Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAPORAN KASUS
“Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD”
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Saraf
Diajukan Kepada:
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, MSc
Disusun Oleh:
Galih Okta Satria 1810221116
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
2020
2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus yang berjudul
Myelopati ec Infeksi Virus dd Autoimun dengan APEG, IHD
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Saraf di RSUD Ambarawa
Disusun Oleh :
Galih Okta Satria 1820221116
Telah disetujui
Ambarawa, Maret 2020
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M. Sc
3
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
RM : 1815xxxx
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 19 Oktober 1970
Usia : 49 Tahun
Alamat : Merakmati
Status : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 4 Maret 2020
Jam Masuk : 15:17:34
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 3 Maret 2020 pukul 14.30
WIB di ruang perawatan Mawar RSUD Ambarawa, Semarang.
Keluhan Utama: Nyeri pada anggota gerak tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang : Tn.S datang ke RSUD dengan keluhan nyeri pada
anggota gerak seluruh tubuh terutama tangan dan kaki sejak 4 hari SMRS, nyeri
disarakan setelah mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi yang biasa diminum
secara rutin dan setelah memotong keramik memakai gerindra lebih dari satu jam,
nyeri dirasakan terus-menerus, nyeri juga dirasakan pada bagian uluhati namun
tidak menjalar ke punggung, disertai dengan demam naik turun, mual serta
muntah. Satu hari setelah masuk bangsal pasien merasakan nyeri semakin
bertambah dan disertai dengan kram dan terasa kebas pada tangan dan kaki
sehingga merasa terganggu dan tidak nyaman. Kemudian pasien dikonsulkan ke
dokter spesialis saraf oleh dokter penanggung jawab sebelumnya. Pasien
mengatakan sejak 2 bulan sebelumnya pernah merasakan kram, kebas dan tidak
dapat menggerakan kaki. Keluhan ini dirasakan sering terjadi namun pasien
4
mengatakan dapat membaik sendiri dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Sejak 1 minggu terakhir pasien mengatakan tangan dan kaki semakin terasa kaku
dan tidak membaik saat istirahat. Pasien sudah mengkonsumsi obat dari dokter
keluarga namun tidak ada perbaikan. Keluhan ini di rasakan semakin lama
semakin memberat sehingga timbul keluhan tidak bisa berdiri dan berjalan. Pasien
mengeluhkan kekauan dirasakan semakin terasa pada malam hari sebelum tidur,
jari-jari terasa kaku kadang disertai rasa panas, hal ini menyebabkan pasien
kesulitan dalam memegang suatu benda dan melakukan aktivitas. Pasien harus
menyeret kakinya untuk berjalan dan sendal yang dipakai sering terlepas dari
kakinya. Pasien masih mampu sedikit merasakan saat kaki menapakan lantai, hal
ini menyebabkan pasien kesulitan dalam melakukan pekerjaanya sebagai buruh
toko bangunan sehingga sulit untuk mengangkut bahan material dan mengendarai
mobil. Pasien memutuskan untuk datang ke RSUD Ambarawa karena saat ini
rasa kram, kaku dan kesemutan pada jari semakin sering terjadi dan dirasakan
semakin mengganggu pasien saat melakukan perkerjaan, ditambah lagi kekakuan
pada jari tidak hanya terjadi pada malam hari namun terjadi pada siang hari juga
saat pasien tidak menggunakan tanganya untuk berktivitas, ditambah lagi saat ini
kaki kanan pasien lebih sering terasa berat sehingga psaien lebih sering pincang
berjalan pincang, namun semua keluhan itu juga timbul tanpa penyebab / pencetus
yang jelas dan hilang dengan sendirinya, oleh karena itu pasien ahirnya
memutuskan untuk berobat karena keluhan sudah mengganggu aktivitas harianya
baik dalam bekerja ataupun dirumah. Pasien juga mengatakan gatal di tubuhnya,
gatal timbul bila setelah diberi tekanan, tahanan atau goresan yang lama dan
berulang. Gatal dirasakan seperti ada guratan yang timbul bintik-bintik dikulit.
Kemudian pasien dikonsulkan ke dokter spesialis kulit. Pasien kooperatif dan
tidak ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran (-), kejang (-) dan
bicara pelo (-). Keluhan ini membuat pasien tidak dapat bekerja seperti biasanya.
Sesak nafas (-), dada berdebar (-), BAK normal, tidak ada keluhan mengompol
dan BAK terputus-putus. BAB normal warna coklat dengan konsistensi lunak,
frekuensi 1x/minggu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
5
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat jantung : Hipertensi (+)
Riwayat kebas berulang : ada
Riwayat Penyakit Keluarga : Diabetes melitus disangkal, Hipertensi (+)
Riwayat Pengobatan : Berobat dengan dokter umum namun tidak ada perbaikan.
Riwayat Kebiasaan : Pasien bekerja sebagai supir lebih dari 10 tahun, dan saat
ini bekerja buruh di Toko bangunan mengangkat beban berat ± 30 kg, dan
memotong kramik dengan grinda. Pasien tidak merokok dan tidak minum
minuman keras.
Riwayat Trauma : Disangkal
Anamnesis Sistem :
a. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (+), muntah menyembur tiba-tiba (-),
pingsan (-), kelemahan anggota gerak (+), perubahan tingkah laku (-), demam
(+), wajah merot (-), bicara pelo (-), kesemutan/baal (+), BAB (+), BAK (+).
b. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung (-), nyeri
dada (+)
c. Sistem Respirasi : Sesak napas (-), batuk (-), riwayat sesak napas (-)
d. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), BAB normal (+)
e. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (+)
f. Sistem Integumen : Ruam merah (+) Gatal (+)
g. Sistem Urogenital : BAK normal (+)
6
Resume :
Pasien mengeluhkan kesemutan, rasa tebal dan kekakuan pada jari tangan
dan keluhan rasa berat pada kaki yang dirasakan sejak 2 bulan yang lalu dan
semakin memberat sekitar 1 minggu terahir. Keluhan bersifat kumat-kumatan dan
mereda dengan sendirinya, namun jika serangan terjadi saat bekerja akan
mengganggu aktivitas pasien. Pasien mengatakan demam naik turun dan pada
daerah sekitar kram ksemutannya terasa gatal, gatal timbul bila setelah diberi
tekanan, tahanan atau goresan yang lama dan berulang. Gatal dirasakan seperti
ada guratan yang timbul bintik-bintik. Pasien kooperatif, tidak ada disorientasi,
penurunan kesadaran bicara pelo, riwayat trauma (-), sakit kepala (+), rasa
mengganjal saat menelan (-), mual (+), demam (+), BAK normal.
Diskusi I
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower
motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-
saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik
sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior.
Sedangkan lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke
berbagai otot dalam tubuh seseorang (Baehr, Mathias. 2010). Berdasarkan
anamnesa dikatakan bahwa adanya gangguan pada tangan dan kaki berupa
kelemahan dan kekakuan yang merupakan tanda dari gangguan motor neuron, dan
disertai adanya gangguan pada aspek sensoris yaitu tetraparesis. Paresis memiliki
arti kelemahan dan tetraparesis digunakan untuk mendeskripsikan penurunan
kemampuan motorik pada keempat ekstremitas.
Mielopati
Definisi: adalah hilangnya bertahap fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
pada tulang belakang. Myelopathi dapat langsung disebabkan oleh cedera tulang
belakang yang mengakibatkan berkurangnya sensasi atau kelumpuhan. Penyakit
degeneratif juga dapat menyebabkan kondisi ini, dengan derajat yang bervariasi
dari kehilangan sensasi dan gerakan. Proses non inflamasi pada Medula spinalis
7
misalnya yang disebabkan oleh prosestoksik, nutrisional, metabolik dan nekrosis
yang menyebabkan lesi pada Medula spinalis.
Derajat mielopati dapat di bagi menjadi :
a. Grade 0 : Melibatkan akar saraf, tidak di sertai penyakit pada medulla spinal
b. Grade 1 : Gejala penyakit pada medulla spinalis tetapi tidak sulit berjalan.
c. Grade 2 : kesulitan berjalan ringan, tetapi tidak menghambat aktivitas
sehari-hari.
d. Grade 3 : perlu bantuan dalam berjalan.
e. Grade 4 : kemampuan berjalan dengan alat bantu.
f. Grade 5 : hanya di kursi roda atau berbaring.
Etiologi : Pada pasien berusia 50-an penyebab SPONDILOSIS SERVIKAL. Pada
keadaan ini terjadi penyakit degenaratif (osteoartrosis) vertebra servikal yang
dapat menyebabkan kompresi medula spinalis karena adanya kalsifikasi,
degenerasi, protrusi,diskus intervertebra, pertumbuhan tulang yang menonjol
(osteofit) dan penebalan ligamentum longitudinal. Pada pasien berusia 40-an
kebawah penyebab tersering terjadinya mielopati adalah SKLEROSIS
MULTIPLE. Kondisi degeneratif dapat menyebabkan gangguan ini dengan variasi
derajat kehilangan sensasi dan kemampuan mobilisasi dan koordinasi. Penyebab
lainnya antara lain herniasi diskus yaitu pengurangan diameter kanal tulang
belakang dan kompresi sumsum tulang belakang, instabilitas spinal, kongenital
stenosis, inflamasi, autoimun sistemik (SLE, Multiple sklerosis, Sjorgen
syndrome), Neoplasma, penyakit vaskular. Degenerasi akibat penuaan tulang
belakang dan sistem peredaran darah juga menjadi penyebab mielopati.
Patofisiologi: Mielopati lengkap menggambarkan cedera tulang belakang yang
mengakibatkan tidak ada sensasi bawah asal dari cedera tulang belakang. Medula
spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan akselerasi,
deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh tekanan yang mengenai tulang
belakang. Tekanan cedera pada medula spinalis mengalami kompresi, tertarik atau
merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C1 dan C2, C4, C6 dan T11
atau L2.
8
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada
C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T12-L1. Fraktur
lumbal adalah faktor yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian bawah.
Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan pembuluh darah,
dan menyebabkan iskemia pada medula spinalis.
Hiperekstensi, jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia
dewasa yang memiliki perubahan degeneratif vertebra, usia muda yang mendapat
kecelakaan lalu lintas dan mengalami cedera leher saat menyelam.jenis cedera ini
menyebabkan medula spinalis bertentangan dengan ligamentun flava dan
mengakibatkan kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari
medula spinalis dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula
spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula
spinalis.
Kompresi, cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh dari
ketinggian,dengan posisi kaki kaki atau bokong (duduk). Tekanan mengakibatkan
fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat
masuk ke medula spinalis. lumbal dan toraks vertebra umumnya akan mengalami
cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medula spinalis
mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
Gambar 3 : Peta Dermatom
9
Gambar 4 : Peta Miotom
Manifestasi Klinis: Tanda-tanda awal mielopati yaitu hilangnya bertahap
keterampilan motorik halus dan kelambatan atau kekakuan dalam berjalan.
Seorang dokter mengevaluasi pasien untuk jenis myelopathy mungkin
pemberitahuan meningkat struktur otot di kaki dan koordinasi yang buruk ketika
seseorang berjalan.
Orang dengan myelopathy dapat mengalami satu atau lebih gejala berikut:
1. Rasa berat dikaki atau kelambatan atau kekakuan dalam berjalan.
2. Ketidakmampuan untuk berjalan dengan langkah cepat.
3. mengalami gangguan sensori, namun kecuali mielopati memburuk, jarang
mencapai tingkat yang jelas
4. Intermiten penembakan nyeri ke lengan dan kaki (seperti tersengat listrik),
terutama ketika menekuk kepala mereka ke depan (dikenal sebagai
fenomena Lermitte)
Sedangkan tanda lainnya adalah:
1. Kikuk atau lemah tangan, dengan perasaan tebal dan kelemahan pada kaki
dan tangan.
2. Tonus otot kaki meningkat
3. Kaku pada leher
4. Reflek tendo dalam lutut dan pergelangan kaki meningkat
5. Perasaan asimetris pada kaki dan lengan mengakibatkan sensasi posisi pada
lengan dan kaki menghilang sehingga sulit berjalan.
10
6. Kehilangan kontrol pada spinter, akibatnya terjadi inkontinensia urine.
7. Perubahan pada peristaltik usus.
Pemeriksaan Diagnostik:
a. X-ray : Abnormal gerakan atau tidak stabil berupa foto polos vertebra
AP/Lateral/Oblique
b. CT-Scan : Otot polos dengan potongan-potongan dapat menunjukkan
osteopit yang berada di dalam spinal colum.
c. MRI : Dapat menunjukkan jaringan lunak di sekitar tulang (saraf, diskus)
selain tulang.
d. EMG : mengevaluasi jalur motoric dari saraf.
e. SSEP : (Somato Sensory Evoked Potensial) mengukur kemampuan
sensorik saraf. Dengan sebuah listrik di lakukan dengan
merangsang lengan atau kaki dan kemudian membaca
sinyal di otak.
f. Pemeriksaan laboratorium meliputi darah rutin, kimia darah, urin
lengkap.
Penatalaksanaan:
1. Terapi Konservarif
a. Terapi Fisik
b. Kontrol nyeri : istirahat, pengaruran posisi yang nnyaman, kompres es,
terapi panas ultrasound, traksi
c. Blok saraf berupa injeksi steroid pada epidural
2. Pembedahan
a. Disectomy Fusi
b. Corpectomy dan strut graft
c. Laminectomy : Prosedur pembedahan untuk mengurangi tekanan pada
sumsum tulang belakang, karena stenosis tulang belakang.
Komplikasi: Ketagihan obat, Kehilangan sensasi, Tidak bisa bergerak bebas,
Cacat tulang belakang, BAK sering.
11
Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut
Definisi : Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) atau dikenal
sebagai pustular drug rash, pustular eruption, atau toxic pustuloderma adalah
suatu keadaan inflamasi pada kulit dan membran mukosa yang jarang terjadi,
ditandai oleh onset yang akut dari pustul-pustul steril nonfolikular dan disertai
resolusi yang cepat.
Epidemiologi : Insidens PEGA lebih sedikit dibandingkan reaksi alergi obat
lainnya. dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan etiologinya; 10 pasien diduga
disebabkan oleh obat sistemik dan 6 pasien yang bukan disebabkan karena obat.
Semua pasien tersebut diterapi dengan kortikosteroid sistemik, baik oral maupun
injeksi. PEGA lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki
dengan rerata usia 56 tahun.
Etiologi : Sekitar 90% kasus PEGA disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas
terhadap obat. Berdasarkan hasil penelitian EuroSCAR, obat-obatan dibagi atas
yang berisiko tinggi, kurang berisiko, maupun yang tidak berhubungan dengan
PEGA. Obat-obatan yang berisiko paling tinggi untuk menyebabkan PEGA
meliputi pristinemisin, aminopenisilin, kuinolon, hidroksiklorokuin, golongan
sulfonamide, terbinafrin, dan diltiazem. Obat yang kurang berisiko antara lain
ialah kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid, oxicam anti-inflammasi
nonsteroid (AINS), dan semua antiepilepsi kecuali valproic acid. Dilaporkan pula
obat-obatan yang sering digunakan atau diketahui berisiko menimbulkan sindrom
Steven-Johnson/nekrolisis epidermal toksik (NET) tetapi tidak berhubungan
secara bermakna terhadap angka kejadian PEGA ialah asetaminofen,
benzodiasepin, inhibitor ACE, beta bloker, asam asetilsalisilat, calcium channel
blocker (CCB), diuretik golongan tiazid, alopurinol, dan sefalosporin. Reaksi
sensitivitas terhadap merkuri, pemberian vaksinasi pada populasi pediatri serta
gigitan laba-laba juga diduga menjadi faktor penyebab PEGA. Infeksi diduga
dapat menyebabkan terjadinya PEGA namun belum didapatkan banyak bukti,
tetapi beberapa laporan menyebutkan bahwa infeksi virus (infeksi parvovirus,
sitomegalovirus, dan coxackie B4 virus) berhubungan dengan PEGA. Infeksi
saluran kemih berulang serta pneumonia juga pernah dilaporkan sebagai penyebab
12
PEGA. Reaksi tersebut diduga kuat karena penggunaan terapi antiinfeksi yang
diresepkan untuk penanganan penyakit dan bukan karena infeksi tersebut.
Pathogenesis : Patofisiologi erupsi obat pada kulit belum diketahui secara jelas
namun dapat disebabkan oleh proses imunologik, klasifikasi mekanisme imun
maupun non imunologik. Salah satu yang melibatkan proses imunologik ialah
PEGA dan dikategorikan dalam reaksi hipersensitifitas tipe IV yaitu reaksi
hipersensitifitas yang tertunda (delayed hypersensitivity) karena dimediasi oleh
sel T. Setelah konsumsi obat, antigen-presenting cells (APCs) mengaktivasi sel T
reaktif spesifik obat yaitu major histocompatibility complex (MHC) kelas I
(CD4+) dan MHC kelas II (CD8+) di kelenjar getah bening. Obat akan terikat
secara kovalen pada kompleks peptida/ MHC dan non-kovalen, diikuti dengan
migrasi ke dermis dan epidermis. Fase II, drug-presenting keratinocytes di MHC
kelas I dan sel-sel Langerhans (di MHC kelas I dan II) menstimulasi sel T untuk
memroduksi kemokin poten CXCL8 (interleukin 8) yang bertanggung jawab
untuk mengawali proses aktivasi dan perekrutan neutrofil dalam proses
peradangan dimediasi oleh nerofil pada kulit yang disebabkan oleh sitotoksisitas
obat dan sitokin inflamasi serta faktor kemotaktik seperti IL-5, interferon-gamma
(IFN-ɣ), granulocyte-macrophage colonystimulating factor (GM-CSF), yang akan
mengubah faktor pertumbuhan (TGF-β) dan regulated on activation, normal T cell
expressed and secreted (RANTES). Sel T spesifik obat baik CD4(+) maupun
CD8(+) keduanya bersifat sitotoksik dan akan mengakibatkan sekresi sitokin. Sel
T menghasilkan perforin/granzyme B dan mengaktifkan mekanisme Fas/FasL-
killing yang akan mengakibatkan kematian keratinosit sehingga terjadi kerusakan
jaringan dan memungkinkan pembentukan vesikel subkorneal yang berisi sel
CD4+. Fase lanjut ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil di lokasi
peradangan ke molekul adesi (misalnya ICAM-1). Migrasi neutrofil
polimorfonuklear (PMN) ini bersamaan dengan meningkatnya CXCL8 melewati
dermis dan epidermis masuk ke dalam dan mengisi vesikel sehingga terbentuk
pustul yang steril. Studi akhir-akhir ini menyatakan kemungkinan keterlibatan IL-
8 keratinosit dan obat yang dapat mengaktivasi sel Th17 pada patogenesis PEGA.
Sel Th17 dan IL22 sebagai produk utamanya ditemukan meningkat nilainya pada
pasien PEGA bila dibandingkan kelompok kontrol. Interleukin-17 dan IL-22
13
menstimulasi keratinosit untuk memroduksi IL-8 sehingga terbentuk infiltrat
subkorneal berisi neutrofil yang merupakan karakteristik dari PEGA. Predisposisi
genetik juga diduga menjadi dasar pemicu reaksi serta perubahan neutrofil tetapi
masih sedikit data yang mendukung hal ini. Bernhard et al. menemukan
peningkatkan ekspresi HLA pada pasien dengan PEGA bila dibandingkan dengan
populasi umum.
Gambaran Klinis : Gambaran klinis yang khas dari PEGA berupa erupsi akut
pustul steril nonfolikular diatas kulit yang eritematosa, diawali ataupun disertai
keluhan pruritus dan demam (>38°C). Timbul pustul kecil seperti kepala peniti
berukuran 7) dari pemeriksaan laboratorium ditemukan pada
90% kasus. Adanya peningkatan eosinofilia ringan di sekitar 30% kasus PEGA.
Fungsi renal sedikit menurun (bersihan kreatinin
14
pus berukuran beberapa sentimeter. Sebelum timbul lesi kulit dapat diawali
dengan keluhan sistemik yaitu demam, menggigil, nyeri kepala, malaise, dan
anoreksia. Perubahan gambaran histopatologik seperti hiperkeratosis,
parakeratosis, stratum granulosum menipis, pemanjangan rete ridge, indeks
mitosis tinggi, dan penipisan suprapapillary plate jauh lebih menonjol pada
PPGA. Penyakit ini umumnya didapatkan pada jenis kelamin perempuan berusia
di atas 40 tahun dengan etiologi belum diketahui. Gambaran klinis yang khas
berupa pustul ataupun vesikel yang dengan cepat berubah menjadi pustul di atas
dasar kulit eritematosa, menyebar ke perifer, central healing, dan menyembuh
meninggalkan area eritematosa berbentuk polisiklik disertai munculnya lesi baru.
Penatalaksanaan : Pengobatan spesifik pada PEGA umumnya tidak diperlukan
dikarenakan karakter penyakit yang dapat sembuh sendiri. Tidak ada terapi yang
tersedia untuk mencegah perluasan lesi dan penurunan lebih lanjut dari kondisi
umum pasien. Penghentian terapi obat yang diduga penyebab merupakan pilihan
utama. Pengobatan simtomatis seperti antipiretik maupun antihistamin dapat
digunakan untuk meringankan keluhan pasien. Antibiotik harus digunakan ketika
terdapat diagnosis infeksi yang jelas. Pada kebanyakan kasus dapat digunakan
kortikosteroid sistemik, dan kasus yang jarang dapat diberikan infliximab dan
etanercept yang dapat dengan cepat menghentikan terbentuknya pustul dan
mempercepat resolusi putul.
Prognosis : PEGA umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, terutama setelah
penghentian obat yang diduga sebagai penyebab, kecuali bila didapatkan adanya
infeksi sekunder pada lesi atau pasien usia lanjut dengan demam tinggi.
Diagnosis Sementara
1. Diagnosis klinis : Tetraparese Spastik akut
2. Diagnosis topis : Medula Spinalis
3. Diagnosis etiologi : Mielopati ec Infeksi Virus dd/ Autoimun
4. Diagnosis tambahan: Pruritus ec Tekanan berulang
15
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT : 25,7 kg/m2
2. Vital Sign
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 84 kli/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 380 C per axilla
3. Status Generalis
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-)
Mulut : Tidak ada bercak multiple keputihan di faring
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)
Leher : Tampak simetris, deviasi trakea (-), KGB tidak teraba, JVP 5±2
cmH2O
Thoraks
Paru
Inspeksi : Gerak dada simetris saat statis dan dinamis,venektasi (-), spider
naevi (-)
Palpasi : Taktil fremitus kedua paru simetris
Perkusi : Sonor pada kedua paru
Auskultasi : Vesicular kedua lapang paru, ronkhi (-/-) , wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V Linea midclavicularis
Perkusi
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
16
Batas atas : ICS III linea parasternal sinistra
Pinggang Jantung: ICS II linea parasternal sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reg, murmur (-) gallop (–)
Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatriks (-), Ascites (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen, shifting
dullnes(-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien
tidak teraba massa (-), turgor baik, ascites (-)
Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-)
Ekstremitas
Inspeksi : tidak ada kelainan
Palpasi : Akral teraba hangat, CR < 2s.
UKK : Plak Makula Eritema Generalisata
4. Status Neurologis
Kesadaran kuantitatif : GCS (E4V5M6)
Orientasi : Baik
Jalan pikiran : Baik/koheren
Kemampuan bicara : Baik
Sikap Tubuh : Simetris
Gerakan Abnormal : –
Pemeriksaan Saraf Kranial:
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu N N
N. II. Optikus Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Lapang pandang N N
N. III.
Okulomotor
Ptosis – –
Gerakan mata ke medial N N
Gerakan mata ke atas N N
Gerakan mata ke bawah N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
17
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen – –
Gerakan mata ke lat-bwh – –
Strabismus konvergen – –
N. V. Trigeminus Menggigit – –
Membuka mulut – –
Sensibilitas muka + +
Refleks kornea N N
Trismus – –
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral N N
Strabismus konvergen – –
N. VII. Fasialis Kedipan mata N N
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata N N
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Daya kecap lidah 2/3 ant + +
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
Tes Rinne TDL TDL
Tes Schwabach TDL TDL
Tes Weber TDL TDL
N. IX.
Glosofaringeus
Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post N
Refleks muntah N
Sengau –
Tersedak –
N. X. Vagus Denyut nadi 84 x/menit
Arkus faring Simetris Simetris
Bersuara N
Menelan N
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala N N
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII.
Hipoglossus
Sikap lidah N
Artikulasi N
Tremor lidah –
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah –
Fasikulasi lidah –
Jenis
Pemeriksaan
Ekstremitas Superior
(Dextra/Sinistra)
Ekstremitas Inferior
(Dextra/Sinistra)
18
Sensorik
Raba halus + +
Raba kasar + +
Nyeri/Termal ↓ Setinggi 1/3 distal
Antebrii
↓ Setinggi 1/3 distal Tibia
Pemeriksaaan Motorik
Neurologis
1. Reflek Fisiologis
2. Trofi
3. Reflek Motorik
4. Reflek Patologis
5. Tonus
6. Klonus
7. Sensibilitas: Sulit dinilai.
↑ ↑
↑ ↑
EU EU
EU EU
+ +
+ +
3555
3555
5553
5553
Hiper Hiper
Hiper Hiper
↑
↑
19
Pemeriksaan Laboratorium RSUD Ambarawa 2 Maret 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 14,8 13,2 – 17,3 g/dl
Leukosit 17,1 ↑ 3,8-10,5 Ribu Eritrosit 6,24 4,5-5,8 Juta
Hematokrit 42 37-47 %
Trombosit 366 150-400 Ribu
MCV 80 L 82-95 fL
MCH 28 >27 Pg
MCHC 35 32-37 g/dl
RDW 11.4 10-15 %
MPV 6,3 7-11 mikro m3
Limfosit 2,22 1,0-4,5 103/mikro m
3
Monosit 1.06 0,2-1,0 103/mikro m
3
Granulosit 3 2-4 103/mikro m
3
Neutrophil 13,6 ↑ 1.8-7.5 103/mikro m3
Neutrophil % 79,3 ↑ 50-70 % Limfosit% 13 L 25 – 40 %
Monosit% 6,17 2 – 8 %
Granulosit% 74,5 50- 80 %
PCT 0,2 0,2 – 0,5 %
PDW 18,7 10 – 18 %
GDS 125 H 74 – 106 mg/dL
G2PP - 240 resti
mg/dL
HDL 40 28 – 63 mg/dL
LDL 80 < 150 mg/dL
Trigliserida 106 70 – 140 mg/dL
DISKUSI II
Pada pemeriksaan fisik saat pasien ditemui memiliki status generalisata
yang baik, dengan tidak adanya penurunan kesadaran, didapatkan adanya kontak
mata, namun ditemukan kelainan pada motorik pasien dapat menggerakan sesuai
20
instruksi pemeriksa dan verbal pasien dapat menjawab pertanyaan dan
menjelaskan keluhannya dengan baik.
Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah pasien adalah 130/90 mmHg
dalam batas normal, nadi 84x/menit dengan irama regular dan isi cukup, laju nafas
20x/mnt dalam batas normal, suhu 38 derajat (febris), dan saturasi dalam keadaan
baik.
Pada pemeriksaan didapatkan adanya tetraparese, hipereflek, reflek
patologis (+), kram otot, tungkai berat sehingga menyeret, kesulitan melakukan
pekerjaan dengan tangan menggambarkan tidak hanya ada lesi pada UMN saja.
Dimana lesi UMN atau spastisitas ditandai dengan adanya hiperreflek, hipertonus,
reflek patologi (+). Tanda Spastik didapatkan pada ujung ke 4 anggota gerak
sehingga kemungkinan lesi ada pada daerah medula spinalis. Tidak ada kelainan
pada nervus kranialis, tidak ada gangguan kognitif sehingga bias mencoret
kemungkinan kelainan pada otak dan pada basiler. Pada pasien ini didapatkan
gambaran klinis lesi Medula Spinalis. Pasien juga mengeluhkan gatal di tubuhnya
gatal timbul bila terkena tekanan, tahanan atau goresan.
Dari hasi laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan Neutrofil
(13.600), Leukosit (17.100), GDS (125), HDL (40), Kreatinin (1,34), SGPT (86)
namun hal itu tidak menutup kemungkinan adanya proses patologis yang
berhubungan dengan medula spinalis (hipersensitivitas, infeksi, alergi obat-obatan
atau autoimun), oleh karena itu untuk mengetahui secara pasti penyebab dari
keluhan yang dialami pasien, dapat dilakukan pemeriksaan X-Ray posisi standar
(anteroposterior, lateral) untuk vertebra servikal, dan posisi ap dan lateral untuk
vertebra thorakal dan lumbal serta MRI. Selain itu, penyakit yang menyertai
pasien seperti AGEP perlu dilakukan pemeriksaan Histopatologi karena dapat
menjadi faktor resiko terjadinya Autoimun serta rutin meminum obat anti
hipertensi agar tekanan darah terkontrol.
21
Diagnosis Akhir :
Diagnosis klinis : Tetraparase spastik akut, paresthesia, kram otot, febris. Pruritus
Diagnosis topis : Medula spinalis
Diagnosis etiologi : Mielopati et causa Infeksi Virus dd/ Autoimun
Diagnosis tambahan: Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut, IHD
Penatalakasanaan
1. Farmakologi
1. IVFD Asering 20 tpm
2. Inj Metilprednisolon 125 mg/6jam (tap off)
3. Inj Meticobalamin 500 mg/12jam
4. Inj Ondansentron 4 mg/12 jam
5. Inj Ceftriaxone 2x1 gram
6. PO Loratadine 1x1
7. PO N-Asetil sistein 2x1
8. PO Lansoprazole 1x1
9. PO Clopidogrel 1x75
10. PO Nitrocaf 1x2,5
11. Atopiclair lotion 40 + Hidrokortison Cr 10 da in pot
PROGNOSIS
Death : Dubia ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia
Discomfort : Dubia
Dissatisfaction : Dubia ad bonam
Distutition : Dubia ad bonam
Diskusi III
Metil prednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang
termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. Efek
22
glukokortikoid (sebagai anti-inflamasi) yaitu menurunkan atau mencegah respon
jaringan terhadap proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa
dipengaruhi penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi,
termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga
menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan
beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum
diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui blokade faktor
penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau
dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit
pada endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit;
dan meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase
A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan
selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien).
Mecobalamin adalah koenzim yang mengandung vitamin B12 yang ikut
berpartisipasi dalam reaksi transmetilasi. Mecobalamin adalah homolog vitamin
B12 yang paling aktif di dalam tubuh. Mecobalamin bekerja dengan memperbaiki
jaringan syaraf yang rusak. Mecobalamin juga terlibat dalam maturasi eritroblast,
mempercepat pembelahan eritroblast dan sintesis heme sehingga dapat
memperbaiki status darah pada anemia megaloblastik. Uji klinis tersamar ganda
menunjukkan bahwa Mecobalamin tidak hanya efektif untuk anemia
megaloblastik, namun juga untuk neuropati perifer.
http://www.farmasi-id.com/kamus/glossary/vitamin/http://www.farmasi-id.com/kamus/glossary/vitamin/http://www.farmasi-id.com/kamus/glossary/jaringan/http://www.farmasi-id.com/kamus/glossary/uji-klinis/
23
FOLLOW UP
Tanggal Jam Pemeriksaan Terapi
2-3-
2020
HP 2
07.00 S : Demam , Kringat dingin,
Nyeri perut, Nyeri sendi,
Kaku bagian tangan dan
kaki. Gatal seluruh tubuh.
O : CM, gizi baik
TV : HR = 85 x/1’ SpO2: 98%
RR = 20 x/1’ TD: 130/80
S = 37,8oC (per axiler)
A: IHD
Program:
Konsul Sp.S
Konsul Sp.KK
Inf. RL 20 Tpm
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Ondansentron 2x1
PO. Loratadine 1x1
PO. Lansoprazole1x1
PO. Clopidogrel 1x75
3-3-
2020
HP 3
07.00 S : Kaku bagian tangan susah
menggenggam dan baal
pada kaki sulit berjalan.
O : CM, gizi baik
TV : HR = 85 x/1’ SpO2: 98%
RR = 20 x/1’ TD: 130/80
S = 37,6oC (per axiler)
A: Mielopati ec Infeksi Virus dd
Autoimun, AGEP, IHD
Inf. RL 20 Tpm
Inj. Metilprednisolon
4x125 mg
Inj. Mecobalamin 1x1
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Ondansentron 2x1
PO. Loratadine 1x1
PO. Lansoprazole1x1
PO. Clopidogrel 1x75
PO. N-Asetil Sistein 2x1
Atopiclair lotion +
Hidrokortison Cr 10
4-3-
2020
HP 4
07.00 S : Kaku berkurang bagian
tangan susah menggenggam
dan baal pada kaki sulit
berjalan.
O : CM, gizi baik
TV : HR = 86 x/1’ SpO2: 98%
RR = 20 x/1’
S = 37.5oC (per axiler)
A: Mielopati ec Infeksi Virus dd
Autoimun, AGEP, IHD
Inf. RL 20 Tpm
Inj. Metilprednisolon
2x125 mg
Inj. Mecobalamin 1x1
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Ondansentron 2x1
PO. Loratadine 1x1
PO. Lansoprazole1x1
PO. Clopidogrel 1x75
PO. N-Asetil Sistein 2x1
Atopiclair lotion +
Hidrokortison Cr 10
24
5-3-
2020
HP 5
07.00 S : Demam (-) Kaku (-) bagian
tangan bisa menggenggam
dan kaki bisa berjalan.
O : CM, gizi baik
TV : HR = 84 x/1’ SpO2: 98%
RR = 18 x/1’
S = 36,8oC (per axiler)
A: Mielopati ec Infeksi Virus dd
Autoimun, AGEP, IHD
Program: BLPL
Inf. RL 20 Tpm
Inj. Metilprednisolon
2x125 mg
Inj. Mecobalamin 1x1
Inj. Ceftriaxone 2x1gr
Inj. Ondansentron 2x1
PO. Loratadine 1x1
PO. Lansoprazole1x1
PO. Clopidogrel 1x75
PO. N-Asetil Sistein 2x1
Atopiclair lotion +
Hidrokortison Cr 10
25
DAFTAR PUSTAKA
Belda W, Ferolla AC. Acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) case
report. Rev Inst Med Trop S. Paulo 2005;47(3):171-6.
Budianti WK. Erupsi obat alergik. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (7th ed). Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2015; p. 190-5
Harsono. 2009.Kapita Selekta Neurologi.Yogyakarta: UGM
Kardaun SH, Kuiper H, Fidler V, Jonkman MF. The histopathological spectrum
of acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) and its
differentiation from generalized pustular psoriasis. J Cutan Pathol.
2010;37:1220-9
Klezl Z, Coughlin TA. Focus on cervical myelopathy. British Editorial Society of
Bone and Joint Surgery; 2012.
Marina S, Kristina Semkova K, Guleva D, Kazandjieva J. Acute generalized
exanthematous pustulosis AGEP: a literature review. Scripta Scientifica
Medica. 2013;45(4):7-12.
Marjono,Mahar.Sidharta.Priguna.2003.Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: PT Dian
Rakyat
Price, A., Sylvia & Wilson, M., Lorraine.2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2.Jakarta : EGC
Schmalstieg William F, Brian GW. Approach to acute or subacute myelopathy.
Department of Neurology: Mayo Clinic College of Medicine. 2010; 75:S2-
S8.
Sherwood,Lauralee.2002.Fisiologi Manusia Dari sel ke system. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Sidorofff A, Dunant A, Viboud C, Halevy S, Bavink JN, Naldi L et al. Risk
factors for acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP)results of a
multinational case-control study (EuroSCAR). British J Dermatol.
2007;157:989-96
Sjamsuhidajat R, de Jong W.2005.Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 2.Jakarta: EGC
Sousa AS, Papaiordanou F, Tebcherani AJ, Lara OA, Marchioro FG. Acute
generalized exanthematous pustulosis x von Zumbusch’s pustular psoriasis:
a diagnostic challenge in a psoriatic patient. An Bras Dermatol
2015;90(4):557-60.
26
Volume ke-2. Edisi ke-7. United states: Elsevier; 2012.
Yeung JT, John IJ, Aftab SK. Cervical disc herniation presenting with neck pain
and contralateral symptoms: a case report. J Med Case Rep. 2012; 6:166