388

Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

  • Upload
    insuj

  • View
    359

  • Download
    82

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kumpulan cerpen kelas A & B Sastra Inggris 2013 Unesa

Citation preview

Page 1: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

MENGINTIp masa lalu

M A S A L A L U

M E N G I N T I P

Page 2: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

M E N G I N T I P

Page 3: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

sebuah buku persembahan kelas sastra inggris 2013

Page 4: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mengintipmasa lalumengintipmasa lalumengintipmasa lalu

dari balik lubang kunci yang disimpan dalam saku

pernahkah kamu sendirianmembayangkandi masa dulu

bagaimana kamu?

sedih,gelak,doa,haru,bahagia,pilu

dari sekian banyak manusiatuhan memilihmu

ini hanya sedikit bernostalgiabukan memungkiribukanmengadu

Page 5: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

"the pow er of emak" — fmasyitha"the best choice of my life” — esti a

"tidak sedang tidak-tidak" — kemal a"harga mati untuk derajat orang tua" — galih j

"belum kaya bukan berarti tak bisa berbagi" — imroatul m

"copet sana-sini" — prita d"lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati" — revi cho

"dia, saat mereka berkata" — arvin a"sister school program" — aziz n

"arti sebuah pertemanan" — sri l"teman-temanku inspirasiku" — firda u

"bekerja keras demi masa depan" — ita"mengubah pesimis jadi optimis" — derit a

"aku mau ke mana??” — frida a"bapak profesor" — merry t

"my experience" — nur h"inspirasiku" — lela r

"jangan meremehkan orang lain" — laurenna y"life is struggle" — layyin m"polisi juga manusia" — lutfiatul i"‘sahabat’ penyemangat" — mayank p"perjuangan 600 ribu" — m t herlina

"angelku yang cantik" — w sisca"rumah kedua" — m nahrul"love it first" — w iw it w

"hati-hati kesandung, udah kesandung!" — regine"terima kasih, mbak acis!" — nia k

peraga — ranasyaa, dabira hpenggagas ide "titik nol" — ratih n

sampul, penyunting naskah, penata letak — ins uj

berbarisnama

Page 6: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pak slamet setiaw ansebagai

kepala jurusan, penyunting, dan teman.

terima kasih kepada

"perubahan itu perlu" — rafika y"sulitnya masuk kuliah” — ratna l"tokoh inspirasiku" — ravensca a"dia yang mengajarkanku ..." — rizky l

"w anita tua pedagang minuman" — lidiya r"keringat pejuang" — mariyama d

"aw as begal!!!" — nho"mas akbar" — nur l

"kibar 2010" — r arnas"keterbatasan bukan alasan" — sandi k"biarkan ayah dan ibu ..." — sheellviana d"sang w anita besi" — sri h

"kisah hidup osd" — zainiyah n"orang yang direndahkan" — mas a

"penjual amplop" — retno w"entahlah" — m iqbal

"tidak ada kata menyerah” — fikriyyatul u"’ojo w edi dadi santri!’" — h yaqin

"ibu" — ittaqi t"sahabat unmainstream" — laily d

"baharudin jusuf habibie" — astri r"membuat hidup lebih berarti" — azhar s

"lingnan impression ..." — dsp"pengakuan sederhana" — diana a"malaikat penolong" — fadhilah

"ayo jalan!" — afina u"prajurit dili 1992" — alfian ep

"inspiring story of mark zuckerberg" — alif b"ladang ilmu" — anindya k

"peduli, berbagi, dan berkontribusi" — arif s

Page 7: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berbaris

lamana sastra a

arvin a _______________________________________ 347

aziz n _______________________________________ 008

derit a _______________________________________ 039

esti a _______________________________________ 026

firda u _______________________________________ 067

fmasyitha ____________________________________ 283

frida a _______________________________________ 123

galih j _______________________________________ 274

imroatul m ____________________________________ 269

ita _________________________________________ 012

kemal a ______________________________________ 289

laurenna y ____________________________________ 182

Page 8: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

layyin m _____________________________________ 034

lela r ________________________________________ 128

lutfiatul i _____________________________________ 186

mayank p_____________________________________ 046

merry t ______________________________________ 177

mt herlina ____________________________________ 053

m nahrul _____________________________________ 115

nia k ________________________________________ 137

nur h ________________________________________ 022

prita d _______________________________________ 060

regine _______________________________________ 065

revi cho ______________________________________ 171

sri l _________________________________________ 132

w sisca ______________________________________ 355

wijayanti _____________________________________ 001

Page 9: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

sastra b

afina u ______________________________________ 151

alfian ep _____________________________________ 313

alif b ________________________________________ 200

anindya k _____________________________________ 71

arif s ________________________________________ 77

astri r _______________________________________ 205

azhar s ______________________________________ 82

dsp _________________________________________ 213

diana a ______________________________________ 88

fadhilah ______________________________________ 293

fikriyyatul u ___________________________________ 145

h yaqin ______________________________________ 192

ittaqi t ______________________________________ 323

laily d _______________________________________ 155

lidiya r _______________________________________ 220

mariyama d ___________________________________ 326

Page 10: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mas a _______________________________________ 95

m iqbal ______________________________________ 300

nho _________________________________________ 226

nur l ________________________________________ 247

rafika y ______________________________________ 108

ratna l _______________________________________ 100

ravensca a ____________________________________ 233

retno w ______________________________________ 251

rizky l _______________________________________ 160

r arnas ______________________________________ 164

sandi k ______________________________________ 257

sheellviana d __________________________________ 335

sri h ________________________________________ 263

zainiyah n ____________________________________ 241

Page 11: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berbaris

kata Awal perkuliahan semester genap Februari 2015 merupakan lembaran

baru bagi mahasiswa angkatan 2013 prodi Sastra Inggris, FBS Unesa.

Lembaran baru ini dihiasi dengan Gerakan Literasi meskipun dalam lingkup

kecil dan sederhana. Mahasiswa diwajibkan membaca buku pilihannya

sebelum pelajaran dan menulis artikel sesuai dengan tema kesepakatan

kelas, “Cerita inspiratif dari pengalaman pribadi”. Semangat sederhana dari

gerakan ini: menumbuhkan budaya baca dan membiasakan budaya tulis.

Cita-cita mulianya: menyiapkan lulusan yang tidak hanya dapat bersaing

tetapi juga memenangkan persaingan di era global.

Gerakan menuju era global menuntut generasi muda memiliki

kecakapan berkomunikasi; baik lisan maupun tulis. Pengetahuan dan

keterampilan yang mengarah pada kecakapan hidup juga diperlukan. Yang

tidak kalah penting adalah penguatan aspek mental kepada para generasi

Page 12: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

muda; sikap mental sebagai pemenang. Pelajaran semacam ini tidak hanya

diperoleh melalui ruang-ruang kelas, pendidikan formal, orang-orang yang

empunya dua atau tiga title; namun bahkan kebanyakan pelajaran mental

diperoleh di mana saja, kapan saja, dari siapa saja. Artikel-artikel dalam

buku Mengintip Masa Lalu ini mampu membuktikannya. Berbagai pelajaran

mental dikemas dengan sajian menarik dikelompokkan dalam sub-sub

tema yang kreatif penamaannya.

Pemegang Kunci. Bagian pertama buku ini menampung paling banyak

cerita. Berbagai pengalaman pribadi yang menggambarkan usaha

mencapai impian ditulis dalam bahasa yang lugas dan sederhana.

Digambarkan betapa pentingya peran “niat kuat” dan “usaha keras” dalam

menggapai cita-cita. Tentu banyak rintangan yang menghalangi: izin orang

tua, keuangan, jarak, bahkan keterbatasan diri, dan lain-lain. Namun kisah-

kisah pribadi pada bagian ini menunjukkan bahwa rintangan bukanlah

suatu hambatan tetapi suatu tantangan. Kemampuan mengubah energi

negatif menjadi energi positif. Tidaklah dipungkiri bahwa pelajaran moral

yang disampaikan penulis sangatlah inspiratif.

Page 13: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

Berkawan Terang: Bagian ini menyuguhkan cerita terkait pertemanan.

Teman adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan kehidupan. Tak

seorang pun dapat hidup tanpa kehadiran seorang teman. Bahkan teman

dapat membentuk karakter seseorang. Terkadang ada teman yang mampu

membuat kualitas hidup menjadi lebih baik, namun ada juga teman yang

menuntun kita ke arah keterpurukan. Pantaslah perkataan: Kalau ingin

tahu sifat sebenarnya seseorang, tanyakan siapa teman karibnya.

Berbagai pesan disampaikan pada bagian ini, salah satunya adalah: Teman

yang baik adalah teman yang berani menyampaikan secara jujur

kekurangan teman dekatnya.

Terinspirasi Inspirasi. Munculnya ‘greget’ (baca: niatan) untuk menjadi

lebih baik dapat terinspirasi dari orang lain yang terkadang tidak

disengaja. Bagian ini dipilih untuk tempat menampung cerita-cerita itu.

Ada seseorang yang awalnya diremehkan justru menjadi sumber inspirasi.

Ada seseorang yang awalnya dinobatkan sebagai sumber inspirasi, namun

karena suatu hal sumber inspirasi itu memudar dan akhirnya menimbulkan

kekecewaan. Ada seseorang yang memiliki perilaku paradoks di era ini

Page 14: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mampu menginspirasi orang lain. Contohnya: orang yang terlihat meminta

bantuan justru memberi sedekah; orang yang terlihat miskin justru kaya

hati; kebanyakan orang berusaha berbuat curang untuk mendapatkan yang

diinginkan justru ada orang berusaha jujur dalam menjalankan kehidupan.

Inspirasi juga datang tak terduga dari orang di atas kursi roda yang begitu

sabar lan narimo (sabar dan ikhlas) menjalani cobaan dan takdir Allah.

Cobaan dan takdir tidak dijadikan alasan untuk tidak berbuat kebaikan.

Tidaklah berlebihan bahwa salah satu pesan moral pada bagian ini adalah:

Don’t judge the book by its cover.

Mereka-ku. Anggota keluarga utamanya kedua orang tua adalah orang

terdekat yang berperan besar dalam menanamkan karakter dan mental

juara. Cara membangun karater dapat melalui ucapan, sikap, dan

perbuatan. Orang tua yang normal pasti menghendaki anak-anaknya

menjadi orang baik dan sukses. Untuk mencapai harapan itu, orang tua

rela dan ikhlas menanggung resiko. Dengan pengorbanan, si anak terlecut

semangat juangnya. Di sisi lain, keterpurukan keluarga bukanlah halangan

untuk tidak bangkit. Justru keterpurukan menjadikan anggota keluarga

Page 15: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

menemukan jalan kesuksesan. Bagian ini memuat cerita-cerita yang

memuat paparan tersebut. Benang merah di antara cerita-cerita itu adalah

perlunya komunikasi dan kerjasama yang baik antara orang tua dan anak.

Titik Nol. Bagian ini menggambarkan ‘adanya ketiadaan’ yang dapat

memunculkan kebulatan tekad. Cerita-cerita yang disajikan mampu

melibatkan pembaca masuk ke dalam pusaran haru. Dari keharuan itulah

kebulatan tekad muncul dan menyala sepanjang masa. Karena keharuan

itu terjadi akibat suatu perpisahan abadi: kematian. Kematian orang-orang

tercinta yang meninggalkan wasiat. Pelajaran yang disampaikan adalah

orang-orang yang kita cintai memang benar mati, tetapi sesungguhnya

mereka tetap hidup dalam hati berbentuk semangat dan cita-cita yang

diwariskan melalui kata-kata yang telah dinasihatkan dan perbuatan yang

dicontohkan semasa hidupnya.

Karya sederhana ini merupakan hasil nyata gerakan literasi. Bagi

sebagian orang, mungkin cerita-cerita ini adalah hal-hal biasa. Namun,

tautan kata, frasa, dan kalimat yang dituangkan dalam sebuah cerita dan

dikumpulkan dalam buku ini merupakan refleksi mendalam dari proses

Page 16: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

kehidupan yang dialami, direnungkan, disimpan, dan dikenang oleh masing-

masing penulis. Tidak hanya itu, cerita-cerita dalam buku ini mampu

menebar nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan meskipun sederhana adanya.

Selamat menikmati.

Surabaya, 8 Juni 2015

Slamet Setiawan

Page 17: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

“Jika kamu ingin berhasilmaka

kamu harus menyukai apa

yang kamu lakukan terlebih dahulu

lalu lalu bersungguh-sungguh

memperjuangkannya.”

pemegang kunci

Page 18: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 1

satu

Love It First

(Wijayanti)

Pada saat aku masih di sekolah dasar, bahasa Inggrisku sangatlah

jelek. Ya, jelek dan aku tidak bohong. Mungkin alasan utamanya karena

aku tidak mendapatkan buku paket bahasa Inggris saat aku kelas 3, di

mana itulah sebenarnya titik awal murid-murid SD pertama kalinya

diperkenalkan pelajaran ini. Bukan karena aku tak mampu membeli,

malah sebenarnya aku sudah membayar uang buku tetapi sampai detik

ini Pak Guru bahasa Inggis, sebut saja Pak Budi, belum memberikan

bukunya padaku. Permasalahan yang simpel sebenarnya, aku bisa saja

membeli lagi buku yang sama di toko buku, tetapi sayang tidak ada yang

menjual buku seperti itu di toko-toko buku di daerahku. Aku sudah

Page 19: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 2

berulang kali dan tiada bosan menanyakan kapan bukuku akan diberikan,

tetapi Pak Budi juga sudah berulang kali dan tiada bosan mengatakan

dia lupa memesankan bukunya. Mungkin karena aku dulu begitu lugu dan

pemalu jadi aku menurut dan nunut saja pada guru dan tak pernah

sedetik pun terlintas di benakku untuk mencoba memfotokopi bukunya.

Oh, silly little me.

Sampai akhirnya tak terasa tahun ajaran telah berganti dan aku pun

akan naik kelas 4. Dan selama setahun aku di kelas 3, aku sama sekali

tidak bergantung pada buku paket bahasa Inggris. Setiap pelajaran

bahasa Inggris, aku terpaksa berbagi dengan teman sebangkuku yang

sudah mendapatkan bukunya. Akan menyenangan jika seandainya teman

sebangkuku adalah teman yang baik, pengertian akan kondisiku, juga

rajin menabung dan tidak sombong. Tapi apa boleh buat, teman

sebangku waktu itu adalah seorang anak laki-laki bertubuh tinggi besar,

berambut semir pirang, berpenampilan sangar, dan bergaya preman

pasar yang sebelumnya pernah tiga tahun tidak naik kelas. Untung-

Page 20: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 3

untung jika ia mau berbagi buku denganku, saling berinteraksi saja kami

jarang lakukan. Untuk menatap matanya pun aku tak kuasa dan tak ada

nyali apalagi memintanya untuk meminjami buku.

Tak ingin cari mati aku, pikirku galau. Jadilah selama setahun itu

aku meletakkan nasib nilai bahasa Inggrisku di tangannya. Jika ia

sedang berbaik hati maka ia akan membagi bukunya denganku

(meskipun ia akan menggerutu sepanjang pelajaran). Tapi lain cerita jika

ia sedang badmood, melihat ke arahku pun tidak.

Itulah sebabnya dulu aku sangat tidak tertarik pada pelajaran yang

berbau bahasa Inggris. Sampai lulus sekolah dasar pun tak ada secuil

minatku untuk belajar bahasa Inggris. Nilai terendahku saat ujian

nasional sudah bisa dipastikan pelajaran bahasa Inggris. Terkadang iri

rasanya melihat beberapa temanku piawai dalam pelajaran satu itu,

ingin rasanya bisa seperti mereka, tapi ah, biar saja toh aku sudah muak

dengan bahasa Inggris.

Memasuki sekolah menengah pertama, aku ternyata masuk ke

Page 21: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 4

dalam kelas unggulan di salah satu SMP favorit di daerahku. Keinginan

untuk (setidaknya) mempelajari dasar-dasar bahasa Inggris tak

disangka-sangka dan tiba-tiba muncul dalam benakku. Entah kenapa

muncul keinginan seperti itu—mungkin karena melihat teman-teman

lihai dan nyaman dalam menggunakan bahasa Inggris. Akhirnya, sedikit

demi sedikit aku mulai fokus dan bersungguh-sungguh belajar. Tak lagi

sekadar masuk kuping kanan keluar kuping kiri, tapi sudah mulai

kukatakan, “It is not that bad,” sadarku menyadarinya. Perlahan-lahan

aku mulai menyukai bahasa Inggris. Aku tertarik dengan struktur

kalimatnya yang beraturan, cara pelafalan katanya yang berbeda, kosa

kata yang beragam, dan hal-hal lain yang membuatku ingin mempelajari

lebih dalam. Apalagi saat kakak pertamaku mendapat kesempatan

untuk pergi ke Inggris sebagai wakil Indonesia dalam pertemuan

mahasiswa sedunia EYP. Di situlah turning point-ku. Mendengar cerita

kakak tentang bagaimana hidup sementara di sana, bagaimana serunya

bertemu dengan orang-orang dari segala penjuru dunia, dan

Page 22: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 5

berkomunikasi dengan mereka menggunakan bahasa Inggris,

menggugah hatiku untuk mengeksplor bahasa Inggrisku.

Mimpi dan cita-citaku berubah sejak itu. Aku ingin seperti kakak.

Bukan, aku ingin melebihi kakak. Aku ingin pergi ke Inggris, mempelajari

segala budaya yang ada di sana, bertemu dan berkomunikasi dengan

orang-orang dari segala penjuru dunia, saling berbagi cerita dan

pengalaman. Dan jika Tuhan mengizinkan, aku berharap sekali untuk

melanjutkan pendidikan sembari mengenalkan budaya Indonesia ke

sana. Sejak saat itu aku mulai lebih giat lagi belajar bahasa Inggris,

mengikuti kompetisi bahasa Inggris, meski terkadang aku tidak menjadi

juara tapi semua itu aku jadikan pengalaman dan pelajaran untuk lebih

baik ke depannya. Hingga bahasa Inggris yang membawaku untuk kuliah

di jurusan Sastra Inggris Unesa ini. Meskipun terkadang beberapa orang

beranggapan, “Apa masih jaman kuliah bahasa Inggris? Kupikir sudah

terlalu banyak orang yang melakukannya. Mau jadi apa ke depannya jika

mengambil jurusan seperti itu?” Anggapan dan ekspresi yang

Page 23: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 6

menunjukkan pemikiran seperti itu yang kadang kala tampak pada diri

beberapa orang ketika aku menjawab di mana dan jurusan apa yang

kuambil. Tapi aku akan tetap menjawab dengan bangga bahwa aku

berkuliah di jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.

People can talk whatever they want. People will judge. Let them be.

But I never let them falter my steps to my dreams. Because this is my

own choice. This is my life not theirs.

Aku jadikan pendapat-pendapat itu sebagai motivasiku untuk

mengembangkan diri, terus berjuang menggapai mimpi-mimpi, dan

membuktikan bahwa jurusan Sastra Inggris Unesa tidaklah seperti yang

mereka pikirkan.

Begitulah asal mulanya aku mulai menyukai, bukan, mencintai

bahasa Inggris. Benar kata orang,

“Jika kamu ingin berhasil maka kamu harus menyukai apa yang

kamu lakukan terlebih dahulu lalu bersungguh-sungguh

memperjuangkannya.”

Page 24: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 7

Terlihat sepele dan sering diabaikan memang. But how can you

expect more from it when you don’t really like what you do? It doesn't

work that way. You have to love it first. Seberapa pun kamu mencoba,

jika kamu tidak benar-benar menyukainya maka hal itu tidak akan

maksimal seperti yang kamu harapkan.

Page 25: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 8

Sister School Program

(Aziz N)

Hingga hari ini masih terkenang bayang-bayang hari itu. Hari di mana

saya yang tertutup membuka diri untuk memperluas wawasan dan

limpahan pengalaman. Tiga tahun lalu saya hanyalah seorang siswa

biasa tanpa prestasi. Jika pun ada, itu pun saat SMP, saya dipredikatkan

sebagai murid teladan. Namun itu bukanlah fokus cerita ini, jadi mari

kita kembali ke jalan yang benar.

Seperti yang saya akui pada baris ketiga, saya tidak memiliki

pencapaian akademik maupun non-akademik. Hal tersebut melahirkan

sebuah “kompleks” dalam benak yang mengakibatkan saya merasa iri

terhadap teman-teman yang berpretasi. Saya masih duduk di bangku

kelas 2 dan saya mendengar tentang program Sister School yang akan

diadakan pihak sekolah saya dan sekolah di Malaysia. Singkatnya,

program tersebut seperti program pertukaran pelajar di mana sekolah

kami mengirim beberapa perwakilan siswa untuk belajar di SMA yang

Page 26: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 9

berada di Malaysia. Sekolah yang dimaksud adalah Kolej Islam Sultan

Alam Shah sebuah boarding school berbasis Islam. Biasanya kita kenal

dengan istilah “pondok pesantren”. Awalnya saya tidak begitu tertarik

dikarenakan biaya yang sangat mahal sekitar tujuh juta rupiah. Namun,

karena dorongan ibu—yang juga seorang guru BK—saya putuskan “to

give it a shot”. Kebetulan ibu juga mengikuti tur tersebut.

Walaupun saya telah memutuskan untuk ikut, masih ada perasaan

bersalah karena faktanya tur itu akan memakan jutaan rupiah. Sebuah

jumlah yang cukup besar bagi seorang siswa seperti saya. Ditambah

lagi, saya memiliki kesusahan untuk bersosialisasi dengan peserta lain

karena banyak yang berasal dari generasi atas. Untungnya, ada

seseorang dari satu generasi meskipun beda kelas. Setidaknya saya

tidak terlalu canggung.

Tentu saja, program ini bukan hanya perjalanan cuma-cuma. Sebagai

peserta, kami diwajibkan mempertontonkan sebuah pertunjukan

tradisional yang ditujukan kepada pihak Kolej Islam Sultan Alam Shah

Page 27: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 10

sebagai suatu prosesi pertukaran seni budaya. Maka dari itu, jauh

sebelum jadwal keberangkatan, kami dibimbing pihak sekolah untuk

berlatih memainkan gamelan.

Jika diperhatikan dari kemampuan kami, saya merasa kewajiban

tersebut sangat berat. Selain tidak adanya keahlian bermusik (dalam

hal ini, gamelan) kami juga tidak memiliki waktu senggang yang cukup

dikarenakan proses pembelajaran kami padat dan para siswa kelas tiga

sudah mempersiapkan diri untuk Unas. Namun, setelah menjalani

beberapa kali latihan, ternyata gamelan tidak sesulit yang kami kira.

Bisa dibilang kami mudah beradaptasi dengan alat musik dan

penyelarasan nada-nadanya.

Hari demi hari berlalu. Terkadang beberapa hal tidak berjalan mulus.

Salah satunya, keterlambatan peserta. Hingga akhirnya mencapai

puncak para guru pembimbing kami geram. Kami mendapat jatah kata-

kata pedas. Kami pun menyadari kesalahan kami dan berjanji tidak akan

mengulangi. Latihan pun berlangsung seperti biasa hingga jadwal

Page 28: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 11

keberangkatan ke Malaysia.

Tiba di Malaysia tepat di hari yang sama saat kami berangkat. Kami

menginap di Kolej Islam Sultan Alam Shah 4 hari 3 malam. Hari pertama

acara pengenalan sekolah hingga hari ketiga. Di hari terakhir kami pun

bersiap-siap untuk menampilkan performa kami. Kami bersemangat

walau sedikit was-was dengan penampilan kami nanti.

Hingga semua itu kacau ketika kami tampil. Ternyata gamelan

Malaysia berbeda dengan yang ada di Indonesia. Ada instrumen yang

tidak ditemukan di gamelan Malaysia sedangkan pihak Kolej tidak

memiliki set gamelan Indonesia. Sehingga kami menyanyikan lagu-lagu

yang seharusnya dibawakan oleh sinden-sinden sekolah kami.

Suasananya terasa aneh ketika tampil. Tentu saja teman-teman juga

merasakan hal yang sama. Kerja keras, keringat, dan air ludah guru

terbuang percuma. Namun, hal ini menjadi kenangan yang istimewa bagi

kami. Pasalnya kami telah menjadi keluarga dekat semenjak pelatihan

gamelan tesebut.

Page 29: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 12

Bekerja Keras Demi Masa Depan

(Ita)

Bagi mahasiswa yang masih bergantung dari biaya orang tua

memanglah tidak terlalu punya beban, tapi kadang kala kita harus tahu,

di balik orang tua yang bisa membiayai kita, di sana ada perjuangan dan

kerja keras.

Namaku Ita, aku hanya memiliki ibu dan satu kakak laki-laki. Ayahku

telah meninggal 15 tahun lalu, saat itu aku berumur 5 tahun. Tidak

mudah bagi ibuku, yang seorang penjahit, menafkahi keluarga termasuk

membiayai kuliahku.

Kadang aku berpikir, ingin rasanya memiliki pekerjaan paruh waktu

untuk meringankan ibu dalam membiayai kami, tapi ketidaksetujuan

kakak dan ibu membuang keinginanku. Mereka menginginkanku untuk

fokus pada kuliah. Ibu yang tahu kesulitan dalam jurusan yang aku

ambil, mengatakan lebih baik aku belajar lebih giat lagi, jangan

mengecewakan dan selalu bekerja keras bila ingin sukses di kemudian

Page 30: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 13

hari. Itulah yang selalu aku ingat.

Kehidupanku di kampus sama seperti yang lain, tapi ada

kelemahanku di sini: aku susah untuk memahami pelajaran lebih cepat.

Itulah yang selalu dikhawatirkan ibu terhadapku. Kadang aku berpikir

aku salah mengambil jurusan, tapi temanku berpikiran lain. Menurutnya,

tidak ada orang yang salah mengambil jurusan jika ia yang memilih

sendiri dan tanpa paksaan. Menurutku, ada benarnya juga. Sekarang

tinggal aku melatihnya agar bisa mencapai semaksimal mungkin dan

tidak mengecewakan ibu.

Dalam kelas yang hanya berjumlah 22 murid, aku selalu mengamati

setiap anak di sana. Mereka pintar, bahkan dalam urusan speaking

mereka jago-jago. Aku merasa minder dan tidak mampu, yang selalu aku

pikirkan adalah aku tidak mampu. Tapi, tidak bagi temanku yang selalu

mendukungku, menyemangati aku agar tidak menyerah di tengah jalan.

Aku mengerti maksud mereka, aku juga tidak akan mundur di tengah-

tengah.

Page 31: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 14

Mereka teman yang baik yang tidak hanya mementingkan diri

sendiri. Mereka selalu mengajariku seusai kuliah, aku senang memunyai

mereka sebagai temanku. Tidak hanya pintar, tapi baik terhadap semua

orang. Memang tidak mudah bagiku mengharuskan diri seperti mereka,

tapi apa salahnya mencoba.

Hingga suatu hari perasaan malasku mulai kambuh. Malas belajar,

malas mengerjakan tugas, malas apa pun yang berhubungan dengan

kuliah.

“Apa yang harus aku lakukan?” pikirku. “Aku harus mengejar

semuanya kembali, setiap apa yang aku pelajari harus aku ulangi lagi.

Aku harus bangkit. Tidak boleh seperti ini, tidak boleh gagal dan

mengecewakan ibu di sana.” Dari tekad inilah, aku mulai belajar entah

itu sendiri atau berkelompok.

Ibu, aku akan menunjukkan padamu suatu hari nanti bahwa aku

bisa, dan aku akan menjadi orang sukses. Aku mengerti, menjadi ibu

sekaligus ayah tidaklah mudah, tapi ibu bisa dan aku tahu ibu adalah

Page 32: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 15

orang tua yang hebat. Untuk teman-temanku, juga tanpa kalian aku

tidak akan bisa, kalian menginspirasiku untuk menjadi pintar seperti

kalian.

Semester 4 telah dimulai, bukanlah hasil yang aku cari, tapi

bagaimana aku bisa membuktikan kepada semua kalau aku bisa berada

di antara kalian. Semoga saja.

Page 33: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 16

Aku Mau ke Mana??

(Frida A)

Mau ke mana? Ini adalah salah satu pertanyaan yang mengerikan

saat kita sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Bukan hanya dipusingkan

dengan ujian sekolah dan ujian nasional tetapi juga dipusingkan dengan

mau ke mana atau mau ngapain. Semua anak SMA pasti berkeinginan

untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena jaman sekarang ijazah

SMA tidak akan laku untuk melamar pekerjaan. Maka dari itu, semua

anak SMA pasti kebingungan ke mana mereka mau melanjutkan sekolah

begitu pun denganku.

Ada sebuah program yang diadakan oleh pemerintah untuk para

siswa yang ingin masuk ke universitas tanpa tes, tetapi menggunakan

nilai rapor sebagai pertimbangan. Nama program itu adalah SNMPTN

(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Program tersebut

berlangsung sebelum ujian nasional. Aku pun mencoba peruntungan di

sana.

Page 34: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 17

Saat aku mau mendaftar SNMPTN, sebuah kabar datang, sungguh

booming. Kabar itu tentang seseorang yang bisa memberi kita nasihat

untuk masuk ke perguruan tingi mana. Saat itu hampir semua murid dari

SMA favorit di kotaku pergi ke sana, termasuk teman-temanku.

Sebenarnya aku tidak tertarik, tetapi karena mereka mengajakku—

walaupun sekadar main-main—akhirnya aku ikut. Kubawa buku rapor

untuk dilihat oleh orang-pemberi-nasihat itu.

“Ini antri sembako apa mau konsultasi?” tanyaku pada teman-

teman, karena yang kulihat memang antrian yang begitu panjang.

Mereka hanya tertawa sambil menunggu giliran kami masuk.

Setelah kira-kira 30 menit akhirnya giliran kami. Satu per satu dari kami

berkonsultasi. Dan sampailah giliranku. Pertama orang tersebut melihat

nilai-nilai raporku dari kelas 10 dan mulai berbicara.

“Kamu anak IPA ya?”

“Iya, Mas, aku anak IPA.”

“Kamu pengen masuk jurusan apa? Kalo yang di prodi IPA

Page 35: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 18

kelihatannya agak susah.” Entah bertanya, entah memprediksi.

“Engak kok, Mas, aku pengen masuk jurusan bahasa enggak yang

berhubungan dengan IPA, aku mau jurusan sastra Inggris.”

“Kamu mau masuk universitas mana?”

“Aku ngga ngerti mau masuk mana,” jawabku yang memang

kenyataannya aku kebingungan.

“Yaudah, bagaimana kalo kamu masuk Undip aja?”

Setelah dia memberi nasihat itu aku pun hanya mengangguk dan

mengiyakan apa yang dia ucapkan. Keesokan harinya saat aku dan

teman-teman berkumpul, kami hanya ketawa-ketawa dengan apa yang

kami lakukan kemarin. Banyak dari mereka yang enggak percaya

termasuk aku. Akhirnya kami mengisi form SNMPTN sesuai dengan apa

yang kami inginkan.

Dari awal aku memang berencana dan ingin masuk jurusan English

Literature. Waktu SNMPTN kami memiliki kesempatan memilih 4

jurusan di 2 universitas berbeda. Kuisi formku dengan jurusan Ahli Gizi

Page 36: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 19

dan English Literature Universitas Gadjah Mada dan English Literature

Universitas Negeri Malang. Aku memilih kedua universitas tersebut

sebenarnya karena UGM dari hometown-ku lebih dekat.

Pengumuman SNMPTN pun datang. Tetapi, sayangnya aku enggak

lolos pada seleksi ini. Sedikit kecewa memang, karena aku tahu teman

sekelasku yang nilainya tidak lebih bagus dariku diterima di universitas

dan jurusan yang aku pilih. Ini tidak adil. Bagaimanapun aku menerima

bahwa SNMPTN itu adalah tentang keberuntungan dan saat ini aku

belum terlalu beruntung untuk bisa lolos.

Setelah pengumuman itu, aku langsung kebingungan karena mau

tidak mau aku harus mengikuti seleksi selanjutnya, yaitu SBMPTN

(Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Seleksi ini

merupakan seleksi tulis dan berdasarkan kemampuan kita di akademik.

Aku pun harus berusaha keras untuk ini. Karena jurusanku waktu SMA

adalah IPA dan jurusan yang ingin kutuju bagian dari prodi IPS, jadi mau

ngga mau aku harus mempelajari IPS dari awal yang kenyataannya

Page 37: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 20

selama 3 tahun terakhir aku hanya berkutat dengan Biologi, Fisika,

Kimia, dan teman-temannya. Satu bulan setengah semuanya aku

siapkan untuk tes ini.

Pada saat SBMPTN aku memilih 3 universitas berbeda, tetapi

jurusan yang sama, yaitu English Literature, salah satunya Sastra

Inggris Universitas Negeri Surabaya. Untuk tes ini banyak pilihan

tempat, tetapi aku menentukan pilihan di Yogyakarta yang menurutku

kota yang jauh lebih dekat dari kotaku dibanding dengan Surabaya dan

Malang. Untung saja di Jogja ada mbak sepupuku yang berkuliah di sana.

Sehari sebelum tes, aku diantar mbak melihat lokasi tes yang

berada di kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Jogja sungguh besar

aku pun harus menghafal jalan sendiri karena mbakku besoknya tidak

bisa mengantarkan. Keesokan harinya, aku sampai tujuan dan

melaksanakan tesku dengan lancar. Alhamdulillah.

Saat tes aku sempat melihat beberapa anak yang ada di sebelahku.

Betapa aku shocked dengan lembar jawaban mereka. Lembar jawaban

Page 38: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 21

mereka hampir penuh tapi milikku malah banyak yang kosong.

Setelah pusing-pusing dengan SBMPTN, tinggal waktuku untuk

menunggu pengumuman di rumah. Saat aku dan seluruh keluargaku

berkumpul, tidak sengaja kami ngobrol dan membahas kuliahku.

“Frida, gimana tesmu kemaren?” ayahku bertanya.

“Alhamdulillah lancar, Yah, tapi enggak tau hasilnya nunggu aja dulu.”

“Semoga lolos ya, Nak, soalnya ayah enggak mampu kalo biayai di

universitas swasta,” nadanya sedih.

“Iya, Ayah, Frida yakin bisa kok.” Aku pun tersenyum padanya.

Mencoba sedikit menghibur.

Aku pun berpikir keras. Hanya ini satu-satunya kesempatanku untuk

berkuliah, hanya tes ini yang bisa mengubah hidupku. Aku berdoa setiap

hari, sampai akhirnya pengumuman tiba. Alhamdulillah aku diterima di

jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Semua anggota

keluargaku menangis bahagia bersamaku.

Page 39: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 22

My Experience

(Nur H)

Pengalaman ini saya dapat ketika saya lulus dari sekolah menengah

atas dan memutuskan lanjut ke jenjang lebih tinggi yaitu kuliah. Ketika

mendaftar ke perguruan tinggi, saya ingin sekali diterima di Universitas

Negeri Surabaya atau kerap disebut Unesa dan mengambil jurusan

English Literature.

Suatu hari saat pengumuman tiba, saya terkejut sekaligus senang

karena impian saya diterima di Unesa terwujud. Ketika saya mulai

menerima ilmu di kampus, saya syok. Ternyata, semua dosen

menjelaskan dalam bahasa Inggris. Awalnya saya kesulitan. Sewaktu

SMA, saya tidak terbiasa berbicara bahasa Inggris. Bahkan saat guru

menjelaskan materi juga jarang menggunakan bahasa Inggris. Jadi saya

gelagapan saat mengalami hal ini di bangku kuliah.

Kebingungan saya tidak cukup di situ. Saat mendapatkan mata

kuliah Sentence Writing, saya juga mendapatkan berbagai kesulitan.

Page 40: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 23

Apalagi tentang grammar-nya. Dari SD hingga SMA, saya paling tidak

suka dengan yang namanya grammar. Guru sedang menjelaskan, saya

hanya mendengar dari telinga kanan ke telinga kiri. Pada saat inilah

saya merasa sangat tertinggal dari teman-teman. Saya sempat berpikir

saya salah ambil jurusan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa pun

yang terjadi harus bisa dilewati. Saya meminta tolong teman untuk

mengajarkan materi dan menjelaskan ulang sampai saya benar-benar

mengerti. Akhirnya, usaha saya membuahkan hasil. Saya sudah

selangkah lebih maju. Sedikit lega karena bisa mengejar ketertinggalan.

Dari situ saya sadar bahwa saya harus berusaha lebih keras dalam

belajar. Dan tidak ada usaha yang akan sia-sia.

Selain itu, saya juga harus memperbaiki dan sering-sering berlatih

berbicara dalam bahasa Inggris. Saya sangat senang dengan program

ESC (English Speaking Community). Karena dari situlah saya bisa sering

belajar cara berbicara langsung menggunakan bahasa Inggris. Dengan

begitu, secepatnya saya akan terbiasa dengan suasana ini. Menurut

Page 41: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 24

saya, program tersebut sangatlah penting dan berguna bagi mahasiswa

untuk menambah skill mereka dalam speaking. Program ini biasanya

dilaksanakan setelah selesai jam kuliah. Namun terkadang di saat ada

jam kosong, kami manfaatkan untuk ESC.

Semenjak saya terus berusaha, saya mulai terbiasa dengan hal-hal

di kampus. Mulai dari penjelasan dosen yang menggunakan bahasa

Inggris sampai speaking. Saya juga sudah lebih mengerti grammar. Dari

pertama saya yang tidak tahu kapan harus menggunakan present tense,

past tense, past perfect tense, dan sebagainya.

Sampai-sampai pernah saat Writing ceroboh sehingga harus

merevisi. Awalnya bingung, setelah saya teliti lagi, ternyata saya salah

dalam penggunaan grammar. Beruntungnya saya memunyai teman-

teman baik hati yang mau mengajari saya sampai bisa. Jadi, jika

mengalami hambatan dalam belajar, saya belajar bersama mereka dan

saling berbagi ilmu.

Jika jenuh, saya akan mencari hiburan untuk menyegarkan pikiran.

Page 42: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 25

Terkadang main game atau sekadar main ke kos teman. Menurut saya

otak pun perlu istirahat. Jadi kalau kalian lelah belajar, beristirahatlah

untuk mengumpulkan tenaga, baru belajar lagi.

Saya kira cerita di atas merupakan salah satu pengalaman saya saat

kali pertama menginjakkan kaki di Unesa hingga sekarang. Saya merasa

sangat senang bisa belajar di sini. Saya harus tetap belajar lebih rajin lagi

agar sukses dalam menuntut ilmu dari sekarang sampai nanti kelulusan

datang.

Page 43: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 26

The Best Choice of My Life

(Esti A)

April 2013, bulan yang penuh tantangan hidup, bisa dikatakan

separuh jiwa dan harapanku ditentukan pada bulan itu, bulan di mana

siswa kelas XII SMA disibukkan dengan ujian nasional dan dibimbangkan

menentukan pilihan usai lulus nanti. Bekerja dan melanjutkan

pendidikan ke jenjang perguruan tinggi adalah dua pilihan yang harus

ditentukan dan dipersiapkan sejak dini. Aku pun tak ingin masa depanku

terbuang sia-sia hanya karena salah fokus dengan pilihan ini.

“Pendidikan sangat penting dan dibutuhkan, Nak,” saran ayah agar

aku melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ayah dan bunda tidak memaksaku menuruti keinginan mereka agar

aku kelak menjadi seorang guru, tapi itu memang sudah salah satu cita-

citaku di masa kecil. Ingin menjadi guru, ingin menjadi arsitek, dan

pelukis handal seperti ayahku.

Sejak kecil aku senang melihat ayah menggoyangkan kuas

Page 44: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 27

warnanya di kanvas, membuatkan pesanan orang untuk menggambar

rumah mereka. Yang kuingat, dulu aku selalu mengganggu konsentrasi

ayah dengan segudang pertanyaanku, “Ini apa, Yah, namanya?”; “Kenapa

begini?”; “Ayah kalau gambar kok tidak pernah pakai penggaris?”; “Nanti

kalau garisnya melenceng bagaimana, Yah?” Kenapa begini dan kenapa

begitu. Haha... itulah pertanyaan konyol yang selalu aku lontarkan untuk

mengganggu ayahku.

Ayah adalah sosok inspirasi. Beliau adalah seseorang yang mampu

menggambarkan imajinasinya untukku. Namun, aku berpikir apakah bisa

aku menjadi sosok sehebat ayah sebagai pekerja seni? Setiap hari

kuhabiskan waktuku untuk menggambar. Sejak itulah aku cinta dengan

dunia seni lukis dan sejak itu pula aku sadar bahwa aku adalah anak

yang juga berdarah seni.

Tetapi niatku untuk menjadi seorang pelukis ataupun arsitek lama-

kelamaan mulai berubah karena mendengar cerita pengalaman ayah

menjadi seorang arsitek.

Page 45: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 28

“Kamu anak perempuan, ayah tidak mengijinkan kamu menjadi

seorang arsitek. Kamu bisa memilih pekerjaan lain, seperti guru, apa

yang pernah bundamu katakan.”

Cukup menarik juga untuk menjadi seorang pendidik. Sampai masa

putih abu-abuku tiba, aku menambah lagi daftar cita-cita di buku

impianku. Pertama seorang guru, kedua pramugari, dan yang ketiga

bekerja di bank. Walaupun tidak diizinkan oleh kedua orang tua untuk

menjadi seorang pelukis ataupun arsitek, aku tetap mendengarkan

wejangan-wejangan yang diberikan beliau. Karena aku yakin apa yang

dikatakan oleh ayah dan bunda itu yang terbaik bagi masa depanku.

Lagi-lagi ayah tidak setuju dengan cita-citaku. Entah apa yang ada

dalam pikiran ayah, padahal beliau berpesan untuk memilih pekerjaan

yang aku inginkan dan aku impikan selain menjadi seorang arsitek.

Sekarang aku sudah memiliki keinginan lain, menjadi pramugari, ayahku

tetap saja tak mengizinkannya. Sempat aku kesal. Aku ceritakan

semuanya pada teman terdekatku sejak SMP, Adillal namanya. Dialah

Page 46: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 29

yang selalu mendengarkan keluh kesahku selama ini dan dialah yang

selalu memberikan solusi dan nasihat di saat aku memiliki masalah.

“TIDAK.”

Itulah tanggapan Adilali setelah aku menceritakan masalah itu

padanya, dia malah berkata sama halnya dengan ayah. Aku sempat

bingung dengan jawabannya, biasanya dia selalu memberi jawaban yang

telah dia pertimbangkan sebelum mengatakan “ya” atau “tidak”. Tetapi

kali ini dia menjawab secara spontan dan malah kontras denganku.

“Kenapa kamu langsung berkata seperti itu? Beri alasanmu

mengapa kamu tidak setuju.”

Dia membeberkan alasannya dan juga menyarankan aku untuk

menjadi guru saja atau pegawai bank daripada pramugari. Karena

menjadi seorang pramugari beresiko tinggi dengan jadwal penerbangan

yang tidak menentu. Dari semua penjelasannya, aku dapat

menyimpulkan bahwa kekhawatiran yang dia ungkapkan mungkin sama

dengan apa yang ayahku khawatirkan. Sempat jengkel ketika orang

Page 47: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 30

terdekatku tidak menyetujui keinginanku. Aku berpikir tak ada satu pun

orang yang mengerti dengan diriku ini, aku serasa tak ada gunanya lagi

dan aku merasa seperti robot yang selalu dikontrol oleh orang lain.

Pegawai bank atau guru??? Itulah yang sering membuatku galau.

Setelah aku pertimbangkan, aku lebih memilih untuk menjadi seorang

pegawai bank. Aku berunding dengan ayah dan bundaku, alhamdulillah,

mereka setuju dengan keputusan ini. Ayah membantuku untuk memilih

jurusan dan universitas yang harus aku pilih setelah lulus SMA.

Akuntansi, Administrasi Negara, itulah saran jurusan yang harus aku

tempuh untuk menjadi seorang pegawai bank. Di antara saran-saran

ayah, aku memasukkan lagi satu jurusan dalam daftar, yaitu Sastra

Inggris. Aku suka dengan bahasa Inggris. Sastra Inggris pilihan utama

dan diikuti Administrasi Negara lalu Akuntansi.

Hari pengumuman UN pun tiba, perasaan resah dan gelisah

menunggu pengumuman kelulusan dan pengumuman masuk perguruan

tinggi pun selalu menghantui.

Page 48: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 31

Teng teeeng....

“ESTI AYU KUSUMANINGRUM LULUS UJIAN NASIONAL.”

Dan

“ESTI AYU KUSUMANINGRUM DITERIMA DI UNIVERSITAS NEGERI

SURABAYA JURUSAN SASTRA INGGRIS”.

Raut muka yang tadinya resah dan gelisah tiba-tiba berubah menjadi

raut muka bahagia dengan sedikit tetesan air mata membasahi pipi. Aku

pulang dan memberikan amplop yang berisikan kabar baik itu kepada

ayah dan bunda. Aku lulus ujian dengan nilai yang memuaskan dan

langsung masuk perguruan tinggi dengan nilai-nilaiku dari awal masuk

SMA. Ayah dan bunda sempat meneteskan air mata, air mata bangga

melihatku bisa meraih cita-cita. Tak lupa aku memeluk dan mencium

mereka.

“Ayah, Bunda, Esti sangat berterima kasih kepada Ayah dan Bunda,

Esti ingin meminta restu kepada Ayah dan Bunda agar kuliah Esti kelak

diberi kelancaran.”

Page 49: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 32

Aku mempersiapkan segala sesuatu yang harus aku persiapkan ke

perguruan tinggi. Dua hari sebelum aku mulai aktif memasuki dunia

perkuliahan, pamanku datang dan membawa kabar kalau ada beasiswa

sekolah di pertambangan minyak di Cepu kabupaten Bojonegoro.

“Haaaaaah beasiswa?!” Kabar itu sungguh membuatku galau

bertubi-tubi. Aku menginginkan beasiswa itu, tetapi tinggal dua hari lagi

aku masuk dunia perkuliahan. Bunda menyuruhku tenang dan kami salat

istiqoroh bersama-sama meminta petunjuk pilihan mana yang baik

untukku ke depannya. Alhamdulillah, jawaban atas semua doaku dan

bunda terjawab dengan kata-kata paman bahwa beasiswa itu hanya

berlaku untuk laki-laki. Aku bisa bernapas lega.

Sampai saat ini aku enjoy dengan jurusan dan perkuliahanku. Aku

menekuni kuliah ini demi membuat bangga orang tua serta keluarga

yang telah membanggakanku. Keinginan, usaha, kerja keras, doaku, dan

doa orang tualah yang mengantarkanku sampai pada nikmat saat ini.

Ternyata inilah pilihan terbaik yang Allah persembahkan untukku, di

Page 50: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 33

antara sekian banyak pilihan yang sempat memusingkan, aku telah

dituntun menemukan pilihan terbaik ini.

This is the best choice of my life.

Page 51: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 34

Life is Struggle

(Layyin M)

Sejak beberapa bulan awal aku masuk kuliah, aku sudah ditawari

mengajar. Memang di awal aku masih canggung dan belum percaya diri,

namun karena kurangnya uang Bidikmisi untuk membiayai hidup dan

membayar kost—apalagi aku tidak mendapatkan dana tambahan dari

orang tua seperti teman-temanku—kuputuskan menerima pekerjaan

tersebut demi menambah pemasukanku. Kini sudah hampir setahun

setengah aku menjalani pekerjaan sebagai guru les anak TK sampai

dengan SMP di rumah teman pamanku, beliau berprofesi sebagai dosen

di berbagai universitas di Surabaya, beliau bernama Tuti Hariyanti. Beliau

selalu memberi aku semangat dan kadang menambah uang gajiku.

Sempat aku lelah ingin menyerah dan meninggalkan pekerjaan ini

bila teringat segitu banyaknya murid yang berbeda kelas dan berbeda

mata pelajaran, bahkan adakalanya mereka terlalu bandel dan aktif

buatku. Mungkin saat itu semangat dan kesabaranku sudah mulai

Page 52: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 35

melemah. Namun, dengan adanya semangat belajar mereka, kelucuan

mereka, dan tawa canda mereka mampu membangkitkan semangat

mengajarku dan membuatku menikmati manis pahitnya mengajar. Di

saat-saat itulah aku mulai berintrospeksi, barangkali inilah yang

dirasakan guru-guru yang pernah mengajarku, mereka juga mengalami

kejenuhan, kejengkelan dengan beberapa murid yang bandel. Dari situ

aku tahu bagaimana rasanya dan susahnya menjadi seorang guru.

Pernah suatu hari aku sedang tidak fit. Aku terserang demam dan

flu. Selain itu, aku juga memiliki tanggungan tugas-tugas yang

menggunung yang esok hari adalah deadline-nya. Hari itu aku ingin tidak

masuk, hampir saja mengirim pesan kepada pemilik bimbingan belajar

bahwa aku tidak dapat mengajar hari itu. Akan tetapi salah satu

pengajar yang sudah berada di tempat, mengirim pesan padaku kalau

murid-muridku ada ulangan esok hari dan mereka membutuhkan

tenagaku. Usai membaca pesan tersebut, mulai kusingkirkan ego,

bergegas mengajar. Namun, aku masih memunyai cobaaan lain. Temanku

Page 53: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 36

yang biasa mengantarkanku sedang sakit pula. Dan dalam kondisi

seperti inilah aku sering menyalahkan diriku sendiri karena aku belum

bisa mengobati trauma untuk mengendarai motor setelah setahun lalu

aku mengalami kecelakaan dengan sebuah mobil. Di sini aku mulai

cemas dan mencari teman lain yang bersedia mengantarku. Hampir

setengah jam aku menghubungi teman-teman, fortunately mbak kost-ku

datang dan dia bersedia mengantarkan.

Sampai di sana, mereka semua sudah bersiap menerima materi. Hari

semakin malam, beberapa murid masih sibuk dengan tugas-tugas

mereka dan salah satu murid malah terlalu malas untuk mengerjakan

tugasnya meski dia punya kepandaian yang cukup. Dia selalu

bergantung. Hampir semua nomor soal yang dia kerjakan, dia tanyakan.

Padahal aku sedang pusing, flu, demam, PMS, dan juga kepikiran tugas-

tugas yang sudah menunggu di kost yang belum satu pun aku lirik.

Untungnya tak jadi kuluapkan amarahku dalam atmosfer ruangan yang

begitu tenang. Aku berusaha menenangkan diri, dan membuat murid ini

Page 54: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 37

agar mau mengandalkan kemampuannya sendiri. Akhirnya, dia

selesaikan tugasnya.

Waktu berganti dan waktu mengajarku pun telah usai. Segera

kukembali ke kost dengan diantar salah seorang pengajar yang ada di

sana. Sampai di kost badanku menggigil lagi dan saat itu pula perut

masih kosong belum terisi karena seharian belum ada nasi atau

makanan apa pun yang mampu dicerna oleh lambungku. Sebisa mungkin

kutetap membuka mata dan menegakkan badan di depan layar laptop

lanjut mengerjakan tugas-tugas. Otakku rasanya masih kosong belum

ada ide yang masuk, belum ada inspirasi yang mampu ditangkap.

Sambil menunggu ide yang datang, aku mengisi perut dengan

sebungkus nasi harga 5 ribu. Mungkin kelaparan yang aku alami tadi

adalah salah satu penyebab macetnya kinerja otakku, karena setelah

selesai makan, ide mengalir begitu aja. Jemariku mulai lincah

memainkan keyboard laptop yang ada di depan mataku. Tanpa kusadari

waktu telah menunjukkan 01.00. Tak terasa aku sudah hampir

Page 55: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 38

menyelesaikan tugas-tugasku. Mata mulai terasa berat seperti ada

beban yang menggantung, badanku mulai lelah, dan obat yang tadi aku

cerna juga mulai terserap dan tersebar hampir ke seluruh aliran darahku.

Kini mulai kututup si kotak merah jambu—laptopku—dan kubaringkan

badan di atas kasur dan bantal yang selama ini telah menjadi drugs-ku.

Kupejamkan mata berharap semoga hasil kerjaku malam itu

mendapatkan hasil yang baik dan hari esok aku sudah dalam keadaan fit

kembali.

Page 56: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 39

Mengubah Pesimis Jadi Optimis

(Derit A)

Kisah kesuksesan ini ketika aku masih SMP di sebuah sekolah

negeri di kota Malang, tepatnya di MTs.N Malang 3 dan sekarang aku

sudah mahasiswa sastra Inggris di Universitas Negeri Surabaya. Ini

adalah kisah perjuanganku meraih kemenangan untuk mewakili

Indonesia sebagai juara. Ketika itu aku masih duduk di kelas 2, berusia

13 tahun, sangat polos, dan lugu. Bisa dibilang remaja seusiaku lebih

menyibukkan bermain ketimbang belajar, hampir separuh waktu belajar

kuselingi bermain.

Aku sangat nakal tapi cerdik, bila malas belajar di kelas, aku main

game atau sekadar membuka Friendster. Maklum, zaman itu belum ada

Facebook, Twitter atau Blackberry Messenger. Namun aku juga suka

mencari tulisan yang membuatku tidak jenuh.

Suatu hari, tanpa sengaja aku membuka berita tentang kiai dari

Jombang yang bernama Syekh Puji. Beliau adalah kiai yang menikahi

Page 57: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 40

gadis belia di bawah umur, padahal gadis itu lebih pantas memanggilnya

kakek atau opa, bukan kang mas atau abi. Pernikahan mereka menjadi

pro kontra di masyarakat. Aku sempat jengkel dengan pernyataan Syekh

Puji yang menganggap bahwa di Islam diperbolehkan, faktanya anak di

bawah umur dilindungi undang-undang negara. Wajarlah, Syekh Puji

harus memenuhi panggilan polisi karena masyarakat menilai itu tindak

pelecehan serta mencemarkan ajaran agama.

Tapi komentar itu tidak hanya aku simpan dalam hati, aku menulis di

buku harianku, loh. Kebetulan seminggu setelah aku menulis komentar

itu di buku harian, guru IT-ku mengenalkan kami dengan Blogger, dan

setiap siswa wajib membuat blog pribadi. Aku memulai membuat blog

meski belum canggih dalam mendesainnya. Dengan blog sederhana itu,

aku memosting tulisanku tentang Syekh Puji dan kuberi judul

“Pernikahan Syekh Puji yang Abnormal”. Alhasil, guruku membaca dan

membagikannya ke blog lain sehingga banyak yang berkomentar serta

memberi dukungan pada tulisanku.

Page 58: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 41

Pasca kejadian itu, guru IT-ku memintaku mengikuti perlombaan

web blog tingkat ASEAN yang diikuti semua pelajar dan mahasiswa se-

Asia Tenggara, perlombaan diselenggarakan oleh lembaga RELC di

Singapura. Aku sempat menolak, karena dalam perlombaan ini harus

menggunakan bahasa Inggris, dan aku tidak begitu pintar dalam

berbahasa Inggris, terutama kelemahanku pada grammar. Meskipun

perlombaan ini diadakan secara online, tetap saja aku tidak percaya diri.

Dengan sabarnya, guruku tetap membujuk akan membimbingku.

Beliau mengatakan, “Jangan takut kalah, tapi carilah pengalaman.”

Akhirnya aku setuju. Ada beberapa tema yang disajikan dalam

perlombaan ini, culture, art, sport, education yang berhubungan dengan

negara masing-masing peserta. Aku masih begitu ingat tema yang aku

pilih adalah culture. Kebetulan tanteku sebulan sebelumnya baru

menikah, jadi kuusung judul “Pernikahan Adat Jawa di Indonesia”. Foto-

foto pernikahan tante kujadikan bahan artikel blog. Satu per satu foto

menceritakan prosesi pernikahan. Mulai ijab kabul sampai seserahan.

Page 59: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 42

Perlombaan ini berlangsung selama 3 bulan, setiap peserta harus

saling berkomentar di blog lawan termasuk juri. Aku minder waktu itu,

karena lawanku dari Brunei Darussalam sangat detail dalam desain blog

dan artikelnya. Sempat, sih, aku mengeluh ke guru bimbinganku kalau

aku capek harus pulang setiap hari pukul 18. Aku merasa hampir tidak

ada waktu bermain dengan teman-teman dan aku merasa kesulitan

karena artikel harus kubuat dalam bahasa Inggris. Bayangkan ya, aku

sangat tidak suka bahasa Inggris waktu itu, bahasa yang aneh, sulit,

lucu aja kalau denger orang ngomong pakai bahasa itu. Tapi guruku

tetap membantuku, setiap pertengahan pelajaran aku diizinkan untuk

tidak ikut, justru harus fokus pada lomba ini. Aku merasa hampir mau

mati. Bagaimana tidak, kalau aku kalah, aku akan ketinggalan materi

selama 3 bulan dan nilaiku merosot. Pasti orang tuaku akan marah,

semua fasilitas akan diambil. Berbagai alasan selalu kulontarkan,

alasan cucian di rumah banyaklah, setrika numpuklah, apalah.

Sampai guruku menjawab, “Engkok lek kamu menang, uange iso

Page 60: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 43

digawe nyewa pembantu,” bujuknya dengan logat Jawa yang kental.

“Nanti kalau kamu menang, uangnya bisa buat nyewa pembantu.”

Tapi aku selalu mencibir di belakangnya, kesal. Ingin bermain

dimarahin, malah disuruh fokus ke lomba, pokoknya bikin jenuh. Akhirnya

aku lelah dan cuek di detik-detik terakhir perlombaan. Entah iseng-

iseng, kubuka artikelku ternyata ada komentar dari juri, “Great picture.”

Sontak aku bersemangat bahwa ada harapan menang walau hanya

beberapa persen.

Masih teringat seminggu setelah lomba ditutup, temanku

menelepon kalau aku menjadi juara 1 mewakili Indonesia. Awalnya, sih,

nggak percaya, pukul 21 aku diantar kakak ke warnet melihat

pengumuman. Ya Allah, aku diam termenung dan tidak berkedip. Kaget.

Keesokan harinya, aku tanyakan pada guruku dan beliau

menyanggah, “Siapa bilang kamu menang, itu salah ketik. Wong

artikelmu jelek kalau dibanding musuhmu.” Sudah kuduga pasti cuma

mimpi, ya sudah aku minta izin untuk masuk laboratorium bahasa Arab

Page 61: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 44

mengikuti pelajaran selanjutnya.

Tiba-tiba di tengah pelajaran, aku diminta kepala sekolah datang ke

kantor, ketika aku masuk, sudah banyak wartawan dari berbagai koran

dan majalah pendidikan, aku heran. Ternyata guru pembibingku juga

sudah ada di sana, rupanya beliau hanya menggoda supaya aku cemas.

Lalu aku mulai diwawancarai bagaimana perjalananku bisa menjadi

juara. Dari situ aku yakin bahwa aku memang harus mengembangkan

potensi, mengubah jiwa pesimis menjadi jiwa yang optimis, berani

mencoba dan tidak menyerah sebelum bertanding.

Karena prestasiku ini, aku berhasil diterima SMA favorit di kotaku

dan aku juga menjuarai kompetisi resensi novel. Setelah itu aku

mengikuti beberapa perlombaan web blog lagi dan terus melanjutkan

hobiku sebagai penulis. Aku yakin sekalipun aku berasal dari desa, suatu

hari aku bisa menjadi seorang penulis yang karyanya akan dibaca dan

diminati oleh semua, itu kenapa aku berusaha dan berjuang masuk di

Universitas Negeri Surabaya jurusan Sastra Inggris. Semoga saja rasa

Page 62: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 45

tidak sukaku terhadap bahasa Inggris mengubahku menjadi

mencintainya dan bersungguh-sungguh mempelajari supaya aku bisa

mewujudkan keinginanku.

Inilah prestasiku, dan aku berharap ini menjadi kesuksesanku kelak

yang akan disambut senyuman dan tangis bahagia orang tuaku. Aku

akan terus berkarya, hingga nanti aku bisa menerbitkan satu karangan

tulisanku yang bisa dibaca oleh kalian. Semoga kisahku ini bisa menjadi

inspirasi bahwa sesuatu yang tidak mungkin, dengan dukungan orang-

orang yang menyayangi kita bisa menjadi nyata dan menambah

semangat.

Page 63: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 46

‘Sahabat’ Penyemangat

(Mayank P)

Hai, Ini tulisan pertamaku yang mungkin akan dibukukan. Harapan

yang sudah lama terpendam akhirnya terwujud. Bisa dibilang aku baru

saja terjun di dalam dunia tulis-menulis. Semoga saja aku tidak

menyerah dan segera naik kepermukaan. Tulisan ini adalah sepotong

perjuanganku selama beberapa tahun terakhir, cukuplah sebagai tempat

berkeluh kesah. Tapi tenang, ‘curhatku’ ini tetap happy ending kok.

Check this out!

Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Mayank Putri Anjani,

biasa dipanggil Mayank. Bukan anak seleb atau pejabat, namun dengan

bangga kuberitahukan bahwa aku adalah anak seorang ibu rumah

tangga yang rela kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

dan ayah yang bekerja sebagai pelaksana proyek yang mau menerima

pekerjaan apa pun saat tidak dapat job.

Banyak tetangga yang berkata bahwa orang tuaku sangat beruntung

Page 64: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 47

memiliki anak sepertiku. Baik, penurut, pintar, dan selalu dapat bantuan

sekolah karena prestasi yang kubuat. Bahkan kuliah pun aku menerima

beasiswa bidik misi tanpa harus mendaftar. Namun, mereka semua

tidak tahu tentang perjuanganku selama ini. Mereka tidak tahu

bagaimana orang tuaku sangat sering spot jantung akibat ulahku.

Bukan, bukan ulahku. Tapi ‘sahabat’-ku.

Sejak kecil, aku sangat sering keluar masuk klinik dan rumah sakit

dengan bermacam penyakit. Hal itu menyebabkan aku tidak bisa

melakukan banyak hal seperti yang dilakukan teman-temanku. Bahkan

baru bermain keluar sebentar saja, ibu sudah menjemput untuk pulang.

Jika liburan tiba, kuhabiskan waktu di rumah bermain dengan ibu.

Karena memang aku anak pertama dan belum memiliki saudara.

Cerita ini bermula kala usiaku 7 tahun. Ibu datang ke tempat

tetanggga meneriakiku dari pinggir jalan bermaksud mengajakku pulang.

Namun, ibu tidak menyeberang, dengan alasan aku memang sudah ingin

pulang. Saat aku menyeberang, sebuah sepeda motor melaju kencang

Page 65: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 48

dan menabrakku hingga aku terguling-guling sampai di depan ibu. Aku

masih sadar, tapi tidak menangis, bahkan tidak merasa sakit. Malah ibu

dan para tetangga yang menangis melihat kondisiku sungguh

mengkhawatirkan. Akhirnya, aku dibawa ke dokter. Kata dokter aku

hanya luka luar saja, hanya perlu diberi salep dan semua akan sembuh.

Namun, justru itulah awal kedatangan ‘sahabat’-ku ini.

2 tahun kemudian, kelas 5 SD, tepat hari Senin. Aku bertugas

menjadi pembaca UUD di hadapan seluruh warga SDN Sroyo, kecamatan

Kanor, Bojonegoro. Setelah aku membacakan UUD dan kembali ke

barisan para petugas, aku terjungkal kebelakang. Aku pingsan! Semua

gelap. Sadarku kembali menguasai saat aku berada di kantor guru. Kata

guru-guru, mungkin aku kurang enak badan dari awal. Aku percaya saja.

Karena memang itu pingsan perdanaku.

Namun, kejadian pingsan terus dan terus berulang bahkan aku

sampai dilarang mengikuti upacara atau kegiatan yang terlalu berat.

Padahal sebelumnya aku adalah anak yang aktif, mengikuti berbagai

Page 66: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 49

kegiatan seperti pramuka, paduan suara, dan marching band. Sejak itu,

aku selalu minder dan merasa berbeda dari yang lain. Namun ibu dan

ayah selalu menyemangati. Mereka bilang meskipun mereka belum tahu

tentang penyakitku, mereka yakin aku akan sembuh. Meskipun aku tahu

bila setelah berkata begitu, ibu akan menangis di belakangku.

Saat aku menginjak SMP pun keadaan tidak berubah. Tiap upacara

bendera dan olahraga aku selalu mundur teratur. Kondisiku sangat

lemah. Sehingga nilaiku dalam pelajaran olahraga tidak sebagus lainnya.

Aku makin terpuruk. Merasa tidak bisa apa-apa. Tapi beruntung, aku

sudah mengenal olahraga catur yang memang tidak perlu berdiri. Aku

terus berlatih sampai aku menjuarai tingkat provinsi yang membuat

sekolahku bangga. Sehingga sekolahku membebaskan biaya LKS satu

semester, memberikan bantuan, dan menjamin nilai olahragaku paling

tinggi di antara teman-teman.

‘Sahabat’ yang berada di tubuhku yang belum kuketahui identitasnya

itu, semakin lama semakin manja dan selalu membuatku dibawa ke

Page 67: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 50

rumah sakit. Lebih-lebih saat di SMA, tubuhku sempat kejang dan sesak

napas. Beberapa teman bahkan mengira aku kesurupan (mereka terlalu

percaya dengan film-film misteri sepertinya). Setelah menjalani segala

macam cek kesehatan, ditemukanlah fakta bahwa aku mengidap

Skoliosis. Tidak terlihat memang. Tapi sakitnya cukup membuatku

berteriak histeris.

Sakit itu terus mendera sampai aku diterima di Unesa ini. Bahkan

pada saat pre-test Penjas yang mengharuskan siswanya berlari keliling

lapangan atletik lima putaran, aku pingsan dan kaku di lapangan.

Walhasil, Pak Vega, selaku dosen, melarangku untuk ikut berlari (lagi).

Rasa tidak percaya diri dan mulai menyerah dengan keadaan makin

terasa saat aku harus istirahat di rumah satu bulan penuh. Apalagi

dokter sudah menyarankan operasi tulang belakang. Untungnya rencana

itu gagal karena aku mencoba bertahan. Bayangkan saja, untuk operasi

membutuhkan biaya jutaan rupiah. Untuk kuliah saja aku sangat

bergantung dengan bidik misi. Sempat aku disarankan untuk mundur

Page 68: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 51

dari penerimaan beasiswa oleh bagian kemahasiswaan dikarenakan aku

berkata bahwa aku sudah frustasi dan tidak bisa mempertahankan IPK

yang terlanjur tinggi.

Satu-satunya semangatku hanya harapan orang tua yang selalu

berkata, “Kamu nanti yang akan jadi tulang punggung keluarga, kamu

yang akan menyekolahkan adikmu dan merawat kami saat kami tua.”

Itulah kekuatanku. Terus mengejar mimpi dan harapan mereka. Menjadi

seperti yang mereka mau. Dan berjanji untuk selalu membanggakan

mereka.

Semester 2 dan 3 kulalui dengan tertatih. Setelah tertinggal begitu

lamanya, aku mencoba bangkit. Berhasil! Meskipun nilai sedikit turun,

tapi IPK-ku masih diatas 3,5. Di akhir semester 3 pun saat UAS kulalui

dengan mengerjakan ujian bersandar bantal. Banyak yang menertawai

karena aku membawa bantal ke kampus. Semua kujawab dengan

senyuman. Hasilnya? IPK-ku tetap kekeuh di tempatnya. Sekarang aku

justru merasa sebagai perempuan yang istimewa dan hamba yang lebih

Page 69: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 52

disayang oleh Tuhanku.

Kelainan tulang belakang bukan berarti tidak bisa jadi tulang

punggung yang baik, kan?

Page 70: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 53

Perjuangan 600 Ribu

(M. T. Herlina)

Life is never easy as tongue speaks a word. Life is too complicated

and unpredictable. We can’t guess, we can’t ask for something, we

can’t repeat our past and time just walks away to future time. Life is

like puzzle, if you can’t arrange it well it’ll be trouble. - M.T. Herlina

Aku adalah seorang yang beruntung karena dapat merasakan

bagaimana menjalani kehidupan kampus. Aku mendapat kesempatan

untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan jalan beasiswa bidikmisi.

Dari sinilah aku mampu mengenyam bangku pendidikan tinggi karena

aku berasal dari keluarga yang tidak berada atau boleh dibilang miskin.

Aku yang berasal dari desa dengan pekerjaan orang tuaku yang hanya

sebagai buruh serabutan tidak akan mampu mengenyam pendidikan

tinggi tanpa adanya beasiswa. Aku merasa sangat beruntung dari sekian

banyak siswa di sekolahku yang mendaftar, namaku tercantum ke

dalam 15 siswa yang diterima di perguruan tinggi negeri. Aku merasa

Page 71: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 54

senang karena bisa membahagiakan kedua orang tuaku dengan segala

prestasi yang aku punya di sekolah dulu. Meskipun aku belum mampu

meringankan beban kedua orang tuaku namun setidaknya aku bisa

kuliah tanpa meminta biaya dari mereka. Aku tidak ingin membuat

mereka memiliki beban yang banyak karena adikku juga masih berada di

bangku sekolah dasar.

Dengan adanya beasiswa bidikmisi aku mendapat keringanan untuk

kuliah tanpa harus membayar uang SPP atau UKT karena telah dibiayai

oleh pemerintah. Selain itu, aku juga masih mendapat biaya hidup

sebesar 600 ribu rupiah setiap bulannya. Dari uang itulah aku berusaha

keras untuk bertahan hidup di kota Surabaya menjalani kehidupanku

sebagai mahasiswa.

Banyak hal yang telah aku alami selama hampir 2 tahun aku kuliah

di sana. Mulai dari yang menyenangkan sampai yang sangat

menyedihkan. Aku harus bertahan hidup dengan uang yang jumlahnya

sangat kecil itu sampai bulan berikutnya. Jika tidak, bisa-bisa tidak

Page 72: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 55

akan makan di akhir bulan nanti. Sedikitnya 200 ribu kusisihkan untuk

membayar sewa kost yang aku tempati. Belum lagi keperluan lain tak

terprediksi. Belum lagi awal semester harus membeli buku-buku

pelajaran. Dan terkadang di awal semester, uang bidikmisi tidak bisa

cair tepat waktu atau malahan akan cair sebulan bahkan dua bulan

berikutnya. Apabila aku tidak bisa menabung barangkali aku akan jadi

gelandangan pinggiran kota. Dari sinilah aku harus bisa pintar-pintar

mengatur keuangan. Karena aku tidak mendapat pemasukan lain selain

dari uang bidikmisi. Pemasukan pun mungkin hanya akan aku dapat bila

liburan tiba karena saat itu kugunakan waktuku bekerja di pabrik dekat

rumah untuk packing mainan anak-anak. Meskipun hasilnya tidak besar,

namun aku cukup senang karena bisa belajar mencari uang sendiri.

Kebanyakan orang akan berpikir jika menjadi mahasiswa bidikmisi

itu enak, tidak perlu memikirkan soal uang, hanya perlu belajar dan

kuliah dengan baik. Namun tahukah mereka betapa banyak perjuangan

dan pengorbanan yang harus dialami mahasiswa bidikmisi sepertiku?

Page 73: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 56

Tahukah mereka saat uang bulanan tak kunjung cair? Tahukah mereka

bagaimana rasanya harus menahan lapar dahaga demi bertahan hidup?

Mereka yang berpikiran pendek seperti itu tidak akan mengerti jika

mereka tidak mengalaminya sendiri. Ya, okelah, mungkin sebagian besar

mahasiswa bidikmisi memang tidak semiskin diriku jadi mereka bisa

meminta uang dari orang tuanya jika kehabisan uang bulanan. Agaknya

aku juga bisa seperti itu, tapi itu tidak akan aku lakukan kerena prinsip

hidupku adalah hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan,

semua itu butuh perjuangan, pengorbanan, usaha, derita, serta doa.

Namun, beruntunglah aku karena aku memunyai teman-teman yang

baik. Saat aku kekurangan ataupun kehabisan uang, aku bisa meminjam

pada mereka yang punya uang lebih dan aku akan mengembalikannya

setelah uang bulan berikutnya cair. Dari hampir dua tahun aku menjadi

mahasiswa aku merasa jika Allah selalu berada di sisiku. Kapan pun

saat aku merasa kesulitan yang luar biasa aku selalu ditunjukkan jalan

yang benar oleh-Nya. Saat aku butuh uang untuk berobat ke rumah

Page 74: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 57

sakit, saat aku butuh uang untuk membayar kost, saat aku butuh uang

untuk membeli buku, saat itu pula selalu ada jalan yang ditunjukkan oleh

Allah untukku. Selalu ada saja orang yang meminjamiku uang. Meski

adakalanya aku merasa putus asa namun aku selalu ingat nasihat dari

orang yang paling berarti dalam hidupku, orang yang paling aku sayang.

“Allah itu sayang pada semua hamba-Nya. Saat kamu mendapat

ujian itu tandanya Allah sayang sama kamu. Jika kamu bisa melalui ujian

itu maka akan dinaikkan derajatmu. Allah pasti bakal menunjukkan jalan

terbaik-Nya untukmu. Percayalah tidak ada yang tidak mungkin di dunia

ini.”

Dan memang benar. Dari apa yang aku alami memang begitu adanya.

Allah selalu membantuku saat aku membutuhkan-Nya dan juga

membimbingku agar selalu menjadi orang yang berbakti kepada kedua

orang tuaku.

Dengan uang 600 ribu aku menyambung hidupku. Berbeda sekali

dengan teman-temanku. Mereka bisa mendapatkan apa pun yang

Page 75: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 58

mereka mau karena terlahir dari keluarga yang sangat berada dan tidak

perlu hidup susah sepertiku. Namun, dari sinilah aku belajar apa arti

kehidupan sebenarnya. Aku senang, aku bangga terlahir dari keluarga

yang tidak berada karena aku dapat belajar untuk mengharagai apa pun

karunia Allah, belajar bersabar dan mengarungi kerasnya kehidupan.

Sebaiknya, janganlah bangga dengan harta yang orang tua kita karena

harta itu hanyalah titipan dari Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti harta

itu kembali pada-Nya. Jika suatu hari nanti harta itu lenyap maka hanya

akan ada penyesalan di dalam hati. Itulah mengapa aku lebih memilih

hidup menderita di masa mudaku saat ini agar nanti ketika aku tua aku

dapat mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan serta mengajarkan

nila-nilai yang baik kepada anak cucu. Karena dari sinilah aku belajar

menjalani susahnya hidup.

Not only is there often a right and wrong, but what goes around

does come around. There is always a day of reckoning. The good among

the great understand that every choice we make adds to the strength or

Page 76: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 59

weakness of our spirits—ourselves, our souls. That is every human’s

life work: to construct an identity bit by bit, to walk a path step by step,

to live a life that is worthy of something higher, lighter, more fulfilling,

and maybe even everlasting. - Donald Van de Mark

Page 77: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 60

Copet Sana Sini

(Prita D)

Surabaya, di sinilah tempat perantauanku, tempatku menuntut ilmu

sekaligus adu nasib tuk menyalakan setitik harapan tulus

membahagiakan orang tua. Dahulu kota ini yang selalu hadir di angan.

Bayangan seperti apa tempat ini, ada apa saja, dan bagaimana

kehidupan di sini selalu menghiasi otak kerdil di masa SMA. Yahhh...

jelas saja saya belum tahu banyak, maklum anak dari kampung ujung

Pulau Jawa, Banyuwangi namanya. Begitu berita diterimanya saya

sebagai mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, “Oo… Surabaya! Jadi

anak gaul cak cok cak cok dong?” (kalau orang bilang ini kata khasnya

Surabaya).

Ditanya senang? Jelas saya senang. Sebelum berangkat saya dapat

banyak sekali wejangan dari orang tua, saudara, dan juga teman-teman,

“Hati-hati, ya, banyak orang jahat di sana.” Setelah sekian lama, sekitar

1,5 tahun saya tinggal di sini ternyata wejangan itu benar, berdasarkan

Page 78: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 61

beberapa pengalaman yang saya alami sendiri saya menyatakan bahwa

memang benar tinggal di kota besar banyak resikonya karena banyak

pengaruh dari luar. Kalau bukan kita yang menjadi korbannya kita yang

menjadi pelakunya. “Kalau tidak dimakan ya memakan.” Rasanya

perumpamaan itu dihalalkan di kehidupan kota besar ini. Sejak awal

semester saya sudah menyaksikan dan mengalami banyak sekali

kejahatan.

Kali ini saya akan mencoba berbagi cerita dengan teman-teman

pembaca. Kala itu saya masih di semester 1. Libur lumayan panjang

selama 5 hari saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat itu saya

menaiki bus kota dengan membawa barang bawaan yang cukup banyak.

Orang di dalam sudah berjubel, namun karena saya terburu ingin sampai

jadi nekat tetap naik.di dalam bus. Awalnya saya berdiri, setelah

beberapa menit bus berjalan, ada seorang lelaki menawari saya duduk di

sampinganya. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya yang menarik

saya dan menawari tempat duduk juga. Saya putuskan duduk bersama

Page 79: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 62

ibu itu karena saya rasa duduk di samping perempuan di tempat umum

lebih aman.

Ternyata dugaan saya benar, ibu itu bilang, “Mbak tau kenapa ibu

paksa duduk di sini, padahal di sini juga sudah penuh? Karena mas yang

tadi nawarin duduk Mbak itu pencopet.”

Seketika saya terkejut, dengan suara lirih saya bertanya balik, “Dari

mana Ibu tau?”

Ibu itu menjawabnya dengan nada enteng, “Mbak, sudah kelihatan

dari gerak geriknya, meskipun penampilannya tidak mencurigakan tapi

ibu yakin sekali kalo dia pencopet, ibu ini orang Surabaya jadi sudah

sering lihat yang seperti ini, lain kali Mbak hati-hati.”

Kisah lainnya. Kala itu ibu menyuruh kami membeli kado untuk

ponakan yang akan khitan. “Kami”? Ya, kami, aku dan kakakku. Dia juga

tinggal di Surabaya namun tempat tinggal kami jauh. Saat itu saya

dijemput dari kost untuk ke sebuah pusat perbelanjaan. Tombol start

ditekan lalu melajulah motor kami perlahan. Sesampai di sana mulailah

Page 80: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 63

kami kebingungan memilih barang. Karena ingat akan kemungkinan

banyaknya copet jadi saya super hati-hati menjaga tas, saking was-

wasnya tas punggung saya arahkan ke depan. Perhatian kami terpusat

pada salah satu toko yang menjual jaket kulit. Saat kami mulai sibuk

memilih, datanglah wanita tua menghampiri, beliau meminta sedekah.

Karena iba, saya berniat memberi. Di saku tak ada uang lalu saya coba

ambil di dompet yang ada di dalam tas. Saya letakkan HP di lemari kaca

di samping saya. Ketika sibuk mencari dompet... tak terduga ternyata

tangan ibu itu sudah ingin meraih HP saya. Subhanallah, saya terkejut

tak menyangka. Seketika saya pergi menjauhinya dan memanggil kakak

untuk pulang saja. Ternyata keapesan saya tak berhenti sampai situ, di

parkiran kami ngobrol membahas ibu itu sambil mengenakan helm.

Cerobohnya, HP saya letakkan di jok motor, ehhh, 3 menit belum

berlalu HP melayang entah ke mana karena banyak orang lalu lalang.

Kejahatan di sekitar kita, ini bukan hanya karena niat namun

terkadang karena kesempatan. Dari cerita yang saya bagi dengan

Page 81: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 64

teman-teman pembaca semoga menjadi inspirasi dan mungkin sedikit

saran agar selalu hati-hati di mana pun kita berada. Apalagi kalian orang

baru di suatu tempat harus selalu waspada demi kenyamanan dan

keselamatan.

Page 82: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 65

Hati-Hati Kesandung, Udah Kesandung!

(Regine)

Mencoba kabur dari tradisi ternyata tidak semudah yang aku

bayangkan. Kadang walaupun sebuah tradisi itu kolot tapi bisa

membangun masyarakat yang lebih baik daripada mereka yang ingin

menjadi bagian dari orang Barat. Kalau menanyakan tentang moral,

sebenarnya Indonesia itu di urutan keberapa? Lebih baikkah kita

ketimbang mereka? Memang banyak sekali pertanyaan yang bisa aku

jawab sendiri dan kalau harus bertanya pada orang lain pasti merasa

malu pada awal hingga akhir.

Sebenarnya bukanlah orang yang berani diriku ini, bukanlah orang

yang patuh, bukanlah pula orang yang baik. Aku beranggapan bahwa aku

bukan orang yang sama seperti orang di sekelilingku. Pernahkah kamu

merasa seperti semen Tiga Roda? Di Indonesia tapi milik orang asing?

Iya, benar, itu tidak salah, aku selalu memiliki pikiran seperti itu dalam

diriku. Aku merasa apa yang orang lain lakukan di sini tidaklah sejalan

Page 83: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 66

dengan apa yang aku inginkan. Iya, benar, tidak salah, aku ingin

lingkungan ini seperti di Barat di mana orang cuek dengan yang

dilakukan orang lain, jadi aku bisa melalukan apa yang aku mau tanpa

khawatir komen pedas.

Kamu pasti sudah tahu apa yang aku maksud? Tapi jangan mikir

keluar batas. Aku yakin semua ada batasnya, tapi negara kita batasnya

berhenti di 3 sedangkan di barat berhenti di 10. Ayahku juga sudah

menasihati kalau aku perempuan jadi harus jaga diri.

Malam itu membuat senyumku tertutup oleh butiran kata-kata yang

terlalu bijak. Setiap nasihat yang baik kebanyakan aku rasa kolot.

Sebenarnya kenapa aku ini? Kalau orang lain tahu apakah mereka akan

men-judge-ku? Aku punya pikiranku sendiri, aku juga punya hatiku

sendiri, aku gak pernah pinjem hati orang lain. Tapi kalau kamu merasa

aku salah, ya, itu gak masalah bagiku.

Mungkin sangat konyol kalau aku harus bilang aku ingin keluar dari

negara ini karena mereka bukan yang aku inginkan. Kedengaran sadis?

Page 84: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 67

Padahal aku juga belum tahu bagaimana jika itu benar yang terjadi kalau

orang-orang yang aku anggap suit padaku ternyata orang yang jahat dan

dapat merusakku? Apalagi ketika aku lihat dan dengar sendiri orang

Barat bilang, “I love Indonesia, people are nice and friendly.” Nah, lho!

Terus apa yang aku pertanyakan? Kenapa mereka cinta Indonesia, lha

wong aku sebagai orang Indonesia aja gak merasa seperti itu.

Ada lagi pertanyaan, sebenarnya kita kulit coklat bisa rasis gak?

Jujur? Kalo aku? Wah itu sedikit mustahil untuk diungkap, tapi aku yakin

kamu tahu jawabannya. Demikianlah orang juga akan membenciku

karena sudah kubilang aku bukan orang baik, benarkan?

Kembali lagi ke awal. Kenapa aku mempertanyakan moral? Karena

itu yang disinggung ayahku. Karena kita punya peraturan agama yang

menjaga kita dari keterpurukan moral sedang di Barat adalah liberty

maka kamu tahu sebagai remaja usia akhir aku ingin melalukan apa

yang aku ingin, aku ingin melepas semua peraturan, aku ingin mereka

cuek padaku dan tidak membicarakan kalau aku melakukan sesuatu

Page 85: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 68

yang wow. Betapa bodohnya pikiranku ini. Tapi, sebentar! Aku lihat

teman-temanku yang pintar dan berwawasan (lebih) tinggi dariku.

Betapa simpelnya orang-orang itu. Semakin terlihat jelas betapa masih

bodohnya aku.

“Desire” kata yang indah tapi merusak. Jika belum siap maka jangan

melakukan, pikir dulu! Jelas ayahku benar, jelas aku salah. Sebagai

orang tua ayah ingin yang terbaik bagi anaknya. Tapi sebagai anak kamu

tidak tahu apa yang terbaik untuk ayahmu.

Mungkin aku memang kecewa rencanaku gagal, tapi ayah yang baik

tidak akan membiarkan anaknya menjadi mainan untuk dipermainkan

sesaat. Benarkan? Ini aku baru buka mata. Aku mungkin kecewa pada

awalnya setelah ayah bicara seperti itu padaku—melarangku berbuat

sesuatu—tapi aku akan lebih kecewa lagi kalau dipermainkan. It’s like

someone sucks all your blood and you are just dying but he’s gone. Gak

bisa bayangkan kalau itu beneran terjadi.

Aku gak berani bicara sama ayah, itu ideku bukan ide dia, ini

Page 86: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 69

salahku, bukan salahnya dia, tapi ayah menilai negatif ke dia bukan ke

aku. Terus gimana, nih? Aku ini emang goblok atau gak pintar sih? Tahan!

Tahan! Tahan! Dari sini mari kita ambil kesimpulan. Apa yang kita omong

dan rencanakan harusnya dipikir dulu, ini kalo pikiran negatif

dilimpahkan ke orang lain gak masalah, tapi kalo pikiran negatif

dilimpahkan ke seseorang yang kamu kasihi cuma gara-gara salah

planning, ya, kasihan si dia jadi dapat nilai -30 dong di depan calon

mertua hahahaha. Sampun.

Page 87: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 70

Page 88: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 71

Ladang Ilmu

(Anindya K)

Menjalani kehidupan di dunia ini selalu ada saja cerita yang

membekas bagi diri kita maupun orang lain. Terkadang apa yang kita

lakukan menjadi sumber ilmu dan tak jarang merupakan sebuah

pengingat bagi diri. Ilmu yang kita dapat tak hanya dari hal besar yang

kita telah lakukan, justru hal-hal kecil bisa memberikan kita gambaran

kehidupan.

Seperti yang saya alami saat saya menginjakkan kaki di tanah

Haram, Saudi. Banyak orang telah mengingatkan, saat kita di sana akan

ada kejadian berharga. Terkadang bentuknya tampak jelas, terkadang

hikmah tersebut berbentuk implementasi dari hal-hal yang kita alami.

Tak jarang pula jika pengingat itu merupakan kejadian yang sangat

pribadi. Madinah dan Makkah adalah dua kota di mana saya mengalami

pengalaman berharga. Banyak hal yang mengingatkan saya untuk

berhati-hati selama hidup di dunia.

Page 89: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 72

Pemandangan dan suasana kota yang baru sangatlah terasa.

Terutama dari segi agama. Nuansa islami sangat kental mewarnai kota.

Mulai dari pakaian hingga sikap mereka saat mendengar panggilan

beribadah. Saya menginap di sebuah hotel yang berada di sekitar

keramaian dan tak jauh dari masjid Nabawi, kurang lebih 200 meter.

Saya sangatlah semangat beribadah, dengan lokasi yang strategis, tak

butuh waktu lama untuk menuju masjid Nabawi. Satu jam sebelum azan

berkumandang saya sudah bergegas menuju masjid. Karena saya berada

di masjid lebih awal, tentunya hal yang saya dapat adalah lokasi yang

tepat, baris depan, dan tempat nyaman. Biasanya saya memilih lokasi

yang dekat dengan rak Alquran, untuk mempermudah akses meminjam

Alquran terjemah. Tak jarang pula saya membaca terjemahan Alquran

dalam bahasa lain, hanya untuk memenuhi rasa penasaran saja.

Mendekati waktu salat, jamaah masjid Nabawi mulai membludak,

walaupun tempat yang disediakan sangat lebar, masih saja tak cukup

untuk jamaah yang jumlahnya ribuan, bahkan jutaan itu. Alhasil, banyak

Page 90: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 73

jamaah yang salat di pelataran masjid.

Lima kali sehari dalam kurun waktu empat hari saya melakukan

strategi yang sama. Dan hasil yang saya dapatkan adalah sama seperti

kali pertama saya salat di masjid. Sekarang saya percaya, “Jika kita

bangun kesiangan maka rezeki kita akan dipatok ayam.” Hal ini

bermakna jika kita ingin mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan,

kita harus memulai dahulu dan berusaha sedikit lebih keras. Karena jika

saya tak berusaha melawan rasa lelah atau kantuk maka saya akan

berangkat lebih lambat dan tempat pelataranlah yang akan saya

dapatkan.

Di hari ke lima, setting tempat berganti menjadi Makkah. Di sini,

lokasi hotel saya semakin dekat kurang lebih 50 meter dari Masjidil

Haram. Suasana kota tak jauh beda dengan keadaan kota Madinah.

Semangat saya untuk beribadah tidaklah kurang. Strategi yang saya

gunakan saat di kota Madinah masih saya gunakan. Saya sempat

berpikir, karena lokasi sangat dekat, jika saya berangkat dengan waktu

Page 91: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 74

yang sama, mungkin saja saya akan mendapat posisi yang sama

strategisnya seperti di Masjid Nabawi. Saya sempat memikirkan posisi

salat sedekat mungkin dengan Kakbah.

Hari pertama, saya bisa masuk ke lokasi masjid, namun tidak terlalu

dalam. Banyak orang yang sepertinya menginap di masjid, karena satu

jam sebelum azan berkumandang telah banyak orang duduk di masjid,

bahkan ada yang tertidur. Tapi tak apalah, yang utama bisa salat di

dalam masjid. Hari kedua, keberuntunganku untuk mendapatkan lokasi

strategis tak semulus sebelumnya. Dari lima kali salat mungkin hanya

dua sampai tiga kali saja bisa salat di dalam masjid. Selain itu, saya

salat di pelataran. Tak hanya di pelataran masjid, saya juga merasakan

salat di pelataran mal yang ada di depan Masjidil Haram. Sungguh

momen yang tak pernah terlupakan. Hari ketiga dan keempat, saya

mengalami hal yang sama seperti hari kedua.

Ini sungguh pengalaman yang sangat unik, merasakan salat di

berbagai tempat. Mulai dari lokasi paling dekat dengan Masjidil Haram,

Page 92: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 75

pelataran masjid di siang hari saat matahari sangat terik (meskipun

udara sejuk), dan juga salat di depan mal.

Ini baru permulaan, saat saya berada di tanah haram Mekkah, saya

juga pernah salat di tengah pasar. Tentunya pasar baju dan oleh-oleh,

jangan membayangkan seperti pasar yang kotor. Pasar baju dan oleh-

oleh di sini berubin dan tidak kotor. Parahnya lagi, saya salat tanpa

beralas sajadah. Ini juga pengalaman baru di kota ini.

Mungkin saya lebih beruntung dari teman satu rombongan, saya

salat di atas lantai dan sekitar lokasi tidaklah kotor. Teman saya

sempat salat di jalan raya tak jauh dari Masjidil Haram. Mungkin tak

masalah, namun lokasi salatnya berdekatan dengan bak sampah. Ya, tak

terlalu dekat memang, namun cukup dekat.

Di sinilah pengalaman unik yang saya dapat dan temukan.

Melakukan ibadah di berbagai lokasi sekitar masjid. Mungkin bagi

sebagian orang, tulisan ini hanyalah curhatan belaka yang mungkin

konyol dan tak berbobot. Tapi, bukankan di setiap cerita selalu ada ilmu

Page 93: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 76

yang bisa dipetik? Iya, memang, cerita ini telah membuat saya lebih

berhati-hati dalam bertindak. Karena hal yang saya dapat bukanlah hal

sepele. Saya bisa mengambil sebuah pelajaran, yang mana kita hidup di

dunia ini tak selalu mengalami kehidupan yang menyenangkan, mulus,

dan enak. Tapi kadang di satu sisi kita akan merasakan di mana kita

berada di bawah, merasa kurang nyaman, dan melalui jalan yang tak

mulus. Namun, semua itu bergantung pada kita, bersyukur adalah hal

yang terbaik walau kita berada di posisi mana pun.

Page 94: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 77

Peduli, Berbagi, dan Berkontribusi

(Arif S)

Menurut saya, mahasiswa adalah figur penuntun pendidikan, dan

pena sastra di Indonesia. Secara individu, saya merepresentasikan

sosok mahasiswa sebagai sosok penuntun pendidikan karena kami

sudah diberi kesempatan untuk menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi,

sehingga bekal ilmu yang kami miliki nantinya dapat direalisasikan ke

dalam bentuk kepedulian melalui peran penuntun pendidikan di

Indonesia ke arah yang lebih baik. Sedangkan, sosok pena sastra adalah

mereka yang bersedia menuliskan, berbagi, serta berkontribusi lewat

berbagai macam media seperti catatan harian, media sosial, atau

bahkan buku. Saya sendiri, adalah salah satu di antara berjuta

mahasiswa aktif yang sedang menuntaskan kewajiban menuntut ilmu di

tingkat perguruan tinggi.

Peduli adalah sebuah istilah yang tidak hanya difungsikan sebagai

ungkapan yang berarti rasa ingin menolong, berbagi kepada sesama.

Page 95: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 78

Namun, juga sebuah gerakan untuk nantinya dapat segera

direalisasikan. Pedulinya seorang mahasiswa adalah pedulinya mereka

terhadap masyarakat. Di masa kuliah yang sudah memasuki semester 4

ini, saya telah menyalurkan rasa kepedulian saya untuk mengabdi

kepada masyarakat melalui kegiatan saya sebagai guru les bahasa

Inggris tingkat SMP dan SMA. Meskipun saya bukan dari jurusan

pendidikan, namun bukan berarti saya tidak bisa mengajar dan berbagi

ilmu kepada mereka. Di samping itu, kegiatan lain yang sudah saya

lakukan sejauh ini adalah mengajar untuk anak-anak jalanan atau

marjinal di kawasan Jembatan Merah. Saya baru satu bulan ini aktif

sebagai pengajar di sana melalui sebuah komunitas yang saya temukan

di media sosial.

Kata “berbagi” saya artikan sebagai sebuah niat, usaha, dan

semangat untuk menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapat. Berbagi itu

tidak saling menuntut dan membatasi diri. Banyak orang yang sudah

salah tafsir dalam menyikapi mahasiswa yang memiliki kegiatan di luar

Page 96: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 79

kampus, padahal tidak seluruh kegiatan di luar kampus itu membawa

dampak negatif. Dalam kegiatan pengajaran untuk anak-anak jalanan di

Jembatan Merah, saya tidak hanya sekadar meluangkan waktu belajar,

bahkan saya ikut belajar banyak hal di sana, dari adik-adik yang tetap

riang walaupun mereka tidak selalu dibahagiakan orang tuanya. Tidak

ada hal berharga apa pun yang bisa saya berikan untuk mereka,

melainkan hanya waktu dan tenaga. Dan sejujurnya, mereka pun juga

tidak menuntut apapun dari saya. Wilda, adalah salah satu dari mereka.

Dia masih duduk di bangku SD kelas 4, namun saya akui bahwa

semangat belajarnya sangat tinggi.

“Kak, bikinkan soal Matematika, Kak. Yang kali-kalian, ambek bagi-

bagian itu lho kak. 10 soal, ya,” pinta Wilda pada hari pertama saya

mengajar.

Saya tuliskan beberapa soal, kemudian dia kerjakan dengan penuh

semangat. Sesekali ia bertanya pada saya bagaimana cara

menghitungnya. Hari itu, saya benar-benar tersentuh bahwa sebenarnya

Page 97: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 80

tidak perlu bermandikan gelar sarjana, master, ataupun profesor untuk

dapat mengajar dan menjadi guru. Ketika saya hendak pulang, hari

sudah mulai gelap dan hujan sudah turun cukup deras. Saya pun

berteduh di dekat motor saya untuk memasang jas hujan. Anak-anak

jalanan itu beralih menjadi para ojek payung yang siap memayungi

orang-orang yang hendak pulang dari JMP. Tiba-tiba dari belakang, saya

dikagetkan dengan seorang anak kecil yang memayungi saya ditengah

hujan. Datang tanpa alas kaki, tubuh basah kuyup sambil membawa

payung kecil yang sudah usang, memayungi saya di tengah hujan deras.

Setelah menoleh ke belakang, ternyata Wilda.

Dia dengan lugunya berkata, “Loh, Kak, masih di sini? Tak kira sudah

pulang. Ini, Kak, payung, nanti kehujanan.” Sungguh, terenyuh hati saya

saat itu. Di hari pertama saya mengajar, saya tidak merasa memberi

apa-apa namun mereka telah dengan mudahnya mengingat saya di

tengah ramainya orang berlarian untuk berteduh. Hari itu benar-benar

hari yang tidak akan saya lupakan.

Page 98: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 81

Berkontribusilah yang kemudian menjadi motif utama saya untuk

tetap mengajar. Berkontribusi di sini merupakan sebuah tindakan

konsisten terhadap komitmen yang sudah saya buat. Saya punya

keterbatasan, baik dalam hal waktu, tenaga, dan ilmu. Namun, saya

yakin bahwa di setiap batas yang saya miliki, ada juga harapan dan

mimpi yang harus saya kejar. Saya masih muda, saya masih mau bekerja

keras.

Saat saya merasa lelah mengajar, sosok ibu adalah yang kali

pertama muncul. Ibu mengajarkan saya untuk tidak manja, harus tetap

survive dalam menghadapi situasi sulit. Beliau semangat saya, sosok

kuat, tegar, yang sampai saat ini sudah membahagiakan anaknya.

Kontribusi beliau pada dunia pendidikan membuat saya ingin terus

mengajar dan belajar.

Page 99: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 82

Membuat Hidup Lebih Berarti

(Azhar S)

Apa yang membuat hidup menjadi lebih berarti? Apakah dari

bagaimana cara kita dicintai? Atau karna harta yang kita miliki?

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan dan

tidak pernah dijawab karena memang jawabannya tidak untuk

diberitahukan melainkan untuk direnungkan. Aku mendapatkan jawaban

dari pertanyaan itu saat aku berumur 9 tahun dan mulai membuat hidup

yang lebih berarti.

Semua di mulai saat menginjak kelas 3 SD pada umur 8 tahun.

Semua teman sebayaku membenci dan mengolok-olokku hanya karena

sebuah kekurangan. Aku menderita kelainan aneh yang disebut

hyperhidrosis, kondisi di mana seseorang akan sangat mudah

berkeringat pada bagian tertentu dan pada kasus ini terjadi di seluruh

bagian tubuhku. Setiap hari kebencian yang terpendam tidak semakin

padam namun semakin menggila. Memiliki satu kekurangan membuatku

Page 100: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 83

menjadi orang yang membenci segalanya, termasuk Tuhan.

Ejekan dan perkelahian kerap menghiasi pagi dan soreku. Tiap hari di

sekolah pekerjaanku hanya berkelahi dengan teman sebaya. Dengan

ketrampilan beladiri yang diajarkan oleh orang tuaku sejak aku berumur

4 tahun dan postur tubuh tegap dan besar, aku tak pernah kalah sekali

pun dalam tiap perkelahian. Hampir setiap hari masuk ruang BK karena

berkelahi dengan teman satu sekolah. Tetapi pihak sekolah tidak pernah

berani memanggil orang tuaku karena beliau adalah salah satu orang

yang berpengaruh di sekolahku. Aku tidak tahu apakah aku sangat

beruntung atau sangat tidak beruntung karena semua kejadian ini.

Semua guru mulai membenciku karena kelakuan tidak terpujiku

tetapi tetap tidak melakukan apa pun karena ya itu tadi, orang tuaku.

Saat aku masih kelas 1 SD, tiap pagi ada satu atau lebih guru yang

menyapa karena beranggapan anak orang baik akan menjadi orang baik.

Meskipun telah menyadari bahwa aku telah mengecewakan banyak

orang, mundur bukanlah sebuah pilihan untukku. Guru atau siapa pun

Page 101: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 84

tidak akan pernah mengubah keputusan yang telah aku buat saat itu.

Jalan yang telah diambil menuntunku dalam kenyataan pahit yang

harus kulalui. Tiap hari bukan membaik tapi malah memburuk. Aku mulai

menyadari kalau aku tidak memiliki teman sama sekali. Hidup sendiri

bukanlah hal yang baru untukku tapi merasa sendiri bukanlah hal yang

bisa diterima. Dahulu meskipun aku tidak punya teman aku masih

memiliki musuh-musuhku, tapi sekarang aku benar-benar sendiri. Tanpa

teman. Tanpa musuh.

Setelah menginjak 5 SD, aku semakin menggila. Merasa tidak

memiliki musuh di sekolahku, aku mulai mencari lawan di sekolah lain.

Tawuran adalah pilihan yang aku ambil untuk mengisi kekosongan

hariku. Mulai mencari sekutu untuk diajak tawuran dan mulai menyulut

masalah untuk mencari pembenar melakukan tawuran. Dalam

melakukan tawuran, hampir tidak mungkin seseorang tidak

mendapatkan luka sama sekali. Begitu juga dengan yang aku alami.

Mengetahui pulang dalam kondisi babak belur, orang tuaku mulai

Page 102: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 85

bertanya-tanya apa yang telah aku alami. Tanpa sepatah kata pun aku

beranjak ke kamarku dan tidak menghiraukan kalimat orang tuaku.

Mereka mulai mencari tahu apa yang aku lakukan dari dulu sampai

sekarang. Tak perlu waktu yang lama, kedua orang tuaku telah

mengetahui semua kenyataannya. Bahwa semua akar permasalahan

terletak pada kekuranganku yang tak pernah bisa kuterima.

Mengetahui hal itu orang tuaku hanya diam dan memberiku waktu

merenung sejenak. Tidak dimarahi, tidak dipuji. Tidak dinasihati, tidak

dicaci maki. Sampai pada satu hari mereka merasa kalau waktu

merenungku sudah cukup. Beliau mulai melakukan sesuatu padaku.

Bukan menasihati ataupun memarahi, tetapi hanya mengajakku

berkeliling kota seperti sedang bersantai. Ternyata orang tuaku hanya

ingin menunjukan sesuatu padaku.

Orang tuaku membawaku ke sebuah tempat yang jauh dari

keramaian dan gemerlap dunia malam di perkotaan. Tidak ada

berandalan yang suka membuat onar dan kendaraan yang berlalu lalang.

Page 103: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 86

Hanya ada masjid dan beberapa rumah kecil sejauh mata memandang.

Terlihat jelas bahwa banyak anak kecil di sini, tapi ada sesuatu yang

aneh dari tempat ini. Setelah aku menoleh ke belakang, aku sadar

bahwa ini adalah panti asuhan. Bukan panti asuhan biasa namun panti

asuhan untuk orang berkebutuhan khusus.

Orang tuaku membawaku ke sini untuk menyadarkanku bahwa aku

sangat kaya saat ini. Dilahirkan dengan kondisi kedua tangan dan kaki

yang sangat sempurna harusnya telah membuatku jauh lebih bersyukur

ketimbang harus membenci semuanya hanya karena keringat yang sama

sekali tidak mengganggu. Memiliki penglihatan seharusnya digunakan

untuk melihat jalan cahaya, bukan keburukan manusia dan jalan menuju

ke sana. Memiliki akal dan pikiran yang sehat sempurna seharusnya

menjadikanku sebagai manusia dengan akhlak yang baik bukan seorang

pembuat onar yang dibenci semua orang dan membenci semua orang.

Menyadari akan apa yang telah kuperbuat adalah hal yang salah, aku

mulai membuka lembaran baru dan menghapus semua jalan yang telah

Page 104: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 87

kuambil. Setelah orang tuaku membawaku ke sana, aku mulai

memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Melupakan tentang semua

sumpahku dahulu yang hanya membawaku pada keburukan. Berjanji

tidak akan menggunakan kekerasan kalau memang tidak terpaksa.

Hidup manusia hanya akan menjadi lebih berarti jika dia melihat apa

yang dia miliki daripada harus kecewa akan apa yang tidak dia miliki.

Jawaban inilah yang membuat hidup seseorang jauh lebih berarti.

Karena manusia makhluk bernafsu yang tidak pernah puas, kekosongan

hati dalam hidup manusia hanya dapat diisi dengan bersyukur dan

bersujud kepada Tuhan yang Maha Esa. Manusia diciptakan dalam wujud

yang paling sempurna karena di balik kelebihan pasti ada kekurangan

dan di balik kekurangan pasti ada kelebihan. Mulailah bersyukur karena

sesungguhnya, syukurlah yang membuat hidup lebih indah di saat susah

maupun senang dan berhentilah mengeluh karena seungguhnya

mengeluhlah yang membuat hidup lebih merana.

Page 105: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 88

Pengakuan Sederhana

(Diana A)

Kalbumu itu lebih kuat dari semua anggota badanmu.

Adalah sebuah kalimat yang telah terukir jelas dan tertanam dalam

pikiranku bahkan ketika mataku terpejam dalam kelelahan, hanya

rangkaian kata itu yang dapat menguatkanku. Sebuah kalimat biasa

yang terdengar dari seseorang dengan jalan hidup yang menakjubkan.

Terdengar berlebihan memang, tapi kalimat biasa itu yang ternyata telah

menyihir dan mengubahku menjadi lebih baik, dan secara mengejutkan

juga telah mengubahku menjadi lebih buruk. Entah sejak kapan kalimat

itu mulai aku percayai, menuntunku, namun juga menjerumuskanku.

Semuanya dimulai ketika aku melamun di kelas, menggenggam

sebuah bolpoin yang menghadap dan bertegur sapa dengan selembar

kertas penuh dengan gambar yang mencerminkan kebosanan dan di

saat itu juga ada seseorang yang menjelaskan materi di depan kelas

dengan gaya unik serta penuh rasa humor telah berhasil membuyarkan

Page 106: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 89

lamunanku saat seseorang itu melontarkan kalimat, “Kalbumu itu lebih

kuat dari semua anggota badanmu, ketika badan dan pikiranmu mulai

lelah tetapi kalbumu mengatakan kau bisa melakukannya, maka semua

akan bergerak dengan lincahnya seperti ada yang menggerakkan tanpa

disadari.” Kurang lebih seperti itu inti perkataan beliau. Dan seseorang

yang menjelaskan materi di depan kelas itu bukanlah seseorang yang

biasa dengan perawakan sederhananya, seperti yang aku sebutkan

sebelumnya bahwa beliau adalah seseorang yang jalan hidupnya dapat

menginspirasiku, bahkan membuatku bersyukur lahir di zaman modern

tanpa mengalami banyak keresahan yang melelahkan. Semula aku tidak

memercayai perkataan beliau karena kalimat itu terdengar begitu

religius di telingaku dan mungkin tidak akan ada efeknya terhadap orang

macam diriku. Tapi anehnya, secara tidak sadar aku membuktikannya

sendiri. Setiap hal yang harus kuhadapi sendiri, baik masalah, beban,

ataupun kewajiban-kewajiban yang sebelumnya hanya pikiran dan

tenagaku yang aku gantungkan maka yang terjadi hanyalah mengeluh

Page 107: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 90

dan mengucap beribu kata bahwa aku sepertinya lelah, aku mulai malas,

bisakah itu diselesaikan nanti? Kehilangan semangat dan harapan

meskipun berbagai doa telah aku panjatkan kepada Pemilikku untuk

membantu. Di situlah kalimat itu menutunku, membuktikan perbedaan

yang signifikan dan tanpa disadari aku benar-benar menyukai serta

bergantung pada kalimat itu.

Entah sejak kapan pula mantra yang aku ucap pada kalbuku bahwa

aku bisa melakukan dan menghadapi semua membuat semuanya

nampak lebih mudah dan seakan-akan telah memberiku dorongan untuk

tetap bertahan. Menuntunku untuk tetap menyelesaikan apa pun dengan

pasti walaupun aku mengerjakannya perlahan-lahan dan kemudahan itu

aku dapatkan seperti memenangkan undian setiap saat karena setiap

hal kecil maupun besar dapat terlewati bahkan seperti tidak terjadi,

seperti mengalir dengan sendirinya tanpa perlu repot-repot membuat

hilir. Meskipun aku tahu mungkin di luar sana ada orang lain harus

mengemban beban yang lebih berat dariku, tetapi aku merasa lebih baik

Page 108: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 91

dan lebih percaya diri dari sebelumnya. Aku benar-benar merasa bisa

melakukan semua dan itu lebih mudah dari yang aku pernah bayangkan.

Lama-kelamaan kemudahan yang aku dapat menimbulkan sebuah

kecurigaan dan keanehan.

Aku merasa ada sesuatu yang kurang dan begitu mengganjal tetapi

aku tak bisa menemukan keanehan itu. Seperti ada sesuatu yang hilang.

Sesuatu yang kurang. Sesuatu yang seharusnya ada tetapi terasa

kosong. Dan aku mulai merasakannya ketika aku percaya, ketika aku

yakin, tetapi semuanya berubah seolah-olah aku harus memperpanjang

masa aktif keyakinan itu dulu untuk mempertahankannya. Kemudahan

itu juga seperti berhenti dengan tiba-tiba atau bahkan menghilang. Apa

pun yang ingin dan harus kulakukan seakan semakin sulit diwujudkan.

Apa yang seharusnya bisa aku lakukan dengan mudah malah memiliki

hasil yang buruk, bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah kegagalan

yang aku dapat. Lalu bagaimana dengan hal yang di luar batasku? Tentu

saja semakin berat dan tidak mungkin diwujudkan. Dan ini berlangsung

Page 109: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 92

lama, bahkan lebih lama dari keberhasilan keyakinan itu. Berbagai

pertanyaan menyerang benakku, apa yang salah dengan keyakinanku,

apa ada yang salah denganku ataukah cara pandangku? Apa benar

kalimat yang terdengar religius itu memang tidak akan mempan kepada

manusia semacam diriku? Apakah kemudahan ini membuatku lupa siapa

aku? Bahkan berbagai pertanyaan tentang tiap langkah yang aku ambil,

semuanya menjadi pertanyaan tanpa mendapat jawaban.

Tanpa sadar, perlahan aku mulai mengingat setiap langkah itu dan

mendapat jawaban yang tak terduga dari kalbuku sendiri. Ternyata aku

terlalu terlena dengan semua kepercayaan itu. Keyakinan itu telah

menjerumuskanku dalam ketenangan tanpa usaha, tanpa aksi yang

berarti, karena aku yakin aku pasti bisa tetapi aku tak melakukan apa-

apa, tak beranjak untuk melakukan usaha dan selalu meyakini

kemudahan yang pernah aku dapat sebelumnya. Aku terlalu terpaku

dengan keyakinan itu, menjadi orang sombong yang meremehkan semua

hal yang ada di hadapanku, kewajibanku ataupun masalahku, bahkan

Page 110: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 93

hakku, aku merasa tak perlu ambil pusing untuk memikirkan atau

merenungkan itu semua karena biasanya kemudahan itulah yang

menyelesaikannya. Aku menjadi lebih malas, lebih memilih menunda

setiap tugas yang harus aku lakukan, bahkan lebih memilih

menyelesaikannya ketika aku baru memunyai alasan untuk

menyelesaikannya.

Aku menjadi sadar, bukan kalimat atau kepercayaan itu yang

menjerumuskanku, yang membuatku seolah berjalan di tempat yang

sama, atau bahkan mengiming-imingiku kemudahan, tetapi karena aku

percaya tapi aku tak berusaha. Aku yang merusak keindahan arti kalimat

itu, mengubah maknanya menjadi tak bermakna, malah menyesatkan.

Sebuah sifat buruk manusia karena ego. Seharusnya tidak akan seburuk

ini jika aku melakukan sesuatu, mengusahakannya, dan

menyelesaikannya. Dari situ aku harus mulai berubah, aku akan

meyakini, melakukan, dan mengusahakan. Mengubah arti kalimat itu

agar lebih bermakna dan tidak membuat seseorang yang mengucapkan

Page 111: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 94

kalimat itu menyesal karena seorang muridnya telah menyia-nyiakan

serta menyesatkan tujuan kalimatnya.

Page 112: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 95

Orang yang Direndahkan

(Mas A)

Mungkin bagi semua orang, lulus dari SMA adalah saat-saat di mana

kita beranjak menggapai cita-cita dan waktu untuk mencari jati diri

masing-masing. Setelah upacara kelulusan semua orang pasti sudah

memunyai target apa yang akan dilakukan setelah itu. Mendapat

dukungan dari teman, sahabat, keluarga, guru-guru adalah hal yang

sangat membahagiakan dan menjadi motivasi besar bagi seseorang

yang baru saja mendapat ijazah sekolah menengah atas. Hal itu

mungkin terjadi pada semua orang tetapi tidak bagi saya.

Sekitar 2 tahun lalu, saya mendapat sebuah pengalaman yang

membuat saya sangat depresi untuk waktu yang lama. Pada saat saya

memutuskan untuk masuk jurusan Sastra Inggris dan

memberitahukannya kepada seorang guru yang sangat saya kagumi agar

mendapat masukan, tetapi ia tidak mendukung saya malah kaget

mendengar kata-kata yang saya ucapkan. Hal itu mungkin terjadi karena

Page 113: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 96

ia melihat masa lalu saya di SMA yang menjadi seorang murid sangat

nakal dan sangat malas. Kejadian seperti itu pastinya membuat mental

seseorang down dan juga menghapuskan semua semangat dan rasa

percaya diri seorang siswa.

Kejadian yang menimpa saya itu saya ceritakan kepada sahabat

saya yang selalu menemani saya sejak kecil. Tidak mendapat jawaban

yang memuaskan justru dia mengeluarkan kata-kata yang tidak saya

sangka akan keluar dai mulutnya, “Kamu kuliah buat apa, Wis? Cuma

nyari ijazah aja kan, ijazah bisa beli.” Mendengar itu justru menambah

beban kepala dan membuat saya hampir putus asa untuk kuliah. Setelah

kejadian itu, saya memutuskan untuk membuktikan bahwa saya bisa

masuk univeritas negeri di jurusan Sastra Inggris. Saya mulai

membiasakan diri untuk belajar, karena saat masih duduk di bangku

SMA, jangankan belajar, membaca buku saja tidak. Mulai mengubah

kebiasaan-kebiasaan buruk dan mulai membiasakan untuk lebih yakin

pada kemampuan sendiri, itu yang saya lakukan setelah mendapat

Page 114: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 97

cemooh dari orang-orang yang saya kira tidak akan pernah melakukan

itu pada saya.

Saya berjanji kepada diri saya untuk berubah, agar mereka-mereka

yang telah mencemooh saya, tahu siapa sebenarnya saya dan

membuktikan apa yang saya impikan ini tidak semata-mata mimpi

belaka. Saya berterima kasih kepada mereka-meraka berkat cemoohan

dan tindakan mereka justru membuat saya semakin bersemangat untuk

menggapai impian saya dan allhamdulillah saya bisa di terima di Unesa

di jurusan S1 Sastra Inggris.

Tidak hanya di situ, pada saat saya akan melegalisir ijazah ke SMA,

saya bertemu dengan beberapa teman SMA yang datang ke sana, ada

beberapa yang hanya sekedar mampir dan ada beberapa yang sama-

sama akan melegalisir ijazah. Kami berbincang-bincang sambil

menunggu legalisir ijazah, kami mulai bertanya satu sama lain tentang

apa yang kami lakukan setelah lulus dari sana. Pada saat mereka

bertanya kapada saya untuk apa saya melegalisir ijazah, saya menjawab

Page 115: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 98

dengan jujur,

“Untuk daftar ulang kuliah.”

“Kamu masuk universitas mana dan jurusan apa, Wis?”

“Unesa, Sastra Inggris.” Mendengar saya masuk jurusan Sastra

Inggris, mereka seakan tidak percaya apa yang saya katakan dan

meraka mengira saya hanya bercanda. Saya menyadari, mungkin mereka

terkejut melihat saya yang sekarang karena mereka hanya mengenal

saya di masa lalu dan hanya mengenal keburukan saya yang saya

lakukan dulu bersama mereka. Mungkin karena saya sudah pernah

mengalami kejadian yang sama seperti ini, saya hanya menganggapinya

biasa saja.

Meskipun kita mendapat hinaan dari seseorang, mari kita ambil sisi

positifnya saja karena dengan mengambil sisi positif dari hal itu kita

dapat mengubah diri kita lebih baik lagi. Anggap saja kata-kata mereka

sebagai kekuatan bagi kita untuk mencapai apa yang kita impikan dan

apa yang bagi mereka adalah hal yang sia-sia. Kita tidak perlu membalas

Page 116: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 99

mereka dengan hinaan yang sama, tetapi balas dengan tindakan yang

membuktikan bahwa mereka salah menilai dan itu semua akan menjadi

bumerang bagi mereka-mereka. Janganlah takut untuk melakukan

sesuatu yang kita anggap benar, “Just do it and never give up.”

Meskipun tidak ada orang yang mendukung kita, masih ada Tuhan yang

selalu ada untuk kita.

Page 117: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 100

Sulitnya Masuk Kuliah

(Ratna L)

Sepanjang hidupku, aku belum pernah mengalami kejadian yang

menurutku merupakan pengalaman yang sangat menginspirasi. Oleh

karena itu, jika disuruh untuk menceritakan tentang pengalaman yang

menginspirasi, aku sedikit kesulitan menulisnya. Dan aku juga belum

terlalu suka menulis jadi tulisanku mungkin belum bisa dikatakan

sebagai tulisan layak karena aku masih dalam tahap belajar. Pada

kesempatan ini aku akan menceritakan sebuah pengalaman yang

menjadi salah satu momen terpenting dalam hidup. Mungkin ini bukan

pengalaman yang bisa menginspirasi orang lain, tapi setelah melewati

peristiwa ini aku mendapat pelajaran untuk bisa menerima kenyataan

yang ada walaupun itu pahit. Cerita ini tentang kesulitanku untuk bisa

kuliah di tempat yamg aku inginkan, dimulai dari seleksi SNMPTN yang

mengecewakan, seleksi SBMPTN yang aku ikuti setengah hati, juga

keinginan besarku untuk kuliah di STAN, hingga akhirnya keputusanku

Page 118: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 101

untuk kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa.

Seleksi pertama yang harus aku lalui untuk bisa kuliah adalah

SNMPTN. Pada seleksi ini aku sangat optimis bisa lulus, karena aku

sudah mendapatkan saran dari guru-guruku di SMA tentang jurusan apa

yang sesuai denganku dan universitas mana saja yang bagus. Aku

memilih Universitas Airlangga sebagai prioritas utama di mana aku ingin

kuliah, karena universitas ini merupalan salah satu universitas terbaik

di Jawa Timur. Sedangkan untuk jurusan, karena aku sangat suka

pelajaran Matematika, aku memilih jurusan Manajemen sebagai prioritas

utamaku dan jurusan Matematika di urutan kedua. Pada saat hasil

seleksi diumumkan, aku tidak mengira akan gagal karena banyak

teman-temanku yang sudah melihat pengumumannya dan bisa lulus

seleksi. Aku melihat pengumuman itu dengan perasaan senang karena

mendengar kabar dari mereka. Tapi kenyataan berkata lain, dalam

pengumuman itu tertulis,

Page 119: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 102

"Maaf anda tidak lulus seleksi."

Seketika itu juga perasaanku menjadi campur aduk, antara sedih,

marah, takut, bingung, dan perasaan lain yang berkumpul menjadi satu

berebutan untuk keluar dan mencari sasaran melampiaskannya.

Perasaan sedih karena tidak bisa diterima di tempat yang aku inginkan,

ada juga perasaan marah karena melihat teman-temanku yang biasanya

di sekolah mendapat nilai di bawahku bisa lulus, sedangkan aku harus

bisa bersabar karena tidak bisa mendapatkan apa yang aku inginkan.

Tapi aku tetap berusaha tegar dan menata kembali perasaanku untuk

mengikuti seleksi lain agar bisa kuliah.

Seleksi lain yang aku ikuti untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri

adalah SBMPTN. Seleksi ini sedikit berbeda dengan SNMPTN, jika

SNMPTN hanya menggunakan nilai rapor, SBMPTN menggunakan tes

tulis. Dalam seleksi ini, aku tidak terlalu berharap banyak karena terlalu

kecewa dengan hasil SNMPTN. Jurusan yang aku pilih pun sebenarnya

bukan aku sendiri yang memilih, salah satu teman baikku

Page 120: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 103

memilihkannya untukku karena aku sudah malas untuk memilih. Dia

memilihkan jurusan Sastra Inggris di Unesa, menurutnya aku cukup baik

dalam pelajaran bahasa Inggris. Sedangkan pilihan lainnya, dia

memilihkan jurusan yang sama seperti saat SNMPTN yaitu Manajemen

dan Matematika tapi di UM (Universitas Negeri Malang). Aku memilih UM

karena ini adalah universitas di mana kakakku sedang menempuh gelar

S1 Teknik Sipil. Aku berpikir jika kuliah di tempat yang sama dengan

kakakku, akan mempermudah keadaanku. Untuk tempat tes, aku juga

memilih di Malang, walaupun lebih jauh daripada Surabaya, tapi aku

tidak mau ribet dengan tempat tinggal selama tes, karena tes ini

dilangsungkan selama dua hari. Sebelum tes berlangsung aku tidak

terlalu banyak belajar, aku hanya mengerjakan ulang soal tryout SBMPTN

yang pernah aku ikuti. Saat tes berlangsung, aku hanya mengerjakan

soal yang bisa kujawab, banyak yang tidak aku kerjakan karena malas

untuk berpikir terlalu keras. Selagi menunggu hasil SBMPTN keluar, aku

mencoba mengikuti seleksi lain, yaitu USM STAN.

Page 121: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 104

USM STAN atau Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Administrasi

Negara merupakan ujian yang sangat ingin aku ikuti. Sejak SMP, aku

sudah memunyai cita-cita untuk bisa masuk STAN. Keinginan ini muncul

karena salah satu guru SMP-ku memunyai anak yang kuliah di sana,

beliau sering bercerita tentang anaknya dan bagaimana atmosfer

perkuliahan di STAN. Cerita-cerita beliau menginspirasiku untuk belajar

lebih giat lagi agar bisa diterima di STAN. Untuk mewujudkan mimpiku

itu, aku mulai membeli banyak buku tentang USM STAN, mengikuti

tryout USM, dan mempelajari soal-soal USM tahun-tahun sebelumnya.

Untuk mengikuti USM, aku harus melewati banyak tahap yang menguras

tenaga dan pikiran. Mulai dari pendaftaran online yang sangat sulit

diakses, kemudian tahap verifikasi data yang diselenggarakan pada hari

pertama puasa Ramadan, tahap ini sangat melelahkan karena aku harus

menunggu dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang karena banyaknya orang

yang mendaftar. Untung saja cuaca tidak terlalu panas karena berada di

Malang. Tahap selanjutnya adalah tes tulis USM, tes dilaksanakan

Page 122: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 105

sekitar dua pekan setelah verifikasi data. Walaupun sedang puasa aku

mengerjakan tes ini dengan sungguh-sungguh dan berharap bisa lulus

sehingga dapat lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu tes kesehatan.

Setelah selesai mengikuti USM STAN, hasil SBMPTN diumumkan. Hasil

yang aku peroleh tidak terlalu membahagiakan, aku lulus seleksi dan

diterima di jurusan Sastra Inggris Unesa. Sebenarnya aku tidak berminat

kuliah di Unesa, jadi aku tidak langsung memberi tahu orang tuaku

tentang hasil ini. Aku berharap bisa lulus USM STAN sehingga tidak perlu

kuliah di Unesa.

Hari-hari menunggu pengumuman seleksi STAN adalah waktu paling

menyiksa, perasaan khawatir muncul, kalau aku tidak mengambil hasil

SBMPTN dan ternyata aku tidak masuk STAN juga, berarti aku tidak bisa

kuliah dan jalan satu-satunya adalah ikut ujian mandiri atau SPMB

seperti yang dilalui kakakku. Aku berpikir jika ikut SPMB pasti akan

sangat membebani kedua orang tuaku karena biaya kuliah jalur SPMB

sangat mahal. Dengan perhitungan itu akhirnya aku mengambil hasil

Page 123: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 106

SBMPTN dan melakukan daftar ulang di Unesa sambil menunggu hasil

seleksi STAN diumumkan. Kedua orang tuaku pun menyetujui

keputusanku jika aku bisa lulus masuk STAN, aku bisa melepaskan

kuliah di Unesa.

Hari pengumuman USM STAN pun tiba, perasaan khawatir tidak lulus

semakin bergejolak di hatiku. Karena ketakutan itu, aku tidak berani

melihat hasilnya dan menyuruh temanku yang juga mendaftar di STAN

untuk melihatnya. Betapa hancur hatiku mendengar kabar dari temanku,

kami berdua tidak lulus seleksi. Ternyata kekhawatiranku selama ini

benar, beruntung aku punya keluarga yang bisa menenangkan perasaan

sedihku karena kegagalan yang kedua kalinya untuk bisa kuliah di

tempat yang benar-benar aku inginkan. Orang tuaku memberi tiga pilihan

untukku, pilihan pertama aku meneruskan kuliah di Unesa tapi aku tetap

bisa mendaftar di tempat lain tahun depan, pilihan kedua aku bisa tidak

kuliah tahun itu dan mendaftar lagi tahun depan, sedangkan pilihan

ketiga aku bisa mendaftar di universitas lain lewat jalur SPMB. Dari

Page 124: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 107

ketiga pilihan yang diberikan orang tuaku, aku memilih pilihan pertama

setelah mempertimbangkan banyak hal. Aku memutuskan untuk tetap

kuliah di Unesa walaupun dengan setengah hati daripada aku harus

menganggur setahun atau ikut SPMB yang biayanya bisa berlipat ganda

dari jalur SBMPTN. Pertimbangan lain karena jika aku tidak betah kuliah

di Unesa aku bisa mendaftar di universitas lain tahun depan.

Bulan-bulan pertama kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa aku lalui

dengan keterpaksaan, tapi seiring berjalannya waktu aku bisa

melaluinya dengan perasaan senang karena teman-teman yang banyak

dan sangat ceria. Mereka adalah alasanku untuk tetap bertahan di

Unesa sampai tahun berikutnya. Setelah satu tahun berlalu keinginanku

untuk keluar dari sana pun menghilang, akhirnya aku putuskan untuk

tetap kuliah di jurusan Sastra Inggris Unesa. Aku menyadari mungkin

Allah telah memberikan jalan lain untukku. Memang benar orang bilang,

"Manusia boleh merencanakan tapi Tuhan menentukan."

Page 125: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 108

Perubahan Itu Perlu

(Rafika Y)

Perubahan itu bukan hal yang mengerikan, meski memang, tidak

semua orang bisa menerimanya begitu saja. Aku memulai, ingin memulai

jadi pribadi yang baru, yang lebih baik. Dimulai dari mengikuti kegiatan

organisasi yang tidak pernah aku ikuti selama bersekolah memakai

seragam. Bersikap berbeda dengan orang-orang di sekelilingku, bersikap

jadi lebih ramah dan lebih peduli dengan keadaan sekitar.

Pendaftaran panitia PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus

Mahasiswa Baru) 2014 dibuka. Aku tertarik untuk ikut menjadi panitia.

Hanya perlu menyerahkan selembar formulir dan foto 3x4, tanpa ba-bi-

bu, aku bersama teman-teman sekelas lainnya diterima menjadi panitia.

Aku dan salah seorang teman ditempatkan di sie konsumsi.

Di hari pra-PKKMB, tugas yang aku dapatkan masih dibilang ‘mudah’.

Aku dan salah satu teman sekelas ini hanya perlu meletakkan roti dan

air mineral di meja dosen-dosen yang akan menjadi pembicara di acara

Page 126: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 109

pembukaan PKKMB ini. Lalu, kerja sesungguhnya dimulai, selama enam

hari PKKMB itu. Setiap hari selama enam hari, aku dan teman-teman

panitia lainnya diharuskan sudah siap di kampus lebih awal dari peserta

PKKMB, yaitu pukul 04.30. Setiap hari selama enam hari itu juga, aku

dan teman-teman panitia lainnya baru pulang dan beristirahat pada

pukul 20.00 atau bahkan lebih dari itu. Pekerjaan tanpa uang ini benar-

benar melelahkan tenaga, pikiran, dan batin.

Ada beberapa kejadian dalam kegiatan ini yang secara tak langsung

mengubahku, mengubah pola pikirku. Salah satu kejadian itu adalah

saat aku dan temanku diminta untuk membeli roti dan air mineral untuk

diletakkan lagi di meja dosen-dosen. Koordinator sie konsumsi meminta

kami untuk membeli roti dus dan air mineral masing-masing sepuluh

buah. Tak lama kemudian dia meminta kami untuk membeli tambahan

dua buah lagi untuk masing-masingnya. Kemudian, baru beberapa menit

kami memarkir sepeda motor, salah seorang dari sie kesekretariatan

menyuruh koordinator sie konsumsi untuk membeli lagi tambahan

Page 127: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 110

sebanyak tiga buah untuk masing-masingnya. Koordinator kami lagi-lagi

meminta kami membelinya. Merasa bingung dan kesal sebenarnya.

Bukankah seharusnya anggota sie kesekretariatan itu tidak berhak

menyuruh kami ataupun koordinator kami? Ada yang salah dalam

koordinasi komunikasi di sini. Tapi yang nampak adalah koordinator kami

bahkan tidak peduli dengan kami yang kelelahan karena harus bolak-

balik. Dari kejadian itu, saya sadar akan tiga hal: Pertama, kita tidak

patut untuk ikut campur urusan atau pekerjaan orang lain. Apalagi bila

itu memang bukan hak atau kewajiban kita untuk menyuruh ataupun

mengatur mereka. Kedua, pemimpin yang baik seharusnya bisa tegas

dan punya pendirian pada apa yang menjadi kewajibannya, bukan tiba-

tiba seenaknya menuruti apa kata orang lain. Dan yang ketiga, aku sadar

bahwa manusia memang memunyai beragam karakter dari yang baik

sampai yang menyebalkan. Yang sebaiknya kita maklumi, untuk sabar

atas perbuatan mengesalkan mereka, setidaknya mengingatkan bahwa

yang mereka lakukan tidak sesuai dan merugikan orang lain.

Page 128: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 111

Merasa tak cukup “baru mencoba ikut berorganisasi”, aku mengikuti

lagi pendaftaran panitia untuk ospek jurusan di jurusanku, Bahasa

Inggris yang bernama English Leadership Training (Elit). Kali ini,

‘pekerjaan’ yang aku dapatkan lebih menantang. Aku terpilih menjadi

salah satu anggota sie pemandu, yang bertugas membimbing

mahasiswa-mahasiswa baru agar menjadi lebih mandiri, bertanggung

jawab, juga cekatan.

Sebelum acara yang sebenarnya dilaksanakan, aku dan teman-

teman panitia sie pemandu lainnya mengadakan simulasi, yaitu latihan

menghadapi anak-anak. Kami mengadakan acara buka puasa bersama di

bulan Ramadan yang lalu dengan beberapa anak-anak yatim piatu dari

yayasan panti asuhan Tumpuhan Harapan. Anak-anak yang kami hadapi

ini sebenarnya berbeda dalam segi usia. Karena anak-anak dari panti

asuhan rata-rata usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar.

Sedangkan untuk kegiatan ospek jurusan nantinya, kami akan

menghadapi anak-anak yang usianya hanya berbeda satu tahun lebih

Page 129: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 112

muda dari kami. Tetapi meski begitu, aku senang karena untuk kali

pertama bisa menghibur mereka dengan sedikit mengajari beberapa

vocab di bahasa Inggris dan hal-hal kecil lainnya. Setidaknya dari

simulasi ini, aku berlatih tentang bagaimana membangun suasana yang

menyenangkan dalam suatu kelompok.

Hari berganti hari, tidak terasa kegiatan ospek jurusan pun dimulai.

Diawali dengan gathering sebanyak tiga kali. Dengan tujuan untuk lebih

mendekatkan pertemanan para mahasiswa baru sekaligus untuk

pengenalan di jurusan bahasa Inggris. Dengan menjadi salah seorang

anggota sie pemandu ini, aku lebih senang menempatkan diri sebagai

teman mereka, bukan sebagai kakak kelas atau apa pun itu. Aku

menganggap mereka sebagai teman baru yang membutuhkan semua

info tentang hal-hal di jurusan. Dari situ, kelompok 18 yang aku bimbing

ternyata menjadi kelompok yang menyenangkan, anggotanya bersikap

kritis, bertanggung jawab, dan juga kompak. Aku senang karena bisa

menumbuhkan suasana yang menyenangkan di kelompok ini.

Page 130: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 113

Di samping itu, keeratan hubungan antar panitia Elit 2014 pun juga

terjalin sangat baik. Kami semua sudah seperti keluarga besar. Senang,

terharu, pertengkaran, perdebatan, menjadi makanan sehari-hari kami

yang ternyata membuahkan hal manis berupa pertemanan yang semakin

erat. Satu semester lebih kami bersama untuk mempersiapkan kegiatan

ini. Dimulai dari kegiatan training untuk semua panitia, rapat yang ada

seperti tak ada habisnya, latihan simulasi yang terus-menerus.

Seperti candu yang susah hilangnya, ada keinginan untuk terus ikut

berorganisasi. Ternyata, aku nyaman dengan diriku yang sekarang. Aku

nyaman dengan diriku yang lebih ramah, lebih peduli dengan keadaan

sekitar, dan juga lebih suka menjalin hubungan pertemanan dengan

banyak orang. Seperti ada kesenangan tersendiri di dunia perkuliahan

ini.

Pengalaman yang aku tulis ini membuatku berpikir, bahwa semua

hal pasti ada gunanya dalam hidup, bahwa pengalaman itu akan

mengajarkan sesuatu tentang kehidupan, bahwa perubahan itu perlu.

Page 131: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

pemegang kunci | 114

Sembari curhat, aku yakin bila tulisan ini membuatku teringat akan

memori dalam hidupku, serta membuatku terinspirasi. Dan aku harap

dari tulisan ini juga, orang lain juga akan terinspirasi, bahwa semua yang

ada di kehidupan ini tidak ada yang sia-sia.

Page 132: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang

“Tanpa teman, mungkin tidak tahu

seperti apa bentuk ketulusan dan kepercayaan.”

Page 133: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 115

dua

Rumah Kedua

(M Nahrul)

Banyak sudah tempat yang kusinggahi di Kota Pahlawan ini untuk

kujadikan tempat yang bisa kusebut “rumah”, di tahun keduaku ini telah

kutemukan rumah ketigaku. Aku harus beranjak dari rumah keduaku

karena sejumlah alasan, dan semua itu bermula di suatu pagi, Sulton,

teman kost-ku mendapat pesan dari seorang temannya, Siro, yang berisi

ajakan untuk menyewa sebuah rumah di salah satu celah sempit di

tengah perkampungan dekat kampusku. Siro telah mengajak dua orang

temannya, dan aku pun diajak olehnya, total ada lima orang yang

bersedia mendiami rumah kontrakan itu. Beberapa jam telah berlalu dan

hari sudah mulai gelap, Sulton dan aku bergegas menuju rumah kost

Page 134: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 116

temanku untuk melihat keadaan rumah yang akan kami diami, aku tak

tahu mengapa ia sangat bersemangat kali ini, mungkin lantaran ia ingin

meringankan biaya hidupnya karena tempat kost kami sebelumnya

memiliki tarif yang cukup mahal.

Tepat setelah libur semester pertama, kami mendiami rumah itu.

Aku sekamar dengan Sulton dan Siro, di kamar sebelah ada Riki dan

Faruk. Tak butuh waktu lama untukku membaur dengan dua orang

teman baruku. Awalnya semua berjalan dengan baik, kami berlima bisa

saling mengakrabkan diri. Namun, selang beberapa bulan salah satu

teman kami mulai berulah, Sulton, membawa teman wanitanya ke

rumah. Sebenarnya hal itu wajar saja tapi yang membuatnya menjadi

persoalan adalah dia mengajak teman wanitanya singgah di salah satu

kamar. Secara tidak tertulis, kami berlima menyepakati satu peraturan

bahwa jika salah satu dari kami mengajak teman wanita, ia tidak boleh

menginjakkan kaki di anak tangga, apalagi menapakkan kaki di lantai

dua. Hal itu pun aku terapkan, jika ada teman wanita yang singgah, aku

Page 135: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 117

hanya memperbolehkan dia bersandar di depan rolling door, kalau pun ia

ingin masuk, aku hanya mempersilahkannya menginjakkan kaki di lantai

pertama saja dan pintu rumah aku biarkan terbuka agar tidak timbul

prasangka buruk dari warga sekitar. Kami semua memperlakukan hal

yang sama pada teman wanita kami, kecuali satu teman kami yang

tidak mengindahkan peraturan itu.

Pada kejadian pertama, kami berempat masih bisa memaklumi. Tapi

setelah beberapa bulan berlalu, Sulton makin menjadi. Dulu dia hanya

mengajak temannya sebulan sekali atau dua kali, saat itu malah dia

lakukan hampir tiap minggu. Masih kuingat pesan darinya sebelum

mengajak teman wanitanya, “Rul, sewa kamar, yo? Hehehe.” Aku lupa

berapa kali ia mengirim pesan bernada sama, aku juga lupa berapa kali

aku sudah mengingatkannya. Setiap kali aku pulang kulihat ketiga

temanku berkumpul di depan rumah, dan dengan mudahnya aku

mengetahui alasan mengapa mereka melakukannya. Kami berempat pun

mulai merasa tidak nyaman karena kehadiran wanita tersebut—apalagi

Page 136: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 118

kami tinggal di lingkungan yang masih peduli lingkungan sekitar serta

menjunjung tinggi nilai dan norma sosial—karena sejumlah warga sudah

mengingatkan, mereka mulai resah dan merasa tidak nyaman karena

melihat wanita keluar masuk pintu rumah kami. Oleh karena itu, aku

berusaha mengingatkan teman sekamarku namun ia tetap bergeming, ia

berdalih bahwa hal itu bukanlah masalah karena ia merasa warga

sekitar tidak memperhatikan gerak-geriknya selama ini. Sebenarnya,

yang membuat kami merasa tidak nyaman bukan hanya

ketidakpeduliannya terhadap lingkungan sekitar, tapi ia juga hanya

memiliki sedikit rasa kepedulian pada rumah kami, salah satunya dalam

hal kebersihan. Namun, itu bukanlah hal baru buatku, aku sudah

mengenalnya selama beberapa bulan dan aku bisa memakluminya, tapi

lain halnya jika dihadapkan pada tiga temanku, mereka tidak tahan

dengan kelakuan Sulton. Kami berempat pun bergantian mengingatkan

dia, tetap tidak ada hasil. Akhirnya, tiga temanku mulai bersikap dingin

terhadap Sulton. Hanya aku yang menjaga sikapku karena

Page 137: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 119

begaimanapun ia tetap temanku, kami saling kenal sejak masa

“perploncoan” mahasiswa baru, dan kami sudah banyak melewati masa-

masa bersama, baik susah maupun senang. Ia akhirnya memutuskan

untuk tinggal sementara di rumah kontrakan temannya, mungkin karena

ia sudah merasa kalau kehadirannya sudah tak diharapkan. Ia hanya

mampir ke rumah bila ingin mengambil beberapa helai pakaian atau

sekadar menyegarkan diri dengan membilas air di sekujur tubuhnya.

Tak lama kemudian, sekitar dua bulan, ia kembali ke rumah. Aku tak

tahu mengapa ia tak pernah ke rumah temannya lagi, dia tak pernah

menceritakan hal tersebut, tapi aku dengar kabar kalau ia telah

mengalami konflik di rumah temannya, mungkin disebabkan oleh

permasalahan yang sama seperti di rumah kami. Setelah dua bulan tak

singgah, sikap ketiga temanku tak kunjung berubah, apalagi Faruk, tak

sepatah kata pun terlontar dari mulutnya yang ditujukan pada Sulton,

begitu pun sebaliknya. Hal itu karena mereka berdua memiliki

kepribadian yang sama: Sama-sama keras kepala. Ketiga temanku

Page 138: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 120

berpikir dengan cara mendiamkan Sulton, maka ia akan sadar akan

kesalahannya dan masalah segera usai. Kenyataannya, tidak. Sulton

masih melakukan kebiasaan lama dan keadaan semakin rumit. Masa

kami untuk mendiami rumah tersebut juga segera habis. Hingga suatu

malam, kami berempat, aku, Faruk, Siro dan Riki, berkumpul untuk

membahas masalah kelangsungan rumah kontrakan.

Muncul dua pilihan, beranjak dari rumah tersebut dan mencari

tempat baru tanpa Sulton atau tetap tinggal juga tanpa sulton, pada

intinya mereka tidak menginginkan keberadaan Sulton lagi. Kami pun

memilih pilihan kedua, karena kami masih nyaman tinggal di rumah

tersebut jika tidak ada Sulton, jadi secara tidak langsung mereka

berniat mengusir Sulton, tapi mereka tidak mau mengutarakan

langsung, mereka menitipkan pesannya padaku agar kusampaikan pada

Sulton. Mereka berdalih bahwa aku adalah orang terdekatnya jadi dia

akan bersedia meninggalkan rumah kami. Aku pun menolaknya, karena

menurutku lebih baik hal itu dibicarakan bersama-sama secara baik-

Page 139: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 121

baik, tapi mereka bertiga tetap tidak mau.

Pada akhirnya, aku terpaksa menyampaikan maksud dari ketiga

temanku, meski terasa berat di bibir tapi aku harus kulakukan demi

kebaikan bersama. Sayangnya, hasil yang aku peroleh tidak sesuai

harapan, ia tetap tidak mau beranjak dari rumah sebelum ketiga

temanku menyampaikan unek-unek mereka secara langsung. Sialnya,

mereka juga masih belum bersedia merundingkan bersama.

Masalah ini pun semakin berlarut-larut, dan tanpa sepengetahuanku

Sulton dan Faruk saling berkomunikasi, sepertinya terjadi

kesalahpahaman antara mereka dan keduanya pun memutuskan untuk

meninggalkan rumah. Masa sewa rumah pun tinggal dua hari, dua orang

sudah beranjak, kami tidak bisa menemukan pengganti mereka karena

waktu yang sangat mendadak. Lantaran uang yang tidak cukup, kami

semua memutuskan untuk tidak memperpanjang masa sewa kontrakan.

Kuhubungi semua temanku untuk menanyakan apakah ada tempat

kosong di kost-nya, dan kebetulan di salah satu kost temanku ada

Page 140: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 122

kamar kosong. Esoknya, aku memindahkan semua barangku ke sana.

Tak ada lagi yang namanya rumah kedua.

Memang tak mudah menyatukan lima kepala dalam satu atap,

apalagi di antara lima kepala tersebut memiliki banyak macam

kepribadian. Tidak ada orang yang benar secara kesuluruhan, setiap

orang pasti punya kecacatan dalam setiap tindakannya, jika ingin

menjaga hubungan dengan orang lain ia harus mengedapankan rasa

toleransi dan tenggang rasa.

Page 141: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 123

Teman-temanku, Inspirasiku

(Firda U)

Memasuki dunia perkulihan memang tak semudah bayangan. Awal

masuk kuliah di Unesa ini aku sudah harus mengikuti sejenis ospek

yang biasa disebut PKKMB. Hal tersebut harus aku lalui selama

seminggu, mulai Subuh hingga menjelang Magrib. Tidak hanya harus

bangun pagi-pagi, kami juga harus mengerjakan bermacam tugas dari

kakak-kakak senior—yang katanya tugas-tugas ini melatih mental kami

sebelum bertemu tugas-tugas yang sesungguhnya dari para dosen. Aku

sempat berpikir pentingkah hal seperti ini kulakukan? Apa untungnya

buatku? Aku juga merasa belum siap kuliah dan bosan, tak seperti

teman-teman baruku yang begitu giatnya.

Di saat aku bermalas-malasan mengikuti PKKMB, justru teman-

teman baruku dari berbagai daerah di Jawa bahkan dari luar Jawa harus

pergi ke Surabaya hadir di PKKMB. Jauh dari orang tua, rajin

mengerjakan tugas, bahkan aktif. Sedangkan aku? Anak asli Surabaya

Page 142: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 124

yang rumahku hanya satu jam dari Unesa masih bermalas-malasan

berangkat pagi buta ke kampus. Aku melihat wajah semangat mereka di

pagi hari, dan itu bertahan sampai sore hari nanti. Meskipun mereka

mengeluh kalau mereka lelah, namun aku bisa melihat kalau mereka

senang melakukan semua itu, seperti ada semangat tertentu dalam diri

mereka.

Hari terakhir PKKMB, semua teman baruku menceritakan

pengalaman mereka selama di daerah asalnya dan semangat mereka

berkuliah. Aku mendengar cerita mereka dan aku sedikit tersadar.

Mereka bercerita bahwa salah satu semangat mereka untuk berkuliah di

Surabaya untuk mengubah nasib ingin mendapat masa depan cerah.

Mati-matian berjuang mendapatkan kursi di kampus ini, mati-matian

mendapatkan restu orang tua, bukan karena orang tua mereka tidak

tega anaknya merantau, tapi karena dana dan kebutuhan ekonomi tidak

cukup.

Kutertawakan diriku sendiri, merasa bahwa betapa beruntungnya

Page 143: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 125

aku namun tak sadar akan hal itu. Aku hanya perlu menunggu

pengumuman SNMPTN dan tidak perlu mengikuti tes-tes lain untuk

masuk di kampus ini. Tinggal mengendarai motor selama satu jam dan

bisa bertemu orang tuaku tiap hari. Tidak perlu menunggu dan harus

berlama-lama duduk di bus untuk sampai kampus. Betapa lucunya aku

ini, bermalas-malasan dan selalu merasa kurang.

Hari pertama aktif perkuliahan, kami sebagai mahasiswa baru sudah

harus memasuki kelas dan bertemu para dosen. Aku merasa gugup dan

sedikit canggung karena para dosen sudah berbicara menggunakan

bahasa Inggris. Namun, aku merasa tak hanya aku saja yang merasakan

hal tersebut, teman-teman sekelas juga mungkin merasakan hal sama.

Aku berpikir mungkin kemampuan kami sama rata dan bahkan mungkin

aku lebih pintar dari mereka karena mereka berasal dari pedesaan dan

aku berasal dari Surabaya yang cenderung sistem pendidikan kota lebih

maju dari pada di desa. Jadi aku merasa santai saja, belum ada saingan

untuk mendapatkan IPK tinggi.

Page 144: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 126

Minggu demi minggu berlalu, satu semester berlalu begitu cepat.

Aku pun mulai mengenal teman-teman sekelasku. Semua pemikiranku di

awal perkuliahan berubah. Mereka yang awalnya aku anggap biasa-biasa

saja ternyata luar biasa. Keluarbiasaan mereka mungkin tertutup

dengan sifat mereka yang sopan dan santun. Aku yang awalnya

menyepelekan mereka, menjadi kagum. Mereka dari luar kota atau

cenderung pedesaan bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku.

Mereka berusaha dengan keterbatasan mereka, jauh lebih rajin dalam

belajar, seakan-akan mereka berakting bahwa kemampuan mereka

standar, padahal mereka bisa mendapatkan nilai tingi saat ujian.

Aku belajar dari teman-temanku untuk menjadi anak yang lebih

mandiri dan tidak menyepelekan hal sekecil apa pun, karena dari hal

kecil dapat berdampak besar. Aku yang mengganggap mereka tidak ada

apa-apanya di depanku, justru mereka mengajariku bahwa aku bukan

siapa-siapa dan terlihat kecil di depan mereka. Mungkin ini salah satu

bukti bahwa kalimat don’t judge the book by its cover itu benar adanya.

Page 145: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 127

Aku berharap teman-temanku yang kini inspirasiku tidak berubah, selalu

rendah hati, walau mereka memiliki banyak ilmu. Sekalipun mereka

berhasil menempuh masa depan yang cerah, aku berharap mereka selalu

menjadi dirinya sendiri dan tidak terpengaruh oleh keadaan maupun

orang lain.

Page 146: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 128

Inspirasiku

(Lela R)

Saat itu, aku duduk di bangku kelas 12. Yeah, di SMAN 1 Taman. Aku

sangat sibuk dengan ujian praktik dan ujian sekolah. Detik-detik ujian

nasional pun terasa sangat menegangkan.

Hari berlalu sangat cepat. Tak terasa, sudah 4 hari aku dan teman-

teman melewati ujian itu. Saat ujian nasional dan ujian praktik

terselesaikan, liburan pun tiba. Yeah, liburan yang membuat semua

siswa kelas 12 menunggu hasil dari ujian-ujian itu.

Tepat 27 Mei 2013, pengumuman diedarkan dan pada hari itu pula

bertepatan dengan pengumuman jalur SNMPTN. Yeah, jalur SNMPTN

yang selalu dinanti semua murid kelas 12 seperti halnya menunggu

pengumuman UNAS.

“Ibaratnya, sih, kayak dapat rezeki gitu deh kalau lolos jalur SNMPTN

mah, yah alhamdulillah sekali… hehe,” ujar Diki. Dia adalah sahabatku

yang sangat baik dan pintar.

Page 147: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 129

Pengumuman jalur SNMPTN pun di depan mata. Aku dan 2 orang

temanku menunggu bersama di masjid sekolah. Aku, Arnes, Diki, sama-

sama menunggu. Tepat pukul 16, satu per satu dari kami mulai

melihatnya di website. Dan... hanya dua orang dari kami yang lolos.

Diki, dia masuk perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang dia

inginkan. Yeah, Sistem Informasi. Dan alhamdulillah, aku sendiri lolos ke

universitas pilihanku juga. Tapi ada yang kurang, melihat hasil Arnes.

Arnes, dia adalah sahabatku yang sangat baik dan pintar. Pada saat

pengumuman, Arneslah yang tidak lolos. Aku dan Diki seketika terkejut

bahwa di antara kami bertiga, hanya Arnes yang harus berjuang kembali

untuk mendapatkan dan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri dengan

jurusan yang dia inginkan melalui tes SBMPTN.

Tak terasa, tes SBMPTN pun tiba. Aku dan Diki menemani Arnes.

Detik demi detik pun berganti, tak terasa pula tes yang dilaksanakan

pada hari itu hanya selesai dalam hitungan jam. Yeah, dua jam waktu

yang harus dia selesaikan untuk mengerjakan soal tersebut.

Page 148: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 130

Pengumuman dari hasil tes akan diumumkan sebulan setelahnya.

Dan... tiba saatnya di mana hasil SBMPTN diumumkan. Yeah, di sore

hari aku mencoba untuk melihatkan hasil tes Arnes. Dia meminta tolong

padaku.

“Lak,” begitulah Arnes memanggilku. Elak. “minta tolong, liatin hasil

tesku, ya, aku masih di rumah sakit jengukin nenek.” ujarnya melalui

telepon.

Dengan rasa penasaran, cemas, aku mulai melihatnya dan... rasa

cemasku kini berubah kagum, melihat pencapaian Arnes. Dia lolos di

perguruan tinggi negeri dengan jurusan yang sangat dia idam-idamkan.

Lokasinya di Malang, jurusan Pendidikan Dokter.

Dengan rasa haru pun aku langsung meneleponnya, “Arnessssss

selamat ya! Kamu lolos! Sekali lagi selamat, teman!”

“Kamu serius, Lak? Alhamdulilah, Ya Allah. Thanks, ya, buat semua

doanya!”

Keesokan harinya, aku, Diki, dan Arnes pun bertemu dan berbagi cerita.

Page 149: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 131

Di situ aku belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya.

Kegagalan hanyalah sebuah kesuksesan yang tertunda. Never give up on

something. Try, try, and try again till you get what you want.

Hal itulah yang sangat menginspirasiku, saat aku gagal dalam

perjalanan meraih kesuksesan. Meskipun aku gagal tahun kemarin dalam

suatu seleksi yang berhubungan dengan cita-citaku, aku yakin pasti akan

ada yang lebih baik dari yang terbaik untuk kucapai nantinya. Aamiin….

Page 150: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 132

Arti Sebuah Pertemanan

(Sri L)

Saya memiliki sebuah kisah yang dapat menginspirasi diri saya

maupun orang lain. Kisah ini sendiri bukanlah kisah dari para tokoh

masyarakat melainkan dari kehidupan saya sendiri. Kisah ini dimulai

ketika saya berada di kelas X SMA swasta di sekitar Lamongan. Saya

bukanlah penduduk asli daerah Lamongan, bahkan juga bukan kelahiran

Indonesia. Saya lahir dan dibesarkan di Malaysia, bisa dibilang saya anak

dari orang perantauan.

Setelah 16 tahun berada di negeri seberang, saya harus pulang ke

negeri orang tua saya, Indonesia. Tepatnya, Jawa Timur. Dikarenakan

orang tua saya sudah tidak memiliki pekerjaan di Malaysia, mereka

memutuskan pulang untuk menjadi petani di sawah yang mereka

peroleh dari hasil jerih payah mereka di negara tetangga. Waktu itu saya

sudah lulus SMP dan saya harus merelakan studi saya di sana.

Saya merasa paling pintar dan sempurna dalam semua pelajaran

Page 151: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 133

karena saya pikir sekolah yang saya masuki adalah sekolah swasta dan

pelajarannya lebih mudah—selain Sejarah dan PKn yang saya belum

bisa kuasai. Ternyata, saya salah besar. Semua mata pelajaran lumayan

susah buat saya. Banyak rumus-rumus dan kata-kata yang harus saya

pelajari lebih dalam. Ketika ujian juga, selain bahasa Inggris dan

Matematika, semua nilai saya di bawah rata-rata. Dari pengalaman saya

itulah, saya lebih giat belajar dan akhirnya ketika ujian datang lagi, saya

dapat nilai di atas rata-rata.

Semester demi semester, saya jadi lumayan terkenal di sekolah

baru saya hingga ke sekolah sebelah. Mungkin dikarenakan saya orang

Malaysia yang pindah ke Indonesia. Banyak anak dari adik kelas hingga

kakak kelas ingin dekat dengan saya. Ada juga yang membenci saya,

karena selalu dekat dengan semua teman bahkan para guru. Terkadang,

ketika saya duduk sendiri dan merenung, saya mungkin bukan siapa-

siapa dan tidak mungkin terkenal jika saya tidak memperkenalkan diri di

aula ketika menjalani MOS. Saya juga tidak meminta semua orang

Page 152: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 134

mengenal saya dan saya juga tidak mau menjadi orang terkenal.

Misalkan saya hanya anak SMA yang lahir di negara ini, mungkin saya

tidak akan diperlakukan secara spesial begini. Saya juga bertanya-tanya

pada diri sendiri. Apakah teman-teman yang saya kenal selama ini tulus

atau hanya ingin berteman dengan orang yang dianggap terkenal saja?

Suatu saat, saya merasa banyak teman-teman menghindar dari saya

dan saya menanyakan kepada salah satu teman yang tidak pernah

menghindari saya. Dia bilang bahwa teman-teman mendapat berita jika

saya mengejar-ngejar kakak kelas karena saya ingin memoroti harta

kakak kelas tersebut. Saya hanya bisa tertawa mendengar berita itu,

saya bilang ke teman saya bahwa saya tidak pernah suka dengan kakak

kelas yang dituduhkan oleh mereka. Saya memang mengenalnya, namun

sebatas kakak saja. Saya juga bukan tipe gadis centil lalu memoroti

harta orang lain. Walaupun saya tidak tahu siapa yang menyebarkan

berita tersebut, tetapi saya, teman saya, dan si kakak kelas

menjelaskan ke semua anak SMA dengan cerita sebenarnya. Barangkali

Page 153: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 135

80% anak-anak percaya dengan penjelasan kami dan 20% masih

percaya dengan berita tidak jelas itu.

Saya sangat bersyukur atas kejadian ini. Jika tidak, saya mungkin

tidak tahu teman yang tulus dan tidak. Saya juga bisa membedakan

teman yang mengenal saya dari sifat-sifat saya. Saya juga tidak

memarahi teman-teman saya yang mudah terpancing dengan berita

burung itu. Bahkan saya sudah memaafkan mereka sebelum mereka

meminta maaf. Hubungan kami semua mulai membaik kembali.

Pertanyaan yang selama ini menyelimuti benak saya sudah

terjawabkan. Tidak semua orang bisa tulus berteman dengan saya.

Mungkin hanya beberapa orang—dan bahkan bisa saja hanya satu

orang—yang tulus berteman tanpa melihat popularitas, harta,

penampilan, dan segala macam. Saya hanya ingin memunyai teman yang

tidak munafik serta saling memotivasi. Saya lebih nyaman

membicarakan sesuatu tentang kehidupan sekolah, asmara, atau entah

lainnya pada teman dibanding pada orang tua saya yang sangat cuek

Page 154: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 136

dengan kehidupan anaknya.

Kejadian ini, menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang sebuah

pertemanan. Teman bisa membuat hidup kita berwarna. Teman adalah

orang kedua yang patut saya hargai dan saya percayai. Tanpa teman,

saya mungkin tidak tahu seperti apa bentuk ketulusan dan kepercayaan.

Teman mungkin tidak selamanya berada di samping kita. Tetapi, teman

akan selalu ada di saat kita senang maupun sedih walau hanya via

handphone untuk berkomunikasi.

Page 155: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 137

Terima Kasih, Mbak Acis!

(Nia K)

Tak terasa awal tahun 2015 ini aku memasuki semester 4. Seperti

baru kemarin aku menjunjung laptop ke rumah tetangga sambil

menangis ketika memberi tahu ibu bahwa aku lolos jalur SNMPTN di

Unesa jurusan S1 Sastra Inggris. Masih kuingat jelas pelukan hangat ibu

sore itu, air matanya menetes membasahi bahuku. Belasan tahun sudah

tak kurasakan pelukan itu. Ibuku cukup keras, ia juga mudah marah. Ya

maklum, sih, ibu punya penyakit hipertensi yang diturunkan nenek, itulah

kenapa aku kurang suka bicara padanya. Intinya kami tidak saling

memahami dan anggap saja aku salah karena sebagai anak aku juga

tidak berusaha memahaminya. Aku lebih senang berdiam diri di kamar,

entah mengerjakan tugas atau sekadar ‘bercumbu’ dengan telepon

genggam putihku yang ‘tidak pintar’.

September 2013, aku resmi menjadi mahasiswa Unesa setelah

mengikuti serangkaian PKKMB yang teramat melelahkan. Senang

Page 156: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 138

rasanya berada di tempat yang kuinginkan sejak lama. Suasana damai di

tepi kota, dikelilingi danau, sawah, dan pohon-pohon rindang. Hmmm...

benar-benar hidup baru. Apalagi kuliah semester 1 masih begitu

menyenangkan. Di masa aku masih berstatus “maba” alias mahasiswa

baru itu, aku berkawan dekat seorang teman kelasku, Insani. Aku

merasa sangat cocok dengannya mungkin karena kami berasal dari satu

daerah dan memiliki cukup banyak kesamaan.

Memasuki semester 2 aku dan Insani nggak sedekat dulu. Aku mulai

dekat dengan teman lain, teman sekelas juga. Aku lupa awal mula

kedekatan kami tapi sampai semester 4 ini kami masih ‘lengket’ saja.

Sisca namanya, namun karena dia gadis mungil yang baik dan tak

banyak bicara, panggilan Acis terdengar lebih cocok untuknya. Dia sering

menceritakan keharmonisan keluarganya. Benar-benar membuatku iri,

huuuh.... Aku bahkan tak mampu memimpikan suasana semacam itu.

Aku juga cerita padanya tentang hubunganku dengan ibu yang tak

seharmonis dia dan ibunya. Dia menasihati agar aku mendekati ibuku

Page 157: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 139

dan mencoba memahami. Dia juga selalu marah kalau aku cerita

kekesalanku pada ibu, pokoknya yang salah selalu akulah. Aku kadang

sebel juga, dia kan nggak tahu sifat dan sikap ibuku tapi serta merta

membenarkannya. Sampai saat itu aku belum dapat alasan yang kuat

untuk memahami ibuku. Kalau direnungi memang aku ini keras kepala,

tapi ah, sudahlah.

Sekitar pertengahan semester 2 sampai masuk semester 3 Acis

menceritakan kondisi ibunya yang sakit. Sebagai teman dekatnya tentu

saja aku ikut khawatir karena sakitnya tak kunjung sembuh meski

dirawat beberapa kali di rumah sakit yang berbeda, dari medis sampai

nonmedis sudah dilakukan namun tak membuahkan hasil.

“Ibukmu loro opo, seh, Cis? Kok bolak-balek melbu rumah sakit,”

tanyaku yang memang sehari-hari berdialog dengan Acis dalam bahasa

Jawa. “Ibumu sakit apa, sih, Cis? Kok bolak-balik masuk rumah sakit.”

“Gak ngerti, jare dokter seje-seje. Ben seje rumah sakit diagnosae

yo seje sampek bingung aku,” jawab Acis yang justru tak berhasil

Page 158: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 140

menjawab kebingunganku. “Gak tau, kata dokter beda-beda. Tiap rumah

sakit diagnosanya ya beda sampe bingung aku.”

Raut mukanya benar-benar menampakkan kesedihan. Gimana

enggak, libur semester selama 3 bulan tak sedikit pun dihabiskan

dengan bersantai karena harus mengurus ibunya. Mendengar ibunya

masuk rumah sakit untuk kesekian kali, kuputuskan untuk menjenguk.

Pulang kuliah aku dan teman sekelasku, Revi, berangkat. Sengaja kami

tak memberi tahu Acis kalau kami akan menjenguk ibunya karena kalau

dia tahu pasti dia melarang dengan alasan tidak mau merepotkan.

Acis kaget melihat kedatangan kami. Dengan mata sembab, dia

mempersilakan kami masuk. Hari itu untuk kali pertama aku bertemu

ibunya Acis. Kurus, tak seperti di foto yang pernah kutahu. Tak lama

kami di sana karena hari sudah sore dan perjalanan dari rumah sakit ke

rumahku cukup jauh. Sebelum pamit, ibu Acis bicara padaku, ”Mbak Acis

lak nang omah gak lapo-lapo, Mbak. Yaopo mene lak ditinggal ibuk e.”

Kalimat singkat itu pasti terdengar tidak indah di telinga Acis. “Mbak

Page 159: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 141

Acis kalau di rumah nggak ngapa-ngapain, Mbak. Gimana kalau ibu

tinggal.”

Singkat cerita, 12 Oktober 2014, di rumahku ada acara keluarga.

Tiba-tiba aku mendapat pesan dari Acis,

Ibuku meninggal. Tolong handle kuliahku.

Kalimat pertama tentu seketika mengoyak-oyak perasaanku. Di

tengah gelak tawa, di antara anggota keluarga yang sedang asyik, aku

langsung masuk kamar, menyalakan kipas angin karena air mataku tak

kuasa kubendung.

Esok harinya aku langsung memberitahukan kabar duka itu pada

teman-teman sekelas, lalu kami melayat ke rumah Acis. Sepanjang

perjalanan, wajah Acis dengan linangan air mata tak mau lepas dari

otakku. Saat tiba di rumahnya ternyata tak seperti yang kubayangkan.

Dia tampak begitu tegar menyambut kami di depan pintu. Dia menangis

di pelukan Revi, menangis lagi di pelukanku. Air mataku jadi tumpah pula

waktu itu. Entah kenapa pertemuan itu benar-benar membuatku merasa

Page 160: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 142

kehilangan, ehmm… mungkin lebih kepada perasaan kehilangan Acis

yang ikut kurasakan.

Sejujurnya aku sungguh tidak tega melihat Acis, dia yang

hubungannya sangat baik dengan ibunya justru dipisahkan. Nah aku?!

Aku mulai tersentuh. Otakku mulai bersedia memikirkan ibu. Mulai

memperhatikannya. Dia memang mulai tua. Sikapnya seperti anak kecil,

lucu, sih. Ibu-ibu seusia 46 tahun suka jajanan anak kecil, suka main

game yang biasa dimainkan anak kecil, belum lagi aksi joget centilnya,

kalau begitu benar-benar nggak kelihatan galaknya.

Aku mulai ‘melunakkan kepalaku’. Perlahan kudekati, kutemani,

duduk sore di depan rumah sambil berbagi jajanan kesukaan ibu. Hmm…

it’s not bad. Kami mulai sering bicara, dari hal sederhana sampai berbagi

cerita layaknya sahabat. Acis benar, aku pasti nyesel banget kalau

nggak berteman dengan ibu. Aku jadi semakin tahu rasa kehilangan Acis.

Lalu, aku sampai di titik di mana aku takut Tuhan juga memisahkan aku

dengan ibu saat kami sudah dekat.

Page 161: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 143

Oh, ya, cerita ini kutulis bukan semata-mata untuk menginspirasi

orang lain, justru aku yang terinspirasi oleh kisah orang lain, bukan

orang lain, sih. Orang dekat. Ngobrol tentang ibu memang klise, tapi

menjadi tidak klise kalau sudah ‘tertampar’ seperti ini. Haaah... ampuni

aku karena baru sadar. Setidaknya aku masih punya waktu untuk

memperbaiki. Terima kasih, Mbak Acis!

Page 162: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 144

Page 163: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 145

Tidak Ada Kata Menyerah

(Fikriyyatul U)

Cerita ini kudapatkan dari sahabatku. Berawal dari sebuah obrolan

panjang yang tak sengaja hingga akhirnya menjadi cerita inspiratif

bagiku.

7 Maret 2014, hari itu dia menemani salah seorang temannya, untuk

mengikuti sebuah kompetisi dari salah satu cabang kompetisi bahasa

Jepang, yaitu Kanji Cup. Kanji Cup adalah salah satu ajang kompetisi

dari beberapa agenda tahunan yang diadakan oleh Konsulat Jenderal

Jepang dalam mempererat tali persaudaraan Jepang dengan Indonesia.

Kompetisi ini dimaksudkan untuk mengukur dan menguji seberapa hafal

dan paham dalam huruf kanji.

Informasi kompetisi itu baru dia ketahui seminggu yang lalu dari

selembar poster yang tertempel di dinding kelas. Kebetulan dia dan

temannya adalah teman satu kelas dalam lembaga kursus bahasa

Jepang yang sama. Dia sedikit menyesal karena tidak mengikuti

Page 164: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 146

kompetisi saat itu. Karena tidak siap dan pengetahuan kanji yang dia

punya belum seberapa jadi dia memutuskan hanya untuk menjadi

pendukungnya saja.

Dia adalah mahasiswi jurusan Seni di salah satu universitas negeri

di Surabaya. Saat itu adalah kali pertamanya ikut menghadiri sebuah

ajang kompetisi di luar passion-nya. Kompetisi itu diadakan di sebuah

universitas swasta terkemuka di Surabaya. Dia sedikit gugup saat

memasuki sebuah gedung megah yang dipenuhi ratusan peserta yang

datang dari dalam ataupun luar pulau. Banyak dari mereka berusia

seperti dia, namun ada pula yang terlihat lebih senior, dan bahkan ada

pula yang jauh lebih muda. Dia berandai jika saat itu dia menjadi salah

satu peserta, mungkin dia akan jauh lebih gugup dan merasa tidak

percaya diri melihat semua wajah peserta yang ‘meyakinkan’ untuk

menjadi juara. Dalam kompetisi itu dia bahagia dapat bertemu banyak

orang yang sama sekali belum pernah dia temui. Seperti Konsulat

Jenderal Jepang, beberapa ahli bahasa Jepang dan beberapa pengajar

Page 165: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 147

bahasa Jepang yang mereka semua tentu langsung datang dari Jepang.

Dalam sebuah auditorium yang besar itu, Dia sangat menyimak dan

duduk mengamati setiap tahap acara kompetisi hingga akhir. Dia

memang berencana untuk mengikuti kompetisi tahun depan meskipun

tidak tahu apakah kompetisi tahun depan akan berlangsung sama atau

tidak.

Di akhir acara, yaitu saat penentuan dan pengumuman pemenang,

adalah satu momen yang menurut dia paling berkesan. Pemenangnya

ternyata adalah pemenang dari lembaga yang sama dengan tahun lalu.

Mereka memang telah menjadi pemenang berturut turut dalam beberapa

tahun ini. Ketika mereka maju dan mendapat penghargaan langsung dari

Konsulat Jenderal Jepang, raut wajah mereka seketika terukir dengan

senyum dan tawa bahagia. Mungkin semua orang dalam ruangan itu

termasuk temanku berdecak kagum sekaligus heran bagaimana mereka

mempertahankan prestasi yang dibilang cukup sulit itu.

Saat itulah dia menjadi semangat kembali. Awalnya, di kompetisi

Page 166: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 148

tahun depan dia tidak terlalu berharap menjadi pemenang. Cukuplah

menjadi peserta dan mendapatkan pengalaman. Hanya sebatas

mengukir sejarah kehidupan dalam bidang akademik. Namun setelah dia

cermati kembali, dia menjadi terinspirasi untuk menjadi pemenang

seperti mereka. Apalagi dia tak sengaja mendengar salah seorang

peserta berbicara bahwa sudah bukan hal yang baru jika pemenangnya

adalah seseorang yang passion-nya adalah bahasa Jepang. Ucapan dari

peserta itu seperti setrum yang menyengat kesadarannya. Karena

memang dalam sejarah kompetisi itu, pemenangnya selalu dari pelajar

yang passion-nya adalah bahasa Jepang dan belum pernah ada yang di

luar itu. Padahal kompetisi itu adalah kompetisi umum yang mana

semua orang dari berbagai kalangan bisa mengikuti.

Berharap menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi sudah pasti

adalah sebuah impian yang tidak mudah dan sulit diraih. Dia

beranggapan, mungkin terdengar sedikit tidak mungkin jika seorang

pemula seperti dirinya yang masih miskin pengetahuan menginginkan

Page 167: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 149

untuk menjadi pemenang. Tapi, justru karena ketidakmungkinan itulah

dia menjadi lebih semangat untuk belajar bahasa Jepang terutama kanji

meskipun kebanyakan orang bilang belajar kanji itu sulit dan

membutuhkan waktu lama bertahun-tahun.

Dia mengenal bahasa Jepang baru beberapa bulan. Dia mengakui

bahwa dirinya masih awam dalam belajar bahasa Jepang. Masih sangat

banyak hal yang harus dipelajari. Namun usia pendek-belajarnya itu tidak

menyurutkan semangat untuk menjadi pemenang kompetisi Kanji Cup.

Tekadnya semakin bulat demi membawa nama almamater kampusnya

dalam ajang kompetisi itu.

Tak terasa satu tahun berlalu. Kompetisi itu pun diadakan kembali.

Tahun itu berbeda dengan tahun sebelumnya. Dia tidak lagi menjadi

penonton, justru sebaliknya, dia menjadi peserta. Ternyata memang

menjadi pemenang tidak semudah yang dia bayangkan. Dia sudah bisa

mencapai pada putaran final dan selangkah lagi dia akan menjadi

pemenang. Namun, karena suatu kesalahan yang dia buat, impian itu

Page 168: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 150

belum bisa tercapai. Ia gagal dan gelar juara itu dimiliki oleh orang lain.

Rasa sedih tentu menyelimuti hatinya, tetapi dia tidak ingin berlama-

lama dalam kesedihan itu.

“Masih ada kesempatan lagi tahun depan!” Begitulah dia

menyemangati dirinya sendiri. Dia bertekad untuk berusaha lebih baik di

kompetisi tahun depan.

Cerita pengalamannya ini membuatku terispirasi dan memberiku

pesan bahwa jangan ada kata menyerah dalam mencapai harapan. Aku

sangat berterima kasih padanya. Semangatnya yang selalu ada akan aku

tanamkan pada diriku juga agar impian yang aku punya tidak hanya

menjadi angan belaka namun juga akan menjadi bunga yang menghias

indah kehidupan.

Page 169: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 151

Ayo Jalan!

(Afina U)

Jumat malam 13 Februari 2015 di Pasuruan, malam itu aku dan

teman-teman bergegas untuk perjalanan ke Banyuwangi. Semua orang

di dalam bus kecil itu sangat senang sehingga kami semua sulit untuk

memejamkan mata. Hampir 8 jam kami menempuh perjalanan menuju

Banyuwangi. Lelah bersenda gurau karena kami semua jarang bertemu

setelah sekian lama, akhirnya kami tertidur pulas.

Sabtu pagi 14 Februari 2015, tibalah di Banyuwangi pukul 05:00.

Perjalanan menuju Teluk Ijo Banyuwangi sangat menajubkan. Kami

semua terbangun disambut oleh dinginnya udara pagi dan kabut. Banyak

rintangan untuk menuju Teluk Ijo tapi banyak pula pemandangan pantai

yang indah yang sudah kami lalui hingga membuat kami bertanya-tanya

bagaimana Teluk Ijo itu? Apakah seindah pantai-pantai sebelumnya?

Dengan ombak yang cukup besar, kami menempuh 15-20 menit untuk

menyebrangi lautan. Sampailah kami semua di Teluk Ijo. Perjalanan yang

Page 170: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 152

berliku itu pun terbayar dengan keindahannya, lebih indah dibandingkan

dengan pantai-pantai yang kami temui tadi. 3-4 jam kami menghabiskan

waktu di sana. Bermain, bercanda, dan berfoto ria.

Kepuasan kami tidak berhenti sampai di situ. Kami teruskan dengan

beralih ke Pulau Tabuhan. Namun sayang, di tengah asyiknya kami

snorkeling, ada satu temanku yang menghilangkan alat snorkeling.

Kebingungan kami dibuatnya sambil terus mencari alat itu. Untung saja

pencarian kami tidak sia-sia.

Perjalanan kami lanjutkan menuju rumah salah seorang teman kami

karena hujan datang. Meskipun rencana awal kami ingin berkemah di

Pulau Tabuhan. Recananya, tengah malam nanti kami akan mendaki

Kawah Ijen, sayangnya kami semua malah terlelap dalam mimpi masing-

masing. Minggu pagi suara azan subuh membangunkan. Semua anak

terkejut dan kecewa karena kami berpikir kami batal untuk mendaki

Kawah Ijen, ternyata tidak. Sehabis sarapan, kami bergegas. Aku dan

ketiga temanku ikut bersama mobil teman sang pemilik rumah dan

Page 171: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 153

temanku lainnya ikut di dalam bus kecil tadi. Perjalanan menuju kawah

Ijen dipenuhi dengan hutan-hutan yang sangat indah dan asri.

Awalnya aku bersemangat untuk mendaki gunung. Namun, beberapa

saat aku mulai lelah. Aku yang mulanya berada di barisan depan, mulai

mundur dan berakhir di barisan paling belakang, berjalan sendirian.

Beruntung, dua orang teman laki-lakiku melihatku terengah-engah lalu

merekalah yang menemaniku. Beberapa saat kemudian tanganku mulai

berkeringat dan merasakan sakit kepala hingga membuat mataku tidak

sanggup lagi melihat ke depan. Aku haus, tetapi kami bertiga tidak ada

yang membawa air minum. Salah satu dari dua temanku ini menyusul

rombongan yang sudah jauh sekali jaraknya. Alhasil, aku hanya berjalan

bersama satu temanku. Dia adalah sang pemilik rumah semalam. Saat

aku mulai merengek untuk istirahat, dia menyemangatiku untuk terus

maju dan tetap berjalan hingga Kawah Ijen. Awalnya aku tetap

bersikeras untuk beristirahat, tapi dia berkata padaku bahwa aku harus

tetap berjalan dan dia akan menggandeng tanganku hingga menginjak

Page 172: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 154

Kawah Ijen. Di situ aku mulai tersadar bahwa ternyata masih ada

temanku, bahkan seorang laki-laki, yang peduli denganku. Akhirnya, aku

pun bersemangat. 3 km kami lalui berdua menuju Kawah Ijen. Dan

akhirnya sampailah kami.

Aku merasa pengorbananku untuk menuju Kawah Ijen terbayar lebih

dengan keindahan yang dimiliki oleh kawah itu. Aku tersenyum pada

temanku dan sangat berterima kasih padanya. Sesaat setelah itu kami

berdua bertemu dengan teman-teman yang sudah terlebih dahulu

sampai di kawah. Mereka sangat bersyukur karena kami masih mau

melanjutkan perjalanan itu sampai titik darah penghabisan. Kami semua

berfoto di atas kawah.

Meskipun namanya Kawah Ijen, untuk mencapainya tidak perlu

berjalan ijen (sendirian), masih banyak teman yang peduli dan perhatian

kepada kami untuk bisa menemani menuju Kawah Ijen.

Page 173: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 155

Sahabat Unmainstream

(Laily D)

Kuliah adalah dunia baru yang menyenangkan di mana kita bisa

menemukan berbagai macam tipe orang yang ada di dalamnya. Begitu

pun yang saya alami setelah empat semester berkuliah di fakultas

Bahasa dan Seni jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa ini.

Banyak sekali saya temui manusia berpenampilan aneh menurut

pandangan saya. Tidak heran karena tempat kuliah ini adalah fakultas

Seni. Seperti teman-teman baru saya yang saya kenal lewat divisi

Musik. Penampilan mereka sungguh berbeda dari mahasiswa lain. 5

lelaki yang saya kenal berpenampilan ala rock and roll dan cenderung

vintage. Dengan fashion baju yang selalu berwarna gelap, sepatu keren,

aksesoris, style rambut kribo, gondrong, dan acak-acakan.

Setelah beberapa bulan berteman, kami sering sekali menghabiskan

waktu bersama, hingga akhirnya saya sebut mereka sahabat. Tentu saja

saya tidak menjadi satu-satunya wanita di tengah mereka, ada 1 wanita

Page 174: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 156

lain di kelas dan 2 wanita berbeda jurusan yang juga menjadi bagian dari

kami. Mereka adalah sahabat-sahabat yang menginspirasi. Karena

memang awalnya kami juga sama-sama mencintai musik, kami selalu

memunyai pemikiran yang sama dalam hal apa pun. Berpikiran untuk

maju dan mencoba hal-hal baru. Tidak melakukan kegiatan yang itu-itu

saja, yang wajar dilakukan oleh manusia pada umumnya, tapi mencoba

untuk berbeda dari yang lain, berani melawan arus di dalam arus. Akan

saya dongengkan sedikit pengalaman seru bersama mereka.

Kala itu sekitar pukul 10 malam ditemani oleh segelas teh hangat

dan semangkuk mi rebus rasa soto, kami berdelapan duduk termenung

di warung meratapi kebuntuan dan kesuntukan perkuliahan. Di semester

ini dunia perkuliahan semakin sulit, semakin banyak tanggung jawab

yang harus dilakukan, namun banyak pula godaan-godaan yang ingin

kami wujudkan. Seperti biasa, sebelum mengerjakan tugas kuliah, kami

menyisihkan waktu 1 jam untuk membahas masalah-masalah yang

perlu diselesaikan. Malam itu para wanita mengeluh pada laki-laki

Page 175: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 157

tentang kehidupan perkuliahan mereka yang selalu berantakan. Datang

telat ke kampus dan akhirnya tidak mengikuti kelas. Para lelaki selalu

memunyai jawaban atas semua pertanyaan kami para wanita. Saat itu

mereka memberi jawaban jika jalan di daerah sekitar kampus macetnya

kampungan. Mereka memunyai ide untuk mengganti alat transportasi

mereka yang sekaligus menjadi reality planning. Para lelaki berpikiran

untuk pergi ke kampus dengan menunggangi kuda agar tidak terkena

macet. Mulai hari itu mereka menabung untuk membeli kuda. Pemikiran

yang bodoh namun tetap dilakukan. Yah, itulah mereka, humoris,

realistis, idealis, namun tetap rendah hati.

Banyak teman-teman di kampus yang menganggap aneh

persahabatan kami. Mereka berpikir bahwa kami selalu kontra dan masa

bodoh tentang kehidupan organisasi kampus. Padahal sebenarnya bukan

seperti itu. Kami mencoba untuk membangun organisasi kampus

menjadi lebih hidup tidak hanya itu-itu saja. Kami ingin melakukan hal

yang baru di setiap event-nya. Sahabat-sahabat sayalah yang

Page 176: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 158

menginspirasi saya untuk berani bicara dan bertindak. Tidak sedikit pula

teman-teman yang menganggap saya aneh karena bersahabat dengan

mereka. Karena mungkin saya dan sahabat wanita yang lain berhijab,

namun bersahabat dengan para lelaki yang terlihat brandal dan

berantakan. Tetapi saya tidak peduli dan mencoba membuktikan kepada

mereka bahwa kami bukan sekumpulan mahasiswa yang berbau negatif

karena penampilan si para lelaki. Sahabat-sahabat saya sangat

menginspirasi. Saya yang selalu berpikir bahwa kuliah sangat sulit

namun mereka menepisnya dengan candaan-candaan yang hampir tidak

bisa membuat saya untuk berhenti tertawa. Mereka juga menyadarkan

saya bahwa di masa kuliah ini kita harus lebih memikirkan masa depan.

Karena hidup ini semakin lama semakin kejam dan tidak mudah untuk

dijalani. Sampai kapan kami masih harus selalu memanggil orang tua

untuk memenuhi kebutuhan kuliah kami. Mereka mengajarkan

bagaimana cara bekerja keras. Saya bangga bersahabat dengan mereka.

Mereka selalu ada saat saya butuh. Mereka selalu memunyai jutaan ide

Page 177: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 159

unik dan tak biasa untuk diwujudkan. Yang selalu berusaha mati-matian

untuk tetap membuat angka IPK setidaknya 3,00 dimunculkan di akhir

semester nanti, walaupun saya mengerti itu sulit bagi mereka jika

mereka memunyai kesibukan lain seperti sekarang. Sahabat-sahabat

saya orang-orang hebat. Mereka memiliki banyak mimpi yang ingin

dibuat menjadi nyata. Satu per satu sahabat saya mulai merintis bisnis

walau sederhana. Setidaknya mereka bangga tidak harus mengadahkan

tangan ke ayah atau ibu setiap pagi. Saya pun bangga. Sahabat,

tetaplah menjadi orang-orang hebat dan berpikiran unmainstream.

Page 178: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 160

Dia yang Mengajarkanku Kesabaran dan Ketabahan

(Rizky L)

Sejujurnya saya tidak begitu pandai dalam menulis atau merangkai

kalimat yang dapat menginspirasi orang lain namun setidaknya saya

akan mencoba. Sebagai seorang mahasiswa, tentunya kita perlu untuk

memiliki motivasi dalam hidup, sehingga mampu memacu semangat dan

kemauan kita dalam menggapai apa yang kita inginkan. Di sini saya

hanya ingin berbagi cerita yang mungkin menurut orang lain bukanlah

cerita yang menarik, namun setidaknya dari sini saya memperoleh

inspirasi dan motivasi saya sendiri. Saya memunyai seorang sahabat

yang saya kenal sejak kelas 3 SMP. Bisa dibilang dia adalah anak orang

yang mampu, namun hal yang menarik dari dirinya adalah kesederhanaan

yang mungkin pada zaman modern ini sulit untuk ditemui pada diri

setiap orang. Selain itu ketabahan hatinya dalam menghadapi musibah

juga merupakan hal yang membuat saya belajar banyak darinya.

Pengalaman yang masih saya ingat sampai hari ini adalah ketika dia

Page 179: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 161

mendapat musibah yang mengakibatkan rumah tangga orang tuanya

terancam hancur. Saat itu hanya saya seorang yang selalu menemani

dia, dikarenakan ayahnya selalu sibuk di pengadilan demi menyelesaikan

masalah tersebut. Yang paling membuat saya kagum adalah meskipun

dia sedang mendapat masalah semacam itu, dia tidak pernah berpikir

sedikit pun untuk lari kepada hal-hal negatif seperti alkohol, rokok,

ataupun narkoba demi menghilangkan beban pikiran yang harus

ditanggungnya. Ekspresi wajahnya pun selalu menunjukkan ekspresi

bahagia, seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi, meski saya tahu

sebenarnya dia memendam luka sangat dalam di hatinya. Saat

menghadapi ujian nasional pun, dia berhasil mendapat hasil yang

memuaskan meskipun dengan cobaan semacam itu.

Kesederhanaannya juga banyak mengajari saya. Hal lain yang masih

saya ingat adalah ketika masa pendaftaran SMA, ayahnya menawari

untuk mendaftar langsung ke salah satu SMA terkenal di Surabaya dan

akan diberi hadiah sebuah mobil. Namun, dia menolaknya dengan alasan

Page 180: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 162

ingin berusaha sendiri dan tidak ingin repot dengan mobil karena masih

ada motor yang bisa dipakai. Tentu hal yang sangat sulit untuk ditolak

bagi remaja seumuran waktu itu, mengingat tipikal remaja Indonesia

yang manja dan susah diajak untuk berusaha dan hanya ingin hal yang

instan. Berkat kemauannya tersebut, dia berhasil diterima di sekolah

yang lumayan bagus, tidak kalah dengan penawaran sang ayah

sebelumnya, dan lebih lagi, dia berhasil dengan usahanya sendiri.

Selama masa SMA pun dia juga telah banyak mengajari saya tentang

kewirausahaan dan dia sama sekali tidak pelit dalam berbagi ilmu,

selalu membantu siapa pun selama dia sanggup. Banyak sekali nasihat-

nasihat yang saya dapat darinya, ketika saya mendapat masalah entah

itu masalah pribadi atau akademik.

Masalah berat yang harus dia tanggung pun tidak hanya satu, namun

ada lagi satu masalah yang harus dia alami ketika dia ditipu oleh

saudaranya sendiri. Dia tetap tabah dan menghadapi masalah tersebut

sampai tuntas, meskipun dia sempat dicap buruk oleh teman

Page 181: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 163

sekolahnya yang juga ikut menjadi korban penipuan saudaranya. Dia juga

bisa menghadapi setiap ancaman-ancaman aneh dari temannya yang

tidak mau tahu dan mengerti bahwa kondisi mereka adalah sama-sama

korban. Dia sampai harus menjual motornya demi menutup semua uang

yang hilang dibawa oleh saudaranya, tanpa perlu meminta bantuan orang

tua.

Selama saya berteman dengannya, sudah banyak pelajaran yang

saya dapat, dan hal itu telah banyak mengubah diri dan pribadi saya.

Belajar untuk hidup sederhana, selalu bersabar menghadapi cobaan, dua

hal tersebut merupakan pelajaran berharga bagi saya. Selain itu, saya

juga belajar bagaimana menjadi seorang teman yang baik, seorang

teman yang selalu ada dalam suka dan duka, bukan seorang teman yang

hanya ada pada saat bahagia dan pergi ketika cobaan datang.

Page 182: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 164

Kibar 2010

(R Arnas)

17 Agustus 1945 merupakan cikal bakal terbentuknya nama

Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Paskibraka selalu

eksis dalam berbagai kegiatan formal yang identik dengan seragam

putih atau biasa disebut PDU (pakaian dinas umum) beserta atribut

empolet hijau dengan simbol bunga teratai. Paskibra telah membawa

saya dalam berbagai kegiatan yang memberikan banyak pengalaman,

bahkan semua itu tidak dapat diukur dengan materi. Salah satunya

adalah Kibar 2010. Kibar merupakan kepanjangan dari “Kreatifitas

Pasukan Pengibar Bendera” yang diselenggarakan oleh SMAN 6

Surabaya setiap tahun, tepatnya bulan November untuk memperingati

hari pahlawan. Biasanya, kegiatan ini bertempat di GOR Pancasila

Surabaya. Ini merupakan salah satu dari sekian banyak lomba

Paskibraka yang selalu dinanti di Jawa dan Bali. Lomba ini menarik

banyak antusias dari kalangan Paskibraka hingga para khalayak umum.

Page 183: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 165

Sehingga, kegiatan ini mendapat perhatian dari para wartawan untuk

tidak ketinggalan dalam meliput.

Seragam putih abu-abu telah mengenalkan saya untuk menelusuri

lebih jauh dibalik nama Pabrasma (Paskibra SMAN 1 Krian) melalui

ekstrakurikuler Paskibra favorit di SMA. Jarum jam menunjukkan pukul

13 tepat. Hari itu merupakan hari yang menegangkan karena sebagai

hari penentu kemampuan saya untuk pantas tidaknya menjadi pasukan

dalam peleton. Menapakkan kaki berlari lebih cepat dari sebelumnya,

seolah kaki ini tergerak seiring semangat membara. Terik matahari yang

menyayat kulit seakan menjadi sebuah awan hitam yang menaungi

setiap gerak saya. Saya beserta beberapa teman tiba di lapangan.

Para senior dan beberapa pelatih berdiri dengan tegap menatap

setiap junior yang saat itu berada tepat di depan mereka. Saya segera

berbaris membentuk peleton. Kata salam terlontar dari sapaan seorang

pelatih, menyambut semangat kami. Pelatih memberikan sedikit

instruksi kepada kami, tentang penyeleksian anggota peleton untuk

Page 184: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 166

lomba Kibar 2010. Seolah ini merupakan surprise bagi saya. Di sisi lain,

ini merupakan sebuah amanat yang nantinya akan diemban beberapa

bulan ke depan. Saya beserta teman segera mempersiapkan diri

menunjukkan penampilan terbaik di hadapan para pelatih, berharap

menjadi salah seorang yang akan berdiri dalam barisan. Bersaing satu

sama lain dengan jumlah 80 anggota yang nantinya akan terseleksi

menjadi 22 anggota. Satu per satu teman telah diseleksi, pada saat

nama saya disebut, bergegas langkah ini melakukan setiap gerakan

sebaik mungkin. Tak lama kemudian, penyeleksian telah usai. Pukul

14.45, sore yang mendebarkan bagi saya untuk ingin segera mengetahui

22 nama yang tergores di atas secarik kertas. Nama salah satu sahabat

saya yang disebut saat itu, menambah optimis saya untuk bisa berdiri

dalam peleton. Lama menunggu, menjadikan optimis dan pesimis beradu

jadi satu. Namun, hati ini harus siap menerima apa pun yang nantinya

terjadi. Di ujung akhir pengumuman, nama saya muncul. Lisan tergerak

berucap, “Alhamdulillah....” Kebanggaan tersendiri bagi saya kala itu, di

Page 185: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 167

satu sisi saya ikut merasakan sisa nama yang tidak disebutkan. Azan

Asar berkumandang, kami bergegas menuju masjid dengan letih dan

lelah yang telah mengerumuni. Saya bergegas menuju lapangan setelah

melakukan kewajiban, untuk menerima instruksi dan jadwal dari pelatih.

22 orang berkumpul dengan perasaan sangat senang penuh semangat,

mendengarkan setiap rangkaian kata dari sang pelatih.

Pukul 12.30, latihan pertama dijalankan. Baju olahraga merah dan

beberapa atribut telah melekat, mendorong saya untuk bergegas menuju

lapangan. Dikejutkan dengan suara bentakan dan sikap yang membuat

saya bertanya-tanya. Beberapa orang telah mengelilingi kami, di

antaranya para pelatih dan senior. Saya selalu meyakinkan pada diri

saya untuk selalu menguatkan mental dan menyadari bahwa ini adalah

sebuah amanat dari 58 anak. Optimis untuk menjadi yang terbaik dari

yang terbaik. Selalu itu yang saya tancapkan dalam benak sebagai obat

dari bentakan-bentakan itu. Beberapa jam kemudian, mata ini hanya

mampu melihat gelap di bawah teriknya matahari. Tanpa saya sadari,

Page 186: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 168

tubuh ini terkulai lemas seakan tanpa ada penopang, saya

mengacungkan tangan untuk izin menepi.

Esok hari, saya melakukan latihan lagi yang sama dengan hari

sebelumnya. Push up, sit up, back up, lari, lompat gagak, dan jalan

jongkok merupakan sahabat saya. Semua itu saya lakukan dengan

penuh semangat tanpa kenal lelah sedikit pun. Tidak ada hari libur,

Senin hingga Minggu adalah hari yang sama bagi saya. Namun, manfaat

yang sungguh luar biasa saya dapatkan, mulai dari kesehatan tubuh

hingga kekuatan mental, bahkan kekeluargaan yang sangat solid.

Latihan ini berlangsung selama 2 bulan dengan berbagai latihan yang

cukup menguras fisik dan mental. Tepat 1 bulan latihan, di suatu hari,

kami mendapat hukuman yang mengharuskan kami berjalan jongkok

berputar mengelilingi aula sebanyak 5 kali. Hal ini disebabkan karena

ada beberapa teman yang minum tanpa memedulikan teman lain. Karena

menjadi seorang Paskibra dituntut dalam kebersamaan yang solid.

Tiba hari yang dinanti pukul 08.00, 21 November 2010. Kami

Page 187: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 169

bersaing dengan 40 peleton dari berbagai SMA sederajat se-Jawa dan

Bali. Kibar 2010 bertemakan pahlawan, kami mengenakan kostum salah

satu wayang yakni Gatot Kaca. Tepat giliran saya, perasaan beradu

menjadi satu takut dan optimis. Kata takut bertopeng menjadi fokus,

saat danton peleton mulai memberikan aba-aba. Sorakan dan tepuk

tangan penonton membawa saya dalam keheningan dalam kurun waktu

penampilan 10 menit. Pukul 21.00, panitia mengumumkan 3 juara. Saya

menunggu hingga juara kedua, pesimis pun menghampiri saya. Tepat

juara ketiga, saya harus menerima kenyataan bahwa saat itu saya harus

meningkatkan kemampuan untuk event selanjutnya. Pulang dengan

tangan hampa. Di sisi lain saya merasa senang meskipun tidak dalam

ketiga besar, peleton kami mendapat urutan keenam.

Saya sangat bersyukur memiliki kesempatan dan pengalaman

teristimewa. Memperoleh banyak pelajaran yang mungkin tidak saya

dapatkan ketika berada dalam kelas. Kebersamaan yang solid, sifat

pantang menyerah, melalui setiap hambatan dengan optimis, tanggung

Page 188: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

berkawan terang | 170

jawab, disiplin waktu, cepat tanggap, peduli terhadap sesama bahkan

yang sangat membanggakan ketika saya berada dalam suasana hangat,

ceria, sedih, maupun senang bersama mereka hingga saat ini. Itulah

pengalaman yang selalu menginspirasi saya dalam setiap jejak langkah

menghadapi berbagai problematika. Sehingga saya dapat menyebut

mereka, “My Second Family.”

Page 189: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

“...setengah berlari mengejarlelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati

yang entah sudah di mana.”

terinspirasi inspirasi

Page 190: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 171

tiga

Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati

(Revi Cho)

Cerita ini berawal saat teman saya, Kicha, mengundang saya ke

rumah lamanya, desa Wringinanom, Gresik. Saat itu hari raya umat Islam

tahun 2010 baru sepekan dilaksanakan. Karena malamnya akan ada

acara makan-makan, saya dan Kicha segera pergi ke pasar Krian

membeli beberapa kebutuhan.

Mendadak seorang lelaki berpakaian lusuh menghampiri ketika kami

sedang membeli buah-buahan. Ia datang bersama seekor anjing. Tak

lama, ia mengeluarkan sebuah dompet biru muda dari tas plastik yang

dibawanya dan menyerahkannya pada Kicha.

“Periksa dulu, Mbak, siapa tahu ada yang hilang,” katanya.

Page 191: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 172

Kicha langsung menuruti. Meski sempat kaget bisa-bisanya ia

menjatuhkan benda seberharga itu. Satu-persatu selesai dicek, baik

uang, ATM, maupun surat-surat, tidak ada yang bergeser sedikit pun.

Setelah tahu isi dompet utuh, lelaki berpakaian lusuh tersenyum ke arah

penjual buah di depan kami dan pergi.

“Dia memang orang baik,” penjual buah di depan kami menyahut.

Setelah mendapatkan buah, Kicha mengajak saya pulang. Namun

saya masih sangat penasaran pada lelaki berpakaian lusuh baik hati

tadi. Saya menyuruh Kicha pulang sendiri dengan alasan masih ada

barang yang perlu saya beli di pasar itu.

Kicha meng-iya-kan dan pergi meninggalkan saya. Saya bergegas

mengikuti lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati dimulai dari ke arah mana ia

meninggalkan tempat si penjual buah. Saya menyusuri jalanan pasar

yang ramai, sampai di sebelah terminal saya melihat lelaki itu berdiri di

antara dua pot tanaman gersang, nampak prihatin dengan apa yang

dilihatnya, dia mengeluarkan botol berisi air mineral, menyiramkannya ke

Page 192: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 173

dalam dua pot tadi, lanjut berjalan ke perempatan.

Di perempatan, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati menemui dua

orang pengemis. Pengemis ini adalah ibu dan anak yang selalu duduk

meminta-minta. Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati mengeluarkan

dompet dari dalam sakunya, lantas memberikan beberapa lembar uang

lima ribu ke dalam kotak kecil yang dibawa anak si pengemis. Anak itu

tampak gembira, mereka berterima kasih pada lelaki-berpakaian-lusuh-

baik-hati.

Saya makin penasaran dengan lelaki itu. Saya terus mengikutinya.

Selanjutnya, ia berjalan menuju tempat penyeberangan. Di sana saya

melihat seorang ibu paruh baya bersedekap di atas gerobak sayur

miliknya. Ibu itu menoleh ke sana ke mari, dan ketika tahu lelaki-

berpakaian-lusuh-baik-hati datang, si ibu tersenyum. Jelas saja, tanpa

sepatah kata pun lelaki itu langsung membantu mendorong gerobak

sayur menyeberangi jalan raya. Ibu paruh baya berkali-kali mengucapkan

terima kasih begitu sampai seberang.

Page 193: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 174

Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati melanjutkan perjalanan. Kali ini ia

memasuki gang-gang sekitar pasar Krian. Ia terus berjalan masih

bersama anjing penurutnya yang tampak riang. Sampai di depan sebuah

rumah bercat putih, dia mengeluarkan tiga buah apel dan meletakkannya

di depan pintu. Lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati mengetuk pintu dan

bergegas lari menghindari jangkauan mata si pembuka pintu nanti.

Kaget, saya sontak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar dekat

rumah tersebut.

Tak lama, dari balik pintu rumah, muncul seorang nenek yang

penasaran kenapa ada tiga buah apel di depan pintu rumahnya. Nenek

itu mengambilnya dan membawanya masuk. Saya setengah berlari

mengejar lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati yang entah sudah di mana.

Mencari dan terus mencari, namun kehilangan jejak. Saya sangat

kecewa. Dengan napas terengah, saya memutuskan untuk membeli

minuman di sebuah warung.

Di luar dugaan, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati ternyata sudah

Page 194: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 175

duduk di warung itu bersama anjing penurutnya. Untungnya lelaki itu

tidak mengetahui kalau saya yang sedari tadi mengikutinya, sekarang

berada di warung yang sama. Saya memilih duduk di pojok ruangan,

bermaksud agar bisa puas mengamati lelaki itu dari belakang. Sehabis

memesan segelas teh hangat, kembali saya perhatikan lelaki itu yang

sedang tersenyum mengusap kepala anjingnya, membagi ayam pesanan

yang baru datang karena memang si anjing kelihatan begitu ingin

melahap apa yang ada di atas meja.

Teh hangat pesanan saya juga datang. Seorang ibu yang

mengantarkannya, seakan paham apa yang saya pikirkan.

“Mbak penasaran dengan orang itu, ya?” sambil menunjuk lelaki-

berpakaian-lusuh-baik-hati ia tersenyum. Tanpa menunggu jawaban dari

saya, dia mulai bercerita. Saya tercengang mendengarkan cerita si ibu.

Bersama anjingnya, lelaki-berpakaian-lusuh-baik-hati sudah

meninggalkan tempat, namun saya masih di sana merenungkan kisah

tentangnya. Ternyata, lelaki itu adalah seorang penjual koran yang

Page 195: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 176

tinggal di sebuah gubuk tua pinggiran kota. Pagi hari, ia menjual koran,

siang hari, ia berkeliling pasar mencari orang-orang yang butuh

bantuannya. Ia dikenal sangat baik oleh orang-orang sekitar pasar.

Setiap ada orang kekurangan bantuan, ia berusaha membantu tanpa

pamrih biar pun keadaannya sendiri serba kekurangan. Ia tetap bahagia.

Sebuah pelajaran yang amat berharga, bahwa kebahagiaan tidak

selalu dari sesuatu besar dan mewah, melainkan bisa berasal dari

sesuatu kecil yang kita lakukan untuk membuat orang lain bahagia.

Page 196: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 177

Bapak Profesor

(Merry T)

Universitas Negeri Surabaya adalah tempat di mana aku

melanjutkan pendidikan demi mewujudkan cita-cita. Memang bukan

satu-satunya tempat untuk mendapatkan ilmu, tetapi di sanalah aku

memperjuangkan apa yang patut untuk diperjuangkan. Tidak hanya ilmu,

teman baru, atau bahkan pengalaman yang bisa aku dapatkan,

melainkan juga sebuah kenangan yang menjadi salah satu penyemangat

untuk terus berjuang meraih cita-cita tanpa kenal lelah.

Jika tidak salah, tiap hari Rabu setelah kelas Intensive Course di

gedung T8, aku berpapasan dengan salah satu dosen yang menggunakan

kursi roda sebagai alat untuk membantu beliau mengajar. Ternyata

beliau adalah seorang profesor, yang aku ketahui dari teman-temanku,

Prof. Suwono. Hari demi hari berlalu dan bertemu dengan beliau sudah

menjadi salah satu rutinitas di hari Rabu. Rasa penasaran pun muncul,

tetapi tertahan begitu saja. Mungkin karena aku belum mengenal beliau.

Page 197: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 178

Hingga muncul perasaan lain, bagaimana bisa beliau mengajar dengan

keadaan yang demikian? Beliau terlihat begitu sabar dan keinginan

mengabdi sekaligus berbagi ilmu kepada mahasiswanya begitu kuat.

Suatu hari, setelah UAS semester 2, di jurusanku diadakan kegiatan

baru, ESC (English Speaking Community). Kegiatan ini menjadi salah

satu prasyarat agar bisa mengambil skripsi nantinya. Semua dosen

berkewajiban menjadi penguji saat tes ESC berlangsung.

Pada hari tes ESC—entah itu kebetulan atau apa—penguji untuk

kelasku adalah Prof. Suwono. Aku dan teman-teman menunggu beliau

selama beberapa jam namun tak kunjung datang. Hampir saja kami mati

bosan, untungnya beliau datang juga, bersama sang istri. Mengendarai

mobil yang tiap hari setia menemani beliau. Beberapa anak dari kami

bermaksud membantu, tetapi Prof. Suwono dan istrinya menolak secara

halus. Sungguh momen yang langka. Meski dalam keadaan terbatas,

beliau tidak mau merepotkan orang lain.

Waktu tes pun dimulai, kami berlatih dan berdoa agar semua

Page 198: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 179

berjalan lancar sesuai harapan. Ketika giliranku memasuki ruangan,

beliau memberiku beberapa kertas dan aku disuruh mengambil salah

satunya. Setelah itu, beliau menanyakan beberapa hal padaku dan aku

menjawabnya dengan perasaan yang dag dig dug duuaaarrrrr! Beliau

bertanya tentang kota kelahiranku, aku pun menjelaskannya secara

detail. Di waktu yang sama kuperhatikan beliau seksama, tangan beliau

sedikit gemetar, aku tak tahu apa penyebabnya. Sambil tersenyum,

beliau menanggapi jawabanku hingga selesailah waktuku bersama

beliau.

Aku kembali berkumpul bersama teman-teman. Selanjutnya, salah

satu temanku, Prita, masuk ke dalam ruangan untuk melaksanakan tes

yang sama. Tak berapa lama Prita pun keluar dan membawa pesan pada

kami bahwa Prof. Suwono meminta agar salah satu dari kami

memanggilkan istrinya dikarenakan beliau sudah waktunya minum obat.

Segera aku bergegas mencari istri beliau, setiap sudut kampus

kutelusuri, tapi tak juga kutemukan. Aku takut, pikiranku sudah

Page 199: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 180

melanglang buana entah ke mana. Akhirnya, aku temui Prof. Suwono.

“Yasudah tidak apa-apa, terima kasih, ya,” sahut profesor dengan

raut wajah yang tetap tegar, usai kukatakan aku tak menemukan istri

beliau di mana pun. Tak lama setelah itu, kulihat istri Prof. Suwono dan

segera kuhampiri.

Satu kalimat yang aku ingat dari istri Prof. Suwono: “Maaf, Nak, tadi

saya ke musala, solat Duhur, terima kasih sudah mengingatkan.” Allah

Maha Besar, terenyuh rasanya melihat senyum beliau. Segera setelah itu

istri Prof. Suwono masuk dan memberikan obat.

Semenjak kejadian itu aku merasa malu dengan diriku sendiri, Allah

sudah memberikanku semua hal tanpa kekurangan tapi kenapa aku

masih merasa tidak cukup. Usiaku masih muda, pikiranku tidak

terganggu oleh apa pun, fisik juga masih kuat menopang segala macam

ujian, tetapi terkena kerikil saat berjalan saja sudah mengeluh minta

ampun. Sedangkan Prof. Suwono, beliau memiliki keterbatasan, namun

tak sedikit pun terlintas di benak beliau untuk mundur bahkan

Page 200: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 181

mengeluh. Pengabdian, kesabaran, dan cinta beliau pada mahasiswanya

membuktikan bahwa beliau benar-benar seseorang yang memiliki hidup

luar biasa.

Sejak saat itu aku tidak membiasakan diri untuk mengeluh,

berusaha mencintai, menghargai, serta menjaga apa yang sudah menjadi

milikku. Terima kasih, Bapak Profesor, mungkin Allah memiliki cara lain

untuk mengetuk setiap pintu hati umat-Nya, atas kehendak-Nya, Bapak

Profesor menjadi perantara dalam menyadarkanku agar tidak putus asa

bagaimanapun keadaan yang akan aku lalui, bersemangat meraih cita-

cita demi membanggakan orang tua adalah wajib.

Page 201: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 182

Jangan Meremehkan Orang Lain

(Laurenna Y)

Pada suatu hari tepatnya hari Sabtu, saya diajak teman untuk

berenang karena libur kuliah. Ketika sudah mulai lelah kami pun

memutuskan segera balik pulang. Dan lapar pun melanda. Langsunglah

kami masuk ke sebuah rumah makan, yang tadinya bermaksud memilih

menu makanan, malah terkejut kami dibuatnya. Betapa mahal harga

yang tertera di sana. Tetapi teman saya menanggapi dengan santai,

“Kita sudah memesan, tidak mungkin kembali.”

Makanan pun tiba dan kami menyantapnya dengan lahap. Di ujung

ruangan saya lihat seorang anak baru saja masuk. Seorang diri,

berpakaian sederhana, duduk di kursi di sisi kanan saya. Dia pun

memanggil salah satu pelayan. Tak lama, seorang pelayan perempuan

menghampirinya, memberikan buku menu. Pelayan tersebut agak heran

mengapa anak kecil itu berani masuk ke dalam rumah makan yang

mahal, padahal dari penampilan saja, si pelayan tidak yakin kalau

Page 202: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 183

pelanggan barunya itu mampu membayar.

“Berapa harga es krim yang diberi saus stroberi dan cokelat?”

“Lima puluh ribu.”

Anak kecil itu memasukkan tangan ke dalam saku celana lalu

mengambil beberapa receh dan menghitungnya. “Kalau es krim yang

tidak diberi saus?”

Si pelayan mengerutkan kening, “Dua puluh ribu.”

Sekali lagi anak kecil itu mengambil receh dari dalam saku celana

dan lagi-lagi mengitung. “Kalau aku pesan separuh es krim tanpa saus

stroberi dan cokelat berapa?”

Kesal dengan kelakuan pembeli kecil itu, pelayan ketus, “Sepuluh

ribu!”

Si anak tersenyum, “Baiklah aku pesan itu saja, terima kasih!”

Pelayan itu mencatat pesanan, menyerahkan pada bagian dapur, lalu

kembali sambil membawa es krim. Anak itu tampak gembira dan

menikmati es krim yang hanya seperlima harga dengan sukacita. Dia

Page 203: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 184

melahap es krim sampai habis. Kemudian si pelayan kembali datang

memberikan nota pembayaran.

“Semua sepuluh ribu, kan?” tanya anak itu lalu membayar es krim

pesanannya dengan setumpuk uang receh. Wajah sang pelayan tampak

masam karena harus menghitung ulang receh-receh itu. Tiba-tiba sang

anak mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celana

belakangnya, “Dan ini tips untuk Anda!” ujar sang anak sambil

menyerahkan uang tersebut ke si pelayan.

Tidak hanya si pelayan, saya dan teman saya pun terkejut. Si anak

kecil hanya tersenyum memandang si pelayan ketika pelayan menerima

uangnya. Tak lama kemudian, ia langsung meninggalkan rumah makan

mahal itu. Begitu pula kami.

Di sepanjang perjalanan, saya dan teman saya masih keheranan

dengan anak kecil tadi. Bagaimana mungkin anak sekecil berpakaian

sesederhana itu memilih rumah makan mahal?

“Mungkin anak kecil itu salah masuk rumah makan?” tebak teman

Page 204: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 185

saya yang langsung saya iya-kan.

Sesampainya di rumah, saya merenung sejenak dan saya

menyimpulkan, adakalanya kita jangan melihat apa yang melekat pada

tubuh seseorang sebagai penilaian, sebab kita tidak pernah tahu

seseorang yang kita remehkan itu bisa jadi merupakan pengantar rezeki

tak terduga.

Page 205: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 186

Polisi juga Manusia

(Lutfiatul I)

Aku teringat akan masa di mana kali pertamanya aku mengendarai

motor di jalan raya. Awalnya semua baik-baik saja, hingga ada operasi

kendaraan, aku bingung harus berbuat apa karena waktu itu adalah

waktu di mana aku berangkat ke sekolah, dan sialnya, aku bukanlah

pengendara yang baik yang punya surat-surat lengkap. Kuhentikan

motor dengan segera, berusaha serileks mungkin agar tidak terkesan

mencurigakan di hadapan mereka yang berseragam hijau, meski

nyatanya sungguh nervous. Kuakui aku memang salah.

Beruntungnya ketika giliranku tiba.

“Punya SIM?” dengan suara lantang polisi tadi seolah menyergapku.

Aku pun langsung menjawab, “Punya, Pak,” tanpa pikir panjang.

Waktu itu aku hanya menyodorkan STNK dan beliau kembali

bertanya, atau lebih tepatnya... curiga. “SIM-nya ada?” nadanya masih

tinggi.

Page 206: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 187

“Ada, Pak,” jawabku tegas. Padahal gugup.

Kugerakkan tanganku untuk kembali membuka tas. Ketika aku

sendiri tidak tahu apa yang sedang aku cari, tiba-tiba pak polisi tadi

mempersilakan aku pergi dengan menyerahkan kembali STNK-ku. Alisku

sempat bertemu karena bingung yang campur aduk.

Apa benar ini sudah tidak apa-apa? Apa benar sudah boleh lanjut?

Batinku. Kumasukkan lagi STNK ke dalam tas setelah kumajukan

motorku. Dengan kaki masih gemetaran, aku memperhatikan

sekelilingku. Benar saja, itu adalah tempat di mana pengendara sudah

diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Mereka yang berseragam hijau

benar-benar sudah berada di belakangku. Aku tak percaya kala itu

bahwa aku telah melewati mereka!

Dengan memburu waktu, motorku pun melaju. Masih tak percaya

apa yang barusan terjadi. Bayangkan, sepagi ini aku sudah melakukan

kesalahan! Semakin merasa bersalah karena sudah membohongi

mereka.

Page 207: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 188

Sepanjang perjalanan, pikiranku terlanjur tidak fokus sehingga yang

awalnya hanya ingin membalap mobil di depanku, malah hilang

keseimbangan. Untungnya, aku tak jadi menabrak mobil tadi. Tapi nahas,

aku mengerem mendadak dan oleng. Aku bersyukur tak ada luka yang

berarti di tubuhku. Hanya ujung ruas jari-jari tangan saja yang tergesek

dan warna rok yang berubah abu-abu karena sedikit terkikis oleh aspal.

Itu saja. Akan tetapi spion kiriku tak bisa berdiri tegak. Sudah aku putar-

putar, hasilnya nihil. Ia tak bisa kembali seperti sedia kala. Mobil putih di

depanku pun berhenti. Muncullah seorang pemuda menanyakan

kondisiku.

“Gak papa, Dek?”

“Iya, gak papa, kok,” sahutku lirih menahan sakit.

“Sudah tahu ada mobil mau belok, masih maju aja. Bener gak papa,

kan?”

“Iya. Maaf. Habisnya ini buru-buru. Tapi gak papa kok, terima kasih.”

Usai mendengar jawabanku, dia berlalu dan meninggalkanku sendiri.

Page 208: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 189

Aku beruntung jalanan tidak seramai biasanya. Jadi tidak begitu

menanggung malu. Kupikir ini pasti karma. Suatu kesalahan yang aku

lakukan pagi ini dibalas langsung dengan kejadian tak terduga ini.

Ya Allah, aku tahu aku salah. Besok takkan ulangi, janjiku dalam

hati. Akhir cerita, aku bertekad mendapatkan SIM. Sudah lama aku

menunggu hari bahagia itu. Dulu, setiap pulang dan pergi, pasti aku

waspada akan adanya operasi. Entah itu hanya ketakutan karena aku

tak punya SIM atau pernah hampir menabrak mobil di tikungan waktu

itu. Yang pasti, aku tak ingin melakukan kesalahan dengan berbohong

kepada mereka para Polantas. Aku tahu sebenarnya mereka tak

menakutkan. Mereka hanya menjalankan tugas. Tapi perasaan ketika

melihat mereka seakan membawa pengaruh besar di pikiranku.

Disiplin. Mungkin itu kata yang pantas aku ucapkan saat ini. Dengan

tegap dan tak kenal lelah mengatur jalanan. Kemacetan dan bunyi

klakson yang merongrong di pagi buta itu mestilah berkurang karena

mereka. Yah, walau sedikit. Tapi yang penting mereka sudah

Page 209: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 190

mengerjakan tugas.

Jadi, teman-teman, bagi kalian yang takut pada polisi, entah itu

polisi lalu lintas atau polisi berseragam cokelat, jangan lagi takut.

Mereka hanya menjalankan tugas yang sudah semestinya mereka

lakukan. Intinya, kalau kalian sudah mematuhi peraturan dan sudah

menjadi warga negara yang baik. So, apa lagi yang ditakutkan?

Page 210: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 191

Page 211: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 192

“Ojo Wedi Dadi Santri!”

(H Yaqin)

Santri itu kuno, norak, sulit menerima perbedaan, sulit bersaing di

bidang pekerjaan, serta bermasa depan suram.

Itulah sekiranya kata-kata yang mungkin tersemat dalam pikiran

kebanyakan orang yang belum pernah merasakan indahnya kehidupan

‘penjara suci’ sehingga mereka cenderung takut serta khawatir

seandainya anak-anak mereka hidup dalam lingkungan tersebut. Alasan

itu semua berlandaskan metode pengajaran di pesantren yang dianggap

kolot. Mereka menganggap apa yang diedukasikan hanyalah tentang

agama tertentu tanpa membekali ilmu untuk menghadapi ketatnya

persaingan dunia karir. Namun, mereka tidak sadar bahwa justru

pesantren adalah wadah paling tepat untuk mereka yang masih dalam

tahap untuk mencari jati diri. Dunia pesantren menuntut siapa saja di

dalamnya untuk hidup mandiri, tangguh, percaya diri, menjunjung tinggi

kebersamaan serta sosial, dan masih banyak lagi lainnya. Ekspektasi

Page 212: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 193

akan sulitnya bersaing di bidang pekerjaan dan suramnya masa depan

bagi para santri juga tidak pernah terbukti. Namun sebaliknya, para

santri kebanyakan melangsungkan hidup tanpa menggantungkan orang

lain (sebagai karyawan) dengan menciptakan pekerjaan sendiri.

Dalam persepsi kebanyakan orang, lulusan pesantren hanya akan

menjadi pemuka atau tokoh agama, namun persepsi tersebut akhirnya

termentahkan. Salah satu tokoh yang menginspirasi saya dalam hal ini

ialah guru bahasa Inggris saya yang juga menjadi pelopor berdirinya

Kampoeng Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Beliau adalah Bapak

Kalend Osen atau yang biasa dikenal Pak Kalend. Lahir di Kutai

Kartanegara, Kalimantan, pada 4 Februari 1945 silam. Beliau bukanlah

keturunan bangsawan atau priyayi yang bergelimang harta. Bahkan

untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja beliau harus banting tulang

sendiri. Namun siapa sangka, kejamnya kehidupan mengantarkan beliau

untuk memutar otak agar bisa mengubah kehidupan beliau serta

keluarga. Dalam benaknya, beliau menyadari bahwa untuk menjadi lebih

Page 213: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 194

baik setiap orang harus belajar dan berusaha keras serta mendekatkan

diri pada sang Pencipta.

Beliau bertekad untuk menyantri di pondok pesantren Gontor

Ponorogo, Jawa Timur, sebagai bentuk ikhtiar dalam belajar dan

mengharap rida sang kuasa. Namun, lagi-lagi keterbatasan dana menjadi

sandungan beliau untuk mewujudkannya. Alasan itu tidak semerta-

merta mengendurkan tekad beliau. Pak Kalend kemudian mulai

mengumpulkan benih-benih rupiah dengan menjadi buruh tani. Setelah

dikiranya cukup untuk bekal studinya, beliau memantapkan niat untuk

berangkat merantau ke pulau sebrang. Dengan melalui panjangnya

berbagai seleksi ketat masuk pesantren, kecerdasan Pak Kalend

akhirnya berhasil mengantarkan beliau masuk di pesantren berbasis

modern tersebut.

Waktu demi waktu terus berjalan. Berbagai prestasi telah digondol

Pak Kalend selama di pesantren. Namun apa daya, modal saku yang

dibawa Pak Kalend akhirnya tidak mencukupi untuk melanjutkan studi

Page 214: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 195

beliau. Setelah mengukur berbagai pertimbangan, beliau kemudian

membulatkan tekad untuk keluar dari pesantren walau terasa sangat

berat dalam lubuk hati. Kondisi ini tidak kemudian mematahkan sedikit

pun tekad beliau untuk terus belajar. Beberapa guru dan teman beliau

menyarankan Pak Kalend untuk belajar kepada seorang kiai yang

menguasai lebih dari tujuh bahasa. Sang kiai ini ialah K. H. Ahmad Yazid

yang tinggal di dusun Pelem, Kediri.

Bermodalkan niat teguh, Pak Kalend melanjutkan perantauannya

untuk belajar bahasa khususnya bahasa Inggris kepada sang “master”.

Karena kemuliaan hati yang dimiliki kiai Yazid, Pak Kalend diperbolehkan

belajar secara cuma-cuma. Hal tersebut mungkin tidak pernah

terbayang di pikiran Pak Kalend sebelumnya. Dengan tekun dan disiplin

Pak Kalend belajar dengan kiai karismatik tersebut. Dengan modal

berbagai bahasa asing yang didapat sewaktu di pesantren, Pak Kalend

pun mudah mempelajari apa yang disampaikan sang kiai.

Sampai akhirnya, tibalah saat-saat di mana nama Pak Kalend kali

Page 215: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 196

pertama dikenal orang. Ketika kiai sedang bepergian ke Majalengka

selama beberapa hari, datanglah dua mahasiswa IAIN (sekarang menjadi

UIN) Surabaya yang hendak belajar bahasa Inggris kepada kiai Yazid

untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa. Mereka

kemudian hanya dapat bertemu dengan istri kiai. Sang istri

menyarankan untuk belajar pada Pak Kalend yang kala itu sedang

menyapu halaman masjid.

“Pak Kiai sedang pergi, mending kalian belajar sama orang itu yang

sedang menyapu halaman masjid,” tutur sang istri seraya menunjuk Pak

Kalend. Tanpa berpikir panjang, mereka menghampiri Pak Kalend dan

meminta agar mau mengajari bahasa Inggris. Pak Kalend pun sangat

terkejut dan keheranan mendengar permintaan mereka. Sadar akan

status beliau yang juga dalam proses pembelajaran, juga tidak pernah

merasakan bangku perkuliahaan, beliau pun menolak secara halus.

Namun karena perintah dari istri kiai, Pak Kalend pun kemudian

menyanggupi. Pak Kalend lalu membuat kesepakatan bahwa beliau

Page 216: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 197

hanya akan menyampaikan sesuai kemampuan beliau.

Setelah membaca beberapa contoh soal yang akan diujikan sebagai

syarat kelulusan, Pak Kalend terkejut dengan soal-soal tersebut. Beliau

merasa bahwa soal-soal tersebut sangat mudah dijawab dan beliau

tidak pernah membayangkan akan hal itu. Rasa takut yang melekat

pada diri beliau pun hilang begitu cepatnya dan beliau dapat bernapas

lega.

Rasa percaya diri ketika menghadapi ujian timbul dalam diri dua

mahasiswa tersebut setelah hanya dalam jangka lima hari belajar

bersama Pak Kalend. Sampailah pada saat di mana mereka lulus dengan

nilai yang mengagumkan. Teman-teman mereka sangat kaget dengan

apa yang telah mereka capai mengingat mereka sangat diragukan untuk

lulus dengan modal bahasa Inggris yang tidak layak dijagokan. Teman-

teman mereka akhirnya mendatangi mereka dan menanyakan rasa

penasarannya. Dari situlah nama Pak Kalend mulai dikenal mulut ke

mulut. Tanpa disadari, apa yang mereka lakukan seakan menjadikan

Page 217: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 198

promosi mujarab untuk nama seorang Kalend Osen. Keberhasilan dua

mahasiswa itu memberi suntikan motivasi kepada teman-temannya

untuk mengikuti jejak yang mereka tempuh.

Setelah pengumuman kelulusan itulah dua mahasiswa tersebut

datang kepada Pak Kalend membawa beberapa orang yang berniat untuk

belajar bersama beliau. Keberhasilan metode yang diterapkan beliau

terus mengalirkan murid-murid yang berminat belajar bahasa Inggris.

Hingga akhirnya, Pak Kalend disarankan untuk membentuk lembaga

kursus bahasa Inggris. Sampai terbentuklah nama Basic English Course

(BEC) pada 15 juni 1977 yang hingga kini telah mencetak puluhan ribu

murid bahasa Inggris. Sepak terjang beliau untuk membentuk lembaga

kursus tidak semulus yang dibayangkan. Masyarakat sekitar sempat

meragukan apa yang beliau rintis. Namun, bukan Pak Kalend namanya

kalau hal seperti itu saja tekad beliau rapuh. Beliau terus nekat meraih

apa yang disarankan kiai Yazid hingga keberhasilan merintis kursus

bahasa Inggris juga dirasakan masyarakat sekitar yang awalnya sempat

Page 218: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 199

meragukan bahkan mencemooh beliau. Masyarakat umumnya menyulap

rumah mereka menjadi tempat hunian bagi para murid Pak Kalend,

rumah makan, serta usaha-usaha rumahan lainnya. Mereka kemudian

meminta maaf serta berterima kasih kepada beliau.

Kesuksesan Pak Kalend membentuk Kampoeng Inggris menjadikan

nama beliau dikenal harum masyarakat di seluruh Indonesia mengingat

murid-murid beliau yang berdatangan dari penjuru Indonesia. Hingga

akhirnya beliau mendapat penghargaan dari berbagai media televisi

nasional dan swasta di Indonesia.

Beliau hanyalah satu dari ribuan santri yang telah berhasil

membuktikan bahwa masa depan santri tidaklah suram seperti yang

dipercayai. Siapa pun mereka, mereka telah membuktikan diri sebagai

santri intelek mampu bersaing melawan lulusan sekolah favorit.

Semoga ini dapat terus menginspirasi saya pribadi bahkan kalangan

banyak untuk terus percaya diri sebagai seorang santri. Oleh karenanya,

motto, “Ojo wedi dadi santri!” terus saya lekatkan dalam benak.

Page 219: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 200

Inspiring Story of Mark Zuckerberg

(Alif B)

Pada 2006, Mark Zuckerberg membuat dunia terheran dengan

menolak tawaran Yahoo untuk membeli Facebook seharga 1 juta dolar.

Ayahnya sendiri membelikannya komputer sejak ia berusia delapan

tahun. Di Harvard inilah Zuckerberg menemukan ide membuat buku

direktori mahasiswa online karena universitasnya tak membagikan

facebook (buku mahasiswa yang memuat foto dan identitas

mahasiswa) pada mahasiswa baru sebagai ajang pertemanan di antara

mereka. Setiap pemilik account punya ruang untuk memajang fotonya,

teman-temannya, network, dan melakukan hal lainnya seperti bisa

berkirim pesan dan lain sebagainya.

Banyaknya aplikasi yang bisa digunakan oleh anggotanya membuat

Facebook digandrungi banyak orang. Setidaknya 140 aplikasi baru

ditambahkan ke Facebook setiap harinya dan 95% pemilik account

Facebook telah menggunakan minimal satu aplikasi.

Page 220: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 201

Dalam tempo empat bulan Facebook sudah bisa menjaring 30

kampus. Dan dalam hal jumlah trafik pengakses Facebook menjadi

website teraktif ke-6 di dunia dan menjadi website jejaring sosial kedua

terbesar versi camScore. Jumlah anggota Facebook yang jutaan orang

itu menjadi tambang emas yang menggiurkan. Sejauh ini Zuckerberg

mengatakan Facebook tak akan dijual.

Melesatnya bisnis Facebook membuat Zuckerberg menampung

kekayaan luar biasa. Namun kontroversi tetap saja muncul dari negara-

negara seperti Myanmar, Bhutan, Syria, Arab Saudi, Iran, dan sebagainya

yang menyebutkan kalau Facebook mempromosikan serangan terhadap

otoritas pemerintahannya sehingga akses terhadap Facebook di negara

tersebut ditutup.

Di tengah sejumlah kontroversi itu, nama Facebook dan Mark

Zuckerberg tetap digandrungi banyak orang. Semua orang sudah

mengenal Facebook, tidak memandang usia mulai dari anak-anak

sampai dewasa sudah mengenal Facebook. Memang saat ini Facebook

Page 221: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 202

menjadi jejaring sosial yang paling populer. Di samping sebagai alat

untuk sharing foto-foto, Facebook merupakan alat komunikasi sesama

teman. Dan yang paling berguna bagi saya adalah alat untuk mencari

teman, baik teman waktu kecil, teman waktu sekolah, teman waktu

kuliah, teman waktu kerja, sanak saudara atau keluarga yang jauh,

semuanya bisa kita cari dan temukan di Facebook. Luar biasa memang

kegunaan Facebook, semua teman atau saudara atau keluarga yang

tidak pernah ketemu bertahun-tahun, akhirnya bisa ketemu di Facebook.

Untuk itu tidak ada salahnya marilah kita mengenal awal mula lahirnya

Facebook. Facebook ini sebenarnya dibuat sebagai situs jaringan

pertemanan terbatas pada kalangan kampus pembuatnya, yakni Mark

Zuckerberg.

Mendapati Facebook mampu menjadi magnet yang kuat untuk

menarik banyak orang bergabung, ia memutuskan mengikuti jejak

seniornya—Bill Gates—memilih drop out agar serius meng-handle

situsnya itu. Mark dan rekannya berhasil membuat Facebook jadi situs

Page 222: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 203

jaringan pertemanan yang segera melambung namanya, mengikuti tren

Friendster yang juga berkembang kala itu. Bayangkan, Ada 9.373

aplikasi yang terbagi dalam 22 kategori yang bisa dipakai untuk

menyemarakkan halaman Facebook, mulai chat, game, pesan instan,

sampai urusan politik dan berbagai hal lainnya. Jadi, data yang dibuat

tiap orang lebih jelas dibandingkan situs pertemanan lain. Hal ini yang

membuat orang makin nyaman dengan Facebook untuk mencari teman,

baik yang sudah dikenal ataupun mencari kenalan baru di berbagai

belahan dunia.

Sejak kemunculan Facebook tahun 2004, anggota terus

berkembang pesat. Situs itu tercatat sudah dikunjungi 60 juta orang

dan bahkan Mark Zuckerberg berani menargetkan pada tahun 2008,

angka tersebut akan mencapai 200 juta anggota. Dengan berbagai

keunggulan dan jumlah peminat yang luar biasa, Facebook menjadi

‘barang dagangan’ yang sangat laku. Sungguh, kejelian melihat peluang

dan niatan baiknya ternyata mampu digabungkan menjadi sebuah nilai

Page 223: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 204

tambah yang luar biasa.

Ini menjadi contoh bagi kita, bahwa niat baik ditambah perjuangan

dan ketekunan dalam menggarap peluang akan melahirkan kesempatan

yang dapat mengubah hidup makin bermakna.

Konon, melalui situs tersebut, banyak orang-orang yang lama tak

bersatu, bisa kembali bersatu, reunian, dan bahkan berjodoh. Pada

sejumlah college dan sekolah preparatory di Amerika Serikat, ‘buku’ ini

diberikan pada mahasiswa atau staf fakultas yang baru agar bisa lebih

mengenal orang lain di kampus bersangkutan.

Page 224: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 205

Baharudin Jusuf Habibie

(Astri R)

Salah satu tokoh panutan dan menjadi kebanggaan bagi banyak

orang di Indonesia dan juga presiden ketiga Republik Indonesia, dialah

Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di

Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak

keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan

RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun

Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu

Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Masa kecil Habibie dilalui bersama

saudara-saudaranya di Pare-Pare. Sifat tegas berpegang pada prinsip

telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya

kegemaran menunggang kuda dan membaca ini dikenal sangat cerdas

ketika masih menduduki sekolah dasar, namun ia harus kehilangan

bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena

serangan jantung saat sedang salat Isya.

Page 225: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 206

Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian menjual

rumah dan kendaraannya lalu mereka pindah ke Bandung, sepeninggal

ayahnya, ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-anaknya

terutama Habibie, karena kemauan untuk belajar Habibie menuntut ilmu

di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak

menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta.

Habibie menjadi sosok favorit di sekolah.

Karena kecerdasannya, setelah tamat SMA di Bandung tahun 1954,

beliau masuk di ITB (Institut Teknologi Bandung) namun tidak sampai

selesai di sana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman,

karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan

penerbangan bagi Indonesia maka ia memilih jurusan Teknik

Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi Pesawat Terbang di Rhein

Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH). Ketika sampai di

Jerman, beliau sudah bertekad harus sukses, dengan mengingat jerih

Page 226: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 207

payah ibunya yang membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari.

Beberapa tahun kemudian, 1955 di Aachean, 99% mahasiswa Indonesia

yang belajar di sana diberikan beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang

memiliki paspor hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain.

Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang

harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis

masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda

dengan teman-temannya yang lain, mereka lebih banyak menggunakan

waktu liburan musim panas untuk bekerja, mencari pengalaman dan

uang tanpa mengikuti ujian.

Beliau mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule,

Jerman tahun 1960 dengan predikat cumlaude (sempurna) dengan nilai

rata-rata 9,5 bergelar insinyur, beliau mendaftarkan diri untuk bekerja di

Firma Talbot, sebuah industri kereta api Jerman. Pada saat itu Firma

Talbot membutuhkan sebuah wagon yang bervolume besar untuk

mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Talbot

Page 227: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 208

membutuhkan 1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Habibie

mencoba mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap pesawat

terbang yang ia terapkan pada wagon dan akhirnya berhasil.

Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studi untuk gelar Doktor di

Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean

kemudian Habibie menikah pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun Habibie

yang kemudian diboyong ke Jerman, hidupnya makin keras, di pagi-pagi

sekali Habibie terkadang harus berjalan cepat ke tempat kerjanya yang

jauh untuk menghemat kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada

malam hari dan belajar untuk kuliahnya, istrinya harus mengantri di

tempat pencucian umum untuk mencuci baju agar bisa menghemat

kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar

Dr. Ingenieur dengan penilaian summa cumlaude (sangat sempurna)

dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer

Maschinenwesen Aachean.

Rumus yang ditemukan oleh Habibie dinamai "Faktor Habibie"

Page 228: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 209

karena bisa menghitung keretakan atau crack propagation on random

sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga ia di juluki sebagai

"Mr. Crack". Pada tahun 1967, menjadi profesor kehormatan (guru

besar) pada Institut Teknologi Bandung. Kejeniusan dan prestasi inilah

yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional di antaranya,

Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan

Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris),

The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The

Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The US

Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan

bergengsi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award

dan Award von Karman yang hampir setara dengan hadiah Nobel. Di

dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut

Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi,

banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat

Page 229: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 210

dengannya. Setiap kali peraih penghargaan bergengsi Theodore van

Karman Award itu kembali dari ‘habitat’-nya, Jerman, beliau selalu

menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun

kuliah hingga meraih gelar Doktor Konstruksi Pesawat Terbang di

Jerman dengan predikat summa cumlaude. Lalu bekerja di industri

pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi

panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara

Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis,

dipilih MPR menjadi wakil presiden RI, dan disumpah oleh ketua

mahkamah agung menjadi presiden RI menggantikan Soeharto menjadi

presiden republik Indonesia ke-3. Soeharto menyerahkan jabatan

presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai

akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur

yang memilih merdeka. Pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR RI.

Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah

Page 230: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 211

bermukim ke Jerman.

Pada tanggal 22 Mei 2010, sang istri, Hasri Ainun Habibie,

meninggal di rumah sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum,

Muenchen, Jerman. Ia meninggal pada hari Sabtu pukul 17.30 waktu

setempat atau 22.30 WIB. Kabar meninggalnya Hasri Ainun didapat dari

kepastian Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR yang ditunjuk

menjadi wakil keluarga B. J. Habibie. Ini menjadi duka yang amat

mendalam bagi Mantan Presiden Habibie dan rakyat Indonesia yang

merasa kehilangan. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah

mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya,

pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah memunyai akhir,

setiap mimpi memunyai batas.

"Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ibu

Ainun istri saya. Ia ikuti ke mana saja saya pergi dengan penuh kasih

sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah

dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya.

Page 231: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 212

Gini ya, saya mau kasih informasi.... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun

mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda

dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu," papar B. J. Habibie.

Pada awal desember 2012, sebuah film yang berjudul "Habibie dan

Ainun" diluncurkan, film ini mengangkat kisah nyata tentang romantisme

saat mereka masih remaja hingga menjadi suami istri dan saat ajal

memisahkan. Film yang diambil dari buku terlaris karya B. J. Habibie ini

digarap oleh dua sutradara yaitu Faozan Rizal dan Hanung Bramantyo,

dengan Reza Rahardian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai

Ainun Habibie.

Page 232: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 213

Lingnan Impression, Surga Kecil yang Kutemukan

(DSP)

Selasa siang. Matahari bersinar ragu-ragu di langit Guangzhou.

Lingnan Impression, surganya budaya Cina di Paiyun District, Guangzhou.

Lingnan Impression adalah kompleks bangunan seperti kuil yang di

dalamnya tersimpan bermacam-macam cerita dari sejarah besar

Guangzhou yang indah. Setiap kuil memiliki ceritanya masing-masing,

salah satu yang pernah kumasuki adalah kuil yang di dalamnya

tersimpan sejarah bela diri khas Cina, Wushu, di mana terdapat benda-

benda yang berhubungan erat dengan bela diri yang dipopulerkan oleh

aktor legendaris Bruce Lee. Masih banyak bangunan dengan segudang

sejarah yang membuatku harus menghabiskan seharian penuh untuk

menjelajahinya, seperti gedung pertunjukan, air terjun, Children Park,

dan Imperial Park.

Di sebelah Timur, jika berjalan lurus dari Kuil Wushu, terdapat

gedung pertunjukan seperti wayang. Wayang itu menceritakan tentang

Page 233: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 214

ketulusan dan kesombongan seekor serigala dan seorang sarjana tua

sebagai tokohnya. Berlatar kehidupan Cina zaman kerajaan, pertunjukan

itu banyak mengundang tawa, namun tak pernah menghilangkan

maksud dan pesan yang dibawanya. Pertunjukan berlangsung sekitar 15

menit. Aku keluar dari gedung itu sambil tersenyum dengan uap hangat

mengepul dari mulutku. Lingnan Impression terletak di samping sungai

yang membentang dari Selatan hingga Utara Cina, sungai indah, besar

dan bersih. Sungai paling bersih yang pernah kutemui. Suhu hari itu juga

cukup ekstrem namun Guangzhou tak pernah mendapatkan salju. Ketika

menolehkan kepala ke kiri, aku langsung melihat dinding air yang jatuh

berirama menimpa genangan air di bawahnya.

Lingnan Waterfall adalah air terjun buatan setinggi 2 meter yang

didesain bertingkat. Air dari sumbernya jatuh pertama pada tingkat

pertama yang kira-kira berjarak setengah meter dari puncak, lalu

mengalir jatuh ke tingkat selanjutnya. Di bawahnya, ada kolam ikan

besar yang hanya diisi oleh satu jenis ikan, ikan koi. Konon, ikan koi

Page 234: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 215

adalah simbol keberuntungan bagi masyarakat Cina. Pada zaman

dahulu, ikan koi hanya terdapat di kolam-kolam kerajaan Tiongkok.

Dipercaya, jika banyak ikan mendekat saat kita berada di sekitar kolam

ikan Lingnan Impression, maka keberuntungan akan selalu menyertai

kita. Semakin besar ikan yang datang, semakin besar pula

keberuntungan yang kita miliki. Semakin banyak ikan mendekat, maka

seperti itu pula keberuntungan akan mendekati kita.

Dari Lingnan Impression Waterfall, aku melanjutkan perjalanan

menaiki ratusan anak tangga menuju suatu tempat, yang dari bawah

terlihat begitu menyenangkan. Lelah, aku berhenti sejenak di tengah

tangga. Masih puluhan anak tangga lagi menuju puncak Lingnan. Dari

tangga itu, aku bisa melihat setengah kota Guangzhou yang sebagian

besarnya adalah bangunan-bangunan besar pencakar langit. Kebanyakan

adalah apartemen, yah, Guangzhou adalah salah satu kota besar selain

Beijing, Shanghai, Wuhan, dan masih banyak lagi yang berkembang

pesat pembangunannya. Umumnya, Guangzhou terkenal dengan produk

Page 235: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 216

fesyennya. Banyak pengusaha dari Indonesia yang membeli barang-

barang untuk dijual. Kembali ke Lingnan, sepertinya sudah cukup untuk

beristirahat. Aku kembali melanjutkan perjalanan, menapaki sisa anak

tangga di depanku. Puncak Lingnan Impression berada di tengah-tengah,

yang artinya, setelah turun nanti akan ada suguhan menyenangkan lagi

dari tempat yang selalu ramai ini. Di atas, lebih dalam, tepat di tengah-

tengah Lingnan Impression terdapat Children Park. Seperti namanya, itu

adalah taman untuk anak-anak. Banyak juga keluarga yang berpiknik di

sana. Memang, namanya sangat biasa. Bahkan rasanya seluruh dunia

punya taman untuk anak-anak. Semua boleh terdengar biasa, namun

sebenarnya, Children Park di Lingnan berbeda. Semua permainan yang

terdapat di taman itu berdasar pada sejarah. Sambil duduk beristirahat

sejenak di bawah pohon kecil di dekat taman, aku melihat sekelompok

anak memainkan permainan tradisional Guangzhou. Bahkan dengan

permainan sesederhana itu, mereka bisa tertawa bahagia. Dari mereka

aku belajar, resep rahasia bahagia adalah kebersamaan, bukan

Page 236: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 217

pencapaian yang kau raih sendirian.

Setelah cukup beristirahat di Children Park, aku melanjutkan

penjelajahan Lingnan. Melihat-lihat botanical garden yang isinya segala

jenis tanaman obat di Guangzhou, berjalan dengan hati berdebar di

antara kebun bambu yang tingginya bagaikan menyentuh langit, dan

terhenti di Imperial Park. Berada di ujung wilayah Lingnan Impression,

Imperial Park benar-benar membuat siapa pun tidak ingin menyudahi

perjalanannya di Lingnan. Di salah satu sudutnya terdapat barisan kain

berwarna-warni yang digantung pada bambu yang berbaris-baris. Seperti

tirai raksasa yang menari-nari saat tertiup angin. Sesuai namanya,

taman ini memberi kesan seakan-akan aku berada pada zaman Dinasti

Qing. Apalagi ditambah dengan alunan musik khas Cina yang mendayu

dan terasa kental dengan sejarahnya. Pihak pengelola Lingnan

Impression menyulap batu-batu berukuran sedang menjadi speaker,

membuatku semakin yakin bahwa Lingnan Impression adalah satu dari

sekian banyak surga kecil budaya Cina di Guangzhou.

Page 237: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 218

Keseriusan pemerintah dan sikap masyarakat Cina dalam

membangun dan melestarikan budaya mereka benar-benar membuatku

iri. Walaupun saat itu adalah hari kerja, tak jarang kulihat para keluarga

yang menghabiskan waktu bersama atau bahkan seorang ibu yang

dengan telaten menjelaskan kepada anaknya tentang barang-barang

bersejarah di dalam kuil maupun setiap sudut, bentuk, dan sisi Lingnan.

Ah, kapan Indonesia bisa seperti itu? Bagaimana mereka bisa

menjadikan budaya sebagai bagian dari diri mereka? Dengan negara dan

tentu saja sejarah yang sangat besar itu, mengapa mereka mampu

mengingat itu semua? Dan, kapan aku bisa ke sana lagi, untuk berguru

kepada nilai budaya yang mereka miliki sejak kecil? Membayangkan

Indonesia menjadi negara yang tiap individunya berjiwa budaya seperti

masyarakat Cina membuatku tersenyum sendiri, karena yang aku tahu,

bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Persis

seperti apa yang dikatakan guru-guruku. Memiliki kesempatan untuk

berkunjung ke Cina adalah anugerah yang sangat indah dan bermakna

Page 238: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 219

dari Allah, karena sejak kali pertama menginjakkan kaki di tanah

Tiongkok, akhirnya aku mengerti dengan sangat maksud Rasulullah atas

sabdanya yang menganjurkan kita untuk menuntut ilmu hingga ke negeri

Cina, karena setiap sudut dan sisi negeri Cina selalu memberikan kita

petuah, pengetahuan, dan pelajaran baru yang takkan pernah terlupakan.

Alhamdulillah.

Page 239: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 220

Wanita Tua Pedagang Minuman

(Lidiya R)

"Duh, panasnya...." Sambil menyeka keringat, kulanjutkan langkahku

mencari tempat menunggu di siang itu. Nampak sebuah pohon mangga

yang cukup rindang berdiri tegak di dekat kursi taman. Kudekati dan

istirahatlah aku di sana. Lama menunggu, seorang teman yang semalam

meneleponku tak juga datang. Padahal, sengaja tadi pagi aku minta di

antar ke tempat les agar bisa bertemu dan pulang bersama dengannya.

Jadwal kursusku telah usai setengah jam lalu. Tapi dia tetap saja belum

datang. Ku-SMS berkali-kali jawabannya tetap sama,

Sebentar, aku masih di jalan.

Tak jauh dari lokasi aku duduk, terlihat seorang wanita tua berbaju

lusuh, tanpa mengenakan alas kaki menawarkan dagangannya pada

orang-orang yang berlalu lalang di dekat taman. Wanita itu

menggendong kotak berisi minuman dan permen serta membawa

keranjang yang sepertinya berisi kue, gorengan, atau makanan lainnya.

Page 240: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 221

Sesekali ia terlihat menyeka keringat yang bercucuran di dahi. Panasnya

sinar mentari seakan jelas telah membakar tubuhnya. Wanita itu

terlihat sangat lelah berdiri di sana dari tadi, tanpa ada satu pun

dagangannya yang terjual. Meski begitu, ia masih saja terus menjajakan

dagangannya pada orang-orang yang berlalu-lalang.

Satu jam kemudian, kulihat wanita tua itu mencari-cari tempat

beristirahat. Hingga akhirnya, ia menoleh pada bangku panjang tempat

aku duduk. Lalu tersenyumlah aku, dan kugeser posisi dudukku.

“Bangku ini kosong, Mbak?” tanyanya padaku.

“Iya, Bu, silakan.”

“Mbak nunggu temen, ya?”

“Iya, Bu,” sambil tersenyum kujawab pertanyaannya.

Sejam menunggu, membuat kerongkonganku terasa kering. Seakan

tahu apa yang aku pikirkan, wanita tua itu memberiku sebotol air

mineral.

“Mbak haus, ya? Ini ibu punya minuman.”

Page 241: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 222

Sambil tersenyum kuterima minuman itu, “Makasih ya, Bu.”

Langsung saja kuteguk hingga setengah. “Ibu jualan di sini dari jam

berapa tadi?” Penasaranku tak dapat kubendung.

Sambil tersenyum ramah ia menjawab, “Ibu jualan sejak jam tujuh

pagi.”

Kulirik sebuah keranjang yang diletakkan di sampingnya, “Keranjang

itu isinya apa ya, Bu?” Aku masih terus penasaran.

“Ini ada kue, Mbak. Ada donat, lemper, ada kue lainnya juga, Mbak.

Mbak mau beli?”

“Boleh, mau donat aja, Bu, dua,”

“Iya, ini.” Diserahkannya sekantong keresek hitam berisi dua buah

donat yang langsung aku bayar dengan selembar sepuluh ribu. Namun

karena dia tidak memiliki kembalian untuk donat yang hanya seharga

tiga ribu itu, dikarenakan seharian ini belum ada dagangan laku,

kuserahkan saja semua meski ibu itu sempat bingung sejenak.

“Makasih ya, Mbak,” terlihat segaris senyum bahagia tergambar di

Page 242: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 223

wajahnya.

10 menit berlalu, sudah kulahap habis kedua donat dan air mineral

yang kubeli tadi, temanku tak juga datang. Terik tak hanya buatku

dehidrasi tapi juga membuat perutku lapar rupanya. Tak lama setelah

itu, ibu penjual minuman beranjak dari tempatnya.

“Mari, Mbak,” pamitnya.

“Oh, iya, Bu.”

Ibu penjual minuman itu berlalu. Kulihat ia mendekati seorang anak

laki-laki yang sedang menangis di dekat trotoar. Anak itu terlihat sangat

lemas, sambil memegangi perutnya.

“Kenapa, Nak?” tanya wanita tua tadi.

“Lapaar... huuu... huuu....” anak itu masih saja menangis.

“Ini, ibu punya uang....” disodorkannya uang sepuluh ribu yang tadi

kuberi.

"Ini juga ada kue, makan, ya?" diberikannya juga sekantong keresek

kue pada anak itu.

Page 243: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 224

Anak laki-laki itu tak lagi menangis. Ia terdiam dan melihat wajah

wanita di hadapannya dengan tatapan heran.

“Udah, ini ambil aja. Ibu ikhlas, kok.” Yang ditatap malah melempar

senyuman. Lalu ia pergi.

“Makasih ya, Bu!” kata anak itu setengah berteriak.

Wanita itu hanya menoleh, mengangguk, lalu sekali lagi tersenyum.

Terlihat sekali anak laki-laki itu sangat gembira. Senyum yang cukup

lebar terlihat menghiasi wajahnya yang tak lagi murung. Melihat

kejadian barusan, membuat hatiku terenyuh. Ibu pedagang tak ragu

memberikan satu-satunya uang hasil berjualannya pada anak kecil tadi.

Tahu begitu, akan kuberi uang lebih tadi. Tak kusangka seorang

wanita yang masih serba kekurangan masih bisa bersedekah. Padahal

kutahu bahwa ia pun juga masih membutuhkan uang itu untuk

kebutuhannya. Namun, ia tak ragu memberikan apa yang ia punya

kepada yang lebih membutuhkan. Malu rasanya aku yang hidup serba

tercukupi ini masih saja merasa kekurangan dan memunyai rasa apatis

Page 244: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 225

pada sesama yang kurang beruntung.

“Hei, kamu di sini ternyata!” Suara temanku membuyarkan

renunganku seketika.

“Aku muter-muter taman nyariin kamu lo dari tadi.” Dengan napas

terengah ia berjalan mendekatiku.

“Eh kamu, lama e, seh? Sejam lebih lo aku nunggu kamu di sini,”

omelku.

“Iya maaf. Macet lo tadi,” katanya dengan wajah memelas seakan

berharap aku memaafkan keterlambatannya.

“Yawes lah, ayo kalo gitu! Keburu sore,” ajakku.

“Iya, Ayo!”

Page 245: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 226

Awas Begal!!!

(NHO)

Akhir-akhir ini, kejadian pencurian motor atau “begal” mulai marak.

Banyak pengendara motor yang menjadi korban dan tidak sedikit mereka

yang meregang nyawa demi mempertahankan sepeda motor mereka

agar tidak dibegal. Sasaran para begal ini pun tidak pandang bulu, dari

orang tua sampai para remaja, terutama mereka yang mengendarai

motor sendirian. Hal ini membuat masyarakat merasa was-was setiap

pergi ke suatu tempat, entah itu sendirian atau dengan orang lain. Para

begal ini, ketika sedang menjalankan aksinya, tidak segan untuk

melukai bahkan membunuh si korban. Berita-berita tentang korban

begal pun semakin marak dijumpai di koran, televisi, dan internet. Masa

yang geram dengan para pembegal menuntut hukuman yang berat bagi

pembegal yang tertangkap. Dan baru-baru ini, ada seorang begal

tertangkap masa yang kemudian dibakar hidup-hidup. Pada awalnya,

saya tidak percaya dengan berita tersebut. Namun ketika saya asyik

Page 246: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 227

ber-facebook ria, salah satu teman saya men-share video dari Youtube,

tentang seorang begal yang dibakar hidup-hidup. Di saat itulah saya baru

mempercayai berita tentang pembakaran si begal. Sebenarnya saya

penasaran dengan video itu, tetapi saya takut untuk melihatnya. Video

tersebut bahkan sampai menjadi trending topic di internet.

Beberapa hari setelah peristiwa pembakaran si pembegal, ada satu

kejadian yang membuat saya semakin was-was dengan para begal ini.

Sore itu, sekitar pukul 4 sore, saya dan teman sekamar saya, Farah,

sedang asyik berkutat dengan laptop kami masing-masing. Kebetulan

kami kos di daerah dekat kampus sehingga wajar jika kos kami selalu

ramai, terutama di sore hari. Masjid yang ada di depan kos terlihat ramai

dengan anak-anak yang datang mengaji. Warung di ujung gang juga

ramai karena banyak mahasiswa yang mangkal di sana sekadar untuk

mencari wifi gratis. Saya yang baru saja pulang dari kampus sedang

duduk santai sembari membaca salah satu koleksi novel e-book.

Tiba-tiba saja, terdengar suara motor ngebut dari kejauhan, seperti

Page 247: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 228

sedang kejar-kejaran.

“Maling!! Maling!! Maling!!!”

Teriakan orang-orang membuat kami kaget. Saya dan Farah saling

memandang, bingung.

“Maling???” saya bertanya pada Farah.

Kemudian Farah bergegas ke balkon kamar yang langsung

menghadap ke gang. Saya pun menyusulnya. Di luar sudah banyak orang

berkerumun. Anak-anak yang sedang mengaji pun berbondong-bondong

ikut keluar. Beberapa sepeda motor dari arah kampus mulai

bermunculan. Mereka ngebut mengejar si maling.

“Maling e nggawe klambi ireng. Iku merono,” kata salah satu warga.

“Malingnya pakai baju hitam. Itu ke sana.”

Saya dan Farah yang melihat dari atas balkon kamar shocked. Kami

berdua speechless. Jantung saya berdegup kencang. Selama hampir 2

tahun di Surabaya, ini kali pertamanya saya melihat kejar-kejaran

maling. Keesokan hari, saya tahu dari teman saya sepeda yang dicuri

Page 248: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 229

tersebut adalah milik salah satu mahasiswa FBS. Ini hanya opini saya

saja, mungkin sepeda motor tersebut milik salah satu mahasiswa Seni

karena banyak dari mereka yang tidak memarkir sepeda motornya di

tempat parkir berpenjaga. Beberapa dari mereka lebih suka memarkir

sepeda di lahan yang ada di sebelah gedung fakultas mereka. Tidak

hanya mahasiswa Seni saja, tetapi mahasiswa jurusan lain, seperti

jurusan bahasa Inggris misalnya, memilih untuk memarkir sepeda motor

mereka di sebelah gedung T8. Tidak banyak yang tahu bahwa sepeda

motor yang diparkir di tempat tersebut akan dikempesi ban sepedanya

oleh seorang ibu yang biasa membersihkan gedung T8 agar tidak parkir

di lahan tersebut. Nah, tempat-tempat seperti inilah yang menjadi

incaran empuk para pencuri sepeda.

Saking maraknya pembegalan, teman-teman saya banyak yang

mem-broadcast di BBM untuk berhati-hati jika sedang bepergian dengan

motor. Jujur, broadcast seperti itu malah membuat saya semakin takut

untuk keluar. Saya juga khawatir dengan kakak saya yang sering pulang

Page 249: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 230

malam karena harus bekerja. Hampir tiap hari, kakak saya pulang

sekitar pukul 23 malam. Meskipun jarak rumah dengan tempat kerjanya

tidak terlalu jauh dan situasi daerah rumah saya masih terbilang cukup

ramai karena beberapa warung kopi yang masih buka hingga dini hari,

saya tetap saja takut sesuatu terjadi pada kakak saya karena

pembegalan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.

Tidak hanya begal yang perlu diwaspadai, tetapi juga pencuri yang

biasanya masuk ke rumah-rumah. Sasaran mereka adalah rumah-rumah

yang ditinggal keluar pemiliknya. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu,

ibu saya memberitahu bahwa tetangga kami, hampir saja kemalingan.

Dari saksi mata yang melihat peristiwa tersebut, ada 4 orang pelaku. 2

orang menunggu di depan rumah dan 2 orang memasuki rumah. Baru

saja si pelaku masuk, tetangga saya si pemilik rumah, Pak Mat, pulang

dari pasar. Saksi mata memberi tahu bahwa Pak Mat kedatangan tamu

yang ternyata adalah pencuri. Sepertinya, pencuri yang masuk ke dalam

rumah mengetahui bahwa Pak Mat sudah datang. Sontak mereka

Page 250: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 231

bergegas keluar rumah dan kabur dengan temannya yang menunggu di

luar. Pak Mat yang kaget berusaha untuk mengejar mereka tetapi

mereka berhasil kabur. Ketika Pak Mat mengecek barang-barang apa

saja yang hilang, alhamdulillah, ternyata tidak ada satupun barang yang

hilang. Sepertinya, para pencuri belum sempat.

Masuknya pencuri ke rumah Pak Mat membuat ibu saya khawatir.

Pintu rumah saya yang biasanya dibiarkan terbuka, kini selalu ditutup

meskipun sekadar ditinggal menjemur baju di sebelah rumah. Kakak

saya yang biasa memarkir sepeda di luar pagar, sekarang diparkir di

teras rumah, tersembunyi di balik pohon. Pintu rumah yang biasanya

dikunci hanya jika ditinggal keluar, sekarang selalu dikunci meskipun

ada saya di ruang tamu. Bisa dibilang, kami sekarang parno sendiri.

Ya bagaimana tidak parno kalau para pencuri dan para pembegal

berkeliaran. Tiap hari selalu tidak tenang saat harus keluar rumah. Para

pencuri dan pembegal bisa datang kapan saja. Membayangkannya saja

saya sudah merinding. Apalagi kalau saya sedang dalam perjalanan

Page 251: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 232

kembali ke Surabaya dan harus naik angkot. Perjalanan selama 3 jam

terasa sangat lama dan menakutkan bagi saya. Orang tua saya selalu

mewanti-wanti agar saya berhati-hati di perjalanan, mengingat ayah

saya pernah kecopetan ketika bepergian ke Surabaya.

Peristiwa-peristiwa seperti ini membuat saya semakin berhati-hati,

terutama saat bepergian. Tidak hanya saya, tetapi Anda juga harus

berhati-hati. Ada baiknya jika kita membekali diri dengan peralatan anti

kejahatan seperti alat penyengat listrik dan pepper spray yang banyak

dijual di toko-toko. Dan yang terpenting kita harus selalu waspada

seperti yang Bang Napi bilang, “Kejahatan bisa terjadi bukan hanya

karena ada niat si pelaku, tapi juga karena ada kesempatan.

Waspadalah! Waspadalah!!!”

Page 252: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 233

Tokoh Inspirasiku

(Ravensca A)

Kali pertama mendengar nama Mario Teguh, saya sudah mengetahui

bahwa beliau adalah seorang motivator. Gelar sarjana pertamanya

didapat dari IKIP Malang. Pendidikannya tidak hanya dilakukan di IKIP

Malang, akan tetapi beliau juga belajar di perguruan tinggi yang ada di

luar negeri yaitu Sophia University yang terdapat di Tokyo. Jurusan yang

diambil yaitu International Bussines. Tidak hanya itu, beliau juga

bersekolah di Indiana University, Amerika Serikat, pada tahun 1983.

Pengalaman yang dimilikinya memang sangat luas. Tak heran jika beliau

mampu menjadi seorang motivator handal seperti saat ini.

Pria yang terkenal dengan istilah “salam super” ini berasal dari

masa kecil sederhana dan jatuh bangun dalam kehidupan hingga

menjadi seorang motivator nomor satu di Indonesia. Mario

menghabiskan masa kecilnya di kabupaten Sidrap yang berjarak sekitar

170 km dari kota Makassar. Beliau bertemu dengan sosok tambatan

Page 253: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 234

hati wanita keturunan Arab-Bugis yang bernama Linna. Mereka melewati

masa pendekatan selama 2 bulan dan kemudian menikah pada 28

Januari 1993. Kehidupan awal pernikahan motivator ini tidak berjalan

mulus. Beliau memutuskan untuk berhenti dari jabatannya sebagai Vice

President Marketing and Organization Development di Aspac Bank pada

usia 37 tahun, tepat pada masa-masa awal pernikahan mereka. Namun

karena relasi yang luas dan memiliki kemampuan sebagai motivator,

keluarga kecil ini dapat bangkit dari keterpurukan. Kini pasangan

inspiratif ini dikaruniai 2 orang putra dan putri, Audrey Teguh dan Marco

Teguh. Audrey tinggal di Sidney, Australia, karena harus melanjutkan

sekolahnya disana, sedangkan Marco tinggal di Jakarta.

Banyak teman-teman saya yang juga sering membicarakan nama

orang yang lahir di Makasar pada 5 Maret 1956 ini. Mereka mengatakan

bahwa hampir semua kalimat bijaknya sesuai dengan kenyataan yang

ada dalam kehidupan sehari-hari. Saya penasaran dan ingin

membuktikan apa yang sudah saya dengar dari teman-teman saya.

Page 254: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 235

Kemudian saya mulai menonton acara televisi bertajuk Golden Ways

yang ditayangkan setiap akhir pekan di MetroTV. Saya mengikuti acara

tersebut karena saya ingin mengetahui lebih banyak mengenai isi dari

ceramah yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki nama asli Sis

Maryono Teguh ini. Setelah mengikuti acara tersebut cukup lama, saya

baru merasakan bahwa yang sering dibicarakan teman-teman saya itu

memanglah benar. Saya merasa bahwa apa yang disampaikan oleh pria

ini bisa diterima dan cocok dengan logika yang ada.

Mario Teguh menggunakan banyak referensi untuk menyampaikan

setiap ceramah yang diberikan olehnya. Tidak hanya bacaan psikologi,

namun beliau juga menggunakan referensi budaya lokal dan agama.

Beliau menjadi motivator tanpa menyinggung agama tertentu agar bisa

merangkul semua kalangan. Sebagaimana yang kita ketahui, sebagai

seorang motivator, Mario Teguh berbeda dengan motivator-motivator

Indonesia lainnya yang lebih banyak berbicara tentang bisnis,

kesuksesan, ataupun kekayaan. Namun Mario Teguh tidak hanya

Page 255: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 236

memfokuskan tentang kesuksesan hidup saja, beliau juga

memperhatikan permasalahan-permasalahan di berbagai bidang,

menariknya adalah beliau fokus membahas permasalahan-permasalahan

remaja khususnya permasalahan cinta.

Beliau pernah berkata, “Jika engkau mencintainya, engkau akan juga

menerima masa lalunya, sebagaimana engkau tak akan berbahagia jika

engkau tak berdamai dengan masa lalumu.” Memang tak gampang

mencintai seseorang yang memiliki masa lalu yang tidak berkenan bagi

kita, namun saat Anda memutuskan mencintainya saat itu pulalah Anda

harus juga menerima masa lalunya yang tak akan diungkit-ungkit lagi di

kemudian hari. Segala tindakan ada konsekuensi dan segala keputusan

ada komitmennya. Kepopuleran Mario tidak lepas dari berbagai kata-

kata bijak yang dikeluarkan yang membuat orang takjub mendengarnya.

Dalam karirnya sebagai motivator dan konsultan, salah satu formula

yang digunakan oleh Mario Teguh yaitu teori Emotional Quotient yang

lebih dulu diperkenalkan oleh Daniel Goleman yang kemudian

Page 256: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 237

disesuaikan menjadi Emotional Inteligent atau kecerdasan emosi.

Beliau juga lebih banyak melakukan pendekatan melalui ilmu kejiwaan

menurut agama seperti tasawuf dan pengendalian amarah (ghadab)

atau yang lebih dikenal dengan istilah Anger Management daripada Ilmu

Kejiwaan Barat karena menurutnya lebih cocok untuk diterapkan pada

masyarakat Indonesia yang sifatnya plural sehingga lebih mudah

diterima oleh semua kalangan dan golongan. Mungkin itulah salah satu

rahasia kesuksesannya yang membawa Mario Teguh sebagai motivator

dengan bayaran termahal di Indonesia.

Menjadi seorang motivator tentu saja dituntut untuk dapat selalu

memberikan motivasi maupun konsultasi dalam berbagai bentuk apapun

demi menjawab banyaknya pertanyaan dari masyarakat. Menaggapi hal

tersebut Mario Teguh membentuk sebuah komunitas bernama Mario

Teguh Super Club (MTSC). Bahkan sebelum terkenal dengan acara

Golden Ways, beliau sempat memandu acara dengan tajuk Bussines Art

di O’ Channel, sebuah stasiun televisi lokal dengan fokus siaran di area

Page 257: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 238

Jabodetabek. Tidak hanya di situ saja, berdasarkan beberapa sumber,

banyak buku karangannya yang telah beredar, di antaranya Becoming a

Star (2006), One Million Second Changes (2006), Life changer (2009),

dan Leadership Golden Ways (2009). Oleh karena itu, tak heran jika

Mario Teguh mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia

sebanyak dua kali yaitu sebagai penyelenggara seminar berhadiah mobil

pertama di Indonesia pada tahun 2003 dan sebagai motivator dengan

Facebook fans terbesar di dunia pada tahun 2010. Banyak sekali

biografi Mario Teguh bermunculan di media internet sejak saat itu.

Beliau juga terpilih menjadi salah satu dari 8 tokoh perubahan 2009

versi surat kabar Republika.

Mario Teguh memiliki tips yang banyak diterapkan oleh para

pecintanya. “Semua keberhasilan dan kegagalan seseorang itu berasal

dari masing-masing orang tersebut, memulai suatu usaha apa pun harus

dimulai dari sikap dan cara berpikir kita dalam menanggapi berbagai

situasi yang akan ditemui dalam mengarungi kerasnya kehidupan ini.

Page 258: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 239

Kita semua ini adalah orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan,

tinggal bagaimana kita mengoptimalkan potensi kelebihan kita dan

meminimalkan kekurangan kita, karena keseimbangan di semua unsur

kita adalah kunci sukses yang akan kita raih. Kita bukan harus berhasil,

bukan harus sukses, tapi kita harus mencoba untuk sukses tanpa kenal

lelah dan kata menyerah, karena kegagalan adalah jenjang untuk sebuah

kesuksesan bukan harus ditangisi dan disesali,” begitulah katanya.

Mario Teguh memiliki segudang pengetahuan dan kata bijak yang

akan selalu diberikan kepada orang lain. Beliau selalu mampu memberi

saran dan nasihat yang sesuai dengan masalah yang dialami orang

tersebut. Hampir semua orang yang pernah berkonsultasi atau

mendengar ceramahnya di televisi telah mendapat solusi dan cara

bagaimana menyikapi setiap masalah yang ada. Sekarang saya juga

merasakan dampak yang dialami orang di sekitar saya. Mereka

mangatakan bahwa mereka merasa lebih tenang setelah mendengar apa

yang diucapkan oleh Mario Teguh dalam acara televisi yang selalu

Page 259: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 240

dinantikan oleh para penggemarnya itu. Ada banyak saran yang diberikan

olehnya dan beberapa di antaranya sesuai dengan apa yang saya alami.

Saya berharap agar beliau selalu bisa menjadi motivator nomor satu

bagi banyak orang. Saya juga akan belajar darinya untuk dapat memberi

saran yang baik kepada orang di sekitar saya agar suatu saat nanti saya

bisa menjadi motivator bagi orang lain.

Page 260: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 241

Kisah Hidup OSD

(Zainiyah N)

Menurutku jilbab adalah kain penutup seluruh tubuh kecuali wajah

dan tangan yang dikenakan muslimah sebagai kewajibannya untuk

menutup aurat agar mudah dikenali identitasnya dan tidak diganggu. Di

zaman sekarang, khususnya di Indonesia, sudah mulai banyak muslimah

yang memutuskan untuk berjilbab dan bahkan tidak ada tantangan

berarti, beda ketika di zaman era 80-an, mereka yang berjilbab cukup

mendapat banyak penolakan di sana-sini di antaranya, tidak boleh

bersekolah ke luar negeri, sebagian dari mereka ada yang dimaki-maki

dan diusir orangtua sendiri, ada yang dibotaki kepalanya, dibakar

jilbabnya, dan sampai harus berurusan dengan pengadilan karena

pelarangan berjilbab saat itu.

Oki Setiana Dewi (OSD) adalah aktris muda pendatang baru yang

namanya melejit bak roket karena berhasil memerankan Anna

Althafunnisa dalam film fenomenal karya Chaerul Umam, Ketika Cinta

Page 261: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 242

bertasbih, film yang diangkat dari sebuah novel karya Habiburrahman El-

Shirazy. Siapa yang menyangka bahwa jalan hidupnya begitu berliku

hingga bisa mencapai titik karir kesuksesan seperti saat ini.

Berawal dari hobi menuliskan setiap episode dari adegan kehidupan

yang dilalui Oki kecil, remaja hingga dewasa inilah yang

menginspirasinya untuk mengabadikan catatan hatinya menjadi sebuah

buku diterbitkan oleh Mizania. Di buku setebal 347 halaman ini, seorang

Oki dengan sangat tulus berbagi tentang kisah hidupnya, tentang masa

kecilnya di Batam, tentang keinginan besarnya ingin menjadi seorang

aktris terkenal suatu hari nanti, kegigihannya menjalani kehidupan di

Jakarta, impian-impiannya yang tertulis rapi dalam diary lengkap dengan

catatan daftar impian diawali dengan kalimat I will… dan tidak lupa

kalimat how to get it…, sampai pada sebuah titik balik hidupnya yakni

bernazar untuk mengenakan jilbab demi kesembuhan sang ibunda

tercinta. Semua itu diungkap dengan sangat jujur dan terbuka.

Buku dengan judul Melukis Pelangi yang merupakan buku

Page 262: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 243

autobiografi Oki Setiana Dewi sangat sesuai dengan isi perjalan

hidupnya yang ia torehkan ke dalam sebuah buku. Buku ini merupakan

buku perdana OSD yang sekaligus langsung menjadi best-seller di

kancah perbukuan saat ini. Kisahnya sejak masa kecil, perjuangannya

untuk istiqomah berjilbab, melerakan mimpinya di jalan Allah, hingga

akhrinya mendapat hadiah spesial dari Allah, memainkan film KCB dan

mendapat penghargaan AMI dua kategori sekaligus, sebagai aktris

terfavorit dan aktris terbaik.

Sesuai dengan judulnya, yakni Melukis Pelangi, pelangi identik

dengan warna-warni yang membuat mata sedap memandangnya, namun

yang pesonanya pelangi tidak akan muncul jika tidak didahului langit

mendung kemudian hujan yang turun satu-satu menghujam bumi.

Bagi seorang Oki, ia sudah melukis pelangi sejak jauh-jauh hari,

keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang aktris, untuk itu dari jauh

hari pula ia men-setting rencana hidupnya ke arah yang mendekatkan ia

pada cita-cita, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menjadi seorang

Page 263: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 244

aktris. Ia mulai karirnya di Batam sebagai seorang model, serta

mengumpulkan modal agar bisa merantau ke Jakarta dan bisa lebih

mendekatkan ia pada impiannya semula.

Saya juga belajar dari kisah hidupnya bahwa disiplin, mandiri, kerja

keras, dan kerja cerdas adalah modal dasar untuk sukses dan itu pula

yang dirasakan Oki saat merantau ke Jakarta dengan berbagai suka

dukanya. Walaupun begitu, kasih sayang keluarga yang proporsional

tetap menjadikannya seseorang yang tetap pada koridor seorang anak

yang masih bisa diberi kepercayaan, sehingga tidak ada waktu bagi

seorang Oki remaja untuk menyalahgunakan kepercayaan orang tuanya

ketika mengungkapkan niat awal hijrah ke Jakarta.

Orang-orang berkata bahwa kalau Oki berjilbab maka dia tidak akan

bisa jadi aktris, tapi Oki yakin bahwa dirinya tidak seperti apa yang

mereka katakan. Berawal dari musibah ibunda Oki sakit parah dan Oki

mendapatkan hidayah berjilbab melalui mimpi itulah yang membuatnya

mengambil keputusan besar dalam hidupnya yakni berjilbab. Jika

Page 264: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 245

berjilbab itu berarti tawaran untuk menjadi aktris akan hilang begitu

saja dan itu sempat dirasakan oleh Oki di tahun-tahun pertamanya

berjilbab, namun dengan segenap kepasrahan dan keyakinan bahwa

Allah Maha Pemberi Rezeki yang tidak disangka-sangka yang

membawanya kepada audisi mencari bintang film untuk bermain di film

Ketika Cinta Bertasbih. Peristiwa penting inilah yang mengubah

hidupnya seketika, Oki ingin membuktikan kepada orang yang dulu

menolaknya bahwa dengan berjilbab, Oki tidak akan pernah bisa jadi

apa-apa, dan kini Oki membuktikannya.

Yang terpenting dalam kisah ini yaitu husnuzan-nya pada Allah dan

istiqomah-nya dijalan Allah. Proses berhijabnya pun sangat ia syukuri.

Karena baginya berjilbab adalah sesuatu yang istimewa dengan

menutup semua lekukan dan bentuk tubuh wanita. Sebelum ia mau

dihormati oleh orang lain, ia pun menghormati dirinya terlebih dulu

dengan menutup semua tubuhnya dengan busana muslimah. Baginya

berjilbab dan berbusana muslimah seperti seorang muslim yang di dalam

Page 265: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 246

etalase cantik yang selalu terjaga, bukan di pinggiran jalan yang dapat

diganggu oleh siapa saja.

OSD mampu menjadi seorang penulis best-seller sekaligus menjadi

the best inspirator untuk generasi muda. Menjadikan pembaca kembali

bercermin untuk bersigap memperbaiki diri.

Page 266: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 247

Mas Akbar

(Nur L)

Minggu sore itu, setelah hujan deras mengguyur wilayah Menganti

dan sekitarnya, aku duduk di depan rumahku sambil melihat mas Akbar

yang sedang menyiapkan dagangan bubur kacang hijaunya. Aku

perhatikan betapa repotnya dia membereskan gerobak yang telah

diguyur oleh hujan. Ya, dia memang seorang pekerja keras. Aku biasa

memanggilnya, “Mas Akbar.” Dia adalah seorang mahasiswa Universitas

Surabaya jurusan Ilmu Keolahragaan. Mahasiswa semester 6 itu dengan

telatennya membersihkan serta menyiapkan dagangan secepat mungkin

karena mungkin waktu sudah menunjukkan pukul 5.30, biasanya mas

Akbar sudah buka mulai pukul 4 dan sudah mendapatkan pelanggan.

Namun sore itu, aku perhatikan gerobaknya sepi belum terlihat ada

pelanggan yang mampir, mungkin karena gerimis masih turun yang

membuat orang-orang malas keluar dari rumah. Aku yang melihatnya

dari kejauhan merasa sedih dan iba, akhirnya aku memutuskan untuk

Page 267: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 248

membeli semangkuk bubur kacang hijau hangat rasa coklat.

“Mas Akbar, beli dong buburnya, kayaknya enak nih hujan-hujan beli

yang hangat hangat, hehe,” godaku.

“Hehe iya, Mbak mau rasa apa? Original apa coklat?” tanyanya.

“Coklat aja deh, Mas, lebih mantap, hehe.”

Sembari ia mengambilkan pesananku aku mencoba memulai

pembicaraan, “Deres banget ya, Mas, hujannya sampai sekarang belum

reda juga.”

“Iya, Mbak, gini ini yang buat orang-orang malas keluar rumah. Hehe.”

“Iya sih, Mas, hujan-hujan gini emang enaknya di dalem rumah.”

“Jam segini saja baru dapet pelanggan satu, Mbak. Tapi gak papa,

alhamdulilah masih ada yang beli,” jawabnya.

“Nggak papa, Mas, nanti juga inshaallah rame kok kalau uda reda.”

“Iya, Mbak, aamiin, bisa balik modal aja uda alhamdulillah, Mbak,

kalau musim hujan gini.”

“Emangnya Mas Akbar pernah ya sampai gak balik modal?” Tanyaku.

Page 268: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 249

“Pernah mbak akhir-akhir ini sering gak balik modal pernah balik

modal cuman dapat untung lima ribu.”

Seketika aku kaget, padahal aku kira mas Akbar tiap hari pulang

larut malam membawa banyak uang. Dari pembukaan yang didasari

penasaran semata itu ternyata mampu memberiku pengalaman lebih.

Mulai dari mas Akbar bercerita kalau dagangannya tidak habis maka dia

sendiri yang memakan, sampai apa yang dia inginkan setelah lulus nanti.

Mas Akbar sungguh mulia. Usaha kecilnya ini adalah jalan baginya

agar bisa membiayai kuliah tanpa membebani orang tua. Waktu kutanya

apa cita-citanya, kagumku bertambah pada sosok laki-laki yang berdiri

di hadapanku itu.

"Gini, Mbak, saya kan sejak kecil hidup pas-pasan, saya pengen

kedepannya anak-anak saya tidak merasakan apa yang saya rasakan.

Bisa kuliah tanpa memikirkan biaya, bisa merasakan hal-hal yang tidak

bisa saya nikmati saat ini. Dan tentunya saya ingin membahagiakan

orang tua saya, Mbak, mereka yang selalu berusaha agar saya bisa

Page 269: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 250

mengenyam bangku kuliah dan mengubah nasib hidup. Memang hidup itu

keras, Mbak, butuh perjuangan,” paparnya.

Kata-kata yang keluar dari mulut mas Akbar membuatku

termotivasi. Dari situlah hati nuraniku mulai bergerak. Motivasi dalam

dirinya sungguhlah besar untuk mencapai sebuah kesuksesan. Mulai

saat itu aku mulai berusaha memperbaiki nilai-nilai di kampus yang

semester lalu mengalami penurunan drastis. Aku berpikir bahwa hari ini

aku memiliki kehidupan yang tercukupi tinggal kuliah yang rajin tanpa

memikirkan biaya dan aku tidak mau kelak anak-anakku tidak bisa

merasakan kenikmatan yang aku rasakan saat ini. Tidak sanggup

rasanya membayangkan jika anak kita meminta sesuatu namun kita

tidak bisa menurutinya, sedangkan hidupku saat ini serba tercukupi oleh

orang tua. Ya, itulah sedikit cerita dariku yang terinspirasi dari sosok

mahasiswa penjual bubur kacang hijau yang berusaha mengubah

nasibnya.

Page 270: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 251

Penjual Amplop

(Retno W)

Berbicara mengenai hal-hal inspiratif, sebenarnya saya masih ragu

bagian mana dalam hidup saya atau orang mana yang mampu membuat

saya terinspirasi sampai saya menuliskannya di sini. Terlalu banyak

momen indah, mengharukan, menyedihkan, yang terus berlalu lalang

dalam hidup saya namun saya masih ragu apakah momen-momen itu

mampu dijadikan sebagai kisah inspiratif seperti yang diminta.

Dengan sedikit memutar otak ke masa lampau, saya menemukan

satu hal yang akhirnya mampu menjadi kisah inspiratif yang akan saya

tulis. Bukan satu kisah yang kejadiannya saya lihat sendiri sebenarnya,

namun saya membacanya melalui sebuah artikel di salah satu media

sosial.

Ketika membaca artikel ini hati saya langsung terenyuh. Bukan

tentang perjuangan anak kecil hidup sebatang kara, perjuangan anak

untuk orang tua, atau sebagainya, melainkan kejujuran dan sifat yang

Page 271: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 252

ditunjukkan oleh seorang lelaki tua penjual amplop yang membuat dada

saya merasa sesak tiap kali membaca kata demi kata yang disajikan

artikel tersebut.

Bapak Darta namanya. Selama 12 tahun setia menekuni

pekerjaannya untuk menjual amplop. Sebuah amplop, saat membacanya

saya terheran-heran dan bertanya-tanya. Bayangkan saja di jaman serba

modern seperti ini sudah sepastinya orang-orang lebih menyukai hal

instan, surat-menyurat sudah enggan digunakan, amplop pun juga

menjadi barang yang tak seberapa dibutuhkan. Dan bagaimana bisa

Bapak Darta ini menggantungkan hidupnya dengan berjualan amplop?

Saya beberapa kali menghela napas panjang saat membaca artikel

itu. Bukan karena lelah atau malas melainkan karena sesak yang terus

menyeruak. Hati saya bergetar membayangkan perjuangan orang tua

yang menyangga hidupnya dengan berjualan amplop. Berkeliling dari

subuh menjajakan amplop dan hanya mendapatkan untung kurang lebih

tiga puluh ribu tiap harinya.

Page 272: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 253

Bagaimana tangan-tangan keriput itu bergerak, bagaimana kaki-kaki

renta itu bergetar. Ah, saya benar-benar tidak tega untuk

membayangkan. Dan yang lebih membuat saya gigit jari, Bapak Darta

tidak pernah mengeluh atas apa yang ia jalani. Senyuman itu selalu

menghiasi wajah tuanya. Saat diwawancara, Bapak Darta mengaku

enggan untuk meminta-minta karena saat ini ia masih kuat untuk

berjualan. Ia bersyukur karena ia masih bisa makan dan sehat dengan

berjualan amplop itu. Tuhan selalu memberikan jalan untuk orang-orang

yang mau berusaha, katanya.

Seusai membaca artikel tersebut saya memenjamkan mata dan

berpikir baik-baik dalam kesunyian yang terjadi dalam kamar saya.

Terlintas di benak saya, apa bapak ini tidak punya anak atau keluarga

lain yang membantunya? Bukannya bermaksud apa-apa, hanya saja

setiap kali melihat lelaki renta berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya

dan keluarganya membuat saya mengerutkan dahi dan berkedip

beberapa kali untuk menghalau genangan yang hendak pecah dari kedua

Page 273: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 254

mata saya. Kasihan, sungguh. Namun saya coba untuk mengambil sisi

positifnya. Ada dua hal yang saya dapatkan setelah membaca

perjuangan yang dilakukan Bapak Darta. Bersikap jujur dan enggan untuk

meminta-minta.

Satu bungkus amplop yang dijual Pak Darta berisi sepuluh biji dan

itu dijual dengan harga seribu rupiah untuk yang ukuran kecil dan dua

ribu rupiah untuk yang ukuran besar. Dalam satu bungkus Pak Darta

hanya meraup untung dua ratus rupiah saja. Beliau enggan untuk

menaikkan harganya. Bisa dirasakan bagaimana kejujuran menyelimuti

penjualan yang dilakukan oleh Pak Darta.

Selama ini tentu saja kebanyakan manusia hidup untuk

mendapatkan untung bagi dirinya sendiri. Bahkan dalam prinsip ekonomi

pun mengatakan untuk mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan

mendapatkan untung sebesar-besarnya. Setiap pedagang selalu

menaikkan harga untuk mendapat keuntungan yang tinggi demi dirinya

sendiri. Namun tampaknya semua itu tidak berlaku pada Pak Darta.

Page 274: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 255

Beliau dengan kerendahan diri, syukur, dan tawakal, lebih memilih terus

berjualan amplop dengan harga yang terlampau murah. Ia masih bisa

tersenyum dan bersyukur atas apa yang didapatnya. Ingin sekali saya

mengikuti jejaknya, bukan untuk menjadi seorang penjual amplop

melainkan untuk bersikap jujur, bersikap ikhlas, rendah diri, tawakal

pada yang memberikan hidup, dan terus bersyukur atas apa yang selalu

didapatkan.

Sedangkan satu hal lain pada diri Pak Darta yang membuat saya

merasa tertampar adalah enggan meminta-minta. Seketika saya

bercermin pada diri saya sendiri. Saya adalah mahasiswa yang sudah

memunyai pekerjaan walaupun gajinya belum cukup untuk menghidupi

diri saya sendiri namun setidaknya bisa untuk tidak meminta uang jajan

pada orang tua. Hanya saja saya tidak. Walaupun sudah memunyai gaji,

saya terus meminta uang seakan semua yang saya dapatkan itu kurang

cukup. Entah kenapa saya merasa begitu hina.

Jantung saya seperti ditikam hebat. Saya seharusnya tidak

Page 275: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 256

meminta-minta namun nyatanya tidak. Dengan bercermin pada kisah

perjuangan Pak Darta ini saya ingin mengubah sedikit sifat buruk

terbesar saya: Tidak mau bersyukur atas segala hal yang sudah

didapatkan selama ini. Perlahan namun pasti. Berbekal kisah

mengharukan yang terus membuat darah saya berdesir.

Saya harap, setiap orang yang membaca bait tak beraturan ini

hendaknya sudi berpikir ulang, memahami dengan baik dan

mengamalkan segala cerminan luar biasa pada diri Pak Darta. Saya

pribadi juga berharap dengan kisah ini saya mampu mengubah kisah

hidup saya sedikit demi sedikit. Walaupun tampaknya sulit untuk

mengubah hal yang sudah tertanam lama tapi saya akan terus berusaha.

Terima kasih, Bapak Darta, atas perjuangan yang kau lakukan

sehingga membuat saya secara tidak langsung termotivasi dan

terinspirasi.

Terima kasih banyak.

Page 276: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 257

Keterbatasan Bukan Alasan untuk Meninggalkan Salat

(Sandi K)

Bila kita berbicara tentang keterbatasan seseorang, mungkin

banyak hal yang bisa kita bahas dari topik tersebut. Untuk saat ini, saya

akan membahas tentang orang-orang yang memiliki kondisi fisik yang

serba kurang dan terbatas tapi tetap semangat dalam hal beribadah.

Mungkin kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.

Padahal yang kita tahu tentang mereka adalah keterbatasan fisik dan

lemah dalam melakukan aktivitas. Kita bisa belajar dari orang-orang

tersebut yang tidak putus asa untuk melakukan yang bisa mereka

lakukan walaupun dengan kondisi yang serba terbatas. Saya sudah

melihat beberapa orang yang memiliki kondisi fisik yang terbatas dan

tetap melakukan ibadah layaknya mereka yang berfisik sehat dan kuat.

Kebetulan pada saat saya berada di salah satu masjid di daerah

Buduran, Sidoarjo. Tempat itu juga tidak jauh dari rumah saya dan saya

akan salat Magrib di sana. Saya melihat ada seorang lelaki tua yang

Page 277: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 258

berusia lebih dari 80 tahun berjalan menuju masjid yang saya datangi

dengan badan agak membungkuk, jalannya juga pelan-pelan. Kondisi

tersebut mungkin dikarenakan usia beliau yang sudah tidak muda. Saya

sungguh terharu melihat kegigihan beliau yang tetap ingin salat

berjamaah. Padahal belum tentu saya bisa melakukan hal tersebut bila

saya di posisi beliau.

Dan lagi-lagi saya dikejutkan ketika beliau lah yang menjadi imam di

sana. Sungguh luar biasa pengabdian beliau, dengan kondisi yang

seperti itu dia sanggup untuk menjadi imam. Mungkin beliau dulu sering

menjadi imam di masjid ini. Dan ketika beliau menjadi imam, beliau

membaca surat Al-Fatiqah dengan suara cukup lantang dan tidak terlalu

cepat bahkan bisa dikatakan lambat. Gerakan demi gerakan dalam salat

juga terbilang lambat. 3 rakaat pada salat magrib biasanya selesai lebih

cepat, tetapi untuk salat kali ini, memang lebih lama dibandingkan di

tempat lain.

Walaupun salat menjadi lebih lama, saya merasa senang dan

Page 278: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 259

bahagia. Kenapa? Karena saya mendapatkan pelajaran-pelajaran yang

luar biasa yang bisa saya ambil di sana. Terutama saat waktu salat tiba.

Saya harus tetap salat berjamaah di masjid selama saya rasa bisa pergi

ke sana. Apalagi, usia saya masih terbilang muda dan memiliki kondisi

fisik yang jauh lebih baik dari beliau.

Beberapa hari kemudian, saya mencoba untuk salat Isya di tempat

yang sama lagi. Kebetulan cuaca sedang tidak mendukung. Hujan turun

rintik-rintik dan itu bisa membuat orang-orang sekitar malas pergi untuk

salat berjamaah. Dan saya dikejutkan lagi ketika bapak yang menjadi

imam waktu Magrib dulu, datang membawa payung. Sungguh luar biasa

keinginan beliau untuk salat berjamaah. Kali ini, beliau tidak menjadi

imam. Kemungkinan beliau kurang sehat atau memberikan kesempatan

yang lebih muda untuk menjadi imam.

Saya bersebelahan dengan beliau ketika salat. Beliau juga sulit

untuk mengikuti gerakan imam yang jauh lebih cepat dari beliau. Saya

rasa memang faktor usia yang membuat beliau gerakannya lambat. Saya

Page 279: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 260

senang bisa melihat kegigihan beliau dalam beribadah. Tapi, saya tidak

bisa melihat beliau setiap waktu salat, karena ada masjid yang jauh

lebih dekat dari rumah saya dan sehingga saya jarang untuk pergi ke

sana. Saya hanya pergi ketika saya ingin salat di sana.

Dari yang saya tahu, beliau adalah salah satu tokoh agama daerah

itu. Maklum, kenapa beliau sering menjadi imam di tempat itu. Apalagi

musala itu juga beliau yang mendirikannya. Beliau juga memiliki pondok

pesantren kecil nan sederhana. Saya juga mendapatkan cerita dari

orang tua saya bahwa dulu pada saat pemerintah masih dipimpin oleh

Soeharto, beliau diberi tawaran untuk memperbesar pondok pesantren

miliknya. Tetapi beliau menolaknya dan tetap dengan pendiriannya yang

ingin memperbesar pesantren ini dengan usahanya sendiri. Bila tawaran

itu beliau terima, pondok pesantrennya pasti tidak seperti sekarang.

Itu hal yang jarang dilakukan oleh seseorang ketika ada orang lain

yang mau membantu. Saya pikir beliau bukan orang yang memiliki nafsu

kuat terhadap uang. Sampai sekarang pondok itu masih berdiri dan

Page 280: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 261

berfungsi sebagai tempat mendidik santri-santri yang ingin mendalami

agama Islam. Dalam kehidupan, beliau memilih hidup sederhana dan

tidak memikirkan duniawi berlebih dan hanya melakukan kewajiban

beliau menegakkan agama Islam di daerahnya.

Selain beliau, saya juga pernah melihat seseorang yang berjalan

dengan alat bantu dan pergi ke masjid untuk salat Jumat berjamaah.

Masjid itu berada di daerah kampus saya dan namanya adalah Masjid

Baitul Makmur II. Saya melihat beliau sekitar 2 kali atau mungkin lebih,

karna saya juga lupa. Saya melihat beliau ketika saya selesai salat

Jumat. Saya senang dan terharu, hati saya tersentuh ketika ada orang

yang memunyai kondisi seperti itu masih ingin pergi ke masjid dan tetap

semangat beribadah. Semangat yang luar biasa sudah diperlihatkan oleh

beliau.

Sebenarnya masih banyak lagi orang-orang yang saya lihat dengan

kondisi yang serba kurang dan tetap semangat beribadah dan selalu

pergi ke masjid ketika kondisi tubuhnya kuat untuk berjalan. Saya

Page 281: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 262

menyimpulkan bahwa keterbatasan bukan halangan untuk tidak

beribadah dan selalu ingat kepada Allah. Saya senang dan juga sedih.

Sebab mereka melakukan semua itu dengan tulus ikhlas yang hanya

mencari rida-Nya. Padahal saya sendiri belum tentu bisa melakukan hal

seperti itu. Saya hanya bisa introspeksi diri saya sendiri dan

memperbaiki kesalahan serta selalu ingat kepada Allah. Semoga mereka

diberi kesehatan dan umur panjang serta diberi petunjuk oleh-Nya.

Aamiin.

Page 282: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 263

Sang Wanita Besi

(Sri H)

Margaret Hilda Thatcher, lahir di Grantham, Lincolnshire, Inggris,

pada tanggal 13 Oktober 1925. Dia adalah seorang politikus Britania

Raya, Perdana Menteri Britania Raya dengan masa jabatan terlama

sepanjang abad ke-20, dan sekaligus menjadi satu-satunya wanita yang

pernah menduduki jabatan tersebut. Mengawali karir sebagai kimiawan

riset sebelum menjadi barrister, Thatcher terpilih menjadi anggota

parlemen untuk wilayah Finchley pada tahun 1959. Edward Heath

menunjuknya sebagai menteri negara untuk Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan pada tahun 1970. Tahun 1975, Thatcher mengalahkan

Heath dalam pemilihan ketua partai konservatif dan menjadi ketua

oposisi, sekaligus wanita pertama yang memimpin partai politik besar di

Britania Raya. Ia menjadi Perdana Menteri setelah memenangkan pemilu

1979.

Thatcher memperkenalkan serangkaian inisiatif politik dan ekonomi

Page 283: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 264

untuk membalikkan apa yang ia anggap sebagai kejatuhan nasional

Britania Raya. Filosofi politik dan kebijakan ekonominya menekankan

deregulasi (terutama di sektor keuangan), pasar buruh yang fleksibel,

swastanisasi BUMN, dan mengurangi kekuasaan serta pengaruh serikat

dagang. Thatcher memimpin negaranya dalam perang Falklands tahun

1982. Perang ini berawal dari invasi Argentina terhadap Kepulauan

Falklands atau yang disebut Argentina sebagai Las Malvinas. Kepulauan

ini telah menjadi teritorial Inggris sejak lama. Thatcher dengan tegas

mengirimkan pasukan untuk melawan Argentina dan mengembalikan

Falklands ke tangan Inggris.

Di masa jabatan keduanya, pemerintahan Thatcher melanjutkan

kembali deregulasi ekonomi dan privatisasi. Privatisasi pertama adalah

British Telecom yang dijual kepada publik, meningkatkan jumlah pemilik

saham di seluruh Inggris. Kebijakan privatisasi ini menjadi lebih berani

setelah ternyata penjualan BT sukses dan banyak orang yang

mendapatkan keuntungan, bahkan 30% dalam hitungan hari. Setelah itu

Page 284: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 265

banyak BUMN yang dijual seperti British Steel dan banyak perusahaan di

berbagai bidang seperti perusahaan maskapai penerbangan, listrik, dan

gas. Pemerintah mendapatkan lebih dari miliaran poundsterling atas

hasil penjualan perusahaan ini. Thatcher juga memulai serangkaian

globalisasi dan modernisasi, mentransformasikan negara itu menjadi

salah satu negara bisnis terbesar di dunia.

Thatcher adalah seorang pemimpin yang tegas, berani dan

konsisten. Begitu dia yakin bahwa kebijakannya benar, dia tidak akan

berputar haluan karena tekanan massa maupun nasihat para

pembantunya. Beberapa peristiwa berikut ini menggambarkan

kepemimpinan nyonya Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris dari

tahun 1979 sampai 1990.

Margaret Thatcher berani mengambil resiko besar ketika pada tahun

1982 dia memutuskan untuk merebut kembali Kepulauan Falklands

yang diduduki Argentina meski Kementerian Luar Negeri menyarankan

agar dia berkompromi. Thatcher bersikeras bahwa dia tak akan

Page 285: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 266

berkompromi soal kedaulatan dan memutuskan untuk mengirimkan

angkatan lautnya ke kepulauan yang berjarak 12.000 km dari daratan

Inggris dan hanya terletak 500 km dari Argentina. Seandainya gagal

merebut Falklands, Thatcher yang baru berumur tiga tahun hampir pasti

akan jatuh karena pemerintahannya ketika itu sedang tidak populer

akibat tingkat pengangguran yang tinggi.

Selain berani, Thatcher juga memunyai keyakinan kuat dalam

kebijakan ekonomi yang dia anut. Dia mendobrak konsensus di antara

dua partai terbesar di Inggris yaitu Partai Buruh dan Partai Konservatif

yang berlaku sejak akhir Perang Dunia II di mana negara langsung

menguasai aset ekonomi, tingkat pajak tinggi dan regulasi yang ketat.

Thatcher akan melayani perdebatan untuk membuktikan bahwa idenya

benar dan secara taktis tidak akan membiarkan dirinya kecolongan di

badan legislatif maupun pengamanan di lapangan.

Setelah Thatcher mengundurkan diri pada November 1990, ia tetap

menjadi anggota parlemen dan duduk di Backbench hingga 1992. Ia

Page 286: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 267

masih menjadi tokoh yang aktif di publik Inggris meskipun pada

kenyataannya citranya terpolarisasi. Thatcher diakui berhasil

mentransformasi Inggris terutama dalam bidang ekonomi dan sosial. Ia

mengubah negaranya dari negara kuno menjadi negara modern dengan

eksistensi besar di pergaulan internasional. Thatcher bekerja di Philip

Morris sebagai Konsultan Geo-Politik namun ini tidak lama. Thatcher

juga dibayar mahal untuk setiap pidatonya.

Thatcher satu-satunya wanita yang pernah menduduki jabatan

tersebut. Seorang jurnalis Soviet menjulukinya "Wanita Besi" (Iron

Lady), istilah yang kemudian dikait-kaitkan dengan politik dan gaya

kepemimpinannya. Selaku Perdana Menteri, ia menerapkan kebijakan-

kebijakan konservatif yang kelak disebut sebagai Thatcherisme.

Walau sudah 22 tahun meninggalkan pemerintahan, warisan politik

dan ekonomi Margaret Thatcher sampai sekarang masih menjadi

perdebatan tajam dan emosional di Inggris. Para pemujanya

menganggap dia sebagai pemimpin yang menyelamatkan Inggris dari

Page 287: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

terinspirasi inspirasi | 268

ambang kehancuran, sementara pengkritiknya melihat dia sebagai

pemimpin kejam karena telah membiarkan pengangguran meningkat

yang menyebabkan demo atau protes di mana-mana.

Namun, kawan maupun lawan sepakat bahwa Thatcher adalah

seorang pemimpin pemberani dan berpendiran kuat, bukan pemimpin

yang mudah ditiup angin atau menyerah menghadapi sedikit kesulitan.

Page 288: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

seperti "jantung-ku""hati-ku"

"napas-ku""langkah-ku"

keempatnya milikku

"mereka-ku"milikkumilikku.

mereka-ku

Page 289: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 269

empat

Belum Kaya Bukan Berarti Tak Bisa Berbagi

(Imroatul M)

Sejak kecil aku dilahirkan dari keluarga yang “cukup”. Bukan kaya

raya, bukan pula kekurangan. Tumbuh di kondisi keluarga yang seperti ini

membuatku menjadi anak yang manja. Namun, bukan manja dalam arti

negatif. Manja di sini aku sebut sebagai manja bersyarat. Iya, bersyarat

karena orang tuaku akan memenuhi semua keinginanku jika aku bisa

memenuhi syarat dari mereka. Syarat sederhana yang mereka minta

adalah aku bisa menjadi juara kelas. Hal itu tentu sangat memotivasiku,

si Imroatul kecil, agar rajin dan berusaha. Imbalan yang aku minta tentu

saja bermacam-macam, mulai dari tas lucu dengan dorongan yang lagi

tren kala itu, sampai jalan-jalan ke kebun binatang. Hal-hal sederhana

Page 290: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 270

yang sangat membahagiakan masa kecilku. Kondisi seperti ini

berlangsung cukup lama, sejak aku duduk di bangku taman kanak-kanak

hingga kelas 3 sekolah dasar.

Sampai suatu saat, kakakku yang masih duduk di bangku SMP

bercerita hal yang mengubah semua pola pikirku tentang kondisi

ekonomi orang tua. Kakakku bilang kalau kedua orang tuaku sedang

terlilit utang yang tidak kecil jumlahnya. Sejak itu aku tidak lagi

meminta imbalan jika aku menjadi juara kelas, aku mulai menyadari

bahwa beban yang ditanggung orang tuaku tidaklah ringan. Namun,

layaknya bocah, aku selalu ingin memunyai barang serupa milik teman

sebayaku.

Dengan nada polos anak kelas 2 SD, aku meminta, “Bu, kalau utang

Ibu sudah lunas aku belikan itu, ya?” sambil menunjuk benda yang aku

mau.

Ibuku menjawab lirih, “Iya, nanti ibu belikan, Nak.” Sebuah jawaban

yang tentu sangat menghiburku, meski aku belum tahu sampai kapan

Page 291: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 271

utang ibu akan lunas.

Bertahun-tahun berlalu, kondisi keuangan keluargaku sudah mulai

membaik. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri, “Yah, emang dulu

Ibu sama Ayah punya utang sebanyak itu,” si aku kecil penasaran,

“digunakan untuk apa?”

“Untuk mengubah nasib keluarga kita, Nak,” jawab ayah yang tak

berhasil mengurangi rasa penasaranku.

“Harus sebanyak itu?” aku masih penasaran.

“Jadi orang harus nekat, harus berani ambil resiko, inilah jalan yang

dipilih ibu sama ayahmu untuk mengubah nasib kita,” timpal ibuku

memberi penjelasan. “Ibu menggunakan uang itu untuk membangun toko

yang kita miliki sekarang, kalau tidak begitu, pasti ayahmu masih jualan

baju di pasar.”

“Lalu apakah utang kita sudah lunas, Bu?” lagi-lagi. Si aku kecil lagi-

lagi penasaran.

“Belum, Nak, kita masih punya 4 tahun lagi untuk melunasi,” ayah

Page 292: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 272

menambahkan.

Hal itu tentu mengagetkanku, aku pikir setelah kita memunyai toko

sembako di rumah, ayah dan ibu bisa melunasi utang mereka, selain itu

kondisi keuangan keluarga kami memang sudah jauh lebih baik dari

sebelumnya. Aku sudah bisa membeli baju ataupun sepatu. Nyatanya,

keluarga kami belum sepenuhnya ‘bebas’. Masih tersisa 4 tahun untuk

melunasi semua utang orang tuaku.

Di sisi lain, semenjak beberapa tahun belakangan sikap ibu juga

berubah. Ibuku menjadi orang yang sangat dermawan, bersedekah di

mana pun pada siapa pun, bahkan memberi uang jajan pada anak yatim

setiap harinya. Walau ibu belum mampu merawat mereka secara utuh,

setidaknya sikap ibuku yang satu ini membuatku bangga luar biasa.

Bagaimana tidak, di saat ibu belum mampu melunasi utangnya secara

penuh saja ibu sudah mampu ikhlas bersedekah kepada yang lebih

membutuhkan. Ibu berhasil menjadi contoh bagi kami, anak-anaknya,

serta bagi banyak orang di kampungku. Sekarang banyak tetangga

Page 293: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 273

melakukan hal sama.

Peran ayahku juga tak kalah hebat. Selama ini ayah sungguh sabar

bekerja keras. Mulai berjualan di toko sembako sederhana hingga

mengajar ngaji di rumah.

Mereka selalu berkata padaku, kakak, dan adik kalau jadi orang

harus berani ambil resiko, bekerja keras namun tetap membumi, selalu

sisihkan uang saku untuk memberi orang lain, selalu ingat Allah di mana

pun. Doktrin-doktrin itulah yang membuatku selalu bersemangat untuk

kuliah dan bekerja saat ini. Ya, saat ini selain berkuliah aku juga bekerja

sebagai guru les di rumah. Hal ini aku lakukan juga untuk membantu

orang tuaku. Ibu juga selalu berpesan selain kuliah aku harus memunyai

kegiatan yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Apa yang aku lakukan

dan apa yang aku miliki tentu tak lepas dari peran kedua orang tuaku,

atas semangat hidup dan “doktrin” yang selalu mereka berikan padaku

memang membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan dan

pola pikirku selama ini.

Page 294: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 274

Harga Mati untuk Derajat Orang Tua

(Galih J)

Terlahir dalam keluarga kecil dengan kehidupan sederhana walaupun

tak diberkahi kekayaan melimpah, bagiku merupakan sebuah berkah

tersendiri. Aku tak menyalahkan takdir ataupun sang Pencipta akan hal

ini karena menurutku Yang Maha Kuasa memiliki suatu rencana

tersendiri untukku maupun keluargaku. Aku sendiri begitu menyayangi

kedua orang tuaku dan juga adik kecilku yang kini masih duduk di

bangku 5 SD. Terlebih lagi, aku sangat menghormati dan mengagumi

bapak, sesosok penjaga kehidupan keluargaku, yang usianya sudah tak

lagi muda dengan tubuh yang tak lagi kekar layaknya masa muda dulu.

Namun, bapak masih tetap memperjuangkan hidupnya untuk menghidupi

kami bertiga hingga aku bisa seperti sekarang ini.

Ketika aku beranjak dewasa dan memasuki bangku perkuliahan,

inilah kenapa aku sadar betapa besar pengorbanan bapak untukku dan

keluarga kecil ini. Tiap pagi bahkan sebelum matahari membumbung

Page 295: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 275

tinggi, bapak sudah menuntun sepeda tua keluaran 70-an yang masih

terawat untuk berangkat kerja. Sebenarnya kami punya sebuah motor

pemberian salah satu kerabat, awalnya, kupikir itu bisa bapak gunakan.

Tapi beliau menolak secara halus yang bahkan jawabannya sampai

membuat batinku menangis. Aku sangat ingat akan perkataannya waktu

itu walaupun itu disampaikan melalui ibuk.

“Gak usah. Kata bapakmu pakai itu motor buat kuliah, lagian naik

sepeda lebih cepet gak kena macet. Bapak gak mau kuliahmu terganggu

karena kelelahan di jalan naik sepeda.”

Batinku bahagia namun serasa teriris dan aku hanya bisa menunduk

terdiam mengiyakan keteguhannya. Sungguh membuat dadaku sesak

sesesak-sesaknya karena aku tahu sendiri seberapa jauh jarak yang

bapak tempuh setiap hari. Aku tahu di mana tempat bapak bekerja dan

itu berjarak 12,5 km dari tempat kami tinggal yang artinya bapak harus

menempuh sejauh 25 km pulang pergi, padahal aku sendiri tak sampai

setengah jalan sudah menyerah karena kelelahan saat pertama

Page 296: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 276

mencoba bersepeda seperti bapak. Sejak saat itu, aku bertekad untuk

tidak membuat bapak semakin menderita. Apalagi terbebani oleh biaya

kuliahku yang tak murah bagi orang seperti kami.

Aku adalah anak pertama dan aku merasa memiliki tanggung jawab

besar demi kelangsungan hidup keluarga ini. Apalagi aku memiliki adik

yang harus kujaga saat bapak sudah merasa lelah bekerja dan

memutuskan beristirahat. Siapa lagi yang akan memikul tugas ini selain

diriku sendiri walaupun begitu berat. Kupikir bapak sangatlah tangguh

dan hebat, apa aku sanggup melampauinya? Bukan, ini bukan masalah

bisa atau tidak, tapi harus. Aku harus melampaui bapak.

Tak banyak yang bisa kulakukan sebagai seorang mahasiswa untuk

meringankan beban bapak kecuali kerja sambil kuliah. Awalnya, aku

membicarakan hal ini dengan ibuk. Dalam keluarga kami berlaku sistem

kalau seorang anak akan berpendapat dalam suatu hal maka ia harus

menyampaikan pada ibuk dahulu agar bisa didiskusikan dengan bapak.

Setelah mencapai kesepakatan, barulah ibuk yang menyampaikan pada

Page 297: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 277

anak-anaknya.

“Bicaralah pada bapakmu sendiri nanti sore setelah dia pulang

kerja. Begitu katanya,” jelas ibu pasca kubeberkan niatanku. Tapi

bukannya membuatku lega, malah semakin gugup. Sungguh itu jawaban

penuh teka-teki yang tak mengenakkan.

Sore itu ketika aku mau beranjak mandi, aku mendengar bunyi

sepeda tua bapak. Melihat bapak yang baru pulang sungguh

menyakitkan. Sangat menyakitkan bahkan, sampai membuatku susah

bernapas saking sakitnya. Dengan tubuh tuanya itu bapak

menyandarkan sepeda setelah menempuh perjalanan panjang hari itu.

Bahkan baju yang bapak kenakan sudah sangat basah seperti selepas

bermandikan air hujan, padahal itu bukan air hujan melainkan keringat

dari tubuhnya.

Astaga, Tuhan, aku sudah tak sanggup lagi melihat ini. Aku tak

sanggup, aku tak sanggup, keluhku dalam hati. Bapak duduk bersandar

sambil mengibas-ngibaskan topi bermaksud mengurangi rasa panas.

Page 298: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 278

Malahan dengan napas terengah bapak masih bisa tersenyum setelah

kuambilkan air minum.

Tuhan, aku harus segera melampaui bapak agar bapak tidak

menderita terus, lagi-lagi aku membatin. Tak lama setelah bapak

menyelesaikan makannya, bapak duduk di kursi panjang teras rumah.

Was-was, kuhampiri bapak lalu duduk di sebelahnya. Kami terdiam

sejenak karena aku sendiri sangat bingung harus mulai dari mana.

“Mau ngomong apa?” Pertanyaan bapak menyentak kesadaranku.

“Eh? Mm, aku ngomong dengan ibu kalau aku mau ker—”

“Gak!” belum selesai kalimatku, bapak sudah memotongnya. “Buat

apa kamu kerja?! Tugasmu sekarang kuliah, gak usah mikir uang, bapak

masih sanggup buat biayain kuliahmu!” tegas bapak layaknya sang

diktator.

“Tapi aku pengen bisa cari uang sendiri dan gak bergantung sama

Bapak. Aku kasihan lihat Bapak pulang kelelahan tiap hari,” aku

berusaha meyakinkannya.

Page 299: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 279

“Gak. Punya hak apa kamu buat ngasihani bapak. Kalau kamu punya

waktu untuk itu, belajar sana.” Bapak pun pergi meninggalkanku secara

sepihak.

Benar kata ibu, harga diri bapak begitu tinggi. Membuatku semakin

nekat. Dua hari setelahnya, bersamaan dengan ujian akhir semester

pertamaku, aku pergi ke sana ke mari mencari kerja, tapi sangat susah

ada yang mau menerima mahasiswa dengan jadwal begitu padat. Sudah

sepekan aku menunggu, tetap saja tak kunjung ada pekerjaan yang

cocok dengan jadwal kuliahku.

Setelah sekian lama—mungkin sekitar 3 pekan—aku mendapatkan

pekerjaan, sebagai penjaga toko yang letaknya tak jauh dari rumah.

Barangkali pemilik toko itu kelelahan mengelola sendiri karena sudah

tua makanya beliau menerimaku. Toko itu menjual berbagai barang

elektronik mulai dari VCD, TV, sampai lemari es. Setiap harinya pasti ada

pembeli yang datang. Toko yang cukup ramai, kupikir. Aku bekerja di

sana sudah sebulan lamanya dan merasa cukup nyaman. Namun,

Page 300: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 280

dibandingkan dengan bapak, aku ini tidak ada apa-apanya.

Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Hari gajian. Aku baru tahu

betapa mendebarkannya menunggu uang gaji hasil kerja sendiri. Meski

tak banyak yang bisa kudapatkan, itu mampu membantu bapak agar

tidak terlalu lelah mencari uang. Di pihak lain, ternyata begitu banyak

godaan setelah mencapai suatu penghasilan. Banyak sekali teman-

teman kelasku yang mengajak jalan-jalan, nonton, atau bahkan sekadar

makan. Sukses membuatku tergiur, tapi tiap kulihat isi dompet aku

selalu teringat bapak, teringat perjuangan bapak, yang kembali mengiris

hatiku. Kuteguhkan keyakinan dan kuberikan gaji pertamaku kepada

ibuk. Ibuk terlihat senang dengan pencapaianku karena aku sudah

mampu mencari uang sendiri.

“Jangan lalai karena kamu sudah bisa cari uang sendiri. Tapi ibuk

bangga sama kamu, ibuk pikir ini akan sedikit membantu untuk

kuliahmu.” Aku senang mendengarnya. “Tapi ingat, jangan sampai hal ini

mengganggu kuliahmu. Karena derajat kami, para orang tua, akan naik

Page 301: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 281

atau tidak itu bergantung keberhasilan anak.” Itulah kalimat ibuk yang

cukup menggetarkan hatiku.

Keesokan paginya, aku lihat bapak sudah mau berangkat kerja.

Bapak tidak mengatakan apa-apa padaku maupun ibuk, tapi aku yakin

bapak senang karena terlihat dari wajah yang jauh lebih cerah dibanding

biasanya. Aku cukup yakin dengan pemikiranku itu karena sehari

sebelum aku memberikan gaji pada ibuk, aku telah menunjukkan hasil

nilaiku selama satu semester pada bapak dan ibuk, IP-ku sebesar 3,67

dan kupikir itu cukup memuaskan.

“Le, Tole, ke sini bentar.” Sungguh kaget tiba-tiba bapak

memanggilku.

“Iya, Pak?”

“Kalau kamu sudah merasa lelah kamu boleh istirahat. Dan kalau

kamu dihadapkan pada pilihan yang sulit mintalah tolong pada Yang

Maha Kuasa. Yakinlah Tuhan akan menolongmu. Kalau kuliahmu

terganggu, bapak tidak akan mengijinkanmu kerja, kamu lebih hebat dari

Page 302: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 282

yang bapak perkirakan.”

“Iya, Pak, ini baru dimulai,” begitu terangku kepada bapak yang

hanya ditanggapi senyuman lantas bergegas pergi.

Aku sungguh bangga dengan bapak, tidak hanya tangguh, tapi

sangat peduli dengan keluarga kecil ini. Apa yang ada dalam benakku

adalah aku harus segera sukses dan lulus dengan nilai baik lalu

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang serta harus

mampu menaikkan derajat orang tuaku. Tidak mudah memang, tapi juga

tidak mustahil. Tak apa bagiku jika memang aku harus mengorbankan

kebahagiaan dan kesenangan masa muda demi derajat kedua orang

tuaku. Karena derajat orang tua adalah harga mati untukku. Aku harus

melampaui bapakku.

Page 303: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 283

The Power of Emak

(fmasyitha)

Aku tengah membuka laman web untuk seleksi masuk PTN melalui

jalur tanpa tes. Pasalnya, kami, para siswa SMA tingkat akhir, tengah

sibuk mempersiapkan segala macam berkas yang dibutuhkan untuk

mengisi formulir yang tersedia secara online. Jujur saja, aku tidak

memiliki sekelebat pemikiran pun untuk dapat melanjutkan studi ke

perguruan tinggi. Orang tuaku tidak memiliki biaya yang cukup jika aku

melanjutkan studiku. Membayar SPP sekolah saja aku masih

mendapatkan bantuan dari bank swasta setempat. Namun, aku pernah

mendengar mengenai beasiswa dari Dikti, yaitu bidikmisi, yang mana

beasiswa tersebut merupakan full scholarship.

Kucoba mencari keberuntunganku di sana, tanpa memberi tahu

kedua orang tuaku, karena mereka tidak akan setuju. Aku memilih 2

universitas negeri yang cukup ternama di Jawa Timur. Aku memutuskan

untuk mengambil Universitas Negeri Surabaya dengan urutan pilihan S1

Page 304: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 284

Sastra Inggris dan S1 Pendidikan Informatika, serta Universitas Negeri

Jember dengan pilihan S1 Hubungan Internasional dan Pertelevisian.

“Mana menurutmu yang memiliki peluang lebih untuk lolos?” guru

BK-ku seketika menanyaiku saat aku mengumpulkan tugas yang beliau

berikan.

“Unesa,” jawabku singkat.

“Mengapa tidak memilih Unair? Teman-temanmu mayoritas memilih

Unair dan Unibra,”

“Karena saya tidak yakin saya sanggup menyesuaikan diri denngan

gaya hidup mereka. Lagipula, Unesa letaknya lebih dekat dengan rumah

saya.”

*

Ini tidak seperti biasanya. Sore ini aku merasakan badanku panas-

dingin tidak karuan. Bukan, ini bukan mengenai kesehatan tubuh,

melainkan bila aku tengah menghadapai rasa gugup. Bisa dikatakan

berlebihan, namun memang itu yang aku rasakan.

Page 305: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 285

Berulang kali aku mengecek ponselku hanya untuk mengetahui

pukul berapa sekarang. 16.50. Masih 10 menit lagi untuk melihat

pengumuman hasil SNMPTN. Aku tidak bisa berhenti berguling di atas

kasur buluk ini sejak setengah jam lalu.

“Ck,” lidahku berdecak mengenai langit-langit mulutku. Aku beranjak

dari kasur, lantas mengambil laptop yang tergelatak di ruang tamu.

Dengan kasar, kubuka lid laptopku dan menekan tombol power untuk

menyalakan benda kuno ini.

Kedua orang tuaku masih tidak mengetahui kalau aku mendaftarkan

diri ke perguruan tinggi negeri. Pernah beberapa kali aku mengutarakan

keinginanku, namun ayah dan ibu tidak pernah sependapat.

“Buat apa kuliah kalau ujung-ujungnya nyari kerja? Mendingan

langsung kerja. Di pabrik mi Sedaap aja sana lho, gajinya UMR.” Itu yang

selalu dikatakan ayah.

Sama saja dengan ibu, “Mendingan kerja saja, Mbak. Ayahmu tidak

sanggup untuk membiayai kamu dan adikmu, kalau kamu melanjutkan

Page 306: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 286

kuliah. Ini saja kamu sudah beruntung bisa menyelesaikan SMA-mu.” Itu

yang selalu ibu katakan tiap aku mengutarakan keinginanku.

Sudah lewat pukul 17 dan kesialan terjadi kepadaku—lebih

tepatnya pada laptopku. Aku tidak mengerti mengapa koneksi modem

harus berubah menjadi asshole di saat-saat genting begini. Ponselku

sudah bergetar berkali-kali, kawan-kawanku mengirimkan pesan singkat

yang tidak tahu seberapa banyak dengan isi pesan yang sama:

“Bagaimana hasil SNMPTN-mu?”

Kebanyakan dari mereka tidak berhasil melewati jalur pertama ini,

dan itu semakin membuatku kalut. Aku pun berhasil login di laman

snmptn.ac.id, kupanggil adikku untuk membacakan hasil tes. Tak

sanggup aku membacanya sendiri.

“Mbak, warnanya hijau.”

Masih kututup kedua mataku dengan kedua telapak tangan.

“Selamat—“ suara adikku langsung terintrupsi olehku yang

berteriak bagai tikus got terjepit. Kedua orang tuaku berlari ke arahku

Page 307: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 287

untuk melihat apa yang terjadi.

“Selamat, Anda diterima di Universitas Negeri Surabaya jurusan S1

Sastra Inggris.”

Bisa kudengar suara ibu membacakan surat maya yang tertera di

layar laptopku.

What the heck?! Sastra Inggris?! Aku makin speechless. Itu

merupakan pilihan pertama yang aku inginkan, dan aku langsung

mendapat keberuntungan di sana. Refleks, aku sujud di tempat sembari

terus mengucap syukur kepada Allah.

“Universitas? Kuliah? Bagaimana—” dari nada yang digunakan, aku

tidak bisa mendeteksi perasaan apa yang ayahku rasakan ketika beliau

mengerti bahwa anaknya ‘bermain di belakangnya‘.

“Tenang,” aku mengambil napas menenangkan diri, “ini gratis, tidak

bayar. Aku sudah mendaftarkan diri untuk mendapatkan beasiswa

bidikmisi dari pemerintah. Itu semua gratis-tis, sampai aku lulus. Aku

ingin sekali melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi, maka dari

Page 308: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 288

itu aku mencari beasiswa penuh sehingga Ayah tidak perlu bingung

mengenai biaya kuliah. Itu juga sudah termasuk uang bulanan.”

“Percuma, ujung-ujungnya kuliah juga untuk mencari kerja, kan?”

sudah bisa ditebak, ayahku pasti keukeuh dengan pendiriannya.

“Nggak, aku kuliah karena memang pengen belajar Sastra Inggris,”

aku langsung pergi meninggalkan kedua orang tuaku menuju kamar.

Bahkan, sampai sekarang pun, aku sudah semester 4, ayahku masih

menyuruhku mencari pekerjaan dan meninggalkan kuliah. Beruntungnya,

ibuku tidak mengijinkanku kerja sembari kuliah. Well, the power of

Emak, aku pasti langsung mematuhi perintah ibu ketimbang ayahku, as

always.

Page 309: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 289

Tidak Sedang Tidak-Tidak

(Kemal A)

Cerita ini bermula saat saya sedang duduk di bangku SMA, tepatnya

kelas 2 SMA. Saat itu hampir setiap bulan saya melihat orang tua saya

bertengkar. Sebagian besar masalahnya sih karena uang gaji ayah

beberapa bulan ini berkurang. Kami memang keluarga kurang mampu,

ayah hanya buruh pabrik dan ibu hanya ibu rumah tangga. Itulah kenapa

orang tua saya sangat bingung jika pendapatan berkurang.

Setelah hampir 3 bulan dan tanggal yang hampir sama, mereka

selalu bertengkar. Namun itu adalah pertengkaran terbesar mereka.

Saya menanyakan pada ibu yang sebenarnya terjadi. Ibu menceritakan

panjang lebar soal gaji ayah yang tiap bulan berkurang. Ibu menduga

bahwa uang gajian telah dikurangi untuk kepentingan yang tidak-tidak.

Setelah itu. saya mendatangi ayah mendengarkan ceritanya.

Mendengar cerita ayah, saya sangat terkejut. Ayah saya mengaku

bahwa uang yang diambil dari gajinya itu digunakan untuk menyumbang

Page 310: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 290

ke yayasan yatim piatu di kota saya.

“Kene gak opo-opo, Nak, dadi wong gak duwe, tapi ojo sampek lali

sedekah, mbantu sing luwih kurang tinimbang awak dewe,” lalu dia

memberikan tanda bukti di mana dia telah memberikan bantuan. “Kita

gak apa-apa, Nak, jadi orang gak punya, tapi jangan sampe lupa

sedekah, bantu yang lebih membutuhkan dibanding kita.”

Setelah mendengar penjelasan ayah, saya kembali menemui ibu dan

memberi tahu bahwa ayah tidak melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi

ibu masih tidak percaya. Sengaja tidak saya beri tahu apa yang

sebenarnya terjadi karena dilarang ayah, ada kejutan untuk ibu di hari

ulang tahunnya.

H-1 ulang tahun ibu tiba. Saya, adik, dan ayah menyusun rencana

untuk memberi kejutan nanti malamnya. Tepat pukul 00.00, adik saya

mengetuk pintu kamar ibu. Saya dan ayah sudah bersiap-siap membawa

kue dan sebatang lilin yang menyala. Pada waktu ibu saya membuka

pintu kamar, kami langsung keluar dan menyanyikan lagu Selamat Ulang

Page 311: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 291

Tahun. Ayah menceritakan apa yang terjadi dengan persoalan uang gaji

yang berkurang. Ayah bercerita panjang lebar dan menunjukan tanda

bukti yang dimilikinya. Saat mendengar cerita dari ayah, ibu tampak

terharu.

“Aku bangga dadi bojone sampean, Yah,” lalu ibu menangis. “Aku

bangga jadi istrimu, Yah.”

Sontak aku tertawa keras, “Opo, rek, kok mboten romantis blas

ngoten kata-katae.” Hehehe, itu adalah sebuah celetukan spontanitas.

“Apaan. Kok nggak romantis sama sekali kata-katanya.”

Semenjak itu saya bertambah kagum dengan ayah, bekerja keras

banting tulang, tak lupa bersedekah, juga tahu bagaimana caranya

membahagiakan keluarga. Bagi saya beliau adalah sosok yang sangat

menginspirasi. Aku bangga dadi puterane panjenengan, Yah.

Page 312: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 292

Page 313: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 293

Malaikat Penolong

(Fadhilah)

Berdasarkan banyaknya pengalaman yang telah saya lalui di hidup

saya, hanya ada satu orang yang paling berjasa dan inspirator terbaik.

Bukan karena dia berasal dari kalangan atas, artis, maupun inspirator-

inspirator terkenal pada umumnya, namun karena kesempurnaan yang

telah beliau buat melalui kasih sayang tulus dan yang tidak tertandingi.

Sosok wanita yang luar biasa, hingga tidak dapat dijelaskan.

Lebih dari 2 tahun yang lalu, saya memiliki musibah terberat yang

saya alami dalam hidup saya, hingga kadang kala saya selalu berpikir

ketidakadilan yang telah dibuat oleh Tuhan kepada saya cukup membuat

saya kecewa dan percaya bahwa Tuhan tidak lagi Maha Adil. Kecelakaan

itu, kecelakaan luar biasa yang terjadi antara dua pengendara sepeda

motor yang melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Yah,

malam itu, sepulang dari salah satu kursus yang biasa saya lakukan

setiap malam harinya. Bukan malam terindah bagi saya, melainkan

Page 314: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 294

sebuah malam yang tidak terlupakan. Kecelakaan yang membuat banyak

sekali perubahan, kecelakaan yang mengajarkan saya untuk merasakan

bagaimana kehidupan seseorang yang tidak dapat berjalan dengan

kedua kaki yang dimilikinya, kecelakaan yang mengajarkan banyak hal,

bagaimana cara kita untuk lebih bersyukur dan menghargai kehidupan

serta nikmat-Nya.

Hampir genap satu tahun lamanya saya merasakan bagaimana

menjadi seseorang remaja yang hanya menghabiskan waktunya di atas

tempat tidur. Hanya mampu berbaring dan selalu melibatkan banyak

orang untuk melakukan segala aktifitas. Di mana kehidupan saya sangat

berbanding terbalik dan berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Di mana

sebelumnya saya dengan mudah melakukan segala aktifitas sendiri, di

mana dengan mudah melakukan apa pun yang saya mau, dan dengan

mudah pula saya pergi dan beranjak dari tempat tidur itu. Patah tulang

di bagian paha itu membuat segala perubahan di hidup saya.

Sempat koma beberapa saat, membuat kedua orang tua saya

Page 315: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 295

menangis dan bingung, setelah kecelakaan itu segeralah saya dibawa

ke rumah sakit terdekat, namun dengan kondisi darah yang mengalir

dari telinga, kaki yang sudah tidak normal dan berbeda dari sebelumnya,

dokter hanya dapat menggelengkan kepala. Dua hari terhitung dari

kecelakaan itu, saya telah melewati masa-masa kritis namun semua itu

tidak cukup membuat masalah selesai. Saya harus mendengar kabar

bahwa kaki saya mengalami patah tulang dan harus segera dioperasi.

Berbeda dari orang tua pada umumnya, mama adalah salah satu orag

yang sangat khawatir mendengar kata operasi, beliau tetap ngotot

hingga akhirnya saya dibawa pada suatu pengobatan alternatif sangkal

putung di Mojokerto. Di sana, saya ditangani seseorang tanpa alat

medis sedikit pun dan tanpa obat bius yang bisa membuat saya

menangis kesakitan. Setelah 4 bulan lamanya, belum terdapat

perubahan pada kaki saya, tetap seperti sebelumnya hanya berbaring di

atas tempat tidur, hanya saja rasa sakit itu sudah hilang.

Kecelakaan itu terjadi pada saat saya duduk di bangku sekolah akhir

Page 316: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 296

tahun ajaran, seharusnya saya disibukkan dengan latihan-latihan soal

dan menjalani ujian akhir sekolah namun keadaan saya tidak

memungkinkan hingga membuat orang tua saya memutuskan

menggunakan jasa home schooling. Dengan tidur terlentang, menulis

dan mendengarkan pelajaran sambil berbaring di atas tempat tidur.

Selang beberapa bulan, ayah saya memutuskan untuk membawa saya

ke rumah sakit tulang terkenal di Solo. Sehari setelah operasi, 10 hari

lamanya saya dirawat dan menjalani terapi kaki agar dapat berjalan

kembali. Alhamdulillah, pada akhirnya saya dapat kembali memijakkan

kaki. Bedanya, dengan dibantu oleh kedua tongkat. Awalnya saya malu

dan tidak ada kemauan untuk kembali bersekolah tapi semangat dan

semua yang telah dilakukan oleh kedua orang tua sayalah yang

membuat saya kembali bersekolah dengan menggunakan bantuan

tongkat ini. Rasa minder sempat muncul, ketika melihat banyaknya

pandangan mata mengarah ke saya saat saya melangkahkan kedua kaki

bersamaan dengan bantuan kedua tongkat itu. Beruntungnya, saya

Page 317: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 297

memiliki banyak sahabat dan teman yang tulus, yang mampu

membantu, tetap memberikan semangatnya untuk bangkit dan keluar

dari musibah ini.

Seiring berjalannya waktu, hingga lulus sekolah menengah atas,

saya masih berjalan dibantu tongkat ini. Mulai dari pendaftaran, tes

perguruan negeri, dan lain sebagainya. Tetapi lagi-lagi Tuhan

memberikan ujian kepada saya. Usai menjalani tes perguruan negeri,

saya harus mengetahui bahwa saya gagal dan tidak diterima di

universitas negeri mana pun.

Mama, muncullah nama di setiap ujian yang saya dapatkan. Dengan

memeluk dan memberikan semua nasihat, saya mulai mengerti itu

bukan suatu kegagalan tetap melainkan keberhasilan yang tertunda.

Setahun lamanya saya berhenti dan tidak melanjutkan ke bangku

perkuliahan, mama mengarahkan saya untuk bersekolah di Kampoeng

Inggris, Pare, selama 6 bulan, seusai itu mama pun tetap mengarahkan

saya untuk kursus camp mata pelajaran yang akan diujikan pada saat

Page 318: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 298

tes perguruan tinggi negeri berikutnya. Pada akhirnya usaha yang saya

lakukan tidak sia-sia dan berbuah hasil. Yah, saya rasa Tuhan memang

Maha Adil untuk semua umatnya yang mau berusaha.

Dengan banyaknya musibah dan pengalaman yang saya dapatkan

tersebut, saya mengerti dan memahami. Bahwa tidak ada lagi

seseorang yang rela berkorban, setia, dan selalu ada selain mama,

keluarga dan sahabat. Namun, jasa mama yang tak terkalahkan

membuat saya mengerti betapa berarti sosok seorang ibu. Merawat,

buang air kecil dan besar, mandi, makan, dan segala hal kecil hingga

besar pun beliau lakukan.

Mama, mama yang selalu ada. Mama selalu memeluk anak-anaknya

di setiap masalah menghampiri, mama yang selalu membangkitkan

semangat di saat runtuhnya rasa semangat yang termakan oleh suatu

musibah. Ketulusan dan kasih sayang yang tidak dapat terbalaskan oleh

apa pun.

Sampai suatu ketika saya menangis dan mencoba untuk

Page 319: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 299

menancapkan gunting di tangan karena merasa putus asa dengan

semua itu, mama datang dengan segala tangisan air mata kasih

sayangnya merelakan segala hal, dan melakukan segala cara untuk

kesehatan dan kebahagiaan anaknya. Sosok inspirator termulia dan

pemeran utama yang pernah ada dan sangat berarti di hidup saya.

Page 320: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 300

Entahlah

(M Iqbal)

Sungguh sebenarnya takdir manusia ini telah terukir dan terlukis

nan cantik di atas kanvas yang menghasilkan wajah bagi sang bumi.

Wajah ini memberi sejuta makna bagi hidup seorang manusia. Terkadang

hidup terjerembab sedalam-dalamnya ke dalam sebuah lubang di palung

laut Jawa yang dingin membuat darah membeku dan gelap sehingga

menutup mata pun terasa telah mampu untuk melihat siapa di sebelah

kita, namun kita juga terkadang mampu menggapai puncak gunung

Jayawijaya untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan menjadi lebih

lapang melihat luasnya hati yang kita miliki. Nah, di saat terjatuh ke

dalam palung inilah kita tidak mungkin mampu berenang sendiri dengan

dua kaki dan dua tangan kita untuk kembali ke permukaan hidup. Kita

membutuhkan bantuan seseorang yang sudah berada di puncak

Jayawijaya untuk datang dan menurunkan sebuah gapaian tangan untuk

meniriskan kita yang terjatuh terlalu dalam. Orang inilah yang biasa kita

Page 321: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 301

sebut ‘inspirator’.

Tapi, bagaimana kita bisa bertemu dengan mereka sang inspirator?

Seperti apakah rupa mereka? Hidupkah mereka? Atau sebenarnya

mereka selalu bersama kita namun menunggu untuk ditengok oleh kita

dan menunggu diajak ngobrol? Sebelum saya memulai untuk menjawab

izinkan saya berkata, “Tidak ada sesuatu yang kebetulan terjadi di dunia

ini, semuanya adalah Allah yang membuat itu semua terjadi.”

Cerita ini akan mengangkat sebuah inspirasi yang datang ketika

seorang anak telah hampir kehilangan sebuah alasan mengapa dia hidup

di dunian ini, untuk siapa dia hidup, dan kepada siapakah dia harus

membuat senyuman di wajah seseorang. Anak yang membutuhkan

seorang yang mau menerima dan mengakui keberadaan dia. Dia

melakukan apa pun agar ada satu orang saja yang melihat dia

tersenyum ketika dia berangkat ke sekolah hanya agar ingin

diperhatikan dan didoakan ketika ada ujian, dan hanya untuk mencium

tangan seseorang yang disayangi ketika pulang dari sekolah. Inspirator

Page 322: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 302

ini datang dan akan memberikan sebuah rahasia kecil yang diketahui

banyak orang namun tidak banyak yang mau menerima. Inspirator ini

menceritakan tentang seberapa sederhananya sebenarnya hidup ini.

Hidup ini sebenarnya hanya sebuah piring dengan nasi putih, lauk, dan

air putih. Namun manusialah yang membuatnya semakin rumit dengan

mengganti nasi putih dengan nasi kuning, hitam, atau merah, berbagai

macam lauk mulai yang didapat dari tanah, air, dan langit, atau minuman

yang dibuat jadi manis, masam, pahit, dan yang lain. Inilah yang akan

menjadi jawaban dari sang anak yang akhirnya menemukan alasan dia

untuk sekadar berangkat sekolah dan pulang sekolah.

Semua berawal dari terbangunnya semangat besar yang muncul dari

kematian seorang ayah yang amat dibutuhkan dalam sebuah keluarga.

Hilangnya sebuah tonggak pondasi di satu rumah maka pondasi itu

harus menemukan pengganti agar rumah tersebut tidak runtuh dan

menjatuhi penghuni di dalamnya. Sebagai satu-satunya lelaki yang

tersisa dalam sebuah keluarga kecil maka anak tertua ini telah

Page 323: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 303

membangun tekad yang besar untuk kembali merenovasi dan menutup

lubang-lubang yang terlihat di dalam hidup keluarga kecil ini.

Memasuki SMP favorit merupakan satu langkah sukses yang diraih

anak malang ini dengan terseret-seret untuk mencapai gerbang

kesuksesan. Sebuah pilihan besar. Dia terbelenggu antara melompat ke

dalam dunia SMK atau masuk ke dalam komunitas elit SMA. Hening

sejenak dalam kebimbangan ini. Dia teringat akan ibunya yang selalu

menyambut dia pulang dengan keadaan mencuci pakaian dan

membelakangi dia waktu memasuki rumah salah satu paman dia yang

tidak dipakai, namun baju-baju tersebut tampak asing di mata si anak

dan dia menyadari bahwa ibunya sedang mencuci baju orang lain.

Sang anak tanpa sepatah kata salam dan salim langsung memasuki

dapur sebelum ibunya menyadari kedatangannya dengan penuh air mata

di wajah anak ini. Dia hanya tak ingin melihat ibunya menangis kembali

hanya karena hal yang tidak penting ini. Sudah cukup banyak masalah

untuk ditangisi, tak perlu tertambah hal seperti ini. Seketika itu juga

Page 324: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 304

ibunya datang dan menyuruh si anak agar segera makan. Dia

memalingkan wajah dan mengiyakan suruhan itu. Ketika membuka

tudung saji, anak ini hanya melihat dua benda di dalamnya, hanya

terdapat satu mangkuk nasi yang sudah kering dan tak nampak asing

karena anak ini yang menuangnya sendiri ke dalam mangkuk semalam

dan juga sebuah kecap asin. Entah ke mana ibunya pergi, anak ini

langsung menuangkan kecap itu dan mulai mengunyah nasi kering

ditemani air putih di mulutnya agar tidak terlalu tersedak. Entah terasa

atau tidak, anak ini terus mengunya tanpa terasa air matanya

membasahi nasi keringnya, namun itu juga tidak menjadi masalah, toh

rasnya juga tidak berubah. Tiba-tiba ibunya membuka pintu dan datang

dengan satu kantung plsatik kerupuk kesukaannya. Ibu ini pun terkejut

melihat anaknya menangis dengan memegang mangkuknya. Tidak ada

satu kata pun yang terlempar dari mereka, ibu ini hanya duduk di

sebelah anaknya dan mulai memeluk dan menangisi anaknya yang

sedang memakan nasinya. Yah, anak ini tiba-tiba tersadar dari renungan

Page 325: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 305

dan memantapkan hati untuk memasuki dunia SMK. Dengan begitu, dia

bisa cepat bekerja dan bisa membelikan tempe dan tahu untuk ibu dan

adiknya di rumah. Tidak ada kesempatan untuk memasuki komunitas

SMA. Dia tahu bahwa setelah lulus dari SMA akan menjadi tidak berguna

jika tidak kuliah.

Sebuah seragam dan helaian napas semangat baru dimulai di hidup

anak ini. Dengan diterimanya di SMK terdekat di rumahnya, dia mulai

mengangkat tasnya dan mengayuh sepeda. Tahun pertama dilewati

dengan banyak kegembiraan dengan nilai akademik yang memuaskan

dan hasil-hasil lomba yang cukup membuat dia bangga karena dapat

menggenggam beberapa rupiah. Dia mulai merasa yakin bahwa inilah

hidupnya, inilah jalan yang akan dia tekuni untuk membangun kembali

keluarga kecilnya dan mengukir senyum di wajah ibunya.

Sayang, sepertinya senyum-senyum ini tidak terlalu lama, senyum

ini hanya bertengger namun tidak bersarang di hidupnya. Suatu ketika,

anak ini baru pulang sekolah dan baru saja menyandarkan sepeda di

Page 326: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 306

pohon mangga depan rumah, ada satu yang janggal di halamannya, ada

sebuah mobil merah mewah. Anak ini langsung berjalan menuju ke dalam

lewat belakang rumah dengan wajah penuh harapan agar apa yang ada

di pikirannya tidak seperti yang akan terjadi. Dia menemui beberapa

paman dan budenya di dapur dan dia disuruh ke ruang tamu. Ibunya

menyambut dengan sebuah senyum, namun ini bukan senyum ibunya, ini

senyum yang berbeda, senyum ini tidak membuat si anak bersenang

hati, bukan, ini bukan senyum yang diharapkan anak ini. Seketika itu

juga ibunya menuntunnya dan menyuruh dia untuk salim kepada

seseorang.

“Ayo, Nak, salim nang bapak.”.

Ya, itu yang ibu katakan. Mata anak ini masih terbuka namun dia tak

melihat ayahnya yang dulu, tangan anak ini menyentuh si tangan orang

asing namun dia tidak merasakan tangan ayahnya. Seketika itu juga

anak ini berjalan kembali ke dapur tanpa setetes pun perasaan yang ia

rasakan di hatinya. Dia tidak merasa sedih, tidak merasa putus asa,

Page 327: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 307

tidak merasakan ada air mata. Dia hanya sudah tidak merasakan apa-

apa di hatinya. Seperti ketika kita mencoba membangun sebuah pulau di

laut dalam, ketika pulau itu sudah muncul ke permukaan tiba-tiba tanpa

ada ombak atau arus besar pulau itu hanya runtuh dan tenggelam

kembali tanpa alasan yang pasti. Begitulah kira-kira perasaan anak

tersebut.

Kalimat akad nikah sudah terdengar, ibunya telah duduk di samping

seseorang yang baru, namun anak ini tidak melihat apa-apa dan tidak

mendengar apa-apa di hari itu. Dia sudah tidak melihat ibunya seperti

ibu yang dulu. Mungkin ibu memiliki niat yang baik agar aku bisa makan

dan sekolah, begitu yang ada di pikiran anak ini. Setelah selesai, anak ini

memulai hari petangnya, ibu dan adiknya meninggalkannya sendiri di

rumah dengan neneknya untuk tinggal di Surabaya sesuai dengan

perjanjian sebelum pernikahan. Karena alasan sekolah SMK yang belum

selesai, anak ini merelakan ditinggal satu-satunya keluarga kecil yang ia

miliki.

Page 328: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 308

Setiap bulan ibunya mengunjungi dengan membawa beberapa

lembar uang untuk makan dan jajan. Entahlah, setiap menerima uang ini

anak ini hanya mengangguk tanpa bertanya kabar ibunya yang dulu dia

cintai dengan sangatnya. Tidak ada topik pembicaraan layaknya

keluarga yang kangen dan lama tidak bertemu, anak ini termenung

setiap ibunya pulang. Di sore hari ibunya kembali menaiki mobil merah

itu dan kembali meninggalkannya, di saat itulah anak ini baru menangis.

Begitu malam tiba....

“Pernahkah ibuk memikirkanku dan tahu kalau sekarang aku

menangisinya, merindukanya, dan ingin tidur di pangkuannya sembari

menangis atau hanya sekadar untuk membaca Alquran bersama setelah

Magrib seperti dulu?” Anak ini hanya mengisi malam-malamnya dengan

memandangi foto ibunya sambil berkata, “Buk, sekarang aku hafal surat

Al-Waqi’ah loh, ibuk gak kepingin pulang dan dengerin hafalanku tah?”

Begitulah setiap malam ketika anak ini menghafal satu surat baru di

Alquran dia melaporkan ke foto ibunya, tapi tidak sepatah kata pun

Page 329: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 309

keluar ketika ibunya datang.

Perlahan anak ini mulai tidak merasakan kehadiran ibunya, baik di

saat bertemu atau dengan foto ibunya, anak ini hanya termenung setiap

malam, tidak lagi belajar seperti dulu, tidak lagi mengaji seperti dulu

karena dia bertanya-tanya dalam hatinya, “Memangnya kalau nanti aku

belajar dapat nilai bagus, toh waktu mau berangkat ujian juga gak salim

ke ibuk gak ada yang doain, terus buat apa dapet nilai bagus? Buat

siapa nilainya nanti? Lagian nanti gak usah susah-susah nyari kerja, toh

ibuk udah megang uang banyak, nanti juga kalau aku pulang bawa bakso

ibuk juga gak akan terlalu senang. Terus apa lagi alasan aku buat hidup?

Untuk siapa? Siapa yang bisa kubuat tersenyum dan bangga dengan apa

yang aku dapatkan? Kalau cuman untuk aku sendiri, aku tidak butuh

yang muluk-muluk. Memang bisa apa aku senyum untuk aku sendiri?”

Begitulah anak ini mulai tidak peduli dengan hidupnya, tidak ada lagi

yang ia pedulikan. Tidak ada lagi yang ia pikirkan. Tidak ada lagi yang ia

khawatirkan. Setiap kali anak ini merasa sedih karena teringat hidupnya

Page 330: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 310

yang kering, dia menggunakan uang dari ibunya untuk menghibur hati,

kerap kali ia tersenyum sendiri dan berusaha menghibur diri sendiri,

memanjakan lidah dengan semangkuk bakso dan es teh, atau

memanjakan imajinasinya dengan bermain game sampai larut malam.

Sehingga pada suatu hari di sekolahnya, ia berbuat sebuah

kesalahan dalam organisasi yang dulu ia ikuti karena kelalaian dan

kemalasan yang ia perbuat. Dia menghitung anggaran bulanan

organisasi tersebut, dan membuat kesalahan sehingga keuangan

merugi. Akhirnya, anak ini terkena sanksi dari seorang guru, namun

sanksinya bukanlah dibawa ke guru BK melainkan disuruh menemui guru

ini di masjid sekolah sepulang sekolah. Anak ini menemui guru tersebut,

ternyata sang guru telah lama menyoroti anak ini, melihat perubahan

besar dan sekarang selalu terlihat murung, sang guru bertanya tentang

masalah anak ini. Setelah berbicara panjang lebar, anak ini kembali

menangis dan sang guru berkata, “Senyummu selama ini itu hanya

Page 331: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 311

senyum palsu.” Dan memang benar bahwa itulah yang terjadi. Maka sang

guru mulai memasuki hidup anak ini dan mencoba meluruskannya.

Begitulah dua ‘kakak-beradik’ ini selalu bersama. Sang guru yang

masih muda menganggap muridnya sebagai adiknya sendiri, sang guru

selalu mengajak muridnya ke mana pun jika ada sebuah urusan, tak

jarang mereka berdua pergi ke tempat pengajian dan pergi ke makam-

makam wali Allah yang dimuliakan. Di sanalah, sang guru mulai

memperkenalkan kehidupan seorang muslim yang sesungguhnya. Satu

kalimat dari sang guru yang selalu teringat, “Sebuah cobaan besar itu

menimpa seseorang yang derajatnya tinggi juga, berarti Allah mencintai

seseorang dengan ujian dan cobaan yang besar itu”. Kata-kata itu

membuat sang anak merasakan bahwa ia masih diperhatikan oleh

Penciptanya. Itulah yang membuat sang anak merasakan kasih sayang

yang tidak didapat dari seorang manusia. Perasaan kasih sayang yang

begitu murni dan kekal.

Begitulah sang anak mulai menemukan sedikit dari makna kejadian-

Page 332: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 312

kejadian yang ia alami selama ini. Ia mulai menemukan jawaban-

jawaban dari pertanyaannya yang dulu. Hanya karena pertemuan yang

tidak sengaja yang berawal dari sebuah kesalahan. Begitulah bagaimana

bahkan sebuah kesalahan masih memiliki makna dan manfaat yang

dalam bagi kehidupan. Bahkan di dalam palung laut yang pun kita tidak

akan pernah bisa menebak apa yang ada di dalamnya, mungkin ada

sebuah mutiara atau sebuah aliran air tawar jernih di bawah kumpulan

air asin laut yang gelap.

Entah cerita ini berakhir. Entah cerita ini menginspirasi. Entah cerita

ini menarik. Tidak ada yang peduli. Penulis hanya ingin pembaca untuk

lebih lembut dan peka setelah membaca ini. Bahwa dengan hati peka

kita selalu dapat menemukan anak-anak yang seperti ini. Dan kita bisa

memulai untuk menjadi ‘sang Guru’.

Page 333: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 313

Prajurit Dili 1992

(Alfian EP)

Setiap manusia sudah pasti memiliki seorang inspirator yang

mempengaruhi kehidupan mereka. Karena sejatinya manusia adalah

makhluk sosial yang mengadopsi teori simbiosis mutualisme, setiap

individu pasti membutuhkan individu lain untuk bertahan hidup. Dari sini

saya dapat simpulkan bahwa inspirator adalah kebutuhan individu

seseorang yang berfungsi sebagai penyemangat dalam hidupnya. Begitu

pula dengan apa yang ada dalam diri saya. Begitu banyak sudah tokoh

atau orang-orang biasa yang pantas saya definisikan sebagai inspirator

dalam hidup saya. Menggunung sudah terapi hidup yang saya dapatkan

dari mereka, tentu dengan ciri khas yang berbeda dari setiap

penuturnya. Tak mungkin rasanya saya menuliskan satu per satu nama

mereka di sini, tentu mau tidak mau saya harus memilih satu yang

terbaik di antara banyak inspirator yang saya kenal. Dalam lembaran

kertas putih yang bertuliskan deretan kata sederhana ini saya sematkan

Page 334: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 314

ayah saya sebagai pemuncak daftar inspirator bagi saya.

Seorang ayah yang saya punya hanyalah seorang pemuda desa yang

hidupnya serba pas-pasan. Bagaimana tidak, untuk makan saja beliau

harus berdagang es lilin sambil membawa jajanan tradisional di atas

kepala sembari berjalan kaki ke desa tetangga. Sedangkan uang saku

buat sekolah datang dari usaha keras beliau membantu tetangganya

yang berjualan soto dan bakso. Dalam pikirannya saat itu hanya usaha

keras, karena beliau adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang

semuanya adalah anak laki-laki. Sedikit cuplikan tentang ketidakadilan

dari saudaranya tertuang dalam obrolan santai di ruang tamu, beliau

menceritakan dengan detail bagaimana perlakuan saudaranya yang

semena-mena dalam berbagi tugas. Tapi beliau mengerjakan dengan

sabar tanpa mengeluh sedikit pun. Beliau juga bercerita saat kakaknya

menyuruh dia memancing ikan di Bengawan Solo sebagai tambahan

lauk, tapi apa daya insting anak-anaknya pun mencuat, beliau lebih

memilih mandi dan berenang di sana dengan teman-temannya

Page 335: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 315

sedangkan amanah dari saudaranya dia tinggal. Fajar pun tenggelam di

sisi Barat, semua temannya bergegas pulang sembari memungut

pakaian yang mereka tinggalkan di sisi bengawan. Akhirnya beliau pun

teringat apa yang semestinya dikerjakan pada saat itu, beliau takut

untuk pulang ke rumah karena sudah pasti mendapat hukuman dari

saudaranya. Saat itu juga temannya mengantarkan pulang beliau.

Sesampai di rumah keadaan biasa-biasa saja karena saudaranya

hanya terdiam sembil memakan tempe hangat dengan nasi dan sambal

sebagai pelengkapnya. Tak lama kemudian kakaknya pun menghampiri

dengan seutas tali, benar saja dia diikat di pojok rumah yang sudah

disiapkan semut-semut besar yang orang Jawa biasa menyebutnya

“keranggang”. Sepertinya salah satu dari kakaknya mengetahui

perbuatannya, sembari menggosokkan kakinya satu sama lain karena

gigitan semut beliau pun mengaku atas kesalahanya dan meminta maaf

atas kejadian itu.

Hari demi hari pun berlalu, beliau melanjutkan sekolahnya dari

Page 336: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 316

madrasah ke SMA. Beliau adalah murid yang rajin yang lebih memilih

sekolahnya daripada bekerja di ladang demi segenggam rupiah. Saat itu

banyak dari rekan seangkatan beliau yang bekerja di ladang karena

keterbatasan biaya, dan prinsip mereka lebih memilih pekerjaan

ketimbang melanjutkan sekolah. Ketika rindu pada kampung halaman

beliau menyempatkan diri datang ke rumah gurunya, sambil menikmati

kopi hangat, sang guru menceritakan bagaimana bandelnya ayah saya

saat duduk di bangku SMA. Karena lebih memercayai temannya, beliau

sering kali bolos sekolah dikarenakan pelajaran Matematika yang dirasa

membosankan dan sangat sulit. Sembari tertawa beliau mengingat apa

yang terekam dalam jenjang pendidikannya. Beliau juga sering tidur di

kelas karena sebelum matahari melingkar di sisi Timur beliau harus

memberi makan ternak milik tetangganya. Sebuah hal yang lumrah kata

gurunya yang paham betul posisi ayah saya pada saat itu.

Di tahun kedua sekolah menengah atas digelar, entah apa yang ada

dalam benak beliau. Beliau tidak melanjutkan sekolah dan bertekad

Page 337: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 317

melanjutkan karirnya sebagai prajurit TNI. Sontak hal itu membuat

bingung orang tuanya.

“Bagaimana bisa orang tuamu ini mendaftarkan dirimu sebagai

bagaian dari TNI sedangkan untuk makan saja kita kekurangan?” cetus

sang ibu.

Mendengar hal ini tetangga beliau tak tinggal diam, dengan hati

seperti malaikat si tetangga merelakan seekor lembu demi kesuksesan

beliau. Hari yang ditunggu pun datang, sebuah tes tamtama yang digelar

TNI disebarluaskan ke penjuru negeri. Bermodal uang hasil penjualan

lembu milik tetangganya dan latihan fisik rutin beliau berangkat untuk

mendaftar calon tamtama. Beruntungnya, karena pada saat itu kriteria

masuk TNI hanya sebatas lulusan SMP dan yang diprioritaskan hanya

tinggi serta berat badan. Perjuangan beliau tidak sia-sia, melihat hasil

pengumuman bersama sang ayah akhirnya dengan bangga bisa menjadi

bagian dari TNI. Hal ini membuat ibunya merasa senang sekaligus sedih,

karena anak bungsunya kini meninggalkan rumah demi tugas negara.

Page 338: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 318

Beliau pun menempuh pendidikan TNI, hari-harinya kini diisi oleh

latihan yang cukup berat. Sebuah tas berisikan batu bata adalah hal

yang lumrah bagi punggung beliau, sambil mengikuti instruksi senior,

beliau disuruh berjalan puluhan kilo sebagai terapi tiap minggunya. Di

sinilah mental seorang prajurit dibangun, latihan fisik berbalut kontak

fisik membuat sebagian temannya down. Dan salah satu teman beliau

yang tidak kuat dengan hal ini mencoba bunuh diri dengan menenggak

cairan pembasmi nyamuk. Ditunjuk sebagai ketua regu ayah saya pun

menenangkan temannya, dengan kata-kata yang membangun beliau

berhasil membangkitkan lagi kepercayaan diri temannya karena di situ

bukan dia sendiri yang berjuang melainkan orang banyak. Selepas masa

pendidikan berakhir, beliau diperbolehkan menjenguk keluarga di

kediaman, rasa haru pun mulai tercipta antara kedua pihak (baik orang

tua maupun ayah saya). Bungsu dari empat bersaudara pun kembali

pulang dan semua orang bangga dengan apa yang dia dapat selama itu.

Yang lebih mengejutkan adalah beliau mampu berbicara bahasa Jawa

Page 339: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 319

halus (kromo) kepada orang tuanya dan perilakunya pun lebih santun

dari sebelumnya. Ternyata latihan keras dari pendidikan TNI

membuatnya berubah menjadi lebih baik lagi.

Selepas kembali dari kampung halaman, beliau kembali ke Surabaya

dan bertugas di sana. Beliau terkejut melihat sebuah surat mendarat

tepat di depan pintu kamar asramanya. Ternyata surat tersebut

menginformasikan agar seluruh elemen TNI berangkat ke Dili untuk

membantu menuntaskan kisruh di Timor Timur. Seluruh lapisan TNI pun

dikumpulkan dan berbaris untuk bersiap pergi ke tanah Dili. Akhirnya,

beliau pun berangkat menggunakan kapal tongkang (kapal barang) dari

pelabuhan Tanjung Perak. Beliau bercerita bagaimana perjalanannya di

tengah laut dengan sebuah kapal barang yang sejatinya tak layak

digunakan untuk mengangkut ratusan prajurit.

“Kalau pagi lumayan enak dengan pemandangan laut yang segar,

tetapi kalau malam seperti orang buta yang sulit untuk menemukan

jalan,” dongeng beliau.

Page 340: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 320

Seminggu terombang-ambing di lautan akhirnya sampailah beliau di

pesisir Timor Timur, beliau harus menggunakan transportasi darat untuk

sampai di kota Dili. Sebuah hamparan bukit dan gunung menjelma

menjadi rintangan yang sulit ditembus, belum lagi pasukan Xanana

mengintai di balik rindangnya rumput dan hutan-hutan.

Ya, Xanana adalah presiden pertama Timor Timur yang dulunya

kontra dengan pemerintahan Timor Timur yang berpaham Marxism, saat

Indonesia ikut campur dalam masalah Tim Tim, dia pun pergi bersama

pasukannya ke bukit-bukit untuk menghindari sergapan Indonesia.

Sebuah pos dan tenda-tenda pun menanti, beliau ditempatkan di sebuah

pos perbukitan dekat dengan kota Dili. Pos ini adalah akses utama

untuk masuk ke kota Dili, wajar bila akan banyak orang yang diperiksa

sebelum memasuki kota ini.

Tepat pada malam hari beliau mendapat tugas dari komandan untuk

berjaga di area bukit, bersama rekannya beliau mulai menyusuri rimba

kota Dili. Terkadang suara binatang liar pun berkumandang ditelinga bak

Page 341: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 321

mendengarkan musik kematian dalam gelapnya malam. Beliau pun

berpatroli untuk mencegah serangan mendadak dari pasukan Xanana.

Tidak ada kata tidur dalam benak beliau, cukup sedikit istirahat sudah

membuat kondisinya membaik, sambil menikmati biskuit dan kopi

panas pada malam itu. Berhari-hari di bukit kota Dili, akhirnya kabar

gembira pun datang dari sebuah stasiun televisi Indonesia. Kabar itu

dimuat karena Xanana berhasil ditangkap oleh pasukan TNI Indonesia

dan direncanakan bertolak ke Jakarta untuk dimintai keterangan.

Setelah Habibie memerintahkan TNI untuk mundur dari wilayah Tim Tim,

semua pasukan pun kembali ke daerah asal mereka. Sebuah tanduk

rusa dan bekas peluru mortir adalah oleh-oleh dari tanah Dili, bagi beliau

selain mempelajari bahasa Tim Tim yang mengadopsi bahasa Portugal

harus ada hal lain yang harus dia sematkan sebagai oleh-oleh dari tanah

Dili.

Setelah kembali dari Tim Tim, setahun kemudian beliau menikah

dengan ibu saya dan tinggal di asrama TNI Surabaya. Tidak ada tanda

Page 342: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 322

jasa apa pun dari pemerintah selepas dari Tim Tim. Mungkin krisis yang

timbul dari rezim Soeharto dan peralihan kursi jabatannya ke Habibie

membuat prajurit TNI terlupakan.

Terlepas dari semua kisah yang tertuang kini ayah saya adalah orang

biasa, sama halnya denga ayah-ayah lain yang ada di bumi ini. Yang

membuatnya istimewah hanyalah sudut pandang beliau yang mampu

membangun biduk rumah tangga hingga berhasil. Beliau juga

mengajarkan kata “tegas” dalam diri anaknya. Hal inilah yang membuat

saya mencatatnya dalam daftar orang yang paling berpengaruh dalam

hidup saya. Berkat jasa beliau kini saya mampu melanjutkan setiap

tahap jenjang pendidikan dan akan selalu mencontoh hal baik yang

beliau torehkan dalam hidup ini.

Page 343: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 323

Ibu

(Ittaqi T)

Sudah dua tahun ini ketika ayah pergi meninggalakan keluarga maka

sosok seorang ibulah yang menjadi panutan, bukan meninggal dunia

melainkan meninggalkan tanpa alasan melepas semua tanggung jawab

seorang ayah yang sudah diamanahkan padanya. Tetapi di sisi itu,

dengan kepergian beliau menjadi sebuah pelajaran yang nyata bagi

keluarga kami. Tidak selamanya kita harus bergantung hidup kepada

orang tua, terkadang hidup mandiri menjadi suatu harapan baru bagi

kita. Di dalam kondisi yang seperti ini, bergantung kepada orang tua

bukan pilihan yang tepat, tapi saya bangga memunyai seorang ibu yang

dengan segala kekurangannya dan kasih sayangnya mampu

mengantikan sosok seorang pemimpin keluarga bagi saya.

Ibu adalah wanita yang paling berjasa dalam hidup seorang anak di

mana pun berada. Amat besarnya kasih sayang ibu untuk anak, tak

mungkin dapat kita bayangkan, seindah apa pun mungkin tak akan

Page 344: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 324

sebanding dengan realita kasih sayang yang merekaibu berikan dengan

tulus. Meskipun beliau tahu bahwa anak-anaknya akan membutuhkan

biaya melanjutkan pendidikan, beliau tidak pernah mengeluh atas apa

yang sudah terjadi pada kami. Tanggung jawab beliau justru lebih besar

dibandingkan dengan sosok seorang pemimpin di keluarganya, di

samping beliau memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya, beliau juga

tidak lepas tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Beliau adalah

seorang yang menyadarkan saya akan hal yang penting tentang

kemandirian dan cara bertahan hidup. Di saat beliau pergi mencari

nafkah demi keluarga, di situ terlintaslah pemikiran yang sebelumnya

tidak pernah terlintas: Memulai mengais rupiah demi rupiah untuk

melanjutkan belajar agar dapat membahagiakan ibu.

Sebelum Tuhan memberikan cobaan ini kepada keluarga saya,

Tuhan menyadarkan saya tentang bagaimana hidup mandiri dan cara

bertahan hidup. Satu kata yang masih tertancap sampai saat ini adalah

ketika ibu berkata, “Nak, jangan sampai kamu putus belajar, terus

Page 345: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 325

belajar dan raih cita-citamu bagaimanapun keadaannya.” Dari situ saya

mulai belajar berpikir tentang masa depan saya. Mulai saat itu saya

belajar untuk membiayai kuliah saya sendiri dengan bekerja sebagai

guru les di sebuah kursusan bahasa Inggris dekat rumah.

Dan sekali lagi, ibu adalah ia yang tak akan tega melihat atau

menyaksikan anaknya menderita. Mungkin jika diberikan pilihan

kepadanya antara hidup dan kematian yang sangat menentukan, ia akan

memilih mati agar kita sebagai anaknya tetap hidup. Mungkin kita tidak

lagi ingat ketika ibu kita dengan sangat rela membersihkan kotoran kita

saat kita balita, ia yang dengan sabar menyuapi kita saat kita rewel

atau yang dengan sabar menunggu malam agar cepat berlalu ketika kita

terbaring sakit, dengan matanya yang sayu karena tidak tidur

mengkhawatirkan kita, dan ibu memaksa saya untuk tidak bekerja dan

fokus kepada cita-cita saya.

Page 346: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 326

Keringat Pejuang

(Mariyama D)

Perlu kita tahu sebenarnya pelajaran paling berharga bukanlah

pelajaran saat kita duduk manis di dalam kelas, melainkan pelajaran

saat kita di luar kelas dan berbaur dengan alam, di mana saat itulah

dunia yang memberi kita sebuah pelajaran kehidupan. Tanpa kita sadari

setiap hari pasti banyak pelajaran yang bisa kita ambil meskipun dari

hal-hal sepele yang mungkin tidak terpikirkan. Di sini saya ingin berbagi

pengalaman saya yang mungkin tidak begitu ‘wah’ dan lebih seperti

celotehan saja, tapi berkat pengalaman inilah hati saya tersadar.

Ini adalah sebuah cerita tentang saudara kembar saya. Ya, saya

memunyai saudara kembar laki-laki yang mungkin kalau dimiripkan tidak

akan terlihat kembar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia memang

saudara kembar saya. Dan di sini sayalah yang menjadi seorang adik.

Kisah ini bermula saat kami akan memasuki jenjang perkuliahan.

Pagi itu mentari menyelimuti rumah kami dengan hangat. Aku yang

Page 347: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 327

sudah mau berangkat kuliah berpamitan dengan kakakku terlebih dahulu

saat melewati kamarnya. Dia masih terlihat sibuk bersiap-siap untuk

pergi ke kampusnya juga. Kamarnya selalu terlihat rapi walaupun dia

laki-laki, itulah satu hal yang mungkin terbalik di antara kami. Di

kamarnya nampak hanya ada kasur dengan bantal dan guling, sedang di

sudut barat tepat di sebelah pintu, berdiri gagah almari kayu yang diikuti

tumpukan buku yang menggunung, sekilas seperti buku-buku yang

dijajakan di jalan Semarang. Yah, itu adalah buku kumpulan soal-soal

SBMPTN mulai dari tahun-tahun yang lalu tak terkecuali tahun ini.

Sedikit mengherankan memang, di sini dia sudah berstatus mahasiswa

akan tetapi buku yang ada di kamarnya justru buku untuk persiapan

masuk perguruan tinggi negeri.

Kamis ini kelasnya masuk pagi, diawali dengan Kalkulus dan diakhiri

dengan Pancasila. Tiap detik tiap menit dan tiap jam yang berlalu dalam

benaknya hanya kapan kuliah pada hari ini akan usai dan segera ingin

merampungkan buku-buku yang ada dalam kamarnya. Memang

Page 348: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 328

keberadaannya dalam kampus yang sekarang dia pijaki sangat bertolak

belakang dengan mimpi yang sejak kecil dia impikan: Menjadi seorang

dokter. Akan tetapi takdir berkata lain. Kini dia berdiri di sini, di kampus

yang sama denganku, menghirup udara yang sama, kampus Universitas

Negeri Surabaya, Fakultas Teknik, jurusan S1 Teknik Elektro. Tapi dia

tetap bersikeras bahwa suatu hari nanti dia akan mewujudkan

mimpinya, bercakap dengan seorang pasien yang berharap akan

kesembuhannya, “Bagaimana keadaan saya, Dok?“ Inilah yang selalu dia

ceritakan padaku. Dia juga sering mengingatkanku kalau mimpi akan

selamanya menjadi mimpi jika tak ada usaha untuk memperjuangkan,

meski saat menempuhnya akan mengalami kegagalan berkali-kali. Hal

inilah yang selalu dia pegang teguh semenjak dia mengalami

ketidakberuntungan dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun

2013 lalu, ya orang-orang menyebutnya SBMPTN.

Langit mulai berganti, perlahan menjadi gelap dan bintang-bintang

mulai bermunculan. Setelah salat Magrib dia masih saja mempunyai

Page 349: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 329

kesibukan, mengajar siswa-siswi SMP. Dia sudah rapi dengan kemeja

merahnya dan siap melawan dinginnya udara malam. Jaraknya sekitar

30 menit dari rumah, ya bisa dikatakan lumayan. Aku sempat bertanya

padanya mengapa tidak berhenti saja dari mengajar, karena dia juga

harus fokus untuk SBMPTN berikutnya, apalagi gaji dari mengajarnya

juga tak seberapa. Tapi jawabannya hanya sederhana, “Aku mengajar

tidak untuk mencari uang, yang terpenting ilmuku bermanfaat,” lalu

kalimat itu dilanjutkan dengan bercerita kenapa dia bertahan. “Rumah

itu memang tak terlalu besar, tapi terlihat teduh dan nyaman. Di

pelataran rumah selalu nampak sandal-sandal mungil berserakan ke

sana ke mari. Dari kejauhan wajah-wajah yang masih lugu itu terlihat

penuh semangat yang haus akan ilmu. Mereka tak sekadar murid bagiku,

semangat mereka untuk menjadi sukses membuatku malu. Ya,

merekalah semangat yang kupunya saat aku terpuruk. Mungkin bisa

bertemu dengan mereka merupakan skenario Tuhan yang lain. Dan justru

merekalah yang secara tidak langsung mengajarkanku apa itu

Page 350: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 330

semangat.”

Aku hanya terdiam mendengarnya, di benakku saudara kembarku

yang selama ini begitu menyebalkan mengajarkanku sebuah makna yang

dalam. Tak berhenti di situ, usai datang dari mengajar dia pun mulai

mengerjakan kumpulan soal dari buku-buku yang tertumpuk seperti

cucian kotor itu, padahal malam sudah makin larut. Esoknya, hal yang

serupa dia lakukan mulai dari kuliah hingga sore, namun malam ini

aktivitasnya berbeda. Jika kemarin adalah untuk menyalurkan ilmunya,

maka kali ini dia pergi untuk mencari ilmu lagi. Tempat itu tampak

seperti rumah harapan, di mana banyak alumni yang belum atau masih

ingin mencoba SBMPTN lagi, menggantungkan sedikit besar harapan

mereka, nama tempat itu Nurul Fikri. Aku tak tahu sampai kapan dia

bertahan dengan rutinitas sepadat itu apalagi harus pulang pergi setiap

hari.

Hari berganti hari, kegiatan yang dia lakukan masih tetap sama,

hampir setahun tidak terasa, aku lihat semangatnya makin memuncak.

Page 351: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 331

Aku senang karena senyum itu telah kembali, yang mana sempat hilang

sejak pengumuman SBMPTN tahun lalu. Beberapa hari ke depan akan

ada salah satu perguruan tinggi swasta yakni Hang Tuah Surabaya

dengan prodi Kedokteran yang mulai mencari mahasiswa pada

gelombang I. Dia pun memberanikan diri untuk mencoba peruntungan di

universitas tersebut. Kepercayaan dirinya tidak semata-mata embel

belaka namun melihat prestasi dan nilai yang ada dalam try out yang

diselenggarakan oleh tempat lesnya cukuplah membuat bangga. Ya, aku

tahu dia memang pintar. Saat itu dia masuk peringkat 10 besar se-

Surabaya, bahkan untuk beberapa kali.

Kini hari ujian itu tiba, dengan semangat yang berapi-api dan

kepercayaan yang tinggi dia mulai mengerjakan soal demi soal, aku

berharap agar dia lolos kali ini. Namun, takdir memang tidak di tangan

manusia, dia mendapati namanya tidak tercantum dalam pengumuman

tersebut. Kekecewaan masih setia menemaninya sampai hari itu, dan

senyum itu pun kembali hilang.

Page 352: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 332

Malam itu, kesedihan masih terlihat jelas dari wajahnya, dia hampir

putus asa dengan impiannya. Namun janji akan bertemu kawan lama

membuat dirinya memberanikan diri untuk menumpahkan segala beban

yang selama ini dia alami. Temannya itu hanya tertawa mendengar

ceritanya, “Hei, Kawan, apakah kau tak tau akan perjuanganku dulu?

Diriku yang harus merasakan terdepak dari kampus yang entah aku

cocok atau tidak waktu itu dan sekarang aku menjadi seorang

mahasiswa dengan mimpi yang selama ini aku impikan, manjadi

mahasiswa ITB. Dan itu semua aku dapatkan dengan penuh luka.

Kegagalan adalah hal yang biasa kawan, tapi bangkit adalah

jawabannya. Ingat kita masih punya Tuhan yang selalu mengabulkan

doa. Tetap semangat, Kawan, ingatlah kata guru kita dulu, tidak ada

hasil yang luar biasa dengan usaha yang biasa-biasa! Man Jadda Wa

Jada!”

Malam ini begitu dingin, membuatku terbangun dan bergegas ke

kamar mandi. Nampak sosok yang sangatku kenal bersujud dengan isak

Page 353: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 333

tangis memecah suasana malam ini. Aku terdiam. Esoknya dia

mengucapkan suatu hal kepada ibu, bahwa dirinya masih ingin menjadi

seorang dokter dan mulai bergegas pergi. Kini sebuah kesempatan

menghampirinya lagi, tes masuk Hang Tuah gelombang II telah dibuka,

semoga inilah jawaban dari penantiannya.

Hari itu pun datang, hari di mana pengumuman kelulusan tes masuk

kedokteran Hang Tuah gelombang II diumumkan. Dia masih ragu-ragu

untuk melihat pengumuman tersebut. Sampai akulah yang akhirnya

membukanya. Kubuat senyum selicik mungkin agar membuatnya

penasaran. Dengan lantang aku memberi selamat padanya.

“Selamat kamu LOLOS!” Saat itu aku menyaksikan sendiri di depan

mataku. Sesosok manusia yang sudah bosan akan kegagalan,

menerobos takdir yang sulit, yang membuatnya tahu bahwa Tuhan Maha

Adil. Kini usahanya berakhir dengan indah, walau tak masuk universitas

negeri dengan nama yang mentereng tapi bagaimanapun Kedokteran

adalah prodi yang sangat diminati dan sangat sulit untuk menembusnya.

Page 354: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 334

Kini ia menjadi orang yang ada dalam mimpi kecilnya, mimpi menjadi

seorang dokter.

Dari situ, aku belajar bahwa siapa yang bersungguh-sungguh pasti

akan berhasil. Yap, Man Jadda Wa Jada, sebuah mantra yang memang

benar adanya. Pasti akan ada jalan untuk mengejar mimpimu, teruslah

memperjuangkannya jangan sampai kegagalan menghentikanmu. Justru

jadikan kegagalan tersebut menjadi motivasi terbesarmu. Selama ada

kesempatan, jangan pernah kau sia-siakan sekali pun. Dan ingatlah

tidak ada hasil yang menghianati usaha.

Page 355: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 335

Biarkan Ayah dan Ibu Terbenam di Diriku

(Sheellviana D)

Perputaran bumi pada porosnya telah mengakibatkan kehidupanku

mengalami perubahan setiap siang dan malamnya. Begitu juga dengan

perputarannya terhadap matahari yang memberi hitungan waktu untuk

hidupku dan tiap kisahnya. Fenomena lazim yang memiliki proses hebat

ini aku jadikan acuan untuk tidak menyiakan kesempatan atas

kedahsyatan nikmat-Nya. Lepas dari cara berpikir yang bijak itu,

kehidupan juga menabuhi hidupku dengan rasa yang melawan bijak itu

sendiri.

Setelah menghabiskan waktu 21 tahun, aku mencoba mengelilingi

memori untuk menemukan lembar cerita yang dapat memacu semangat.

Tentu, semangat melawan penjajahan mental dalam batin. Meskipun

keagungan Tuhan telah menjadi salah satu inspirasi yang tidak ingin aku

lupakan tiap harinya, hubungan sosial dalam hembusan napas yang

diberi juga memberi andil. Di sudut hati yang penuh kasih, aku dapati

Page 356: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 336

sosok wanita yang selalu menggenggam tangannya erat di celah-celah

jemariku. Dia tidak sendiri, bersama lelakinya. Lelakinya yang dengan

gagah merangkul kami, aku dan wanita itu.

Wanita cantik yang memulai janji sakralnya, Endang bersama pria

yang menjabat tangan penghulu dalam akad, Sugiono. Tidak lama

setelah pernikahan keduanya, berkah datang untuk mereka dengan janin

di dalam rahim wanita 22 tahun itu. Emansipasi wanita yang sudah

berlaku di hukum Indonesia mengijinkan Endang turut menjadi seorang

wanita karir. Dia meraup rupiah di sebuah perusahaan yang tidak terlalu

besar, sebagai seorang sekretaris. Siapa sangka kalau aktivitas padat

ini membuatnya kehilangan anak pertamanya. Di lima bulan usia

kandungannya, bayi laki-laki itu tidak bernyawa.

Sokongan dari suami yang telah menelan janji hidup bersamanya

membuat Endang bangkit dari gelapnya. Setelah satu kala bumi

berevolusi, rahimnya telah diberi karunia kedua. Berpegang pada

kepahitannya, Sugiono menjaga sang istri dari kegagalan yang sama.

Page 357: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 337

Tidak kalah dengan suaminya, Endang hati-hati dengan keselamatan

janinnya. Walaupun hanya bekerja sebagai seorang pegawai di salah

satu perusahaan swasta, Sugiono mengumpulkan semua tetes keringat

untuk biaya istri ke dokter spesialis. Tidak, istrinya baik-baik saja. Dia

hanya melakukan pemeriksaan rutin dengan dokter spesialis kandungan.

Setelah amplop gaji diterima Endang, tiap bulannya ia sisihkan

untuk peralatan-peralatan lucu untuk calon bayinya. Mereka berdua

sengaja merahasiakan jenis kelamin calon anaknya, dengan anggapan

kejutan setelah sembilan bulan yang mereka lewati. Hari yang dinanti itu

jatuh di bulan kedua tahun 1994. Saat semua anggota keluarga inti

berkumpul di sebuah rumah sakit Surabaya menunggu kedatangan

nyawa baru untuk mereka. Dengan proses operasi, pertaruhan nyawa

Endang berhasil melahirkan bayi molek dengan berat 3,2 kg.

Ayah Endang tak bisa menghabiskan waktu lama untuk bertemu

cucunya. Perempuan, kulit merah, dan tinggi 53 cm diberi nama

Sheellviana oleh sang kakek dan sang ayah menambahkan Dewi

Page 358: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 338

setelahnya. Ya, mereka adalah keluargaku. Sugiono dan Endang adalah

sosok yang ada di semua ruang hatiku. Mereka adalah ayah dan ibuku.

Aku dilahirkan oleh seorang wanita super yang menelan obat hampir tiap

harinya demi giziku dalam kandungan. Aku diperjuangkan oleh seorang

pria tangguh yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk detak

jantungku selama sembilan bulan.

Aku dibesarkan dengan perasaan sayang, dididik dengan moral,

dibekali sampul agama. Dengan penghasilan yang cukup, ayah merogoh

sakunya untuk susu formula yang paling mahal setelah aku berumur dua

tahun. Ibu tidak segan-segan menegur orang yang memperlakukanku

dengan kurang baik. Contohnya, kakek pernah memberiku es krim ketika

umurku di bawah dua tahun. Kemudian ibu mengeluarkan kata-kata

tegas kepada ayahnya agar tidak memberiku es krim di usiaku saat itu,

karena ibu khawatir organ pencernaanku belum siap menerima jajanan

itu.

Setengah tahun berlalu di usiaku pada tahun kedua, ayah dan ibu

Page 359: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 339

kembali diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk merawat titipannya. Aku

akan segera menjadi kakak. Kakak dari adik perempuanku, Dieta Vischa

Nanda. Setelah dua tahun lebih enam bulan aku menjadi anak tunggal,

setelah dimanjakan kasih sayang kedua orang tuaku, awalnya aku tidak

ingin berbagi kasih sayang orang tuaku yang telah mengalir deras sejak

aku dalam kandungan.

Dengan polos, aku berucap, “Ma, itu siapa? Aku nggak mau liat, ah.”

Setelah proses persalinan di rumah sakit.

Ayah dan ibu menceritakan hal menarik yang akan terjadi jika aku

menjadi kakak. Keduanya meyakinkan jika tidak akan ada yang

berkurang. Tanpa aku sadari, orang tuaku telah membagi tugas. Ayah

lebih memberi perhatian kepada adik dan ibu lebih banyak

menghabiskan perhatiannya untukku. Waktu yang membuat

prasangkaku pudar sedikit demi sedikit.

Kelahiran adik Dieta menandai pindahnya rumah kami dari Sidoarjo

ke Surabaya. Sebuah perkampungan padat penduduk. Ibu sangat

Page 360: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 340

mengawasi perkembangan kami berdua, karena ibu kembali bekerja

setelah cuti melahirkan adik. Sebagai ganti waktu ibu yang terpakai

oleh pekerjaannya, seorang pengasuh dipekerjakan di gubuk sederhana

kami. Aku pernah bersekolah di taman kanak-kanak dekat rumah,

setelah satu tahun berlangsung ibu merasa tidak ada perubahan

memuaskan dengan ilmu yang aku miliki. Pendidikanku di tempat

tersebut dihentikan oleh ibu, dan dipindahkan ke taman kanak-kanak

yang dikepalai oleh nenek. Lokasinya 15 km dari rumah. Beberapa bulan

di awal aku difasilitasi antar jemput. Ketika akhir pekan, ibu

mengajarkanku berbagai hal; membaca, mewarnai, dan menggambar.

Setelah itu, aku tinggal dengan nenek dan kakek di Sidoarjo selama

pendidikanku di tingkat kanak-kanak. Saat tahun pertama memasuki

sekolah dasar, besamaan dengan hari pertama Dieta sekolah di taman

kanak-kanak. Kami berdua tidak bersekolah di sekolah dekat rumah, ibu

memilih sekolah dengan tingkat lebih bagus. Meskipun hal itu lebih

banyak menghabiskan biaya, ibu mengatakan bahwa ilmu tidak

Page 361: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 341

mengenal batasan angka.

Ayah dan ibu tidak jarang pulang dengan membawa sesuatu yang

kami sukai. Entah itu es krim, mainan, fastfood, ataupun jajanan.

Pergaulan di lingkungan rumah kami dianggap ibu kurang ramah, oleh

karena itu sebelum melangkahkan kakinya ke kantor, beliau selalu

meninggalkan selembar kertas dengan pesan di dalamnya. Kami tidak

ingin mengecewakan surga kami, maka dari itu kami lebih memilih

tinggal di dalam rumah setelah pulang sekolah. Ajaibnya, tidak ada

kebosanan bagi kami dengan hanya di dalam rumah saja. Banyak yang

kami lakukan saat berada di dalam bangunan berukuran 10x15m

tersebut, mulai dari belajar bersama, makan, dan bermain. Sebagai

gantinya, setiap waktu luang yang ayah dan ibu miliki selalu dianggarkan

untuk ocehan-ocehan kami, bahkan berlibur walau hanya jalan-jalan.

Sejak kecil kedua orang tua kami mengajarkan kami untuk hidup

disiplin dengan membuat jadwal kegiatan, membiasakan menabung, dan

memberi sugesti jika belajar itu menyenangkan. Alhasil, kami berdua

Page 362: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 342

selalu bangun tidur sesuai dengan jam, mandi, kemudian sarapan, dan

berangkat sekolah tanpa membuat antar jemput kami membuang waktu

untuk menunggu. Di perjalanan pulang sekolah, aku dan adik memiliki

kebiasaan menebak pesan apa yang dirangkai ibu hari ini. Sesampai di

rumah kami membaca kumpulan kata-kata dari ibu dan menjalankannya.

Segeralah kami ganti baju setelahnya. Makan kemudian tidur siang

adalah dua kegiatan yang tidak asing bagi kami. Bangun tidur kami

membersihkan badan dengan mandi kemudian belajar bersama di ruang

tamu sembari menunggu kedatangan ibu ketika jarum jam tepat di

angka empat. Bukan berarti kami tidak menikmati detik untuk

menunggu ayah pulang kerja, maklum ayah tidak pulang setiap hari.

Kami berhasil membuat orang-orang sekitar iri dengan kebaikan yang

kami perbuat.

Hingga suatu hari, aku dan adik pergi ke rumah saudara di sebelah

rumah kami. Tapi malang, nasib aku kecil dan adikku yang hanya berniat

bermain itu malah disambut tidak menyenangkan oleh bibi pemilik

Page 363: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 343

rumah. Sejak saat itu, ibu memutuskan untuk pindah rumah.

Sebenarnya, pindah kali ini tidak hanya karena untaian kata-kata yang

kurang patut, faktor lingkungan juga turut menjadi alasan ibu untuk

mengajukan permintaan pindah rumah ke ayah.

Sidoarjo, salah satu kota di Jawa Timur adalah kota yang menjadi

pilihan ibu untuk tempat berlindung kami yang baru. Tapi ibu juga masih

mempertahankan karirnya. Anehnya, entah mengapa aku sangat tidak

nyaman dengan kondisi rumah baru yang tanpa ibu di sana. Dalam durasi

yang cukup lama aku hanyut dalam peluh karena perasaan itu. Adik

selalu menghiburku ketika aku menangis, sehingga terkadang aku

menyembunyikan butir-butir yang jatuh itu. Aku hanya gadis yang baru

berumur 8 tahun saat itu, memberanikan diri untuk meminta ibu agar di

rumah saja. Kekagumanku kepada ibu semakin mendekati puncaknya,

karena tanpa bertanya alasannya ibu menyanggupi permintaanku.

Keluarga kami belum pernah menyusuri jalan ke rumah yang

berlokasi di Surabaya sejak perpindahan itu sampai 5 tahun. Ketika aku

Page 364: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 344

telah memasuki masa putih biru, ajakan ayah membawa kami

mengunjungi rumah lama. Aku mengamati sekitar dan menyadari

aktivitas yang tidak sesuai dengan norma. Sesampainya di rumah baru,

aku menanyakan kebenaran dari apa yang aku lihat.

“Ma, rumah kita yang lama itu kok banyak tante-tante seksi sama

om-om?” celotehku, “Ohya, Ma, itu tadi temenku dulu waktu SD bukan

sih yang tadi gendong bayi?” lanjutku. Ibu mengiyakan semua

penasaranku. Lingkungan dan pergaulan yang seperti itu yang

mendorong ibu untuk segera mengamankan moralku dan adik.

Aku dan adik tumbuh besar seiring pergantian musim. Kami berhasil

membalas usaha ibu dengan prestasi kami di sekolah. Posisi tiga

teratas selalu ada di bawah kemampuan otak kami. Rupiah dalam jumah

besar yang diperas dari peluh ayah tak ingin kami sia-siakan dengan hal

yang tidak berguna. Kebahagiaan yang diberikan Tuhan selalu membalut

keluarga kami, sebagai obat cobaan yang kadang menerpa.

Masih kuingat, kepahitan yang tidak ingin kami telan, 2010. Mobil

Page 365: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 345

kijang dengan kecepatan 100 km/jam menyapu habis jalan Diponegoro

Sidoarjo, termasuk adikku. Merenggut nyawa temanku satu rahim, yang

saat itu berangkat sekolah diantar ibu. Kejadian yang memilukan itu

membuat ayah dan ibu melindungiku teramat sangat, karena telah

kehilangan dua orang anaknya.

Aku hapus kepedihan di bola mata ibu, sebagai mana ibu menyangga

tiap tetes yang akan menyerbu pipiku. Aku besarkan hati ayah, layaknya

beliau menaburkan sejuta bunga di senyumku. Status anak tunggal yang

aku impikan bukan seperti ini. Setahun berlalu, hadirnya Najwa, seolah

menjadi percikan bahagia untuk keluarga kami. Bagaimana tidak?

Semua yang ada pada Najwa mirip dengan Dieta.

Kesalahan persepsiku masa lalu tentang anak satu-satunya kuusir

jauh dari diriku. Aku mengumpulkan semua ucapan orang tentang

besarnya kasih ayah dan ibu untukku. Kata mereka aku selalu dimanja,

dimanja dengan semua yang orang tuaku punya. Mereka bilang aku

mutiara yang tak bisa mereka nilai, karena nominal yang orang tuaku

Page 366: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

mereka-ku | 346

keluarkan demi hembusan napasku bukanlah jumlah yang kecil.

Ayah membentengiku dengan agama, dan ibu menjadi teman

berbagiku tentang pergaulan. Meskipun aku tidak berasal dari keluarga

berada, bukan berarti aku tidak berhak menyandang nasib yang lebih

baik dengan pendidikan yang aku kenyam. Syukur, adalah hal yang bisa

aku sampaikan pada Tuhan atas ayah dan ibu yang sedemikian ini.

Page 367: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik di mana kamu tak tahu lagi kamutitik di mana aku tak tahu lagi aku

kamu tak tahu lagi akuaku tak tahu kamutitik apa lagi

bilabukanbukan

titik nol

Page 368: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 347

lima

Dia, Saat Mereka Berkata

(Arvin A)

Saat hati ini bergelut tentang siapa seseorang yang menginspirasi

diri, kutautkan hatiku pada seorang hamba yang tak jauh dari

kehidupanku. Sungguh, saat itu, keputusan yang ia ambil adalah hal luar

biasa dan menggetarkan hati mungil ini. Seseorang ini akan selalu ada di

hatiku, walau ia telah tiada. Andreas Isnantanto, ayah kekasihku,

ayahku. Dia seorang kristiani tulen, putra seorang pastur gereja di

Purwokerto. Siapa sangka seorang non-muslim berwajah garang ini,

berhati begitu bersih dan lembut.

Saat kali pertama aku berkunjung ke kediamannya, kubayangkan ia

takkan menyukaiku karena wajahnya sekali pun tak menampakkan

Page 369: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 348

senyum. Ia sedang bersantai di teras memandangi bunga yang terangkai

di sekeliling rumahnya. Kudatang mendekat, tak kusangka sesuatu

mengejutkan terjadi.

“Ini ya yang namanya Ayu? Aku pernah bertemu mata ini.”

Pertanyaannya begitu mengejutkan.

“Maaf, Pak?” kubalik bertanya.

“Ya. Dulu saya pernah punya murid di SD. Matanya ya mirip kamu ini,”

ia memandangiku tepat di wajahku. Wajah kami hanya berjarak sekian

inci, seolah ia sedang menginterogasi seorang teroris yang baru

mengebom J. W. Marriot dan memaksaku mengaku sebagai pelaku.

“Ayah…,” kekasihku seolah mengingatkannya untuk sedikit mundur

menghindari merahnya wajahku saat itu.

“Saya ingat benar nama murid itu, Siti Fatimah, putranya Bapak

Anshor. Dia murid yang berkesan,” lanjutnya.

Aku terperangah membuka mulutku dan segera kututup setelah

menyadari bahwa murid itu adalah mamaku. Kupejamkan mataku

Page 370: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 349

sejenak, dan membukanya tiga detik kemudian. Saat seperti itu pun aku

masih mampu menghitung berapa detik mataku terpejam, sungguh

sakti.

“Murid itu sebenarnya adalah mama saya… Pak.” Seketika aku

mengidap broca’s aphasia dan tak ada lagi yang bisa kuungkapkan.

Sejenak bungkam. Diam dan suram.

“Oh, ya? Ya Tuhan… pantas saja mirip sekali mata itu. Benar

ternyata, kau mewarisi mata mamamu. Mulai sekarang panggil saya

ayah,” ia membela diri.

“Ya, Ayah,” aku hanya tersenyum simpul setengah tak percaya.

Tak lama setelah kejadian itu, ia terserang sakit. Sakit diabetes

yang dideritanya semakin parah dari hari ke hari. Suatu ketika, di hari

Sabtu, masih kuingat jelas hari itu. Mamaku mengunjunginya. Terekam

jelas mamaku bercerita sepulang dari kediamannya.

“Mama nggak nyangka, Pak Andreas separah itu. Tubuhnya dulu

kekar sekarang kurus tinggal tulang. Kakinya dulu besar, sekarang

Page 371: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 350

seperti kena polio. Mama bingung, itu kena diabetes apa polio,” mama

mengoceh entah berniat melawak atau memang begitu adanya.

“Mama… bisa-bisanya di saat seperti ini,” sanggahku.

“Luka di kakinya juga kok gitu ya, Yu? Sampek kelihatan tulangnya.

Katanya di bagian kulit luar tulang ekornya juga kelihatan. Ya Allah…

guruku. Semoga diberi kesembuhan.” Ku tengok wajah mama terlihat

bersedih.

Suatu ketika, aku teringat dua hari sebelum ayah pergi

meninggalkan keluarganya dan aku ke Banyuwangi, ayah terbaring di

kamarnya. Kamar itu tak terlalu besar namun nuansa hijau membuat

mata sejuk seiring menatap sekelilingnya. Suasana indah itu berubah

ketika keindahan mulai sirna dan berganti luka yang dikirim oleh Tuhan.

Saat kumasuki kamarnya, baru kusadari bau luka basah yang sangat

menyengat. Tak kuasa batinku namun apa daya. Kupaksakan masuk ke

kamarnya, kusampingkan egoku. Obat-obat pembersih luka dan penawar

sakit berjajar di meja biru dekat lemari. Di bawah kasur kutemukan

Page 372: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 351

pispot dan selang yang terhubung pada kelaminnya.

Ia menyambutku, “Ayu, sayang, suapin ayah, ya?” dengan merengek

seperti balita ia pun menggenggam tanganku.

“Pasti, Ayah,” kuteteskan air mata. Kusuapi ayah penuh iba.

“Suatu hari nanti, kau harus menikah dengan putraku. Berjanjilah.”

matanya tajam menatap bola mataku, seraya wasiat itu mengalir ke

dalam darahku, menyusuri saluran nadiku, menggertak venaku.

“Ayah?”

“Berjanjilah!” suaranya mulai meninggi.

“Ayu… berjanji,” kukatakan dengan suara halus. Kuharap malaikat

mendengarnya, mencatatnya sebagai niatan suci.

Sekilas mengenang saat itu. Masih dapat kubayangkan wajahnya

yang pilu. Selang dua bulan, ayah mengunjungi rumah saudaranya, tante

Jujuk—seorang terapis alternatif—dalam rangka berobat. Pasiennya

pun datang dari segala kalangan.

Banyuwangi, di sana tempat ayah menghabiskan sisa usianya.

Page 373: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 352

Selama ayah pergi, yang bisa kulakukan hanyalah meneleponnya.

Sebenarnya tidak juga. Aku meminta kekasihku untuk meneleponkan

tante Jujuk agar dia bisa memberikan teleponnya pada ayah. Terkadang

susah untuk sekadar mengatakan, “Ayah... Ayu kangen.” Alasannya

sangat bervariasi. Sungguh alibi yang brilian hingga sangat susah bagiku

dan kekasihku menghubunginya.

Tante sibuklah, nanti sajalah, tunggu ya, tante ada pasien, aduh

ayahnya lagi tidur, aduh nanti dulu ya tante ada tamu, dan lain

sebagainya. Aku sampai hafal kata-katanya.

Saat itu, tepat 24 Februari 2013, aku berhasil menghubungi ayah.

Tante-sejuta-alasan itu akhirnya memberikan teleponnya pada ayah.

Saat itu, kekasihku berada di sampingku. Kami meneleponnya saat di

rumahku. Perasaan kami berdua berubah aneh seketika. Aku pun berpikir

ada yang tak biasa. Tapi apa?

“Ayah, selamat pagi. Ayah sehat?” suaraku mungkin terdengar

bersuka. Benar saja, setelah berminggu-minggu, baru sekarang bisa

Page 374: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 353

kuhubungi. Bagaimana mungkin aku tak bahagia?

“A-aaa… aaa... uu… aaaa... aaaa...,” jawabnya.

Benarkah ini ayah? Pikirku.

“Ayah, bicaralah. Ini Ayu... Ayu kangen. Bicaralah, kumohon,” isak

tangis mengalir dari pelupuk mata.

“A... yaa... aa... a… aaaa....”

“Nak, maaf, ayahnya sudah tak bisa lagi bicara,” tante Jujuk

langsung saja menutup teleponnya.

Marahku membuncah saat itu. Wanita itu! Tak bisakah

membiarkanku sebentar saja bercengkrama melalui telepon dengan

ayah?! Banyak yang ingin kutanyakan. Aku hanya menangis. Begitu juga

kekasihku.

Keesokan harinya, kuterima berita dari kekasihku yang menangis di

seberang sana bahwa ayah meninggal dalam keadaan Islam. Tepat

malam hari sebelum ia meninggal dunia, ia melafalkan dua kalimat

syahadat dituntun seorang kiai. Ayah melafalkan dengan lancar, sangat

Page 375: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 354

fasih. Bagaimana mungkin? Pagi-pagi saat aku meneleponnya, ayah tak

bisa bicara. Menyebut namaku pun tak bisa.

Tante Jujuk merekam momentum ayah mengucapkan dua kalimat

suci itu. Bagaimana tak menangis aku menontonnya. Yang aneh adalah

setelah selesai melafalkan. Ayah kembali tak mampu bicara. Suatu

hikmah besar datang menghampirinya. Subhanallah. Terima kasih,

Tuhan, Kau telah memberi hidayah padanya. Pada ayahku.

Page 376: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 355

Angelku yang Cantik

(W Sisca)

Awal liburan semester dua-ku telah tiba. Semua mahasiswa

mungkin sedang menikmati liburannya dengan bekerja atau berwisata.

Namun, aku hanya ‘berlibur’ di rumah sakit. Ibuku sakit dan tak kunjung

sembuh. Resep dokter langganan yang biasa sembuhkan sakit

lambungnya, entah kenapa tidak bereaksi kali ini. Kami sekeluarga pun

memutuskan pergi ke rumah sakit lain. Setelah tes darah lengkap, ibu

pulang bersama bapak membawa hasil laboratorium.

Yang aku ingat ibu bilang, “Yok opo iki, Mbak Acis?” sambil

menangis. “Gimana ini, Mbak Acis?” beliau menyodorkan hasil tes

padaku.

Aku bertanya ada apa tapi tidak ada respon dan beliau hanya

mengusap air matanya. Aku melihat hasil lab dan kaget setengah mati.

Setelah membaca kertas bertuliskan,

Diagnosa: Leukemia atau diagnosa banding infeksi bakteri berat;

Page 377: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 356

Saran: BMA.

Seketika aku lemas dan teringat pada beberapa bulan lalu.

Sahabatku, Agnes, serta abi dari sahabatku lainnya, Afri, meninggal

akibat kanker.

Ya Allah, apa semua ini?

Kucoba cek ulang dan semuanya normal kecuali white blood cell

yang sedikit melebihi batas normal dan hemoglobin di bawah normal.

Aku berusaha menenangkan ibu. Setelah itu, cepat-cepat kucari di

internet tentang leukemia dan apa arti “BMA”. Ternyata, BMA adalah

Bone Marrow Aspiration. Artinya ibu harus segera tes sumsum tulang

belakang untuk membuktikan apakah benar leukemia atau bukan. Dulu,

Agnes sampai lemas dan kesakitan akibat tes itu. Dan apakah ibuku

harus merasakan sakit yang sama? Aku menangis sepanjang malam.

Dari diagnosis jenis kankernya, itu termasuk leukemia akut dan hanya

bisa bertahan sekitar enam bulan. Betapa kagetnya aku membuat air

mataku mengalir semakin deras.

Page 378: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 357

No, God. I love my mom. Don't take her back to You.

Akhirnya, kuputuskan memberi tahu bapak atas apa yang aku baca

di internet dan mendorong beliau untuk cepat membawa ibu ke rumah

sakit terbaik untuk tes sumsum tulang belakang. Mendengar hal itu,

beliau kaget tidak percaya separah itukah ibu. Bapak mengeluh perutnya

sakit dan keluar masuk kamar mandi. Begitulah respon tubuh beliau

saat mendengar sesuatu yang buruk dan membuatnya sedih. Beliau

tidak berhenti menangis.

"Yok opo iki, Nak. Yok opo ibukmu? Sakno ibukmu, Nak. Bapak gak

isok nek gak onok ibukmu. Opo tomboe, Nak? Tolong dolekno nang

internet yok opo, Nak." Bapak memohon sambil kami menangis bersama.

“Gimana ini, Nak? Gimana ibumu? Kasihan ibumu, Nak. Bapak nggak bisa

kalau nggak ada ibumu. Apa obatnya, Nak? Tolong lihatkan di internet.”

Di situlah cerita kami dimulai. Air mata, perjuangan, kesedihan, dan

doa mengiringi langkah kami dalam menyembuhkan ibu. Ibu adalah orang

yang menurut kami baik. Ibu sangat suka mendalami ilmu agama. Beliau

Page 379: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 358

telah memutuskan menutup aurat. Beliau suka sekali dengan Alquran,

bahkan hafal beberapa juz yang berhasil membuatku kagum. Bersedekah

adalah hobinya. Semua tetangga kami sangat menghormati dan

menyayangi beliau. Bahkan beberapa dari mereka terpengaruh untuk

salat dan mengaji bersama karena ingin seperti beliau yang sangat lurus

terhadap agama.

Kami sekeluarga suka berbagi ilmu. Jika sore hari, aku, ibu, bapak,

adek, dan mbah membicarakan tentang kehidupan, agama, dan berbagai

macam hal yang tidak sengaja menjadi topik pembicaraan yang asyik.

Dalam keluarga, aku ibarat pemain ludruk. Akulah pencipta humor yang

berhasil membuat semua orang tertawa. Banyak orang yang iri dengan

keharmonisan keluarga kami.

Aku banyak mengajari ibu tentang berbagai hal, seperti bagaimana

seharusnya seorang istri, seorang ibu, bagaimana menjalani hidup,

bagaimana hidup dalam bertetangga, bagaimana kewajiban seorang istri

pada suami, dan tentang kepemimpinan.

Page 380: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 359

Jika ditanya siapa orang di balik semua ini, akan kujawab, “Bayu

Anggoro bin Sahit.” Ya, dialah pasanganku yang mengajarkanku banyak

hal seperti apa yang aku tahu sekarang. Aku mengagumi dan

mencintainya.

Sekitar tujuh kali ibu keluar masuk rumah sakit. Akulah teman

setianya. Aku rela menghabiskan liburan tiga bulanku hanya untuk

menunggu ibu di rumah sakit. Aku jarang pulang ke rumah. Ibu manja

sekali waktu sakit. Beliau hampir mendapatkan semua perhatian dari

orang-orang terdekatnya. Fisiknya memang tidak terlihat seperti orang

sakit, namun sering mengeluh sakit di bagian perut dan panas di seluruh

tubuh. Beliau senang sekali jika aku menemaninya. Karena aku selalu

mengajak beliau bercanda sampai beliau benar-benar tertawa.

“Mbak Acis”. Bisa dibilang itu panggilan sayang ibu padaku. Aku

senang sekali jika ibu memanggilku begitu. Bisa kurasakan kasih

sayangnya yang besar yang tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun.

She is my angel. Namun, ada satu kekurangan beliau. Beliau adalah

Page 381: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 360

orang yang suka panik, tidak bisa tenang jika sesuatu yang buruk

terjadi. Saat sakit beliau sering membuatku sedikit marah karena

kepanikannya, suka mikir yang tidak-tidak. Entah berapa liter air mata

yang telah beliau keluarkan.

Saat opname yang ketujuh, kondisi ibu tak kunjung membaik.

Sayangnya aku sudah masuk kuliah. Jadi tidak bisa menemani ibu di

rumah sakit. Tiap jam kuliah berakhir, aku ngebut menuju rumah sakit.

Aku sudah kangen sama angel-ku yang cantik. Kondisi beliau terlihat

semakin buruk. Sulit bicara, makan, bahkan minum pun karena

tenggorokannya sakit.

Mata ibu merah. Tubuhnya bengkak karena harus terus diinfus. Aku

menyuapinya untuk makan dan minum perlahan. Aku sedih melihat

semua itu, tapi aku yakin ibu akan sembuh. Ibu terus menangis dan

meminta pulang. Namun, kami tidak mengizinkannya. Ibu bilang ingin

meninggal di rumah saja. Saat itu aku pikir ibu hanya panik karena

seluruh tubuhnya sakit.

Page 382: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 361

“Buk, tadi di kampus ada anak wisuda. Mereka sama keluarganya.

Buk, aku pengen banget, Buk, wisuda sama Ibuk. Makane pean cepet

sembuh biar bisa lihat wisudaku, Buk,” ceracauku sambil menangis di

sampingnya. Namun beliau hanya membalas dengan senyuman.

Esok harinya sebelum aku harus pulang karena menunggu arisan di

rumah, aku ajak ibu untuk seka dan gosok gigi. Setelah gosok gigi, ibu

bercermin, “Mbak Acis, mataku kok merah yo, Mbak Acis?” Aku hanya

menjawab mungkin itu efek obat karena aku sudah menanyakan semua

keluhan ibu pada suster. Aku pun mengambil air hangat dan menyeka

tubuhnya. Mengajaknya duduk menonton televisi tapi beliau menolak

dan memilih berbaring.

Setelah sampai di rumah, tiba-tiba hatiku tidak enak. Aku

menelepon bapak dan menanyakan kabar ibu. “Pak, tolong jogoen ibu,

Pak. Ajaken orange bercanda ben gak sedih dan lupa sama penyakitnya,”

air mataku keluar begitu saja. “Pak, tolong jaga ibu, Pak. Ajak orangnya

bercanda biar nggak sedih dan lupa sama penyakitnya.”

Page 383: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 362

Bapak hanya bilang ibu tidak apa-apa dan aku disuruh mendoakan.

Aku pun menangis di tempat tidur dan memutar koleksi laguku yang

mengisahkan tentang “ibu”. Entah kenapa rasanya aku ingin kembali ke

rumah sakit.

Benar firasatku. Bapak balik menelepon dan bilang ibu tidak sadar.

Aku ngebut ke rumah sakit bersama pakde dan adek. Seketika

kumenangis dan kuciumi angel-ku yang cantik yang hanya terbaring dan

bernapas dengan alat bantu. Aku ambil air wudu dan membacakan beliau

surat Yaasin. Bapak melakukan hal yang sama, menangis juga.

Namun semua itu hanya berlangsung 1 jam. Suara napas beliau yang

tadinya bisa kudengar, tiba-tiba menghilang. Aku coba mengecek

nadinya, ternyata sudah tak berdetak. Aku menyuruh bapak secepat

mungkin memanggil dokter atau suster atau siapa pun yang ada. Aku

kalap.

Benar. Ibu baru saja pergi meninggalkan kami. Semua berteriak dan

menangis. Aku hanya bingung, secepat itukah ibu pergi? Tinggal

Page 384: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 363

beberapa bulan lagi ibu akan menginjak usia 38 tahun. Dan menurutku,

itu usia yang masih sangat muda. Beliau hanya menemaniku 20 tahun

lebih 3 bulan, bahkan hanya menemani adek 9 tahun lebih 1 bulan.

Dokter telah menutup seluruh tubuh ibu dengan kain putih untuk

dimasukkan ambulans. Aku selalu bersama ibu dan bahkan menolak

jemputan Bayu. Aku hanya ingin bersama ibu terakhir kali. Di ambulans

aku hanya diam dan melamun. Seakan tidak percaya apa semua ini

benar-benar nyata ataukah mimpi. Gang rumahku sudah dipenuhi orang.

Mereka semua berjalan di belakang ambulans memberi penghormatan

terakhir pada ibu. Aku melihat Bayu berada di barisan terdepan bersama

neneknya. Mirip sekali bagai upacara pernikahan, sayangnya, justru

upacara pemakaman.

Semua orang berteriak dan memelukku. Aku hanya bisa menangis

dan membalas pelukan mereka erat. Aku berusaha untuk melihat ibu

yang sudah dibaringkan, namun orang-orang melarang karena takut aku

akan tidak kuat. Kucoba melepas tarikan mereka lalu mencium pipi,

Page 385: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 364

kening, dan bibir ibu tapi aku malah ditarik kembali. Aku masih merasa

belum puas.

“Aku pengen cium ibuk, aku pengen cium ibuk sekali lagi,” tangisku.

Aku pun berhasil menciumi ibu lagi.

Aku berusaha sekuat mungkin. Aku ingin merawat ibu terakhir kali.

Kuambil kerudung di dalam lemari untuk ikut memandikan ibu. Namun

sekali lagi, orang-orang melarang karena takut aku tidak kuat. Aku tidak

pedulikan itu. Ini kesempatan terakhirku! Aku tidak mau menyia-nyiakan

ini semua. Kudengar semua orang memuji kecantikan ibu saat

dimandikan. Semua orang bilang ibu seperti sedang tidur, bukan seperti

orang meninggal yang pucat pasi. Dalam hati aku menyuruh ibu bangun.

Aku ingin kebesaran Allah membangunkan ibuku lagi. Tapi itu sia-sia.

Tangan ibu jatuh di tanganku saat kumandikan. Aku menangkapnya dan

memeganginya. Sentuhan itu seolah ibu sedang bilang bahwa ibu tidak

ingin berpisah denganku.

Aku selalu berada di barisan terdepan dalam mengafani,

Page 386: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

titik nol | 365

menyalatkan, dan memakamkan ibu. Sekali lagi, kembali kuciumi kening,

pipi, dan bibirnya. Aku sangat ingin ibu tahu aku begitu mencintainya.

Aku bahkan terus berharap ibu bangun saat pelan-pelan tubuhnya

dimasukkan ke liang lahat.

Aku sempat membenci Tuhan. Aku ingin ibu tetap hidup. Bahkan

sampai saat ini, aku tetap memohon pada Tuhan untuk menghidupkan

ibuku kembali, karena yang aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin

untuk-Nya. Meski semua orang akan bilang aku gila.

Page 387: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

M A S A L A L U

Page 388: Mengintip Masa Lalu (kumpulan cerpen)

MENGINTIp masa lalu

M A S A L A L U

M E N G I N T I P