

saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi orang

lain.

f. Gaya bahasa

Gaya bahasa dapat diartikan sebagai cara pengarang dalam

menggunakan bahasa.24

Gaya bahasa (stile) ditandai oleh ciri-ciri

formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-

bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain,25

sedangkan keraf berpedapat bahwa style atau gaya bahasa dapat

dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa).26

Gaya bahasa atau stile bermacam-macam sifatnya, tergantung

pada konteks di mana bahasa itu digunakan, tergantung selera

pengarang atau penulis dan tergantung pada tujuan dari tulisan

maupun tuturan yang disampaikan. Berkaitan dengan karya sastra,

gaya bahasa seakan menjadi identitas para pengarang atau pencipta

24

Robert Stanton, Op,Cit., h.61. 25

Burhan Nurgiantoro, Op,Cit., h.276. 26

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.113.

Page 30: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

18

karya sastra, karena bahasa yang digunakan setiap pengarang seakan

memiliki ciri khas tersendiri bahkan seakan merepresentasikan sosok

pengarang itu sendiri.

B. Nilai-nilai Kemanusiaan

Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan masalah-masalah manusia

dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan.27

Akan tetapi,

pengarang memilih pengalaman manusia secara kreatif dan secara kreatif pula

menuangkannya ke dalam karya sastra, dengan bahasa sebagai medianya

sehingga hasilnya menjadi suatu karya seni yang yaitu karya sastra.28

Oleh

karena pengarang juga memilih pengalaman yang dituangkan dalam karyanya,

maka nilai-nilai yang ada di dalamnya juga menjadi beragam tidak hanya

berfokus kepada satu nilai sehingga antara karya yang satu dengan karya

lainnya memiliki nilai-nilai yang cenderung berbeda.

Satu dari sekian banyak nilai yang ada dalam karya sastra adalah nilai

kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan adalah suatu hal yang dapat

memanusiakan manusia atau bisa juga dikatakan juga kembali kepada fitrah

manusia. Fitrah manusia adalah punya sisi baik dan buruk. Selain itu manusia

juga mempunyai fitrah atau kecenderungan untuk menyempurnakan diri.

Proses penyempurnaan diri itu membutuhkan pengetahuan. Pengetahuan yang

dimiliki manusia itulah yang kemudian akan menentukan keberhasilan proses

penyempurnaan diri yang dilakukan.29

Joko Tri Prasetya, dkk mengatakan bahwa untuk dapat memanusiakan

manusia perlu pemahaman konsep tentang kemanusiaan. Konsep ini

merupakan pemahaman tentang aspek kemanusiaan yang dimiliki manusia

27

Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Fiksi dan Drama, (Denpasar: Pustaka Larasan,

2011), h.2. 28

Ibid, h.3. 29

Rusmin Tumanggor, dkk., Ilmu Budaya dan Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010), h.122.

Page 31: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

19

aspek tersebut meliputi manusia dan cinta kasih, manusia dan keindahan,

manusia dan penderitaan, manusia dan keadilan, manusia dan tanggung

jawab, manusia dan pandangan hidup, manusia dan kegelisahan, manusia

dan harapan.30

Nilai kemanusiaan tersebut didasarkan kepada nilai yang

dimiliki manusia sebagai makhluk berbudaya, yaitu makhluk ciptaan Tuhan

yang telah dibekali akal dan rasa yang membedakannya dengan makhluk

lainnya.31

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai nilai kemanusiaan.

1. Manusia dan Cinta Kasih

Secara sederhana cinta bisa diartikan sebagai paduan rasa simpati

antara dua makhluk. Rasa simpati ini tidak hanya berkembang di antara

pria dan wanita, akan tetapi bisa juga di antara pria dengan pria atau

wanita dengan wanita. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa rasa

simpati itu ditujukan kepada makhluk lain seperti tumbuhan dan

binatang.32

Senada dengan pendapat tersebut Erich Fromm dalam

Supartono mengatakan bahwa cinta adalah sikap, suatu orientasi watak

yang menentukan hubungan pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan

menuju satu “objek” cinta. Selanjutnya, ia mengemukakan tentang adanya

cinta persaudaraan, cinta pershabatan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta

diri sendiri, dan cinta terhadap Allah. Bersumber dari cinta-cinta tersebut,

seperti yang dikemukakan berikut ini, manusia memberikan kasih

sayangnya kepada yang lain, terutama kepada sesama manusia dalam

mewujudkan hubungan pribadinya.33

Cinta kasih atau cinta sejati tidak menuntut untuk memiliki, apalagi

menguasai, yang ada hanyalah rasa solidaritas, rasa senasib dan

30

Joko Tri Prasetya, dkk., Ilmu Budaya Dasar MKDU, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h.6. 31

Lies Sudibyo, dkk., Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2013), h.6. 32

Djoko Widagdo, dkk., Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.38. 33

Supartono, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indah, 2004), h.57.

Page 32: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

20

sepenanggungan dengan yang dicintai. Cinta sejati sedikitpun tidak ada

hubungannya dengan kenikmatan atau keinginan.34

2. Manusia dan Keindahan

Keindahan identik dengan kebenaran. Keindahan adalah kebenaran,

dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama

yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, yang tidak

mengandung kebenaran berarti tak indah.35

Keindahan juga bersifat

universal, artinya tidak terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat,

selera mode, kedaerahan, atau lokal.36

Persepsi manusia terhadap keindahan antara yang satu dengan yang

lain itu tidak sama karena ditentukan oleh daya penggerak yang menjadi

sumber timbulnya keinginan terhadap keindahan itu sendiri. Persepsi

keindahan yang muncul dari akal dan budi dapat disebut sebagai

keindahan dalam arti yang sebenarnya; sedangkan keindahan yang

muncul dari dorongan nafsu merupakan keindahan semu. Keindahan

semu tentu tidak dapat diterima oleh “kemanusiaan manusia”, karena

hanya keindahan yang bersumber dari akal dan budilah yang mampu

menyempurnakan “kemanusiaan manusia”.37

3. Manusia dan Penderitaan

Penderitaan berasal dari kata “derita”, yang berasal dari bahasa

sansekerta yang artinya menahan atau menanggung. Derita artinya

menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Penderitaan itu bisa berupa penderitaan lahir, batin, atau lahir batin.38

34

Djoko Widagdo, Op,Cit., h.58. 35

Joko Tri Prasetya, dkk, Op,Cit., h.75. 36

Djoko Widagdo, Op,Cit., h.60. 37

Ibid, h.78. 38

Ibid, h.81.

Page 33: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

21

Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia yang dapat menekan

diri manusia. Lebih lanjut Franklin J. Meine dalam Sudibyo, dkk.

menyatakan bahwa penderitaan adalah keadaan yang berhubungan

dengan rasa sakit, tak menyenangkan hati, menderita rugi dan perasaan

tersiksa.39

Banyak sekali bentuk penderitaan yang dialami manusia, di antaranya

ada yang berasal dari dalam diri manusia dan dari luar diri manusia.

Penderitaan yang bersumber dari dalam diri manusia berasal dari

keinginan-keinginan manusia yang tidak dapat dipenuhi. Di dalam diri

manusia itu ada cipta, rasa dan karsa. Karsa adalah sumber penggerak

segala aktivitas manusia. Cipta adalah realisasi adanya karsa dan rasa.

Baik rasa dan karsa selalu ingin dipuaskan karena karsa selalu ingin

dilayani sedangkan rasa selalu ingin dipenuhi tuntutannya.40

Hal itu

sesuai dengan pandangan hedonis psikologis yang mengatakan bahwa

semua manusia dimotivasi oleh pengejaran kenikmatan dan penghindaran

penderitaan.41

Pengejaran kenikmatan yang dimaksud jika dikaitkan

dengan psikologi kepribadian Freud disebut sebagai prinsip kenikmatan

(pleasure principle). Pemenuhan akan kenikmatan itu tergantung pada

peran id, ego, dan superego yang terdapat dalam diri masing-masing

individu. Ketiga komponen tersebut merupakan komponen utama dalam

pemenuhan keinginan atau kebutuhan yang ada dalam diri seseorang.42

Ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan atau keinginannya

maka timbul perasaan takut, sedih, atau bahkan rendah diri yang menjadi

beban dalam hati dan pikirannya. Perasaan itulah yang kemudian disebut

dengan penderitaan.

39

Lies Sudibyo, dkk., Op,Cit., h.120. 40

Djoko Widagdo, Op,Cit., h.99. 41

M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: PT Refika Aditama, 1998), h.68. 42

Yustinus Semiun,OFM., Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud, (Yogyakarta:

Kanisius,2006), h.60-68.

Page 34: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

22

Salah satu penyebab penderitaan yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan manusia adalah kemiskinan. Secara sederhana kemiskinan

diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup

memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan

juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam

kelompok tersebut.43

Lebih lanjut Suparlan menjelaskan bahwa

kemiskinan merupakan suatu keadaan kekurangan harta atau benda

berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari

kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok

orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan

hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin

hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara,

moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan

sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau

pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan,

minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah kesehatan dan

sebagainya).44

Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Dr. Emil Salim

dalam Hartomo dan Aziz menyatakan bahwa kemiskinan merupakan

suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk

memenuhi kebutuhan pokok. Dengan kata lain, kemiskinan dapat

diartikan sebagai ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan pokok,

sehingga menyebabkan keresahan, kesengsaraan, dan kemelaratan dalam

setiap langkah hidupnya.45

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi

43

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),

h.320. 44

Parsudi Suparlan, Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h.16. 45

Hartomo dan Arnicum Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.329.

Page 35: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

23

kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar hidupnya. Oleh sebab itu,

kemiskinan dapat dikategorikan sebagai salah satu penyebab penderitaan

yang dialami oleh manusia. Hal itu didasarkan pada tiga komponen yang

ada dalam pikiran manusia yang memiliki dorongan-dorongan alamiah

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang telah diuraikan

sebelumnya.46

4. Manusia dan Keadilan

Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak

dan kewajiban.47

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan berasal

dari kata “adil” yang berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak atau

tidak sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian

sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak.

Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

manusia karena dalam hidupnya manusia menghadapi keadilan dan

ketidakadilan setiap hari. Keadilan menentukan harkat dan martabat

manusia karena masalah keadilan selalu berhubungan dengan masalah

hak dan kewajiban.48

Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia, begitu pun sebaliknya. Berbuat tidak

adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia karena keadilan

berkaitan dengan hubungan sesama manusia.49

Salah satu bentuk ketidakadilan adalah diskriminasi. Diskriminasi

diartikan sebagai setiap tindakan yang melakukan pembedaan terhadap

seseorang atau kelompok orang berdasarkan ras, agama, suku, etnis,

kelompok, golongan, status, dan kelas ekonomi, jenis kelamin, kondisi

46

M. Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.78. 47

Djoko Widagdo, Op,Cit., h.103. 48

Ibid, h.105. 49

Ibid, h.123.

Page 36: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

24

tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik. Serta batas

negara, dan kebangsaan seseorang.50

Diskriminasi dikategorikan sebagai bentuk ketidakadilan karena

diskriminasi melanggar ketentuan HAM (Hak Asasi Manusia), seperti yang

tercermin dalam pasal 281 Ayat (2) UUD NKRI 1945 yang menyatakan

bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif itu.51 Selain itu penghapusan tindakan

diskriminasi juga telah ditetapkan dalam UU No.40 Tahun 2008.

5. Manusia dan Pandangan Hidup

Pandangan hidup adalah cara manusia memandang kehidupan atau

konsepsi manusia tentang kehidupan.52

Lebih lanjut Koentjaraningrat

dalam Munandar menjelaskan bahwa pandangan hidup adalah nilai-nilai

yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup terdiri atas cita-cita,

kebajikan, dan sikap hidup. Ketiga hal itulah yang menjadi bagian dari

pandangan hidup.53

Pandangan hidup juga tidak terlepas dari masalah nilai dalam

kehidupan manusia pada umumnya. Oleh karena itu, pandangan hidup

yang sempurna merupakan wujud pertama kebudayaan yang tidak boleh

terlepas dari nilai budaya. Pandangan hidup juga mencerminkan citra diri

seseorang karena pandangan hidup mencerminkan cita-cita dan aspirasi

orang tersebut.54

Apa yang dikatakan seseorang adalah pandangan hidup

karena dipengaruhi oleh pola pikir tertentu, meskipun pola pikir juga

50

Eli Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2007), h.152. 51

Eli Setiadi, Loc. Cit, h.152. 52

Supartono, Op,Cit.,h.133. 53

M. Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.73. 54

M. Munandar Sulaeman, Loc, Cit., h.73.

Page 37: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

25

dapat dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir yang terjadi di tengah

masyarakat.

Pandangan hidup berdasarkan sumbernya dibagi menjadi tiga macam

yaitu pandangan hidup yang bersumber dari agama, pandangan hidup

yang bersumber dari ideologi, dan pandangan hidup yang bersumber dari

hasil perenungan seseorang.55

Pandangan hidup yang bersumber dari

agama memiliki kebenaran mutlak karena merupakan ketentuan yang

telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, pandangan

hidup yang bersumber dari ideologi merupakan abstraksi dari nilai-nilai

budaya suatu negara atau bangsa, sedangkan pandangan hidup yang

bersumber dari hasil perenungan seseorang berkaitan dengan ajaran dan

etika dalam menjalani kehidupan.

6. Manusia dan Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau

perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab

juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.56

Lebih lanjut Burhanuddin mengutip dari kamus menguraikan arti

tanggung jawab sebagai berikut.

“ Responsibility = having the character of free moral agent; capable

of determining one’s own acts; capable of deterred by consideration of

sanction or consequences.”57

Kutipan tersebut menitikberatkan pada kesanggupan untuk

menentukan sikap atas suatu perbuatan. Selain menentukan sikap, dalam

55

M. Munandar Sulaeman, Op,Cit.,h.76. 56

Djoko Widagdo, Op,Cit., h.144. 57

Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1997), h. 28.

Page 38: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

26

kutipan tersebut juga dijelaskan bahwa seseorang harus memiliki

kesanggupan untuk memikul risiko atas suatu perbuatan.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab.

Disebut demikian karena manusia adalah makhluk individual sekaligus

makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Manusia memiliki tuntutan yang

besar untuk bertanggung jawab karena mimiliki peranan dalam konteks

sosial, individual maupun teologis.

Pelanggaran terhadap setiap ketentuan dan tanggung jawab yang

dimiliki seseorang sangat mempengaruhi harga “kemanusiaannya” atau

harga diri yang bersangkutan.58

Oleh karena itu, setiap manusia akan

berusaha memenuhi tanggung jawab dan ketentuan yang berkenaan

dengan dirinya, masyarakat, maupun sang pencipta.

7. Manusia dan Kegelisahan

Kegelisahan berasal dari kata “gelisah”. Gelisah artinya rasa yang

tidak tenteram di hati atau merasa selalu khawatir, tidak tenang, tidak

sabar dan cemas. Rasa gelisah ini sesuai dengan suatu pendapat yang

menyatakan bahwa manusia yang gelisah itu dihantui rasa khawatir dan

takut.59

Kecemasan merupakan salah satu bentuk ekspresi kegelisahan. Freud

dalam Semiun menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan

perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi

fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang.

Freud membagi kecemasan menjadi tiga macam yaitu:

1. Kecemasan neurotik (saraf), adalah ketakutan terhadap suatu bahaya

yang tidak diketahui. Perasaan itu sendiri ada dalam ego, tetapi

sumbernya dari id. Orang mungkin mengalami kecemasan neurotik

58

Djoko Widagdo, dkk., Op,Cit., h.158. 59

Ibid, h.160.

Page 39: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

27

terhadap kedatangan seorang guru, majikan, atau terhadap suatu figur

kekuasaan lain karena ia sebelumnya perasaan tak sadar akan

destruktivitas terhadap salah satu atau kedua orang tuanya.

2. Kecemasan moral, kecemasan ini terjadi karena konflik antara ego

dan superego. Kecemasan tersebut muncul karena adanya konflik

antara kebutuhan realistik dan tuntutan superego. Kecemasan moral

juga terjadi ketika seseorang gagal melakukan apa yang dianggap baik

atau benar secara moral. Contohnya ketika orang tua tidak mampu

memelihara dan memperhatikan anak-anaknya dengan baik.

3. Kecemasan realistik, kecemasan ini juga dikenal sebagai kecemasan

objektif , hampir serupa dengan ketakutan. Kecemasan realistik ini

dapat didefinisikan sebagai perasaan sebagai perasaan tidak

menyenangkan dan tidak spesifik terhadap suatu bahaya yang

mungkin terjadi. Misalnya seseorang mengalami kecemasan pada

waktu mengemudikan mobil di lalu lintas yang ramai di tengah kota

yang belum dikenal, suatu situasi penuh bahaya yang real dan

objektif.60

Berdasarkan tiga bentuk kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kecemasan berfungsi sebagai peringatan bagi individu agar mengetahui

adanya bahaya yang sedang mengancam, sehingga individu tersebut bisa

mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghadapi

bahaya yang mengancam itu.

Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan yang

efektif disebut traumatik. Ia akan menjadikan individu dalam keadaan tak

berdaya, serba kekanak-kanakan. Freud dalam Semiun mengemukakan

60

Yustinus Semiun,OFM., Op,Cit.,h.87-92.

Page 40: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

28

gagasannya tentang Project Scientific Psychology bahwa kecemasan

disebabkan oleh perasaan tidak berdaya yang luar biasa.61

Manusia suatu saat dalam hidupnya akan mengalami kegelisahan.

Kegelisahan yang cukup lama hinggap dalam diri manusia akan

menyebabkan suatu gangguan penyakit. Kegelisahan (anxciety) yang

cukup lama akan menghilangkan kemampuan untuk merasa bahagia.62

Alasan mendasar yang menyebabkan manusia gelisah adalah hati dan

perasaan yang mereka miliki. Bentuk kegelisahan yang dialami dapat

berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian. Perasaan-perasaan

semacam itu datang silih berganti dengan kebahagiaan dan kegembiraan

dalam kehidupan manusia.63

8. Manusia dan Harapan

Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu

bisa terjadi.64

Harapan dan keinginan bersumber dari hati. Harapan

(expectation) merupakan keinginan yang hendak dicapai di masa yang

akan datang, tidak dapat terlepas dari masa sekarang maupun masa

lampau seseorang. Masa lampau memberikan pengalaman, masa sekarang

memberikan pemikiran dan masa depan merupakan harapan.65

Dalam

mencapai harapannya, manusia memiliki dorongan-dorongan (drive) yang

kuat terutama karena memiliki dua macam kebutuhan mutlak, yaitu

kebutuhan material untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya dan

kebutuhan spiritual untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Secara

sederhana dapat diuraikan mengenai kebutuhan jasmani dan rohani.66

61

Ibid, h.89. 62

Djoko Widagdo, dkk., Loc, Cit.,h.160. 63

Ibid, h.161. 64

Ibid, h.186. 65

Supartono, Op,Cit., h.178. 66

Ibid, h.179.

Page 41: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

29

Kebutuhan jasmani meliputi pangan, sandang, dan papan, sedangkan

kebutuhan rohani meliputi kebahagiaan, kesejahteraan, kepuasan hiburan

dan sebagainya. Dalam mencukupi kebutuhan itu, baik kebutuhan kodrat

maupun kebutuhan hidup, manusia tidak dapat melakukannya sendiri

melainkan harus dengan bantuan orang lain.

Berkenaan dengan kebutuhan, ada lima macam kebutuhan yang

menjadi harapan manusia. Hal itu didasarkan pada teori kebutuhan

menurut Abraham Maslow.67

a. Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival).

b. Harapan untuk memperoleh keamanan (safety).

c. Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan

dicintai (beloving and love).

d. Harapan untuk memperoleh status agar diakui dan diterima dalam

suatu lingkungan.

e. Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self

actualization).

C. Pembelajaran Sastra di SMA

Sastra ialah karya tulis, yang jika dibandingkan dengan karya tulis lain

memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta

keindahan dalam isi dan ungkapannya. Ada tiga aspek yang harus terdapat

dalam sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran.68

Tiga aspek dalam

karya sastra tersebut yang kemudian digali dan dijadikan sebagai sarana

pembelajaran dan pendidikan dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Saat ini para guru, dosen, dan ahli sastra sepakat bahwa pengajaran yang

konvensional harus ditinggalkan dan diganti dengan pengajaran sastra yang

67

Djoko Widagdo, dkk, Op,Cit., h.187. 68

Hassan Alwi, dkk. (Tim Redaksi), Buku Praktis Bahasa Indonesia 1, (Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), h. 159.

Page 42: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

30

baru. Dalam pengajaran sastra yang baru, titik berat pengajaran sastra adalah

apresiasi sastra.69

Lebih lanjut Gove dalam Aminuddin menjelaskan bahwa

istilah apresiasi mengandung makna 1) pengenalan melalui perasaan atau

kepekaan batin dan 2) pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai

keindahan yang diungkapkan pengarang. Sementara itu, Squire dan Taba

dalam Aminuddin mengatakan bahwa apresiasi sebagai suatu kegiatan yang

melibatkan tiga unsur yaitu: 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3) aspek

evaluatif.70

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam

upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif, seperti unsur

intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra. Aspek berikutnya adalah aspek

emotif. Aspek ini berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca sebagai

upaya dalam menghayati unsur-unsur keindahan sebuah teks sastra yang

dibaca. Sementara itu, aspek evaluatif merupakan aspek yang berhubungan

dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak

indah, sesuai-tidak sesuai, serta sejumlah penilaian lain yang dimiliki secara

personal oleh pembaca. Setelah itu, pada tahap yang lebih lanjut apresiator

mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman

dan penghayatan sekaligus juga melakukan penilaian.71

Berdasarkan uraian

tersebut dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan

menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan

pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan perasaan baik terhadap

karya sastra.

Aminuddin membagi kegiatan apresiasi sastra menjadi dua bentuk, yaitu

apresiasi sastra secara langsung dan secara tidak langsung. Apresiasi sastra

69

Sumardi, Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa, (Jakarta: Uhamka Press,

2012), h.21. 70

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015),

h.34. 71

Ibid, h.34-35.

Page 43: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

31

secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati karya sastra berupa

teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks

sastra secara langsung dapat terwujud melalui perilaku membaca, memahami,

menikmati, serta mengevaluasi teks sastra baik yang berupa cerpen, novel,

roman, naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi. Selain melalui

teks, kegiatan apresiasi secara langsung dapat tercipta melalui kegiatan

mengapresiasi sastra pada kegiatan performansi misalnya ketika seseorang

melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian

pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik dalam radio,

televisi, maupun pementasan di panggung terbuka.72

Kegiatan apresiasi secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara

mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan

kesusastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun

esei yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra

serta mempelajari sejarah sastra.73

Dikatakan tidak langsung karena nilai

akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra,

tetapi juga meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu

karya sastra.

Berdasarkan manfaat yang diperoleh melalui kegiatan apresiasi karya

sastra tersebut, siswa diharapkan dapat mengambil nilai-nilai positif yang

terdapat dalam sebuah karya sastra. Selain meningkatkan minat baca siswa

terhadap karya sastra, kegiatan apresiasi sastra dapat meningkatkan cara

berpikir kritis. Hal itu didasarkan pada proses yang dilalui siswa ketika

memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra, siswa dituntut untuk

menganalisis dan memahami lebih jauh teks sastra maupun performansi karya

sastra. Selain itu, siswa dapat mengaitkan pengalaman membaca karya sastra

dengan situasi sosial masyarakat di lingkungannya maupun dengan fenomena-

72

Ibid, h.36. 73

Ibid, h.37.

Page 44: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

32

fenomena lainnya, sehingga pembelajaran tersebut memberikan kesan dan

manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

D. Penelitian Relevan

Peneliti telah melakukan penelusuran terkait penelitian terhadap lima

cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Panggilan Rasul. Akan tetapi

belum ada penelitian terhadap lima cerpen dalam kumpulan cerpen yang akan

diteliti. Adapun penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya terhadap

karya Hamsad Rangkuti adalah sebagai berikut.

Penelitian terkait karya Hamsad Rangkuti yang lain pernah dilakukan

oleh Satria Adi Andriyani, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia,

Universitas Sebelas Maret tahun 2015 yang berjudul Analisis Wacana

Tekstual dan Kontekstual Kumpulan Cerpen Sampah Bulan Desember Karya

Hamsad Rangkuti serta Relevansinya sebagai Bahan Ajar di Sekolah

Menengah Pertama. Hasil penelitian menunjukkan struktur tekstual dan

kontekstual dari empat cerpen dalam kumpulan cerpen Sampah Bulan

Desember. Data yang menunjukkan struktur tekstual cerpen tersebut berupa

aspek gramatikal yang terdiri dari pengacuan (reference) sebanyak 82%,

penyulihan (substitution) 3%, pelepasan (elipsis) 1%, perangkai (conjunction)

14%, sedangkan aspek leksikal yang ditemukan berupa repetisi sebanyak

25%, sinonimi sebanyak 30 %, antonimi 11%, kolokasi 14%, hiponimi 1%,

dan ekuivalensi sebanyak 19%. Selain struktur tekstual, penelitian ini juga

menganalisi struktur kontekstual kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember.

Berdasarkan analisis kontekstual yang dilakukan dalam penelitian ini,

ditemukan empat prinsip yang digunakan sebagai acuan untuk memahami

kumpulan cerpen Sampah Bulan Desember. Empat prinsip yang dimaksud

yaitu, prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip

penafsiran temporal, dan penafsiran analogi.

Page 45: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

33

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Amila Hillan, Mahasiswa

Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sebelas Maret, tahun 2017 yang

berjudul Gaya Bahasa dan Diksi dalam Kumpulan Cerpen Kesetiaan Itu

Karya Hamsad Rangkuti serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa

Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Hasil penelitian ini menunjukkan

adanya 12 jenis gaya bahasa yang mendominasi kumpulan cerpen Kesetiaan

Itu, dan gaya bahasa yang paling mendominasi adalah gaya bahasa simile.

Selain gaya bahasa dalam penelitian ini juga ditemukan empat jenis diksi yang

mendominasi kumpulan cerpen Kesetiaan Itu. Analisis diksi yang ditemukan

berdasarkan ketepatan diksi dan kata khusus yang digunakan oleh pengarang.

Berkaitan dengan karya Hamsad Rangkuti, belum ditemukan penelitian

tentang nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, penelitian selanjutnya adalah

penelitian tentang Nilai-nilai kemanusiaan dalam novel Bekisar Merah karya

Ahmad Tohari. Penelitian tersebut dilakukan oleh Kadek Adi Wira Permata, I

Wayan Rasna, dan I Gede Nurjaya, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, tahun 2014. Penelitian tersebut

dimuat dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha,

Vol.2. No.1. Th.2014. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya nilai-nilai

kemanusiaan dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Nilai

kemanusiaan yang ada dalam novel tersebut terdiri dari nilai hedonik, nilai

artistik, nilai etis, nilai kultural, nilai moral dan nilai religius.

Penelitian mengenai nilai-nilai kemanusiaan selanjutnya dilakukan oleh

Lizawati dan Ria Agustin. Penelitian tersebut berjudul Nilai Kemanusiaan

pada Tokoh dalam Cerpen Gadis karya Asma Nadia (Kajian Mimetik).

Penelitian ini dimuat dalam Jurnal Pendidikan Bahasa, IKIP PGRI

Pontianak,Vol. 6, No.2, Desember 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa nilai kemanusian yang ditemukan pada tokoh dalam cerpen Gadis

karya Asma Nadia yaitu tidak memiliki rasa bersyukur, mencela orang lain,

Page 46: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

34

dan mengumbar aib orang lain. Nilai-nilai itu pula yang kemudian didapati

peneliti tersebut dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan keempat penelitian yang telah dilakukan membuat peneliti

perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Nilai Kemanusiaan dalam

Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul” Karya Hamsad Rangkuti” karena dua

penelitian terkait karya Hamsad Rangkuti meneliti dari segi kebahasaan

sedangkan peneliti melakukan penelitian dari segi kesusastraan. Sementara itu

dua penelitian tentang nilai kemanusiaan tersebut tidak mencakup keseluruhan

apa yang ada dalam diri manusia. Hal itu mendorong penulis untuk melakukan

penelitian secara lebih dalam mengenai nilai kemanusiaan dalam sebuah karya

sastra.

Page 47: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

35

BAB III

PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi

Hamsad Rangkuti yang bernama asli Hasjim Rangkuti merupakan

cerpenis legendaris Indonesia. Hamsad lahir pada tanggal 7 Mei 1943 di Titi

Kuning, Medan, Sumatera Utara. Anak keempat dari enam bersaudara ini

turut hidup berpindah-pindah bersama keluarganya. Terakhir kali ia tinggal di

kota Kisaran. Ayahnya bekerja sebagai penjaga malam pusat perbelanjaan. Ia

pun kerap menemani ayahnya berjaga. Untuk mengusir kantuk, ayahnya

banyak menuturkan cerita. itulah yang membekas dalam dirinya.1 Hal itu pula

kemugkinan yang membuat Hamsad mahir dalam membuat cerita pendek.

Hamsad mulai menulis cerpennya yang pertama tahun 1959. Cerpen itu

berjudul “Nyanyian Rambung Tua” yang kemudian dimuat dalam surat kabar

Indonesia Baru terbitan Medan. Saat menulis cerpen tersebut Hamsad baru

berusia enam belas tahun. Minat menulisnya baru tumbuh ketika ia duduk di

bangku Sekolah Menengah Pertama. Sepulang sekolah ia mampir ke halaman

Kantor Wedana di kotanya untuk membaca surat kabar mingguan Mimbar

Umum. Dari situlah Hamsad muda mulai mengenal karya-karya pengarang

dunia seperti Anton Chekov, Ernest Hemingway, Gorky, O. Henry, dan lain-

lain.2

Tahun 1965 Hamsad hijrah ke Jakarta. Di Jakarta ia bekerja sebagai

karyawan di kantor Persatuan Produser Film Indonesia yang dipimpin oleh

Usmar Ismail hingga tahun 1968. Ia sempat membantu sebuah majalah sastra,

namun majalah tersebut dilarang terbit karena memuat cerpen “Langit Makin-

1 Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, dalam Harian Jayakarta edisi Kamis, 10

Maret 1998, diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. h.9. 2 Ibid, h.9, kolom ke-2.

Page 48: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

36

Mendung” karya Ki Pandji Kusmin. Kemudian, ia pindah bekerja pada

majalah Horison. Hamsad mulai bekerja di Horison sebagai karyawan biasa

hingga terakhir ia duduk sebagai Pemimpin Redaksi.3

Perjalanan kepenulisan Hamsad tidak selalu mulus, tahun 1960 ia hanya

mampu melahirkan tujuh cerpen yang ia anggap baik, dan setelah itu ia

sempat vakum dari dunia kepenulisan selama tujuh tahun. Setelah itu, tahun

1980 ia kembali menulis cerpen yang bahkan menjadi sebuah kejutan dari

sekian lama ia tidak menulis cerpen. Setelah mengikuti workshop penulisan

skenario film di tahun 1975, Hamsad merasa lebih percaya diri sehingga

mampu menghasilkan lima belas cerpen yang diberi judul “Lukisan

Perkawinan” (1981) meskipun pada awalnya kumpulan cerpen tersebut sulit

diterbitkan. Beberapa cerpen dalam kumpulan cerpen tersebut sempat

ditawarkan untuk dimuat dalam tiga majalah wanita, yaitu majalah Femina,

Kartini, dan Sarinah. Akan tetapi, ketiga majalah tersebut menolak beberapa

cerpen dengan alasan tertentu, bahkan ketika Hamsad menawarkan cerpen

“Sukri Membawa Pisau Belati” ke majalah Zaman dan Horison, cerpen

tersebut masih mendapatkan penolakan. Cerpen “Lukisan Perkawinan”pun

akhirnya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1981. Di tahun yang

sama kumpulan cerpennya yang berjudul “Cemara” diterbitkan oleh Grafiti

Press. Keberhasilan tersebut tidak luput dari peran teman-teman sastrawannya

yang banyak mengulas karya-karya Hamsad di berbagai media.4

Tahun 1980-an seakan fase produktivitas Hamsad Rangkuti dalam

menulis cerpen. Akan tetapi, hal itu tidak sesuai dengan harapan Hamsad,

karena setelah cerpen “Lukisan Perkawinan” dan “Cemara” diterbitkan,

cerpen-cerpen yang lahir sesudahnya tidak dilirik oleh para penerbit saat itu.

Perjalanan kepenulisan Hamsad terbayar ketika tahun 2002 kumpulan

3 Ibid, h.9.

4 Hamsad Rangkuti, Kumpulan Cerpen Lukisan Perkawinan, (Yogyakarta: Matahari, 2004),

h.vii-ix.

Page 49: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

37

cerpennya yang berjudul “Bibir dalam Pispot” diterbitkan oleh Penerbit Buku

Kompas. Kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot” tersebut ternyata menuai

sukses dengan mendapatkan penghargaan Khatulististiwa Literary Award

tahun 2003. Penghargaan itu mengantarkan Hamsad pada mimpinya untuk

melihat karya pelukis dunia di museum kota London.5

Selain menulis cerpen, Hamsad juga menulis novel. Novel pertamanya

berjudul “Ketika Lampu Berwarna Merah”. Novel tersebut terpilih sebagai

pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, yang

kemudian diterbitkan oleh Kompas pada 1981. Novel kedua Hamsad berjudul

“Klamono”. Novel tersebut menceritakan tentang ladang minyak di daerah

Sorong, Irian Jaya. Novel terakhirnya diberi judul “Hujan deras di Gunung”.

Novel tersebut menceritakan tentang penebangan pohon dengan setting di

daerah Kalimantan dan pedalaman Sumatera.6

Hamsad lebih dikenal sebagai cerpenis dibanding novelis, karena

karyanya kebanyakan berupa cerita pendek. Cerpen-cerpen Hamsad sangat

berbeda dengan cerpen-cerpen yang berkembang di zamannya. Achmad Rich

mengatakan bahwa cerpen-cerpen Hamsad lebih bersifat realis-imajis, yakni

gabungan antara kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dengan fantasi atau

imaji yang diciptakannya sendiri. Selain itu, cerpen-cerpennya dianggap

konvensional karena ditampilkan dalam bentuk sederhana tanpa ada aksen-

aksen tertentu yang sedang berkembang pada masa itu. Hamsad tidak latah

oleh hadirnya cerpen-cerpen mutakhir yang cenderung absurd-ekstensialistis

bahkan sufistis, seperti karya Iwan Simatupang, Danarto, dan barangkali Putu

Wijaya. Hamsad dinilai sebagai seorang realis yang cakap memadukan

simpul-simpul imaji pada karya ciptanya.7

5 Ibid, h.x.

6 Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op, Cit., h 9.

7 Ahmad Rich, Ulasan Lukisan Perkawinan, dalam arsip Pusat Dokumentasi Sastra H.B.

Jassin, 20 Mei 1985. h.1.

Page 50: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

38

Hamsad banyak mengangkat masalah-masalah sosial yang terjadi di

sekitarnya. Hal itu merupakan bentuk kegelisahan-kegelisahan seorang

Hamsad Rangkuti terhadap masalah sosial tersebut. Selain itu, masalah-

masalah sosial tersebut dijadikan titik tolak dalam penciptaan karyanya yang

ia gunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik sosial baik terhadap

pemerintah maupun ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di tengah

masyarakat. Senada dengan hal itu, Rayani Sriwidodo dalam sebuah ulasan

terkait cerpen karya sahabatnya, ia berpendapat bahwa cerpen-cerpen Hamsad

selalu bertolak dari realitas problema khas negeri yang sedang berkembang,

lengkap dengan warna manusianya, masalah ekonomi sosialnya yang serba

kompleks sebagai bangsa muda dalam rangka mencari bentuk diri.

Dibandingkan menyajikan cerpen yang absurd dan sulit dipahami, Hamsad

justru menyusuri wilayah yang dimiliki masyarakat menengah kebawah. Ia

berbicara tentang kesedihan dan kesukaan masyarakat sekitar.8 Hal itu

dilakukan Hamsad dengan tujuan memberikan gambaran bahwa masyarakat di

sekitar tempat tinggalnya maupun masyarakat yang dilihatnya pada masa itu

bukanlah masyarakat yang sempurna. Gambaran ketidaksempurnaan itulah

yang ingin ia tunjukkan sehingga seseorang dapat berbuat sesuatu untuk

keadilan dan kebenaran.9

B. Pemikiran Hamsad Rangkuti

“Saya tergolong penulis berbakat alam”10

kalimat tersebut seakan

menjadi sebuah deklarasi kepengarangan seorang Hamsad Rangkuti. Cerpen-

cerpen Hamsad kebanyakan lahir dari peristiwa yang dilihatnya secara

8 Harianto Gede Panembahan, Bersenang-senang Membaca Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam

kolom Serambi Budaya, Harian Berita Yudha edisi Kamis, 20 Juli 1989, h.5. Diambil dari Pusat

Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 9 Hamsad Rangkuti, Op, Cit., h.xii.

10Hamsad Rangkuti, Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu,

(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h.15.

Page 51: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

39

langsung yang dikemas dengan imajinasi dan fantasinya sebagai seorang

pengarang.

Dunia cerpen Hamsad adalah dunia rata-rata pengarang Indonesia,

yakni kaum menengah bawah. Suasana kehidupan yang digambarkan adalah

dunia kelabu, penuh kesulitan ekonomi, dan penderitaan batin.11

Ada sesuatu

yang ingin dijangkau oleh Hamsad, dan sesuatu itu bukan hanya apa yang

diceritakan, tetapi di balik yang diceritakan itu. Hamsad menggunakan

cerpennya sebagai alat kritik sosial, tetapi kritik sosial itu tidak disampaikan

dengan marah-marah, bahkan disampaikan melalui humor yang segar, namun

menusuk dan tajam.12

Cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti menarik bukan karena eksentrisitas

dan eksperimentasi yang melandasinya, tetapi karena gayanya yang

konvensional. Hamsad mengadakan pembaharuan bukan pada bentuk, tapi ia

berupaya menyajikan bobot yang maksimal pada setiap hasil ciptaannya.13

Hamsad dengan cerpennya yang konvensional membedakan gaya

kepengarangannya dengan cerpen-cerpen yang beraliran absurd-ekstensialis-

dan sufistis. Hamsad merupakan seorang pengarang realis yang cakap

memadukan simpul-simpul imaji pada setiap karya ceritanya. Dialog-

dialognya yang naratif disajikan dengan data dan fakta yang lugas.14

Bagi

Hamsad, mengarang adalah berpikir. Menimbang-nimbang komposisi,

menyeleksi informasi, membangun unsur dramatik, dan memasukkan unsur-

unsur keindahan. Bukan berhanyut-hanyut dengan kata-kata atau menjadi

pedagang kata-kata.15

Walaupun demikian, cerpen-cerpen Hamsad di awal

11

Jakob Sumarjo, Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison. No. 4

Tahun 1983, h.199. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 12

Herman Ks., Tingkah Manusia dalam Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam Harian Berita

Buana edisi Selasa, 20 Maret 1984, h.4 . Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. 13

Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op, Cit., h.9. 14

Ahmad Rich, Ulasan Lukisan Perkawinan, Op Cit., h.1. 15

Anonim, Cerpenis Konvensional Nonpretensius Hamsad Rangkuti, dalam Harian Minggu

Pagi, Yogyakarta, edisi Minggu 12 Mei 1985. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Page 52: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

40

kepengarangannya kurang mendapat apresiasi baik dari pihak penerbit

maupun para kritikus sastra. Pada awal kemunculannya, karya Hamsad dinilai

kurang matang dan terkesan kolot. Hal itu diungkapkan oleh Jakob Sumardjo

ketika menyampaikan ulasannya mengenai kumpulan cerpen “Lukisan

Perkawinan”(1981). Jakob mengatakan bahwa teknik yang digunakan

Hamsad sudah berhasil menarik perhatian pembaca, akan tetapi teknik yang

digunakan Hamsad dari segi kedalaman cerita kurang tercapai. Menurutnya

rata-rata cerpen Hamsad tidak banyak mengandung “misteri”, kurang

menggugah orang untuk mengembangkan sendiri tema yang diajukan

Hamsad.16

Itu pula yang kemungkinan menyebabkan nama Hamsad

tenggelam oleh nama-nama seperti Danarto, Iwan Simatupang, Putu Wijaya,

dan Kuntowijoyo dengan cerpen-cerpen eksperimentasinya.

Tahun 2003 menjadi tahun gemilang bagi seorang Hamsad, karena

karyanya di tahun 80-an berhasil diterbitkan dan mendapatkan penghargaan

Khatulistiwa Literary Award. Karya Hamsad yang mendapat penghargaan itu

merupakan kumpulan cerpen yang diberi judul “Bibir dalam Pispot”.17

Kumpulan cerpen tersebut terdiri dari 16 buah cerpen yang menceritakan

keadaan sosial masyarakat di sekitarnya. Permasalahan yang ditawarkan

dalam kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot”tersebut bukan hanya sekedar

bentuk kritik sosial, akan tetapi semua hal tentang tingkah laku manusia

dengan berbagai macam situasi yang melingkupinya.

Fenomena sosial dan kemanusiaan dalam cerpen-cerpen Hamsad

nyatanya bukan hanya dalam kumpulan cerpen “Bibir dalam Pispot”saja, akan

tetapi pada keseluruhan karyanya. Beberapa karya lainnya yang juga

menggambarkan fenomena sosial dan kemanusiaan juga tergambar dalam

kumpulan cerpen “Lukisan Perkawinan” (1981), “Cemara” (1981), novel

16

Jakob Sumarjo, Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison. No. 4

Tahun 1983, op.cit., h.199. 17

Hamsad Rangkuti, Op Cit., h. x.

Page 53: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

41

“Ketika lampu Berwarna Merah” (1982),“Klamono” (1982),18

“Sampah Bulan

Desember” (2000), “Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo” (2001), Senyum

“Seorang Jenderal” (2001), dan “Panggilan Rasul” (1986) yang diterbitkan

kembali sebagai kumpulan cerpen tahun 2017.19

Tema-tema cerpen Hamsad yang menampilkan kondisi sosial

masyarakat di sekitarnya bukan tanpa alasan. Dalam sebuah pengantar

Hamsad mengatakan bahwa sepanjang perjalanan hidupnya ia menyaksikan

begitu banyak kepalsuan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, dan hal

itulah yang mendorongnya untuk mengekspresikan respons pribadi dalam

bentuk cerita pendek. Hamsad menambahkan bahwa ia merasa sangat dekat

dengan masyarakat karena ia merupakan salah satu dari anggota masyarakat

tersebut. Hamsad juga mengatakan bahwa salah satu cara yang dilakukannya

untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di masyarakat adalah dengan

membaca koran dengan cermat. Selain itu, ia juga selalu bersentuhan

langsung dengan permasalahan yang ada di masyarakat melalui pergaulannya

dengan masyarakat setempat.20

Hamsad menjelaskan bahwa cerpen-cerpennya merupakan perpaduan

antara realitas nyata dan realitas baru dari kreativitas yang ia ciptakan.

Melalui cerita-cerita yang ditulisnya, ia ingin mengatakan bahwa kemiskinan

dapat menyebabkan orang berbuat nekat, tidak hanya kepada orang lain, tapi

juga kepada dirinya sendiri.21

18

Anonim, Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, Op Cit.,h.9. 19

Anonim, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/3/Hamsad%20Rangkuti,

diunduh pada tanggal 24 Desember 2017, pukul 22.58 WIB.

20 Hamsad Rangkuti, Op Cit.,h.xi-xii.

21 Ibid, h.xii.

Page 54: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

42

C. Sinopsis Kumpulan Cerpen “Panggilan Rasul”

1. Panggilan Rasul (1962)

Cerpen Panggilan Rasul menceritakan ketegangan yang terjadi ketika

ada seorang anak yang sedang dikhitan atau disunat rasul. Ketegangan

tersebut terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena peristiwa naas

pernah menimpa dua orang saudaranya yang meninggal setelah dikhitan.

Keluarga dan orang-orang kampung cemas menanti kabar yang keluar dari

kamar si anak yang tengah dikhitan.

Kecemasan yang luar biasa justru muncul dalam benak kedua orang

tua si anak yang tengah dikhitan, terutama sang ibu. Sang ibu yang

khawatir anak ketiganya akan mengalami nasib yang sama dengan kedua

kakak lelakinya terus menangis dan berdoa. Dalam situasi yang cemas itu

ibu si anak menyalahkan suaminya, ia menganggap apa yang dialami dua

orang puteranya adalah akibat dari perbuatan sang suami yang tak lain

merupakan seorang tuan tanah yang rakus, tamak, kikir, bahkan dicap

sebagai lintah darat. Sang istri mempercayai bahwa kematian dua anaknya

disebabkan oleh dendam warga kampung yang menitipkan racun pada

pisau dukun-dukun yang telah menyunat kedua anaknya. Walaupun

demikian, sang suami merasa telah berubah dan bahkan bernazar akan

memberikan separuh hasil panennya jika anak ketiganya selamat setelah

dikhitan. Kedua suami-istri tersebut kemudian memanjatkan doa untuk

keselamatan puteranya yang tengah dikhitan. Meskipun dari doa kedua

suami istri tersebut memiliki perbedaan. Jika sang suami memohon

keselamatan anaknya demi melanjutkan keturunan untuk mewarisi harta

kekayaannya, sedangkan sang istri tulus meminta keselamatan untuk

puteranya tanpa embel-embel duniawi. Cerita tersebut berakhir ketika

dokter menjelaskan bahwa proses khitan telah selesai dan kondisi si anak

baik-baik saja. Dokter menjelaskan secara logis mengenai proses khitan

Page 55: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

43

yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan racun yang ada di pisau

dukun-dukun sunat.

2. Karjan dan Kambingnya (1985)

Cerpen ini mengisahkan tentang seorang kuli pencabut rumput

bernama Karjan. Dikisahkan Karjan adalah seorang kuli pencabut rumput

yang tinggal di gubuk apak pinggiran rel kereta api. Suatu ketika ia

bertemu dengan teman lamanya yang bernama Parman. Pertemuan mereka

mengingatkan kenangan Parman ketika tinggal bersama di gubuk apak

pinggiran rel kereta api. Pertemuan singkat tersebut dimanfaatkan Parman

untuk memberikan seekor kambing sebagai hadiah atas pertemanan

mereka. Parman juga berharap agar teman-temannya, termasuk Karjan

dapat menikmati kambing guling seperti pesta kambing guling yang

pernah mereka lihat di kota.

Karjan membawa pulang kambing pemberian Parman. Akan tetapi,

ketika di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang petugas yang

mencurigai kambing bawaan Karjan. Petugas mengira bahwa Karjan telah

mencuri seekor kambing. Susah payah Karjan menjelaskan dari mana

kambing itu berasal, namun petugas tetap tidak mempercayai keterangan

yang disampaikan Karjan. Petugas tersebut bersikeras mengatakan bahwa

kambing yang dibawa Karjan adalah hasil curian, karena petugas

berpendapat bahwa tidak mungkin seseorang yang miskin seperti Karjan

mempunyai teman yang mampu memberinya seekor kambing. Oleh sebab

itu, Karjan akhirnya ditangkap oleh petugas bersama dengan kambing

yang dibawanya.

3. Ayahku Seorang Guru Mengaji (2003)

Cerpen ini mengisahkan tentang sosok Ayah dari tokoh Aku yang

merupakan seorang guru mengaji. Ayah dikisahkan sebagai seorang yang

memiliki keimanan dan keyakinan akan ajaran agamanya. Perubahan

zaman menjadi penyebab berkurangnya jumlah murid-murid yang belajar

Page 56: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

44

mengaji kepada tokoh Ayah. Perkembangan zaman menggantikan sosok

guru mengaji dengan kaset-kaset murottal yang diisi oleh qori-qoriah

ternama. Di samping itu, bukan hanya kehilangan murid, tokoh Ayah pun

harus kehilangan pekerjaan akibat kemajuan zaman. Ayah yang mulanya

bekerja sebagai pembuat kasur kapuk harus rela kehilangan pelanggan

karena adanya kasur karet keluaran pabrik. Hal itu pula yang membuat

istri dan anaknya meminta Ayah untuk menjadi pendoa di kuburan. Hal itu

sangat bertentangan dengan prinsip Ayah yang menganggap bahwa doa

dan ayat-ayat suci alquran hanya untuk dipelajari oleh manusia yang

masih hidup, bukan untuk orang yang telah meninggal. Akan tetapi,

karena desakan istri dan anaknya tokoh Ayah terpaksa menjadi orang yang

membacakan doa di kuburan. Setelah beberapa kali menjadi pendoa

ternyata nasib kembali membawanya menjadi seorang guru mengaji,

meskipun bukan seperti dulu kala, ketika santri-santri datang ke rumahnya

untuk mengaji. Sekarang justru Ayah yang dipanggil ke rumah muridnya

untuk mengajar mengaji. Dari kegemarannya menjadi seorang guru

mengaji itu pulalah yang mampu mengantarkannya menunaikan ibadah

haji. Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji ditutup dengan kekaguman

sang anak kepada ayahnya yang tulus mengajarkan ilmu agama tanpa

mengharapkan balasan apapun, bahkan ia semakin kagum bahwa ayahnya

tidak kalah oleh perubahan zaman.

Page 57: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

45

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Unsur Intrinsik

1. Tema

Tema merupakan gagasan dasar umum dalam sebuah cerita.

Tema juga memuat pesan dan tujuan pengarang dalam membuat

sebuah karya sastra. Ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan

Rasul” memiliki tema yang berbeda-beda. Cerpen yang pertama yaitu

cerpen “Panggilan Rasul”. Cerpen tersebut mengangkat tema tentang

keserakahan seorang Tuan Tanah. Tema tersebut dikemas dalam

ketegangan yang terjadi saat anak ketiga Tuan Tanah sedang disunat.

Ketegangan tersebut terjadi karena sebelumnya, dua anak Tuan Tanah

tersebut meninggal dunia usai disunat. Tema besar dalam cerpen

tersebut dimunculkan melalui kepercayaan istri Tuan Tanah dan warga

desa yang menganggap kematian dua anak sebelumnya usai disunat

diakibatkan oleh ilmu dukun sunat yang telah dipesan oleh orang-

orang yang menaruh dendam atas perbuatan Tuan Tanah. Hal tersebut

tampak pada kutipan berikut.

“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada hari

kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak keluar dari

lukanya. Syaifuddin kan juga penurut. Pendiam. Setengah

bulan hampir dia mengurung diri; karena kau ingatkan

kelakuan abangnya sehari sebelum disunat itu. Aku tidak

percaya! Aku tidak percaya, jika hanya oleh melompat-lompat

dan berkejaran setengah malam penuh. Aku tidak percaya itu.

Aku mulai yakin tentang desas-desus itu bahwa kau orang

yang tamak. Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai

percaya desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui

luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu

karena kesombonganmu, kekikiranmu, angkuhmu, dan tak mau

Page 58: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

46

tahu dengan mereka. Aku yakin, mereka menaruh racun di

pisau-pisau dukun itu.”1

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa istri Tuan Tanah mulai

mempercayai desas-desus warga tentang kematian kedua anaknya

yang diakibatkan oleh perilaku suaminya yang serakah, kikir, tamak

bahkan tidak peduli pada orang miskin. Perilaku itulah yang dianggap

sebagai pemicu dendam orang-orang terhadap Tuan Tanah hingga

menginginkan kematian anak-anaknya.

Keserakahan yang ingin disampaikan Hamsad tersamarkan oleh

ketegangan dan kecemasan yang terjadi ketika proses sunat rasul anak

bungsu Tuan Tanah berlangsung. Hal itu terjadi karena Tuan Tanah

dan keluarganya merasa khawatir apa yang pernah menimpa kedua

anaknya akan menimpa anak terakhir mereka yang sedang disunat. Hal

itu dapat dibuktikan pada kutipan berikut.

“Karton yang sebuah lagi dibersihkannya pula dengan ujung

jari-jarinya yang gemetar. Di antara bayang-bayang rambutnya

yang terjulai menimpa karton itu terbaca: Sayfuddin, anak,

kedua, disunat rasul tanggal 10 November 1957. Meninggal

dunia tanggal 11 November 1957.”2

“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti ini,

dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh, Tuhanku!”

keluh wanita itu di antara isakannya.”3

Kedua kutipan tersebut menegaskan kekhawatiran yang

dirasakan istri Tuan Tanah berasal dari kematian anak sebelum anak

bungsunya yang meninggal dunia usai disunat. Hal itulah yang

kemudian menyamarkan tema besar dalam cerpen “Panggilan Rasul”.

1 Hamsad Rangkuti, Panggilan Rasul, (Yogyakarta: Diva Press, 2017), h.73-74.

2 Ibid, h.70.

3 Ibid, h.70

Page 59: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

47

Selanjutnya adalah tema dalam cerpen “Karjan dan

Kambingnya”. Cerpen ini adalah cerpen yang ditulis Hamsad tahun

1985. Cerpen ini ditulis dua puluh tiga tahun setelah cerpen “Panggilan

Rasul”, akan tetapi kesederhanaan dan gaya bertutur cerpen ini tidak

jauh berbeda dengan cerpen sebelumnya. Cerpen ini mengangkat tema

tentang diskriminasi sosial. Tindakan diskriminasi muncul dari tokoh

Petugas Keamanan yang menilai dan membeda-bedakan seseorang

berdasarkan status sosialnya. Tindakan diskriminasi terjadi ketika

seorang kuli rumput bernama Karjan mendapatkan hadiah seekor

kambing dari seorang teman lamanya. Karjan yang sedang membawa

seekor kambing berpapasan dengan seorang petugas keamananan.

Petugas keamanan yang awalnya mencurigai Karjan yang sedang

membawa seekor kambing, akhirnya menuduh Karjan sebagai pencuri

seekor kambing. Petugas keamanan menuduh Karjan sebagai pencuri

seekor kambing berdasarkan identitas Karjan yang tak lain adalah

salah satu penghuni gubuk apak sebelah utara stasiun. Berdasarkan

keterangan yang disampaikan Karjan tersebut, petugas keamanan

menangkap Karjan dan kambingnya. Berikut adalah kutipan yang

menegaskan pernyataan tersebut.

“Kamu tinggal di mana?”4

“Di gubuk-gubuk apak di sebelah utara stasiun.”

“Kau penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”5

“Benar, Pak.”6

“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana

kambing ini kau peroleh?”7

4 Ibid, h.132.

5Ibid, h.133.

6 Ibid, h.133.

7 Ibid, h.133.

Page 60: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

48

Keempat kutipan tersebut menggambarkan perilaku diskriminasi

sosial yang dilakukan oleh Petugas Keamanan. Hal itu terlihat dari

perkataan Petugas Keamanan yang mencurigai Karjan setelah

mendengarkan keterangan bahwa Karjan tinggal di gubuk apak

sebelah utara stasiun. Sikap petugas tersebut dikategorikan sebagai

tindakan diskriminasi karena membeda-bedakan perlakuan terhadap

seseorang berdasarkan status sosialnya. Tindakan diskriminasi

dilukiskan dengan jelas ketika Petugas Keamanan memutuskan untuk

menangkap Karjan atas dasar asumsi pribadi Petugas Keamanan yang

menganggap bahwa tidak mungkin seorang miskin mampu

memberikan seekor kambing pada Karjan. Hal itu dapat dibuktikan

pada kutipan berikut.

“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang kaya.

Ingat! Dan ini perlu kau camkan: orang kaya, temannya adalah

orang-orang kaya. Orang miskin, temannya adalah orang-orang

miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing

kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu, saudara

kami tangkap!”8

Kutipan di atas menggambarkan perilaku diskriminasi yang

dilakukan Petugas Keamanan terhadap Karjan. Petugas Keamanan

membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya. Ia

menganggap bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi akan

bergaul dengan orang yang memiliki status sosial tinggi pula.

Cerpen selanjutnya adalah cerpen “Ayahku Seorang Guru

Mengaji”. Cerpen ini mengangkat tema tentang keteguhan iman. Tema

tersebut dibangun melalui tokoh Ayah yang diceritakan narator

sebagai seorang guru mengaji, seperti yang tampak pada kutipan

berikut.

8 Ibid, h.134.

Page 61: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

49

“Suara orang mengaji itu secara perlahan kurasakan seperti

mengukir masa kecilku. Ayah adalah seorang guru mengaji.

Murid-murid beliau datang dari sekitar rumah kami, anak-anak

para tetangga.”9

Tema besar dalam cerpen ini muncul melalui tokoh Ayah yang

tak lain adalah seorang guru mengaji. Ayah memiliki iman yang kuat.

Ia terus memiliki keyakinan bahwa ajaran agama harus disampaikan

kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal itu digambarkan melalui

situasi yang ada dalam cerita. Ayah sempat kehilangan muridnya

akibat kemajuan zaman. Berikut adalah kutipan yang menegaskan

pernyataan tersebut.

“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk di

sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah memasang

listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat Ayah hanya

mengajar sepuluh murid di bawah cahaya lampu petromaks.

Murid-muridnya yang lain lebih tertarik menyimak acara di

televisi daripada menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah.

Murid yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang

satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang

mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga

kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah

sudah tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku

hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan

seluruh muridnya.”10

Kemajuan zaman telah membuat Ayah kehilangan muridnya,

akan tetapi hal itu tidak mengubah keyakinan Ayah terhadap

prinsipnya sebagai seorang guru mengaji. Ayah terpaksa menjadi

pembaca doa di pemakaman karena ia sudah kehilangan murid dan

pekerjaanya. Walaupun demikian, ia tetap memegang teguh prinsipnya

tentang mengamalkan ajaran agama. Hal itu dapat dilihat pada kutipan

berikut.

9 Ibid, h.21.

10 Ibid, h.24.

Page 62: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

50

“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin dan doa

bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku katakan semua ini

kulakukan karena terpaksa. Ayat suci bukan untuk orang yang

telah mati. Tetapi untuk petujuk bagi orang yang masih hidup.

Ayat itu dibaca dan diamalkan, menjadi pedoman bagi kita dan

bekal untuk menolong hidup setelah mati. Maka ku katakan

kepada mereka agar mempelajari agama serta

mengamalkannya. Selalu setiap selesai membaca doa, aku

berkata begitu kepada mereka. Aku adalah guru agama. Aku

mengajarkan agama dan membaca ayat suci al-Qur’an kepada

murid-muridku. Tetapi, karena murid-murid tidak ada lagi

yang hendak menuntut ilmu agama di tempatku, maka aku

terpaksa membacakan ayat-ayat dan segala doa di makam ini

untuk mereka. Siapa yang mendengar? Orang yang meminta.

Kalian inilah. Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai

pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan

semacam kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia

dan bekal untuk di akhirat.11

Kutipan di atas menggambarkan kegigihan Ayah dalam

mengajarkan agama. Meskipun Ayah tidak menjadi seorang guru

mengaji, ia tetap mengajarkannya dengan cara yang berbeda. Ayah

yang menjadi pembaca doa di pemakaman sekaligus mengajarkan ilmu

agamanya melalui ayat-ayat alquran yang dibacakan. Selain

membacakan ayat suci alquran, Ayah juga memberikan nasihat tentang

pentingnya mempelajari ayat suci alquran sebagai petunjuk untuk

menjalani kehidupan.

Beberapa permasalahan yang diangkat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” tersebut memiliki kesamaan, yaitu beberapa nilai

kemanusiaan muncul sebagai bentuk identitas yang melekat dalam diri

manusia. Nilai kemanusiaan yang dimaksud yaitu manusia dan

pandangan hidup, manusia dan penderitaan, manusia dan harapan,

manusia dan kegelisahan, manusia dan keadilan, serta manusia dan

cinta kasih. Nilai kemanusiaan itulah yang kemudian menjadi

11

Ibid, h.33.

Page 63: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

51

representasi seorang manusia, baik secara sikap, mental, emosional

dan moral.

2. Tokoh dan Penokohan

Nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”

muncul melalui tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Tokoh diartikan

sebagai pelaku cerita atau pengemban cerita, sedangkan penokohan

merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita.

Tokoh dan penokohan yang akan diuraikan dalam cerpen

“Panggilan Rasul” sebagai berikut.

a. Lasuddin (Anak Bungsu Tuan Tanah)

Lasuddin merupakan tokoh utama dalam cerpen ini, karena

seluruh pusat cerita berpangkal dan berakhir pada sosok Lasuddin.

Meskipun tokoh Lasuddin tidak memiliki dialog sama sekali, akan

tetapi narator memusatkan cerita pada proses sunat rasul yang

sedang dialami oleh Lasuddin. Kisah dibuka dengan situasi yang

menegangkan ketika dokter spesialis mulai melakukan proses

sunat, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

“Menitik air mata anak sunatan itu ketika jarum bius yang

pertama menusuk kulit yang akan segera dipotong.

Lambat-lambat obat bius yang didesakkan dokter spesialis

dari dalam tabung injeksi menggembung di sana. Dan anak

sunatan itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan

sakit yang perih, sementara dagunya ditarik ke atas oleh

pakciknya, agar tidak melihat kecekatan tangan dokter

spesialis itu menukar-nukar alat bedah yang begitu sering

dipraktikkan. Kemudian kecemasan makin jelas tergores di

wajah anak sunatan itu. Dia mulai gelisah.”12

Karakter Lasuddin diceritakan melalui metode showing, yakni

metode yang mengandalkan pemaparan watak tokoh dialog

12

Ibid, h.67.

Page 64: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

52

maupun tindakan tokoh. Hal itu dapat dilihat pada yang

menggambarkan bahwa Lasuddin merupakan anak pemberani,

meskipun ia merasa kesakitan ketika disuntikkan obat bius oleh

dokter sunat, namun ia masih mencoba menahannya. Selain

pemberani, Lasuddin juga digambarkan sebagai anak yang

penurut. Hal itu disampaikan oleh tokoh lain, seperti yang tampak

dalam kutipan berikut.

“Tidak. Mudah-mudahan tidak. Lasuddin anak penurut,

tidak seperti abang-abangnya. Sungguh dia anak penurut.

Aku masih ingat almarhum Kamaruddin, tidak mau

mengindahkan kata-kataku. Jangan melompat-lompat dan

banyak lari-larian, sehari sebelum disunat. Tapi ia tidak

mengindahkannya. Terus saja berlarian bersama teman-

temannya. Dia seperti lupa akan disunat esok paginya.

Akibatnya darahnya turun. Dan dukun pun tak mampu

mengatasi.”13

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Lasuddin merupakan

anak yang penurut. Karakter Lasuddin tersebut disampaikan oleh

ibunya. Hal itulah yang kemudian disebut dengan teknik pelukisan

tokoh melalui metode showing.

b. Ibu (Istri Tuan Tanah)

Istri Tuan Tanah digambarkan sebagai sosok yang mudah

dipengaruhi. Hal itu terlihat dari kepercayaannya terhadap ramalan

dukun-dukun mengenai dua orang anaknya yang meninggal

setelah disunat. Berikut adalah kutipan yang mempertegas

penokohan istri Tuan Tanah.

“Aku masih saja khawatir. Ramalan dukun-dukun itu mulai

lagi mengganggu pikiranku. Kau juga mulai diganggu

ramalan mereka?”14

13

Ibid, h.73. 14

Ibid, h.71.

Page 65: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

53

“Aku masih ingat, mereka menyebarkan ke seluruh

kampung ramalan-ramalan itu. Benarkah akan terjadi

seperti yang mereka katakan, bahwa semua keturunan kita

akan musnah di ujung pisau sunat? Yakinkah kau akan

itu?”15

Kutipan di atas menegaskan bahwa karakter Istri Tuan Tanah

mudah dipengaruhi. Ia bahkan meyakini ramalan-ramalan dukun

yang mengatakan bahwa kematian anaknya disebabkan oleh pisau

sunat. Ia percaya bahwa ada dukun-dukun yang mengilmui pisau

sunat anaknya karena diminta oleh orang-orang yang dendam atas

perilaku suaminya. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah

ini.

“…. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya desas-desus

itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui luka di

kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu

karena kesombonganmu, kekikiranmu, angkuhmu dan tak

mau tahu dengan mereka. Aku yakin, mereka menaruh

racun di pisau dukun-dukun itu.”16

Selain mudah dipengaruhi, istri Tuan Tanah juga memiliki sifat

mudah mengeluh. Ia lebih memilih mengeluh daripada berdoa

untuk keselamatan anak bungsunya yang sedang disunat. Hal itu

dapat dibuktikan dalam kutipan berikut.

“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti ini,

dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh,

Tuhanku!” keluh wanita itu di antara isakannya.”17

“Oh Tuhan, cukuplah anak yang dua ini Engkau ambil

ketika sedang ku sucikan. Mengapa Engkau coba hamba-

Mu seberat ini? Lanjutkan keturunan kami, ya Allah. Oh

15

Ibid, h.72. 16

Ibid, h.74. 17

Ibid, h.70

Page 66: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

54

anak-anakku yang malang…. Mengapa mesti mereka yang

menanggung semua ini?”18

Kutipan tersebut membuktikan bahwa istri Tuan Tanah

memiliki sikap mudah mengeluh dan pesimis. Meskipun pada

kutipan di atas istri Tuan Tanah memanjatkan doa kepada Tuhan,

akan tetapi ia juga mengeluhkan cobaan yang pernah

menimpanya.

c. Tuan Tanah

Tuan Tanah dalam cerpen digambarkan sebagai sosok yang

tamak, rakus, kikir, dan angkuh, bahkan tidak peduli pada

kesulitan orang lain. Ia hanya peduli pada harta yang ia miliki.

Pelukisan tokoh Tuan Tanah dalam cerpen ini memiliki kesamaan

dengan pelukisan tokoh Lasuddin. Tuan Tanah dikisahkan dengan

metode showing, yakni dilukiskan melalui dialog tokoh lain, yaitu

melalui dialog yang disampaikan oleh istri Tuan Tanah. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini kau

lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu belum

cukup. Mereka minta lebih banyak, memusnahkan seluruh

keturunan. Menginginkan kematian Lasuddin juga. Oh

apakah anak yang tak berdosa itu akan mengulang nasib

abang-abangnya? Hanya buat menebus sikapmu yang kikir,

tamak, lintah darat. Oh, malangnya. Kejam sekali dendam-

dendam itu.”19

Pada kutipan di atas, Hamsad berusaha menggambarkat sifat

dan karakter tokoh Tuan Tanah melalui tokoh Istri, bahkan dalam

beberapa dialog, Istri mengungkapkan bahwa kematian kedua

anaknya disebabkan oleh perilaku suaminya yang tamak, kikir, dan

rakus layaknya seorang lintah darat. Di samping serakah, Tuan

18

Ibid, h.70 19

Ibid, h.74.

Page 67: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

55

Tanah juga memiliki sifat sombong. Ia merasa bahwa apapun bisa

dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang ia miliki. Hal itu

terdapat dalam kutipan berikut.

“Kalau benar begitu, apalagi yang sekarang mereka

sakitkan hati? Aku telah lama mengubah sikapku. Tiap

kemalangan, aku datangi. Tiap derma, aku sumbang.

Tiap kesusahan, aku tolong. Tidak seorang dari mereka

yang tidak kuundang dalam pesta tadi malam. Kau lihat

kan, tiga teratak itu penuh mereka banjiri. Aku yakin

mereka telah menerimaku, memaafkanku.”20

Pada kutipan tersebut Tuan Tanah merasa bahwa kejadian yang

menimpa dua anak laki-laki sebelumnya tidak akan menimpa anak

bungsunya yang sedang disunat. Ia merasa bahwa dengan

mengubah sikap dan menyumbangkan sebagian hartanya kepada

warga, maka ia akan dimaafkan dari segala keburukan yang ia

lakukan. Walaupun ia merasa telah mengubah sikap, akan tetapi

kesombongan dan kecintaannya terhadap harta masih tertanam

dalam dirinya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh,

Tuhanku, hanya dia yang kuharap melanjutkan

keturunanku. Pewaris harta yang sebanyak ini.”21

Kutipan tersebut menegaskan bahwa perilaku Tuan Tanah

sebenarnya sulit untuk diubah karena ketika ia berdoa pun tetap

saja mengkhawatirkan dan menyombongkan hartanya. Selain

sombong, Tuan Tanah juga digambarkan sebagai sosok yang

penakut. Ia tidak ikut menyaksikan proses sunat Lasuddin, ia

hanya mengintip dan menunggu di kamar sebelah meski

kecemasan melanda pikirannya. Ia takut apa yang dialami kedua

20

Ibid, h.74. 21

Ibid, h.75.

Page 68: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

56

anaknya akan dialami juga oleh anak bungsunya. Hal itu dapat

dibuktikan pada kutipan berikut.

“Dokter baru menjepit ujung kulitnya. Aku tak sanggup

melihatnya. Beda benar dengan cara dukun sunat. Tapi kau

tak perlu khawatir, kuatkan hatimu. Bukankah katamu dia

seorang yang ahli.”22

“Mengapa Lasuddin abang tinggalkan?”23

“Aku tidak kuat melihatnya. Perutku tiba-tiba saja memulas

saat dokter menjepit dan mengangkat pisau yang mengilap,

segera akan memotong kulit ujung itu. Aku mau ke jamban

dulu.”

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Tuan Tanah tidak sanggup

melihat kondisi anaknya secara langsung. Ia berusaha meyakinkan

istrinya bahwa anaknya akan baik-baik saja, akan tetapi ia sendiri

justru tidak melihat prosesnya secara langsung.

Selain tokoh utama, dalam cerpen “Panggilan Rasul” juga

terdapat beberapa tokoh tambahan seperti Pak Cik (Paman

Lasuddin), Dokter Sunat, dan warga kampung.

Selanjutnya tokoh dan penokohan dalam cerpen “Karjan dan

Kambingnya” akan diuraikan sebagai berikut.

a. Karjan

Karjan merupakan tokoh utama dalam cerpen “Karjan dan

Kambinnya”. Karjan digambarkan sebagai sosok pekerja keras dan

lugu. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar matahari.

Dia mengangkat batu-batu yang gugur. Mencabut rumput-

rumput bila sulit ditajak dengan mata cangkul dan istirahat

kalau dia capek. Matahari membakar rumput-rumput yang

telah dicabut dan cepat menjadi kering. Sebentar-sebentar

22

Ibid, h.72. 23

Ibid, h.72.

Page 69: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

57

kereta api melintas datang dan pergi. Kadang-kadang kereta api

berselisih pada rel ganda. Suara kedua kereta api itu

memekakkan, menerbangkan debu ke daun-daun di kedua

tepinya.”24

“Aku belum dapat menandaimu. Tapi pasti kau aku kenal.

Tidak ada orang yang kenal kepadaku kalau aku tidak

mengenalnya. Tolong ingatkan aku! Aku belum

menandaimu!”25

“Parman! Ya Parman yang tidak hentinya menggaruk!”26

Kutipan pertama membuktikan bahwa sosok Karjan

merupakan sosok pekerja keras. Ia tetap melakukan pekerjaannya

meski harus tersengat teriknya matahari dan mendengar kerasnya

suara kereta api yang melintas di rel sebelahnya. Ia melakukan

pekerjaannya dengan sepenuh hati, sedangkan kutipan yang kedua

dan ketiga menggambarkan keluguan Karjan ketika bertemu

dengan sahabat lamanya Parman. Karjan yang tak mengenali

Parman, secara terang-terangan meminta Parman untuk

mengingatkan dirinya yang belum mengenali sosok Parman.

Setelah Karjan mengingat siapa Parman, untuk meyakinkan

dirinya ia menanyakan keburukan Parman yang suka menggaruk

langsung kepada Parman. Selain pekerja keras dan lugu, Karjan

juga digambarkan sebagai sosok yang jujur dan dan pantang

menyerah, seperti yang tampak pada kutipan di bawah ini.

“Kamu tinggal di mana?”27

“Di gubuk-gubuk apak di sebelah utara stasiun.”

“Kau penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”

24

Ibid, h.127. 25

Ibid, h.128. 26

Ibid, h.129. 27

Ibid, h.132.

Page 70: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

58

“Benar, Pak.”

“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana

kambing ini kau peroleh?”28

“Parman tinggal bersama kami beberapa tahun lalu di gubuk-

gubuk apak ini. Dia bosan bergelandangan di Jakarta dan

pulang ke kampungnya. Dia beternak kambing dan dialah yang

memberi kambing ini.”29

Kutipan di atas menegaskan bahwa Karjan memiliki sifat

jujur dan pantang menyerah. Ia tetap menyampaikan asal-usul dan

identitas dirinya kepada petugas keamanan yang mencurigai

dirinya. Ia pun berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan bahwa

kambing yang sedang dibawanya merupakan pemberian seorang

sahabat lama yang pernah tinggal di gubuk apak bersamanya.

b. Parman

Parman merupakan teman lama Karjan yang pernah tinggal

bersama di gubuk apak sebelah utara kawasan rel kereta api.

Parman digambarkan sebagai sosok yang baik, penuh kepedulian

dan setia kawan. Parman yang diceritakan pernah tinggal bersama

Karjan dan teman-temannya di gubuk apak nyatanya tidak pernah

melupakan apa yang telah dilaluinya bersama Karjan dan teman-

teman, meski ia tidak lagi tinggal di gubuk itu. Hal itu dapat

dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.

“Bagaimana keadaan teman-teman?”30

“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai tetap?”31

“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing. Aku

juga berkeliling membeli kambing-kambing penduduk dan

28

Ibid, h.133. 29

Ibid, h.133. 30

Ibid, h.129. 31

Ibid, h.130.

Page 71: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

59

membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh untuk kalian. Aku

masih saja tetap ingat bagaimana kita mengintip pesta teman

orang gedean di Jalan Proklamasi. Kita menelan ludah melihat

kambing guling itu.”32

“Kalian boleh makan kambing guling di malam Lebaran ini.

Aku telah siapkan satu ekor kambing untuk kalian.”33

Kutipan di atas menegaskan penokohan Parman, meskipun

tidak lagi tinggal bersama Karjan dan teman-teman, Parman tetap

menanyakan keadaan teman-temannya. Ia juga sangat peduli

kepada nasib Karjan yang tak kunjung diangkat sebagai buruh

tetap. Parman bahkan mengingat kenangan tentang keinginan

mereka menyantap kambing guling karena melihat sebuah pesta.

Kenangan seperti itu mungkin bagi sebagian orang tidak begitu

penting, tapi bagi Parman yang peduli dan memiliki rasa setia

kawan yang tinggi, hal itu sangat membekas dalam hatinya.

Kenangan itulah yang membuat Parman memberikan seekor

kambing kepada Karjan untuk dijadikan kambing guling sebagai

menu lebaran. Hal itu pula kemudian yang menjadi pemicu utama

permasalahan yang terjadi di antara Karjan dan petugas keamanan.

c. Petugas Keamanan

Petugas keamanan dalam cerpen ini digambarkan sebagai

sosok yang sombong, keras kepala, dan penuh rasa curiga. Hal itu

dapat dibuktikan dalam kutipan di bawah ini. Gagasan mengenai

ketidakadilan muncul melalui tokoh Petugas Keamanan. Hal itu

terlihat dari sikap Petugas Keamanan yang membeda-bedakan

seseorang berdasarkan status sosialnya.

“Kalau begitu kau orang miskin! Orang miskin temannya

adalah orang miskin! Jawab yang benar. Dari mana kambing

itu diperoleh.”34

32

Ibid, h.130. 33

Ibid, h.130.

Page 72: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

60

“Kau suruh aku percaya pada sesuatu yang tidak mungkin?

Tinggalkan kambing itu.”35

“Semakin tidak mungkin. Sebuah kereta api berhenti di tengah

perjalanannya hanya untuk menurunkan seekor kambing

kepadamu? Sungguh tidak masuk akal!”36

“Cukup! Jangan teruskan bualmu. Pencuri sangat pandai

berbohong. Sekarang tinggal bersama kambing itu di gardu!37

Empat kutipan di atas menegaskan penokohan Petugas

Keamanan. Kutipan pertama menggambarkan keangkuhan Petugas

Keamanan yang memandang sebelah mata status sosial Karjan

sebagai orang miskin, sedangkan kutipan kedua dan ketiga

menggambarkan sifat keras kepala Petugas Kemanan yang tetap

tidak percaya pada keterangan yang disampaikan Karjan. Ia tidak

percaya bahwa kambing yang dibawa Karjan merupakan

pemberian seseorang yang turun dari sebuah kereta yang berhenti

di tengah perlintasan. Selanjutnya, kutipan yang terakhir

menegaskan sifat Petugas Keamanan yang penuh dengan rasa

curiga, bahkan ia tetap meyakini bahwa Karjan merupakan seorang

pencuri yang sedang membawa kambing hasil curiannya.

Selanjutnya tokoh dan penokohan dalam cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji” akan diuraikan sebagai berikut:

a. Ayah (Pak Achmad)

Ayah merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Hal itu

didasarkan pada pusat cerita yang dibebankan pada sosok Ayah

dari awal hingga akhir, bahkan seperti yang telah dijelaskan di

34

Ibid, h.133. 35

Ibid, h.133. 36

Ibid, h.133. 37

Ibid, h.134.

Page 73: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

61

atas bahwa, dari sosok Ayahlah tema keteguhan iman itu

muncul. Ayah digambarkan sebagai sosok yang religius, tegas,

teguh pendirian, dan mudah tersinggung. Kereligiusan dan

ketegasan ayah dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“…Bila aku melintas di ruang depan setelah

menggantungkan lampu petromaks yang baru ku pompa

anginnya, beliau dari tikar sembahyang itu akan melihat

kepadaku. Aku dapat membaca lirikan itu: ambil air

wudhu, shalat, ambil al-Quran dan baca. Ikut mengaji di

beranda! Maka, aku yang suka berpergian saat anak-anak

para tetangga itu mengaji, seperti kucing kehujanan aku

diam-diam pergi mengambil wudhu, shalat maghrib, lalu

duduk di ruang depan dengan kitab suci, bercampur

dengan anak-anak para tetangga. Barulah kemudian Ayah

muncul di ruang depan.”38

“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau kau

tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan mengajarkan

ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang baru tumbuh? Kau

harus menjadi guru mengaji. Ajari mereka! Tidak semua

anak-anak itu berkesempatan masuk sekolah madrasah.

Mereka siang sekolah di sekolah umum, malam harinya

mengaji. Maka, orang-orang seperti kitalah yang mengajari

mereka.”

Kutipan di atas menegaskan pelukisan karakter tokoh

Ayah. Kutipan pertama menggambarkan karakter Ayah yang

tegas. Hal itu terlihat dari cerita yang disampaikan tokoh Aku.

Tokoh Aku (Hayim) menceritakan bahwa hanya dengan lirikan

ayahnya (Pak Achmad) ia langsung mengerti apa yang

dimaksud oleh ayahnya. Hal itu menunjukkan bahwa Ayah

merupakan sosok yang tegas dalam mendidik anaknya,

terutama dalam hal agama. Sementara itu, kutipan kedua

menunjukkan sikap religius Ayah yang menginginkan anaknya

38

Ibid, h.21-22.

Page 74: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

62

untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang guru mengaji.

Menurut Ayah, orang yang mengerti agama seperti dia

memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengajarkan

ilmunya kepada orang lain yang belum mengerti tentang

agama, terutama pada anak-anak kecil.

Selain memiliki sikap tegas dan religius Ayah juga

digambarkan sebagai sosok yang memiliki pendirian yang

teguh tetapi juga mudah tersinggung. Ayah yang awalnya

merupakan seorang guru mengaji bagi anak-anak tetangganya

harus rela kehilangan murid-muridnya karena kemajuan

zaman. Ia juga harus kehilangan pekerjaannya sebagai pembuat

kasur kapuk karena kehadiran kasur busa yang juga merupakan

dampak perubahan zaman. Hal itu pula yang membuat anak

dan istrinya membujuk agar Ayah mau menjadi pembaca doa

di makam. Sindiran demi sindiran yang disampaikan istri dan

anaknya membuat Ayah merasa tersinggung. Hal itu terlihat

pada kutipan berikut.

“Mulai pula kau ikut-ikutan menyindirku. Cukuplah ibumu

saja. Jangan kau ikut-ikutan.”39

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ayah merasa

tersinggung atas sindiran-sindiran istri dan anaknya yang terus

membujuk untuk beralih profesi menjadi pembaca doa di

pemakaman. Akan tetapi Ayah tetap memiliki pemikiran yang

berbeda dari anak dan istrinya. Ayah yang awalnya tidak

menuruti saran dari anak dan istrinya, ia akhirnya menuruti

saran istri anaknya untuk menjadi pembaca doa di pemakaman,

39

Ibid, h.29.

Page 75: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

63

meskipun niat dan tujuannya sangat berbeda dengan istri dan

anaknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin dan

doa bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku katakan semua

ini kulakukan karena terpaksa. Ayat suci bukan untuk

orang yang telah mati. Tetapi untuk petujuk bagi orang

yang masih hidup. Ayat itu dibaca dan diamalkan, menjadi

pedoman bagi kita dan bekal untuk menolong hidup setelah

mati. Maka ku katakan kepada mereka agar mempelajari

agama serta mengamalkannya. Selalu setiap selesai

membaca doa, aku berkata begitu kepada mereka. Aku

adalah guru agama. Aku mengajarkan agama dan membaca

ayat suci al-Qur’an kepada murid-muridku. Tetapi, karena

murid-murid tidak ada lagi yang hendak menuntut ilmu

agama di tempatku, maka aku terpaksa membacakan ayat-

ayat dan segala doa di makam ini untuk mereka. Siapa

yang mendengar? Orang yang meminta. Kalian inilah.

Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai pelengkap waktu

berziarah ke makam sanak keluarga. Bukan semacam

kebutuhan untuk penerang pada jalan hidup di dunia dan

bekal untuk di akhirat.40

Kutipan di atas membuktikan kegigihan dan keteguhan

pendirian yang dimiliki Ayah. Sikap itu pula yang kemudian

menjadi tema utama dalam cerpen ini. Ayah digambarkan

sebagai seorang guru mengaji yang tidak tergerus oleh

kemajuan zaman, ia masih memiliki keteguhan dan keyakinan

mengenai pentingnya menebar kebaikan dengan mengajarkan

ilmu agama. Ia tetap mengajarkan ilmu agama seperti ketika ia

menjadi seorang guru mengaji, tetapi dengan cara yang sangat

berbeda. Ia harus menjadi pendoa di makam sekaligus

berdakwah dan mengajarkan ilmu agama seperti yang

diyakininya.

40

Ibid, h.33.

Page 76: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

64

b. Aku (Hayim)

Aku (Hayim) dalam cerpen ini bertindak sebagai tokoh

tambahan sekaligus narator. Aku (Hayim) memiliki

karakter yang hampir sama dengan ibunya. Aku (Hayim)

berpikiran realistis dan perhitungan. Hal itu dapat dilihat

pada kutipan berikut.

“Tetapi, Ayah,” kataku. “Ayah dibayar berapa oleh

orang tua mereka? Semau mereka saja, bukan?

Untuk membeli minyak tanah sebulan saja tidak

cukup.”41

“Tetapi, para mubaligh kaya raya. Sekarang sudah

tidak saatnya bersikap seperti itu, Ayah. Semua

orang disekitar tempat kita ini sudah memasukkan

listrik ke rumah mereka. Apa salahnya kalau Ayah

meminta kesediaan orang tua murid-murid Ayah

untuk memasukkan listrik ke rumah kita? Aku capek

memompa listrik.42

Kedua kutipan di atas menegaskan karakter Aku yang

sangat realistis dalam memandang kehidupan. Tokoh Aku

memiliki pandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan

harus mendapat imbalan atau balasan. Selain realistis, Aku

juga memiliki watak yang sama dengan ibu yaitu suka

menyindir. Aku secara tidak langsung menyindir Ayah,

seperti yang tampak pada kutipan berikut.

“Kasur yang ku buat, kapuknya tidak tanggung-

tanggung.”43

“Itu baru kasur ya, Yah!”44

41

Ibid, h.23. 42

Ibid, h.23.` 43

Ibid, h.26. 44

Ibid, h.26.

Page 77: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

65

Kutipan tersebut membuktikan bahwa Aku memiliki

sifat yang sama dengan Ibu, yaitu suka menyindir. Pada

kutipan tersebut Aku sedang menyindir kasur buatan Ayah

yang mulai tergantikan dengan adanya kasur busa keluaran

terbaru. Ayah mengakui kelemahan kasur buatannya

dibanding kasur busa keluaran pabrik, akan tetapi Aku

yang tak lain adalah anaknya masih saja mengolok-olok hal

itu.

c. Ibu

Ibu digambarkan seperti sosok ibu-ibu pada umumnya

yang berpikir realistis untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ibu memiliki karakter suka menyindir dan iri hati. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Lalu kapan orang datang lagi memesan kasur

buatanmu? Mana ucapan-ucapan memuji yang

diucapkan mereka waktu memesan kasur buatanmu

itu? ‘Malam pengantin terasa hambar kalau tidak

tidur di kasur buatan Pak Achmad!’ Ingin aku

mendengar ucapan itu dilontarkan mereka sambil

melihat benang pengikat dalam kasur itu,” kata ibu

pula.45

“Bapak Sanusi tadi menerima seekor kambing dari

seorang peziarah. Rupanya nadzar orang yang

memberi kambing itu diwujudkannya. Pak Sanusi

mendoakan orang itu berumur panjang, sehat, murah

rezeki dan naik pangkat. Semua itu terkabul. Pak

Sanusi menjual kambing itu ke pasar Tanah

Abang. Puluhan ribu dapatnya!”46

Kedua kutipan di atas menggambarkan karakter

tokoh Ibu. Kutipan pertama menggambarkan sifat Ibu

45

Ibid, h.25. 46

Ibid, h.30.

Page 78: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

66

yang suka menyindir. Hal itu terlihat dari pujian yang

bernada ejekan tentang kasur buatan Ayah yang dulu

dielu-elukan sedangkan kutipan kedua menggambarkan

sifat iri hati yang dimiliki Ibu. Pada kutipan tersebut, Ibu

sedang menceritakan bahwa Pak Sanusi yang tak lain

adalah teman suaminya, baru saja mendapatkan seekor

kambing dari seseorang yang ia doakan di area

pemakaman. Hal itu dilakukan Ibu untuk mempengaruhi

Ayah agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman.

Pada cerpen ini, tokoh Aku dan Ibu berdasarkan

perannya dalam cerita dikategorikan sebagai tokoh

tambahan yang mendukung munculnya konflik antara

keyakinan Ayah sebagai tokoh utama. Keyakinan yang

dimaksud adalah terkait prinsip hidup Ayah dalam

mengajarkan ajaran agama kepada orang yang

membutuhkan.

3. Alur

Secara umum alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa

dalam sebuah cerita. istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-

peristiwa yang terhubung secara kausal saja.47

Alur atau plot memiliki

lima tahapan yaitu dimulai dari tahap penyituasian, pemunculan

konflik, peningkatan konflik, klimaks, dan penyelesaian.

Tiga cerpen dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul”

memiliki alur yang berbeda. Alur yang terdapat pada cerpen

“Panggilan Rasul” dan “Karjan dan Kambingnya” adalah alur maju,

sedangkan alur yang digunakan cerpen “Ayahku Seorang Guru

47

Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan

Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),h.26.

Page 79: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

67

Mengaji” adalah alur mundur. Berikut akan diuraikan lebih lanjut alur

dari ketiga cerpen tersebut.

Alur yang digunakan dalam cerpen “Panggilan Rasul” adalah

alur maju. Hal itu terlihat dari suasana yang dimunculkan di awal

cerita. Kisah dibuka dengan adegan Dokter yang membius anak Tuan

Tanah yang akan disunat. Peristiwa demi peristiwa bergerak secara

kronologis hingga ditutup dengan keberhasilan Dokter menyunat anak

bungsu Tuan Tanah. Hal itu menjawab kekhawatiran keluarga dan

warga desa yang mengira bahwa Lasuddin, anak bungsu Tuan Tanah

akan bernasib sama dengan dua kakaknya yang meninggal setelah

melakukan sunat rasul.

Pemunculan konflik dalam cerpen ini ditandai dengan situasi

yang tergambar di kamar depan sebuah rumah milik Tuan Tanah. Di

kamar tersebut sebuah keluarga dirundung cemas menyaksikan

seorang anak yang sedang disunat. Anak yang sedang disunat itu

menjadi pusat perhatian seluruh keluarga, bahkan semua orang. Hal itu

dapat dibuktikan dengan kutipan berikut.

“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang mendalam—

satu rumpun keluarga anak sunatan itu terus menancapkan

mata mereka ke arah yang sama; keseluruhannya tidak beda

sebuah lingkaran di mana dokter dan anak lelaki itu sebagai

sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan

semalam suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak

di depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu. tetapi

mereka bergegas bangun, ketika mendadak derum mobil

terdengar memasuki pekarangan pada subuh itu. Mereka

mengiringi langkah dokter naik tangga, dan sejurus kemudian

terciptalah lingkaran di kamar depan.”48

Selanjutnya masuk pada tahap peningkatan konflik. Peningkatan

konflik terjadi ketika orang tua anak yang sedang disunat, yakni Tuan

48

Ibid, h.67-68.

Page 80: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

68

Tanah dan istrinya ketika mengenang peristiwa yang menimpa dua

anaknya beberapa tahun yang lalu. Dua anak lelakinya meninggal

dunia setelah disunat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Cermat sekali perempuan itu melangkah ke dinding. Gambar-

gambar itu diturunkannya. Satu persatu ditatapnya erat-erat

seolah tak pernah ia selama ini melihatnya. Lalu mata yang

kemerah-merahan menahan tangis sejak pesta mulai sunyi,

perlahan kelopaknya dirapatkan. Segumpal besar air mata

bergulir di pipinya dan menitik menimpa kaca gambar itu.

Perlahan sekali gambar itu ia balikkan. Karton yang berdebu

diusapinya dengan ujung baju, samar-samar membayang

sederet tulisan. Ia tampak seperti membaca tulisan itu:

Kamaruddin, anak tertua, disunat rasul tanggal 6 Februari

1952. Meninggal pada tanggal 6 Februari 1952.49

Peningkatan konflik terjadi pada kutipan di atas, ditandai dengan

Istri Tuan Tanah yang menghubungkan peristiwa yang menimpa anak

lelakinya beberapa tahun lalu dengan anaknya yang sedang di sunat.

Konflik terus beranjak meningkat hingga mencapai klimaks ketika

sang istri menyalahkan suaminya. Istri menganggap perilaku suaminya

menyebabkan orang-orang menaruh dendam dan bermaksud

menghabisi seluruh keturunannya. Hal itu dapat dibuktikan pada

kutipan di bawah ini.

“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini kau

lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu belum cukup.

Mereka minta lebih banyak, memusnahkan seluruh keturunan.

Menginginkan kematian Lasuddin juga. Oh apakah anak yang

tak berdosa itu akan mengulang nasib abang-abangnya? Hanya

buat menebus sikapmu yang kikir, tamak, lintah darat. Oh,

malangnya. Kejam sekali dendam-dendam itu.50

Kutipan tersebut mempertegas ketegangan yang terjadi antara

Istri dan Tuan Tanah. Istri menganggap bahwa perubahan perilaku

49

Ibid, h.70. 50

Ibid, h.74.

Page 81: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

69

suaminya tidak akan mengurangi rasa sakit hati orang-orang yang

pernah disakitinya. Ia tetap mengkhawatirkan kondisi anak bungsunya

yang sedang disunat. Konflik diselesaikan dengan kepasrahan Tuan

Tanah dan Istrinya kepada Allah SWT. Kepasrahan tersebut dilakukan

karena hanya Tuhanlah yang mampu menyelamatkan nyawa anak

bungsunya. Hal itu dibuktikan pada kutipan di bawah ini.

“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh, Tuhanku,

hanya dia yang kuharap melanjutkan keturunanku. Pewaris

harta yang sebanyak ini.”51

“Doa suami itu dilanjutkan oleh istrinya, “Mudah-mudahan

Engkau Yang Maha Pengasih, Yang Maha Kuasa,

memperkenankan doa hamba-Mu ini.”52

Kutipan di atas membuktikan bahwa Tuan Tanah dan Istrinya

mencoba untuk berbaik sangka dan mendoakan keselamatan anaknya.

Meskipun dalam doa yang dipanjatkan suaminya masih mencerminkan

kesombongannya sebagai Tuan Tanah.

Cerpen yang kedua adalah cerpen “Karjan dan Kambingnya”.

Alur yang digunakan dalam cerpen ini juga merupakan alur maju.

Cerita dibuka dengan gambaran latar yang berupa rel kereta api yang

mulai ditumbuhi rerumputan karena batu-batu di bantalan rel mulai

hilang akibat laju kereta dan aktivitas manusia yang berlalu lalang di

atasnya. Cerita terus bergerak secara kronologis dari awal hingga

akhir. Konflik mulai terlihat ketika Karjan menerima kambing

pemberian sahabat lamanya yang bernama Parman. Hal itu terlihat

pada kutipan berikut.

“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing. Aku

juga berkeliling membeli kambing-kambing penduduk dan

membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh untuk kalian. Aku

51

Ibid, h.75. 52

Ibid, h.75.

Page 82: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

70

masih saja tetap ingat bagaimana kita mengintip pesta teman

orang gedean di Jalan Proklamasi. Kita menelan ludah melihat

kambing guling itu.”53

“Kalian boleh makan kambing guling di malam Lebaran ini.

Aku telah siapkan satu ekor kambing untuk kalian.”54

Kutipan di atas memperlihatkan tahap pengenalanan konflik,

yakni tahap ketika konflik dalam sebuah cerita mulai dimunculkan

oleh pengarang. Dalam kutipan tersebut, Parman yang tak lain adalah

sahabat lama Karjan ingin memberikan seekor kambing sebagai oleh-

oleh sekaligus mengobati keinginan Karjan dan teman-teman yang

belum pernah menyantap kambing guling. Parman merasa terharu

ketika mengenang saat tinggal bersama Karjan dan teman-teman yang

hanya bisa menyaksikan pesta orang kaya dengan menu kambing

gulingnya harus menelan ludah karena mereka saat itu tidak mampu

membeli seekor kambing. Jadi, dengan memberikan seekor kambing,

Parman berharap agar Karjan dan teman-temannya bisa menikmati

lezatnya seekor kambing guling. Akan tetapi, kambing pemberian

Parman itulah yang menjadi pemicu kecurigaan seorang petugas

keamanan.

Konflik mulai meningkat ketika Karjan bertemu dengan seorang

petugas keamanan. Petugas keamanan yang berjaga di gardu

keamanan menaruh curiga ketika Karjan membawa seekor kambing

bandot. Kecurigaan tersebut dapat dibuktikan dengan kutipan di

bawah ini.

“Kambing ini pemberian teman saya.”55

“Kamu tinggal di mana?”56

53

Ibid, h.130. 54

Ibid, h.131. 55

Ibid, h.132. 56

Ibid, h.132.

Page 83: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

71

“Di gubuk-gubuk apak di sebelah stasiun.”57

“Kamu penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”58

“Benar, Pak.”59

“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar.

Dari mana kambing ini?”60

Kutipan di atas menandai adanya peningkatan konflik. Hal itu

dilihat dari kecurigaan petugas keamanan kepada Karjan. Kecurigaan

petugas keamanan semakin menjadi-jadi ketika ia mengetahui bahwa

Karjan tinggal di gubuk-gubuk sebelah utara stasiun. Petugas

keamanan semakin tidak mempercayai Karjan, karena menurut

pendapatnya orang miskin tidak mungkin memiliki seekor kambing.

Konflik terus berlanjut dan semakin meruncing ketika petugas

keamanan terus menanyai dari mana kambing itu berasal. Konflik

mencapai klimaks ketika petugas menetapkan Karjan sebagai pencuri.

Petugas keamanan tidak mempercayai penjelasan yang disampaikan

Karjan. Ia tetap mempertahankan keyakinannya bahwa tidak mungkin

teman Karjan yang miskin mampu memberikan Karjan seekor

kambing. Hal itu diperkuat dengan kutipan berikut.

“Cukup! Jangan teruskan bualmu. Pencuri sangat pandai

berbohong. Sekarang tinggal bersama kambing itu di gardu!”61

“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti kamu,

temannya adalah orang-orang miskin. Orang miskin tidak

mungkin memberi kambing kepada orang miskin.”62

57

Ibid, h.133. 58

Ibid, h.133. 59

Ibid, h.133. 60

Ibid, h.133. 61

Ibid, h.134. 62

Ibid, h.134.

Page 84: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

72

Kutipan tersebut mempertegas klimaks pada cerpen ini. Hal itu

ditandai dengan pernyataan petugas keamanan yang menyebut Karjan

sebagai pencuri. Ketegangan tergambar jelas ketika petugas keamanan

menganggap keterangan yang disampaikan Karjan hanyalah sebuah

kebohongan. Konflik diselesaikan dengan penangkapan Karjan oleh

petugas keamanan. Petugas keamanan tetap meyakini bahwa kambing

yang dibawa Karjan adalah hasil curian. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan berikut.

“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang kaya.

Ingat! Dan ini perlu kau camkan: orang kaya, temannya adalah

orang-orang kaya. Orang miskin, temannya adalah orang-orang

miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing

kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu, saudara

kami tangkap!”63

Kutipan tersebut membuktikan bahwa konflik diakhiri dengan

penangkapan Karjan oleh petugas keamanan dengan alasan bahwa

Karjan tidak mungkin memiliki teman yang mampu memberinya

seekor kambing. Perlakuan tersebut termasuk tindakan diskriminatif,

bahkan dapat dikategorikan sebagai “tindakan semena-mena” karena

menghakimi seseorang berdasarkan status sosialnya.

Berbeda dengan alur kedua cerpen di atas, cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji” memiliki alur mundur (flash back), yaitu

tahapan peristiwa dibangun dari peristiwa yang pernah terjadi

sebelumnya. Hal itu dapat dilihat pada bagian awal cerpen, ketika Aku

sebagai narator mengenang masa kecilnya, seperti yang tampak pada

kutipan berikut.

“Suara orang mengaji itu secara perlahan kurasakan seperti

mengukir masa kecilku. Ayah adalah seorang guru mengaji.

Murid-murid beliau datang dari sekitar rumah kami, anak-anak

para tetangga. Setiap malam, kecuali malam Jumat, setelah

63

Ibid, h.134.

Page 85: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

73

shalat Maghrib berdatanganlah dengan suara terompah di atas

batu kerikil. Aku sudah terbiasa memindahkan lampu

petromaks ke beranda, ke tempat murid-murid Ayah membaca

Al-Qur’an…”64

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa alur yang digunakan

pengarang dalam cerpen ini adalah alur mundur. Kisah diawali dengan

cerita yang disampaikan Aku, ketika ia mendengar suara orang

mengaji yang mengingatkannya kenangan masa kecil. Kisah bergerak

mundur ketika Aku mengingat sosok Ayahnya yang merupakan

seorang guru mengaji. Perjuangan seorang guru mengaji yang

memiliki keyakinan kuat tentang pengamalan ilmu agama dan nilai-

nilai kehidupan. Aku menceritakan jatuh bangun sosok Ayah baik

dalam pekerjaannya sebagai pembuat kasur maupun panggilan jiwanya

sebagai seorang guru mengaji.

Pemunculan konflik terjadi ketika listrik mulai masuk ke

kampung mereka. Hampir setiap rumah di kampung memasang listrik

dan menggunakan pesawat televisi. Perubahan itulah yang kemudian

membuat murid-murid Ayah semakin berkurang bahkan sampai habis

tak tersisa, hingga Ayah tidak lagi mengajar mengaji. Hal itu dapat

dilihat pada kutipan berikut.

“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk di

sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah memasang

listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat Ayah hanya

mengajar sepuluh murid di bawah cahaya lampu petromaks.

Murid-muridnya yang lain lebih tertarik menyimak acara di

televisi daripada menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah.

Murid yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang

satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang

mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga

kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah

sudah tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku

64

Ibid, h.21.

Page 86: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

74

hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan

seluruh muridnya.”65

Pemunculan konflik pada kutipan di atas ditandai dengan

masuknya aliran listrik dan maraknya warga yang membeli televisi

berimbas pada berkurangnya murid-murid yang belajar mengaji pada

Ayah. Murid-murid Ayah lebih memilih menyimak acara televisi

dibanding membaca al-Qur’an seperti biasanya. Hal itulah yang

menjadi titik awal permasalahan dalam cerpen ini. Konflik terus

bergulir, bukan hanya kehilangan murid, Ayah pun harus kehilangan

pekerjaannya sebagai pembuat kasur. Kasur buatan Ayah kalah

bersaing dengan kasur karet buatan pabrik. Kedua hal itu merupakan

dampak dari perubahan zaman yang kemudian menjadi konflik

keluarga Ayah. Konflik semakin meningkat ketika Ibu (Istri)

menyarankan Ayah untuk beralih profesi menjadi pembaca doa di

pemakaman. Ibu menyarankan hal itu karena menurutnya dengan

menjadi pembaca doa, Ayah dapat membantu menopang kebutuhan

hidup mereka. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Kau hafal semua ayat. Peziarah- peziarah itu suka dengan

ayat-ayat yang panjang. Makin lama doa dibacakan, kata Pak

Sanusi, para peziarah itu suka memberi uang banyak. Mulailah,

dari pada menganggur. Atau pelajari dulu situasinya. Datang

ke makam. Perhatikan mereka dari tempat aku menjual bunga.

Payung ada di belakang. Pakai sarung. Jangan pakai pantalon.

Kalau orang telah mengenal Pak Achmad sebagai pendoa yang

baik di pemakaman, tentu kau telah menemukan mata

pencaharian baru. Cobalah! Kelebihan jangan dipendam di

rumah.”66

Kutipan di atas membuktikan bahwa konflik mulai mengalami

peningkatan. Hal itu ditandai dengan Ibu yang berusaha membujuk

65

Ibid, h.24. 66

Ibid, h.27-28.

Page 87: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

75

Ayah agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman seperti Pak

Sanusi. Ibu berharap dengan menjadi pembaca doa di pemakaman,

Ayah tidak lagi menjadi seorang pengangguran. Akan tetapi pemikiran

Ibu bertentangan dengan pemikiran Ayah, karena bagi Ayah menjadi

pembaca doa di pemakaman bukanlah sebuah pekerjaan. Konflik

bukan hanya terjadi antara Ayah, Aku, dan Ibu, tetapi justru dalam diri

Ayah sendiri yang sesungguhnya tidak ingin melakukan anjuran Ibu

untuk menjadi pendoa di pemakaman. Akan tetapi, kebutuhan dan

tekanan menyebabkan Ayah mengikuti anjuran Ibu, meski pada

kenyataannya Ayah masih memegang teguh keyakinannya tentang

pentingnya mengajarkan ayat suci alquran. Konflik yang terjadi dalam

cerpen ini mencapai klimaks, ketika Ayah memilih menjadi guru

mengaji panggilan dibanding menjadi pembaca doa di pemakaman.

Hal itu ia putuskan bukan karena materi, tetapi karena prinsip yang ia

pegang teguh, bahwa “Ajaran agama untuk orang yang masih hidup,

bukan untuk orang yang telah meninggal”, seperti yang tampak pada

kutipan di bawah ini.

“Peristiwa itu membuka jalan bagi Ayah. Hampir tiap hari

Ayah dijemput ke rumah orang yang baru kematian istrinya itu.

Ayah juga mengajarkan membaca ayat suci al-Qur’an. Ayah

telah menjadi guru mereka. Hampir tiap hari Ayah

meninggalkan rumah. Ayah mengajarkan mengaji ke rumah-

rumah orang kaya, tetangga orang yang baru kematian istrinya

itu.”67

“Banyak permintaan untuk mengajar agama di rumah-rumah

sahabat mereka. Aku hampir tidak punya waktu. Kupikir

kesempatan mengajar harus diberikan juga kepada Pak Sanusi.

Ajaran agama untuk orang yang hidup! Bukan untuk orang

yang telah meninggal. Pak Sanusi mungkin sependapat dengan

aku! Dia harus mengajar kembali. Banyak orang kaya mencari

guru agama untuk mendidik anak-anak mereka. Mereka tidak

67

Ibid, h.35.

Page 88: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

76

sempat mengantarkan anak-anak mereka ke surau-surau atau

ke rumah guru mengaji. Mereka mendatangkan guru agama ke

rumah mereka. Pak Sanusi harus ku ajak. Sayang ilmu

agamanya hanya dibacakan untuk orang yang telah mati. Pak

Sanusi harus ku ajak. Agama untuk orang yang hidup! Bukan

untuk orang yang mati!68

Kutipan di atas mempertegas klimaks atau puncak konflik dalam

cerpen ini. Pada kutipan di atas Ayah yang sudah mencoba menjadi

pembaca doa di pemakaman, akhirnya memutuskan untuk kembali

menjadi seorang guru mengaji, setelah menemukan jalan melalui

seorang peziarah yang memintanya menjadi guru mengaji bagi anak-

anaknya. Ia memutuskan untuk menjadi guru mengaji panggilan,

karena menurutnya ajaran agama hanya untuk orang yang masih hidup.

Ajaran tersebut dapat dijadikan pedoman dan bekal untuk menghadapi

kehidupan setelah kematian. Bukan malah sebaliknya, mengajarkannya

kepada orang yang ada di alam kubur. Walaupun demikian, prinsip dan

pemikiran Ayah sulit diterima Ibu yang selalu berorientasi kepada nilai

duniawi. Ibu selalu membandingkan rizki yang diperoleh Pak Sanusi

dan Ayah. Akan tetapi Ayah tetap memegang teguh keyakinannya

dalam mengajarkan ilmu agama.

Tahapan alur yang terakhir adalah penyelesaian konflik. Konflik

dalam cerpen ini diakhiri dengan buah kesabaran dan keyakinan Ayah

terhadap agama serta kehendak Allah. Keyakinannya terhadap agama

dan Sang Pencipta mampu mengantarkan Ayah ke Tanah Suci, seperti

yang tampak pada kutipan berikut.

“Orang kaya yang kematian istri itu meminta aku ikut ke tanah

suci sebagai pembimbing agama mereka.Orang kaya itu beserta

anak-anaknya akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Aku

mereka minta ikut bersama mereka.”69

68

Ibid, h.36. 69

Ibid, h.38.

Page 89: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

77

Kutipan tersebut membuktikan bahwa konflik diakhiri dengan

rezeki yang tak terduga yang didapatkan Ayah. Seperti yang tampak

pada kutipan di atas, Ayah diminta menjadi pembimbing ibadah haji

orang kaya yang istrinya telah meninggal. Ayah diminta ikut bersama

orang kaya tersebut bersama anak-anaknya.

4. Latar

Stanton mendefinisikan latar sebagai lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, serta semesta yang

berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung. Latar

dibagi menjadi tiga macam yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar

sosial. Latar waktu menujukkan waktu terjadinya peristiwa dalam

cerita sedangkan latar tempat menunjukkan tempat atau lokasi

terjadinya cerita, dan latar sosial menggambarkan situasi sosial

masyarakat dalam cerita.

a. Latar Waktu

Latar waktu yang digambarkan dalam cerpen “Panggilan

Rasul” adalah pagi hari. Cerita dimulai dengan adanya kecemasan

yang meliputi sekeluarga yang akan melakukan proses sunat rasul

anak bungsunya. Proses sunat itu dilakukan pada pagi hari setelah

pesta usai dilaksanakan. Berikut adalah kutipan yang menegaskan

pernyataan tersebut.

“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang

mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu terus

menancapkan mata mereka ke arah yang sama;

keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana

dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka semua

masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk melayani

tetamu yang membanjiri tiga teratak di depan rumah,

belum hilang dalam masa sesingkat itu. tetapi mereka

Page 90: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

78

bergegas bangun, ketika mendadak derum mobil terdengar

memasuki pekarangan pada subuh itu...”70

Kutipan di atas menggambarkan suasana menegangkan

ketika sekeluarga menunggui proses sunat rasul. Pada kutipan di

atas disebutkan kata subuh sebagai penanda bahwa peristiwa yang

ada dalam cerita terjadi di pagi hari.

Selanjutnya adalah latar waktu pada cerpen “Karjan dan

Kambingnya”. Pada cerpen ini pengarang menggambarkan

suasana sore dan malam hari sebagai waktu yang menandai

terjadinya cerita. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Hari itu Karjan melihat kereta api barang datang dari luar kota

menuju stasiun. Waktu itu hampir jam lima sore.”71

“Kami melihat pesta kambing guling beberapa tahun yang lalu.

Malam ini dia hadiahkan kepada kami satu ekor kambing

guling. Percayalah, Pak.”72

Kutipan pertama menggambarkan latar waktu sore hari,

seperti yang terlihat dari penceritaan tokoh Karjan yang melihat

kereta api barang melintasi rel. Pengarang menyebutkan bahwa

sore itu, waktu hampir memasuki pukul lima sore. Sementara itu,

pada kutipan kedua latar waktu menunjukkan suasana malam hari.

Hal itu terlihat dari dialog yang disampaikan Karjan ketika

menjawab pertanyaan petugas keamanan. Karjan mengucapkan

kata malam ini, kata tersebut menegaskan latar waktu yang

digambarkan dalam cerpen.

Pada cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”, latar waktu

yang digunakan pengarang adalah malam dan pagi hari. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan berikut.

70

Ibid, h.68. 71

Ibid, h.127. 72

Ibid, h.133.

Page 91: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

79

“…Setiap malam, kecuali malam Jum’at, setelah salat

Maghrib berdatanganlah dengan suara terompah di atas

batu kerikil. Aku sudah terbiasa memindahkan lampu

petromaks ke beranda, ke tempat murid-murid Ayah

membaca al-Qur’an…”73

“Masih pagi manalah ada. Bagaimana Ayah ini. Belum

tampak seorang pun,” kataku. “Ada orang datang memesan

kasur.”74

Kutipan pertama menegaskan bahwa waktu terjadinya

cerita adalah malam hari. Latar waktu malam hari digunakan

pengarang digunakan untuk mempertegas penokohan Ayah

sebagai seorang guru mengaji yang mengajar mengaji di malam

hari. Selain malam hari, peristiwa yang terjadi dalam cerpen

tersebut juga terjadi di pagi hari, seperti yang dijelaskan pada

kutipan kedua.

Berdasarkan latar waktu yang tergambar dari ketiga cerpen

di atas, dapat disimpulkan bahwa latar waktu digunakan

pengarang untuk mendasari situasi dan suasana yang terjadi dalam

cerita. Selain itu, latar waktu juga dapat mendukung aspek

imajinatif yang dimunculkan dalam cerita.

b. Latar Tempat

Latar tempat pada dasarnya memiliki fungsi yang sama

dengan latar waktu. Selain menjadi landas tumpu, latar tempat

juga berfungsi memberi kesan seolah-olah peristiwa dalam cerita

benar-benar terjadi.

Latar tempat pada cerpen “Panggilan Rasul” adalah rumah

Tuan Tanah di sebuah desa yang tidak disebutkan namanya. Tuan

Tanah tersebut dikisahkan sedang mengkhitan atau menyunat anak

73

Ibid, h.21. 74

Ibid, h.29.

Page 92: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

80

bungsunya. Akan tetapi, proses sunat rasul anak Tuan Tanah

tersebut bukan proses sunat rasul biasa. Proses tersebut

mengundang kegelisahan Tuan Tanah dan Istrinya, dan rasa

penasaran warga kampung. Hal itu dikarenakan dua putera Tuan

Tanah sebelumnya meninggal dunia setelah disunat. Berikut

adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.

“Bisik-bisik dari mulut ke mulut orang sekampung,

mulai ingin dibuktikan. Tiap orang sudah tahu, pagi itu

pagi sunatannya anak yang ketiga dari seorang tuan

tanah. Setiap pasang mata yang tak terbiasa bangun

subuh buta, meninggalkan kebiasaan yang

menyenangkan itu pada pagi itu. Dalam rumah, di

dapur, di beranda, di pekarangan, orang sekampung

membicarakan anak ketiga si tuan tanah. Apakah anak

terakhir itu akan mengalami nasib yang sama, itulah

yang akan dibuktikan. Tidak heran jika di pagi itu

tampak orang-orang lelaki-perempuan dalam selubung

kain sarung berlindung dari hawa dingin berbondong-

bondong-bondong berdatangan ingin kebolehan si

dokter yang khusus didatangkan dari kota.”75

Kutipan tersebut menggambarkan peristiwa yang menjadi

pusat cerita dalam cerpen “Panggilan Rasul”. Meskipun dalam

kutipan tidak disebutkan secara tersurat mengenai rumah Tuan

Tanah, akan tetapi peristiwa yang menarik perhatian tersebut

berasal dari proses sunat rasul yang dilakukan oleh anak ketiga

Tuan Tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa latar tempat yang

digunakan pengarang adalah rumah Tuan Tanah.

Secara spesifik latar tempat yang digunakan pengarang

dalam cerpen “Panggilan Rasul” adalah sebuah kamar bagian

depan Tuan Tanah, seperti yang tampak pada kutipan berikut.

“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang

mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu

75

Ibid, h.75.

Page 93: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

81

terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;

keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana

dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka

semua masih bermata redup. Kelelahan semalam

suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di

depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.

tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak

derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada

subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik

tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di

kamar depan.”76

Kutipan di atas menegaskan kutipan sebelumnya bahwa

proses sunat rasul anak ketiga Tuan Tanah tersebut dilakukan di

kamar bagian depan rumah Tuan Tanah. Proses sunat tersebut

menjadi pusat perhatian sekaligus pusat masalah dalam cerpen

“Panggilan Rasul”.

Selanjutnya, latar tempat yang terdapat pada cerpen

“Karjan dan Kambingnya”. Latar tempat yang terdapat dalam

cerpen tersebut adalah kawasan rel kereta api dan gubu-gubuk liar

di tepi rel. Latar tempat tersebut juga digunakan pengaran untuk

mendukung latar sosial masyarakat menengah ke bawah yang

ingin di sampaikan pengarang. Berikut adalah kutipan yang

membuktikan pernyataan tersebut.

“…Penjaga pintu kereta meneruskan berita rumput yang

menyemak itu ke buruh lepas yang tinggal di gubuk-gubuk

liar yang tumbuh di sepanjang sisi rel dan tembok makam

kota. Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh bongkar

gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu singkat gubuk-gubuk

itu seperti semula. Mereka membangun gubuk-gubuk itu

begitu dekat dengan rel sehingga kereta api yang melintas

memadamkan lampu mereka…”77

76

Ibid, h.68. 77

Ibid, h.126.

Page 94: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

82

Kutipan di atas menggambarkan kawasan rel kereta api

yang di sisinya dipenuhi gubuk-gubuk liar yang dihuni oleh buruh

harian lepas, dan warga lainnya dari golongan masyarakat

menengah ke bawah. Latar tersebut digunakan pengarang untuk

menunjang kondisi sosial yang ada dalam cerpen. Selain itu, latar

tersebut juga mencerminkan status sosial tokoh utama dalam

cerpen yaitu Karjan. Karjan merupakan seorang kuli pencabut

rumput yang juga menghuni gubuk-gubuk apak di tepi rel kereta

api. Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.

“Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar

matahari. Dia mengangkat batu-batu yang gugur.

Mencabut rumput-rumput bila sukar ditajak dengan mata

cangkul dan istirahat kalau dia capek. Matahari membakar

rumput-rumput yang telah dicabut dan cepat menjadi

kering. Sebentar-sebentar kereta api melintas datang dan

pergi. Kadang-kadang kereta api berselisih pada rel ganda.

Suara kedua kereta api mitu memekakkan, menerbangkan

debu-debu di kedua tepinya.”78

Kutipan di atas membuktikan bahwa kawasan rel kereta api

yang digambarkan menunjang penokohan Karjan sebagai kuli

pencabut rumput di kawasan rel kereta api. Berdasarkan kutipan di

atas, Karjan bukan hanya mencabuti rumput di sekitar perlintasan,

tetapi ia juga membersihkan dan merapikan batu-batu pada

landasan rel kereta api.

Latar tempat pada cerpen “Ayahku Seorang Guru

Mengaji” adalah sebuah rumah yang ditempati satu keluarga

lengkap yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak. Rumah tersebut

adalah rumah seorang guru mengaji, yang tak lain adalah tokoh

utama dalam cerpen yaitu Ayah (Pak Achmad). Pengarang tidak

menyebutkan secara spesifik di mana rumah tersebut berada.

78

Ibid, h.127.

Page 95: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

83

Pengarang hanya melukiskan latar tempatnya berupa sebuah

rumah dengan pekarangan yang luas. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan berikut.

“Kau sekarang sudah khatam al-Qur’an tiga kali, kata

Ayah kepadaku di beranda suatu malam Jum’at yang

lengang. Kami melihat bulan ada di langit tepat di atas

pekarangan rumah kami yang lebar. “Sudah saatnya kau

ikut mengajar mengaji. Kalau kau tidak mau mengikuti

jejakku, siapa yang akan mengajarkan ajaran ilahi itu

kepada anak-anak yang baru tumbuh? Kau harus menjadi

guru mengaji. Ajari mereka! Tidak semua anak-anak

berkesempatan masuk sekolah madrasah. Mereka siang

sekolah di sekolah umum, malam harinya mereka mengaji.

Maka orang-orang seperti kitalah yang mengajari

mereka.79

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa percakapan

antara Ayah dan anaknya (tokoh Aku) terjadi di beranda

rumahnya. Pengarang juga menggambarkan latar suasana yang

indah pada kutipan di atas, yaitu kedua tokoh saling berbincang

sambil menatap bulan yang berada tepat di atas pekarangan rumah

mereka yang luas. Pada kutipan di atas, latar tempat digambarkan

sebagai pijakan pengarang untuk menyampaikan permasalahan

yang ada dalam cerita. Hal itu terlihat dari pembicaraan yang

dilakukan oleh tokoh Ayah yang menyampaikan keinginannya

kepada anaknya (tokoh Aku) mengenai pentingnya mengamalkan

ilmu yang dimiliki.

c. Latar sosial

Latar sosial yang tergambar dalam cerpen “Panggilan

Rasul” adalah masyarakat tradisonal yang masih memiliki

kepercayaan bahwa seseorang dapat mengirimkan ilmu hitam

79

Ibid, h.23.

Page 96: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

84

untuk membalaskan sakit hati terhadap orang lain. Hal itu dapat

dibuktikan melalui kutipan berikut.

“…. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya desas-desus itu,

tentang dukun-dukun yang mengilmui luka di kemaluan anak-

anak kita. Aku mulai yakin bahwa itu karena kesombonganmu,

kekikiranmu, angkuhmu dan tak mau tahu dengan mereka. Aku

yakin, mereka menaruh racun di pisau dukun-dukun itu.”80

Kutipan tersebut membuktikan bahwa pengarang ingin

menggambarkan pemikiran masyarakat pada masa itu, dalam hal

ini ditampilkan melalui tokoh Istri Tuan Tanah. Pada kutipan

tersebut Istri Tuan Tanah mempercayai ramalan-ramalan dukun

mengenai penyebab kematian anaknya. Pada cerpen ini, bukan

hanya Istri Tuan Tanah yang mempercayai ramalan-ramalan

tersebut, akan tetapi warga kampung dalam cerpen tersebut juga

digambarkan mempercayai tentang adanya dukun yang dipesan

oleh orang-orang yang menaruh dendam atas perilaku Tuan

Tanah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Keyakinan sudah begitu melekat di hati merek tentang

kematian satu rumpun anak orang kaya itu, di ujung pisau

sunat, makin tebal ketika kain penadah darah diganti

dengan kain yang baru.”81

“Kamar depan itu seolah tempat penting, di mana satu

jawaban dari suatu desas-desus yang sudah menjalari

seluruh kampung akan terpenuhi.”82

Kedua kutipan di atas membuktikan bahwa warga

kampung mempercayai suatu hal yang belum diketahui

kebenarannya. Kepercayaan warga terhadap hal-hal seperti itu

merupakan salah satu ciri masyarakat tradisional yang masih

80

Ibid, h.74. 81

Ibid, h.76. 82

Ibid, h.76.

Page 97: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

85

percaya terhadap hal-hal gaib dan mudah dipengaruhi.

Berdasarkan kutipan di atas warga mempercayai bahwa kedua

anak TuanTanah sebelumnya disebabkan oleh ilmu yang

dikirimkan oleh orang-orang yang membenci perilaku Tuan

Tanah.

Berbeda dengan cerpen “Panggilan Rasul”, latar sosial

yang tergambar dalam cerpen “Karjan dan Kambingnya” adalah

gambaran masyarakat kalangan bawah yang tinggal di gubuk-

gubuk liar di pinggir rel kereta api. Kehidupan penghuni gubuk

liar diwakili oleh tokoh bernama Karjan yang bekerja sebagai kuli

pencabut rumput. Karjan digambarkan sebagai seseorang yang

memiliki pekerjaan serabutan. Selain Karjan, kondisi sosial warga

penghuni gubuk pinggir rel kereta api juga digambarkan melalui

kondisi gubuk-gubuk tersebut. Berikut adalah kutipan yang

membuktikan pernyataan tersebut.

Karjan pun mulai merumput dalam panas terik sinar

matahari. Dia mengangkat batu-batu yang gugur.

Mencabut rumput-rumput bila sulit ditajak dengan mata

cangkul dan istirahat kalau dia capek. Matahari membakar

rumput-rumput yang telah dicabut dan cepat menjadi

kering. Sebentar-sebentar kereta api melintas datang dan

pergi. Kadang-kadang kereta api berselisih pada rel ganda.

Suara kedua kereta api itu memekakkan, menerbangkan

debu ke daun-daun di kedua tepinya.”83

“… Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh bongkar

gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu yang singkat gubuk-

gubuk itu telah tumbuh seperti semula. Mereka

membangun gubuk-gubuk itu begitu dekat dengan rel

sehingga kereta api yang melintas memadamkan lampu

mereka. Dan bila malam, sebelum mereka tidur pulas di

dalam gubuk-gubuk pengap itu, mereka memancing kantuk

dengan kartu domino di serambi depan gubuk mereka,

83

Ibid, h.127.

Page 98: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

86

bantalan-bantalan rel, kereta itu. Mereka merokok dari

puntung-puntung yang mereka pungut dalam batangan

baru…”84

Kutipan pertama menggambarkan kegiatan Karjan sebagai

kuli pencabut rumput di kawasan perlintasan kereta api.

Pengarang menggambarkan kesulitan yang dialami oleh Karjan

sebagai tokoh utama yang mewakili situasi sosial para penghuni

gubuk-gubuk liar di kawasan rel kereta api. Pada kutipan kedua

latar sosial dalam cerpen ini digambarkan melalui kondisi gubuk-

gubuk liar pinggir rel kereta api, yang pengap dan gelap karena

aliran listrik di gubuk akan padam akibat getaran kereta yang

melintas. Pengarang menggambarkan kondisi gubuk yang pengap

dan persisi berada di pinggir rel kereta membuat penghuninya

kesulitan untuk tidur sehingga mereka harus memancing rasa

kantuk dan lelah dengan bermain domino. Selain itu keterbatasan

ekonomi membuat mereka memunguti puntung rokok untuk

dihisap secara bergantian.

Berbeda dengan cerpen “Panggilan Rasul” dan “Karjan

dan Kambingnya”, latar sosial yang digambarkan secara lebih

spesifik dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Latar

sosial yang muncul adalah perkembangan teknologi dan

komunikasi, serta masuknya aliran listrik ke seluruh pelosok

Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari penggambaran konflik yang

dialami tokoh Ayah, yaitu tentang seorang guru mengaji yang

kehilangan muridnya karena kemajuan teknologi dan komunikasi.

Berikut adalah kutipan yang membuktikan pernyataan tersebut.

“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik masuk

di sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua rumah

84

Ibid, h.126.

Page 99: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

87

memasang listrik. Semua rumah membeli televisi. Kulihat

Ayah hanya mengajar sepuluh murid di bawah cahaya

lampu petromaks. Murid-muridnya yang lain lebih tertarik

menyimak acara di televisi daripada menyimak ayat suci

al-Qur’an di depan Ayah. Murid yang sepuluh itu pun

makin sehari ke sehari berkurang satu-satu. Sampai pada

saatnya tinggal aku sendiri yang mengaji, walaupun

sebenarnya aku telah khatam al-Qur’an tiga kali. Dan

ketika aku telah khatam al-Qur’an tiga kali, Ayah sudah

tidak menyimak aku membaca ayat-ayat suci itu. aku

hanya ingin menjaga agar Ayah tidak merasa kehilangan

seluruh muridnya.”85

Kutipan tersebut menggambarkan perubahan sosial

masyarakat setelah kemajuan teknologi memasuki desa dan

lingkungan mereka. Pola pikir dan nilai-nilai yang dianut oleh

masyarakat pada masa itu mengalami pergeseran. Hal itu dapat

dalam kutipan, yaitu ketika anak-anak memilih menyimak acara

televisi dibandingkan mengaji ke tempat guru mengaji.

Selain masuknya aliran listrik, hal lain yang menandai latar

sosial yang terdapat dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru

Mengaji” adalah adanya penyebutan radio transistor pertama di

Indonesia yang dibuat di Cawang. Jika dikaitkan dengan

penyebutan radio tersebut maka secara tersirat pengarang

menggambarkan situasi sosial masyarakat tahun 1956-1960an. Hal

itu didasarkan pada keterangan yang menyebutkan bahwa radio

transistor buatan Cawang dipasarkan pertama kali tahun 1956.

Berikut adalah kutipan yang membuktikan pernyataan tersebut.

“Tadi kulihat dia membeli radio transistor buatan Cawang.

‘Lumayan, asal bisa mendengarkan pengajian di radio’

kata Pak Sanusi kepadaku….”86

85

Ibid, h.24. 86

Ibid, h.31.

Page 100: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

88

Kutipan di atas menegaskan bahwa penyebutan radio

transistor merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi

yang mempengaruhi pola pikir masyarakat. Kehadiran radio

transistor telah menggantikan kebiasaan mengaji yang sebelumnya

dilakukan sebelum kemunculan radio tersebut. Hal itu pula yang

menjadi salah satu faktor penyebab tokoh Ayah kehilangan

muridnya.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” berbeda-beda. Sudut pandang yang terdapat dalam

tiga cerpen tersebut adalah sudut pandang persona pertama “Aku” dan

sudut pandang persona ketiga “Dia”.

Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen “Panggilan

Rasul” adalah sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu. Hal itu

didasarkan pada posisi narator yang berada di luar cerita dan

menyajikan tokoh-tokohnya dengan sebutan nama dan kata ganti,

seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak akan

pernah lekang dari matanya yang basah. Kemudian ia menatap

ke atas. Katanya, “Jika putraku yang ini, Lasuddin, Kau

selamatkan, ya Tuhan, kami akan serahkan dua pertiga dari

sawah-sawah itu buat mereka.”87

“Pandangannya ia alihkan pelan-pelan ke tempat suaminya

terbenam dalam titik-titik air mata.”88

Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa sudut pandang

yang digunakan dalam cerpen ini adalah sudut pandang persona

ketiga. Hal itu terlihat pada kutipan pertama yang menyebutkan tokoh

87

Ibid, h.71. 88

Ibid, h.71.

Page 101: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

89

secara langsung dengan sebutan Wanita itu. Selain penyebutan tokoh,

pada kutipan pertama dan kedua pengarang menggunakan kata ganti

orang ketiga seperti ia dan –nya.

Sama halnya dengan cerpen “Panggilan Rasul”, cerpen “Karjan

dan Kambingnya” juga menggunakan sudut pandang persona ketiga

“Dia”. Posisi narator dalam cerpen berada di luar cerita dan memiliki

keleluasaan dalam menyajikan tokoh-tokoh dan cerita yang ada

dalamnya. Narator menyajikan tokoh-tokohnya dengan sebutan nama

secara langsung dan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti

yang tampak pada kutipan berikut.

“Karjan melompat dari atas tanah gundukan itu. Dia

menyongsong laki-laki yang berdiri di atas batu-batu. Kedua

orang itu berpelukan dan saling mengguncang tubuh orang

yang dipeluknya. Pada saat seperti itu, peluit lokomotif

melengking.”89

Penyebutan nama Karjan dan penggunaan kata ganti dia pada

kutipan di atas membuktikan bahwa pengarang menggunakan sudut

pandang orang ketiga dalam menyajikan tokoh maupun tindakan yang

dilakukan tokoh dalam cerpen.

Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerpen “Ayahku Seorang

Guru Mengaji” menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”.

Hal itu dilihat dari adanya tokoh “Aku” yang bertindak sebagai

narator. Meskipun tokoh “Aku” tidak bertindak sebagai pelaku utama

atau dengan kata lain “Aku” sebagai tokoh tambahan, akan tetapi

pengisahan dan penyajian tokoh didominasi oleh tokoh “Aku”. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan berikut.

89

Ibid, h.129..

Page 102: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

90

“Aku menurunkan lampu petromaks untuk menambah

anginnya. Lampu menjadi lebih terang dan Ayah tampak lebih

jelas.”90

“Setelah hari itu, Ayah duduk diam di depan rumah. Bunga-

bunga yang tumbuh di depan rumah telah disiramnya. Subuh

dipetik, pagi harinya dibawa Ibu ke meja dagangan di tepi

pagar makam. Kakakku mendapat tugas merajang halus daun

pandan. Tugasku membawa keranjang bersama Ibu pada pagi

hari ke pagar makam. Sepulang aku mengantar Ibu dari

tempat penjualan bunga di tepi pagar makam, kudapati Ayah

duduk termenung di beranda. Barangkali terpikir juga olehnya

anjuran Ibu.”91

Kutipan yang pertama menegaskan bahwa tokoh “Aku” ada

dan terlibat di dalam cerita, sedangkan kutipan kedua memposisikan

tokoh “Aku” yang sedang mengisahkan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh tokoh-tokoh lain seperti “Ayah”,“Ibu”, dan “Kakak”.

Tokoh “Aku” tidak hanya menceritakan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh tokoh-tokoh lainnya, tetapi juga menceritakan apa yang

dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh lain. Seperti yang tampak pada

kutipan di atas, “Aku” menceritakan keadaan Ayahnya yang sedang

tertekan. “Ayah” terlihat duduk diam dan termenung di depan rumah

memikirkan anjuran istrinya untuk menjadi pembaca doa di

pemakaman.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa seolah menjadi identitas bagi setiap pengarang.

Oleh karena itu bahasa maupun pilihan kata yang digunakan oleh

pengarang yang satu dengan pengarang lainnya akan sangat berbeda.

90

Ibid, h.27. 91

Ibid, h.28.

Page 103: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

91

Gaya bahasa yang digunakan Hamsad dalam ketiga cerpen

pada kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” lebih banyak menggunakan

bahasa sehari-hari. Diksi yang digunakan oleh Hamsad jugasederhana

karena tidak menimbulkan ketaksaan maupun kesukaran dalam

memahaminya. Selain sederhana, Hamsad yang berasal dari Sumatera

Utara banyak menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa Melayu

seperti, macis, tajak, lembu, berteluk belanga, berkain pelekat, dan

menandaimu. Hal itu dapat dibuktikan pada penggalan-penggalan

kalimat berikut.

“Dia masukkan pangkal rokok daun nipah itu ke mulutnya dan

dia menyalakan macis.”92

“…Besoknya kulihat Ayah pergi bersama-sama Ibu. Ayah

membawa paying hitam, mengantongi surat Yaasin, berteluk

belanga warna putih, bersarung kain pelekat, dan memakai

peci hitam…”93

“…Mencabut rumput-rumput bila sukar ditajak dengan mata

cangkul.”

“…Tolong ingatkan aku! Aku belum menandaimu!"

Selain, menggunakan kata-kata yang berasal bahasa Melayu

dalam cerpen “Karjan dan Kambingnya” ditemukan dua jenis gaya

bahasa yaitu hiperbola dan paradoks. Berikut adalah kutipan yang

membuktikan pernyataan tersebut.

“Kita gelar koran dan membanting daun-daun domino itu

menjadi deretan panjang yang terpatah-patah.”

“Ya. Kita semua heran. Apa yang dimakan kere seperti Parmi

sehingga dia begitu bahenol.”

92

Ibid, h.30. 93

Ibid, h.32.

Page 104: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

92

Pada kutipan pertama kata membanting dan terpatah-patah

dapat dikategorikan sebagai pemberi kesan berlebihan. Penggunaan

gaya bahasa hiperbola pada kutipan di atas bertujuan untuk

menggambarkan keasikan Karjan dan teman-temannya ketika bermain

domino. Berbeda dengan kutipan pertama, gaya bahasa yang terdapat

pada kutipan kedua merupakan gaya bahasa paradoks. Hal itu terlihat

dari kalimat “Apa yang dimakan kere seperti Parmi sehingga dia

begitu bahenol”. Penggalan kalimat tersebut menggambarkan

pertentangan dua fakta yang benar-benar terjadi, yaitu dua hal yang

sulit diterima secara logis sepert kenyataan bahwa seseorang yang kere

bisa memiliki badan yang gemuk.

B. Analisis Nilai Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen “Panggilan

Rasul”

Nilai kemanusiaan pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang

melekat dalam diri manusia itu sendiri. Hal itu dapat disadari maupun

tidak disadari oleh masing-masing individu yang ada di dunia ini.

Analisis nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kumpulan cerpen

“Panggilan Rasul” akan dibatasi pada temuan nilai-nilai kemanusiaan

dalam tiga cerpen yang penulis teliti, yakni (1) “Panggilan Rasul”, (2)

“Karjan dan Kambingnya”, dan (3) “Ayahku Seorang Guru Mengaji”.

Penulis akan mengaitkan nilai-nilai kemanusiaan dengan peristiwa yang

terjadi dalam ketiga cerpen tersebut.

Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam cerpen (1) “Panggilan Rasul”,

(2) “Karjan dan Kambingnya”, dan (3) “Ayahku Seorang Guru Mengaji”

memiliki keterkaitan satu sama lain. Walaupun demikian, nilai tersebut

ditampilkan dalam bentuk yang berbeda karena pada dasarnya manusia

sebagai makhluk individu yang memiliki keunikannya masing-masing.

Oleh sebab itu, nilai kemanusiaan yang melekat pada diri tiap individu

Page 105: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

93

juga hadir dalam bentuk yang berbeda. Nilai-nilai kemanusiaan yang

terdapat pada tiga cerpen tersebut adalah manusia dan kegelisahan,

manusia dan penderitaan, manusia dan pandangan hidup, manusia dan

harapan, manusia dan ketidakadilan, serta manusia dan cinta kasih.

Meskipun tiga cerpen tersebut menonjolkan beberapa nilai kemanusiaan

yang berbeda, akan tetapi dari ketiga cerpen tersebut terdapat satu

persoalan yang sama yakni menceritakan tentang manusia dan

penderitaan yang dialaminya. Penderitaan yang dialami tokoh-tokoh

dalam tiga cerpen tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda-beda yang

disikapi berbeda pula oleh masing-masing tokohnya. Penjelasan

mengenai nilai-nilai kemanusiaan dalam tiga cerpen tersebut akan

diuraikan berdasarkan kategori nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat

dalam cerpen. Berikut adalah nilai-nilai kemanusiaan yang ditemukan.

1. Manusia dan Penderitaan

Penderitaan adalah kondisi di mana manusia sedang menahan

atau menanggung sesuatu yang membuatnya merasa tersiksa.

Penderitaan dapat berasal dari dalam diri manusia maupun dari

luar diri manusia. Penderitan dapat berupa penderitaan lahir, batin,

atau lahir batin. Penderitaan yang berasal dari dalam diri manusia

berasal dari tiga komponen utama dalam pikiran manusia yaitu, id,

ego, dan superego. Ketiga komponen tersebut mengatur

pemenuhan keinginan dan kebutuhan baik secara fisik maupun

psikis. Hal itu sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Hubungan manusia dan penderitaan dalam cerpen (1)

“Panggilan Rasul”, (2)“Karjan dan Kambingnya”, dan (3)

“Ayahku Seorang Guru Mengaji” seolah menjadi gambaran

bahwa manusia selalu dihadapkan dengan penderitaan dan

kebahagiaan secara silih berganti. Penderitaan yang ada dalam tiga

cerpen tersebut hadir dalam bentuk yang berbeda-beda dan

Page 106: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

94

disikapi dengan cara yang berbeda. Pengarang yang mengakui

bahwa cerpennya ditulis berdasarkan apa yang didengar, dilihat,

dan dirasakan mampu menampilkan penderitaan yang dialami

manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Pada cerpen “Panggilan Rasul” penderitaan dimunculkan

melalui kecemasan-kecemasan luar biasa yang dirasakan oleh

Tuan Tanah dan keluarganya yang menantikan kabar dari proses

sunat rasul anak bungsunya. Kecemasan tersebut berasal dari

peristiwa beberapa tahun sebelumnya, yaitu ketika kedua anaknya

yang meninggal usai di sunat. Kematian dua anak Tuan Tanah

tersebut diduga diakibatkan oleh orang-orang yang menaruh

dendam atas keserakahan Tuan Tanah. Hal itu dapat dibuktikan

dengan kutipan di bawah ini.

“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang

mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu

terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;

keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana

dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka

semua masih bermata redup. Kelelahan semalam

suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di

depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.

tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak

derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada

subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik

tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di

kamar depan.”94

Kutipan di atas menggambarkan penderitaan batin atau psikis

yang dialami oleh Tuan Tanah dan keluarganya. Kecemasan dan

ketakutan merupakan salah satu perasaan yang membuat manusia

menderita. Kecemasan merupakan perasaan tidak menyenangkan

sebagai akibat dari peringatan akan datangnya bahaya. Pada

94

Ibid, h.68.

Page 107: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

95

kutipan di atas kecemasan dirasakan oleh keluarga dari si anak

yang sedang disunat. Kecemasan tersebut berasal dari peristiwa

yang dialami oleh kedua kakak si anak yang meninggal setelah

melakukan sunat rasul. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Cermat sekali perempuan itu melangkah ke dinding.

Gambar-gambar itu diturunkannya. Satu persatu

ditatapnya erat-erat seolah tak pernah ia selama ini

melihatnya. Lalu mata yang kemerah-merahan

menahan tangis sejak pesta mulai sunyi, perlahan

kelopaknya dirapatkan. Segumpal besar air mata

bergulir di pipinya dan menitik menimpa kaca gambar

itu. Perlahan sekali gambar itu ia balikkan. Karton yang

berdebu diusapinya dengan ujung baju, samar-samar

membayang sederet tulisan. Ia tampak seperti membaca

tulisan itu: Kamaruddin, anak tertua, disunat rasul

tanggal 6 Februari 1952. Meninggal pada tanggal 6

Februari 1952.”95

“Karton yang sebuah lagi dibersihkannya pula dengan

ujung jari-jarinya yang gemetar. Di antara bayang-

bayang rambutnya yang terjulai menimpa karton itu

terbaca: Sayfuddin, anak, kedua, disunat rasul tanggal

10 November 1957. Meninggal dunia tanggal 11

November 1957.”96

“Oh masihkah akan ditulis juga kalimat-kalimat seperti

ini, dibelakang foto anakku yang ketiga itu nanti? Oh,

Tuhanku!” keluh wanita itu di antara isakannya.”97

Ketiga kutipan di atas menegaskan bahwa kecemasan yang

muncul dalam benak keluarga dan orang tua anak yang sedang

disunat berasal dari kematian dua anak sebelumnya setelah disunat

rasul. Kecemasan tersebut menimbulkan perasaan tidak berdaya

95

Ibid, h.70. 96

Ibid, h.70. 97

Ibid, h.70.

Page 108: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

96

yang luar biasa, sehingga pada kutipan di atas orang tua si anak

yang disunat hanya mampu menangis dan menyampaikan

kegelisahannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Penderitaan dari segi yang berbeda ditemukan dalam cerpen

“Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Pada cerpen tersebut

penderitaan dialami oleh seorang guru mengaji yang kehilangan

murid-muridnya karena kemajuan zaman. Penderitaan tersebut

mungkin diartikan berbeda bagi orang lain, tapi akibat yang mucul

dari permasalahan tersebut berupa kesedihan dan kekecewaan bagi

tokoh Ayah dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Ayah

yang memiliki keyakinan dan semangat dalam mengajarkan ilmu

agama harus kehilangan murid-muridnya karena tergantikan oleh

kecanggihan alat-alat elektronik yang mulai masuk ke

kampungnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Kemudian keadaan telah menjadi lain begitu listrik

masuk di sepanjang jalan tempat kami tinggal. Semua

rumah memasang listrik. Semua rumah membeli

televisi. Kulihat Ayah hanya mengajar sepuluh murid di

bawah cahaya lampu petromaks. Murid-muridnya yang

lain lebih tertarik menyimak acara di televisi daripada

menyimak ayat suci al-Qur’an di depan Ayah. Murid

yang sepuluh itu pun makin sehari ke sehari berkurang

satu-satu. Sampai pada saatnya tinggal aku sendiri yang

mengaji, walaupun sebenarnya aku telah khatam al-

Qur’an tiga kali. Dan ketika aku telah khatam al-Qur’an

tiga kali, Ayah sudah tidak menyimak aku membaca

ayat-ayat suci itu. aku hanya ingin menjaga agar Ayah

tidak merasa kehilangan seluruh muridnya.”98

Kutipan di atas menggambarkan penderitaan Ayah yang

kehilangan murid-muridnya akibat perkembangan teknologi yang

98

Ibid, h.24.

Page 109: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

97

mulai memasuki kawasan tempat tinggalnya. Perasaan kehilangan

tersebut tidak disampaikan oleh tokoh Ayah secara langsung

melainkan disampaikan oleh tokoh Aku yang tak lain adalah

anaknya. Perasaan kehilangan tersebut jika dikaitkan dengan

psikologi kepribadian Freud, merupakan bentuk pertahanan dari

superego tokoh Ayah yang memiliki keinginan kuat dalam

mengajarkan ilmu agama. Keinginan Ayah tersebut tidak bisa

dilaksanakan maupun dipaksakan, karena Ayah tidak bisa

melawan kemajuan teknologi yang mengalihkan perhatian murid-

murid pengajiannya. Oleh sebab itu rasa sedih merupakan bentuk

pertahanan dari keinginan-keinginan ideal yang dimiliki Ayah.

Selain itu, penderitaan yang dialami oleh Ayah dalam cerpen

“Ayahku Seorang Guru Mengaji” bukan hanya sebatas kehilangan

murid, tetapi juga kehilangan pekerjaan. Ayah harus kehilangan

pekerjaannya sebagai pembuat kasur kapuk. Kasur kapuk buatan

Ayah harus tergantikan karena kehadiran kasur busa buatan

pabrik. Hal itu pula yang membuat Ayah harus beralih profesi

sebagai pembaca doa di pemakaman, seperti yang terlihat pada

kutipan berikut.

“Apakah mereka juga nanti bosan tidur di kasur karet

busa itu?” kata ibu ikut-ikutan. Ibu mulai menyindir

Ayah. Memang sudah hampir tiga bulan ini tidak

pernah ada orang datang ke rumah untuk memesan

kasur yang dibuat Ayah. Biasanya hampir dua kali

sebulan, orang akan datang ke rumah untuk memesan

kasur buatan Ayah. Kasur-kasur buatan Ayah dipesan

oleh pengantin-pengantin baru . Ayah terkenal sebagai

guru mengaji dan pembuat kasur di daerah tempat

tinggal kami. Itulah usaha Ayah sehari-hari membuat

kasur dan di malam hari menjadi guru mengaji.”99

99

Ibid, h.25.

Page 110: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

98

Kutipan di atas mempertegas penderitaan yang dialami Ayah

yang kehilangan pekerjaan karena adanya kasur busa buatan

pabrik. Kehilangan pekerjaan dapat menjadi penyebab seseorang

merasa menderita. Hal itu disebabkan oleh rasa rendah diri yang

dialami seseorang karena ia tidak dapat memenuhi keinginan-

keinginan dan kebutuhannya baik secara fisik maupun mental.

Penderitaan yang muncul dalam cerpen “Karjan dan

Kambingnya” bersumber dari keadaan sosial seorang pria

bernama Karjan. Karjan merupakan sosok yang mewakili potret

kehidupan warga pinggiran rel kereta api. Karjan adalah seorang

kuli pencabut rumput di perlintasan rel kereta api. Ia berharap

untuk menjadi buruh harian tetap di perlintasan kereta api, akan

tetapi keinginannya itu tidak pernah terwujud karena selalu

dipandang sebelah mata oleh para jawatan kereta api. Karjan

diremehkan karena ia adalah penghuni gubuk-gubuk apak sebelah

utara rel kereta api. Kemiskinan seolah menjadi hal yang membuat

Karjan dan teman-temannya menderita. Hal itu didasarkan pada

teori pada bab sebelumnya. Kemiskinan merupakan suatu keadaan

di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar

mereka. Dalam hal ini, kemiskinan ditampilkan melalui pekerjaan

yang dilakukan oleh Karjan dan teman-temannya, seperti yang

tampak pada kutipan berikut.

“Kami masih seperti yang kau tinggalkan. Aku masih

mencari upahan merumput di pekarangan-pekarangan

orang kaya. Syahroni si penjaga palang pintu itu,

memberi pekerjaan.”100

“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai

harian?”101

100

Ibid, h.129.130. 101

Ibid, h.130.

Page 111: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

99

“Maringan? Pendatang dari Sumatra itu?”102

“Tidak pernah tertangkap. Tampaknya dua jari

tangannya makin lihai saja!”103

“Parmin, si pemungut puntung itu?” 104

“Masih juga memungut puntung! Suatu kali dia

mendapatkan puntung cerutu. Kami menghisapnya

bergantian.”105

Keenam kutipan tersebut membuktikan bahwa kemiskinan

merupakan penderitaan yang mampu membuat manusia

melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu

dapat dilihat pada kutipan, Karjan menjadi kuli pencabut rumput,

sedangkan teman-temannya ada yang menjadi pencopet, dan

pemungut puntung rokok. Selain pekerjaan serabutan yang

dilakukan oleh Karjan dan teman-temannya, potret kemiskinan

juga dilukiskan melalui lingkungan tempat tinggal mereka yang

berada persis dipinggir rel kereta api. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan berikut.

“… Jawatan kereta api telah acap kali menyuruh

bongkar gubuk-gubuk itu, tetapi dalam waktu yang

singkat gubuk-gubuk itu telah tumbuh seperti semula.

Mereka membangun gubuk-gubuk itu begitu dekat

dengan rel sehingga kereta api yang melintas

memadamkan lampu mereka. Dan bila malam, sebelum

mereka tidur pulas di dalam gubuk-gubuk pengap itu,

mereka memancing kantuk dengan kartu domino di

serambi depan gubuk mereka, bantalan-bantalan rel,

kereta itu. Mereka merokok dari puntung-puntung yang

mereka pungut dalam batangan baru…”106

102

Ibid, h.130. 103

Ibid, h.130. 104

Ibid, h.130. 105

Ibid, h.130. 106

Ibid, h.126.

Page 112: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

100

Kutipan di atas menegaskan bahwa kemiskinan merupakan

salah satu bentuk penderitan. Kemiskinan membuat seseorang

tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya

sebagaimana layaknya. Hal itu telah dijelaskan pada bab

sebelumnya. Pada kutipan di atas, digambarkan kondisi tempat

tinggal penghuni gubuk liar di tepi rel kereta api yang tidak layak.

Ketika kereta api melintas, aliran listrik gubuk mereka ikut padam

terkena getaran kereta yang melintas. Selain itu, penghuni gubuk

liar itu juga harus merelakan jika sewaktu-waktu gubuk mereka

dibongkar oleh pihak kereta api karena dianggap mengganggu

estetika lingkungan dan perlintasan kereta api.

Berdasarkan hasil analisis di atas, penderitaan yang terdapat

pada tiga cerpen tersebut bersumber dari keinginan-keingan

masing-masing tokoh yang sulit untuk dipenuhi. Pada cerpen

“Panggilan Rasul”, Tuan Tanah menginginkan keselamatan untuk

putera ketiganya yang sedang disunat, meski ia sendiri tidak tahu

apa yang akan menimpa anaknya. Sementara itu, penderitaan

dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji” berasal keinginan

Ayah untuk terus mengajarkan ilmu agama dan alquran.

Keinginan tersebut mengalami kesulitan karena Ayah kehilangan

seluruh muridnya akibat perubahan zaman. Selanjutnya

penderitaan yang terdapat dalam cerpen “Karjan dan

Kambingnya” berasal dari keinginan Karjan agar dapat diangkat

sebagai buruh harian tetap namun sulit diwujudkan karena status

sosialnya. Oleh karena itu, penderitaan yang terdapat pada ketiga

cerpen ini dapat dikategorikan sebagai penderitaan batin karena

penderitaan itu muncul dari perasaan dan pikiran yang dimiliki

tokoh-tokoh yang ada dalam ketiga cerpen tersebut.

Page 113: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

101

2. Manusia dan Kegelisahan

Kegelisahan merupakan perasaan khawatir, cemas, dan takut.

Rasa gelisah muncul dari dalam hati manusia sebagai respon atas

masalah yang sedang dihadapi. Rasa gelisah atau cemas menurut

Freud merupakan perasaan tidak menyenangkan yang disertai

dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya

yang akan datang. Hal itu telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Hubungan antara manusia dan kegelisahan hanya terdapat pada

cerpen “Panggilan Rasul”, karena cerpen ini menggambarkan

situasi menegangkan yang terjadi ketika anak seorang Tuan Tanah

sedang disunat rasul. Kegelisahan atau kecemasan dalam cerpen

ini digambarkan dari awal hingga akhir. Kecemasan dalam cerpen

ini jika dikaitkan dengan jenis kecemasan yang diungkapkan

Freud dalam psikologi kepribadian termasuk dalam kecemasan

realistik. Kecemasan ini menyerupai ketakutan. Kecemasan

realistik merupakan perasaan tidak menyenangkan dan tidak

spesifik terhadap suatu bahaya yang mungkin terjadi.

Pada cerpen “Panggilan Rasul” kecemasan realistik berasal

dari proses sunat rasul anak bungsu seorang Tuan Tanah.

Kecemasan itu muncul bukan tanpa alasan. Kecemasan muncul

karena prasangka-prasangka yang berasal dari peristiwa beberapa

tahun sebelumnya. Dua orang putra Tuan Tanah meninggal usai

disunat rasul. Kematian tersebut dikaitkan dengan racun-racun

yang dikirimkan orang-orang yang dendam atas perilaku buruk

Tuan Tanah. Oleh karena itu kecemasan muncul dalam benak

Tuan Tanah, Istri dan keluarganya yang sedang menunggu proses

sunat rasul anak bungsunya. Mereka merasa khawatir dan takut

kalau anak bungsunya akan mengalami hal yang sama dengan

kedua kakaknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

Page 114: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

102

“Di sekeliling pembaringan—dalam cemas yang

mendalam—satu rumpun keluarga anak sunatan itu

terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama;

keseluruhannya tidak beda sebuah lingkaran di mana

dokter dan anak lelaki itu sebagai sumbu. Mereka

semua masih bermata redup. Kelelahan semalam

suntuk melayani tetamu yang membanjiri tiga teratak di

depan rumah, belum hilang dalam masa sesingkat itu.

tetapi mereka bergegas bangun, ketika mendadak

derum mobil terdengar memasuki pekarangan pada

subuh itu. Mereka mengiringi langkah dokter naik

tangga, dan sejurus kemudian terciptalah lingkaran di

kamar depan.”107

Kutipan di atas menggambarkan kecemasan yang luar biasa

ketika menyaksikan proses sunat rasul yang akan dilakukan oleh

anak bungsu Tuan Tanah. Kecemasan atau kegelisahan bahkan

tidak mengizinkan seseorang untuk merasakan lelah. Hal itu dapat

dilihat pada kutipan di atas yang menyatakan bahwa keluarga

tersebut masih terlihat lelah usai melayani tamu undangan pesta

sunatan semalam. Akan tetapi, karena merasa khawatir mereka

segera bangun ketika dokter sunat mulai memasuki pekarangan

rumah.

Kegelisahan yang terlalu mendalam akan menghilangkan

kemampuan seseorang untuk merasakan kebahagiaan.

Kegelisahan pada tahap lebih lanjut menjelma menjadi ketakutan-

ketakutan yang menyiksa pikiran manusia itu sendiri. Pada bab

sebelumnya dijelaskan bahwa kecemasan atau kegelisahan yang

tidak dapat diatasi disebut dengan traumatik. Hal itu

mengakibatkan seseorang merasa tidak berdaya, seperti yang

tampak pada kutipan berikut.

107

Ibid, h.67-68.

Page 115: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

103

“ Ibu anak sunatan itu, di manakah dia? Oh ia terbenam

di kamar sebelah. Ia tak sanggup melihat apa yang

sedang dialami anak lelakinya. Di pipinya mengalir dua

tetes air mata. Dari mulutnya keluar kalimat-kalimat

yang tersendat dalam dalam isak yang pilu. Lalu, ayah

anak itu? Di mana dia? Oh, dia juga terbenam di kamar

yang sama, di tempat istrinya melepas sedu-sedan.

Suami-istri itu dibalut kecemasan yang dalam.

Keduanya sama mendoa, memohon berita yang baik

dari kamar depan.”108

Kutipan tersebut membuktikan bahwa kecemasan mendalam

dirasakan kedua orang tua si anak yang sedang disunat.

Kecemasan dan kekhawatiran yang dirasakan membuat mereka

tidak berani menyaksikan proses sunat anaknya secara langsung.

Mereka hanya mampu menunggu di kamar yang bersebelahan

dengan si anak. Ketidakberdayaan tersebut disebabkan oleh

ketidakmampuan mengatasi rasa cemas atau gelisah yang luar

biasa.

Kegelisahan yang terjadi dalam cerpen “Panggilan Rasul”

seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Kegelisahan atau

kecemasan berasal dari ramalan-ramalan dukun yang mengatakan

bahwa kedua anak lelaki Tuan Tanah meninggal akibat racun yang

diletakkan di pisau dukun sunat. Dukun-dukun sunat itu dianggap

sebagai utusan orang-orang yang dendam atas keserakahan Tuan

Tanah. Berikut adalah kutipan yang mempertegas pernyataan

tersebut.

“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada

hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak

keluar dari lukanya. Syaifuddin kan juga penurut.

Pendiam. Setengah bulan hampir dia mengurung diri;

karena kau ingatkan kelakuan abangnya sehari sebelum

disunat itu. Aku tidak percaya! Aku tidak percaya, jika

108

Ibid, h.69.

Page 116: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

104

hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran setengah

malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai yakin

tentang desas-desus itu bahwa kau orang yang tamak.

Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya

desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui

luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin

bahwa itu karena kesombonganmu, kekiranmu,

angkuhmu, dan tak mau tahu dengan mereka. Aku

yakin, mereka menaruh racun di pisau-pisau dukun

itu.” 109

Kutipan tersebut membuktikan bahwa kecemasan atau

kegelisahan merupakan salah satu perasaan tidak menyenangkan

akibat adanya peringatan datangnya bahaya. Pada kutipan tersebut

bahaya yang kemungkinan terjadi berasal dari luar. Hal itu terlihat

dari kutipan yang menyatakan bahwa bahaya yang dikhawatirkan

tersebut berasal dari desas-desus terkait orang-orang yang dendam

terhadap Tuan Tanah dan mengirimkan racun melalui pisau-pisau

yang digunakan oleh dukun sunat. Hal itulah yang membuat Istri

Tuan Tanah merasa cemas dan gelisah menanti proses sunat rasul

anak bungsunya. Ia takut jika anak bungsunya mengalami hal

yang sama dengan kedua kakaknya yang meninggal setelah

disunat rasul.

3. Manusia dan Pandangan Hidup

Pandangan hidup diartikan sebagai cara seseorang memandang

kehidupan. Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa pandangan

hidup berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat.

Pandangan hidup terdiri atas cita-cita, kebajikan, dan sikap hidup,

sehingga terkadang pandangan hidup mencerminkan citra diri

109

Ibid, h.74.

Page 117: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

105

seseorang karena pandangan hidup itu mencerminkan cita-cita

atau aspirasinya.

Hubungan manusia dan pandangan hidup ditemukan pada tiga

cerpen sekaligus yaitu “Panggilan Rasul”, “Karjan dan

Kambingnya”, dan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”. Pandangan

hidup yang terdapat pada ketiga cerpen tersebut hadir dalam

bentuk yang berbeda karena permasalahan yang diangkat juga

berbeda.

Pandangan hidup dalam cerpen “Panggilan Rasul” tercermin

melalui tokoh Ibu atau Istri Tuan Tanah. Istri Tuan Tanah

memiliki pandangan hidup yang bersumber dari agama. Ia

memiliki keyakinan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh

manusia akan mendapatkan balasan dari Tuhan. Keyakinan

tersebut berkaitan dengan peristiwa yang menimpa kedua putranya

beberapa tahun sebelumnya. Ia dan suaminya harus kehilangan

dua putranya yang meninggal dunia usai disunat. Ia percaya

bahwa kematian kedua anaknya tersebut disebabkan oleh perilaku

suaminya yang tak lain adalah Tuan Tanah. Tuan Tanah

digambarkan sebagai sosok yang memiliki sifat serakah, tamak,

dan kikir. Sifat itulah yang kemudian memicu sakit hati banyak

orang, sehingga diduga ada beberapa orang yang telah berbuat

jahat terhadap kedua anaknya. Hal itu pula yang membuatnya

merasa takut kalau kejadian sebelumnya akan terulang kembali

dan menimpa putra bungsunya yang sedang disunat. Berikut

adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tersebut.

“Kalau begitu, mengapa Syaifuddin meninggal pada

hari kedua, setelah dia disunat? Darah tak banyak

keluar dari lukanya. Syaifuddin kan juga penurut.

Pendiam. Setengah bulan hampir dia mengurung diri;

karena kau ingatkan kelakuan abangnya sehari sebelum

Page 118: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

106

disunat itu. Aku tidak percaya! Aku tidak percaya, jika

hanya oleh melompat-lompat dan berkejaran setengah

malam penuh. Aku tidak percaya itu. Aku mulai yakin

tentang desas-desus itu bahwa kau orang yang tamak.

Lintah darat. Inilah ganjarannya! Aku mulai percaya

desas-desus itu, tentang dukun-dukun yang mengilmui

luka di kemaluan anak-anak kita. Aku mulai yakin

bahwa itu karena kesombonganmu, kekikiranmu,

angkuhmu, dan tak mau tahu dengan mereka. Aku

yakin, mereka menaruh racun di pisau-pisau dukun

itu.”110

Kutipan tersebut menggambarkan pandangan hidup Istri Tuan

Tanah. Pandangan hidup tersebut bersumber dari nilai-nilai agama

yang mengajarkan setiap manusia untuk senantiasa berbuat baik.

Pada kutipan tersebut, Istri Tuan Tanah meyakini bahwa apa yang

menimpa kedua anaknya adalah balasan atas perbuatan buruk

yang dilakukan oleh suaminya. Ia bahkan merasa perubahan

perilaku suaminya kepada warga yang pernah disakiti tak akan

mengubah keadaan, karena apa yang pernah dilakukan suaminya

adalah perbuatan dosa. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan

berikut.

“Kau terlambat. Mengapa baru dalam bulan-bulan ini

kau lakukan semua itu? Bagi mereka, mungkin itu

belum cukup. Mereka minta lebih banyak,

memusnahkan seluruh keturunan. Menginginkan

kematian Lasuddin juga. Oh apakah anak yang tak

berdosa itu akan mengulang nasib abang-abangnya?

Hanya buat menebus sikapmu yang kikir, tamak, lintah

darat. Oh, malangnya. Kejam sekali dendam-dendam

itu.111

Kutipan di atas menegaskan bahwa Istri Tuan Tanah meyakini

kematian anaknya disebabkan oleh perilaku buruk suaminya. Hal

110

Ibid, h.74. 111

Ibid, h.74.

Page 119: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

107

itu ditegaskan dengan kalimat Hanya buat menebus sikapmu yang

kikir, tamak, lintah darat. Kalimat tersebut merupakan penegasan

bahwa perbuatan buruk akan mendapatkan balasan yang buruk

pula. Oleh karena itu, untuk mengharapkan keselamatan anaknya,

Istri Tuan Tanah bernazar untuk memberikan dua pertiga

sawahnya kepada warga kampung. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan berikut.

“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak

akan pernah lekang dari matanya yang basah.

Kemudian ia menatap ke atas. Katanya, “Jika putraku

yang ini, Lasuddin, Kau selamatkan, ya Tuhan, kami

akan serahkan dua pertiga dari sawah-sawah itu buat

mereka.”112

“Kau setujui nadzarku kan?”113

Kedua kutipan tersebut menegaskan kepercayaan yang dimiliki

Istri Tuan Tanah. Ia percaya bahwa dengan bernadzar melakukan

kebaikan, maka permohonannya kepada Allah atas keselamatan

anaknya akan dikabulkan. Kepercayaan tersebut bersumber dari

dari nilai-nilai agama yang ia yakini. Hal itu dikarenakan nadzar

dalam agama mengandung banyak pengertian. Nadzar adalah

mewajibkan sebuah ibadah yang pada dasarnya tidak wajib

dengan menggunakan lafaz yang menunjukkan hal yang dimaksud

atau diniatkan.114

Nadzar menurut ulama fikih adalah salah satu

perkara yang diwajibkan oleh seorang Islam, terutama terhadap

dirinya sendiri dan semata-mata hanya karena Allah SWT.

Sementara itu, menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Hanafi

nadzar itu merupakan sunnah jika tujuannya beribadah kepada

112

Ibid, h.71. 113

Ibid, h.71. 114

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid. 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 145.

Page 120: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

108

Allah SWT, seperti sembahyang, puasa, haji, dan sedekah.115

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nadzar merupakan

janji manusia kepada Allah SWT dengan tujuan beribadah kepada-

Nya. Pada kutipan di atas, nadzar yang disampaikan oleh Istri

Tuan Tanah berbentuk sedekah. Ia berjanji untuk menyerahkan

dua pertiga sawahnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia

memohon keselamatan untuk putra bungsunya melalui nadzar

yang ia sampaikan.

Pandangan hidup selanjutnya terdapat dalam cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji”. Cerpen ini sarat dengan nilai pandangan

hidup. Cerpen ini memusatkan kisahnya pada satu tokoh, yaitu

tokoh Ayah yang tak lain adalah seorang guru mengaji. Pandangan

hidup dalam cerpen ini memiliki kesamaan dengan cerpen

“Panggilan Rasul”, yaitu pandangan hidup yang bersumber dari

nilai-nilai agama yang diyakini. Dalam cerpen ini, Pandangan

hidup tentang nilai-nilai agama terpancar dari sosok Ayah yang

sangat religius. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan

pandangan Ayah tentang kebiasaannya sebagai guru mengaji.

“Jangan kau nilai berapa yang mereka beri. Semua itu

amal. Amal jangan kau ukur dengan imbalannya. Sekali

kau menakar imbalannya, maka perbuatanmu itu bukan

lagi amal namanya. Tetapi, orang yang diupah! Aku

bukan orang yang diupah. Aku guru mengaji.” 116

“Capek katamu? Kalau kau masih mengeluh karena

capek, itu bukan amal lagi namanya! Tuhan akan

menunjukkan jalan untuk kita memasukkan listrik bila

saat dikehendaki-Nya.”117

115

Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2001), h.

220. 116

Ibid, h.23. 117

Ibid, h.23-24.

Page 121: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

109

Pada kutipan di atas jelas digambarkan bahwa Ayah memiliki

pandangan hidup yang bersumber dari nilai-nilai agama yang

diyakininya. Ayah menjelaskan kepada anaknya bahwa dalam

beramal, manusia tidak boleh mengukurnya dengan imbalan atau

materi yang akan didapat. Semua hal yang dilakukan dengan

tujuan beribadah, hendaknya dilandasi rasa ikhlas dan hanya

mengharap ridha-Nya. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam

surat Al-Baqarah ayat 207 yang artinya.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan

dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah

Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al

Baqarah: 207)

Pandangan hidup Ayah dalam cerpen “Ayahku Seorang Guru

Mengaji” sangat berorientasi kepada nilai-nilai agama. Ia

menjadikan agama sebagai landasan sekaligus pedoman dalam

menjalani kehidupan, bahkan ketika dia harus kehilangan murid

dan pekerjaannya karena kemajuan zaman, ia tetap berpegang

teguh pada prinsip dan nilai yang diyakini. Hal itu dapat

dibuktikan dengan kutipan berikut.

“Aku tidak diam begitu saja setelah membaca Yaasiin

dan doa bagi mereka. Aku nasihati mereka. Aku

katakan semua ini kulakukan karena terpaksa. Ayat suci

bukan untuk orang yang telah mati. Tetapi untuk

petujuk bagi orang yang masih hidup. Ayat itu dibaca

dan diamalkan, menjadi pedoman bagi kita dan bekal

untuk menolong hidup setelah mati. Maka ku katakan

kepada mereka agar mempelajari agama serta

mengamalkannya. Selalu setiap selesai membaca doa,

aku berkata begitu kepada mereka. Aku adalah guru

agama. Aku mengajarkan agama dan membaca ayat

suci al-Qur’an kepada murid-muridku. Tetapi, karena

murid-murid tidak ada lagi yang hendak menuntut ilmu

agama di tempatku, maka aku terpaksa membacakan

ayat-ayat dan segala doa di makam ini untuk mereka.

Page 122: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

110

Siapa yang mendengar? Orang yang meminta. Kalian

inilah. Kalian menganggap ayat-ayat itu sebagai

pelengkap waktu berziarah ke makam sanak keluarga.

Bukan semacam kebutuhan untuk penerang pada jalan

hidup di dunia dan bekal untuk di akhirat.”118

Kutipan tersebut menegaskan bahwa Ayah memiliki

pandangan hidup tentang penerapan nilai-nilai agama dalam

kehidupan. Pandangan hidup tersebut mencerminkan citra dirinya

sebagai seorang guru mengaji. Akan tetapi, ketika Ayah harus

menjadi pembaca doa di pemakaman, ia tetap menyampaikan

ajaran agama seperti saat dia menjadi guru mengaji.

Berbeda dengan “Ayahku Seorang Guru mengaji”, dan

“Panggilan Rasul”, pandangan hidup yang terdapat dalam cerpen

“Karjan dan Kambingnya” lebih condong pada pandangan hidup

yang dianut oleh beberapa orang atau kelompok sosial tertentu.

Oleh karena itu, pandangan hidup yang terdapat dalam cerpen ini

tidak bersifat mutlak dan tidak bersumber dari nilai-nilai yang

luhur. Pada cerpen ini, pandangan hidup tercermin dari sikap

petugas keamanan yang mencurigai Karjan sebagai pencuri

kambing. Petugas tersebut bersikeras menganggap Karjan sebagai

pencuri karena status sosialnya sebagai penghuni gubuk apak

pinggiran rel kereta api. Berikut adalah kutipan yang menegaskan

pernyataan tersebut.

“Kalau begitu kamu orang miskin! Jawab yang benar.

Dari mana kambing itu kau peroleh?” 119

“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti

kamu, temannya adalah orang miskin. Orang miskin

118

Ibid, h.33.

119

Ibid, h.133.

Page 123: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

111

tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang

miskin.”120

“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang

kaya. Ingat! Dan perlu kau camkan: orang kaya, teman-

temannya adalah orang kaya. Orang miskin, temannya

adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin

memberi seekor kambing kepada orang miskin.

Berdasarkan pertimbangan itu, Saudara kami

tangkap!”121

Ketiga kutipan tersebut menegaskan bahwa pandangan hidup

yang dimiliki oleh petugas keamanan tersebut didasari oleh sikap

yang dimilikinya. Seperti yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya bahwa pandangan hidup terdiri atas cita-cita,

kebajikan, dan sikap hidup. Oleh karena sikap hidup berkaitan

dengan keadaan hati dalam menghadapi kehidupan, maka setiap

individu memiliki sikap hidup sesuai dengan lingkungan dan

faktor lain yang membentuknya. Hal itu terlihat pada kutipan.

Petugas keamanan mencurigai kambing yang dibawa Karjan

merupakan hasil curian. Pendapatnya itu didasarkan pada asumsi

pribadinya bahwa orang miskin hanya memiliki teman yang

miskin, sehingga ia tidak bisa bersikap lebih bijaksana. Ia hanya

menilai seseorang berdasarkan status sosialnya.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, pandangan hidup yang

tercermin dari ketiga cerpen tersebut memiliki makna yang sama.

Kesamaan makna yang dimaksud yaitu mengenai cara manusia

memandang kehidupan melalui nilai-nilai yang terdapat dalam

ajaran agama. Pada analisis tersebut, tampak tata cara yang

diajarkan agama dalam menjaga hubungan baik dengan sesama

120

Ibid, h.134. 121

Ibid, h.134.

Page 124: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

112

manusia, mengamalkan ilmu yang dimiliki kepada orang-orang

yang membutuhkan, dan menghargai hak-hak orang lain dengan

tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya,

seperti yang disampaikan dalam agama bahwa setiap manusia

memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan. Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa ketiga cerpen di atas berusaha

melukiskan pandangan hidup yang dimiliki manusia hendaknya

didasarkan pada nilai-nilai agama karena agama telah mengatur

tata cara dalam menjalani kehidupan.

4. Manusia dan Harapan

Harapan artinya keinginan yang belum terwujud. Setiap orang

mempunyai harapan. Tanpa harapan manusia tidak ada artinya

sebagai manusia. Harapan yang dimiliki manusia diwujudkan

dengan usaha dan kekuatan lain yang berasal dari luar dirinya.

Kekuatan tersebut dapat berupa bantuan manusia lain dan bantuan

Sang Pencipta.

Hubungan manusia dan harapan ditemukan dalam tiga cerpen

sekaligus yaitu, “Panggilan Rasul”, “Ayahku Seorang Guru

Mengaji”, dan “Karjan dan Kambingnya”. Harapan yang terdapat

dalam tiga cerpen tersebut berbeda-beda, karena keinginan dan

kebutuhan manusia juga berbeda, tergantung pada kebutuhan

manusia itu sendiri.

Pada cerpen “Panggilan Rasul”, hubungan manusia dan

harapan tampak pada sosok Tuan Tanah dan Istrinya yang

mengharapkan keselamatan bagi putera bungsunya yang sedang

disunat. Harapan itu seolah menjadi harapan terbesar mereka

karena dua putera sebelumnya meninggal setelah disunat rasul.

Page 125: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

113

Besarnya harapan sang istri membuatnya bernazar kepada Allah

SWT, seperti yang tampak pada kutipan berikut.

“Wanita itu menatap lagi kedua gambar itu seperti tidak

akan pernah lekang dari matanya yang basah.

Kemudian ia menatap ke atas. Katanya, “Jika putraku

yang ini Kau selamatkan, ya Tuhan, kami akan

serahkan dua pertiga dari sawah-sawah itu buat

mereka.”122

Kutipan tersebut menegaskan harapan Istri Tuan Tanah atas

keselamatan puteranya, bahkan ia rela menjanjikan sepertiga

sawahnya untuk diberikan kepada warga yang membutuhkan.

Nazar yang dibuat istri Tuan Tanah tersebut merupakan sebuah

permohonan yang ia panjatkan kepada Tuhan, sebagai bentuk

usaha untuk mewujudkan harapannya. Bukan hanya istrinya saja

yang mengharapkan keselamatan atas puteranya, tetapi juga sang

Tuan Tanah pun memanjatkan doa untuk keselamatan anaknya,

meski dalam bentuk yang berbeda. Hal itu dapat dilihat pada

kutipan berikut.

“Mudah-mudahan mereka tidak melakukan itu. Oh,

Tuhanku, hanya dia yang kuharap melanjutkan

keturunanku. Pewaris harta yang sebanyak ini.”123

Kutipan di atas membuktikan bahwa manusia memiliki

harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup (survival). Hal itu

sesuai dengan teori kebutuhan yang digagas oleh Maslow dalam

Munandar yakni, 1) Harapan untuk memperoleh kelangsungan

hidup (survival), 2) Harapan untuk memperoleh keamanan

(safety), 3) Harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk

mencintai dan dicintai (beloving and love), 4) Harapan untuk

122

Ibid, h.71. 123

Ibid, h.75.

Page 126: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

114

memperoleh status atau untuk diterima atau diakui lingkungan,

dan 5) Harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita (self

actualization).124

Dalam hal ini harapan yang dimiliki Tuan Tanah

memiliki makna lain. Ia mengharapkan keselamatan puteranya

bukan berdasarkan kasih sayangnya sebagai orang tua, melainkan

karena ia merasa putera bungsunya merupakan pewaris tunggal

harta kekayaannya.

Hal yang sama juga terjadi dalam cerpen “Ayahku Seorang

Guru Mengaji”, meski tujuan yang ingin dicapai oleh tokoh Ayah

dalam cerpen ini berbeda dengan Tuan Tanah dalam cerpen

“Panggilan Rasul”. Harapan yang terdapat dalam cerpen ini juga

terkait dengan kelangsungan hidup, yakni tokoh Ayah yang tak

lain adalah seorang guru mengaji menginginkan anaknya untuk

melanjutkan jejaknya sebagai guru mengaji. Hal itu terlihat pada

kutipan berikut.

“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau

kau tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan

mengajarkan ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang

baru tumbuh? Kau harus menjadi guru mengaji. Ajari

mereka! Tidak semua anak-anak itu berkesempatan

masuk sekolah madrasah. Mereka siang sekolah di

sekolah umum, malam harinya mengaji. Maka, orang-

orang seperti kitalah yang mengajari mereka.”125

Kutipan tersebut menegaskan bahwa harapan yang dimiliki

oleh setiap manusia kemungkinan sama, meski tujuan yang ingin

dicapai sangat berbeda. Tokoh Ayah yang memiliki kebiasaan

sebagai guru mengaji memiliki keinginan dan cita-cita yang mulia.

Hal itu dapat dilihat pada kutipan di atas yang menyatakan bahwa

124

Djoko Widagdho, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.187. 125

Hamsad Rangkuti, Op,Cit., h.23.

Page 127: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

115

ia merasa memiliki kewajiban untuk membagikan ilmu agamanya.

Ia merasa bahwa mengajarkan ayat suci alquran merupakan

kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki pengetahuan lebih

tentang alquran maupun nilai-nilai keagaman.

Selain pada tokoh Ayah, harapan juga tercermin dari tokoh Ibu

yang tak lain istri Ayah. Harapan yang muncul masih dalam

bentuk yang sama yaitu harapan untuk memperoleh

keberlangsungan hidup. Harapan itu merupakan sebuah keinginan

Ibu untuk memenuhi kebutuhan jasmani diri dan keluarganya. Hal

itu terlihat dari bujukan-bujukan Ibu yang ditujukan kepada Ayah

agar mau menjadi pembaca doa di pemakaman. Keinginan

tersebut muncul karena Ayah kehilangan pekerjaan. Ayah yang

bekerja sebagai pembuat kasur kapuk harus rela kehilangan

pelanggan karena adanya kasur busa buatan pabrik. Oleh karena

itu, Ibu terus berusaha membujuk Ayah agar mau menjadi

pembaca doa di pemakaman. Berikut adalah kutipan yang

membuktikan pernyataan tersebut.

“Kau hafal semua ayat. Peziarah- peziarah itu suka

dengan ayat-ayat yang panjang. Makin lama doa

dibacakan, kata Pak Sanusi, para peziarah itu suka

memberi uang banyak. Mulailah, dari pada

menganggur. Atau pelajari dulu situasinya. Datang ke

makam. Perhatikan mereka dari tempat aku menjual

bunga. Payung ada di belakang. Pakai sarung. Jangan

pakai pantalon. Kalau orang telah mengenal Pak

Achmad sebagai pendoa yang baik di pemakaman,

tentu kau telah menemukan mata pencaharian baru.

Cobalah! Kelebihan jangan dipendam di rumah.”126

Kutipan di atas membuktikan bahwa manusia selalu memiliki

harapan, meskipun tidak selalu bersifat mewah dan berlebihan.

126

Ibid, h.27-28.

Page 128: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

116

Pada kutipan di atas, terlihat bahwa Ibu berharap dengan menjadi

pembaca doa di pemakaman, Ayah tidak lagi menjadi

pengangguran. Ibu menganggap bahwa menjadi pembaca doa di

pemakaman merupakan sebuah profesi. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa harapan Ibu dan Ayah sangat berbeda, jika Ibu lebih

berorientasi kepada hal-hal yang bersifat duniawi sedangkan Ayah

lebih mementingkan hal-hal yang berkaitan dengan agama dan

akhirat.

Selanjutnya adalah harapan yang terdapat dalam cerpen

“Karjan dan Kambingnya”. Harapan yang ditemukan dalam

cerpen ini lebih cenderung mengarah kepada harapan untuk

memperoleh perwujudan dan cita-cita. Kemiskinan yang menjerat

Karjan dan teman-temannya membuat mereka sulit untuk

memenuhi keinginan-keinginan yang mungkin bagi orang lain

hanyalah hal sederhana. Karjan dan teman-temannya ingin sekali

menyantap kambing guling seperti yang mereka lihat di sebuah

pesta orang-orang kaya. Akan tetapi, karena keterbatasan ekonomi

tersebut, mereka hanya mampu menikmati sate kulit kerbau

sambil menganggapnya sebagai sate kambing guling. Hal itu dapat

dibuktikan pada kutipan berikut.

“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing.

Aku juga berkeliling membeli kambing-kambing

penduduk dan membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh

untuk kalian. Aku masih saja tetap ingat bagaimana kita

mengintip pesta taman orang gedean di Jalan

Proklamasi. Kita menelan ludah melihat kambing

guling itu.”127

127

Ibid, h.131.

Page 129: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

117

“Ya, aku ingat! Kita beli sate kulit kerbau dari

pedagang pikulan dan kita bilang pada diri kita, itulah

daging sate kambing guling!”128

Kedua kutipan di atas menegaskan tentang harapan yang

dimiliki manusia untuk memperoleh perwujudan atau cita-cita.

Keinginan Karjan dan teman-temannya untuk memakan kambing

guling sulit diwujudkan karena keterbatasan ekonomi mereka. Hal

itu sangat berbanding terbalik dengan orang-orang gedean yang

mengadakan pesta taman dengan menu kambing guling. Hal itu

seolah menyiratkan bahwa makanan lezat hanya dapat dinikmati

oleh orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin hanya

mampu menikmati makanan lezat itu dalam angan-angan dan

mimpi.

Selain harapan untuk memperoleh perwujudan, dalam cerpen

Karjan dan Kambingnya juga terdapat harapan yang berkaitan

dengan perolehan status atau penerimaan dilingkungannya. Hal itu

terlihat ketika Karjan mencoba menyanggah tuduhan petugas

keamanan kepadanya. Berikut adalah kutipan yang membuktikan

pernyataan berikut.

“Saya tinggal di gubuk-gubuk apak di sebelah utara

stasiun. Kami adalah orang-orang miskin yang

merindukan makan sate kambing guling. Parman

memberikannya kepada kami, malam ini, Pak.”129

“Pada suatu saat orang miskin itu ada yang menjadi

kaya, itulah yang terjadi, Pak.”130

Kedua kutipan tersebut membuktikan bahwa manusia juga

memiliki harapan untuk memperoleh penerimaan dari

128

Ibid, h.131. 129

Ibid, h.134. 130

Ibid, h.134.

Page 130: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

118

lingkungannya. Karjan dalam kutipan di atas berusaha

menjelaskan identitasnya dan alasan bagaimana ia mendapatkan

seekor kambing. Hal itu ia lakukan agar keterangan yang ia

sampaikan pada petugas dapat diterima. Karjan juga berharap agar

petugas keamanan dapat mengubah persepsinya tentang orang

miskin. Karjan ingin mengatakan bahwa orang miskin tidak

selamanya identik dengan keburukan. Karjan juga berusaha

menyampaikan bahwa orang miskin tidak selamanya menjadi

orang miskin, bukan hal yang mustahil jika orang miskin dapat

berubah menjadi orang kaya. Hal itulah yang kemudian dapat

dikategorikan sebagai harapan manusia untuk memperoleh

pengakuan dari lingkungannya.

Berdasarkan analisis ketiga cerpen tersebut, dapat disimpulkan

bahwa harapan yang dimiliki oleh kebanyakan manusia berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan. Pada ketiga cerpen tersebut

kebutuhan yang memicu adanya harapan adalah kebutuhan akan

kelangsungan hidup. Dengan adanya kebutuhan tersebut membuat

manusia memiliki keinginan-keingan tertentu untuk diwujudkan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa harapan merupakan salah satu

motivasi manusia untuk melanjutkan hidupnya.

5. Manusia dan Keadilan

Keadilan secara sederhana diartikan sebagai pengakuan dan

perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Akan tetapi,

dalam pengertian yang lebih luas keadilan berkaitan dengan

masalah kemanusiaan. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan

bahwa berbuat adil berarti menghargai atau menjunjung tinggi

harkat dan martabat manusia. Berbuat tidak adil berarti

menginjak-injak harkat dan martabat manusia; karena dengan

Page 131: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

119

berbuat demikian ada manusia yang dirugikan. Berbuat tidak adil

berarti menganggap manusia lain lebih rendah atau lebih tinggi

daripada yang lain, meski pada hakikatnya manusia itu sama

derajatnya di hadapan Tuhan.

Hubungan manusia dan keadilan hanya terdapat pada cerpen

“Karjan dan Kambingnya”, meskipun yang ditemukan justru

merupakan masalah ketidakadilan. Akan tetapi, justru masalah

ketidakadilan perlu dijelaskan karena dengan mengetahui bentuk

ketidakadilan, seseorang akan mampu membedakan antara

keadilan dan ketidakadilan.

Ketidakadilan muncul pada cerpen “Karjan dan Kambingnya”

melalui permasalahan yang dihadapi oleh Karjan. Ketidakadilan

itu muncul ketika Karjan membawa seekor kambing pemberian

temannya melintasi gardu keamanan. Seorang petugas keamanan

mulai mencurigai Karjan yang sedang membawa seekor kambing.

Kecurigaan petugas keamanan merupakan hal yang wajar, jika ia

mau mendengarkan dan memperlakukan Karjan dengan bijaksana.

Akan tetapi, yang tampak adalah perilaku tidak adil yang

dilakukan oleh petugas keamanan, seperti yang tampak pada

kutipan berikut.

“Kamu penghuni gubuk-gubuk gelandangan itu?”131

“Benar, Pak.”132

“Kalau begitu kau orang miskin! Jawab yang benar.

Dari mana kambing ini?”133

“Pemberian teman saya.”134

131

Ibid, h.133. 132

Ibid, h.133. 133

Ibid, h.133. 134

Ibid, h.133.

Page 132: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

120

“Tidak mungkin! Orang miskin temannya adalah orang

miskin! Jawab yang benar. Dari mana kambing ini kau

peroleh?”135

Keempat kutipan di atas menggambarkan perilaku tidak adil

yang dilakukan oleh petugas keamanan tehadap Karjan.

berdasarkan teori “manusia dan keadilan” pada bab sebelumnya,

berbuat adil salah satunya dilakukan dengan menghargai harkat

dan martabat manusia. Akan tetapi kutipan di atas tidak

mencerminkan perilaku adil, tetapi justru memperlihatkan perilaku

tidak adil atau sering pula disebut dengan diskriminatif. Hal itu

terlihat dari sikap petugas keamanan yang semakin curiga setelah

mengetahui bahwa Karjan merupakan salah satu penghuni gubuk-

gubuk pinggiran rel kereta api. Petugas keamanan menganggap

bahwa keterangan yang disampaikan Karjan tidak benar. Ia

berpendapat bahwa tidak akan ada orang miskin yang mampu

memberikan seekor kambing kepada orang miskin lainnya,

seperti yang terlihat pada kutipan keempat.

Perilaku pertugas keamanan semakin menjadi-jadi ketika

mengetahui Karjan hanyalah orang miskin. Ia menganggap bahwa

orang-orang yang miskin tidak mungkin memiliki teman yang

kaya. Ia membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosialnya.

Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan di atas.

“Jangan teruskan bohongmu! Orang miskin seperti

kamu, temannya adalah orang miskin. Orang miskin

tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang

miskin.”136

“Orang miskin yang telah menjadi kaya, adalah orang

kaya. Ingat! Dan perlu kau camkan: orang kaya, teman-

135

Ibid, h.133. 136

Ibid, h.134.

Page 133: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

121

temannya adalah orang kaya. Orang miskin, temannya

adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin

memberi seekor kambing kepada orang miskin.

Berdasarkan pertimbangan itu, Saudara kami

tangkap!”137

Kedua kutipan di atas membuktikan bahwa manusia sebagai

makhluk individual terkadang mengesampingkan nilai keadilan,

meskipun hal itu merupakan bentuk pengingkaran sila kelima

Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”. Sila tersebut memiliki makna bahwa setiap orang di

Indonesia akan mendapat perilaku yang adil baik dalam bidang

hukum, poilitik, sosial , ekonomi, dan budaya.138

Pada makna sila

tersebut yang perlu digarisbawahi adalah frasa setiap orang, jadi

semua orang berhak mendapatkan keadilan, tidak terkecuali

orang-orang miskin seperti Karjan. Oleh karena itu, perilaku

petugas keamanan di atas dapat dikategorikan sebagai bentuk

ketidakadilan, karena ia menuduh seseorang sebagai pencuri

hanya berdasarkan status sosial orang tersebut.

6. Manusia dan Cinta Kasih

Secara sederhana cinta bisa diartikan sebagai paduan rasa

simpati antara dua makhluk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cinta

adalah sikap, suatu orientasi watak yang menentukan hubungan

pribadi dengan dunia keseluruhan, bukan menuju satu “objek”

cinta. Oleh karena itu cinta hadir dalam berbagai dimensi seperti

cinta persaudaraan, cinta keibuan, cinta erotis, cinta diri sendiri,

dan cinta terhadap Allah. Bersumber dari cinta-cinta tersebut,

137

Ibid, h.134. 138

Munandar Sulaeman, M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: PT Refika

Aditama, 1998), h.72.

Page 134: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

122

seperti yang dikemukakan berikut ini, manusia memberikan kasih

sayangnya kepada yang lain, terutama kepada sesama manusia

dalam mewujudkan hubungan pribadinya.139

Hubungan manusia dan cinta kasih ditemukan dalam dua

cerpen sekaligus yaitu, cerpen “Ayahku Seorang Guru Mengaji”

dan “Karjan dan Kambingnya”. Sama halnya dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang telah dibahas sebelumnya, cinta kasih yang

muncul dalam dua cerpen tersebut juga hadir dalam bentuk yang

berbeda.

Cinta kasih yang ditemukan pada cerpen “Ayahku Seorang

Guru Mengaji” lebih mengarah pada cinta manusia kepada

Tuhannya. Cinta manusia kepada Tuhan merupakan tingkatan

cinta yang paling tinggi. Tidak semua manusia mampu

memunculkan rasa cintanya kepada Sang Pencipta. Hanya

manusia yang memiliki ketulusan dan kemurnian hati dalam

mengimani agama dan Tuhannya yang mampu memiliki cinta

kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, cinta kasih

kepada Tuhan hadir melalui tokoh utama dalam cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji”. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah

Ayah, seorang guru mengaji di kampungnya yang bekerja sebagai

pembuat kasur kapuk. Bagi Ayah, mengajarkan ilmu agama dan

ayat suci Alquran bukan lagi menjadi sebuah kewajiban,

melainkan menjadi tanggung jawab. Ayah memiliki pandangan

bahwa seorang muslim yang memiliki pengetahuan lebih di

bidang agama, memiliki tanggung jawab untuk mengajarkannya

kepada orang lain atau muslim yang lain. Berikut adalah kutipan

yang memperkuat pernyataan tersebut.

139

Supartono, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indah, 2004),h.57.

Page 135: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

123

“…Sudah saatnya kau ikut mengajar mengaji. Kalau

kau tidak mau mengikuti jejakku, siapa yang akan

mengajarkan ajaran Ilahi itu kepada anak-anak yang

baru tumbuh? Kau harus menjadi guru mengaji. Ajari

mereka! Tidak semua anak-anak itu berkesempatan

masuk sekolah madrasah. Mereka siang sekolah di

sekolah umum, malam harinya mengaji. Maka, orang-

orang seperti kitalah yang mengajari mereka.”140

Kutipan di atas membuktikan bahwa cinta kasih manusia

kepada Tuhan membuat manusia tidak lagi merasa terbebani

ketika menjalankan perintah-Nya. Cinta kepada Tuhan justru

membuat manusia merasa bertanggung jawab atas agama dan

Tuhannya. Ia menjadikan hal yang seharusnya menjadi kewajiban

berubah menjadi kebutuhan.

Selain itu cinta ikhlas manusia kepada Tuhan, dalam hal ini

Allah SWT, akan mendorong dan mengarahkan manusia kepada

penundukan semua bentuk kecintaannya.141

Pada cerpen “Ayahku

Seorang Guru Mengaji”, kecintaan kepada Allah juga

mengarahkan Ayah untuk mencintai sesama manusia. Hal itu

tampak pada kepeduliannya terhadap orang-orang yang

membutuhkan ajaran agama untuk pedoman hidup sekaligus bekal

di akhirat. Berikut adalah kutipan yang menegaskan pernyataan

tersebut.

“Apalagi yang diinginkan mereka? Harta telah

melimpah. Hanya pegangan yang ingin dicari mereka.

Itu cuma bisa didapatkan dalam agama. Mereka

sekarang sedang memerlukannya.”142

“Banyak permintaan untuk mengajar agama di rumah-

rumah sahabat mereka. Aku hampir tidak punya waktu.

140

Ibid, h.23. 141

Munandar Sulaeman, Op,Cit., h.58. 142

Hamsad Rangkuti, Op,Cit., h..36.

Page 136: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

124

Kupikir kesempatan mengajar harus diberikan juga

kepada Pak Sanusi. Ajaran agama untuk orang yang

hidup! Bukan untuk orang yang telah meninggal. Pak

Sanusi mungkin sependapat dengan aku! Dia harus

mengajar kembali. Banyak orang kaya mencari guru

agama untuk mendidik anak-anak mereka. Mereka

tidak sempat mengantarkan anak-anak mereka ke

surau-surau atau ke rumah guru mengaji. Mereka

mendatangkan guru agama ke rumah mereka. Pak

Sanusi harus ku ajak. Sayang ilmu agamanya hanya

dibacakan untuk orang yang telah mati. Pak Sanusi

harus ku ajak. Agama untuk orang yang hidup! Bukan

untuk orang yang mati!143

Kedua kutipan di atas menegaskan bahwa cinta manusia

kepada Allah mampu menjadikan manusia mengarah kepada hal-

hal yang baik. Hal-hal baik yang dimaksud adalah seperti yang

tampak pada kutipan-kutipan di atas. Kepedulian Ayah kepada

orang-orang yang membutuhkannya, juga kepada sahabatnya Pak

Sanusi merupakan dampak positif atas cinta murninya kepada

Allah SWT.

Berbeda dengan “Ayahku Seorang Guru Mengaji”, cerpen

“Karjan dan Kambingnya” melukiskan cinta persahabatan yang

sangat dalam. Cinta persahabatan tercermin dari persahabatan

antara Parman dan Karjan serta penghuni gubuk-gubuk apak

pinggiran rel kereta api. Cinta persahabatan tampak ketika Parman

memberikan seekor kambing sebagai pemenuhan keinginan

teman-temannya yang tak mampu menyantap kambing guling. Hal

itu dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Aku meneruskan usaha mertuaku. Beternak kambing.

Aku juga berkeliling membeli kambing-kambing

penduduk dan membawanya ke Jakarta. Ada oleh-oleh

untuk kalian. Aku masih saja tetap ingat bagaimana kita

143

Ibid, h.36.

Page 137: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

125

mengintip pesta taman orang gedean di Jalan

Proklamasi. Kita menelan ludah melihat kambing

guling itu.”144

“Ya, aku ingat! Kita beli sate kulit kerbau dari

pedagang pikulan dan kita bilang pada diri kita, itulah

daging sate kambing guling!”145

Cinta persahabatan tampak begitu jelas pada kedua kutipan di

atas. Hal itu dapat dilihat dari ingatan akan peristiwa kecil yang

dialami Parman ketika bersama Karjan dan teman-temannya.

Kenangan itu pula yang membuat Parman merasa sangat perlu

untuk memenuhi keinginan teman-temannya yang ingin makan

kambing guling.

Cinta persahabatan yang terjalin antara Parman, Karjan dan

teman-temannya bukan lagi sebatas pengorbanan materil. Lebih

daripada itu persahabatan yang terjalin di antara Parman, Karjan

dan teman-temannya karena mereka pernah berada pada situasi

yang sama dalam konteks hubungan sosial. Parman yang pernah

tinggal bersama di gubuk-gubuk apak pinggiran rel nyatanya

masih ingat kepada Karjan dan teman-temannya, bahkan ia

menanyakan kabar mereka satu-persatu kepada Karjan. Berikut

adalah kutipan yang menegaskan pernyataan tesebut.

“Bagaimana keadaan teman-teman?”146

“Belum juga kau diusulkannya menjadi pegawai harian

tetap?”147

“Maringan? Pendatang dari Sumatera itu?”148

144

Ibid, h.131. 145

Ibid, h.131. 146

Ibid, h.130. 147

Ibid, h.130. 148

Ibid, h.130.

Page 138: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

126

“Parmin si pemungut puntung itu?”149

“Bawa pulang! Aku telah menyediakannya untuk pesta

kambing guling malam Lebaran kalian. Tiga hari yang

lalu juga aku membawa kambing-kambing. Dan aku

melihat kau.”150

“Salam sama teman-teman. Katakan aku tidak bisa

mampir. Kambing-kambing dalam gerbong barang ini

harus ku serahkan malam ini juga kepada tengkulaknya

di Tanah Abang. Baiklah, Karjan. Sampai ketemu dan

selamat Lebaran.”151

Keenam kutipan tersebut membuktikan bahwa cinta

persahabatan muncul dalam bentuk perhatian dan kepedulian yang

tulus. Perhatian dan kepedulian merupakan salah satu unsur dari

cinta kasih. Jika merujuk pada teori yang telah dijelaskan

sebelumnya, maka cinta persahabatan juga dapat mewujud dalam

bentuk kasih sayang. Oleh karena itu, kutipan di atas

menggambarkan perhatian Parman kepada Karjan dan teman-

temannya yang pernah menjadi bagian hidupnya selama berada di

gubuk-gubuk apak pinggiran rel kereta api.

Berdasarkan analisis mengenai cinta kasih yang terdapat pada

kedua cerpen tersebut dapat disimpulkan bahwa cinta kasih tulus

yang dimiliki manusia akan mengarahkan manusia untuk

senantiasa berbuat baik. Cinta kasih yang dimaksud dapat berupa

cinta kasih persahabatan, cinta kasih terhadap sesama manusia

maupun cinta kasih manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

149

Ibid, h.130. 150

Ibid, h.132. 151

Ibid, h.132.

Page 139: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

127

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA

Salah satu fungsi sastra yang amat terkenal yang dicetuskan Horace

yaitu dulce and utile (menghibur dan bermanfaat).152

Berdasarkan fungsi

tersebut pengajaran sastra diharapkan bukan sekedar untuk memenuhi

tuntutan materi ajar yang ada dalam kurikulum dan silabus yang ada.

Lebih daripada itu, pengajaran sastra diharapkan dapat membentuk

karakter siswa melalui pengalaman belajar.

Saat ini para guru, dosen, dan ahli sastra sepakat bahwa pengajaran

yang konvensional harus ditinggalkan dan diganti dengan pengajaran

sastra yang baru. Dalam pengajaran sastra yang baru, titik berat

pengajaran sastra adalah apresiasi sastra.153 Apresiasi satra diartikan

sebagai kegiatan menggali karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga

menumbuhkan pengertian, pengharapan, kepekaan pikiran kritis, dan

kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.154

Lebih lanjut

Aminuddin menjelaskan bahwa apresiasi sebagai suatu kegiatan

melibatkan tiga aspek yaitu: 1) aspek kognitif, 2) aspek emotif, dan 3)

aspek evaluatif.155

Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca

dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif,

seperti unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah karya sastra. Aspek

berikutnya adalah aspek emotif. Aspek ini berkaitan dengan keterlibatan

unsur emosi pembaca sebagai upaya dalam menghayati unsur-unsur

keindahan sebuah teks sastra yang dibaca. Sementara itu, aspek evaluatif

merupakan aspek yang berhubungan dengan kegiatan memberikan

152

Wellek, Renne., dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature

oleh Melani Budianta. (Jakarta: Gramedia,1989), h.25. 153

Sumardi, Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa, (Jakarta: Uhamka Press,

2012), h.21. 154

Jakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1986), h.9. 155

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2015),

h.34.

Page 140: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

128

penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai,

serta sejumlah penilaian lain yang dimiliki secara personal oleh pembaca.

Setelah itu, pada tahap yang lebih lanjut apresiator mampu meresponsi

teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan

penghayatan sekaligus juga melakukan penilaian.156

Berdasarkan kegiatan apresiasi karya sastra tersebut, siswa diharapkan

dapat mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam sebuah karya

sastra. Selain meningkatkan minat baca siswa terhadap karya sastra,

kegiatan apresiasi sastra dapat meningkatkan cara berpikir kritis. Hal itu

didasarkan pada proses yang dilalui siswa ketika memberikan penilaian

terhad ap sebuah karya sastra, siswa dituntut untuk menganalisis dan

memahami lebih jauh teks sastra maupun performansi karya sastra. Selain

itu, siswa dapat mengaitkan pengalaman membaca karya sastra dengan

situasi sosial masyarakat di lingkungannya maupun dengan fenomena-

fenomena lainnya, sehingga pembelajaran tersebut memberikan kesan dan

manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan apresiasi juga dapat dijadikan sarana pembentukan karakter

siswa secara tidak langsung, karena dalam praktiknya siswa diajak untuk

memahami nilai maupun pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Siswa tidak dipaksa dengan aturan-aturan maupun kegiata-kegiatan

monoton yang menuntut mereka untuk memiliki sikap dan perilaku ideal,

sedangkan apresiasi sastra memberikan pilihan nilai-nilai yang positif

maupun negatif dalam bentuk gambaran kehidupan manusia.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, pengajaran sastra

diharapkan dapat membentuk karakter siswa dengan cara yang berbeda.

Penyimpangan dan kenakalan remaja bahkan hal-hal yang mengarah pada

156

Ibid, h.34-35.

Page 141: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

129

kriminalitas diharapkan dapat diminimalisasi melalui pembentukan

karakter siswa dalam pengajaran sastra.

Page 142: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

130

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga cerpen dalam

kumpulan cerpen Panggilan Rasul karya Hamsad Rangkuti, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam nilai kemanusiaan

pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Panggilan Rasul. Tiga cerpen

yang dimaksud yaitu, Panggilan Rasul, Karjan dan Kambingnya, dan

Ayahku Seorang Guru Mengaji. Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam

tiga cerpen tersebut antaralain adalah manusia dan penderitaan, manusia

dan kegelisahan, manusia dan pandangan hidup, manusia dan harapan,

manusia dan cinta kasih serta manusia dan keadilan. Nilai-nilai tersebut

tidak semuanya terefleksikan pada tiga cerpen dalam kumpulan cerpen

Panggilan Rasul. Akan tetapi ada tiga nilai yang mendominasi ketiga

cerpen tersebut, yaitu manusia dan penderitaan, manusia dan pandangan

hidup, serta manusia dan harapan. Ketiga nilai tersebut mewakili

permasalahan yang diungkapkan oleh pengarang dalam cerpen. Pengarang

menampilkan nilai-nilai kemanusiaan melalui penderitaan yang dialami

oleh masyarakat kalangan bawah. Hal itu tampak dari permasalahan yang

ada pada tiga cerpen. Permasalahan yang muncul selalu berhubungan

dengan masyarakat kalangan bawah. Hal itu menggambarkan minat dan

perhatian pengarang terhadap keadilan dan kebenaran yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat.

2. Implikasi yang dapat diterapkan dari analisis Nilai-nilai Kemanusiaan

dalam Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti

Page 143: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

131

terhadap pembelajaran sastra di sekolah yaitu pada materi menganalisis isi

dan kebahasaan cerpen. Hal itu sesuai dengan kompetensi dasar pada

Kurikulum 2013 yaitu menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan

maupun tulisan di tingkat SMA/MA. Dengan adanya penelitian ini, maka

kumpulan cerpen Panggilan Rasul dapat dijadikan sebagai salah satu

referensi untuk menganalisis isi dan kebahasaan cerpen, khususnya

mengenai nilai-nilai kemanusiaan, sehingga siswa dapat melakukan

pengamatan dan penilaian secara mendalam baik mengenai unsur intrinsik

yang membangun sebuah karya sastra maupun nilai-nilai yang tersirat di

dalamnya.

B. Saran

Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan

beberapa saran sebagai berikut.

1. Melalui analisis nilai kemanusiaan dalam kumpulan cerpen Panggilan

Rasul, peserta didik dapat memahami nilai-nilai yang terdapat dalam

sebuah cerpen dengan lebih mudah, khususnya nilai-nilai kemanusiaan.

Setelah memahami nilai-nilai yang ditemukan dalam sebuah cerpen,

peserta didik dapat mengambil nilai-nilai yang positif dari cerpen tersebut

untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Dengan adanya penelitian ini, tenaga pendidik maupun peneliti

selanjutnya dapat menggunakan kumpulan cerpen Panggilan Rasul

sebagai referensi ataupun objek penelitan. Nilai-nilai lain yang terdapat

dalam kumpulan cerpen ini dapat dipelajari dan diteliti secara mendalam

sehingga dapat memberikan manfaat baik di bidang pendidikan,

kebahasaan, maupun kesusastraan.

Page 144: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

132

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hassan dkk. (Tim Redaksi), Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan

Kebudayaan, 2011.

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Bandung: Sinar Baru Algesindo,

2015.

Aziz, Furqonul dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar. Bogor:

Ghalia Indonesia, 2010.

Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2012.

Hartomo dan Aziz, Arnicum .Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

Hermanto dkk,. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara,2010.

Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Fiksi dan Drama, Denpasar: Pustaka

Larasan, 2011.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen

Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Mahayana, Maman S. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen

Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia, 2011.

Muin, Fatchul. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik. Yogyakarta:

Ar-Ruz Media, 2011.

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajahmada University

Press, 2012.

Prasetya, Joko Tri dkk., Ilmu Budaya Dasar MKDU. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991.

Page 145: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

133

Rangkuti, Hamsad. Kumpulan Cerpen Lukisan Perkawinan. Yogyakarta: Matahari,

2004.

-----------------------. Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan

Bibirmu. Yogyakarta: Diva Press, 2016.

-----------------------. Panggilan Rasul. Yogyakarta: Diva Press, 2017.

Rozak Zaidan, Abdul, dkk. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah, Jilid. 5, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

Salam, Burhanuddin. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta:

PT Rineka Cipta, 1997.

Semiun, Yustinus OFM., Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud,

Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Setiadi, Eli dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2007.

Shalaby, Ahmad. Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, 2001.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo,2008.

Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2006.

Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti

dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Sudibyo, Lies, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2013.

Sulaeman, M. Munandar. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika

Aditama, 1998.

Sumardi. Panduan Panduan Apresiasi Cerpen untuk Siswa dan Mahasiswa. Jakarta:

Uhamka Press, 2012.

Sumarjo, Jakob dan Saini KM. Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1986.

Suparlan, Parsudi. Kemiskinan Di Perkotaan, Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984.

Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indah, 2004.

Tumanggor, Rusmin, dkk. Ilmu Budaya dan Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010.

Page 146: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

134

Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University

Press, 1994.

Wellek, Renne., dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of

Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia,1989.

Widagdo, Djoko, dkk. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Arsip Media Cetak PDS HB Jassin

Anonim. Cerpenis Konvensional Nonpretensius Hamsad Rangkuti, dalam Harian

Minggu Pagi, Yogyakarta, edisi Minggu 12 Mei 1985. Diambil dari Pusat

Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Anonim. Hamsad Rangkuti Pengarang “Cemara”, dalam Harian Jayakarta edisi

Kamis, 10 Maret 1998, diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Gede Panembahan, Harianto. Bersenang-senang Membaca Cerpen Hamsad

Rangkuti, dalam kolom Serambi Budaya, Harian Berita Yudha edisi Kamis,

20 Juli 1989. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Herman Ks. Tingkah Manusia dalam Cerpen Hamsad Rangkuti, dalam Harian Berita

Buana edisi Selasa, 20 Maret 1984, h.4 . Diambil dari Pusat Dokumentasi

Sastra H.B. Jassin.

Rich, Ahmad. Ulasan Lukisan Perkawinan, dalam arsip Pusat Dokumentasi Sastra

H.B. Jassin, 20 Mei 1985.

Sumarjo, Jakob. Lukisan Perkawinan: Hamsad Rangkuti, di dalam Majalah Horison.

No. 4 Tahun 1983. Diambil dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Artikel Daring (Online)

Anonim. Bahasa dan Tokoh : Hamsad Rangkuti, http://badan bahasa.Kemendikbud.

go.id/lamanbahasa/tokoh/3/Hamsad%20%Rangkuti, diunduh pada tanggal 24

Desember 2017, pukul 22.58 WIB.

Page 147: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

135

El-Fikri, Shahruddin. Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat,

http://www.republika.co.id/berita/jurnalismewarga/wacana/15/05/26/noyj6vm

enumbuhkan-minat-baca-masyarakat, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018,

Pukul 22.37 WIB.

Giwati, Mikhael. Bunuh Diri, Kemiskinan, dan Korupsi di Indonesia.

https://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/14170551/bunuh-diri

kemiskinan-dan-korupsi-di indonesia, diunduh pada tanggal 13 April 2018,

pukul.10.40 WIB.

Wahyudi, Untung Eksistensi Sastra dan Minat Baca Tulis di Kalangan Remaja,

http://riaupos.co/559-spesial-eksistensi-sastra-dan-minat-baca-tulis-di

kalangan-remaja.html, diunduh pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 22.37 WIB.

Page 148: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Sekolah : SMAN………

Matapelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : XI /Ganjil

Materi Pokok : Menginterpretasi Unsur Intrinsik dan

Ekstrinsik Cerpen

Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Kompetensi Inti

KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,

peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan

proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai

permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial

dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam

pergaulan dunia

KI 3

:

Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan

faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin

tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora

dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban

terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan

prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan

minatnya untuk memecahkan masalah

KI 4

:

Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah

abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah

secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu

menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

Page 149: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

B. Kompetensi Dasar

4.1 Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan.

C. Indikator Pencapaian Kompetensi

4.1.1 Memahami isi teks cerita pendek.

4.1.2 Menginterpretasi isi (unsur intrinsik dan ekstrinsik) dalam cerita pendek secara

lisan.

4.1.3 Menginterpretasi isi (unsur intrinsik dan ekstrinsik) dalam cerita pendek secara

tulisan.

D. Tujuan Pembelajaran

1. Dengan membaca cerita pendek, siswa mampu memahami makna atau maksud

yang terdapat dalam teks cerita pendek.

2. Dengan berbicara, siswa mampu mempresentasikan unsur intrinsik dan

ekstrinsik yang ditemukan dalam teks cerita pendek.

3. Dengan menulis, siswa mampu menjelaskan makna yang ditemukan dalam teks

cerita pendek melalui tulisan.

E. Materi Pembelajaran

1. Unsur-unsur intrinsik cerpen

Tema

Tokoh dan Penokohan

Latar

Alur

Sudut Pandang

Gaya Bahasa

Amanat

2. Unsur ekstrinsik cerpen

Page 150: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

Biografi Pengarang

Kondisi sosial masyarakat yang melatari cerpen

F. Media Pembelajaran

1. Powtoon

a. Unsur intrinsik cerpen

b. Unsur ekstrinsik cerpen

2. Contoh teks cerpen

a. Kumpulan cerpen Panggilan Rasul

G. Sumber Belajar

1. Buku Cetak Bahasa Indonesia

2. Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul

3. Internet

H. Kegiatan Pembelajaran

1. Pertemuan (2JP)

a. Kegiatan Pendahuluan (8’)

Siswa merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan

kondisi dan pembelajaran sebelumnya.

Guru mengecek penguasaan kompetensi yang sudah dipelajari

sebelumnya dengan melakukan tanya jawab.

Guru menyampaikan garis besar cakupan materi dan kegiatan yang

akan dilakukan.

Guru menyampaikan lingkup penilaian, yaitu pengetahuan dan

keterampilan.

Guru menugasi siswa menyaksikan video Powtoon yang menayangkan

unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.

Page 151: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

b. Kegiatan Inti (60’)

1. Mengamati

Siswa menerima materi unsur-unsur intrinsik dalam cerpen yang

ditampilkan melalui proyektor.

Siswa secara individu mencermati unsur-unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam cerpen (slide powtoon) yang ditampilkan melalui

proyektor.

2. Menanya

Siswa membuat pertanyaan yang berhubungan dengan unsur-

unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.

3. Mengumpulkan informasi/mencoba

Siswa secara individu/kelompok berdiskusi untuk menemukan

unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen.

4. Menalar/Mengasosiasi

Siswa secara individu/kelompok berdiskusi untuk menyimpulkan

hasil temuan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerpen .

5. Mengomunikasikan

Siswa secara berkelompok menyampaikan hasil diskusi secara

bergantian.

Siswa lain menanggapi presentasi kelompok lain secara baik.

c. Kegiatan Penutup (12’)

Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran.

Guru menyampaikan umpan balik dalam proses pembelajaran

menemukan makna teks cerita pendek.

Guru menyampaikan tugas kepada siswa, yaitu membuat review

mengenai teks cerpen yang didiskusikan oleh masing-masing

kelompok.

Guru menyampaikan kegiatan pembelajaran pertemuan berikutnya

berdasarkan pengalaman yang paling mengesankan.

Page 152: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

I. Penilaian Hasil Pembelajaran

1. Teknik Penilaian

a. Aspek Sikap : Pengamatan

b. Aspek Pengetahuan : Tulis

c. Aspek Keterampilan : Lisan

2. Instrumen Penilaian

a. Penilaian Sikap

Rubrik Penilaian Sikap

No Nama Siswa Disiplin Jujur

Tanggung

Jawab Santun

Total

Skor

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1.

2.

3.

4.

dst

Keterangan:

Indikator PenilaianSikap

Disiplin

1. Tertib mengikuti intruksi

2. Mengerjakan tugas tepat waktu

3. Tidak melakukan kegiatan yang tidak diminta

4. Tidak membuat kondisi kelas menjadi tidak kondusif

Jujur

1. Menyampaikan sesuatu berdasarkan keadaan yang sebenarnya

2. Tidak menutupi kesalahan yang terjadi

3. Tidak mencontek atau melihat data/pekerjaan orang lain

4. Mencantumkan sumber belajar dari yang dikutip/dipelajari

Tanggung Jawab

1. Pelaksanaan tugas piket secara teratur.

Page 153: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

2. Peran serta aktif dalam kegiatan diskusi kelompok

3. Mengajukan usul pemecahan masalah.

4. Mengerjakan tugas sesuai yang ditugaskan

Santun

1. Berinteraksi dengan teman secara ramah

2. Berkomunikasi dengan bahasa yang tidak menyinggung perasaan

3. Menggunakan bahasa tubuh yang bersahabat

4. Berperilaku sopan

b. Penilaian Pengetahuan

No. Indikator Pencapaian

Kompetensi Teknik

Penilaian Bentuk

Penilaian Instrumen

1. Menemukan unsur intrinsik

dan ekstrinsik dalam cerpen

Tulis Uraian Temukan unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

dalam cerpen

Panggilan

Rasul!

2. Mempresentasikan unsur

intrinsik dan ekstrinsik yang

ditemukan.

Lisan Presentasi Presentasikan

unsur intrinsik

dan ekstrinsik

yang ditemukan

dalam cerpen

Panggilan

Rasul!

c. Penilaian Keterampilan

No. Indikator Pencapaian

Kompetensi Teknik

Penilaian Bentuk

Penilaian Instrumen

3.

Membuat reviu terhadap

cerpen yang telah dibaca dan

dianalisis.

Tulis Uraian Buatlah reviu

terhadap hasil

cerpen

Panggilan

Rasul!

Page 154: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

3. Pedoman Penskoran

No. ASPEK PENILAIAN BOBOT NILAI

1 Menemukan unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam cerpen 3 10

2 Mempresentasikan unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam cerpen 3 10

3 Mampu membuat reviu terhadap cerpen

yang telah dibaca dan dianalisis. 4 10

TOTAL NILAI: (Bobot x nilai) 100

Tangerang Selatan, Mei 2018

Mengetahui

Kepala SMA/MA

Guru Mata Pelajaran,

Drs. H.Wawan Siswandi, M.Pd.

NIP.

Maria Ulfa, S.Pd.

NIP.

Page 155: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 156: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 157: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 158: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 159: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 160: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 161: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 162: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 163: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN
Page 164: NILAI KEMANUSIAAN DALAM KUMPULAN CERPEN

TENTANG PENULIS

Maria Ulfa, lahir di Cirebon, 4 Oktober

1993, menyelesaikan pendidikan

formalnya di SDN 114373 SEI

TAMPANG, Sumatera Utara.

Kemudian menyelesaikan pendidikan

menengah pertama di SMPN 1

PANGURAGAN, Cirebon, lalu

melanjutkan pendidikan menengah

atasnya di SMKN 1 KEDAWUNG,

Cirebon dan melanjutkan pendidikan

yang lebih tinggi di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

dengan bidang studi pilihan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

Anak pertama dari empat

bersaudara ini memilih menjadi

perantau demi mengejar cita-citanya

untuk mengenyam pendidikan di tingkat

yang lebih tinggi. Pernah berpindah-

pindah domisili membuatnya memiliki

banyak teman dari berbagai latar belakang suku yang berbeda. Selain itu, penulis

juga pernah mengikuti berbagai lomba mulai dari cerdas cermat, hingga Olimpiade

Biologi tingkat kabupaten. Di samping itu, penulis bertubuh minimalis ini memiliki

banyak kegemaran di antaranya yaitu, membaca buku, menyanyi, dan menonton

drama korea. Menurutnya, aktivitas apapun akan bermanfaat jika diawali dengan niat

yang baik. Selain itu, ia memiliki motto dalam hidupnya seperti berikut ini, “Jarak

antara tangis dan tawa adalah seumpama kepingan logam, jadi senantiasalah

bersyukur dan melakukan hal yang positif”.

Selama menjadi mahasiswa, penulis juga memiliki kegiatan lain di waktu

luangnya yaitu menjadi tutor di berbagai lembaga bimbel maupun privat. Beberapa

lembaga bimbel yang pernah menjadi tempatnya bekerja yaitu, Studia Center,

Maestro Bintaro, dan To Be Course Private.