5
 Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005 333 Sindroma Ovarium Polikistik Budi R. Hadibroto Dep a rtem en O b s tetri da n Ginekolog i Fakultas Ked okte ra n Unive rsitas S um a te ra Utara RS UP H. Ad a m M a li k – RS UD. Dr. Pir ng a d i Med a n  Abstrak: Sindroma ovarium polikistik merupakan gangguan fungsional dari poros hipotalamus- hipofise ovarium berkaitan anovulasi. Dalam keadaan relatif terdapat keseimbangan antara  gonadotropin dan steroid seks. Pada keadaan ini, kadar LH relatif tinggi dan kadar FSH relatif rendah, sehingga meningkatkan nisbah LH:FSH. Kadar oestradiol sama dengan fase folikuler awal. Sebagai respon atas meningkatnya kadar LH, terjadi peningkatan kadar testosteron, androstendion dan DHA yang disekresikan oleh ovarium. Pada jaringan perifer sebahagian dari hormon androgen tersebut diubah menjadi oestron. Sebagai respon terhadap tingginya kadar hormon androgen, SHBG berkurang sekitar 50%, mendorong meningkatnya proporsi hormon androgen yang aktif dan tidak terikat. Lazim ditemukan efek samping akibat peningkatan hormon androgen. Demikian kompleksnya  sindroma ini sehingga melibatkan kompartemen yang lain. Kelenjar adrenal menghasilkan  peningkatan kadar DHAS. Umumnya dijumpai pula r eistensi insulin.  Kata kunci: anovulasi, hiperandrogen, ovarium polikistik  Abstract: Polycystic ovarian syndrome is a functional derangement of the hypothalamo-pituitary ovarian axis associated with anovulation. A relatively ‘steady state’ of gonadothropins and sex  steroids exists. In this steady state , luteinizing hormone (LH) levels are relatively high and follicle  stimulating hormone (FSH) levels are relatively low, leading to an elevated LH:FSH ratio. Oestradiol levels are similar to those in the early follicular phase. In response to the elevated levels of LH, increased levels of testosterone, androstendione and DHA (dehydroepiandros-terone) are secreted by the ovary. Some of these androgens are converted to oestrone in peripheral tissues. In response to high androgen levels, sex hormone binding globulin (SHBG) is reduced by about 50%, leading to an increase in the proportion of unbound, active, androgens. Hence, androgenic side effects are common, despite only a modest rise in serum total testosterone levels.The syndrome is complex and other compartments become involved. The adrenal gland produces eleveated levels of DHAS (dehydroepiandrosterone sulphate). Insulin resistance (resistance to insulin-stimulated glucose uptake) is also common.  Key words:  anovulation, hyperandrogen, polycystic ovarian PENDAHULUAN Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah endokrinologi reproduktif yang sering terjadi dan sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Sindroma ovarium polikistik menyebab- kan 5%-10% wanita usia reproduksi menjadi infertil. 1  Gambaran klinis dan biokimia beragam, masih menjadi perdebatan apakah keadaan ini merupakan penyakit tunggal atau merupakan kumpulan gejala. Pada akhir-akhir ini semakin  jelas bahwa SOPK bukan hanya penyebab tersering kejadian ovulasi dan hirsutisme namun  juga berhubungan dengan gangguan metabolisme yang memiliki pengaruh penting dalam kesehatan wanita. 1,2 Sejak dikemukan oleh Stein dan Leventhal   pada tahun 1935, pada mulanya diterangkan  bahwa SOPK merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas. Belakangan diketahui bahwa wanita dengan siklus haid yang reguler dengan keadaan hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium  polikistik juga dapat menderita SOPK. Selain itu  pada beberapa wanita dengan sindroma ini dapat menderita ovarium polikistik tanpa tanda-tanda klinis hiperandro-gen namun terdapat bukti adanya disfungsi ovarium. 3  

Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

8/12/2019 Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

http://slidepdf.com/reader/full/mkn-volume-38-no-4-sindroma-ovarium-polikistik 1/5

 

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005  333

Sindroma Ovarium Polikistik

Budi R. Hadibroto

Dep a rtem en O b ste t ri da n Gineko log i

Fa kulta s Ked okte ra n Unive rsita s Sum a te ra Uta ra

RSUP H. Ad am Ma lik – RSUD. Dr. Pirng a d i Me d a n

 Abstrak:  Sindroma ovarium polikistik merupakan gangguan fungsional dari poros hipotalamus-

hipofise ovarium berkaitan anovulasi. Dalam keadaan relatif terdapat keseimbangan antara

 gonadotropin dan steroid seks. Pada keadaan ini, kadar LH relatif tinggi dan kadar FSH relatif

rendah, sehingga meningkatkan nisbah LH:FSH. Kadar oestradiol sama dengan fase folikuler awal.

Sebagai respon atas meningkatnya kadar LH, terjadi peningkatan kadar testosteron, androstendion

dan DHA yang disekresikan oleh ovarium. Pada jaringan perifer sebahagian dari hormon androgen

tersebut diubah menjadi oestron. Sebagai respon terhadap tingginya kadar hormon androgen, SHBG

berkurang sekitar 50%, mendorong meningkatnya proporsi hormon androgen yang aktif dan tidak

terikat. Lazim ditemukan efek samping akibat peningkatan hormon androgen. Demikian kompleksnya

 sindroma ini sehingga melibatkan kompartemen yang lain. Kelenjar adrenal menghasilkan

 peningkatan kadar DHAS. Umumnya dijumpai pula reistensi insulin.

 Kata kunci: anovulasi, hiperandrogen, ovarium polikistik

 Abstract:  Polycystic ovarian syndrome is a functional derangement of the hypothalamo-pituitary

ovarian axis associated with anovulation. A relatively ‘steady state’ of gonadothropins and sex

 steroids exists. In this steady state , luteinizing hormone (LH) levels are relatively high and follicle

 stimulating hormone (FSH) levels are relatively low, leading to an elevated LH:FSH ratio. Oestradiol

levels are similar to those in the early follicular phase. In response to the elevated levels of LH,increased levels of testosterone, androstendione and DHA (dehydroepiandros-terone) are secreted by

the ovary. Some of these androgens are converted to oestrone in peripheral tissues. In response to

high androgen levels, sex hormone binding globulin (SHBG) is reduced by about 50%, leading to an

increase in the proportion of unbound, active, androgens. Hence, androgenic side effects are common,

despite only a modest rise in serum total testosterone levels.The syndrome is complex and other

compartments become involved. The adrenal gland produces eleveated levels of DHAS

(dehydroepiandrosterone sulphate). Insulin resistance (resistance to insulin-stimulated glucose

uptake) is also common.

 Key words: anovulation, hyperandrogen, polycystic ovarian

PENDAHULUAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK)

merupakan masalah endokrinologi reproduktif

yang sering terjadi dan sampai saat ini masih

menjadi kontroversi.

Sindroma ovarium polikistik menyebab-

kan 5%-10% wanita usia reproduksi menjadi

infertil.1 

Gambaran klinis dan biokimia beragam,

masih menjadi perdebatan apakah keadaan ini

merupakan penyakit tunggal atau merupakan

kumpulan gejala. Pada akhir-akhir ini semakin

 jelas bahwa SOPK bukan hanya penyebabtersering kejadian ovulasi dan hirsutisme namun

 juga berhubungan dengan gangguan

metabolisme yang memiliki pengaruh penting

dalam kesehatan wanita.1,2

Sejak dikemukan oleh Stein dan Leventhal  

 pada tahun 1935, pada mulanya diterangkan

 bahwa SOPK merupakan suatu kumpulan gejala

yang terdiri dari amenorrhea, haid yang tidak

teratur, infertil, hirsutisme dan obesitas.

Belakangan diketahui bahwa wanita dengan

siklus haid yang reguler dengan keadaan

hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium

 polikistik juga dapat menderita SOPK. Selain itu

 pada beberapa wanita dengan sindroma ini dapat

menderita ovarium polikistik tanpa tanda-tanda

klinis hiperandro-gen namun terdapat bukti

adanya disfungsi ovarium.3 

Page 2: Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

8/12/2019 Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

http://slidepdf.com/reader/full/mkn-volume-38-no-4-sindroma-ovarium-polikistik 2/5

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005334

Menurut konsensus Rotterdam tahun 2003

mengenai SOPK, bahwa kriteria diagnostik

untuk SOPK adanya 2 dari 3 keadaan berikut

yaitu: oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-

tanda hiperandrogen secara klinis maupun

 biokimia dan ovarium polikistik dimana

keadaan-keadaan tersebut diatas bukan

disebabkan oleh hiperplasia adrenal kongenital,

tumor yang mensekresi androgen atau Cushing

Syndrome.4 

Meskipun penyebab pasti penyakit ini

 belum diketahui, namun terdapat kemajuan

dalam bidang endokrinologi, biokimia dan

farmakologi untuk memberikan pengobatan

yang menggembirakan, termasuk terapi yang

 bersifat farmakologi maupun operatif. Tindakan

operatif memberikan angka keberhasilan yang

cukup tinggi.

ANGKA KEJADIAN

Kejadian SOPK dengan gejala klinis

 beragam dan memberikan gambaran angka yang

 bervariasi.  Adam dkk, 1986  melaporkan bahwa

 pada penderita ovarium polikistik (OPK) yang

didiagnosa secara sonografi, didapati 30%

menderita amenorrhea, 75% dengan

oligomenorrhea, dan 90% didapati adanya

 peningkatan konsentrasi kadar luteinizing

hormon (LH) dan androgen.2,3

 

PATOGENESA

Patogenesa SOPK kurang jelas diketahui,

namun diduga bahwa defek primer

kemungkinan karena adanya resistensi insulin

yang menyebabkan hiperinsulinemia.1 

Konsentrasi insulin dan LH didalam sirkulasi

secara umum akan meningkat. Sel theca yang

membungkus folikel dan memproduksi

androgen yang nantinya akan dikonversi

menjadi estrogen didalam ovarium menjadi

sangat aktif dan responsif terhadap stimulasiLH. Sel theca akan lebih besar dan akan

menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel

theca yang hiperaktif ini akan terhalang

maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel

granulosa tidak aktif dan aktifitas

aromatisasinya menjadi minimal. Akibat

ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka

terjadi pembentukan kista-kista dengan diameter

antara 2–6 mm dan masa aktif folikel akan

memanjang, sehingga akan terbentuk folikel-

folikel baru sebelum folikel yang lain mati.

Folikel-folikel tersebut akan berbentuk seperti

kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang

hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai

respon peningkatan kadar LH.1,3,5

GAMBARAN KLINIS

Tanda dan gejala klinis SOPK didapat dari

keluhan utama pasien maupun dari pemeriksaanklinis.

Keadaan hiperandrogen memiliki tanda-

tanda seperti hirsutisme, timbulnya jerawat

 bahkan dapat timbul pola alopesia seperti laki-

laki. Hirsutisme didefinisikan sebagai suatu

keadaan munculnya bulu-bulu kasar pada

wanita seperti pola pertumbuhan pada laki-laki

seperti diatas bibir, dagu, dada, abdomen bagian

atas maupun dipunggung. Keadaan anovulasi

kronis ditandai adanya gangguan haid seperti

amenorrhea, oligomenorrhea, perdarahan uterus

disfungsional dan akan menimbulkan infertilitas.Menariknya penelitian Conway dkk (1989) 

menunjukkan 20% pasien SOPK tidak

mengalami gangguan haid.6 

Selain itu akhir-akhir ini dalam

mengevaluasi seorang pasien dengan

kemungkinan SOPK penting juga dijajaki

tentang kemungkinan adanya tanda-tanda

resistensi insulin. Obesitas merupakan kunci

adanya sindroma resistensi insulin. Dari

 pemeriksaan klinis tanda adanya resistensi

insulin didapati adanya acanthosis nigricans.2,6

DIAGNOSIS

Diagnosis SOPK berdasarkan kombinasi

kriteria klinis.,sonografi dan biokimia. Pada

wanita yang menderita amenorrhea,

kemungkinan timbulnya SOPK bila didapati

satu atau lebih gambaran berikut :2,3,4,5,6

 

1.  adanya ovarium polikistik pada

 pemeriksaan sonografi.

2.  Hirsutisme

3.  Hiperandrogenisme.

Pada wanita dengan siklus haid yangnormal adanya OPK pada pemeriksaan

sonografi menunjukkan adanya hirsutisme yang

disebabkan oleh karena faktor ovarium.Tabel 1.

Kriteria Diagnostik Sindroma Resistensi Insulin

Adanya 3 atau lebih keadaan berikut :

Lingkar pinggang > 88 cm

Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl

Kadar HDL kolesterol < 50 mg/dl

Tekanan Darah ≥ 130/85 mmHg

Kadar gula darah puasa ≥ 110 mg/dl

Dikutip da ri 4

Page 3: Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

8/12/2019 Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

http://slidepdf.com/reader/full/mkn-volume-38-no-4-sindroma-ovarium-polikistik 3/5

 Budi R. Hadibroto Sindroma Ovarium Polikistik

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005  335

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Sonografi

Pemeriksaan sonografi pelvis akan sangat

mendukung untuk menegakkan diagnosa SOPK.

Jumlah folikel dan volume ovarium penting

dalam pemeriksaan sonografi.  Adam dkk menetapkan kriteria SOPK secara sonografi

adalah dengan adanya kista folikel ≥  10 buah

dengan diameter 2 – 8 mm dengan stroma yang

tebal. Jonard dkk mengajukan kriteria SOPK

secara sonografi dengan adanya peningkatan

luas ovarium (> 5,5 cm2) atau dengan volume

ovarium > 11 ml dan /atau adanya folikel ≥ 12

 buah dengan diameter 2 – 9 mm. Kriteria yang

diajukan oleh Jonard dkk ini memiliki

spesifisitas 99% dan sensitivitas 75% untuk

mendiagnosa SOPK secara sonografi.6

Pemeriksaan Hormonal

Pemeriksaan hormonal pada penderita

SOPK memperlihatkan beberapa kelainan

endokrin. Beberapa hormon yang perlu

diperiksa :

1.   Nisbah luteinizing hormon/follicle

stimulating hormon :

 Nisbah ≥  2,0 menunjukkan adanya suatu

SOPK

2.  Kadar 17-hydroxyprogesteron :

Kadar≥

  200 ng/dl mengkonfirmasikandiagnosis SOPK.

3.  Testosteron :

Kadar testosteron ≤  150 ng/dl banyak

didapati pada penderita SOPK.

4.  Dehydorepiandrosterone-sulfate (DHEAS)

:

Kadar DHEAS akan normal atau sedikit

meningkat pada penderita SOPK.

5.  Prolaktin :

Lima sampai 30% pasien SOPK dilaporkan

mengalami hiperprolakti-nemia ringan.

6. 

Kadar gula darah puasa/rasio insulin :< 7,0 pada orang dewas menunjukkan

adanya resistensi insulin.

< 4,5 pada pasien SOPK yang obesitas,

euglikemia.

PENATALAKSANAAN

Setelah SOPK didiagnosa dan penyebab

hiperandrogen telah disingkirkan, maka dapat

dilakukan penatalaksanaan untuk SOPK. Tujuan

terapi SOPK adalah :

1. 

Menghilangkan gejala dan tandahiperandrogenisme.

2.  Mengembalikan siklus haid menjadi

normal.

3.  Memperbaiki fertilitas.

4.  Menghilangkan gangguan metabolisme

yang terjadi.6,7

 

Pendekatan terapi SOPK dewasa ini

dilakukan dengan 3 macam cara7 :

I. 

 Non farmakologi

II.  Farmakologi

III.  Operatif

I.  Non Farmakologi

Tanda dan gejala hirsutisme akan

memakan waktu cukup lama untuk kembali

normal setelah pemberian terapi antiandrogen.

Untuk menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh

 pada penderita SOPK, banyak wanita

melakukan tindakan untuk menghilangkan bulu-

 bulu secara elektrolisis atau laser untuk tujuankosmetik.

Penurunan berat badan akan memberikan

 pengaruh terhadap kadar hormon dalam

sirkulasi.

Satu penelitian menerangkan pada 6 orang

 penderita SOPK yang mengalami penurunan

 berat badan rata-rata sebesar 16,2 kg akan

menyebabkan penurunan kadar testosteron, 4

orang diantaranya terjadi ovulasi.7

II.  Farmakologi2,6,7,8

 

a. 

Kontrasepsi oral

Tujuan pemakaian obat ini adalah untuk

menurunkan produksi steroid ovarium dan

 produksi androgen adrenal, meningkatkan sex

hormon-binding globulin (SHBG),

menormalkan rasio gonadotropin dan

menurunkan konsentrasi total testosteron dan

androstenedione didalam sirkulasi.

Mengembalikan seleksi haid yang normal,

sehingga dapat mencegah terjadinya hiperplasia

endometrium dan kanker endometrium.

Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikansebagai terapi untuk menghilangkan gejala

hirsutisme. Dosis 150 mg intramuskular setiap 6

minggu selama 3 bulan atau 20 – 40 mg perhari.

 b.  Antiandrogen

Fungsi kerja antiandrogen adalah untuk

menurunkan produksi testosteron maupun untuk

mengurangi kerja dari testosteron.

Beberapa antiandrogen yang tersedia antara

lain :

- Cyproteron acetat yang bersifat kompetitif-

inhibisi terhadap testosteron dandyhidrotestosteron pada reseptor androgen.

Dosis 100 mg perhari pada hari 5 – 15

siklus haid.

Page 4: Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

8/12/2019 Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

http://slidepdf.com/reader/full/mkn-volume-38-no-4-sindroma-ovarium-polikistik 4/5

Tinjauan Pustaka

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005336

- Flutamide bersifat menekan biosintesa

testosteron. Dosis yang digunakan 250 mg

3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.

- Finasteride yang merupakan inhibitor

spesifik enzym 5α  reduktase digunakan

dengan dosis 5 mg/hari.

c.  GnRh analog

Pemberian GnRh agonis akan memperbaiki

denyut sekresi LH sehingga luteinisasi prematur

dari folikel dapat dicegah dan dapat

memperbaiki rasio FSH/LH.

d.  Metformin

Bertujuan untuk menekan aktifitas

cytochrom P450c-17α  ovarium, yang akan

menurunkan kadar androgen, LH dan

hiperinsulinemia. Diberikan dengan dosis 500mg 3 kali pemberian perhari selama 30 hari.

e.  Clomiphene Citrat

Merupakan terapi pilihan untuk induksi

ovulasi dan mengembalikan fungsi fertilisasi.

Pada keadaan hiperandrogen pada wanita yang

anovulasi, clomiphen citrat dilaporkan

meningkatkan frekwensi siklus ovulasi sampai

80% dengan rata-rata terjadi kehamilan sekitar

67%. Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian

 perhari dengan dosis maksimal perhari dapat

ditingkatkan menjadi 200 mg.

III.  Operatif

a.  Reseksi baji ovarium (Ovarian Wedge

 Resection)

Reseksi baji ovarium dapat dilakukan

secara laparatomi atau laparoskopi. Reseksi baji

ovarium direkomendasi oleh Kistner dan Patton 

terhadap pasien SOPK yang mengalami ovulasi

 pada pemberian clomiphene citrat namun tidak

terjadi kehmailan. Keduanya menganjurkan

tindakan reseksi baji dilakukan pada pasien yangtidak mengalami kehamilan setelah 7 atau 8 kali

siklus pengobatan dengan clomiphene citrat.

Pada reseksi baji ovarium dilakukan insisi 2 – 3

cm pada korteks ovarium yang menebal. Insisi

dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan dihindari

daerah hilus ovarium untuk menghindari

terjadinya perdarahan yang banyak. Melalui

lubang insisi bagian medulla diangkat dan

sebanyak mungkin korteks ovarium

dipertahankan.9 

Gjonnaess (1984)  melakukan prosedur

reseksi baji ovarium secara laparoskopi. Denganmemakai elektrode unipolar dibuat 8 – 15

lubang sedalam 2 – 4 mm pada kapsul pada

masing-masing ovarium. Dengan tindakan ini

ovulasi dapat disembuhkan pada 92% pasien

dengan angka keberhasilan kehamilan sebesar

80%.10

 

 b.  Pemgeboran ovarium dengan Laser secara

Laparoskopi ( Laparoscopy Laser Ovarian

 Drilling )

Tindakan pengeboran ovarium dengan

laser diperkenalkan dan digunakan untuk terapi

SOPK sejak 15 tahun terakhir. Dasar tindakan

ini adalah bahwa laser memiliki densitas power

yang terkontrol sehingga didapat kedalaman

 penetrasi pada jaringan sesuai yang diharapkan

serta kerusakan jaringan akibat pengaruh panas

yang dapat diprediksi. Pemakaian laser juga

akan mengurangi resiko perlengketan.11

Beberapa jenis laser yang sering digunakan

adalah : karbon dioksida (CO2), argon danYAG.10,11,12

  Tindakan pengeboran ovarium

dengan laser dilakukan dengan laparoskop

dengan diameter 10 mm yang dihubungkan

dengan laser CO2. Dapat digunakan CO2 

ultrapulsa (40 – 80 W, 25 – 200 mJ) atau CO2 

superpulsa (25 – 40 W). Seluruh folikel

subkapsular yang tampak divaporisasi dan

dibuat lubang ukuran 2 – 4 mm secara acak pada

stroma ovarium.9  Tahun 1997 tehnik tindakan

 pengeboran ovarium dengan laser distandarisasi

dengan menggunakan jarum elektrode unipolar

yang ditusukkan kedalam kavum abdomensecara tegak lurus, dibuat 10 – 15 tusukan pada

masing-masing ovarium dengan arus koagulasi

sebesar 40-W selama 2 detik pada masing-

masing tusukan.11

 

Dengan menggunakan laser YAG,  Huber

 dkk (1988)  melakukan pengeboran ovarium

sebanyak 3 – 5 buah pada masing ovarium

dengan panjang 5 – 10 mm dan kedalaman 4

mm. Tindakan ini berhasil memberikan ovulasi

spontan pada 5 dari 8 orang pasien yang

diterapi.

 Danielle (1989)  melakukan pengeboranovarium dengan menggunakan laser argon, CO2 

atau kalium titanyl phosphate (KTP) dimana

dibuat tehnik 2 tusukan (two-puncture

technique) untuk drainage folikel subkapsular

yang tampak dan membuat lubang pada stroma

ovarium. Tindakan ini memberikan ovulasi

spontan pada 71% kasus.11,13

 

Dari beberapa penelitian penggunaan laser

untuk pengeboran ovarium didapati hasil ovulasi

spontan antara 70 – 80% dengan tingkat

keberhasilan kehamilan antara 56 – 80%.

Page 5: Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

8/12/2019 Mkn Volume 38 No 4; Sindroma Ovarium Polikistik

http://slidepdf.com/reader/full/mkn-volume-38-no-4-sindroma-ovarium-polikistik 5/5

 Budi R. Hadibroto Sindroma Ovarium Polikistik

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 38  No. 4  Desember 2005  337

DAFTAR PUSTAKA

1.   Norman RJ, Wu R, Stankiewicz MT.

Polycystic ovary syndrome. Med J Aust

2004;180:132 – 37.

2.  Frank S. Polycystic ovary syndrome. N

Engl J Med 1995;333:853 – 61.

3.  Hershlag A, Peterson CM. Polycystic

ovarian syndrome. In: Novak’s

Gynecology, Berek JS editor. William &

Wilkins, New York, 1996.p 837 – 45.

4.  The Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored

PCOS Consensus Workshop Group.

Revised 2003 Consensus on diagnostic

criteria and long-term health risks Related

to polycystic ovary syndrome. Fertil Steril

2004;81(1):19 – 25.5.  Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical

Gynecologic Endocrinology and Infertility.

Sixth Edition. Lippincott Williams &

Wilkins, Philadelphia, 1999. p 487 – 573.

6.  Sheehan MT. Polycystic ovarian

syndrome: diagnostic and management.

Clin Med Res 2004;2(1):13 – 27.

7.  Patel SR, Korytkowski MT. Treating

 polycystic ovary syndrome: today’s

approach. Women Health Primary Care

2000;3(2):109 – 113.

8.  Amin M, Abdel-Kareem O, Takekida S,

Moriyama T, Abd el Aal G, Maruo T.

Update management of non responder to

clomiphene citrate in polycystic ovary

syndrome. Kobe J Med Sci 2003;49(3):59

 – 73.

9.  Sanfilippo JS, Rock JA. Surgery for benign

disease of the ovary. In: Te Linde’s

Operative Gynecology, Rock JA,Thompson JD editors. Lippincott-Raven

Publishers, Philadelphia, 1997. p 625 – 44.

10.  Cohen J. Laparoscopic procedures for

treatment of infertility related to polycystic

ovarian syndrome. Hum Reprod Update

1996;2(4):337 – 44.

11.  Pirwany I, Tulandi T. Laparoscopic

treatment of polycystic ovaries: is it time to

relinquish the procedure?. Fertil Steril

2003;80(2):241 – 51.

12.  Palomba S, Orio F, Nardo LG, Falbo A,

Russo T, Corea D. Metformin

administration versus laparoscopic ovarian

diathermy in clomiphene citrate-resistant

women with polycystic ovary syndrome; A

 prospective parallel randomized double-

 blind placebo-controlled trial. J Clin Endo

Metab 2004;89(10):4801 – 09.

13.   Amer SAK, Li TC, Ledger WL. Ovulation

induction using laparoscopic ovarian

drilling in women with polycystic ovarian

syndrome; predictors of success. HumReprod 2004;19(8):1719 – 24.