133
MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA LOGIKA POLITIK GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Oleh: Handrianus Koli Belolon NIM: 186322011 MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA, DESEMBER 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA:

MEMBACA LOGIKA POLITIK GERAKAN BUDAYA

PAPUAN VOICES

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora

di Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Handrianus Koli Belolon

NIM: 186322011

MAGISTER KAJIAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA, DESEMBER 2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

vi

Kata Pengantar

Terhitung sejak tahun 2011-2018, selama enam tahun lebih berkanjang hidup di

Papua, saya mengalami banyak perubahan berkaitan dengan pola pikir dan tingkah laku.

Hidup bersama orang Papua dan turut merasakan berbagai kisah hidupnya adalah

pengalaman berharga yang tak pernah lekang oleh waktu. Suka dan duka mereka terus

terpatri di sanubari sampai akhirnya mampu meruntuhkan semua persepsi dan asumsi

subjektif tentang Papua yang sebelumnya menyimpang jauh dari realitas yang saya hadapi di

sana. Papua adalah tempat di mana saya menemukan apa artinya mencintai alam dan sesama

manusia. Ia sudah seperti rumah kedua, tempat berbenah diri menjadi pribadi yang lebih peka

dan peduli pada ketidak-adilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Terima kasih

untukmu, Papua.

Pengalaman berharga yang serupa juga saya alami selama menjalani masa

perkuliahan di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Di tempat ini, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru yang sangat bermanfaat bagi

seluruh proses penalaran terhadap segala kompleksitas persoalan yang ada di Papua. Saya

pada akhirnya menyadari bahwa untuk memahami sebuah fenomena, kita sesekali perlu

mengambil jarak tertentu darinya sambil mempelajari sesuatu yang baru untuk dapat

menangkap sisi lain yang sebelumnya tak terselami. Untuk itu, saya menyampaikan terima

kasih kepada Rm. Subanar, SJ., Pak Tri, Pak St. Sunardi, Rm. Beni, SJ., Ibu Katrin, Ibu Devi,

Rm. Bagus, SJ., dan Rm. Budi, SJ., yang banyak memberi pengetahuan berharga selama

proses perkuliahan. Secara khusus, saya menyampaikan terima kasih berlimpah kepada Rm.

Baskara, SJ. yang selalu bersedia meluangkan banyak waktu untuk membimbing saya dalam

proses penulisan tesis ini.

Saya juga mau berterima kasih kepada istri dan anak tercinta (Maria Fransiska dan

Michelle Imeldalina) yang terus menguatkan saya dengan cinta dan perhatian yang tulus.

Untuk Andreas, Januarius, Sintus Asalang, Pace Steve Mahuze, Kaka Aprila Wayar, Hans

Hayon, Mba Desi, Clara, Khofi, Primus, Adma, Pak Ramma, Ibu Dharma, Mba Ajenk, Mba

Citra, Pak Iwan, dan Egha; saya menyampaikan banyak terima kasih atas rupa-rupa kebaikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

vii

yang saya dapatkan selama proses studi. Tak lupa pula, saya menyampaikan terima kasih

kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan Eagle Institute

yang telah banyak membantu saya dalam biaya perkuliahan maupun biaya hidup selama

empat semester melalui Program Beasiswa Unggulan.

Tesis ini saya persembahkan untuk para aktivis Papuan Voices yang patang mundur

dalam menyuarakan cerita-cerita dari Papua sambil terus berupaya merawat Papua melalui

kerja-kerja politiknya. Terima kasih atas kesempatan berharga yang diberikan kepada saya

untuk meneliti dan menulis tentang PV. Kiranya tesis ini memberi sumbangsih pemikiran

dalam mewujud-nyatakan demokrasi kerakyatan di Papua. Panjang umur perlawanan dan

salut untuk perjuangan kalian.

Handrianus K. Belolon

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

viii

Abstrak

Sejak zaman kolonial, Papua adalah istilah peyoratif dan menjadi wilayah penting

dalam desain politik kekuasaan. Sampai saat ini, narasi-narasi tentang Papua di dalam media

massa pun tidak jauh berbeda. Publik Indonesia selalu dibanjiri beragam informasi yang

berbading terbalik dengan kondisi sosial-historis di Papua untuk menutupi ketimpangan-

ketimpangan yang terjadi. Bertolak dari fakta yang ada, para sineas muda Papua yang

tergabung dalam komunitas Papuan Voices, berupaya menciptakan narasi lain dalam bentuk

film dokumenter untuk menyuguhkan sisi lain dari Papua berdasarkan perspektif orang

Papua. Tak hanya itu. Dalam aktivismenya, mereka juga terus berupaya melindungi alam dan

manusia Papua dari berbagai bentuk ancaman. Fenomena ini mau menunjukkan bahwa ada

wilayah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan politik gerakan sosial.

Dengan menggunakan metode lived resistance, dan teknik validitas dekonstruktif dari

pespektif post-stukturalisme, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika

perlawanan serta logika politik yang dapat dilacak melalui gerakan budaya Papuan Voices.

Sebagai perangkat analisis, penelitian ini menggunakan pendekatan gerakan sosial baru

dalam tradisi Marxis; terutama melalui Gramsci dan Laclau-Mouffe untuk memeriksa

bentuk-bentuk hegemony, antagonisme, pembentukan identitas kolektif dan counter-

hegemony di dalam gerakan: menggugat ketimpangan, merawat Papua.

Hasil analisis menunjukkan bahwa framing dan hegemoni media massa bertujuan

untuk mengaburkan fakta ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Dengan memanfaatkan film-

film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah

masyarakat, para aktivis PV terus mengupayakan hegemoni tandingan dengan menciptakan

makna baru tentang alam dan manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Aktivisme

PV adalah representasi gerakan sosial baru yang mengutamakan pendidikan politik dalam

mewujudkan demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat.

Kata kunci: Papuan Voices, Gerakan Budaya, Hegemoni, Hegemoni Tandingan, Demokrasi

Kerakyatan, Gerakan Sosial Baru, Pendidikan Politik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

ix

Abstract

Since colonial times, Papua is a pejorative term and has become an important area

in the design of power politics. Until now, the narratives about Papua in the mass media are

not much different. The Indonesian public is always flooded with various information which

contrasts with the socio-historical conditions in Papua to cover up the imbalances that occur.

Starting from the facts, young Papuan filmmakers who are members of the Papuan Voices

community, try to create another narrative in the form of documentary films to present a

different side of Papua based on the perspective of Papuans. Not only that. In their activism,

they also continue to strive to protect Papua's nature and people from various forms of threats.

This phenomenon shows that there are new areas that need to be studied in relation to social

movement politics.

By using the method of lived resistance and deconstructive validity techniques from

the perspective of post-structuralism, this study aims to explore the dynamics of resistance

and political logic that can be traced through the Papuan Voices cultural movement. As an

analytical tool, this research uses a new social movement approach in the Marxist tradition;

especially through Gramsci and Laclau-Mouffe to examine forms of hegemony, antagonism,

collective identity formation and counter-hegemony within the movement: criticizing

inequity, caring for Papua.

The results of the analysis show that framing and mass media hegemony aims to

obscure the facts of the injustices that occur in Papua. By utilizing the documentary films

they produce as media for campaigning and advocacy in the community, PV activists

continue to strive for counter hegemony by creating new meanings about Papua's nature and

people from the perspective of Papuans. PV activism is a representation of a new social

movement that prioritizes political education in realizing democracy that takes the side of the

people’s sovereignty.

Keywords: Papuan Voices, Cultural Movements, Hegemony, Counter-Hegemony, Populist

Democracy, New Social Movement, Political Education

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................................................................................iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS ……………………………………………………………………...v

Kata Pengantar ...............................................................................................................................vi

Abstrak ........................................................................................................................................ viii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. x

BAB I ............................................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 8

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 8

D. Manfaat Penulisan .............................................................................................................. 9

E. Kajian Pustaka .................................................................................................................. 10

F. Kerangka Teori ................................................................................................................. 14

1. Dasar Teoretik Gerakan Sosial dalam Tradisi Marxis .................................................... 14

2. Gerakan Sosial Baru dalam Perspektif Gramscian ......................................................... 21

G. Metode Penelitian ............................................................................................................. 27

H. Skema Penulisan............................................................................................................... 29

BAB II ......................................................................................................................................... 31

PAPUA DAN KONSTRUKSI REALITAS DALAM MEDIA MASSA ....................................... 31

A. Pengantar ......................................................................................................................... 31

B. Sekilas tentang Papua ....................................................................................................... 32

1. Manusia dan Alam Papua dalam Fakta .......................................................................... 32

2. Papua di Mata Aktivis Media ........................................................................................ 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

xi

C. Framing dan Hegemoni Media Massa tentang Papua......................................................... 41

1. Bagaimana Media Nasional Menarasikan Papua? .......................................................... 41

2. Representasi Papua di Dalam Media Film ..................................................................... 48

3. Media Massa sebagai Perangkat Hegemoni Budaya ...................................................... 57

D. Rangkuman ...................................................................................................................... 59

BAB III ........................................................................................................................................ 60

ANTAGONISME DAN HEGEMONI TANDINGAN .................................................................. 60

SEBAGAI LOCUS GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES .................................................... 60

A. Pengantar ......................................................................................................................... 60

B. Memahami Terminologi Gerakan Budaya dalam Kajian Budaya ....................................... 61

C. Apa Itu Papuan Voices? ................................................................................................... 64

1. Sekilas Cerita Lahirnya Papuan Voices ......................................................................... 64

2. Papuan Voices Sebagai Blok Historis ........................................................................... 66

3. Papuan Voices dan Identitas Kolektif ............................................................................ 69

D. Papuan Voices Bercerita: Locus Bagi Antagonisme dan Counter-Hegemony ..................... 78

1. Film Dokumenter Sebagai Media Artikulasi .................................................................. 79

2. Antagonisme dan Hegemoni Tandingan dalam Dokumenter .......................................... 84

E. Rangkuman ...................................................................................................................... 87

BAB IV ....................................................................................................................................... 89

KONTESTASI MAKNA DAN PERJUANGAN DEMOKRASI KERAKYATAN: SEBUAH

MODEL GERAKAN SOSIAL BARU ......................................................................................... 89

A. Pengantar ......................................................................................................................... 89

B. Politik Kepemimpinan di Dalam Tubuh Papuan Voices? .................................................. 90

C. Kontestasi Makna dan Perjuangan Demokrasi Kerakyatan ................................................ 98

1. Pembingkaian Kultural ................................................................................................. 98

2. Struktur Mobilisasi ..................................................................................................... 109

3. Peluang Politik............................................................................................................ 113

D. Rangkuman .................................................................................................................... 116

BAB V ....................................................................................................................................... 117

PENUTUP ................................................................................................................................. 117

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

xii

B. Rekomendasi .................................................................................................................. 120

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Papua menjadi sebuah istilah yang peyoratif sejak kolonialisme hingga pasca-

reformasi. Pada era Soekarno, Papua adalah enclave penting yang terintegrasi dalam desain

politik kebangsaan NKRI melalui idiom “dari Sabang sampai Merauke”. Demikian pula pada

era Soeharto, di mana Papua diringkus semata-mata demi menunjang projek

developmentalisme. Selanjutnya, pasca-reformasi, karakter buruk ini dilanjutkan dengan

watak yang berbeda-beda, dari isu separatisme hingga ketertinggalan pembangunan, dari isu

infrastruktur hingga kekerasan etnis, dari isu pembangkangan sipil hingga sumber daya alam

yang kaya, dari rezim Megawati hingga rezim Joko Widodo.

Melalui pembacaan yang kritis, ditemukan bahwa isu-isu seperti itu justru

dikonstruksikan, didistribusikan, dan dilanggengkan, − mengutip Michael Foucault (1980) −

melalui mekanisme kepengaturan (governmentality) yang dilakukan baik melalui apparatus

rezim (governmentality by others) maupun melalui warga Papua sendiri (governmentality of

the self). Akibatnya, Papua hari ini adalah narasi yang didominasi dengan cerita tentang

keindahan dan kekayaan alam, PT. Freeport Indonesia, Organisasi Papua Merdeka (OPM),

perang suku, separatis, atau salah satu wilayah di bagian timur Indonesia yang ‘belum maju’

dan mutlak perlu untuk dibangun dan diberdayakan demi tercapainya keadilan sosial bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

2

seluruh rakyat Indonesia. Apalagi, mempertimbangkan bahwa aksesibilitas merupakan

hambatan serius dalam penyebarluasan informasi dan gagasan alternatif, perspektif di atas

menjadi begitu dominan persis ketika persepsi publik Indonesia tentang Papua dibentuk oleh

media-media massa arus utama, seperti media cetak maupun elektronik. Dari media-media

tersebut orang pada akhirnya memperoleh pengetahuan lalu membangun opininya secara

sepihak tentang Papua.

Sadar akan absennya narasi-narasi alternatif ini, sejumlah anak muda Papua, baik

perorangan maupun sebagai kelompok, merasa terpanggil untuk menarasikan Papua secara

berbeda. Dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, mereka menyajikan berbagai

model narasi tentang alam dan manusia Papua yang dikemas dalam bentuk berita, artikel,

opini, puisi, cerpen, novel, lagu, fotografi, videografi, dan berbagai bentuk kerja seni lainnya;

termasuk berunjuk rasa di muka umum. Bagi mereka, Papua bersama kompleksitas persoalan

yang melilitnya perlu diekspos agar publik memperoleh informasi dan pengetahuan yang

utuh dan otentik. Selain itu, aktivisme semacam itu dapat membantu masyarakat adat Papua

untuk memahami persoalan-persoalan yang dihadapi serta bagaimana membentengi diri

terhadap rupa-rupa penindasan sambil mencari solusi alternatifnya. Dalam kerangka kerja

inilah, Papuan Voices lahir untuk mengisi apa yang hilang dari ingatan publik tentang Papua

serta bagaimana merawatnya.

Papuan Voices (selanjutnya disebut PV) merupakan sebuah organisasi sipil

berbentuk perkumpulan para aktivis media yang bergerak di bidang audio-visual, secara

khusus film dokumenter pendek dan video jurnalis. Tujuan utama berdirinya PV di Papua

adalah melakukan advokasi dan kampanye tentang isu-isu alam dan manusia Papua bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

3

semua kalangan masyarakat, serta menjadi wadah pengembangan kapasitas sumber daya

generasi muda Papua (Lih. profil organisasi PV). Sebagai suatu bentuk gerakan sosial, sejak

berdiri pada 2011, PV melalui para aktivisnya terus melaksanakan sejumlah agenda kegiatan,

seperti lokakarya produksi film dokumenter, Festival Film Papua (FPP), roadshow, serta

sejumlah strategi distribusi film ke berbagai kalangan masyarakat di tingkat lokal, nasional

maupun internasional.

Tesis ini dimaksudkan untuk mengulas kelahiran PV dan rupa-rupa aktivismenya

sebagai bentuk lain dari protest terhadap cara pandang publik yang cacat tentang Papua;

sekaligus menunjukkan sikap distrust terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang abai

terhadap kelestarian alam dan pemenuhan hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Otto

Wanma, seorang sineas PV wilayah Tambraw, menuturkan bahwa selama ini sudah ada

banyak berita tentang Papua, tetapi belum memberi dampak perubahan apa pun terhadap

masyarakat adat Papua. Menurut Wanma, PV adalah wadah bagi orang Papua menceritakan

realitas Papua yang sebenarnya untuk menunjukkan bahwa di Papua belum ada perdamaian

dan keadilan.

Menegaskan pernyataan tersebut, Max Binur selaku pendamping PV wilayah Sorong,

menyatakan bahwa narasi tentang Papua yang diceritakan oleh orang-orang Papua sendiri

masih sangat minim, sehingga generasi muda Papua tergerak untuk menciptakan lebih

banyak cerita tentang Papua yang dikemas dalam bentuk film dokumenter. Terkait dengan

hal itu, semua film hasil karya generasi muda Papua bertujuan untuk menyampaikan pesan

kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua maupun di luar Papua agar semakain banyak

orang dapat melihat Papua secara lebih dekat sambil ikut bersolidaritas menyelamatkan masa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

4

depan alam dan manusia Papua tanpa harus melakukan aksi-aksi yang bersifat destruktif.

Selain itu, film-film PV juga mengajak masyarakat adat Papua untuk tetap menjaga dan

mempertahankan kearifan lokal, nilai budaya, dan adat-istiadat beserta kekayaan alamnya

yang terus mengalami ancaman. Menurut Binur, narasi-narasi yang dikemas PV memberi

perspektif baru tentang Papua, di mana orang Papua ditempatkan sebagai subjek utama dalam

melihat dan menentukan masa depannya sendiri.

Dalam hal ini, film dokumenter sebagai sumber daya pendukung aktivisme PV adalah

sebuah pilihan strategi, karena ia memiliki kekuatan konstruksi pada ranah makna maupun

kesadaran kritis. Berkaitan dengan itu, Patricia Aufderheide dalam Documentary Film: A

Very Short Introduction (2007: 5), mengungkapkan bahwa film dokumenter adalah bagian

dari media yang membantu kita untuk memahami tidak hanya tentang dunia kita, tetapi juga

peran kita sebagai public actors dalam membentuk dunia tersebut. Sebagai bagian dari public

actors, – seperti yang diungkapkan oleh John Dewey (dalam Aufderheide, 2007:5) – para

filmmaker memiliki berbagai pilihan cara untuk mengkomunikasikan representasi realitas

kepada orang lain tentang problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat agar diketahui oleh

umum. Melalui berbagai model representasi di dalam film dokumenter,1para filmmaker

senantiasa menjunjung tinggi nilai kebenaran fakta dalam dua elemen penting dokumenter:

representasi dan kenyataan yang disajikan secara filmis. Atau dengan kata lain, melalui film

yang merepresentasikan realitas (betapa pun tak lengkap dan terbatas), mereka menciptakan

1Ada beberapa tipe (mode) film dokumenter, seperti: poetic, performative, reflexive, participatory,

observational, dan expository. Selain memiliki beberapa tipe (mode), film dokumenter juga terbagi dalam

beberapa jenis (genre), seperti: laporan perjalanan, sejarah, potret/biografi, nostalgia, rekonstruksi, investigasi,

perbandingan dan kontradiksi, ilmu pengetahuan, buku harian/diary, musik, association picture story, dan

docudrama. (Lih. Bill Nichols, 2001. Introduction to Documentary, Indiana University Press: USA, hal. 99).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

5

keberimbangan antara representasi dan kenyataan di setiap narasi tentang kehidupan riil yang

mengandung klaim kebenaran. Film dokumenter adalah cara lain untuk membentuk realitas

baru berupa penggambaran berbagai fenomena sosial beserta persoalan-persoalan yang

menuntut penyelesaian.

Dengan mengusung tema film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial, tesis

ini berangkat dari sejumlah kajian yang serupa untuk menemukan titk pijak baru di dalam

kerangka kerja logika politik gerakan sosial baru di era post-industrial. Pada prinsipnya, film

dokumenter adalah sarana yang cukup efektif untuk menghidupi sebuah aktivisme di tingkat

akar rumput. Akan tetapi, masing-masing gerakan punya karakteristik tersendiri dalam hal

isu, strategi dan tujuan yang mau dicapai. Sebagai misal, Gino Canella dalam Social

Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing

(2017), menekankan peran media sosial sebagai jalur distribusi film dokumenter untuk

menentang narasi dominan, mengorganisir masyarakat, dan menciptakan perubahan sosial.

Melalui film Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105

in Denver, Canella menunjukkan peran media sosial dan teknologi digital sebagai jembatan

bagi para aktivis dokumenter dalam memperjuangan keadilan sosial dan ekonomi bagi orang-

orang kulit hitam di Amerika Serikat.

Masih pada kerangka kerja yang serupa, John Haynes dalam Documentary as Social

Justice Activism: The Text and Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film

(2007) menunjukkan pentingnya strategi tekstual dan politik seperti yang dikerjakan oleh

Greenwald dan perusahaan Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di

tengah menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

6

Amerika Serikat. Haynes menemukan bahwa, dengan memanfaatkan jalur distribusi film

dokumenter di luar bioskop, Greenwald mampu mengembangkan strategi produksi,

distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas online di akar rumpur seperti

MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu yang didokumnetasikan di

dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan dan menggalang audiensi

yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang akan ditempuh di dalam

aktivisme keadilan sosial yang diusung.

Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh Tanya Noetly dan Alexandra Crosby dalam

Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West Papua (2013). Noetly dan Crosby

menggambarkan peran serta aktivisme transmedia di Papua (Papuan Voices dan The

Freedom Frontilla to West Papua) dalam menyampaikan cerita-cerita tentang Papua kepada

publik. Tujuan utamanya adalah menggerakkan massa lintas negara, budaya dan bahasa

untuk sedapat mungkin mengamati dan memahami berbagai bentuk perjuangan orang-orang

Papua yang menuntut hak-hak hidupnya. Menurut mereka, media sosial dan teknologi digital

menjadi ruang dialog baru bagi massa untuk mencari berbagai kemungkinan perjuangan yang

berpihak pada masa depan orang Papua.

Berdasarkan ketiga kajian tersebut, tampak bahwa film dokumenter memang menjadi

pilihan strategis untuk mengorganisir massa dalam memperjuangkan keadilan sosial maupun

ekonomi. Akan tetapi, ketiga kajian tersebut belum menunjukkan secara detail faktor-faktor

ideologis yang menggerakkan sebuah aktivisme maupun kedudukan serta fungsi para sineas

dokumenter sebagai aktor penggerak yang penting dalam melakukan kerja-kerja politik

gerakan sosial. Oleh karena itu, tesis ini berupaya menjawab beberapa elemen penting di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

7

dalam memahami sebuah logika politik gerakan sosial, di mana PV menjadi objek

materialnya. Secara substansial, aktivisme di pusaran PV perlu dilihat dalam dua aspek

penting, yakni gerakan menggugat terhadap hegemoni opini publik tentang Papua melalui

media-media massa arus utama di satu sisi; dan gerakan merawat Papua di sisi lain sebagai

upaya hegemoni tandingan yang di dalamnya ada proses konstruksi makna dan kesadaran

bagi publik dalam melihat Papua secara lebih utuh. Singkatnya, tesis ini berupaya untuk

melihat model-model hegemoni media-media massa arus utama dalam menarasikan Papua

dan bagaimana PV melakukan hegemoni tandingan terhadapnya; termasuk upaya para

aktivisnya dalam memperjuangkan demokrasi kerakyatan di Papua.

Bertolak dari hasil pengamatan tersebut, tesis ini ingin membahas kiprah PV dengan

menggunakan perangkat analisis yang digagas oleh Antonio Gramsci serta Ernesto Laclau

dan Chantal Mouffe yang berhubungan dengan logika politik gerakan sosial dalam tradisi

Marxis. Ada pun pokok-pokok gagasan yang dipakai sebagai perangkat analisis dalam tesis

ini, antara lain: hegemony dan counter-hegemony milik Gramsci yang dilengkapi dengan

hegemony and socialist strategy milik Laclau-Mouffe. Secara keseluruhan, kajian dalam tesis

ini akan berfokus pada tiga hal penting, yakni: Pertama, peran media massa arus utama dalam

menghegemoni opini publik secara tidak sehat tentang alam dan manusia Papua. Kedua,

antagonisme dan hegemoni tandingan sebagai locus bagi pembentukan PV sebagai blok

historis dan upaya membangkitkan intektual organik di Papua. Ketiga, aktivisme PV yang

berorientasi pada kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai suatu

bentuk gerakan sosial baru yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan keadilan sosial

bagi alam dan manusia Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

8

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, kajian ini berupaya mempertanyakan tentang

bagaimana logika politik gerakan budaya beroperasi dalam PV dengan menggunakan film

dokumenter sebagai basis gerakannya. Pertanyaan besar ini kemudian dirincikan ke dalam

tiga pertanyaan operasional sebagai berikut:

1. Faktor-faktor ideologis apa saja yang menjadi latar belakang lahirnya PV?

2. Bagaimana antagonisme dan hegemoni tandingan lahir dan tumbuh di dalam gerakan

budaya yang diusung PV?

3. Sejauh mana para aktivis PV mewujud-nyatakan politik kepemimpinan dalam kaitannya

dengan kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model

gerakan sosial baru?

C. Tujuan Penulisan

Pada dasarnya, kehadiran PV sebagai sebuah gerakan budaya bertolak dari cara

pandang subjektif publik yang timpang tentang Papua serta kondisi sosial historisnya yang

masih jauh dari harapan akan adanya keadilan dan perdamaian di Papua. Karena itu,

berdasarkan rumusan masalah tersebut, tesis ini bertujuan untuk melihat logika politik

gerakan sosial di pusaran PV dalam kaitannya dengan gerakan dua arah: menggugat

ketimpangan, merawat Papua. Menggugat ketimpangan yang dikmasudkan dalam tesis ini

berkaitan dengan aktivitas memproduksi makna baru tentang Papua yang bersifat kontras

dengan kemasan narasi milik media arus utama, di mana orang Papua sendiri ditempatkan

sebagai subjek yang bercerita tentang realitas hidup yang dialaminya. Sedangkan merawat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

9

Papua berkaitan dengan pendidikan politik melalui rupa-rupa aktivisme PV yang melibatkan

orang Papua dan siapa saja yang punya keprihatinan yang besar tentang kondisi sosial-

historis di Papua untuk dapat memahami Papua secara lebih utuh dan berimbang; sekaligus

ikut terlibat dalam mewujudkan harapan dan perjuangan pemenuhan hak-hak hidup orang

Papua. Untuk sampai pada pemahaman yang utuh tentang logika gerakan tersebut, maka tesis

ini akan menguaraikan tiga bagian penting, yaitu: pertama, faktor-faktor ideologis yang

melandasi aktivisme PV. Kedua, bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan

sebagai locus aktivisme PV. Ketiga, kontestasi makna tentang Papua dan perjuangan

demokrasi kerakyatan sebagai strategi pendidikan politik di dalam aktivisme PV.

D. Manfaat Penulisan

Secara akademis, tesis ini bermanfaat bagi bertambahnya kajian tentang gerakan

sosialberbasis film dokumenter melalui pendekatan Kajian Budaya. Selain itu, secara praksis,

tesis ini akan menjadi bahan evaluasisekaligus referensi tambahan bagi para aktivis PV dalam

menghidupi aktivismenya di Papua. Singkatnya, tesis ini menjadi bagian dari upaya

membangun pendekatan alternatif dalam menalar Papua secara berbeda, yakni berdasarkan

perspektif orang asli Papua yang justru lebih mengenal konteks kehidupan mereka sendiri.

Paling tidak, penyesatan opini publik tentang Papuadapat diminimalisir sambil memikirkan

bagaimana membangun solidaritas demi mendukung transformasi dan perubahan sosial di

Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

10

E. Kajian Pustaka

Sejak kemunculannya pada akhir abad ke-19 melalui karya Robert Flaherty yang

berjudul Nanook of the North (1922), sampai dengan saat ini film dokumenter masih

menyisakan perdebatan panjang tentang fiksi dan non-fiksinya sebuah cerita dalam hal

realitas yang direpresentasikan. Para penikmat film cenderung menilai film dokumenter

sebagai hasil gubahan dan manipulasi para sineas atas realitas yang dinarasikan seperti

kebanyakan film pada umumnya. Meskipun demikian, para pegiat film dokumenter justru

mengklaimnya sebagai usaha merepresentasikan realitas yang sesungguhnya. Sebuah film

dokumenter adalah sebuah narasi tentang realitas hidup yang mengandung klaim kebenaran.

Meskipun punya sisi subjektifdalam menarasikan sebuah film dokumenter, seorang

sineaspatut menyadari dirinya sebagai storytellers yang menjunjung tinggi kebenaran dalam

memotret realitas hidup agar tujuan atau pesan yang hendak disampaikan dapat dipahami dan

ditindak-lanjuti oleh siapa saja yang menjadi target penonton.

Banyak kajian ilmiah yang menggunakan film dokumenter sebagai objek materialnya

telah menunjukkan bahwa aktivisme yang berkaitan dengan film dokumenter adalah jalan

menuju gerakan sosial demi terciptanya perubahan di tengah masyarakat. Dalam Social

Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social Media and Organizing,

Canella (2017) menunjukkan pentinganya menggunakan strategi komunikasi dan distribusi

para pegiat film dokumenter sebagai bagian dari gerakan sosial. Melalui media sosial, film

dokumenter Black Lives Matter 5280 dan Service Employees International Union, Local 105

in Denver didistribusikan dan dipakai sebagai bahan kampanye untuk memediasi dan

mengorganisir gerakan akar rumput masyarakat lokal dalam memperjuangkan keadilan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

11

sosial dan ekonomi. Menariknya, kedua film tersebut digunakan sebagai pesan untuk

memerangi kekuatan simbolik (rasisme sistemik) yang menindas kehidupan sosial-ekonomi

dan politik warga kulit hitam di Amerika Serikat. Meskipun demikian, kajian ini tidak

menujukkan secara eksplisit bentuk-bentuk kerja politik para aktor penggerak dalam

mewujudkan pemenuhan hak-hak hidup warga yang terkena dampak rasisme.

Selain itu, John Haynes dalam Documentary as Social Justice Activism: The Text and

Political Strategies of Robert Greenwald and Brave New Film (2007) lebih memberi

penekanan pada strategi tekstual dan politik yang dikerjakan oleh Greenwald dan perusahaan

Brave New Film untuk memobilisasi aktivisme akar rumput di tengah menurunnya

partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang lebih formal di Amerika Serikat.

Dengan memanfaatkan jalur distribusi film dokumenter di luar bioskop, Greenwald

mengembangkan strategi produksi, distribusi dan pameran film kepada komunitas-komunitas

online di akar rumpur seperti MoveOn.org untuk memperluas daya tarik publik pada isu-isu

yang didokumentasikan di dalam film-film sayap kiri. Tujuannya adalah untuk menyatukan

dan menggalang audiensi yang lebih beragam sambil membincangkan tindak lanjut yang

akan ditempuh di dalam aktivisme keadilan sosial. Sebagai bagian dari kajian tentang

gerakan sosial, Haynes belum menjabarkan bagaimana pembingkaian (framing) sebuah

realitas diciptakan, peluang politik apa saja yang dihadapi, serta bagaimana proses

mobilisasinya.

Selanjutnya, Noetly dalam Transmedia Activism: Exploring the Possibility in West

Papua (2014), juga masih sebatas mengulas tentang pentingnya transmedia sebagai bagian

dari aktivisme, di mana ia menjadikan Papuan Voices dan The Freedom Frontilla to West

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

12

Papua sebagai objek materialnya. Melalui berbagai platform transmedia, cerita-cerita

tentang Papua yang telah diterjemahkan ke dalam multi-bahasa disampaikan kepada publik

agar dapat diakses oleh masyarakat di tingkat nasional maupun internasional. Ada dua tujuan

yang diusungnya, yaitu: pertama, melawan narasi dominan yang cenderung memberi stigma

buruk kepada orang Papua sebagai bangsa primitif dan separatis. Kedua, mengajak dan

menggerakkan masyarakat global untuk sedapat mungkin memperbincangkan berbagai

pergolakan hidup yang dialami oleh masyarakat Papua dalam menuntut hak-hak hidupnya.

Dengan demikian, publik diberi ruang dialog baru untuk membincangkan berbagai persoalan

yang dihadapi orang Papua, ikut memahami dan merasakan pengalaman mereka, sambil

memikirkan berbagai kemungkinan perjuangan menuju masa depan Papua yang lebih baik.

Meskipun sedikit menyinggung usaha melawan narasi dominan, Noetly tidak secara

eksplisit membeberkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang mendorong lahirnya

gerakan tersebut. Selain itu, kajian tersebut juga tidak memberi perhatian pada peran dan

kedudukan para pegiat film dokumenter sebagai kaum intelektual publik dalam mewujudkan

sebuah gerakan sosial; khususnya bagaimana mereka mewujud-nyatakan keja-kerja

politiknya. Patut dicatat bahwa proses produksi dan distribusi film dokumenter adalah

peluang baru untuk menciptakan gerakan sosial berbasis media yang mengarah kepada

berbagai kemungkinan perubahan sosial. Melalui pengorganisasian masyarakat yang

dilakukan oleh para aktivis di tingkat lokal maupun global, gerakan-gerakan tersebut

bertujuan untuk menciptakan pendidikan politik bagi publik di tengah berbagai tantangan

hidup berdemokrasi dan persoalan-persoalan lainnya seperti kemanusiaan dan lingkungan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

13

Berkaitan dengan peran kaum intelektual di dalam sebuah aktivisme, Eric R. Wolf

dalam Peasant Wars of the Twentieth Century (1969) menunjukkan bahwa dalam sejarah

pergerakan kaum petani ternyata tidak semuanya dipimpin atau digerakkan oleh orang-orang

yang mempunyai kelas yang sama. Dengan mengambil contoh studi kasus gerakan petani di

Kuba, Cina dan beberapa negara Amerika Latin, Wolf menyatakan bahwa peran kaum

intelektual sebagai charismatic leader yang ada di luar kelompok petani sangat kuat untuk

membangun kesadaran kaum petani yang teralienasi. Menurutnya, proses dominasi terhadap

kelompok petani bersifat dominance symbolic sehingga tidak disadari dan membutuhkan

sumber lain yang tidak tampak dari luar untuk membangun kesadaran kelas, mengorganisir

dan melawan dominasi kelas atas. Akan tetapi, Wolf belum menunjukkan secara lebih rinci

bagaimana peran kaum intelektual dalam membentuk identitas kolektif yang didasarkan pada

hubungan antagonistik, batas politik, dan rantai kesamaan sebagai locus gerakan perlawanan

kelompok petani.

Tesis ini sedianya berpijak pada pengalaman para sineas PV dalam usahanya untuk

menggugat berbagai narasi timpang tentang Papua yang selama ini sering dikonsumsi publik

sebagai kebenaran tunggal serta bagaimana mereka berperan sebagai aktor kunci dalam

membangun gerakan merawat Papua. Secara spesifik, tesis ini berupaya menjelaskan

aktivisme PV ke dalam dua arah gerakan: menggugat ketimpangan (ke arah luar) dan

merawat Papua (ke arah dalam). Di satu sisi, gerakan menggugat ketimpangan tidak terlepas

dari rupa-rupa kemasan narasi tentang Papua di dalam media massa arus utama yang pada

umumnya abai terhadap kondisi sosial-historis Papua yang sebenarnya. Dengan

menghadirkan sejumlah narasi media arus utama sebagai data pendukung, tesis ini dimaksud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

14

untuk menunjukkan model lain dari hegemonisasi opini publik tentang Papua serta

perbandingannya dengan kondisi riil sosial-historis Papua yang menjadi latar belakang

lahirnya PV. Di sisi lain, gerakan merawat Papua berkaitan dengan rupa-rupa aktivitas PV

yang diarahkan pada pendidikan kerakyatan (popular education) demi menjamin lahirnya

subjek-subjek politik yang peka sekaligus kritis terhadap rupa-rupa penindasan yang terus

menggerus martabat kemanusiaan maupun kelestarian lingkungan hidup di Papua.

Tentu saja aktivisme semacam ini tidak terlepas dari peran dan kedudukan para

aktivis PV sebagai intelektual organik dan agen sosial baru yang memperjuangkan nilai-nilai

demokrasi yang berpihak pada kedaulatan rakyat, dan bukan pada kepentingan golongan

tertentu saja. Dalam konteks ini, penggunaan term Papua merujuk pada dua hal pokok, yakni:

masyarakat adat Papua (baca: orang Papua) dan alam Papua yang sering menjadi sasaran

praktik diskriminasi maupun eksploitasi aparatus rezim.

F. Kerangka Teori

1. Dasar Teoretik Gerakan Sosial dalam Tradisi Marxis

Mendiskusikan sebuah kajian tentang gerakan sosial (social movement) yang

berangkat dari tradisi Marxis, tentu tidak terlepas dari beberapa teori yang digagas Karl Marx,

Vladimir Lenin, Antonio Gramsci, serta Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Pada dasarnya,

gagasan yang mereka kemukakan memiliki kesatuan teoretik dan telah menjadi bagian

integral di dalam studi gerakan sosial. Pertama, berkaitan dengan tesis tentang kesadaran

kelas proletar dan tindakan kolektif yang melahirkan teori keluhan (grievance theory).

Menyitir Marx, Tarrow menulis:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

15

People will engage in collective action, they thought, when their social class comes

into fully developed contradiction with its antagonists. In the case of the proletariat,

this meant when capitalism forced it into large-scale factories, where it lost ownership

of its tools but developed the resources to act collectively.... A form of consciousness

had to be created that would transform economic interests into revolutionary

collective action (Tarrow, 2011:17).

Menurut Marx, kesadaran kolektif kelas proletar akan adanya eksploitasi dari kelas

borjuis yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan kelas di antara keduanya adalah sumber

konflik dan menjadi daya dorong sebuah tindakan kolektif. Dengan kata lain, sebuah tidakan

kolektif pertama-tama dipacu oleh adanya kesadaran kolektif akan adanya alienasi yang

dialami kelas proletar di dalam sistem kapitalisme. Untuk mengubah keadaan yang ada, kelas

proletar harus mampu mengorganisir diri melawan dominasi kelas borjuis. Marx juga

menekankan pentingnya ideologi dalam perjuangan kelas sebagai alat untuk melakukan

perjuangan di tengah kuatnya penanaman kesadaran palsu (false consciousness) yang

dilakukan oleh kelas borjuis (Bottomore, 1979 dalam Prasetijo, 2015: 66). Persis di sinilah

Marx sebenarnya telah meletakan dasar teoretik gerakan sosial yang kemudian menjadi titik

pijak bagi para teoretisi sayap kiri untuk mengeritik sekaligus merumuskan kembali gagsaan-

gagasan tentang gerakan sosial secara baru.

Kedua, pentingnya kepemimpinan dan partai pelopor dalam gerakan revolusi kelas

proletar yang melahirkan teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization theory).

Berbeda dengan Marx yang percaya bahwa kesadaran kelas proletar akan tumbuh dengan

sendirinya akibat tekanan dari kelas borjuis, Leninjustru menekankan pentingnya peran dan

fungsi partai komunis untuk mengorganisir dan menggerakkan revolusikaum proletar. Aspek

kepemimpinan dan partai pelopor adalah penting untuk sebuah upaya revolusi, karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

16

menurut Lenin, kondisi struktural dan eksploitasi saja tidak cukup untuk membangkitkan

perlawanan kaum tertindas.“...organization was the solution to the collective action problem

of the working class” (Tarrow, 2011: 18). Tesis ini berangkat dari pengalaman revolusi

Bolshevik di Rusia pada tahun 1917, di mana Lenin bersama Partai Komunis Rusia berhasil

mengakhiri keditatoran militer dan Perang Dunia I lalu mendirikan Uni Soviet sebagai

republik sosialis pertama di dunia.

Ketiga, hegemoni budaya sebagai tembok penghalang revolusi serta upaya

melakukan hegemoni tandingan melalui pembentukan blok historis dan penggalangan

intelektual organik. Apa yang digagas oleh Gramsci tersebut melahirkan konsep

pembentukan identitas kolektif (collective identity formation) dan pembangunan kerangka

simbolik atau pembingkaian kultural (cultural framing). Bertolak dari pengamatan atas

revolusi Rusia yang gagal menyebar ke Eropa Barat, dan terutama kuatnya kekuasaan

fasisme di Italia, Gramsci menemukan ada persoalan yang paling mendasar, yaitu lemahnya

kesadaran kelas pekerja di bawah subordinasi dan hegemoni budaya kaum proletar. Berbeda

dengan keyakinan Marxisme klasik yang melihat faktor ekonomi sebagai base-structure

yang menentukan sebuah hubungan sosial, Gramsci justru melihat faktor ekonomi bukan

satu-satunya prasyarat revolusi. Logika ekonomistik hanya menjadi salah satu kondisi di

antara kompleksitas lain, seperti aspek sosial, budaya, ideologi, intelektual, dan moral.

Karena itu, gagasan tentang civil society perlu dipikirkan kembali sebagai weapon of the

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

17

weak bagi kelompok marginal (Fakih, 2002: 73); sekaligus menjadi ajang kontestasi dan

perjuangan politik (political struggle) merebut hegemoni dan konsensus massa.2

Istilah hegemoni seperti yang dikenal luas sebagai sebuah teori yang digagas oleh

Gramsci sebenarnya telah ada dalam tradisi Marxis, terutama melalui Plekhanov dan para

pengikut Marxisme di Rusia pada tahun 1880-an ketika kaum petani dan kelas pekerja

membentuk aliansi untuk meruntuhkangerakan Tsarisme. Kemudian gagasan tersebut

dikembangkan oleh Lenin sebagai sebuah strategi kelas pekerja untuk menggalang simpati

dan mendapatkan dukungan dari kelompok mayoritas. Meskipun demikian, konsep

hegemoni menurut Plekhanov dan Lenin hanya sebagai strategi mendapatkan dukungan dari

luar kelompok gerakan, dan bukan sebagai alat konseptual untuk membaca secara kritis

bentuk-bentuk penindasan baru di dalam masyarakat (Simon, 2004: 20-21).

Gramsci justru memberi pemahaman yang lebih dari sekedar strategi perjuangan.

Hegemoni menurut Gramsci adalah sebuah konsep untuk memahami masyarakat dengan

tujuan untuk mengubahnya melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni juga

bukan merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan

hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni

2Marx melihat civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan

kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Di dalamnya tercakup kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless). Pembagian tersebut

menyebabkan kaum proletar teralienasi dan terus dieksploitasi oleh kelas borjuis. Gramsci justru melihat civil

society secara berbeda. Ia membedakan civil society (masyarakat sipil) dari political society (masyarakat politik)

untuk menjelaskan proses hegemoni. Masyarakat politik adalah wajah dari negara yang melalui aparatusnya

melaksanakan fungsi koersif, seperti polisi, tentara, dan lembaga hukum, termasuk media massa. Sedangkan

masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, keluarga, dan

organisasi sipil, yang punya pengaruh secara ideologis dalam membangun kesadaran politik dan konsensus

massa yang terhegemoni. Menurut Gramsci, masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik bagi kaum

buruh dalam memperjuangkan hegemoni tandingan melalui pembentukan identitas kolektif yang di dalamnya

ada ideologi baru sebagai wadah dan pengikat berbagai kepentingan kelompok-kelompok marginal (Gramsci,

1971: 12; bdk. Sukmana, 2016: 227).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

18

adalah suatu organisasi konsensusyang menggunakan pendekatan persuasif untuk

membangun sebuah hubungan persetujuan(Simon, 2004: 19). Akan tetapi, konsensus atau

hubungan persetujuan yang diterima masyarakat pada dasarnya bersifat pasif karena struktur

sosial yang ada bukan dianggap sebagai keinginan mereka sendiri, melainkan karena mereka

kekurangan basis konseptual (kesadaran kritis) untuk memahami realitas sosial secara efektif

(Patria dan Arief, 199: 126-127). Singkatnya, hegemoni adalah sebuah fenomena penindasan,

di mana orang secara spontan menyetujui berbagai bentuk symbolic violencedi dalam sistem

kerja perangkat-perangkat kekuasaan, walaupun tidak terasa sebagai penindasan. Dalam

konteks kajian ini, media massa adalah perangkat kekuasaan yang dipakai negara untuk

menanamkan ideologinya melalui permainan bahasa untuk melanggengkan kekuasaan kaum

borjuis. Itulah alasan kenapa hegemoni yang digagas Gramsci bersifat material dan ideologis

di dalam praktik dan penerapannya.

Berkaitan dengan kekuatan hegemonik kelompok penguasa sebagai tembok

penghalang revolusi kelompok marginal tersebut, Gramsci menemukan celah untuk

melakukan perlawanan berupa hegemoni tandingan. Ia menawarkan dua strategi, yaitu:

pertama,menggalang blok historis sebagai sebuah aliansi atau gabungan dari berbagai

kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan mengeritik gagasan Marxisme klasik

tentang ekonomi sebagai base-structure (struktur bawah) serta politik dan ideologi sebagai

supra-struture (struktur atas) dalam memahami masyarakat sipil, Gramsci sebenarnya

menawarkan pentingnya blok historis sebagai sebuah sintesis dari hubungan antara struktur

bawah dan struktur atas yang dinilai bersifat dialektis. Baginya, ekonomi, politik dan ideologi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

19

saling berkelindan, karena hubungan politik di dalam masyarakat masuk ke dalam hubungan

produksi.

Dengan kata lain, metafora tentang struktur atas dan struktur bawah

mengimplikasikan bahwa perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi adalah sebab utama

terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi dan politik. Jadi, konflik antara kelas borjuis

dan kelas proletar tidak semata-mata dipahami sebagai persoalan ekonomis, tetapi

mengandung muatan ideologis dan politis juga. Dalam hubungan produksi ada proses

kehidupan sosial, politik dan intelektual. Karena itu, pembentukan blok historis menjadi

penting untuk menggalang kekuatan-kekuatan sosial yang ada melalui politik kepemimpinan

intelektual dan moral menuju proses perubahan revolusioner (Simon, 2004: 126-127).

Kedua, mendorong bangkitnya kalangan intelektual organikdi dalam masyarakat

untuk melakukan hegemoni tandingan. Gramsci menyodorkan gagasan ini sebagai bentuk

kritik terhadap kelompok intelektual tradisional yang terlanjur melegitimasi diri sendiri

maupun yang diletigimasi oleh otoritas lembaga tertentu sebagai sarjanawan maupun

cendekiawan. Menurut Gramsci, intelektual organik sejatinya adalah orang-orang akar

rumput yang lahir dari situasi keterindasan dan bersuara atas dasar pengalaman

ketertindasannya dengan menggunakan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti oleh kelompok

masyarakat dari kalangan sosial yang sama.

Intelektual organik bukan dicirikan oleh aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh

semua orang, melainkan oleh fungsi yang mereka jalankan sebagai organisator dalam semua

lapisan masyarakat di bidang sosial, politik dan budaya; di mana mereka mampu

menghubungkan gagasan abstrak dengan realitas sosialnya. Intelektual organik tidak sekedar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

20

menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tetapi juga

mampu memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil

yang tidak mampu diekspresikan oleh masyarakat. Mereka punya kamampuan merasakan

emosi, semangat dan apa yang dialamai oleh masyarakat. Ia menolak pandangan tradisional

dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof, dan kaum elit yang

menganggap dirinya sebagai intelektual sejati. Baginya, intelektual bukan dicirikan oleh

aktivitas berpikir intrinsik yang dimiliki oleh semua orang, melainkan oleh fungsi yang

mereka jalankan sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, politik dan budaya

(Simon, 2004: 141). Singkatnya, Gramsci ingin menegaskan bahwa “semua orang adalah

intelektual, namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual” (SPN 9).

“The organic intellectual must be able to elaborate their specialist knowledge into

political knowledge, …must actively participate in practical life ‘as constructor,

organizer, “permanent persuader” and not just a simple orator’…. It is the job of the

organic intellectal to know more than the traditional intellectual do: really know, not

just pretend to know… to know deeply and profoundly … - a figure who clearly owes

much to his formative experience with the council movement” (Jones, 2006: 85).

Berdasarkan gagasan-gagasan tersebut, Gramsci mau menunjukkan bahwa

perubahan sosial bukan semata-mata menyangkut kekuatan ekonomi dan fisik, tetapi juga

melibatkan perebutan wilayah kebudayaan dan ideologi sebagai suatu upaya masyarakat sipil

untuk membebaskan diri dari hegemoni budaya kaum borjuis. Dalam hal ini, tugas kaum

intelektual organik adalah membangun nilai budaya sendiri bersama-sama dengan kaum

tertindas dan lapisan intelektual yang berpihak. Sebuah revolusi sosial juga tidak dapat

dilakukan dalam jangka waktu yang singkat atau sekali jadi melalui perebutan kekuasaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

21

politik, tetapi memerlukan waktu yang panjang dalam suatu bentuk perang posisi untuk

merubah pandangan dan nilai-nilai masyarakat sipil.

2. Gerakan Sosial Baru dalam Perspektif Gramscian

Ditinjau dari sejarah perkembangannya, gerakan sosial baru (new social movement)

muncul sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, terutama di Eropa dan Amerika ketika muncul

gelombang gerakan berskala luas di seputar isu-isu yang berkatakter humanis, kultural dan

non-materialistik. Tujuan yang diperjuangkan secara esensial bersifat universal, yakni

diarahkan untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kondisi kehidupan manusia

ke arah yang lebih baik (Sukmana, 2016: 124). Selain itu, nilai-nilainya juga berpusat pada

otonomi dan identitas yang lahir dari hubungan sosial yang antagonistik. Untuk melandasi

dan menginspirasi gerakan, kedudukan ideologi kelompok gerakan juga sangat berperan

dalam hal menentukan taktik, struktur dan partisipan gerakan (Sukmana, 2016: 120-121).

Berbeda dengan gerakan sosial lama (old social movement), gerakan sosial baru tidak

lagi terjebak pada diskursus ideologi seperti anti-kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan

kelas semata. Gerakan sosial baru juga tidak tertarik pada gagasan revolusi untuk

menggulingkan sistem pemerintahan tertentu, tetapi memperjuangkan nilai-nilai

kemanusiaan bagi kaum marginal maupun kelestarian lingkungan hidup. Dari segi

pengorganisasian, gerakan sosial baru lebih condong kepada mobilisasi opini publik sebagai

nilai tawar politik di luar model pengorganisasian industri dan kepartaian. Dengan demikian,

basis partisipatornya tidak punya batasan atau sekat sosial tertentu, seperti agama, etnis,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

22

gender atau buruh, tetapi melintasi dikotomi sosial demi tujuan kemanusiaan yang universal

(Suharko, 2006).

Meskipun demikian, kedua-duanya masih memiliki sedikit kesamaan dalam hal

tujuan, yakni memperjuangkan isu-isu seperti peningkatan upah buruh industri, menentang

ketidak-adilan ekonomi dan eksploitasi kelas. Singkatnya, gerakan sosial baru berwajah lebih

plural dan tidak kaku karena mencakup banyak isu, termasuk kebebasan personal dan

perdamaian dunia. Gerakan sosial baru adalah pantulan cermin dari citra sebuah masyarakat

kontemporer yang ditandai oleh adanya kebutuhan akan sebuah paradigma baru dalam

melihat aksi-aksi kolektif (collective actions). Gerakan sosial baru menjadi sebuah alternatif

gerakan budaya yang didasari oleh kesadaran diri yang baru dari suatu komunitas masyarakat

tentang kondisi sosial tertentu yang sangat berpengaruh pada kelangsungan hidupnya menuju

masa depan (Singh, 2002: 16-17).

Menurut Daniel Hutagalung (2006), Laclau-Mouffe justru melihat gerakan sosial

baru dalam konteks hubungan yang antagonistik dalam masyarakat. Sebagai bentuk

perjuangan demokratik baru (new democratic struggle), gerakan sosial baru harus dipahami

sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam

masyarakat kapitalisme tahap lanjut (advanced capitalism). Karena itu, ada empat hal yang

harus diketahui berkaitan dengan gerakan sosial baru versi Laclau-Mouffe.

Pertama, setiap agen sosial dalam kelompok gerakan adalah locus bagi multiplisitas

dari relasi-relasi sosial. Jadi, tidak hanya sekedar relasi produksi semata, tetapi juga relasi-

relasi sosial lain, seperti sex, ras, gender, dan lingkungan. Posisi subjek setiap agen sosial

sangat ditentukan oleh hubungan sosial yang mengkonstruksinya. Kedua, dengan menolak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

23

logika ekonomi sebagai penentu sebuah formasi gerakan, Laclau-Mouffe mengajukan

konsepsi bahwa masyarakat adalah sebuah perangkat yang kompleks karena terdiri dari

berbagai macam hubungan sosial yang bersifat heterogen dan memiliki dinamikanya sendiri.

Karena itu, sebuah formasi sosial merupakan produk dari praktik-praktik artikulasi politik

yang juga memiliki kompleksitasnya sendiri. Ketiga, suatu formasi hegemonik selalu

berpusat di antara hubungan-hubungan sosial tertentu dan menjadi materialisasi dari suatu

praktik artikulasi. Keempat, semua hubungan sosial menjadi locus antagonisme sejauh

hubungan tersebut dikonstruksi sebagai hubungan subordinasi yang menjadi asal-mula

sebuah konflik dan perjuangan. Di dalamnya ada multiplisitas antagonisme, di mana

antagonisme kelas hanyalah satu dari sekian banyak model antagonisme. Jadi, semua format

subordinasi dan gerakan perlawanan tidak dapat direduksi ke dalam satu logika tunggal saja,

seperti ketimpangan ekonomi atau perjuangan kelas, tetapi mencakup banyak aspek dan isu

yang diperjuangkan. Karena itu, aktor-aktor penggerak dalam gerakan sosial baru bukan

sebagai satu-satunya pengganti kelas buruh yang menjadi agen dalam perspektif gerakan

sosial lama, melainkan buruh adalah salah satu agen dari sekian banyak agen penggerak.

Berkaitan dengan kritik dekonstruktif terhadap Marxisme klasik yang masih melihat

hubungan antagonistik dalam masyarakat sebagai kontradiksi yang bermuara pada

pertentangan kelas yang disebabkan oleh satu logika tunggal, yaitu ekonomi; Laclau-Mouffe

menawarkan paradigma yang berbeda untuk memahami gerakan sosial secara baru. Melalui

buku Hegemony and Socialist Strategy: Toward A Radical Democratic Politics (1985),

mereka mengusung gagasan demokrasi plural-radikal sebagai sebuah alternatif untuk

mendiskusikan gerakan sosial di tengahperkembangan masyarakat kapitalis yang semakin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

24

kompleks. Tujuan utama saya menggunakan gagasan tersebut adalah untuk mengelaborasi

gagasan Gramsci tentang hegemoni, blok historis dan intelektual organik dalam melihat

gerakan budaya PV sebagai bagian dari perjuangan demokrasi kerakyatan (popular

democracy): sebuah model gerakan sosial baru.

Dalam sejarah Marxisme, antagonisme dipakai untuk menggambarkan konfrontasi

tak terdamaikan antar kelas sebagai akibat dari proses produksi yang tidak adil. Dalam

demokrasi plural-radikal, Laclau-Mouffe menempatkan antagonisme dalam konteks

pembentukan identitas kolektif yang hegemonik di dalam sebuah blok historis. Antagonisme

bukan merupakan suatu hubungan objektif, melainkan suatu hubungan, di mana batas-batas

objektivitas menjadi kelihatan; suatu wilayah yang menentukan batasan sebuah identitas

kolekttif dan menjadi pembeda dengan sesuatu di luar dirinya (Laclau-Mouffe, 1985: xiii-

xiv). Singkatnya, antagonisme memainkan peranan penting dalam pembentukan identitas

kolektif dan hegemoni tandingan, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi

penciptaan musuh bersama yang menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk batas

politik sebuah identitas kolektif (Hutagalung, 2006: 12).

Selanjutnya, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa terbentuknya sebuah formasi sosial

yang hegemonik di dalam blok historis tidak terlepasdari seluruh proses pembentukan

identitas kolektif. Identitas tersebut tidak lahir begitu saja secara spontan atau sebagai

konsekuensi dari tekanan ideologi kelas penguasa, tetapi ia lahir sebagai hasil dari kerja

politik kepemimpian intelektual dan moral yang dilakukan oleh aktor-aktor di balik sebuah

gerakan (baca: intelektual organik). Jadi, secara umum hegemoni tandingan dalam

pemahaman Gramsci adalah adalah mengorganisir konsensus; suatu proses yang dilakukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

25

dengan cara mengkonstruksi kesadaran massa tanpa harus melalui jalan kekerasan atau

koersi. Di dalamnya juga ada upaya menyatukan kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik

untuk membentuk sebuah identitas kolektif, di mana partikularitas kehendak dan tuntutan

dikonstruksi menjadi kehendak dan tuntutan yang bersifat universal (Hutagalung dalam

Laclau-Mouffe, 2008: xxv).

Pembentukan identitas kolektif dalam formasi yang hegemonik didasarkan pada

sebuah totalitas yang merepresentasikan seluruh unsur-unsur pembentuknya, baik secara

kolektif maupun tunggal. Terbentuknya identitas semacam ini bukan bersifat konkret atau

positivitas dari setiap unsurnya, melainkan negativitas untuk menunjukkan batas totalitas

dengan apa yang berada di luarnya. Batas totalitas ditentukan oleh logika persamaan dan

perbedaan di dalam sebuah rangkaian ekuivalen (chain of equivalence) untuk membedakan

dirinya dari totalitas yang berada di luar (Lacalu-Mouffe: 1985: 130). Dari proses tersebut,

terbentuklah batas politis (political frontier) yang berfungsi untuk menentukan unsur-unsur

mana saja yang bisa masuk rangkaian ekuivalensi, dan unsur-unsur mana yang harus

dieksklusikan.

Selain itu, untuk menjadi sebuah formasi hegemonik, blok historis membutuhkan

ideologi sebagai pengikat aktor-aktor penggerak dan membentuk mereka menjadi subjek

politik dalam proses artikulasi. Di antara partikularitas kehendak dan tuntutan yang diusung

masing-masing aktor penggerak dalam sebuah formasi hegemonik, perlu ditemukan titik

temu (nodal point) di dalam rangkaian ekuivalensi (chain of equivalence). Dalam

menentukan titik temu tersebut tidak didasarkan pada identitas konkret seperti buruh, gerakan

lingkungan, atau gerakan perempuan, melainkan berdasarkan penanda kosong (empty

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

26

signifier) yang dianggap cocok dan mampu mencakup massa yang lebih luas; sekaligus untuk

menyatukan partikularitas keanggotaan secara internal, dan membedakan diri dengan suau

kekuatan lain di luar. Penanda kosong adalah sebuah titik temu di dalam rangkaian ekuivalen.

Ia bukan merepresentasikan suatu kelompok tertentu, juga bukan merepresentasikan

rangkaian ekuivalensi, melainkan pertama-tama merepresentasikan kepenuhan suatu

masyarakat yang masih absen (Sunardi, 2012: 20-23).

Sebagai kesimpulan, Laclau-Mouffe menegaskan bahwa identitas kolektif yang di

dalamnya tercakup elemen-elemen ideologis dan agen-agen sosial tersebut bersifat

contingent dan negotiable. Artinya, terbentuknya sebuah identitas sangat bergantung pada

suatu kondisi sosial tertentu yang memungkinkan sebuah hubungan antagonistik tercipta, dan

praktik-praktik artikulasi dan keagenan politik selalu dimungkinkan (Hutagalung, 2008: xxi).

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa demokrasi dalam konteks perjuangan demokrasi

kerakyatan harus bersifat plural sekaligus radikal.

“Plural dalam arti bahwa dalam suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian

ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya ada otonomi pada setiap

unsur. Demokrasi juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan suatu

masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan suatu pusat, dengan

demikian bisa terus-menerus dibentuk ulang secara terbatas....kesatuan sosial yang

tidak pernah berhasil menjadi identitas kelompok oleh karena itu harus dibentuk

ulang terus” (Sunardi, 2012: 29).

Secara umum, semua gagasan yang dijabarkan pada bagian ini merupakan perangkat

analisis untuk membaca logika politik gerakan budaya PV. Di dalamnya tercakup lima hal,

yakni: pertama, konsep hegemoni budaya Gramsci dipakai untuk mengulas bagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

27

media-media massa arus utama mengkonstruksi konsensus dan opini publik tentang Papua

di bab kedua. Kedua, melihat PV sebagai sebuah blok sejarah yang di dalamnya ada upaya

pembentukan identitas kolektif dan berbagai peran para aktivisnya sebagai intelektual

organik atau agen sosial baru di bab ketiga. Ketiga, menempatkan kontestasi makna dan

perjuangan demokrasi kerakyatan yang diusung PV ke dalam kerangka pemikiran Laclau-

Mouffe tentang demokrasi plural-radikal di bab keempat.

G. Metode Penelitian

Tesis ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif di bidang Kajian Budaya dengan

menggunakan pendekatan lived resistance. Menurut Saukko (2003), pendekatan ini

bertujuan untuk meneliti secara cermat praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok-

kelompok terpinggirkan, baik dari aspek kreatif dalam cara mereka melawan berbagai

struktur penindasan yang bersifat nyata maupun aspek kegagalan dan keberhasilan dengan

merujuk pada dampaknya terhadap realitas. Dalam konteks penelitian ini, saya memilih PV

sebagai objek material untuk melihat kerja-kerja kreatif para aktivisnya yang menggunakan

film dokumenter sebagai media pendukung gerakan perlawanan terhadap hegemoni media-

media massa arus utama maupun bentuk-bentuk kerja politik kepemimpinan yang

mendukung gerakan merawat Papua.

Penelitian berlangsung di kota Jayapura dan kota Sorong pada Juli-Agustus 2019.

Adapun alasan pemilihan kedua wilayah tersebut sebagai locus penelitian karena: (1) kota

Jayapura merupakan pusat Sekretariat Nasional PV. Pilihan ini tentu saja memberi

kemudahan dalam menggali data dari para pengurus nasional dan membantu konektivitas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

28

dengan para pengurus wilayah yang ada di Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Timika,

Wamena, Sorong, Biak, Tambrauw, dan Raja Ampat. (2) kota Sorong merupakan tempat

penyelenggaraan Festival Film Papua (FFP) III yang berlangsung pada 5-9 Agustus 2019, di

mana para sineas PV dari berbagai wilayah turut hadir sehingga memudahkan akses

informasi yang berkaitan dengan aktivitas mereka di wilayahnya masing-masing.

Data-data penelitian yang dipakai dalam tesis ini dibagi ke dalam dua kategori, yaitu

data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara berbentuk Semi

Structural Interview (SSI) terhadap dua orang inisiator awal berdirinya PV (Rico Aditjondro

dan Wensislaus Fatubun), tiga badan pengurus nasional PV, serta delapan anggota PV

lainnya. SSI ini dimaksud untuk menggali latar belakang lahirnya PV, bentuk-bentuk

kegiatannya serta prospek atau target yang ingin dicapai, serta pengalaman-pengalaman

sehari-hari mereka sebagai orang Papua dan aktivitas politiknya bersama PV dan masyarakat

adat Papua. Sebagai data pendukung (data sekunder), saya melakukan studi pustaka terhadap

sejumlah dokumen PV berupa profil dan statuta organisasi serta laporan kegitan tahunan dari

tahun 2017-2019 untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik yang dihidupi selama ini. Selain

itu, data sekunder dalam tesis ini juga mencakup lima film dokumenter PV yang dianggap

punya sisi kontras jika disandingkan dengan beberapa media massa arus utama berupa media

online, televisi dan film-film layar lebar yang dipilih sesuai kebutuhan penelitian untuk

melihat bentuk-bentuk framing dan hegemonisasi opini publik tentang Papua di dalamnya.

Tujuannya adalah melihat bagaimana Papua dinarasikan dalam dua perspektif yang berbeda

sebagai suatu bentuk kontestasi makna.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

29

Selanjutnya, untuk mengecek keabsahan data, penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi; yakni teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melihat fenomena dari berbagai

sudut pandang. Sesuai dengan tradisi Kajian Budaya, tesis ini dimulai dengan upaya

mengkaji keterkaitan antara pengalaman yang dihidupi oleh para aktivis PV, wacana (teks)

yang berbicara tentang Papua, dan konteks historis maupun sosial dan politik yang

mengitarinya; termasuk teori-teori yang dipakai sebagai perangkat analisis, untuk dapat

mencerminkan realitas Papua secara berimbang. Teknik ini relevan karena kajian ini

menggunakan validitas dekonstruktif dari perspektif post-strukturalisme. Maksudnya,

mempertimbangkan bahwa tesis ini berupaya membongkar berbagai wacana sosial yang

terlanjur dianggap sebagai “kebenaran”, dibutuhkan data alternatif seperti artikulasi-

artikulasi yang cenderung menempati posisi minor dalam peta pengetahuan dominan.

Pembongkaran tersebut berguna dalam rangka menelanjangi historitas, muatan politis,

binaritas, dan pendepakan terhadap “the others” yang terepresentasi melalui data penelitian.

H. Skema Penulisan

Penulisan tesis ini secara keseluruhan dibagi ke dalam lima bab. Bab I berisi latar

belakang yang mencakup fenomena-fenomenadan beberapa hasil penelitian terdahulu yang

mendorong penelitian ini dibuat, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka dan kerangka teoretis, serta metode penelitian yang dipakai. Bab II mengulas tentang

narasi-narasi timpang tentang Papua yang dikemas oleh media-media arus utama untuk

melihat bentuk-bentuk framing dan hegemoni opini publik secara tidak berimbang di

dalamnya. Bab ini juga dimaksud untuk menunjukkan faktor-faktor ideologis yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

30

mendorong lahirnya PV. Bab III merupakan penjabaran lebih lanjut tentang PV sebagai

sebuah blok historis untuk melihat bentuk-bentuk antagonisme dan hegemoni tandingan yang

lahir dan tumbuh di dalam gerakan budaya yang diusungnya. Selanjutnya, Bab IV berisi

elaborasi yang berhubungan dengan gerakan menggugat ketimpangan, merawat Papua

melalui kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan sebagai sebuah model

gerakan sosial baru. Bab ini dimaksud untuk melihat bentuk-bentuk kerja politik

kepemimpinan yang dilakukan oleh para aktivis PV serta sejauh mana gerakan tersebut

berdampak pada kehidupan manusia dan alam Papua. Sementara kesimpulan dan

rekomendasi untuk penelitian selanjutnya ditempatkan pada bab V yang merupakan bab

penutup.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

31

BAB II

PAPUA DAN KONSTRUKSI REALITAS DALAM MEDIA MASSA

A. Pengantar

Pada dasarnya, media massa adalah alat komunikasi massa yang berfungsi

menyalurkan dan menyebarkan pesan secara luas, cepat dan terus-menerus untuk

mempengaruhi audiens dalam beberapa model framing. Selain menjadi corong informasi dan

pengetahuan, media massa juga menjadi perangkat ideologis yang mampu mengkonstruksi

realitas di satu sisi, dan memobilisasi konsensus massa di sisi lain. Jadi, dalam hal ini, media

massa tidak hanya menginformasikan sesuatu, tetapi juga memaknakan sesuatu lewat narasi

tertentu yang dikemas dalam bentuk berita maupun opini. Melalui media massa, berbagai

persepsi, asumsi dan pemahaman subjektif akan tumbuh seturut apa yang didengar dan

dilihat.

Secara umum, bab ini dimaksud untuk melihat faktor-faktor ideologis yang menjadi

latar belakang lahirnya PV dan aktivismenya di Papua. Sebagai pintu masuk menuju seluruh

proses penalaran logika politik gerakan, bab ini diawali dengan ulasan singkat tentang

kondisi sosial-historis Papua serta bagaimana pandangan para aktivis media tentang Papua,

lalu dilengkapi dengan framing dan hegemoni media massa arus utama. Dengan

menggunakan konsep hegemoni budaya yang digagas Gramsci, bagian ini berupaya

mengulas muatan-muatan ideologis yang berhubungan dengan bagaimana realitas Papua

dikonstruksi seturut ideologi penguasa; termasuk kemasan narasi arus utama yang turut

menghegemoni opini publik tentang Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

32

B. Sekilas tentang Papua

1. Manusia dan Alam Papua dalam Fakta

Pengalaman ketertindasan, subordinasi dan marginalisasi maupun eksploitasi

terhadap manusia dan alam Papua sesungguhnya sudah ada sejak lama. Agus Alua dalam

“Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis” (2006) mencatat bahwa

situasi ketidakadilan di wilayah paling timur Indonesia itu telah ada sejak zaman kolonial

Belanda (1875-1944). Para kolonial mengklaim dirinya sebagai kelompok ‘kelas pertama’

yang memiliki kuasa dan pengetahuan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga bangsa Papua

dipandang sebagai ‘kelas ketiga’ dalam strata sosial dan politik. ‘Keunggulan’ kategorisasi

model kolonial inilah menjadi dasar bagi mereka untuk mengendalikan bangsa Papua dalam

hal apapun. Akibatnya, bangsa Papua menjadi orang-orang terjajah yang teralienasi di atas

tanahnya sendiri.

Di tengah situasi ketidak-adilan dan kesengsaraan tersebut, Harry Kawilarang dalam

“Mengindonesiakan Indonesia” (2011) secara khusus pada volume 8, menjabarkan sejarah

perjuangan Bangsa Papua untuk keluar dari belenggu kolonialisme. Kawilarang

menunjukkan bahwa prioritas perjuangan mereka bukan semata-mata untuk bergabung ke

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi untuk memperjuangkan

pemenuhan hak-hak hidup masyarakat pribumi. Mereka menuntut agar Belanda segera

mengakui kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan.

Tak hanya sampai di situ. Pengalaman ketertindasan dan diskriminasi terhadap orang

Papua yang berujung pada pelanggaran terhadap HAM masih terus berlanjut sampai dengan

saat ini. Pada tahun 1960, ada harapan besar untuk memperoleh kedaulatan kemerdekaan

ketika pemerintah kolonial Belanda menyatakan janjinya untuk memberikan hak merdeka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

33

bagi rakyat Papua. 1 Desember 1961 menjadi tonggak sejarah bangsa Papua. Atas izin

kolonial Belanda, Komite Nasional Papua (KNP) mendeklarasikan ‘kemerdekaan’ Papua

Barat di Hollandia (baca: Jayapura). Bendera Bintang Kejora dikibarkan berdampingan

dengan bendera Belanda sambil menyanyikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”

bersamaan dengan lagu kebangsaan Belanda.3 Akan tetapi, upaya tersebut dipatahkan oleh

pemerintah Indonesia yang juga berupaya mengintegrasikan wilayah Irian Barat (baca:

Papua) ke dalam NKRI atas nama pembebasan rakyat Papua dari kolonialisme Belanda.

Sebagai solusinya, Indonesia menyeret Belanda ke dalam penandatanganan

Perjanjian New York 1962 karena Presiden Soekarno menganggap keberadaaan negara

“Papua Barat” semata-mata hanyalah negara boneka buatan Belanda. Hasilnya, pada 1 Mei

1963, di bawah Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Irian Barat

untuk sementara diserahkan kepada pemerintah Indonesia sambil menunggu

dilaksanakannya referendum melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969,

dimana rakyat Irian Barat akan memilih untuk bergabung dengan Indonesia atau berdiri

sendiri sebagai negara yang berdaulat. Akan tetapi, harapan rakyat Papua untuk menjadi

negara berdaulat hanya menjadi mimpi indah yang tak kunjung menyata. Meskipun hasil

PEPERA telah menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari negara Indonesia,

gelombang protes dari rakyat Papua terus dikumandangkan.

3 Pada 1 Desember 1961, teks proklamasi kemerdekaan ‘negara’ Papua Barat tidak dibacakan karena sesuai

janji kolonial Belanda, teks tersebut akan dibacakan pada saat kemerdekaan definitif di akhir tahun 1970 atau

awal 1971 ketika pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan sepenuhnya. Pada saat itu, sebuah konstitusi

yang terdiri dari 129 pasal juga disusun dan diumumkan secara resmi bersamaan dengan dibentuknya 12 partai

politik (Alua, 2006). Sampai dengan saat ini, semua persiapan itu hanya menjadi mimpi yang tak kunjung

menyata. Bagi rakyat Papua, ‘perginya’ kolonial Belanda masih menyisakan janji usang yang akan terus ditagih

sampai mereka benar-benar memperoleh kedaulatan sepenuhnya sebagai bangsa yang merdeka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

34

Bagi rakyat Papua, proses PEPERA yang disepakati atau seharusnya one man one

vote mengandung ketidakadilan dan cacat hukum karena suara-suara penentu tersebut hanya

diambil dari masing-masing perwakilan wilayah yang dalam catatan kritis dinilai adanya

keterlibatan rezim militer Orde Baru yang dengan berbagai cara telah mengintervensi para

perwakilan tersebut agar memilih bergabung ke Indonesia. Pengambilalihan administratif

Indonesia atas Papua menjadi titik pijak perlawanan bersenjata antara rakyat Papua (OPM)

dengan pemerintah Indonesia (aparat keamanan) sampai dengan saat ini. Dalam hal ini,

militerisasi menjadi kunci pemberangusan bangsa Papua yang berujung pada eskalasi konflik

di Papua.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya gelombang protes dan mosi tidak percaya

setelah 1969 adalah percepatan imigrasi, investasi berbagai perusahaan asing yang terus

mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Papua, dan Undang-Undang Otonomi Khusus,

yang hanya menjadikan manusia dan tanah Papua sebagai objek jarahan. Rakyat Papua

kehilangan hak-hak atas hidupnya karena dianggap kalah bersaing di hadapan para migran

sehingga mereka tersingkir lalu menjadi asing di atas tanahnya sendiri. Mereka tidak lagi

ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk menetukan nasibnya

sendiri, tetapi hanya menjadi objek pembangunan yang multak perlu untuk diberdayakan

dengan dalih pemerataan pembangunan maupun NKRI harga mati.

Sekretariat Keadilan, Pardamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC

FP) melalui buku serial Memoria Passionis (MP) selalu konsisten mengekspos beragam

peristiwa dan fakta hak-hak asasi manusia di Papua. Sejak 1998 dengan berpedoman pada

hasil investigasi dan laporan tim maupun mitra kerja serta beberapa informasi dari media

massa yang terverifikasi, MP hadir dengan memberi sejumlah catatan analisa dan refleksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

35

serta tawaran solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Selain MP, media-media

lain seperti suarapapua.com, tabloidjubi.com, dan media-media massa lokal lainnya

termasuk PV, juga turut berkontribusi dan saling melengkapi dalam hal menyuarakan

kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang berpihak pada masa depan alam dan

manusia Papua.

Melalui media-media tersebut, publik disuguhkan berbagai persoalan yang terjadi di

Papua, seperti: politik, pendidikan, kesehatan, lingkungan, diskriminasi, militerisme dan

berbagai ketimpangan sosial lainnya. Apapun bentuknya, persoalan Papua selalu berujung

pada pengabaian atas hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Perjuangan untuk mendapatkan

kebenaran, keadilan, perdamaian dan bahkan kebebasan berekspresi di Papua selalu

menyisakan tragedi yang berkepanjangan. Ruang demokrasi dibungkam, praktik-praktik

represif terus dilanggengkan, dan manusia Papua beserta alamnya selalu menjadi ladang

perebutan kekuasaan maupun pencarian prestise. Dengan kata lain, media-media lokal di

Papua adalah representasi counter-narasi yang berupaya menyuguhkan sisi gelap Papua

secara benar dan berimbang di tengah dominasi narasi-narasi lain tentang Papua yang

kadangkala menafikan fakta yang sesungguhnya.

2. Papua di Mata Aktivis Media

Merujuk pada pengalaman ketidak-adilan yang dielaborasi dengan pengetahuan yang

diperoleh dari berbagai kajian tentang Papua dalam fakta, para aktivis media melihat Papua

secara berbeda dari perspektif ‘orang Papua bicara’. Bagi mereka, wajah Papua hari ini

adalah hasil konstruksi dan konspirasi para elit politik di tingkat global maupun pusat dan

daerah. Papua telah digenggam dan dikendalikan oleh mereka yang disebut sebagai pemilik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

36

kuasa dan modal. Sedangkan rakyat beserta segala aspirasinya yang dipandang ‘terbelakang’

dan separatis hanya menjadi objek pelengkap yang turut melegitimasi eksistensi dan praktik

menguasai dengan dalih: Papua butuh pemberadaban dan penertiban.

Dalam pandangan Aprila Wayar, seorang jurnalis dan novelis Papua, sebelum zaman

kolonial, orang Papua hidup secara komunal. Hal ini ditandai oleh aspek kekerabatan yang

masih sangat kuat di dalam kelompok-kelompok suku yang ada di Papua. Untuk

mempertahankan hidupnya, mereka selalu mengandalkan alam sebagai sumber sandang,

pangan dan papan. Pola hidup seperti itu masih melekat erat sampai dengan saat ini, dan

menjadi suatu peradaban tersendiri yang unik. Papua adalah Papua. Ia tidak bisa dibanding-

bandingkan atau harus disamaratakan dalam hal apapun dengan kelompok masyarakat di

daerah lain. Lebih jauh, Wayar menegaskan bahwa pergeseran dan peralihan peradaban yang

terjadi di Papua adalah akibat lanjutan dari kehadiran orang luar sejak zaman kolonial,

termasuk gelombang migrasi yang terus membanjiri Papua sampai dengan saat ini. Di bawah

panji pemberadaban dan pemerataan pembangunan bagi daerah-daerah tertinggal, orang

Papua digiring untuk mengenal dan mengakui model-model peradaban baru yang dinilai

lebih beradab dan moderen. Akibatnya, orang Papua mengalami loncatan budaya tanpa

melalui tahap-tahap persiapan menyambut perubahan.

Persis dalam kondisi inilah mereka rentan ditipu dan dibungkam. Atau dalam bahasa

Louis Althusser, mereka diinterpelasi4 menjadi subjek ideal seturut ideologi penguasa yang

4 Louis Althusser dalam Lenin and Philosophy and Other Essay (1971: 127-187), menjelaskan bahwa dalam

kerangka kerja formasi sosial, tatanan dan relasi sosial di dalam masyarakat perlu dibentuk dengan cara

menanamkan ideologi pada setiap individu. Dalam hal ini, aparatus negara yang ideologis (ISA) dan maupun

yang represif (RSA) menjadi alat negara untuk membius masyarakat. Melalui agama, pendidikan, hukum,

politik, komunikasi (media), dan budaya (seni); termasuk pendekatan keamanan (militrisme), masyarakat

digiring untuk menerima dan membenarkan semua praktik yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

37

terus dicekoki melalui perangkat ISA ((Ideological State Apparatuses) dan RSA (Repressive

State Apparatuses). Papua dilihat seperti kaum yang tak mampu memberadabkan dirinya

sendiri sehingga negara bersama seluruh perangkatnya perlu hadir untuk meningkatkan taraf

hidupnya. Dengan demikian, tak pelak lagi, praktik menguasai Papua menjadi semakin

hegemonik dalam rangka pembentukan model masyarakat seturut cita-cita elit politik

(pemilik modal dan kekuasaan).

Di sisi yang lain, menurut Bernard Koten, Papua hari ini dilihat sebagai pusat

gravitasi baru; tempat para elit menanam serta menuai modal dan kekuasaan. Papua punya

daya tarik tersendiri dan menjadi ‘lubang hitam’; tempat kolonialisme model baru tumbuh

dan merebak luas. Terlepas dari dikotomi pemahaman publik tentang kolonialisme maupun

neokolonialisme, para aktivis media yang tergabung dalam PV melihat Papua sebagai

wilayah yang masih ditempatkan sebagai koloni bagi para penjajah berwajah baru yang

memboyong semangat korporatisme. Dengan kekuatan hukum dan berbagai model peraturan

perundang-undangan, manusia dan alam Papua dibuat tunduk dan turut mengamini berbagai

model hegemoni kaum elit. Bagi mereka yang patuh dan tunduk pada model penjajahan ini

akan selamat walaupun hidup sebagai orang-orang terjajah. Sedangkan bagi mereka yang

menolaknya atau menghambat dan melawan balik akan mendekap di balik jeruji besi; bahkan

harus kehilangan nyawa tanpa melalui proses hukum yang adil dan beradab.

Bagi mereka, di masa penjajahan baru ini, Papua menjadi wilayah perluasan koloni

dan para penghuninya terus ditindas dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada

berujung. Meskipun gaya menjajahnya tampak samar-samar karena berlangsung secara

terhadapnya. Proses inilah yang disebut sebagai upaya negara menginterpelasi rakyatnya agar menjadi subjek

konkret (citra ideal) seturut cita-cita negara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

38

lembut dan persuasif; unsur pemaksaan sistem, pandangan, dan tawaran produk yang tampak

baik-baik saja telah berhasil menggiring orang Papua menuju ambang kehancuran. Kekayaan

alam dijarah, manusianya diperalat dan dibungkan lalu menjadi orang asing di atas negerinya

sendiri. Sebagai misal, tawaran Otonomi Khusus (OTSUS), Unit Percepatan Pembangunan

Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), pemekaran wilayah, dan berbagai program

pembangunan lainnya di Papua adalah praktik-praktik hegemoni penjajah baru bernama

Indonesia. Tak pelak lagi, model-model interpelasi tersebut bertujuan untuk menguasai

sekaligus meredam protes dan isu separatisme yang senantiasa memekikkan “Freedom for

West Papua”.

Untuk mengelabui adanya pelanggaran terhadap hak-hak hidup masyarakat adat

Papua di tengah proyek pembangunan, para pemilik hak ulayat yang tanahnya dicaplok

menjadi wilayah perusahaan tambang maupun perkebunan kelapa sawit dan jalan trans Papua

diberi perhatian khusus. Misalnya, mereka diberi dana bantuan untuk membangun rumah

yang bertembok semen dan beratap seng; atau beasiswa pendidikan bagi anak-anak Papua.

Selain itu, pembangunan berbagai jenis infrastruktur pun direalisasikan, seperi jalan raya

beraspal, bandara udara berskala internasional, pelabuhan laut, gedung gereja dan sekolah

yang megah, tokoh dan supermarket, serta berbagai simbol modernitas lainnya. Pola-pola

seperti ini selalu dipakai untuk merebut simpati publik, sekaligus sebagai bukti bahwa

Indonesia punya komitmen yang berfaedah bagi masa depan Papua.

Sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, elit-elit lokal Papua diperalat menjadi

pengelolahnya. Iming-iming jabatan bersama gaji dan ‘uang pelicin’ yang menggiurkan

naluri kenikmatan menjadi kunci hegemoni pada tataran lain di tingkat dasar. Meminjam

istilah ‘deep colonialism’ milik Lorenzo Veranici (Lihat Young: 2016), apa yang telah dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

39

sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berafiliasi dengan para elit lokal Papua

turut menegakkan penindasan dan marginalisasi terhadap orang Papua. Dengan bahasa lain,

praktik politik terselubung yang dibangun atas dasar korporatisme selama ini turut

memberangus masa depan alam dan manusia Papua serta terus menambah eskalasi konflik

dan palanggaran HAM di Papua.

Celakanya, berbagai bukti kejanggalan maupun kejahatan yang terjadi di Papua

selama ini justru diekspos media massa arus utama (termasuk media-media siluman yang

mendompleng nama-nama media massa lokal) sebagai bentuk perhatian dan keberhasilan

pemerintah Indonesia membangun Papua maupun menjaga keutuhan NKRI. Rekaman fakta

lapangan, di mana terjadi eksploitasi alam atau penindasan dan pembunuhan terhadap

manusia Papua luput dari perhatian media-media tersebut. Alasan jarak dan medan peliputan

yang sulit di Papua, juga larangan bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua menjadi peluang

lain bagi para elit dan elemen-elemen pendukungnya untuk bermain isu di dalam berita

maupun opini yang berbicara tentang Papua. Setiap kali ada kelompok masyarakat yang

melawan penindasan dan menuntuk hak-hak hidupnya, mereka justru dijadikan pelaku

antagonis yang dianggap menghambat pembangunan serta mengganggu keutuhan NKRI.

Karena itu, sebagai hasil konstruksi media, narasi apapun tentang Papua yang disuguhkan ke

publik perlu dipertanyakan kebenaran faktualnya.

Secara singkat, framing media massa selama ini bersifat timpang karena

mengabaikan kondisi sosial-historis orang Papua, di mana ada duka dan kecemasan, air mata,

pergolakan, resistensi dan harapan akan masa depan yang lebih berkeadilan. Dengan

melenyapkan kompleksitas persoalan yang ada di Papua, media massa justru menciptakan

informasi dan pengetahuan publik tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

40

manusiawi. Seperti kata Suryawan (2011), Indonesia menempatkan orang Papua sebagai

bangsa yang tidak mempunyai kebudayaan; atau kalau pun punya, derajatnya lebih rendah

daripada kebudayaan Indonesia. Resistensi orang Papua yang memperjuangkan hak-hak

hidupnya adalah perjuangan tanpa rekognisi. Malahan aktivitas semacam itu dianggap

berpotensi menimbulkan konflik yang memecah-belah NKRI. Tidak banyak kebenaran yang

dinarasikan oleh media-media nasional, terutama media yang hidup di dalam genggaman

kaum elit. Narasi-narasinya hanya berkutat pada keutamaan dalam hal pencitraan yang

menggambarkan berbagai keberhasilan pemerintah membangun Papua. Ini adalah fakta

yang tak dapat dipungkiri bahwa media massa turut memberi andil dalam menyesatkan opini

publik tentang Papua.

Membenarkan pandangan tersebut, Aprila Wayar dalam sebuah forum diskusi buku

“Papua Bukan Tanah Kosong” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-

Hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada 28 Februari

2020, mengungkapkan dua temuan fakta tentang Papua. Pertama, dari sudut pandang

jurnalis, Wayar menegaskan bahwa media-media massa tertentu yang ada di Jakarta secara

sengaja menciptakan framing pemberitaan yang menyesatkan mind-set dan opini publik

tentang Papua. Menurut Wayar, hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa

disadari dan ditanggapi secara kritis. Kedua, dari sudut pandang sastra, ia berkisah tentang

proses dan pola penindasan yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetraloginya

adalah sama persis dengan apa yang dilakukan Indonesia terhadap bangsa Papua hari ini.

Menurutnya, Papua saat ini sulit melalukan gebrakan secara massif karena selalu berada di

bawah tekanan. Papua butuh para pegiat kemanusiaan yang secara konsisten mendampingi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

41

mereka dalam menyuarakan kebenaran, keadilan, perdamaian dan keselamatan yang

berpihak pada masa depan alam dan manusia Papua.

C. Framing dan Hegemoni Media Massa tentang Papua

1. Bagaimana Media Nasional Menarasikan Papua?

Ketika kita menyimak secara jeli dan kritis atas suatu konten berita maupun opini

yang disuguhkan media massa, sering dengan mudah ditemukan adanya unsur pelintiran isu

maupun gagasan di dalamnya. Ada semacam kesengajaan menciptakan opini publik yang

tidak sehat terhadap suatu peristiwa yang diekspos. Tidak ada kandungan kebenaran yang

utuh atas sebuah peristiwa dan cenderung bias kepentingan. Atau dengan kata lain, konten

yang disuguhkan adalah bagian dari upaya memelintir dan mengkonstruksi realitas seturut

cita-cita penguasa negeri. Hal ini dapat kita temui melalui cara membandingkan konten

tersebut dengan hasil survei, pengalaman hidup masyarakat yang mengalami peristiwa

tersebut maupun tanggapan dan komentar publik atas cara penyajian informasi yang tidak

relevan dengan fakta lapangan. Jika ditinjau dari model konstruksinya, media massa tertentu

sering menekankan sisi negatif dari sebuah peristiwa atau sekedar mengagung-agungkan

peristiwa lain yang faktanya tidak dapat diterima sebagai suatu bentuk keberpihakan pada

kebenaran.

Untuk memberikan contoh, pada bagian ini, saya akan menunjukkan sejumlah media

online yang mengekspos beberapa topik utama tentang Papua, seperti Otonomi Khusus

(OTSUS), investasi dan pembangunan, militerisme, serta isu separatisme. Tentu saja masih

banyak konten media online yang mengulas tentang Papua, tetapi saya hanya memilih empat

tema dari lima media yang relevan dengan kajian ini; khususnya yang terkait dengan upaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

42

framing pemberitaan yang cenderung bias fakta dan lebih menekankan citra baik Pemerintah

di mata rakyatnya daripada menguak fakta lapangan.

Pertama, framing pemberitaan tentang dana OTSUS sebagai afirmative acion untuk

mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi orang Papua. Pada 30 Juni 2018, misalnya,

Media TEMPO.CO melansir sebuah berita bertajuk “Dana Otsus Mampu Tingkatkan

Kesejahteraan Masyarakat Papua”.5 Secara garis besar; tanpa menyodorkan bagaimana

tanggapan orang Papua terhadap OTSUS, berita tersebut hanya berisi pernyataan-pernyataan

prestisius para pemangku jabatan. “Kucuran dana OTSUS yang digelontorkan sejak 2002

terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan mengurangi

kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi lainnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari

keberhasilan pemerintah daerah memanfaatkan anggaran dengan benar”, ungkap Yusharto,

Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus Kementerian Dalam Negeri.

Sebagai upaya membenarkan pernyataan tersebut, dicantumkan juga beberapa klaim

tentang implementasi dana OTSUS, yang dilontarkan oleh Kepala Bagian Sumber Daya

Manusia Biro Otonomi Khusus Provinsi Papua, Anthony Mirin. Dikisahkan bahwa selama

pelaksanaan OTSUS, penggunaan dana mendapatkan hasil yang sesuai harapan. Semua dana

digunakan untuk beasiswa pendidikan, pengadaan fasilitas pendidikan dan kesehatan,

akselerasi kegiatan pertanian, serta pembangunan rumah rakyat. Meskipun masih terdapat

kekurangan dalam aspek kebijakan maupun implementasinya, Tim Evaluasi Dana OTSUS

Papua Kementerina Dalam Negeri mencatat bahwa masyarakat Papua telah merasakan

manfaat dana OTSUS.

5 Lihat https://nasional.tempo.co/read/1102251/dana-otsus-mampu-tingkatkan-kesejahteraan-masyarakat-

papua Diakses pada16 Mei 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

43

Kedua, investasi dan pembangunan adalah bagian dari cipta lapangan kerja dan

pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Salah satu kebijakan yang diusung oleh pemerintahan

Joko Widodo adalah mengembangkan dan membangun infrasturktur serta investasi demi

meningkatkan ekonomi lokal dan taraf hidup masyarakat di seluruh Indonesia. Seperti sebuah

konten berita yang diterbitkan oleh REPUBLIKA.CO.ID pada 4 Mei 2017, Pemerintah

Provinsi Papua sebagai perpanjangan tangan para elit, berkomitmen untuk melakukan

pembenahan birokrasi demi menciptakan iklim yang kondusif bagi penanaman modal dalam

negeri maupun asing untuk berinvestasi di Papua.

Di bawah tajuk “Tingkatkan Investasi, Papua Terus Lakukan Pembenahan

Birokrasi”6, konten ini memuat sejumlah pernyataan pejabat lokal; dalam hal ini Gubernur

Papua, Lukas Enembe, yang berupaya memberi keyakinan kepada publik bahwa kegiatan

investasi diarahkan pada keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat.

Menurut Enembe, selain memihak pada kepentingan masyarakat, investasi juga menjadi

peluang transformasi teknologi dan kemampuan manajerial yang dapat membangun jiwa

kewirausahaan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat adat Papua dapat mengolah tanah,

hutan dan seluruh kekayaan alamnya secara mandiri demi kesejahteraan keluarga dan

eksistensinya sebagai tuan rumah di atas tanahnya sendiri.

Masih dalam kerangka kerja investasi dan pembangunan, Luhut Panjaitan, Menteri

Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menawarkan program investasi hijau di

Papua. CNNINDONESIA.COM pada 28 Februari 2020 melaporkan bahwa tawaran program

6 Lihat https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/05/04/opfk5l349-tingkatkan-investasi-papua-

terus-lakukan-pembenahan-birokrasi Diakses pada 26 Mei 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

44

investasi hijau yang ditawarkan Luhut kepada 24 perusahaan bertujuan untuk menjaga

kelestarian hutan Papua, dan mendorong perekonomian rakyat, di mana dampaknya langsung

dinikmati rakyat kecil sebagai pengelolahnya.

Untuk meyakinkan publik, konten berita ini juga menyertakan pernyataan pendukung

lainnya, seperti yang dilontarkan Direktur Program Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, Zakki

Hakim berikut ini: “Investasi hijau merupakan konsep investasi ramah lingkungan yang

sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Harapannya, selain menjadi alternatif

penghasilan rakyat usai moratorium lahan sawit, investasi ini juga memberikan dampak

ekonomi secara langsung kepada 60.000 keluarga di Papua dan Papua Barat. Para petani juga

akan mendapatkan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, penguatan lembaga, koperasi,

dan UMKM, serta pelatihan budidaya pertanian.”7

Ketiga, militerisme sebagai pendekatan keamanan di balik praktik pembangunan dan

isu separatisme. Sejak wilayah Papua dipaksakan untuk terintegrasi (baca: aneksasi) ke

dalam NKRI, sampai hari ini militerisme selalu menjadi opsi utama pemerintah Indonesia

menaklukkan Papua. Seperti suatu proyek heroisme, aparat keamanan (TNI/POLRI) yang

diterjunkan ke Papua selalu ditampilkan media massa nasional sebagai tangan kanan

pemerintah yang punya jasa besar dalam melaksanakan tugas kenegaraan. Mulai dari upaya

pendekatan dan negosiasi sampai pada pelaksanaan proyek pembangunan maupun

pembasmian separatisme, aparat keamanan adalah ‘hero’ yang siap mati demi negaranya.

7 Lihat https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200227205824-92-478931/luhut-tawarkan-investasi-

hijau-di-papua-kepada-24-perusahaan. Diakses pada 26 Mei 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

45

MEDIAINDONESIA.COM yang menerbitkan sebuah konten berita bertajuk

“Membasmi Separatisme”8 pada 6 Desember 2018 adalah salah satu contoh bagaimana

media massa nasional turut serta mereproduksi proyek heroisme aparat keamanan di Papua.

Secara garis besar, media ini secara terang-terangan memberi stigma buruk kepada kelompok

gerakan yang dikenal luas dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang separatis. Dengan mengusung kasus Nduga

pada 2 Desember 2018, berita ini hanya memberi penekanan pada kejatahan yang dilakukan

oleh kelompok Egianus Kogoya sebagai aksi teroris yang tidak beradab dan telah melakukan

pelanggaran HAM yang sanagat serius. Alasannya adalah mereka telah membunuh sejumlah

pekerja jalan Trans Papua beserta beberapa korban lainnya dari pihak TNI.

Untuk membenarkan tajuk tersebut, berita ini diawali dengan sejumlah pernyataan

yang bertujuan untuk meyakinkan publik bahwa pembasmian separatisme adalah bagian dari

perintah suci konstitusi dan atas nama kedaultan negara dan bangsa. Militerisme adalah

sebuah tindakan yang tepat sasaran demi menjaga stabilitas nasional dan kondusivitas dalam

negeri. Dan celakanya, berita ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang tidak masuk akal:

separatisme adalah bukti paling nyata bahwa kehausan akan keadilan dan kemakmuran yang

dialami orang Papua tidak bisa dibungkam dengan pendekatan militer. Ia hanya bisa

dibungkam dengan pendekatan kesejahteraan seperti pembangunan yang selama ini

digencarkan oleh pemerintah Indonesia untuk memakmurkan orang Papua.

8 Lihat https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1552-membasmi-separatisme. Diakses pada 27

Mei 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

46

Selain itu, KOMPAS TV pada 24 Agustus 20189 melalui program Sapa Indonesia

Siang, menyangkan hal serupa: heroisme militer di balik pengerjaan proyek Trans-Papua.

melalui kekuatan audio-visual, media ini menggambarkan kegigihan mereka menghadapi

tantangan membangun Papua. Mereka seperti orang-orang tangguh yang berani

menyeberangi kali, menembus rimba, dan membelah bebukitan sembari menghadang KKB

demi menunjang keberlangsungan proyek pemerintah membangun Papua.

Di akhir narasinya, diselipkan gambar-gambar teduh yang mau menunjukkan

kebaikan aparat karena membagi pakaian dan makanan (beras dan indo mie) kepada warga

setempat, serta bagaimana keberhasilan mereka menjalin keakraban dengan orang Papua.

Sedangkan secara faktual, sesungguhnya aparat keamanan adalah momok bagi orang Papua.

Dengan merujuk pada banyaknya kasus pelanggaran HAM di Papua, aparat keamanan

(TNI/POLRI) di mata orang Papua adalah sosok yang menakutkan sekaligus paling dibenci;

meskipun belum banyak kasus yang terkuak karena kendala prosedur hukum yang tumpang

tindih.

Berdasarkan berbagai model framing pemberitaan tersebut; entah bagaimana proses

peliputan dan editorialnya; bagi saya, media massa nasional telah gagal menarasikan

kebenaran. Narasi yang dibangun oleh setiap media adalah bagian dari upaya pencitraan

terhadap pemerintah yang dianggap berhasil dalam proyek pembangunan; atau melegitimasi

berbagai asumsi bahwa Papua benar-benar membutuhkan pembangunan seturut visi dan misi

NKRI. Di samping itu, publik digiring untuk mengakui adanya kebenaran di dalam setiap

narasi yang dibangun media massa; bahwa berbagai model wacana dan praktik pembangunan

9 Lihat https://www.youtube.com/watch?v=ilKlkT06FJs. Diakses pada 28 Mei 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

47

yang dilakukan pemerintah adalah benar-benar menciptakan keadilan dan menyejahterakan

orang Papua. Inilah cara media massa memobilisasi rasa kagum publik terhadap pemerintah;

sekaligus membuyarkan berbagai model gugatan kritis dari kalangan penentang pemerintah.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa framing media massa yang hegemonik tersebut

turut membungkam dirinya sendiri dalam hal etos kerja jurnalisme.

Model penyesatan opini publik tentang Papua pun terjadi melalui propaganda media-

media siluman. Berdasarkan hasil penelusuran media Tirto dan Tabloid Jubi10, ditemukan

ada sekitar 18 media siluman yang menyebarkan hoax tentang Papua. Media-media tersebut,

antara lain: kitorangpapuanews.com, papuanews.id, westpapuaupdate.com,

westpapuaterrace.com, onwestpapua.com, freewestpapua.co, freewestpapua.co.nz,

westpapuaarchive.com, cenderawasih-pos.com, tabluidjubi.online.com, harianpapua.com,

kabarpapua.net, freewestpapua-indonesia.com, papuatoday.id, detikpapua.online,

papuainframe.co.id, papuamaju.com, kabarpapua.online. Semua media tersebut tidak

memiliki kejelasan dalam hal susunan redaksi, alamat kantor dan nomor kontak,

menyertakan nama jurnalis dan narasumber fiktif di dalamnya, serta mendompleng nama

beberapa media arus utama di Papua, seperti Cenderawasih Pos (Cepos), jubi.co.id dan

kabarpapua.co.

Framing pemberitaannya pun selalu condong ke politik pencitraan, stigmatisasi

terhadap orang Papua dan abai terhadap persoalan-persoalan substansial yang terjadi di

Papua. Contohnya, di Papua tidak ada pelanggaran HAM, pemerintah Indonesia selalu

10 Lihat https://jubi.co.id/hati-hati-netizen-kini-ada-18-media-siluman-di-papua/, dan https://tirto.id/media-

siluman-di-papua-propaganda-hoaks-hingga-narasumber-fiktif-da5B

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

48

melakukan hal-hal baik di Papua, tentara dan polisi di Papua melakukan tugasnya dengan

baik, masyarakat Papua hidup aman, damai dana baik-baik saja, kelompok masyarakat yang

pro-kemerdekaan Papua adalah kriminal dan separatis, serta memperlihatkan campur tangan

negara lain dalam menangani persoalan-persoalan Papua sebagai upaya menjajah Papua.

Hadirnya sederetan situs siluman tersebut justru mengaburkan atau bahkan meruntuhkan

klaim-klaim kebenaran yang biasa diekspos media-media lokal arus utama yang ada di

Papua. Dan tentu saja hal ini berdampak juga bagi disposisi opini publik dalam menalar

Papua, atau malah menaruh rasa percaya pada pembohongan massal karena hilangnya

kesadaran kritis.

Tak hanya itu saja. Media film pun punya cara tersendiri dalam memanipulasi isu-

isu tentang Papua. Melalui film, penonton digiring kepada beragam persepsi dan pengakuan

terhadap sejumlah kejanggalan yang terepresentasi secara audio dan visual sebagai bagian

dari kebenaran. Untuk mengetahui bagaimana media film juga turut meemberi framing yang

timpang, maka pada sub bab selanjutnya akan ditelisik sejumlah film layar lebar yang punya

tema dan latar tentang Papua.

2. Representasi Papua di Dalam Media Film

Mengingat film juga menjadi bagian dari media yang berpotensi membentuk persepsi

maupun opini penonton, maka pada bagian ini saya akan meninjau tiga film layar lebar yang

bertema dan berlatar Papua untuk menunjukkan bahwa ketimpangan nalar dalam melihat

Papua juga di(re)produksi di dalam narasi-narasi lain berbentuk film. Adapun film-film yang

ditinjau dalam kajian ini, antara lain: Denias: Senandung di Atas Awan (2006), Lost in Papua

(2011), dan Di Timur Matahari (2012).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

49

Pertama, Denias: Senandung di Atas Awan. Sejak dirilis pada 2006 film yang

disutradarai oleh John de Rantau ini berhasil menarik perhatian publik karena mengisahkan

perjuangan anak-anak pedalaman Papua yang punya semangat belajar yang tinggi untuk

mengejar cita-citanya di tengah segala keterbatasan sarana prasarana pendidikan maupun

ketidak-mampuan ekonomi keluarga dalam mendukung pendidikan anak-anak pedalaman.

Meskipun diangkat berdasarkan kisah nyata, film ini justru jatuh pada framing yang timpang

tentang anak-anak Papua yang diperankan oleh Denias dan kawan-kawannya. Mereka

diperlihatkan sebagai anak-anak nakal yang suka ‘adu jotos’ sehingga perlu dibina dan

dididik secara keras agar bisa menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Payahnya,

proses pendidikan dan pembinaan untuk anak-anak Papua bukan dilakukan oleh orang-orang

Papua sendiri, tetapi oleh seorang anggota TNI Angkatan Darat (Maleo) dan seorang guru

yang berasal dari Jawa; seolah-olah orang Papua tidak punya kapasitas dalam menunjang

pendidikan bagi anak-anak pedalaman Papua. Hal ini dipertegas oleh sebuah scene yang

menampilkan komentar seorang kepala suku yang menyatakan bahwa pendidikan adalah

kewajiban anak Jawa, bukan untuk diterapkan di Papua.

Berbagai angle yang diperlihatkan dalam film ini juga cederung memberi stigma

buruk terhadap Papua yang secara visual memperlihatkan masih adanya kehidupan yang

miskin dan terbelakang. Contohnya, Maleo memberi sebuah baju kaos miliknya kepada

Denias karena baju yang dikenakannya telah dimakan api; stigma bodoh karena salah

menyusun peta Indonesia; ada rasa kagum bercampur heran ketika mereka melihat sekolah

megah atau helikopter milik TNI; si Enos, sahabat Denias, yang suka mencuri barang milik

orang di depan sebuah swalayan, di kota Timika; anak pedalaman tidak punya pengetahuan

yang luas karena menyebut gambar sapi di sebuah poster sebagai babi atau anjing; anak-anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

50

pedalaman kurang bersih sehingga perlu mandi dan gosok gigi agar menjadi anak yang

bersih, sehat dan modernis; kecerdasasn intelektual dan kesuksesan menuai masa depan yang

cerah hanya dapat diperoleh di sekolah berstandar internasional milik PT. Freepot; serta

kentalnya praktik sukuisme di antara sesama orang Papua yang berujung pada perlakuan

tidak adil terhadap Denias, di mana ia ditolak oleh pihak sekolah karena berasal dari suku

pedalaman.

Seperti yang dinilai oleh banyak pihak bahwa film yang diproduksi oleh Alenia

Pictures ini didanai oleh TNI Angkatan Darat, pesan sisipan yang bertujuan untuk memberi

citra baik bagi kehadiran mereka di Papua pun tampak jelas dalam film ini. Sosok prajurit

TNI yang dikenal sebagai Maleo ditampilkan seperti pahlawan yang punya andil dalam

mendidik anak-anak pedalaman. Framing pencitraan terhadap militer di pedalaman Papua

tampak dalam sejumlah scene, di mana ada helikopter yang selalu mengantar berbagai

kebutuhan sekolah, sosok Maleo yang setia mengajar anak-anak di saat guru mereka kembali

ke Jawa, dan menjadi penyedia obat-obatan bagi warga yang sakit, menjadikan markas

sebagai tempat bermain dan belajar bagi anak-anak, atau sikap patuh dan hormat seorang

prajurit TNI terhadap orang Papua yang menentangnya karena mendirikan pondok belajar

bagi anak-anak tanpa izin dari kepala suku. Intinya, aparat militer selalu melakukan hal-hal

baik tanpa ada tindakan represif yang merugikan orang Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

51

Gambar 1: Dua contoh frame gambar dalam film Denias yang merepresentasikan imajinasi

nasionalisme di benak anak-anak Papua

Di film itu pula, gambaran tentang kedekatan anak-anak Papua dengan militer,

pemaksaan semangat nasionalisme dan rasa bangga terhadap NKRI dalam benak anak-anak

juga selalu ditonjolkan. Anak-anak mengenakan seragam sekolah berwarna merah-putih

sepanjang malam saat tidur; sikap hormat terhadap bendera Merah-Putih maupun peta

Indonesia sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya; atau Denias yang selalu

membawa replika peta Indonesia pemberian Maleo ke mana saja ia pergi, adalah framing

yang sengaja diciptakan untuk memanipulasi fakta bahwa anak-anak Papua sungguh cinta

NKRI dan kehadiran militer adalah berkat di tengah segala keterbatasan yang ada di Papua.

Film ini memberi kesan bahwa di Papua belum ada kemajuan yang signifikan sehingga

membutuhkan model peradaban yang baru dari luar Papua. Dan tentu saja film ini turut

memberi stigma buruk terhadap orang Papua; termasuk mengabaikan berbagai fakta

kejahatan militerisme. Seolah-olah tidak ada noda hitam dalam ingatan kolektif orang Papua

ketika membincangkan Papua dalam rangka persatuan dan kesatuan di bawah payung NKRI

atau militerisme sebagai pendekatan keamanan di Papua.

Di luar framing tentang Papua seperti yang ditunjukan oleh film tersebut, ada fakta

lain yang justru berbanding terbalik. Seturut pengalaman saya selama berada di Papua,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

52

kehadiran militer di Papua dibaca oleh orang Papua sebagai upaya pembungkaman ruang

demokrasi, tempat mereka menyuarakan hak-hak hidupnya. Selain itu, slogan ‘NKRI Harga

Mati!’ juga merupakan suatu pemaksaan semangat nasionalisme yang menyiksa orang

Papua. Dampaknya, di masing-masing isi kepala orang Papua tertanam ada semacam

nasionalisme ganda untuk mengatakan ‘ya’ sekaligus ‘tidak’ kepada NKRI dan (atau) West

Papua.

Mengamati pencitraan yang prestisius terhadap eksistensi militer di Papua seperti

yang dinarasikan oleh film Denias tersebut, dapat dikatakan bahwa media film menjadi alat

untuk memelintir sejumlah persoalan yang berkaitan dengan militerisme di Papua. Dalam

konteks ini, film Denias terlanjur jatuh pada politik pencitraan dengan menonjolkan sejumlah

enstitas etis yang dilekatkan pada militer. Ia seperti sebuah presisi tanpa opsi lain dalam

membincangkan militerisme di Papua. Ini adalah gambaran tentang kegagalan media-media

massa Indonesia dalam mengekspos kebenaran yang utuh tentang Papua kepada publik.

Sesungguhnya, militerisme yang diklaim sebagai bagian dari pendekatan keamanan dalam

menjamin keutuhan NKRI, juga merupakan senjata mematikan yang turut menambah

eskalasi konflik dan pelanggaran HAM di Papua.

Kedua, Lost in Papua. Buah karya Irham Acho Bachtiar ini sebenarnya bertujuan

untuk menunjukkan keunikan dan kekayaan wisata budaya yang ada di wilayah selatan

Papua. Akan tetapi, sejak rilis pada 2011, film ini menuai kontroversi, khususnya di kalangan

orang Papua karena mengandung unsur stigmatisasi berbau rasisme. Diawali dengan adegan

tentang hilangnya sekelompok pemuda yang mengeksplorasi titik tambang di hutan terlarang

bernama RKT 2000 yang berada di wilayah Boven Digoel, film ini cacat sejak awal, karena

telah menodai filosofi hidup orang Papua. Hutan yang dihormati sebagai ‘ibu yang memberi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

53

kehidupan’ justru digambarkan secara absurd. Hutan adalah tempat paling menyeramkan,

dan bahkan punya unsur magis yang membahayakan nyawa setiap manusia yang

melintasinya; termasuk orang Papua sebagai pemiliknya.

Gambar 2: Salah satu frame gambar dalam film Lost in Papua yang menggambarkan

kekejaman kaum perempuan suku Korowai terhadap lelaki yang terjebak di hutan

Absurditas film ini semakin menguat lagi ketika beberapa sequence selanjutnya

menonjolkan praktik kanibalisme yang dilakukan oleh salah satu suku primitif bernama

Korowai terhadap sekelompok pemuda lain yang terperangkap di hutan terlarang tersebut.

Dengan asumsi dasar yang dibangun berdasarkan mitosnya orang Korowai, film ini turut

membentuk opini publik tentang kebenaran di balik kisah tentang sekelompok suku kanibal

kaum perempuan yang ada di Boven Digoel itu. Celakanya, suku perempuan itu digambarkan

sebagai orang-orang keji, jahat dan brutal. Setiap orang yang terjebak di area kekuasaan

mereka pasti dipenjara, disiksa lalu dipakai sebagai alat pemuas hasrat seksual maupun

sebagai sumber bibit penerus masa depan kelompok suku tersebut. Selain itu, framing tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

54

keterbelakangan budaya orang-orang Papua yang hidup di daerah pedalaman pun ditonjolkan

secara gamblang. Misalnya, anak-anak pedalaman sangat membutuhkan orang-orang dari

luar Papua untuk mengajari mereka bersekolah dan memperkenalkan hal-hal baru seperti

makanan dan pakaian yang tidak dimiliki orang-orang pedalaman.

Meskipun Bachtiar sebagai sutradaranya adalah anak transmigran kelahiran Muting-

Papua yang sebenarnya mengenal secara dekat seluk-beluk kehidupan orang Papua, ia malah

gagal mengartikulasikan suara mereka yang sesungguhnya. Sepertinya sutradara lebih tergiur

untuk memetik keuntungan dari dana produksi maupun prestise di dunia perfilman Indonesia,

ketimbang mengangkat harkat dan martabat manusia dan alam Papua yang telah

membesarkannya. Itulah sejumlah alasan yang turut menguatkan kritik dari kalangan

filmmaker, bahwa Lost in Papua adalah film yang gagal dalam segala aspeknya; terutama

dalam hal story-telling yang cacat secara moral maupun sosial-budaya.

Ketiga, Di Timur Matahari. Tak berbeda jauh dengan Denias: Senandung di Atas

Awan, film hasil garapan Ari Sihasale yang rilis pada 2012 ini masih mengulang kegagalan

yang sama, yakni stigma buruk tentang orang Papua dan kebudayaannya. Alih-alih

mengeritik kelalaian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pendidikan di Papua

maupun praktik kebudayaan yang dinilai tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,

film ini malah mempertegas asumsi publik tentang keterbelakangan yang ada di Papua. Tak

seperti matahari yang selalu menjanjikan terangnya sinar di setiap pagi, anak-anak seperti

Mazmur dan kawan-kawannya malah kehilangan terang yang tak kunjung datang di tengah

gelapnya kebodohan. Kampung pedalaman milik anak-anak itu pun digambarkan sebagai

wilayah terpencil yang sulit diakses dan belum banyak memiliki hubungan dengan kehidupan

di luar sana. Mereka seperti orang primitif dan bodoh yang sangat bergantung pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

55

pertolongan dari sesosok guru pendatang yang siap mengantar mereka keluar dari

kemelutnya hidup yang mengekang.

Selain itu, sebagai bagian dari kritik terhadap tradisi dan budaya orang Pegunungan

Tengah yang masih kaku, film ini justru menunjukkan opisisi biner dalam hal kemajuan dan

keterbelakangan pola pikir di antara orang Papua yang hidup di kampung dengan mereka

yang hidup di Jawa (Jakarta). Seolah-olah hanya orang Papua yang hidup di luar Papua saja

yang punya pola pemikiran yang maju dibandingkan dengan orang-orang kampung di

pedalaman Papua. Michael, anak Papua kelahiran Tiom, Pegunungan Tengah Papua yang

sekolah, menikah dan hidup di Jawa adalah representasi sosok anak-anak Papua yang maju

dalam pola pikir karena telah mengenal dan mengalami banyak hal baik di luar Papua.

Kepulangannya ke Papua untuk melayat saudaranya yang terbunuh akibat perang suku

ditunjukkan sebagai orang Papua yang punya segudang kekayaan intelektual dan mampu

membangun kedasaran kritis bagi keluarga dan sukunya. Ia membawa kesadaran baru bahwa

membunuh, balas dendam dan perang suku bukan merupakan adat Papua yang perlu

dipertahankan.

Jika disimak secara jeli, film ini telah membantuk persepsi penonton tentang Papua.

Kekerasan seperti saling membunuh di antara sesama orang Papua, balas dendam, hingga

perang antar kampung merupakan hal yang lumrah dalam kebudayaan orang Papua. Di Papua

belum ada kemajuan pola pikir dan jauh dari peradaban. Penyebabnya adalah sistem

pendidikan yang mandek dan jauhnya orang Papua dari kehidupan yang ada di luar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

56

Gambar 3: Salah satu frame gambar dalam film Di Timur Matahari yang menunjukkan

masih berlakunya perang antar suku di wilayah pegunungan Papua

Satu-satunya cara untuk merubah pola hidup orang Papua adalah menghadirkan orang

dari luar Papua untuk mengisi apa yang tidak ada di sana, seperti guru, dokter, dan pendeta,

seperti yang digambarkan dalam film tersebut. Atau paling tidak anak-anak Papua harus

bersekolah dan tinggal di luar Papua agar tingkah-laku dan pola pikirnya dapat maju dan

berkembang. Sosok Pendeta Samuel yang selalu memberi wejangan bagi anak-anak dan

warga setempat; Dokter Fatimah yang setia memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat; Om

Ucok yang menjadi penyedia lapangan pekerjaan bagi warga lokal; atau Michael yang

berhasil membawa keasadaran baru tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai

kemnusiaan hanya karena hidup dan mengenyam pendidikan di Jawa, adalah contoh-contoh

penyesatan opini publik tentang Papua melalui media film. Dalam hal ini, film turut

melegalkan paham dan praktik subordinasi maupun inferioritas terhadap manusia dan

kebudayaan Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

57

3. Media Massa sebagai Perangkat Hegemoni Budaya

Berdasarkan beragam ulasan tentang framing media massa dalam membentuk opini

publik secara timpang tentang Papua tersebut, kita pada akhirnya paham bahwa media massa

adalah perangkat ideologis yang dipakai negara untuk melegitimasi sekaligus

melanggengkan kekuasaan. Publik digiring secara halus untuk mendapatkan pengetahuan

dan konsensus bahwa apa yang dinarasikan adalah bagian dari kebenaran yang patut diakui.

Meskipun tidak secara gamblang menunjukkan represi di dalamnya, sesungguhnya media

massa telah menjadi sarana yang ampuh dalam mengkonstruksi wilayah kesadaran manusia

untuk turut membenarkan apa yang diindoktinasi sebagai fakta. Di dalamnya ada organisasi

konsensus yang menggunakan pendekatan persuasif untuk membangun sebuah hubungan

persetujuan.

Menurut Gramsci, konsensus atau hubungan persetujuan yang diterima masyarakat

tersebut bersifat pasif karena informasi dan pengetahuan yang diperoleh bukan sebagai

keinginan mereka sendiri, melainkan karena dibentuk seturut keinginan kelompok penguasa.

Melalui perangkat-perangkat kekuasaannya, negara secara sadar menciptakan pembodohan

massal di tengah ketidak-adilan struktural yang sedang menimpahnya. Hal ini disebabkan

oleh ketiadaan basis konseptual yang kritis dalam benak masyarakat sehingga mereka tidak

mampu memahami realitas sosial secara efektif (bdk. Patria dan Arief, 1999: 126-127).

Inilah cara kerja hegemoni budaya yang bertujuan untuk menggiring publik melihat

alam dan manusia Papua dalam sebuah kacamata yang telah ditetapkan bagi semua orang

agar ia hanya bisa dinalar secara tunggal. Dalam hal ini, kuasa mobilisasi kesadaran publik

untuk menarik simpatisan lalu mengakui adanya kebenaran di balik politik pencitraan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

58

menjadi sesuatu yang penting bagi keberlangsungan praktik-praktik kekuasaan. Melalui cara

demikian, negara mampu meredam perlawanan dari bawah, dan dengan mudah membentuk

wajah etis masyarakat seturut cita-cita kaum penguasa. Akan tetapi, sangat disayangkan

bahwa citra yang dibentuk di dalam media massa mengandung sejumlah stigma buruk yang

merendahkan martabat orang Papua. Persis dalam kondisi ini, ada bentuk penindasan model

baru (symbolic violence) dari negara terhadap rakyatnya.

Meskipun demikian, menurut Gramsci masih ada celah untuk melakukan perlawanan

karena baginya tidak ada kekuasan yang absolut. Sudah sepatutnya masyarakat sipil

menggalang sense of popular nation dan membangun sebuah solidaritas kerakyatan yang

didasarkan pada pandangan hidup yang sudah dimiliki oleh masyarakat (common sense)

sebagai budaya kerakyatan. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan sosok intelektual organik untuk

melakukan intervensi di tengah masyarakat agar mampu menggerakkan common sense

menjadi good sense sebagai kekuatan perlawanan. Sudah sepatutnya masyarakat membentuk

sebuah wadah baru untuk merangkul kekuatan-kekuatan sosial yang ada, melawan berbagai

rupa symbolic violence, dan merebut pengakuan dari luar, karena sesungguhnya masyarakat

adalah wajah etis dari suatu negara, bukan sebaliknya.

Dengan menggunakan kerangka berpikir semacam itu, tesis ini dimaksud untuk

mengulas PV sebagai bagian dari representasi perlawanan masyarakat sipil di Papua. Rupa-

rupa aktivisme yang dihidupinya selama ini akan diulas dalam rangka menunjukkan adanya

hubungan dialektis antara pengalaman hidup orang Papua dengan banyaknya ragam narasi

yang dibangun oleh media massa. Persis dalam kondisi inilah tonggak berdirinya PV sebagai

sebuah blok sejarah dengan segala aktivitas gerakan budaya menjadi mungkin untuk dibahas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

59

D. Rangkuman

Tak dapat dipungkiri bahwa persebaran wacana tentang Papua tidak terlepas dari

faktor ideologis sebagai kekuatan terselubung yang mampu mempengaruhi banyak aspek

kehidupan berdemokrasi. Dalam konteks kelahiran PV, kondisi sosial-historis orang Papua

yang carut-marut akibat dominasi kekuasaan dan pembungkaman ruang demokrasi,

menyebabkan orang Papua terus berjuang tanpa henti untuk merebut hak-hak hidupnya.

Selain itu, terbentuknya opini publik yang tidak sehat tentang Papua karena framing media-

media massa arus utama yang cacat kebenaran, mendorong orang Papua untuk mengisi apa

yang absen dari ingatan publik tentang Papua secara utuh dan berimbang.

Media massa telah menjadi perangkat ideologis negara yang mampu menciptakan

hegemoni budaya di tengah masyarakat. Ada dua hal yang mau dicapai, yaitu politik

pencitraan bagi negara beserta aparatusnya di satu sisi, dan menggalang konsensus publik di

sisi lainnya demi menunjang politik kekuasaan. Meskipun demikian, kekuatan negara

semacam ini bukan bersifat absolut dan sulit ditandingi. Orang Papua masih punya kekuatan

perlawanan di tingkat akar rumput untuk mewujudkan perubahan dan transformasi sosial

yang berpihak pada kedaulatan rakyat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

60

BAB III

ANTAGONISME DAN HEGEMONI TANDINGAN

SEBAGAI LOCUS GERAKAN BUDAYA PAPUAN VOICES

A. Pengantar

Bertolak dari hasil identifikasi dan analisa atas faktor-faktor ideologis yang

mendorong lahirnya PV pada bab sebelumnya, bagian ketiga tesis ini merupakan

penjabaran lebih lanjut tentang bagaimana antagonisme tumbuh dan mendorong para

aktivis PV untuk melakukan gerakan budaya sebagai bagian dari hegemoni tandingan

atassejumlah ketimpangan yang terjadi di Papua. Dengan menggunakan pendekatan

post-marxis dalam studi gerakan sosial, khususnya gerakan sosial baru (new social

movement), bab ini dimaksud untuk membaca dinamika gerakan yang dilakukan PV

sebagai bentuk lain dari strategi perjuangan demokrasi kerakyatan dalam upaya merawat

Papua. Perangkat analisis yang saya gunakan dalam bab ini merupakan kombinasi dari

dua perspektif komprehensif teori gerakan sosial, yaitu: counter-hegemony milik

Gramsci, yang dilengkapi dengan hegemony and socialist strategy milik Laclau dan

Mouffe.

Sebagai sebuah gerakan budaya, upaya menggalang solidaritas ke-kita-an

(we-ness) guna membentuk identitas kolektif adalah langkah awal untuk memahami PV

sebagai blok historis yang hegemonik. Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa jatuhnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

61

pilihan PV pada film dokumenter sebagai media artikulasi adalah bagian dari sebuah

bangunan antagonisme sosial yang bertujuan untuk melakukan hegemoni tandingan

melalui gerakan Papua Bercerita; sebuah gerakan menggugat ketimpangan, merawat

Papua.

B. Memahami Terminologi Gerakan Budaya dalam Kajian Budaya

Budaya atau kebudayaan dalam Kajian Budaya (Cultural Studies) merupakan

konsep yang sangat penting, meskipun tidak ada makna definitif yang melekat padanya.

Menurut Raymond Williams, kebudayaan tidak ‘ada di luar sana’ dan sedang menunggu

untuk dideskripsikan secara tepat oleh teoretisi yang selalu salah memahaminya. Selama

abad ke-19, definisi kebudayaan lebih bersifat antropologis, yang menggambarkan

kebudayaan sebagai keseluruhan cara hidup dan bersifat khas dengan penekanan pada

pengalaman hidup. Kebudayaan juga berkaitan dengan seni sekaligus nilai (gagasan

abstrak), norma (prinsip atau aturan) dan benda-benda material maupun simbol kehidupan

sehari-hari. Singkatnya, kebudayaan adalah makna sehari-hari yang dapat ditemukan dari

hal-hal biasa di dalam keseharian hidup semua masyarakat, juga dalam setiap pikiran

(Williams, 1989: 4).

Sebagaimana dinyatakan Stuart Hall, kebudayaan dalam Cultural Studies adalah

lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa dan adat-istiadat

masyarakat tertentu yang membentuk kehidupan orang banyak (Hall, 1996c: 439).

Kebudayaan di sini berkaitan dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki

bersama, yaitu berbagai cara untuk memahami dunia di dalam pengalaman hidup sehari-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

62

hari. Kebudayaan juga menyangkut proses-proses produksi makna dan praktik signifikasi.

Dengan kata lain, memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana

pembentukan makna tekstual yang dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu

sistem signifikasi (Barker, 2004: 9). Proses pembentukan makna (signifikasi) itu terjadi

melalui berbagai citra, bunyi, objek dan aktivitas, yang menjadi bagian penting dari sistem

tanda, dan mengacu pada suatu makna, sehingga kita dapat menyebutnya dengan teks

kultural. Konsep teks di sini bukan hanya mengacu pada kata-kata tertulis, melainkan juga

berbagai bentuk ekspresi wacana atau praktik-praktik yang mengacu pada makna (to

signify). Dengan demikian, film dokumenter yang menjadi basis gerakan budaya PV

adalah bagian dari teks kultural. Melalui paradigma baru yang ditawarkan Kajian Budaya,

tesis ini dimaksud untuk menyelidiki dari mana sebuah teks kultural berasal dan

bagaimana ia memainkan peran di dalam konteks sosial, politik dan historis yang terus

berubah.

Dalam spirit etnografi Kajian Budaya, kajian tentang kebudayaan berkaitan

dengan eskplorasi dan representasi atas nilai dan makna aktivitas kultural; termasuk

masalah-masalah kebudayaan dan identitas (Barker, 2004: 30). Merujuk pada tradisi

Marxis yang turut melahirkan Kajian Budaya, Gramsci secara spesifik memandang

kebudayaan sebagai arena perjuangan ideologis, atau ruang konstestasi makna atas suatu

fenomena dalam konteks kekuasaan yang memungkinkan terjadinya sebuah tindakan,

hubungan dan tatanan sosial yang timpang. Dengan mengusung gagasan tentang

Hegemoni Budaya kaum borjuis yang menjadi tembok penghalang perubahan sosial,

Gramsci menawarkan perlu adanya upaya menggalang blok historis atau formasi sosial

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

63

baru, yang digerakkan oleh para intelektual organik untuk melakukan hegemoni tandingan

(counter-hegemony). Dalam pengertian lain, segala bentuk ketimpangan sosial yang

melahirkan hubungan anatagonistik di dalam masyarakat post-industrial tidak dihadapkan

dengan perang manuver untuk merebut kekuasaan dari tangan negara, tetapi melalui aksi-

aksi kolektif tanpa kekerasan yang dikenal luas dengan nama gerakan sosial; atau yang

dibahasakan secara radikal oleh Laclau-Mouffe sebagai Perjuangan Demokratik Baru.

Keberadaan PV dan aktivismenya adalah bagian dari aksi kultural berupa

perjuangan ideologis yang berupaya memproduksi makna tentang Papua sesuai perspektif

orang Papua. Berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, PV

memproduksi sejumlah teks kultural berupa film-film dokumenter maupun video jurnalis

untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan advokasi dan kampanye tentang alam dan

manusia Papua di tingkat lokal maupun global. Produk-produk kebudayaan tersebut

menjadi ide, makna dan praktik ideologis yang dijadikan sebagai peta pemaknaan dalam

mengorganisasi berbagai elemen sosial untuk turut ambil bagian di dalam gerakan:

menggugat ketimpangan, merawat Papua. Di sini, pengalaman hidup sehari-hari dan

produk film dokumenter berperan sebagai perekat sosial dalam menggalang solidaritas

gerakan masyarakat sipil. Sebagai organisasi kultural, PV menjadi medan pembentukan

setiap individu menjadi agen sosial (subjek politik) dalam praktik signifikasi: Papua

bercerita.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

64

C. Apa Itu Papuan Voices?

1. Sekilas Cerita Lahirnya Papuan Voices

Menurut penuturan para inisiator PV, gagasan tentang PV sudah mulai

diperbincangkan di Jakarta dan Yogyakarta sejak 2009 oleh tiga orang inisiator awal yang

saat itu bekerja di sebuah oraganisasi non-profit bernama Engage Media (EM). Mereka

adalah Max Binur, Wens Fatubun dan Rico Aditjondro. Menindak-lanjuti perbincangan

tersebut, pada 2010, bersama EM yang juga bergerak dalam dunia dokumenter, mereka

mengadakan program workshop audio-visual di Merauke, Jayapura dan Sorong. Melihat

tingginya antusias orang Papua untuk bergelut di dunia dokumenter, PV pun mulai

dibentuk sebagai sebuah organisasi pada 2011 di bawah kerjasama antar tiga lembaga,

yaitu: Engage Media, Justice Peace and Integration of Creation-MSC Indonesia, dan

Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan-Fransiskan Papua. Selanjutnya,

PV diinisiasi pada tahun 2012 dan disahkan dalam akta notaris pada 21 Mei 2016 (Lih.

profil dan statuta PV).

Gambar 4: Logo Papuan Voices (Sumber: Dok. PV)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

65

Wens Fatubun menuturkan bahwa penggunaan nama Papuan Voices dengan lambang

burung cenderawasih, wajah dan tangan manusia seperti yang tertera pada gambar di atas;

sebenarnya merupakan bentuk lain dari pemaknaan atas perjuangan kebudayaan dan

epistemologi orang Papua. Layaknya Cenderawasih, narasi-narasi yang disalurkan melalui

media film juga punya wibawa, kebesaran, keagungan, dan orisinalitas yang mengandung

klaim kebenaran. Dengan mengambil spirit grup musik Mambesak yang terus bercerita

tentang Papua lewat lagu-lagu daerah, PV hadir untuk mewadahi suara-suara orang Papua

yang berkisah tentang pengalaman hidupnya bersama alam. Tujuannya sangat sederhana,

yaitu agar publik tahu membedakan antara cerita ‘tentang’ Papua dengan cerita ‘dari’ Papua.

Memang sudah ada banyak narasi ‘tentang’ Papua yang dipublikasikan, tetapi tidak semua

hal itu dijadikan sebagai sumber informasi dan pengetahuan yang akurat. Masih ada banyak

narasi yang dipelintir dan mengandung cacat kebenaran. Sudah saatnya dunia luar melihat

Papua dari mata orang Papua sendiri, karena sejatinya, orang Papua juga punya kapasitas

yang memadai dalam menarasikan pengalaman hidupnya tanpa harus bergantung pada orang

lain untuk menuturkannya.

Sampai dengan saat ini (tahun 2020), PV tersebar di sembilan wilayah yang ada di

Papua, yaitu: Jayapura, Keerom, Wamena, Merauke, Timika, Biak Supiori, Sorong,

Tambraw, dan Manokwari. Dari semua wilayah tersebut, PV telah berhasil memproduksi

beragam jenis film dokumenter maupun video jurnalis untuk dijadikan sebagai materi

advokasi dan kampanye di tingkat lokal, nasional maupun global. Dalam semangat gerakan

yang sama, semua anggota dan pengurus yang tersebar di masing-masing wilayah tersebut

terus menjadikan PV sebagai tempat belajar dan berproduksi bagi generasi muda Papua, serta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

66

turut mendukung inisiatif-inisiatif perubahan, keadilan sosial, demokrasi dan perdamaian di

Papua. Untuk mencapai sebuah gerakan yang berkelanjutan, PV selalu membuka

kemungkinan untuk melakukan berbagai rangkaian kegiatan pelatihan dan produksi video

jurnalis maupun film dokumenter bagi individu-individu maupun kelompok masyarakat yang

ada di Papua agar mereka juga dapat menjadi bagian dari story-teller yang mumpuni dalam

menarasikan kehidupan manusia dan alam Papua kepada publik.

2. Papuan Voices Sebagai Blok Historis

Berdasarkan statuta yang disahkan di Jayapura pada 22 September 2018, dijelaskan

bahwa PV merupakan sebuah organisasi non-pemerintah berbentuk perkumpulan yang

bekerja di bidang audio-visual, khususnya film dokumenter dan video jurnalis. Fokus

kegiatannya adalah menyelenggarakan advokasi dan kampanye tentang berbagai fenomena

sosial-budaya, hak asasi manusia, lingkungan maupun politik yang terjadi di Papua melalui

video-video yang diproduksi. Untuk menjamin keberlangsungan aktivismenya, PV menjadi

media pembelajaran dan pengembangan kreativitas dan kapasitas sumber daya manusia

generasi muda dan masyarkat adat Papua dalam memproduksi film dokumenter maupun

video jurnalis tentang alam dan manusia Papua. Selain itu, PV juga melakukan

pengorganisasian komunitas masyarakat di Papua, serta memperluas jaringan antar video

aktivis yang ada di Papua maupun di luar Papua untuk meningkatkan kesempatan kerjasama

dan eksistensinya.

Jika ditelusuri secara saksama dengan berkaca pada pemikiran Gramsci, dapat

dikatakan bahwa PV adalah sebuah bentuk blok historis atau aliansi para aktivis media

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

67

(sineas) Papua. Seperti yang telah dipaparkan di bab kedua tesis ini, PV dibentuk atas dasar

sikap tidak puas berikut gugatan terhadap berbagai model ketimpangan sosial yang

berhubungan dengan Papua. Ada bentuk kerja kemanusiaan yang diperjuangkan oleh para

aktivis PV di tengah hegemoni media-media arus utama milik negara, yang sangat

berpengaruh terhadap konsensus11 cara pandang publik tentang realitas Papua dan kinerja

pemerintah. Dalam pengamatan saya, kesadaran politik yang kritis dari para aktivis terhadap

cara kerja (framing dan hegemoni) media massa beserta segala sistem yang tidak adil di

negara ini merupakan dasar atau alasan yang mendorong berdirinya PV. Kesadaran baru dan

kehendak kuat ini kemudian mengalami alih bentuk menjadi sebuah perkumpulan sosial,

politik, dan kultural yang meliputi masyarakat adat, aktivis media, organisasi sipil atau NGO,

dan berbagai elemen masyarakat lainnya, yang memiliki kesadaran kritis sebagai intelektual

organik, untuk melakukan aksi politik (gerakan sosial) demi menciptakan makna baru

tentang Papua yang lebih otentik. Proses inilah yang disebut sebagai jalan menuju

demokratisasi (Bdk. Fakih dalam Simon, 2004: xix-xx).

Dalam sebuah kesempatan diskusi di sela-sela FFP (Festival Film Papua) III pada 6

Agustus 2019 di Kota Sorong, Helena Kobogau, Koordinator PV wilayah Timika

menuturkan bahwa tidak semua cerita tentang Papua yang beredar luas selama ini adalah

sesuai dengan fakta yang terjadi di Papua. Selain itu, sejumlah kebijakan pembangunan di

11Dalam pandangan Gramsci, konsensus sebagai bagian dari kerja hegemoni kaum borjuis pada dasarnya

bersifat pasif. Lahirnya konsensus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada

itu sebagai keinginan mereka, tetapi disebabkan oleh kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran

kritis yang memungkinkan mereka dapat memahami realitas sosial secara efektif (Partisia dan Arief, 1999: 126-

127). Berkaitan dengan ini, menurut Louis Althusser, hilangnya kesadaran kritis pada masyarakat disebabkan

oleh konstruksi kesadaran palsu yang ditanamkan oleh negara melalui apparatus ideologi negara (ISA

pendidikan, agama dan budaya) agar mereka dibentengi dari kesadaran dan pengetahuan kritis akan adanya

eksploitasi dan penindasan, lalu menyetujui tindakan-tindakan yang dilakukan negara meskipun tidak sesuai

dengan kepentingan mereka (Lihat catatan kaki 4, Bab II).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

68

Papua juga tidak beorientasi pada pemenuhan hak-hak hidup masyarakat adat Papua. Sejalan

dengan itu, teriakan tentang lawan investasi, militarisme, diskriminasi, dan berbagai

fenomena ketidakadilan yang dialami orang Papua kurang mendapat tempat untuk disalurkan

kepada publik. Menurut Kobogau, PV hadir untuk mewadahi suara-suara yang terabaikan

agar kebenaran dapat terungkap dan pengalaman penderitaan orang Papua dapat diketahui

banyak orang. Kenyataan ini mau menunjukkan bahwa kehadiran PV adalah bentuk kontra

hegemoni yang bertujuan untuk: 1) menolak segala bentuk pemelintiran isu tentang Papua

yang tidak berdasarkan fakta; 2) mengisi ruang kosong informasi dan pengetahuan tentang

Papua, yang jarang atau tidak pernah diliput maupun diekspos media-media nasional arus

utama; 3) menyuguhkan sudut pandang baru dalam menarasikan Papua, di mana orang Papua

menjadi subjek dalam bernarasi; dan 4) membangkitkan kesadaran kritis bagi publik demi

memperjuangkan kebenaran dan melawan ketidakadilan di Papua.

Dalam perspektif Gramscian, lahirnya sebuah organisasi masyarakat sipil sebagai

blok historis bertujuan untuk melakukan penguatan terhadap masyarakat sipil yang

dibedakannya dari masyarakat politik (negara dan aparatusnya). Ia tidak lagi menjadi tempat

berkumpulnya orang-orang kalah, tetapi tempat para intlektual organik tumbuh menjadi kuat

dan terus mendukung upaya perlawanan terhadap hegemoni negara (Sukmana, 2016: 212).

Berkaitan denganitu, kehadiran PV di Papua adalah bagian dari strategi gerakan sosial, yakni

mewadahi setiap keluhan dan tuntutan orang Papua sambil terus berjuang menanamkan

kesadaran kritis bagi mereka untuk dapat memahami persoalan yang dialami serta bagaimana

menghadapinya. Perlu ditegaskan bahwa PV dan aktivismenya tidak dimaksudkan untuk

memenangkan kontrol atau merebut kekuasaan negara, tetapi hanya sebatas mempengaruhi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

69

kebijakan, reformasi kelembagaan dan akuntabilitas negara agar berpihak pada kepentingan

hidup orang banyak. PV juga bukan merupakan kelompok fundamentalis agama atau

chauvanisme etnis. Ia sesungguhnya adalah salah satu dari sekian banyak kekuatan sosial

yang tumbuh dan berkembang dalam konteks perjalanan hidup orang Papua yang tanpa henti

berjuang mencari keadilan, perdamaian dan kelestarian bagi alam dan manusia Papua.

3. Papuan Voices dan Identitas Kolektif

Membentuk dan mempertahankan eksistensi PV sebagai sebuah blok historis tentu

bukan jalan yang mudah. Selain tantangan dari luar, secara internal, pluralisme keanggotaan

bersama beragam keluhan maupun tuntutan yang ingin diperjuangkan adalah tantangan

tersendiri dalam upaya membentuk PV sebagai formasi sosial atau blok historis yang

hegemonik. Terkait dengan hal itu, sub bab ini dimaksud untuk menjawab pertanyaan tentang

bagaimana partikularitas keanggotaan dibentuk menjadi sebuah identitas kolektif yang

disebut ‘Papuan Voices’. Untuk menjawabnya, penjelasan pada bagian ini berangkat dari

gagasan Gramsci tentang pembentukan kehendak kolektif, dan reformasi intlektual dan

moral; kemudian dilengkapi dengan pendekatan lain yang digagas oleh Laclau dan Mouffe,

yaitu logika ekuivalensi dan perbedaan.

Dalam pandangan Gramsci, perjuangan menuju perubahan atau yang disebut sebagai

gerakan budaya bukanlah sekedar cara untuk merebut kekuasaan, melainkan cara

mengakomodasi semua kepentingan dari setiap individu maupun kelompok sosial dalam

sebuah aktivitas yang memiliki sinergitas. Laclau dan Mouffe (1985) menegaskan bahwa

konsep blok historis milik Gramsci sesungguhnya melampaui konsep Leninisme tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

70

kepemimpinan politik dalam aliansi kelas. Aktor-aktor organik sebagai subjek politik di

dalamnya tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan kelasnya masing-masing, tetapi

sesuatu yang lebih kompleks dan menyeluruh, yaitu menampung, memayungi dan

mengorganisir kehendak-kehendak kolektif (collective wills). Ini merupakan salah satu

peluang politik untuk mengorganisir dan memobilisasi kesadaran kritis massa di tengah

dominasi dan hegemoni kaum borjuis agar mereka dapat melawan kebijakan-kebijakan

negara yang sifatnya menindas rakyat. Karena itu, ide-ide dan nilai-nilai yang sebelumnya

terfragmentasi dan bertebaran di mana-mana, dianut bersama sebagai kekuatan historis untuk

selanjutnya diartikulasikan. Sebagai bagian dari kerja hegemoni tandingan, upaya

membangun jaringan dari masing-masing elemen, memberi sumbangan tersendiri dalam

mendukung proses ‘perang posisi’ menuju tatanan baru: masyarakat sosialis (Simon, 2004:

60).

Merujuk pada pendapat Marx tentang ‘soliditas keyakinan masyarakat’, Gramsci

menawarkan pentingnya ideologi organik untuk mewadahi, membangun, menyatukan dan

mengikat berbagai kehendak individu maupun kelompok yang berbeda-beda, serta menjadi

fondasi bagi setiap praktik-praktik sosial. Perlu diperjelas bahwa ideologi yang dimaksud

oleh Gramsci tidak hanya berkutat pada sistem ide yang berada di luar aktivitas politik

maupun praksis manusia. Ia mempunyai eksistensi material yang menjelma di dalam

berbagai bentuk praktik sosial setiap individu dan kelompok atau organisasi; tempat aktivitas

kultural diperjuangkan di dalam kondisi sosial tertentu. Melalui ideologi, kehendak kolektif

dibentuk berdasarkan sejumlah tuntutan atau kepentinganagar mencapai kesatuannya di

dalam sebuah blok historis. Dalam hal ini, individu atau kelompok yang tergabung di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

71

dalamnya tidak sekadar memperjuangkan kepentingannya, tetapi juga ikut merangkul

kepentingan sektor-sektor lain yang terfragmentasi agar menjadi kekuatan historis yang

solid. (Simon, 2004: 83-86; Laclau dan Mouffe, 2008: 96-98). Itulah alasan, kenapa ideologi

yang dimaksud Gramsci bersifat politis dan historis.

Berbeda dengan Gerakan Sosial Lama, di mana identitas kolektif dibentuk

berdasarkan kesamaan kelas, seperti kelas buruh dan tani; identitas kolektif dalam Gerakan

Sosial Baru dibentuk atas dasar kesamaan gagasan atau tujuan ideal yang ingin

diperjuangkan. Dalam konteks ini, ideologi organik menjadi sebuah elemen penting untuk

mengatur, memberi tempat untuk bergerak, dan menghidupkan kesadaran untuk berjuang

(SPN 367). Dengan kata lain, sebuah blok historis harus mampu dan berhasil menyatukan

berbagai permasalahan demokratis-kerakyatan, yang berakar dalam sejarah, dan tidak

mempunyai karakter kelas yang bersifat khusus sehingga mampu menciptakan kehendak

kolektif secara universal. Paling tidak, harus ada kesatuan sosial-budaya, di mana berbagai

keinginan dengan tujuan yang berbeda-beda dapat dijalin menjadi tujuan tunggal, yang

menjadi dasar bagi konsepsi umum tentang dunia dan norma tingkah laku (SPN 349). Untuk

sampai pada tatanan yang solid, ideologi organik harus dibangun secara bersama dalam

rangka menggerakkan transformasi kesadaran politik melalui reformasi moral dan intelektual

sebagai elemen pokok memperjuangkan hegemoni tandingan. Inilah yang disebut sebagai

prasyarat bagi berdirinya sebuah blok historis yang hegemonik. Melalui cara demikian,

organisasi sipil dan aktivismenya berakar kuat di dalam masyarakat dan semakin hegemonik

(Simon, 2004: 84-91).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

72

Melengkapi pandangan Gramsci, ErnestoLaclau yang terinspirasi oleh Rosa

Luxemburg, berpendapat bahwa identitas kolektif lahir dari kehendak kolektif (collective

will). Partikularitas tuntutan dan kehendak masing-masing agen sosial ditempatkan dalam

sebuah konteks yang lebih luas untuk menemukan apa yang disebut sebagai universalitas

kehendak dantuntutan. Dimensi universalitas inilah yang menginspirasi gerakan hegemonik.

Untuk sampai pada kesatuan identitas, masing-masing mereka perlu menciptakan sebuah

rantai kesetaraan (chain of equivalence) dan batas politik (political frontier) yang menjadi

penyatu secara internal, sekaligus pembeda secara eksternal (Laclau, et.al., 2000: 301-302).

Jika ditinjau dari logika ekuivalensi dan perbedaan, unsur-unsur yang memiliki nilai

sama dikelompokkan menjadi sebuah totalitas dan membentuk identitas tertentu untuk

membedakan dirinya dengan kelompok-kelompok lain yang berada di luar. Melalui

hubungan yang antagonis, sebuah kelompok dapat mengidentifikasi ‘musuh’ bersamanya;

sesuatu yang penting untuk membangun batas politik, identitas kolektif serta makna sosial

yang ingin diperjuangkan. Untuk menyatukan unsur-unsur yang berbeda secara internal,

sekali lagi, ideologi sangat diperlukan sebagai penyatu semua unsur ke dalam sebuah

totalitas. Dalam pengertian Lacanian – sebagaimana yang diikuti oleh Laclau dan Mouffe –

partikularitas keanggotaan sebagai penanda-penanda mengambang (floating signifiers) harus

dibentuk menjadi rangkaian tanda-tanda yang bermakna (signifying chain). Artinya, untuk

menghasilkan rangkaian tanda yang bermakna, sebuah kelompok harus menentukan penanda

utama (master signifier) sebagai titik temu (nodal point) bagi setiap partikularitas identitas

dan tuntutan masing-masing anggota. Dalam hal ini, penanda utama adalah penanda yang

dianggap menjanjikan kepenuhan identitas kolektif; sekaligus sebagai pengingat tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

73

pengalaman ketidak-adilan yang mendesak sebuah blok historis untuk mengartikulasikannya

(Lih. Sunardi 2012: 9-15).

Dalam konteks PV sebagai sebuah blok historis dan identitas kolektif, setiap individu

maupun kelompok yang terlibat secara intern pertama-tama merupakan gabungan orang-

orang terpanggil yang memiliki tanggung jawab moral-etis untuk menyuarakan pesan-pesan

dari Papua kepada publik. Mereka datang dari berbagai komunitas maupun

orrganisasimasyarakat sipil yang berkedudukan di Papua, seperti: GEMPAR (Gerakan

Mahasiswa Pemuda dan Rakyat) Papua, PAPEDA (Papua Pecandu Damai), JERAT

(Jaringan Kerja Rakyat) Papua, BELANTARA (Bengkel Pembelajaran Antar Rakyat) Papua,

SKPKC (Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), Papuansphoto, WPU

(West Papua Update), jurnalis, aktivis perempuan, aktivis lingkungan, maupun para pemuda

dan masyarakat adat yang memiliki cinta yang besar untuk Papua. Tentu saja mereka datang

dengan membawa beragam keluhan dan tuntuan seperti apa yang selalu menjadi

pergulatannya di masing-masing basis. Lantas, bagaimana PV mengakomodasikan

perbedaan-perbedaan yang ada agar memiliki satu tujuan tunggal yang dapat merangkum

semuanya menjadi sebuah identitas kolektif?

Satu hal yang menjadi ciri khas gerakan PV adalah transformasi kesadaran kritis

dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap anggota PV dituntut untuk

mewujud-nyatakan ciri tersebut dalam pikiran dan tindakan melalui cara-cara yang

menghargai kesetaraan, keberagaman, serta anti terhadap berbagai bentuk kekerasan,

eksploitasi dan ketidakadilan; terutama kepada kaum perempuan dan kelompok marjinal

lainnya. Itulah alasan mendasar bagi PV untuk secara terbuka bekerjasama dengan individu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

74

maupun organisasi yang mengutamakan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta

melakukan pemberdayaan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras, dan jenis

kelamin maupun orientasi seksual. Untuk itu, PV sebagai organisasi independentidakmau

mengikatkan atau bersandar pada partai politik tertentu atau pun kepentingan-kepentingan

lain yang berseberangan dengan prinsip-prinsip demokratis (Bdk. Nilai-Nilai dan Prinsip PV

dalam Statuta hal. 2).

Setiap perbedaan pandangan maupun pendapat selalu diberikan ruang untuk hidup

melalui cara-cara yang mampu mengikat setiap anggota tanpa kecuali. Artinya, setiap

keluhan dan tuntutan yang diusung masing-masing orang adalah bagian dari kesepakatan

menyuarakan pengalaman hidup yang berkaitan langsung dengan alam dan manusia Papua;

dan disampaikan secara benar dan berimbang dengan mempertimbangkan nilai-nilai

kemanusiaan yang inheren secara intelektual maupun moral-etis. Berangkat dari kesadaran

bersama atas pengalaman ketidak-adilan yang harus disuarakan, dan banyaknya narasi arus

utama yang tidak sesuai atau bahkan abai terhadap fakta empiris, setiap anggota PV

menghadirkan narasi tandingan yang mengatas-namakan suara-suara orang Papua. Menurut

Koordinator Umum PV, Bernard Koten, inilah alasan kenapa PV selalu mengklaim bahwa

semua narasi yang difilmkan adalah narasi milik orang Papua, dan suara orang Papua yang

difilmkan adalah milik PV. Di sana ada kesatuan yang tak terpisahkan antara PV sebagai

corong artikulasi, dan orang Papua sebagai subjek di dalam setiap film yang diproduksi.

Suara PV adalah suara orang Papua; suara orang Papua adalah suara PV.

Untuk sampai pada soliditas kehendak dan tuntutan, PV terus menyupayakan

transformasi kesadaran kritis (intelektual dan moral) melalui pelatihan dan pengembangan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

75

kapasitas di bidang audio-visual (film dokumenter dan video jurnalis) yang meliputi: strategy

planning, metode riset dan investigasi, workshop tentang tema-tema yang relevan dengan

konteks kehidupan orang Papua, nonton dan diskusi film, serta mengadakan Festival Film

Papua (FFP) tahunan di setiap wilayah secara bergantian. Selain itu, semua anggota PV

diberikan kesempatan untuk mengikuti dan meliput berbagai kegiatan seperti seminar,

workshop, diskusi, aksi demonstrasi maupun festival film di tingkat lokal, nasional dan

internasional, yangbertemakan HAM, lingkungan, perempuan, politik, ekonomi, dan isu-isu

lain yang berkaitan dengan konteks Papua. Selain menambah wawasan berpikir dan

kemampuan membuat pemetaan masalah serta bagaimana menyuarakannya secara

berimbang di dalam film dokumneter maupun video jurnalis, kegiatan-kegiatan semacam ini

oleh para aktivis PV diharapkan mampu membangkitkan kesadaran kritis untuk terus

berjuang memenuhi kehendak maupun tuntutan di dalam setiap narasi tentang cerita ‘dari’

Papua untuk publik.

Gambar 5: Kelas diskusi dan worshop serta pelatihan anggota di Sorong dan Biak (Sumber: Dok. PV)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

76

Berdasarkan logika ekuivalensi dan perbedaan, konteks gerakan budaya yang

diperjuangkan PV dalam hal membentuk identitas kolektif adalah aspek penting dalam upaya

membangun rantai kesetaraan dan batas politikuntuk membedakannya dengan kelompok

atau lembaga lain di luar secara internal dan eksternal. Berbeda dengan beragam kelompok

maupun individu di luar dirinya, para aktivis PV adalah subjek-subjek yang lahir dan tumbuh

bersama pengalaman suka maupun duka orang Papua; bahkan tak jarang sebagian besarnya

adalah pengalaman pribadi. Karena itu, narasi yang dibangun pun bertolak daridan tidak tidak

jauh dengan penglaman sehari-harinya. Mereka adalah orang Papua yang datang, berkumpul

dan bergerak atas nama kehendak menyuarakan cerita ‘dari’ Papua dengan sejumlah tuntutan

yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak hidup serta penghormatan terhadap manusia dan

alam Papua yang selama ini menjadi sasaran empuk praktik kapitalisme, militerisme,

subordinasi, marjinalisasi maupun stigmatisasi yang marak terjadi di Papua.

Meminjam istilah Lacanian tentang subjek terbelah, dapat saya katakan bahwa suara-

suara orang Papua yang menjadi basis gerakan PV lahir dari pengalaman ketidak-adilan yang

menggerakkan mereka untuk bernarasi. Pengalaman-pengalaman itu menjadi seperti

penanda-penanda yang dirangkai berdasarkan kehendak dan tuntutan untuk mengatasi

keterbelahan (split) subjek (baca: orang Papua); bahwa semua hal yang selama ini direpresi

multak perlu untuk disuarakan kepada publik, sebab melalui cara demikian, paling tidak

mereka mendapatkan kepenuhan subjek sebagai masyarakat ideal. Dalam hal ini, suara-suara

orang Papua menjadi penanda utama yang punya sisi imaginer dan simbolik serta

mengandung sejumlah cita-cita universal yang senantiasa diperjuangkan, yakni:

penghormatan terhadap manusia dan alam Papua sebagai bagian dari warga kosmopolit yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

77

sama kedudukannya di mana pun dan kapan pun. Jadi, identitas kolektif yang dibangun oleh

PV tidak lagi didasarkan pada identitas konkret seperti buruh, perempuan, lingkungan atau

pun etnis, tetapi dibentuk menjadi satu kesatuan sebagai suara-suara orang Papua, di mana

cakupan massanya lebih luas. Mengutip Suryawan (2011: 297), sejarah ingatan penderitaan

(memoria passionis) orang Papua menjadi pengikat yang paling ampuh untuk melawan

berbagai bentuk ketidak-adilan yang terjadi di Papua. Ia menjadi penyatu secara internal

(suara-suara yang terabaikan) sekaligus pembeda secara eksternal di antara sejumlah suara

yang dikategorikan sebagai bukan suara orang Papua.

Melalui dinamika tersebut, aktivisme PV terefleksi di dalam definisi tentang Gerakan

Sosial Baru yang melihat gerakan budaya sebagai jaringan kerja atau interaksi informal yang

elaboratif di antara pluralitas individu maupun kelompok atau organisasi yang terlibat dalam

sebuah konflik politik atau kultural di Papua. Mereka adalah salah satu bagian dari kekuatan

sosial-kultural dalam melakukan ‘perang posisi’ merebut simpati dan konsensus opini publik

tentang Papua. Sebagai sebuah blok historis atau formasi hegemonik, PV tidak lahir begitu

saja secara spontan, tetapi melalui kerja kepemimpinan intelektual dan moral setiap

anggotanya. Secara pribadi, saya melihat fenomena ini sebagai kerja politik kebudayaan,

karena mereka mampu membangun identitas kolektif yang solid sekaligus solider melalui

komunikasi dan aksi yang terus-menerus. Hal-hal tersebut menjadi prasyarat sekaligus tolak

ukur bagi kekuatan sebuah gerakan budaya yang hegemonik, yaitu menarasikan Papua secara

otentik, berimbang dan berpihak pada kemanusiaan yang universal demi mendapatkan

perdamaiandankeadilanbagi manusiadan alam Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

78

D. Papuan Voices Bercerita: Locus Bagi Antagonisme dan Counter-Hegemony

Dalam sejarah Marxisme, antagonisme dipakai untuk menggambarkan konfrontasi

tak terdamaikan antar kelas sebagai akibat dari proses produksi yang tidak adil. Menurut

Lenin, keberadaan negara sebagai kelas atas telah menunjukkan bukti bahwa antagonisme

secara obejktif tidak bisa didamaikan. Althusser juga menunjukkan bahwa anatagonisme

merupakan hasil dari formasi sosial lewat proses overdeterminasi. Selanjutnya, Laclau dan

Mouffe dalam gagasannya tentang demokrasi radikal juga menempatkan antagonisme

sebagai sebuah posisi sentral dalam memahami hegemoni maupun perjuangan demokrasi

kerakyatan yang dikenal dengan nama gerakan sosial baru. Atau dengan kata lain,

antagonisme ditempatkan dalam konteks hegemoni sebagai proses pembentukan identitas

kolektif (Sunardi, 2012: 23-24).

Perlu diketahui bahwa konsep hegemoni yang digagas Lacalu dan Mouffe melampaui

gagasan hegemoni milik Gramsci. Hegemoni tidak hanya berhubungan dengan cara kelas

atas (baca: negara) menjalankan kekuasaannya untuk mendapatkan konsensus di dalam

kesadaran palsu masyarakat, tetapi hegemoni juga adalah cara kerja kepemimpinan

intelektual dan moral untuk membentuk blok historis (Laclau dan Mouffe, 1985: 67).

Berangkat dari pengalaman sehari-hari, di mana tidak ada kesesuaian antara harapan dan

kenyataan hidup, yang pada akhirnya melahirkan hubungan antagonistik di dalam

masyarakat; masing-masing individu maupun kelompok masyarakat mengambil posisi

sebagai subjek politik (dalam bahasa Gramsci disebut intelektual organik). Di dalam

posisinya sebagai subjek politik, para intelektual organik menggalang persatuan bagi

kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik ke dalam sebuah masyarakat politis yang disebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

79

formasi sosial hegemonik. Jadi, menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni atau yang disebut

Gramsci sebagai hegemoni tandingan (counter-hegemony) muncul dalam situasi

antagonisme yang memungkinkan terbentuknya batas politik (political frotier) dan

pertarungan hegemoni. Di dalam situasi seperti itu, dibangunlah apa yang disebut sebagai

rantai kesamaan (chain of equivalence) di antara setiap anggota blok historis untuk

selanjutnya melakukan resistensi terhadap rezim tertentu yang dinilai opresif (Laclau dan

Mouffe, 2008: xxxvi-xxxvii) dan tidak demokratis.

Berdasarkan logika pemikiran tersebut, sub bab ini dimaksudkan untuk menunjukkan

bahwa gerakan budaya Papua Bercerita yang diperjuangkan PV melalui media audio-visual

adalah bagian dari kerja politik kebudayaan dalam hubungan dengan antagonisme dan kontra

hegemoni sebagai locus gerakan. Sebagai bagian dari kontestasi makna tentang Papua, akan

ditunjukkan alasan substansial mengapa PV memilih film dokumneter sebagai media

artikulasi serta bagaimana proses pemaknaan tentang Papua terjadi di dalam dan melalui

media tersebut. Singkatnya, bagian ini menjelaskan tentang pentingnya membangun

hubungan antagonistik dan solidaritas ke-kita-an melalui dokumenter dalam mewujudkan

hegemoni tandingan yang berpihak pada misi menyelamatkan alam dan manusia Papua;

termasuk perang posisi membangun opini publik yang sehat tentang Papua.

1. Film Dokumenter Sebagai Media Artikulasi

Secara umum, film dokumenter selalu diasosiasikan dengan rekaman tentang

kebenaran dari sebuah realitas. Asosiasi tersebut tentu saja merujuk pada interpretasi leksikal

dari kata ‘dokumenter’ (documentary) yang berarti rekaman fotografi yang menggambarkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

80

kejadian nyata, kehidupan seseorang, suatu periode dalam kurun sejarah, atau suatu

gambaran tentang cara hidup seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Dokumenter

selalu bersinggungan dengan dokumen-dokumen faktual yang dibentuk berdasarkan

rangkuman gambar-gambar yang diambil dari kejadian-kejadian nyata (The Concise Oxford

Dictionary dalam Prakosa, 2008: 123). Dokumenter adalah film tentang kehidupan nyata,

tetapi bukan merupakan kehidupan nyata. Dokumenter juga bukan pintu menuju kehidupan

nyata. Ia hanyalah sebuah potret tentang kehidupan nyata yang menjadi objek material di

dalam sebuah dokumenter. Sebagai cerita berbentuk audio-visual, film-maker berperan

sebagai seniman dan teknisi yang membuat keputusan tentang cerita apa yang harus

dinarasikan, kepada siapa narasi tersebut ditujukan, dan tujuan apa yang hendak dicapai

sambil berpegang teguh pada klaim-klaim kebenaran yang menjadi ciri khas film dokumenter

(Aufderheide, 2007: 2).

Film dokumenter juga tidak pernah terlepas dari subjektivitas seorang film-maker,

tetapi bukan berarti ia tidak memiliki objektivitas. Bagaimana pun juga, seperti John Grierson

yang mendefinisikan film dokumenter sebagai creative treatment of reality; kerja kreatif

dalam ranah seni sangat kental dengan nuansa personal: subjektivitas. Akan tetapi,

subjektivitas dalam film dokumenter harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal tentang

kemanusiaan, kegigihan, perjuangan, cinta kasih, maupun perlawanan, dan sebagainya

(Tanzil, et al., 2010: 24). Dengan kata lain, subjektivitas di dalam dokumenter harus mampu

dipertanggungjawabkan, dapat diterima oleh logika orang banyak, dan terutama sasaran

penonton yang ingin dijangkau. Karena itu, dalam fase kerja dokumenter, seorang film-maker

harus melalui beberapa tahapan seperti: membangun gagasan atau ide cerita, melakukan riset

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

81

(lapangan maupun pustaka) tentang sumber data, menyusun alur cerita dan shot-list sebagai

panduan utama dalam mengumpulkan materi gambar dan suara, mengumpulkan data-data

audio-visual, penyuntingan data audio-visual selama proses editing dan finishing, serta

menentukan jalur distribusinya kepada publik (Bdk. Ayawaila, 2008).

Menggunakan film dokumenter sebagai media artikulasi dalam membangun gerakan

budaya PV adalah pilihan yang tepat dan berdaya-guna. Meskipun kemasan narasinya tidak

sepenuhnya objektif karena sangat bergantung pada subjektivitas sutradara dan produser

dalam hal angle dan stroryboard; paling tidak sebuah film dokumenter mampu mengangkat

sebuah fakta historis yang terjadi di Papua.Narasi-narasi yang dibangun pun berangkat dari

lived experiences maupun lived resistances orang Papua, sehingga dapat mewakili realitas

yang sesungguhnya terjadi. Sebagai bagian dari produk budaya, dokumenter adalah ekspresi

wacana dalam bentuk teks yang kelihatan. Ia lahir dari konteks sosial tertentu untuk menguak

sisi lain dari realitas Papua yang hilang dari ingatan publik karena tidak pernah diekspos oleh

media-media arus utama; sekaligus menjadi atribut perlawanan terhadap dominasi dan

hegemoni negara. Dengan kata lain, dokumenter itu politis (bdk. Juliawan, 2015).

Dalam sebuah kesempatan diskusi daring pada 26 Mei 2020, Max Binur menuturkan

bahwa gerakan budaya untuk menyuarakan suara masyarakat adat Papua sudah ada sejak

berdirinya Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-IRJA) di tahun 1980-

an sampai 2019. Akan tetapi, semua hasil dokumentasi dalam bentuk laporan penelitian,

survei, buku-buku, foto-foto, maupun video sangat sulit untuk ditemukan karena sangat

sedikit yang dipublikasikan ke masyarakat luas. Di sisi lain, hampir semua dokumentasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

82

tersebut hanya dijadikan sebagai koleksi atau milik pribadi maupun lembaga saja sehingga

sangat sulit untuk diakses secara luas oleh orang lain.

Selain itu, dengan merujuk pada perjalanan sejarah Papua sejak terjadinya transisi

status politik yang berdampak pada perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, serta menjadikan

Papua sebagai ‘wilayah konflik’ sampai dengan hari ini; banyak persoalan kemanusiaan

maupun lingkungan jarang didokumentasikan dan dipublikasikan. Karena itu, PV sebagai

sebuah lembaga yang berkarya di bidang dokumenter, hadir untuk ikut serta merekam suara-

suara masyarakat adat di Papua dalam bentuk film dokumenter dan video jurnalis untuk

dipublikasikan ke masyarakat luas. Dengan demikian, suara-suara orang Papua dapat

didengar, dilihat dan dipahami secara baik, benar dan berimbang. Dalam hal ini, PV

berkontribusi dalam menciptakan peluang politik gerakan budaya melalui sebuah perspektif

baru yang menempatkan orang Papua sebagai subjek dalam melihat dan menentukan masa

depan alam dan manusia Papua, serta mendorong kolegialitas untuk mengakhiri

ketidakadilan struktural di Papua.

Menurut Irene Fatagur, anggota PV wilayah Keerom, film dokumenter adalah media

paling efektif untuk menumbuhkan pengetahuan sekaligus membangkitkan kesadaran kritis

masyarakat; terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan dunia baca-tulis. Dengan

menonton dokumenter, seseorang atau sekelompok orang dapat mengetahui persoalan-

persoalan yang sedang melanda alam dan sesama manusia Papua, lalu tumbuh rasa solider

untuk membangun kekuatan akar rumput agar persoalan yang sama tidak terulang lagi di

masa mendatang. Monaliza Upuya juga menambahkan tentang pentingnyadokumenter

sebagai bagian dari seni perlawanan tanpa kekerasan untuk menepis beberapa penalaran yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

83

timpang tentang orang Papua, seperti separatis, terbelakang, pemberontak, dan berbagai jenis

stigma lainnya; termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada

kelestarian alam dan hak-hak hidup orang Papua. Lebih jauh, Upuya menegaskan bahwa

manusia dan alam Papua punya martabat yang sama tingginya di mata semua orang sehingga

perlu dirawat dan dihormati oleh siapa pun.

Merujuk pada klaim-klaim kebenaran tentang arti dan manfaat film dokumenter

tersebut, dapat saya katakan bahwa: pertama, dokumenter menjadi instrumen penting dalam

mengartikulasikan berbagai persoalan lokal yang luput dari perhatian media-media massa

arus utama maupun para pengambil kebijakan di Papua. Kehadiran PV turut melengkapi

pemberitaan media lokal serta mempengaruhi agenda politikpemerintah. Kedua, dokumenter

punya kemampuan untuk mengaktifkan dimensi afeksi para penonton pada hal-hal yang tidak

tampak dan tidak terdengar oleh publik; sekaligus memunculkan tanggung jawab moral para

penonton ketika menyaksikan individu yang diperlakukan tidak setara atau kehilangan hak-

hak sipil dan politiknya. Ketiga, dokumenter jugamenciptakan agensi para korban yang

mengalami pembisuan akibat represi struktural serta mampu membangkitkan kepercayaan

diri masyarakat untuk menyuarakan pengalaman ketidak-adilan yang dialami. Keempat,

dokumenter membuka ruang diskusi bagi masyarakat ketika realitas atau persoalan sosial dan

politik dihadirkan kembali dalam bentuk audio-visual sehingga memudahkan proses

pemahaman atas persoalan yang kompleks serta bagaimana menyikapinya. Kelima,

dokumenter memiliki kapasitas sebagai katalis bagi perubahan sosial. Ia menjadi bagian dari

advokasi atau pemberdayaan masyarakat serta menjadi cinemaof responsibility yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

84

menuntut tanggung jawab pemegang otoritas kebijakan agar akuntabel dalam menjamin

pemenuhan hak-hak hidup warga masyarakat.

2. Antagonisme dan Hegemoni Tandingan dalam Dokumenter

Satu hal menarik dari kerja gerakan sosial baru (new social movement) adalah bentuk

peran baru yang dimainkan oleh apara aktor penggeraknya. Mereka mampu

mengartikulasikan berbagai konflik sosial yang tersebar di mana-mana dan tampak tak saling

berkaitanmenjadi relasi-relasi yang saling berhubungan (Laclau dan Mouffe, 2008: 235).

Mengutip pernyataan Wittgenstein (dalam Laclau dan Mouffe, 2008: 189), mereka mampu

memperlihatkan apa yang tak terkatakan. Selain itu, sebagai sebuah gerakan massa, ia

bukanlah ide tentang pengelompokkan secara arbitrer dari masing-masing keluhan dan

tuntutan ke dalam satu kategori tunggal berbasis kelas seperti buruh. Kekhasannya ada

padakemampuan para aktor membentuk kesatuan identitas kolektif di tengah kompleksitas

perjuangan yang bersifat partikular, seperti gerakan perempuan, lingkungan, pemuda, etnis,

anti-otoritarian dan lain sebagainya. Singkatnya, gerakan sosial baru adalah medan

konstruksi subyek politik ketika posisi suatu subyek dinegasikan oleh praktik atau wacana

sehingga menciptakan bentuk-bentuk ketimpangan baru yang bersifat antagonistik (Laclau

dan Mouffe, 2008: 235). Dalam kondisi tersebut, pembingkaian kultural (cultural framing)

yang didasarkan pada kondisi sosial historismenjadi salah satu faktor penentu bagi setiap

individu maupun kelompok untuk mengambil posisi subyek (subject position) tertentu,

membentuk identitas kolektif, dan membangunspirit dan simpati gerakandi dalam apa yang

disebut sebagai perang posisi: kontestasi makna (bdk. Sukmana, 2016: 206).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

85

Berangkat dari kondisi-kondisi sosial historis Papua, di mana adaketimpangan-

ketimpangan sosialyang disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang kontadiktif berikut

penyesatan opini publik tentang Papua lewat media-media massa arus utama, PV hadir untuk

memberi prespektifbaru. Dengan menggunakan film dokumenter sebagai media penggerak,

para aktivis PV membangun narasi-narasi yang tidak jauh dari pengalaman hidup sehari-hari

orang Papua untuk menunjukkan kondisi alam dan manusia Papua secara faktual. Tak hanya

sampai di situ. Produk-produk narasi yang dikemas secara dokumenter tersebut dijadikan

bahan kampanya maupun advokasi bagi semua kalangan masyarakat di Papua maupun di

luar Papua. Tujuannya adalah menciptakan makna baru tentang Papua di tengah hegemoni

media massa arus utama agar penonton dapat menentukan sikap dan tindakan politik dalam

sebuah relasi sosial yang antagonistik.

Meminjam pendapat Della Porta dan Diani (2006: 93), gerakan semacam ini dapat

terjadi ketika para aktor penggerak mampu mengembangkan kemampuannya untuk

mendefinisikan diri mereka sendiri di hadapan aktor sosial lain, serta mampu menopang

hubungan timbal balik (mutual relationship) di antara mereka. Selain itu, sebagai medan

pembentukan subjek-subjek politik dan penggalangan solidaritas di dalam identitas kolektif

yang hegemonik, dokumenter juga berfungsi membangun komitmen bersama untuk

melakukan transformasi sosial menuju perubahan yang menyelamatkan alam dan manusia

Papua. Caranya adalah mengkonsolidasi dan memobilisasi setiap kepentingan, nilai,

perasaan dan tujuan masing-masing penonton agar menjadi milik bersama di dalam gerakan

menggugat ketimpangan, merawat Papua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

86

Proses transisi dari partikularitas keluhan dan kehendak menjadi tuntutan yang

bersifat universal mengharuskan adanya transformasi intelektual dan moral masyarakat sipil

agar semakin banyak orang ikut serta di dalam gerakan. Transformasi yang dimaksud

Gramsci adalah reformasi intelektual dan moral setiap individu yang terlibat (Simon, 2004:

61). Dalam konteks gerakan budaya PV, transformasi moral dan intelektual terjadi melalui

media film dokumenter ketika aktivitas menonton dan diskusi filmbersama warga massa

berhasil membangkitkan kesadaran baru orang Papua untuk dapat melihat diri dan dunia

sekitar secara kritis. Harapannya, setiap orang mau menolak wajah dirinya yang ditetapkan

dari luar secara pasif dan pasrah lalu memilih wilayah aktivitasnya sendiri, menjadi

pembimbing aksi, ikut berpartisipasi dalam menciptakan sejarahnya sendiri, serta turut ambil

bagian dalam menentukan masa depan diri dan dunianya.

Gambar 6: Poster dan kegiatan nonton film bersama masyarakat

(Sumber: engagemedia dok.)

Untuk sampai kepada gerakan budaya yang hegemonik, pertama-tama para aktivis

PV juga memiliki tanggung jawab intelektual dan moral-etis dalam memobilisasi dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

87

mengorganisir partikularitas kekuatan sosial yang ada menjadi kehendak dan tuntutan

kolektif yang bersifat universal. Maksudnya adalah partikularitas pengalaman yang

terfragmentasi dan bertebaran di mana-mana – entah dalam bentuk pengalaman langsung

para penonton di dalam kehidupan sehari-harinya maupun gambaran kondisi sosial yang

diangkat dalam bentuk narasi film dokumenter – ditelaah dan dieksplorasi lebih jauh dalam

konteks yang lebih luas, misalnya situasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang turut

melahirkan kesenjangan di Papua. Jadi, dalam hal ini proses pemaknaan baru tentang Papua

terjadi ketika ada interaksi antara teks (film dan pengalaman hidup) dengan pembacanya

(penonton), di mana momen konsumsi (menonton dan berdiskusi) menjadi momen produksi

makna (bdk. Barker, 2004: 12). Melalui cara-cara demikian, PV mampu membangkitkan

kesadaran kritis dan memenangkan konsensus para penonton, serta memperoleh dukungan

dari masyarakat sipil untuk sebuah gerakan budaya yang memperjuangkan transformasi

sosial di Papua.

E. Rangkuman

Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa dinamika gerakan budaya yang

diperjuangkan PV berangkat dari hubungan antagonistik dalam hal pembingkaian kultural

tentang Papua antara cerita ‘tentang’ Papua dengan cerita ‘dari’ Papua. Sambil bercermin

juga pada kondisi sosial historis yang berhubungan dengan alam dan manusia Papua di dalam

pengalaman sehari-hari, para aktivis PV juga menggalang solidaritas ke-kita-an dan

memobilisasi setiap keluhan dan tuntutan ke dalam sebuah identitas kolektif bernama Suara-

Suara Orang Papua. Di dalam identitas itulah, partikularitas tuntutan diarahkan menuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

88

tuntutan universal yang mengatas-namakan keberpihakan pada alam dan manusia Papua

yang adil, damai dan lestari sesuai dengan visi dan misi PV. Untuk sampai pada sebuah

gerakan budaya yang hegemonik, PV memilih film dokumenter sebagai media artikulasi

berbagai kerja politik di tingkat lokal maupun global. Produksi film dokumenter tidak lagi

menjadi kerja seni semata, tetapi juga kerja politik untuk mewujudkan demokrasi kerakyatan

di akar rumput.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya film dokumenter yang menjadi bagian dari kerja seni

dan politik turut ambil bagian di dalam proyek emansipasi karena sejatinya seni harus

mendekati persoalan untuk dapat diketahui dan dibentuk seturut realitas empiris. Dalam

konteks perjuangan mewujudkan kerja politik kebudayaan, bagi PV seni tidak semata-mata

hanya bersentuhan dengan urusan estetika saja, tetapi ia juga berpihak pada kenyataan bahwa

masih ada banyak ketimpangan sosial di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Papua.

Atau dalam pengertian lain, bagi PV seni sebagai sebuah “kredo” yang berani tunduk pada

realisme sosialis tanpa mendewakan aspek estetikanya. Sudah sepatutnya seni sepatutnya

menjungjung tinggi tanggung jawab sosial para pekerja seni untuk terlibat di dalam gerakan

pembebasan dari segala bentuk ketidak-adilan yang menimpa banyak orang. Itulah alasan

kenapa film dokumenter menjadi teks yang membicarakan realitas yang tak terkatakan. Film

dokumenter bukan lagi menjadi representasi seorang individu atau kelompok sosial tertentu

saja, melainkan merepresentasikan kepenuhan suatu masyarakat yang masih absen akibat

pengalaman represi yang dialami secara terus-menerus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

89

BAB IV

KONTESTASI MAKNA DAN PERJUANGAN DEMOKRASI KERAKYATAN:

SEBUAH MODEL GERAKAN SOSIAL BARU

A. Pengantar

Satu gagasan pokok yang merarik dari sejumlah tesis yang diajukan Gramsci dan

Laclau-Mouffe perihal gerakan sosial adalah politik kepemimpinan yang dijalankan oleh

para aktor penggerak dalam memperjuangkan demokrasi kerakyatan. Perlu digaris-bawahi

bahwa subjektivitas para aktor penggeraklahir dan tumbuhdi dalam kondisi sosial-historis

tertentu. Bertolak dari realitas yang dihadapi, setiap aktor mengambil subject position

tertentu dari sejumlah hubungan yang antagonistik di dalam masyarakat lalumembentuk

sebuah identitas kolektif yang didasarkan pada universalitas kehendak dan tuntutan.Hal

terpenting yang perlu dilihat dalam hal kedudukan dan peran para aktor tersebut adalah kerja-

kerja politik yang dimulai dari konstruksi wilayah kesadaran setiap individu demi

keberlangsungan sebuah gerak perlawanan yang hegemonik.

Bagian ke-empat tesis ini merupakan bagian terakhir yang saya anggap penting dan

tak terpisahkan dari seluruh rangkain pembacaan atas logika politik gerakan budaya di

pusaran PV.Dengan merujuk pada gagasan intelektual organik milik Gramsci dan agen sosial

baru milik Laclau-Mouffe, bagian ini dimaksud untuk menelaah kedudukan dan fungsi para

aktivis PV dalam rupa-rupa kerja politik memperjuangkan demokrasi kerakyatan; sebuah

model gerakan sosial barudi Papua. Secara spesifik, bagian ini dimaksud untuk menunjukkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

90

bagaimana para aktivis PV menjalankan politik kepemimpinan yang berfokus pada proses

pemaknaan dan mobilisasi massa berdasarkan peluang politik sebuah gerakan.

B. Politik Kepemimpinan di Dalam Tubuh Papuan Voices?

Untuk memahami logika politik gerakan sosial atau yang saya sebut dalam tesis ini

sebagai gerakan budaya, kedudukan dan peran para aktor penggerak adalah kunci utama yang

perlu ditelusuri dalam kaitanya dengan keberlangsungan sebuah aktivisme. Mereka adalah

elemen penting yang menjadi penentu berhasil atau tidaknya sebuah gerakan, hegemonik

atau tidaknya bangunan identitas kolektif yang dibangun, serta tercapai atau tidaknya

universalitas kehendak maupun tuntutan yang diusung.Lantas, prinsip dasar apa saja yang

perlu diperhatikan perihal politik kepemimpinan di dalam upaya membangun sebuah gerakan

yang hegemonik? Menjawab pertanyaan tersebut, saya memulai pembahasan pada bagian ini

dengan berangkat dari gagasan Gramsci tentang konstruksi wilayah kesadaran, peran dan

kedudukan intelektual organik, serta proses pembentukan subjek politik bagi setiap agen

sosial baru yang digagas Laclau-Mouffe.

Menurut pandangan Gramsci, hegemoni kaum borjuis melalui konsensus yang

diterima kelas pekerja pada dasarnya bersifat pasif. Kemunculan konsesnsus bukan karena

kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada sebagai keinginan mereka,

melainkan terjadi karena mereka kekurangan basis konseptual untuk membentuk kesadaran

kritis yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial secara efektif. Persoalannya ada

pada kemampuan kaum borjuis dalam menetralisasi pertentangan dan mengaburkan sifat-

sifat subordinasi maupun eksploitasi yang ada di dalam masyarakat. Itulah alasan kenapa

watak konsensus massa dalam masyarakat post-industrial disebut Gramsci sebagai kesadaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

91

yang kontradiktif (contradictory consciousness). Maksudnya adalah hegemoni yang

dijalankan kelompok borjuis hanya merupakan hasil dari sebuah konsensus yang samar-

samar. Menurut Gramsci, persoalan tersebut disebabkan oleh dua hal, yakni pendidikan di

satu pihak dan mekanisme kelembagaan di pihak lain. Pendidikan tidak pernah menyediakan

kemungkinan bagi setiap orang untuk membangkitkan kemampuan berpikir kritis dan

sistematis. Selain itu, mekanisme kelembagaan seperti sekolah, gereja, partai politik, dan

tentu saja media massa menjadi perpanjangan tangan kelompok penguasa untuk menentukan

dan menerapkan ideologi penguasa guna membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan

harapan seturut sistem yang telah ditentukan kelompok penguasa (Partia dan Ariel, 1999:

126-128).

Dalam Prison Notebooks dan terutama dalam Gli Intellettuali, Gramsci memberi

penekanan pada pentingnya peran kaum intelektual dalam sebuah kelompok sosial. Menurut

Gramsci, peran dari kaum intelektual adalah menanamkan homogenitas dan membangkitkan

kesadaran kritis bagi setiap anggota kelompok sosial untuk menentang hegemoni kelompok

dominan. Kesadaran kritis yang dimaksud Gramsci adalah sebuah kesadaran baru tentang

adanya sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan, eksploitasi dan berbagai sistem

sosial yang tidak adil lainnya, seperti struktur kelas, relasi gender maupun rasisme. Selain

itu, kesadaran kritis juga menyangkut fungsi moral-intelektual yang bergerak melampaui

medan ekonomi dan mencakup level sosial, budaya dan politik (Gramsci, 1976: 5; Gramsci,

2017: 130; Pozzolini, 2006: 144).

Artinya, sebagai bagian dari gerakan sosial baru, gerakan budaya yang diperjuangkan

PV tidak lagi jauh pada satu logika tunggal, di mana faktor ekonomi sebagai base-srtucture

yang menentukan dan mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

92

dalam aktivisme PV tidak ada faktor determinan tunggal, karena titik pijak dan tujuan

gerakan sangat dipengaruhi oleh multiplisitas kondisi sosial-historis yang dianggap timpang

dan menuntut perubahan melalui beragam cara menggugat. Dalam hal ini, di mata para

aktivis PV, selain menjadi media artikulasi bagi orang Papua dalam mengaktualisasikan

pengalaman hidupnya, film dokumenter juga menjadi media pendidikan politik atau yang

disebut Gramsci sebagai popular education bagi semua kelompok masyarakat yang ada di

Papua. Dokumenter tidak lagi terbatas pada kerja seni semata, tetapi menjadi medan

kontestasi makna yang paling otentik tentang alam dan manusia Papua di hadapan publik;

sekaligus menjadi medan perjuangan mendapatkan keadilan di bidang HAM, demokrasi,

politik, budaya, gender dan tentu saja alam lingkungan yang menjadi bagian tak terpisahkan

dari sejarah peradabannya (Lihat Visi dan Misi PV dalam Statuta Papuan Voices, 2018: 1-

2).

Perihal kedudukan dan fungsi intelektual manusia di dalam kehidupan

bermasyarakat, Gramsci memberi kritik yang sangat tajam dan mendasar bagi sebuah upaya

transformasi moral-intelektual. Baginya, semua manusia adalah kaum intelektual, namun

tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya di dalam masyarakat (Gramsci,

1976:9). Dalam artian yang ketat, kaum intelektual adalah adalah sebuah kelompok sosial

yang secara khusus menjalankan fungsi-fungsi organisasi di ranah kebudayaan, sosial-politik

dan produksi (Pozzolini, 2006: 145-146). Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari

kelompok lain yang cenderung mengkalim diri sebagai kaum intelektual publik yang

dikategorikan Gramsci sebagai intlektual tradisional. Oleh karena itu, dalam kerja politiknya,

mereka tak lagi mendasarkan diri pada retorika dan kefasihan yang mampu menggerakkan

perasaan dan hasrat orang secara eksternal dan bersifat momental, tetapi menjadi aktor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

93

pembangun, organisator, inspirator dan penggerak yang turut berpartisipasi secara aktif

dalam kehidupan praksis sehari-hari masyarakat (Gramsci, 2017: 137).

Berkaitan dengan itu, patut saya katakan bahwa peran dan kedudukan para aktivis

gerakan budaya di pusaran PV adalah wujud nyata kaum intelektual organik masa kini.

Mereka layak disebut sebagai kelompok intelektual organik, karena mampu menghubungkan

aktivisme yang diperjuangkan dengan situasi konkret masyarakat; tempat mereka tumbuh

dan bergerak. Mereka juga menjadi pejuang militan yang tidak hanya memahami, tetapi juga

turut mengalami persoalan yang dihadapi orang Papua serta terus berupaya menghidupkan

perjuangan politik dan budaya melawan berbagai bentuk ketimpangan sosial yang

mengancam kehidupan alam dan manusia Papua. Selain itu, kehadiran dan aktivitas politik

yang dijalankannya juga menjadi bentuk kritik terhadap hilangnya rasa kemanusiaan pada

kelompok intelektual lain yang biasa memakai jargon ‘anak asli Papua’ untuk melegitimasi

kedudukan dan perannya sebagai elit politik, akademisi atau tokoh agama maupun aktivis

yang begitu getol berangan-angan tentang masa depan Papua, tetapi tak punya taring dalam

memperjuangkan pemenuhanhak-hak hidup orang Papua.

Membenarkan pernyataan tersebut, Bernard Koten selaku Koordinator Umum PV

periode 2018-2021 dalam sebuah kesempatan wawancara pada 16 Maret 2020, menuturkan

bahwa Papua hari ini menjadi medan penjajahan model baru yang dikenal dengan nama

neokolonialisme. Orang-orang yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi orang

Papua begitu mudah digiring untuk menjadi bungkam terhadap ketidak-adilan dan turut

mengamini penindasan. Atribut seperti ‘anak asli Papua’ hanya menjadi pelicin dalam usaha

merebut jabatan dan kekuasaan yang pada gilirannya menjadi peluang meraup keuntungan

pribadi maupun kelompoknya yang memiliki kepentingan yang sama. Mereka tidak memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

94

sikap politik yang konsisten karena menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan

orang Papua. Segala aktivitas polititknya tidak berkiblat pada aspirasi masyarakat, tetapi

kepentingan ekonomi politik para antek kapitalis maupun neolib yang bermain peran di balik

slogan ‘NKRI harga mati’. Oleh karena itu, kehadiran PV dan aktivitas gerakan budayanya

menjadi sesuatu yang penting demi merangkul orang-orang yang sungguh memiliki

kepedulian yang tinggi serta gigih dalam memperjuangkan keadilan sosial dan kelestarian

alam.

Dalam pengamatan saya, melalui media film dokumenter, para aktivis PV tengah

berjuang menerapkan pendidikan politik di tingkat akar rumput dalam rangka mendukung

tumbuh-kembangnya gerakan demokrasi kerakyatan yang tentu saja berbeda haluan ideologi

dengan demokrasi versi negara yang lebih pro-aktif terhadap kepentingan kapitalisme dan

neoliberalisme. Sebagai aktor penggerak, mereka memiliki beragam strategi yang mampu

menginspirasi dan mengorganisir massa untuk turut ambil bagian di dalam gerakan orang

Papua bercerita melalui media film dokumenter. Berdasarkan laporan tahunan sejak 2017-

2019, para aktivis PV memiliki program pelatihan audio-visual (film dokumenter dan video

jurnalis) bagi setiap anggota baru di setiap wilayah kerjanya masing-masing; termasuk

kelompok-kelompok masyarakat seperti perempuan, pemuda, mahasiswa maupun individu

yang memiliki keinginan yang kuat untuk bergelut di dunia dokumenter.

Prinsipnya adalah melahirkan semakin banyak sineas Papua yang mumpuni dalam

mengartikulasikan berbagai bentuk pergumulan hidup orang Papua bersama alamnya. Jadi,

tidak ada semacam ikatan yang didasarkan pada perjanjian tertentu antara seorang individu

atau sekelompok orang dengan pihak PV demi menjaga kuantitas atau kualitas keanggotaan

PV. Masing-masing individu diberi kebebasan menentukan pilihan politiknya untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

95

bergabung dengan PV secara institusional atau terpisah tanpa ada ikatan apa pun, karena hal

utama yang mau dicapai dari aktivisme semacam ini adalah regenerasi kaum intelektual

organik di Papua yang mampu menciptakan sejarahnya sendiri. Melalui cara demikian, setiap

generasi diharapkan mampu menjadi aktor penggerak massa di tingkat akar rumput untuk

membangun kontra hegemoni terhadap setiap diskursus dominan seperti globalisasi,

developmentalisme yang tidak demokratis dan tidak berkeadilan sosial. Di tangan mereka,

popular education akan terus berlanjut dalam rangka membangkitkan kesadaran kritis setiap

warga massa yang menjadi dasar bagi demokratisasi (baca: demokrasi kerakyatan) di Papua

dari masa ke masa.

Sebagai misal,untuk menjamin keberlangsungan gerakan budayanya, para aktivis PV

selalu menyediakan ruang dan waktu yang cukup untuk melaksanakan program kegiatan

tahunan, seperti nonton dan diskusi film di komunitas-komunitas masyarakat,

penyelenggaraan Festival Film Papua (I-III), atau workshop dan pelatihan, yang temanya

relevan dengan konteks kehidupan orang Papua. Tujuan yang hendak dicapai adalah

penguatan organisasi di satu sisi, dan gerak perlawanan di sisi yang lain. Melalui cara-

carademikian, mereka punya keyakinan yang kuat bahwa kehendak dan tuntutan yang

diusung dapat dicapai dan gerakan akan menjadi semakin hegemonik. Dengan kata lain,

politik kepemimpinan yang dihidupi PV berorientasi pada terwujudnya emansipasi yang

dilandasi oleh perubahan besar-besaran pada ranah kesadaran serta mampu menciptakan

kohesivitas dan transformasi massa baik secara psikologis maupun teknis.

Selanjutnya, untuk melengkapi sudut pandang politik kepemimpinan di tubuh PV,

bagian ini dimaksudk untuk meninjau lebih jauh tentang proses pembentukan subjek politik

di dalam aktivisme yang dihidupi para aktor penggerak PV dengan menggunakan pendekatan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

96

yang ditawarkan oleh Laclau-Mouffe. Dalam pandangan mereka, kerja politik

kepemimpinan tidak terlepas dari proses pembentukan subjek-subjek politik yang pada

gilirannya mengambil posisi subjek tertentu untuk menentang bentuk-bentuk subordinasi

baru yang kadang tak disadari secara utuh. Dengan merujuk pada pemahaman Lacanian,

menurut Laclau-Mouffe, proses pembentukan subjek politik tidak pernah mencapai

kepenuhannya, tetapi justru subjek dialami sebagai dislokasi, decentred, dan split. Artinya,

dalam proses pembentukan subjek melalui konstruksi wilayah kesadaran (transformasi

moral-intelektual), setiap individu belum sepenuhnya menjadi bagian dari struktur yang

dibangun, karena masih ada jarak antara kehendak yang diperjuangkan dan kenyataan yang

dihadapi. Posisi yang diambil pun tidak tetap atau terpusat, karena sangat bergantung dan

menyebar mengikuti wacana yang mengitarinya. Itulah alasan kenapa subjek politik yang

memperjuangkan keutuhan (fullness) disebut sebagai subject of lack atau split. Di satu sisi,

subjek menduduki posisi tertentu, tetapi di sisi lain terkandung keutuhan yang absen atau

tidak hadir. Jadi, keutuhan subjek politik yang absen tersebut hanya dapat dipahami melalui

bentuk-bentuk artikulasi yang mengusung kehendak dan tuntutan menuju kepenuhannya

(Lih. Sunardi, 2012: 26-28).

Dalam konteks PV, politik kepemimpinan yang dijalankan melalui popular education

adalah bentuk lain proses pembentukan subjek politik. Dengan memanfaatkan kemampuan

mempengaruhi perilaku massa, terutama pada ranah kesadaran setiap individu, para aktor PV

berupaya menunjukkan secara faktual posisi orang Papua di bawah bayang-bayang

subordinasi, marginalisasi dan penindasan model baru. Sebagai bahan refleksi bersama

masyarakat, film dokumenter ditayangkan dan didiskusikan lalu dikorelasikan dengan

pengalaman hidup sehari-hari mereka untuk menemukan persoalan-persoalan yang dianggap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

97

mengancam masa depan manusia dan alam Papua. Persis dalam momen ini, setiap penonton

diajak untuk menemukan posisi mereka sebagai subject of lack di hadapan berbagai model

konstruksi yang dengan sengaja membentuk mereka untuk tunduk pada kekuatan utama

(negara dan korporatismenya). Dalam pengertian lain, para penonton diantar untuk

menyadari dirinya sebagai subjek yang tidak pernah menemukan kepenuhan karena semua

hal yang dihasrati sedang direpresi bahkan ditenggelamkan secara sistemik maupun normatif.

Situasi semacam inilah yang menyebabkan orang Papua hidup di bawah bayang-bayang

pembodohan massal tanpa punya kesadaran yang kritis untuk memahami realitas hidupnya

lalu bangkit dan melawan berbagai model ketidak-adilan sosial yang terus berlanjut. Sudah

saatnya orang Papua menyadari faktayang sesungguhnya terjadi agar dapat mengambil posisi

tertentu sesuai kehendak dan tuntutan yang ingin diperjuangkan.

Perlu dicatat bahwa kehendak dan tuntutan yang lahir bersamaan dengan kesadaran

kritis untuk melawan bukan bersifat terberi (given), melainkan diciptakan dan dikonstruksi

oleh aktor penggeraknya. Artinya, para aktivis PV punya peran yang besar dalam hal

penerapan gaya politik kepemimpinan untuk menyuburkan perjuangan demokrasi kerakyatan

di Papua. Mereka mampu menerjemahkan berbagai peristiwa hidup yang bersifat menindas

dan eksploitatif ke dalam bahasa yang umum dan mudah dipahami sambil melakukan

konsolidasi kekuatan baru untuk sedapat mungkin menyelesaikan persoalan-persoalan yang

dihadapi orang Papua, entah pada skala lokal maupun nasional. Mereka juga memberi ruang

seluas-luasnya bagi orang Papua untuk memperjuangkan perubahan sosial seperti

pemenuhan hak-hak hidup dan kelestarian alam melalui sejumlah agenda reformasi yang

dijalankan. Melalui cara demikian, upaya merebut kepercayaan, konsensus dan dukungan di

dalam masyrakat dapat terwujud. Dan tentu saja pola regenerasi model ini memberi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

98

sumbangan berarti bagi bertumbuh suburnya kaum intelektual organik atau yang disebut

Laclau-Mouffe sebagai agen sosial baru dalam mengatasi krisis organik serta menumbuhkan

gerakan budaya secara masif dan hegemonik di Papua.

C. Kontestasi Makna dan Perjuangan Demokrasi Kerakyatan

Sebagaimana yang telah saya tegaskan di bab ketiga tesis ini bahwa gerakan budaya

yang dilakukan PV bukan pertama-tama untuk menumbangkan kekuasaan negara, melainkan

sebagai upaya war of position di dalam kontestasi makna tentang alam dan manusia Papua

di antara dua versi narasi yang berbeda, yakni cerita ‘tentang’ Papua dan cerita ‘dari’ Papua.

Di samping itu, gerakan budaya ini juga dimaksud untuk menumbuh-kembangkan

perjuangan demokrasi kerakyatan di Papua, di mana kedua-duanya menjadi model gerakan

sosial baru di era post-industrial. Pada bagian ini akan ditunjukkan bagaimana kontestasi

makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan tersebut berlangsung di balik kerja-kerja politik

yang dilakukan oleh para aktivis PV melalui tiga pendekatan utama studi gerakan sosial,

yakni pembingkaian kultural (cultural framing), struktur mobilisasi (mobilizing structures),

dan peluang politik (political opportunities).

1. Pembingkaian Kultural

Mengacu pada pendapat Goffman (1974: 12), pembingkaian kultural merupakan

proses yang digunakan oleh masyarakat untuk mereproduksi maka, seperti peran media

massa yang mengkonstruksi sebuah realitas yang diekspos. Dalam hal ini, analisis framing

juga dipakai untuk melihat bagaimana sebuah peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

99

(Soeyono, 2008: 42-42 dalam Sukmana, 2016: 201). Menurut Benford dan Snow (2000:

614), framing adalah upaya strategis untuk memahami manusia dan dunianya; sekaligus

melegitimasi dan memotivasi gerak perlawanan. Selain itu, framing juga merupakan cara

memberi makna pada sebuah peristiwa yang pada gilirannya berfungsi bagi massa aksi untuk

memahami pengalaman yang dialami dan membimbing tindakan perlawanan. Ia memiliki

kemampuan dalam hal memberi keyakinan dan makna yang menginspirasi dan melegitimasi

gerakan serta mewujudkan solidaritas ke-kita-an.

Framing atau pemaknaan dalam konteks gerakan budaya yang dilakukan PV berkaitan

dengan pengunaan film dokumenter sebagai media pembentukan makna baru tentang Papua

yang di dalamnya terdapat gambar dan suara tentang peristiwa, individu, kelompok, alam,

dan lain sebagainya. Dengan kata lain, realitas empiris dimaknai dan direkonstruksi ke dalam

bentuk media audio-visual (film dokumenter). Oleh karena itu, dapat dikatakan

bahwabercerita melaui media film adalah bagian dari politik signifikasi (the politisc of

signification). Dokumenter sebagai produk seni bisa menjadi perangkat kerja politik dalam

memproduksi makna baru yang punya daya transformasi wilayahkesadaran pada setiap

kelompok massa untuk mendapatkan kepercayaan, simpati, solidaritas, dan konsensus yang

menghasilkan opini publik yang sehat tentang Papua.

Untuk sampai pada pemahaman tentang makna-makna baru apa saja yang diproduksi

oleh PV melalui film-film dokumenternya, pada bagian ini akan diulas lima film utama, yakni

Ironic Survival (2011), Mama Mariode (2014), Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012),

Dipenjara (2018) dan Resep Pendidikan Papua (2018). Kelima film tersebut dianggap cukup

relevan dalam hal cara framing yang sangat bersesuaian dengan kondisi sosial-historis Papua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

100

serta punya kemasan narasi yang sangat kontras dengan narasi-narasi milik media-media arus

utama seperti yang telah diulas di bab kedua.

Pertama, Ironic Survival (2011)12. Dokumenter pendek berdurasi 05:46 ini bercerita

tentang sebuah ironi kehidupan yang dijalankan oleh Alex Mahuze dan keluarganya di

wilayah Merauke. Seperti kelompok suku lain di wilayah Papua, sagu di mata keluarga Alex

adalah makanan pokok orang Papua yang patut dijaga dan dilestarikan demi keberlangsungan

hidup mereka di masa mendatang. Akan tetapi, sejak hadirnya Merauke Integrated Food and

Energy Estate (MIFEE) di wilayah Merauke pada 2010, mereka mengalami banyak kendala

dalam beberapa aspek kehidupan.

Gambar 7: Alex Mahuze dalam salah satu frame di film Ironic Survival (2011)

Program MIFEE yang dicanangkan untuk meningkatkan ketahanan pangan justru

menjadi bencana bagi keluarga Alex. Hutan konservasi yang di dalamnya terdapat lahan sagu

12Film Ironic Survival (2011) dapat diakses di https://papuanvoices.net/2012/07/23/ironic-survival.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

101

dan berbagai sumber kebutuhan hidup orang Merauke dialih-fungsikan menjadi lahan

pertanian yang berorientasi pada kepentingan agrobisnis. Akibatnya, kehidupan keluarga

Alex terombang-ambing karena kehilangan ruang-ruang hidup tanpa ada jaminan dari pihak

perusahaan maupun pemerintah. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, mau

tak mau mereka menambang pasir di pesisir pantai lalu dijual demi mendapatkan uang.

Sungguh ironis! Harmoni kehidupan yang telah terjalin antara manusia dan alam Papua

selama ribuan tahun, terpaksa harus dirusak agar mereka dapat bertahan hidup. MIFEE telah

membuat mereka merasa lapar dan memaksa mereka untuk merusak alam yang adalah

sumber kehidupan sejak masa silam sampai saat ini dan di masa mendatang.

Dalam pengamatan saya, Urbanus Kiaf sebagai sutradaranya telah berhasil membuat

framing yang kontekstual, relevan dan tepat sasaran. Inilah gambaran kondisi sosial-historis

yang benar-benar sedang terjadi di Papua. Ada begitu banyak program pembangunan di

Papua yang diklaim mampu menyejahterakan masyarakat, tetapi faktanya manusia dan alam

Papua hanya menjadi objek jarahan atau sebatas menjadi pengais kehidupan dari remah-

remah proyek pembangunan di atas tanah ulayatnya. Dengan kata lain, pembangunan

nasional masih tetap bertolak dari watak pembangunan ekonomi neoliberal yakni privatisasi

dan pertumbuhan ekonomi. Ini membawa konsekuensi serius diantaranya, pendepakan

masyarakat lokal di satu sisi dan terintergasinya masyarakat lokal ke dalam pasar global.

Celakanya, perspektif semacam ini cenderung absen dalam pemberitaan media massa

dominan di Indonesia. Alih-alih menjadi corong yang menyuarakan aspirasi masyarakat,

media arus utama justru terjebak menjadi aparatus rezim yang bertugas memperkokoh

cengkeraman dan hegemoni negara di aras lokal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

102

Selain itu, film tersebut juga mengandung ktirik pedas sekaligus pesan politis bagi para

penonton. Tentu saja Urbanus tak sekedar ingin menunjukkan persoalan apa yang dialami

kelaurga Alex, tetapi mengajak semua pihak yang menyaksikan film tersebut untuk berpikir

keras tentang bagaimana seharusnya mengakhiri ironi kehidupan semacam itu serta

bagaimana memperlakukan alam sebagaimana mestinya.

Gambar 8: Mama Mariode Malak dalam salah satu frame di film Mama Mariode (2014)

Ya, seperti film Mama Mariode (2014)13 yang digarap oleh Agus Kalalu di wilayah

Sorong. Melalui sosok Maroide Malak dan Kefas Gisim yang ditampilkan di dalam film

tersebut, Agus berupaya membangkitkan kesadaran baru bagi setiap orang Papua untuk

berdiri di garda terdepan sebagai ‘tembok’ penjaga alam Papua dari kepungan investasi yang

terus berupaya membabat habis hutan adat milik mereka. Hutan adalah ibu yang memberi

kehidupan sehingga perlu dijaga keselamatannya demi keberlangsungan hidup setiap

13Film Mama Mariode (2014) dapat diakses di https://papuanvoices.net/2020/09/21/mama-mariode-2.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

103

generasi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu di masa lampau. Apa pun

tantangannya, alam harus tetap dijaga sampai titik darah penghabisan.

Kedua, Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)14. Film dokumenter pendek hasil

garapan Wenda Tokomonowir yang bekerjasama dengan Engage Media dan JPIC MSC

tersebut sempat menjadi topik perbincangan yang hangat karena berhasil menguak tragedi

kemanusiaan yang menimpah seorang gadis belia bernama Maria Goreti Mekiw (Eti).

Dokumenter ini berkisah tentang peliknya pengalaman hidup Eti tanpa kehadiran seorang

suami dan ayah bagi buah hatinya, Yani. Pada 2008, Eti pernah tertambat hatidengan seorang

prajurit TNI bernama Samsul yang saat itu bertugas di Kampung Bupul, Papua; sebuah desa

yang berada di wilayah perbatasan Negara Republik Indonesia-Papua New Guinea.

Di mata Eti, Samsul adalah orang yang baik, sopan dan bertanggung jawab. Setiap

kali berkunjung ke rumahnya, Samsul selalu membawakan biskuit, susu, beras, mie instant

dan ikan kaleng serta pakaian dan perlengkapan tidur buat keluarganya. Sepertinya Samsul

lihai dalam hal bujuk-rayu sehingga Eti berani menyerahkan diri dan bahkan sampai menaruh

rasa percaya yang tinggi padanya bahwa mereka akan menjadi suami dan istri di kemudian

hari.Tapi sayangnya, kisah cinta Eti bersama sang Prada itu ternyata tak bertahan lama dan

berujung sepi serta kecewa yang mendalam. Ketika masa tugas Samsul berakhir, ia pergi

meninggalkan Eti dalam keadaan ‘berbadan dua’ tanpa ada kabar lebih lanjut seperti yang

pernah ia janjikan. Eti sudah dua kali bersurat kepada Samsul, tetapi tak pernah dibalas. Saat

ini, Eti dan Yani masih menggantungkan hidupnya pada kedua orang tuanya yang tampak

kian menua sambil tetap menanti kabar baik datang menghampirinya. Melalui kisah Eti

14Film Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012) dapat di akses di https://papuanvoices.net/2012/08/03/love-

letter-to-the-soldier.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

104

tersebut, Wenda sebenarnya hendak menyodorkan sebuah model framing yang berbeda dan

khas tentang pengalaman hidup orang Papua dalam hubungannya klaim tentang militerisme

sebagai pendekatan keamanan. Dengan menempatkan Eti, seorang perempuan Papua sebagai

subjek ceritanya, Wenda membuka tabir baru, di mana ada sisi gelap dari proyek militerisme

di Papua yang hampir tak pernah disuguhkan olehmedia-media arus utama.

Gambar 9: Maria Goreti dan anaknya, Yani dalam sebuah frame di film

Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)

Sebagai pelengkap framing di dalam film tersebut, Wens Fatubun dalam sebuah

artikel bertajuk “Sepi Maria Tanpa Sang Prada”15 yang terbit di Harian IndoProgress pada

21 September 2010, juga menyuguhkan sebuah narasi yang lebih menukik perihal cara aparat

keamanan memperlakukan penduduk lokal di sana secara tidak manusiawi. Meskipun tidak

15Tulisan lengkap “Sepi Maria Tanpa Sang Prada” dapat diakses di indoprogress.com/2010/09/sepi-maria-

tanpa-sang-prada/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

105

semua prajurit melakukan hal yang sama, aktivitas mereka telah membuat orang Papua

merasa resah, takut dan bahkan trauma ketika mendengar atau berhadapan dengan sosok

bernama tentara atau polisi. Militerisme adalah nama buruk bagi perjuangan kemanusiaan di

Papua, karena selain Eti, masih ada kisah serupa yang dialami orang Papua lainnya di tempat

yang berbeda. Misalnya keluarga David Kabajai yang diceritakan Wens di dalam artikelnya.

Kasus pemerkosaan yang dilakukan seorang prajurit TNI bernama Viky terhadap istrinya

hanya diselesaikan dengan pendekatan yang tidak manusiawi. David dan keluarganya hanya

dibayar denda berupa uang tunai sebesar Rp250.000, meskipun ia terus menuntut agar Viky

segera dipecat dan dihukum.

Dalam kaitannya dengan itu, hemat saya, praktik militerisme di Papua selalu

menyisakan kubangan luka di setiap benak orang Paua. Ia seperti bencana yang terus

menggerus kehidupan sosial-budaya orang Papua serta menumbuhkan penyakit sosial yang

akut. Melaui kemasan narasi dokumenter semacam itu, diharapkan publik Papua maupun di

luar Papua diantar pada sebuah kesadaran baru bahwa ancaman terhadap keberlangsungan

hidup orang Papua perlu diakhiri. Sudah saatnya publik perlu kritis terhadap narasi-narasi

usang milik media-media arus utama sambil berkaca pada cerita-cerita ‘dari’ Papua untuk

menemukan kebenaran yang paling otentik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

106

Ketiga, Dipenjara (2018)16 karya Stracky Yally. Dengan menghadirkan sosok Yanto

Awerkion sebagai subjek filmnya, Stracky berupaya menepis stigma buruk yang biasa

dilekatkan pada para aktivis politik asal Papua yang sering dianggap separatis, pembangkang,

dan pemberontak yang layakdimusuhi negara.Meskipun sering mengalami represi dan

perlakuan kasar oleh aparat penegak hukum selama berada dalam masa tahanan, Yanto tetap

bersikukuh memperjuangkan hak-hak hidup orang Papua. Di mata Yanto, sumber daya alam

Papua adalah kekayaan yang patur dijaga untuk keberlangsungan hidup orang Papua, bukan

menjadi objek jarahan pemerintah dan konglomeratnya.

Gambar 10: Salah satu frame gambar di dalam film Dipenjara (2018)

Yanto dan teman-temannya yang melakukan aktivitas berkebun dan mendulang emas

di pesisir sungai dekat PT. Freeport yang ditampilkan di dalam film tersebut adalah bukti

16Film Dipenjara (2018) dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=UfoGBlbVuiI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

107

bahwa mereka tak ingin kalah berjuang di hadapan kuasa kapitalisme, imperealisme dan

neoliberalisme di atas tanah leluhurnya. Yanto bukanlah seorang separatis atau pemberontak,

tetapi seorang aktivis yang punya rasa kemanusiaan untuk mengakhiri penindasan, ketidak-

adilan maupun eksploitasi terhadap alam dan manusia Papua. Walaupun jiwa dan raga selalu

menjadi tumbal untuk sebuah perjuangan pembebasan, orang Papua tak boleh tunduk atau

menyerah di bawah tirani.

Keempat, Resep Pendidikan Papua (2018)17 karya Yosep Levi. Melalui film tersebut,

Levimengeritik buruknya sistem pendidikan di Papua. Melalui sosok guru Tri Ari Santi

beserta anak-anak didiknya di SDI Saminage, Kabupaten Yakukimo, Levi menunjukkan

bahwa anak-anak Papua memiliki potensi yang besar dalam hal pengetahuan. Mereka juga

memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sebagaimana para peserta didik di

daerah lain. Hanya saja mereka lebih membutuhkan pendidikan kontekstual yang bersesuaian

dengan tradisi dan kebudayaannya masing-masing, tempat mereka hidup, berkembang dan

berkarya di kemudian hari. Jika anak-anak dan gurunya dipaksa untuk patuh terhadap standar

kurikulum nasional, maka semua jerih-payah yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas

sumber daya anak-anak Papua menjadi sia-sia belaka. Mereka sama sekali tidak

membutuhkan cekokan ilmu yang telah diberi standar oleh pemerintah pusat karena dengan

cara demikian, pendidikan akan menjadi kebutuhan yang sentralistik dan menjauhkan

mereka dari konteks kehidupannya sehari-hari.

17Film Resep Pendidikan Papua (2018) dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=lRxBSo7lXxg

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

108

Gambar 11: Salah satu frame gambar di dalam film Resep Pendidikan Papua (2018) yang

menampilkan Ibu Ari dan para muridnya melakukan aktivitas belajar di alam terbuka

Bagi Levi, pendidikan mestinya berakar dan bersumber pada tradisi dan budaya yang

menjadi konteks kehidupan mereka sehari-hari. Pendidikan juga tak semestinya berlangsung

di dalam gedung sekolah dengan berbagai model perangkat belajar yang telah ditetapkan

negara. Pendidikan adalah tentang kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Ketika pendidikan

mengabaikan hal-hal tersebut, ia akan menjadi sebuah dunia baru yang penuh dengan

imajinasi tentang segala hal yang tidak pernah mereka temui di alam dan budaya orang

Papua. Akibatnya, pengetahuan akan menjadi sesuatu yang abstrak dan sulit untuk

dibayangkan dan dipahami di alam pikir peserta didik. Harapannya, film tersebutmembuka

mata publik untuk berani melawan wacana dan praktik pendidikan yang sentralistrik;

sekaligus memerangi berbagai bentuk stigma buruk tentang orang Papua yang masih

dianggap ‘terbelakang’ dan ‘liyan’ yang perlu diberadabkan oleh mereka yang mengklaim

dirinya lebih maju dalam hal segala aspek kehidupan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

109

Berdasarkan ulasan singkat atas beberapa film yang saya pilih tersebut, dapat saya

katakan bahwa para filmmaker PV berhasil menciptakan makna baru tentang alam dan

manusia Papua. Secara substansial, kemasan narasi serta pesan filmnya berbeda jauh dengan

narasi-narasi dominan yang biasa dikonsumsi publik di media-media arus utama, seperti

media-media online, televisi maupun film-film layar lebar sebagaimana yang telah saya ulas

di bab kedua tesis ini. Untuk menciptakan sebuah narasi film dokumenter, mereka selalu

berangkat dari pemahaman serta kedekatannya dengan pengalaman hidup sehari-hari orang

Papua.Meskipun tidak terlepas dari subejtivitas seorang filmmaker dalam membangun

sebuah story-telling, paling tidak mereka telah berhasil menyodorkan kepada publik cerita-

cerita ‘dari’ Papua secara lebih objektif dan punya klaim kebenaran.

Singkatnya, mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa alam dan manusia

Papua tidak bisa dipahami dari satu sudut pandang saja. Papua punya kompeksitas persoalan

yang menuntut banyak pihak untuk ambil bagian di dalam upaya mewujudkan keadilan sosial

bagi orang Papua serta menjamin kelestarian alam hidupnya di masa mendatang. Karena itu,

melalui kerja politik pemaknaan yang ada di dalam setiap film dokuemnter yang

diproduksinya, para aktivis PV terus mengupayakan konstruksi wilayah kesadaran semua

elemen masyarakat di Papua maupun di luar Papua. Sudah saatnya publik melihat realitas

Papua dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya sesuai harapan dan tuntutan yang terus

diperjuangkan oleh setiap generasi penerusnya.

2. Struktur Mobilisasi

Sebagai bagian dari aktivisme gerakan budaya, kontestasi makna dan perjuangan

demokrasi kerakyatan tidak berhenti pada tahap proses pemaknaan atau pembingkaian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

110

kultural atas sebuah realitas ke dalam frame-frame berbentuk audio-visual (dokumenter)

semata. Makna baru tentang alam dan manusia Papua yang diproduksi melalui film

dokumenter adalah prasyarat yang menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran kritis massa

sekaligus menjadi daya dorong untuk sebuah tindakan kolektif. Pada tahap ini terjadilah apa

yang disebut Della Porta dan Diani (2006: 93) sebagai pembentukan identitas kolektif yang

menjadi penuntun tindakan selanjutnya. Dengan bantuan para aktor penggerak, setiap

individu massa pada akhirnya dapat mendefinisikan siapa diri mereka, bagaimana

menempatkan diri sebagai subjek-subjek politik; baik secara internal maupun eksternal, di

dalam sebuah hubungan sosial yang antagonistik. Dengan kata lain, proses pemaknaan

adalah cara menggalang identitas kolektif untuk sedapat mungkin membangun spirit, simpati

dan solidaritas setiap anggota massa dalam mewujudnyatakan sebuah gerakan bersama yang

hegemonik. Persis dalam kondisi inilah, sebuah proses mobilisasi massa dapat dilaksanakan.

Untuk membangun basis gerakan yang berorientasi pada proyek emansipasi rakyat,

perlu dilakukan regrouping politik baru di luar demokrasi kepartaian yang lebih bercorak

partisipatoris. Di dalamnya ada langkah politik demokratis yang bertumpu pada sebuah

komunitas; sebuah bentuk politik identitas yang disatukan oleh cita-cita untuk menjaga

kedaulatan rakyat (popular sovereignity) agar rakyat sendiri mampu melaksanakan legislasi

politik dalam merencanakan aksi bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

Dengan melakukan pemberdayaan masyarakat dan pembaharuan sosial melalui pendidikan

politik, masyarakat pada akhirnya dapat mengenali masalah-masalah sosial, ekonomi,

politik, dan kebudayaan, sambil menumbuhkan politik kepemimpinan yang lebih peka

terhadap solidaritas dan keadilan sosial (Abdurachman, 2001 dalam Wacana XI/2002:

169).Selain itu, Pichardo (1988: 100 dalam Sukmana, 2016: 157) misalnya, melihat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

111

partisipasi massa di dalam sebuah gerakan sangat ditentukan oleh tiga elemen dasar, yaitu:

sumberdaya (resources), motivasi (motivation), dan lingkungan politik (political

environment). Dalam hal ini, keberhasilan sebuah gerakan sangat ditentukan oleh seberapa

banyak orang yang tergabung di dalamnya, bagimana peran aktor penggerak mengarahkan

mereka, apa saja yang siap dikorbankan, dan bagaimana mereka bertahan terhadap pihak

lawan (opponent) di tengah perjuangan mencapai tujuan.

Dalam konteks aktivisme di pusaran PV, memproduksi sebuah makna baru tentang

Papua melalui media film dokumenter tentu saja membutuhkan berbagai rupa sumberdaya.

Sebagai sebuah komunitas, PV terus berupaya menjaring serta mengembangkan kapasitas

para filmmakerdi Papua yang punya kepedulian besar terhadap kondisi sosial-historis Papua.

Menariknya, PV tidak mewajibkan semua orang yang terlibat dalam seluruh aktivismenya

untuk menjadi anggota tetap, tetapi memberi kebebasan bagi setiap orang untuk menentukan

pilihannya. PV hanya menjadi wadah yang mempersiapkan regenerasi serta peningkatan

kapasitas maupun jumlah filmmaker di Papuadengan mengadakan pelatihan-pelatihan dasar

dokumenter bagi komunitas-komunitas masyarakat yang ada di setiap wilayah kerjanya.

PV juga tidak hanya memperkuat sumberdayasecara internal, tetapi juga melibatkan

individu-individu maupun kelompok-kelompok yang ada di Papua maupun di luar sebagai

aktor pendukung aktivismenya. Sampai sejauh ini, PV terus menjalin solidaritas dengan para

filmmaker dari luar Papua, aktivis-aktivis dari berbagai bidang gerakan, ahli hukum, jurnalis,

maupun organisasi-organisasi sipil demi menjamin eksistensi dan kerja sama yang saling

melengkapi. Singkatnya, PV tetap konsisten menjamin keberlangsungan aktivismenya secara

internal maupun eksternal agar suara-suara orang Papua semakin banyak didengar oleh

dunia, serta transformasi dan perubahan sosial di Papua dapat terwujud.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

112

Akan tetapi, perlu diakui bahwa PV masih mengalami keterbatasan sumberdaya yang

berhubungan dengan biaya produksi dan distribusi film dokumenter. Sampai dengan saat ini,

PV belum sanggup melengkapi setiap anggotanya dengan fasilitas kerja film-making secara

memadai sehingga konsistensi, loyalitas dan tanggung jawab masing-masing individu dalam

memproduksi cerita-cerita ‘dari’ Papua benar-benar diuji. Tentu saja kedala semacam ini

sangat berpengaruh pada produktivitas di dalam tubuh PV. Selain itu, luas wilayah, ragam

bahasa dan budaya serta keterbatasan akses transportasi ke semua wilayah yang ada di Papua

juga menjadi kendala lain dalam proses produksi dan distribusi. Itulah alasan mendasar

kenapa PV terus mengupayakan pembentukan wilayah kerja di setiap daerah yang ada di

Papua agar dapat menghasilkan lebih banyak filmmaker maupun cerita-cerita yang selama

ini belum digarap.

Walaupun PV hidup dalam keterbatasan yang ada, para aktor penggeraknya terus

mengupayakan realisasi kerja-kerja politiknya. Masing-masing anggota PV yang tersebar di

sembilan wilayah kerja terus mengupayakan popular educationdengan cara mengadakan

nonton dan diskusi film dokumenter bersama warga setempat untuk merumuskan persoalan-

persoalan apa saja yang sedang melanda Papua serta bagaimana seharusnya mereka bersikap

untuk mengatasinya. Tak hanya sampai di situ. PV juga menyediakan platform khusus berupa

Website (www.papuanvoices.net), akun Youtube (Papuan Voices), maupun media sosial

seperti facebook (Papuan Voices), Tweeter (@papuan_voices), dan Instagram

(@papuanvoices)agar dapat diakses oleh publik di tingkat lokal maupun global. Selain itu,

PV juga terlibat dalam berbagai kegiatan di luar Papua, seperti program Roadshow bertajuk

“Tutut Ufuk Timur” yang diselenggarakan PV bersama Engage Media di enam kota yang

ada di Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Salatiga, dan Semarang) pada 17-26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

113

November 2018; termasuk mengikuti berbagai ajang festival film yang diselenggarakan di

dalam maupun luar negeri.

Dari sejumlah langkah strategis yang ditempuh para aktivis PV tersebut, saya

menemukan ada struktur kerja polilik yang bertujuan untuk membentuk sekaligus

memobilisasi makna baru tentang alam dan manusia Papua. yang termaktud di dalam setiap

aktivitas menonton atau mendiskusikan sebuah film dokumenter. Di dalam aktivitas

menonton atau mendiskusikan sebuah film dokumenter ada proses artikulasi, komunikasi,

negosiasi, dan investasi emosional tentang realitas Papua yang sebenarnya. Proses itulah

yang kemudian mendorong, memotivasi serta memobilisasi opini setiap individu untuk

menalar Papua secara lebih kritis. Dan dengan demikian, upaya menggalang dukungan,

simpati, serta konsensus dan kepercayaan dari publik menjadi suatu keniscayaan.

3. Peluang Politik

Salah satu aspek penting yang perlu ditelusuri dalam kaitannya dengan studi gerakan

sosial adalah peluang politik yang dipahami sebagai suatu keadaan yang memungkinkan

seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kerja-kerja politik dalam

memperjuangkan kepentingannya. Menurut Sydney Tarrow (dalam McAdam, et al., 2004:

41-44), peluang politik yang memicu tumbuhnya sebuah gerak perlawananmencakup dua

hal, yakni proximate opportunity structure dan state centered opportunity structure.Secara

sederhana, proximate opportunity structure dapat dipahami sebagai tanda atau sinyal yang

diterima dari sejumlah kebijakan yang berdampak pada terjadinya perubahan-perubahan di

dalam masyarakat. Sedangkan state centered opportunity berkaitan dengan berubahnya

sebuah sistem politik negara yang mempengaruhi dan menentukan ruang lingkup sebuah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

114

gerakan. Negara menjadi seperti arena persaingan natar kelas dalam memperjuangkan

kepentingan masing-masing kelas sehingga menimbulkan konflik-konflik sosio-politik di

dalamnya.

Munculnya kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan di balik gerakan

budaya PV tidak terlepas dari peluang-peluang politik yang mengitarinya. Di satu sisi,

sejumlah kebijakan dan praktik politik pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah

Indonesia tidak bersesuaian dengan aspirasi orang Papua. Pendambaan akan kesejahteraan

dan kemerdekaan di Papua hanya menjadi ilusibagi orang Papua, karena selalu ada konflik

horisontal maupun vertikal yang berujung pada pertumpahan darah dan kehilangan nyawa.

Alam dan budayanya pun terus tergerus oleh kepentingan kapitalisme neoliberal. Di mata

mereka, negara Indonesia melalui aparatusnya dinilai gagal membangun Papua.Di sisi yang

lain, persoalan-persoalan mendasar yang terjadi di Papua justru tidak diakuisisi di dalam

kemasan narasi media-media arus utama. Tampaknya, Orang Papua telah sampai pada

puncak krisis kepercayaan sehingga perlu ada upaya untuk membangun gerak perlawanan

menuntut hak-hak hidupnya, meskipun terus mengalami represi yang tak berkesudahan.

Selain itu, faktor organisasi dan kepemimpinan di tubuh PV juga menjadi peluang

politik yang penting struktur mobilisasi massa. Di satu sisi, PV telah dikenal sebagai sebuah

organisasi yang menjadi wadah bagi orang Papua untuk mengartikulasikan berbagai

pengalaman hidupnya yang kebanyakan luput dari liputan media-media nasional. PV juga

menjadi tempat mengembangkan kapasitas seorang story-teller dokumenter yang mumpuni.

Di sisi lain, kebanyakan para aktivis PV adalah orang-orang yang sangat mengenal dan dekat

dengan kehidupan harian orang Papua dan alamnya. Di mata publik Papua, mereka adalah

pejuang kemanusiaan yang terbukti melalui cara berpikir dan tindakan politik yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

115

bersesuaian dengan kehendak dan tuntutan hidup orang Papua. Duka, kecemasan dan

perjuangan orang Papua telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup dan

karyanya di Papua. Inilah keunggulan yang menjadi peluang politik bagi terciptanya gerakan

budaya yang hegemonik.

Perlu untuk diketahui juga bahwa PV yang menolak berafiliasi dengan pemerintah

maupun para elit atau partai politik tertentu adalah bukti bahwa ideologi politik

kepemimpinan yang mereka bangun bertolak belakang dengan ideologi demokrasi liberal

yang condong kepada sistem kepartaian dan keputusan politik para elit yang dibingkai oleh

konstitusi dan kekuasaan negara. Apa yang diperjuangkan PV adalah demokrasi kerakyatan;

sebuah perjuangan yang lahir dan tumbuh di dalam kondisi-kondisi sosio-historis orang

Papua serta berpihak pada alam dan manusia Papua. Dalam hal ini, seperti kata Gramsci, PV

sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) bukan merupakan konsep yang dapat

dipakai untuk melindungi dan melanggengkan kepentingan politik neoliberal di bawah

jargon ‘demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil’, melainkan sebagai weapon of the

weak yang menjadi kendaraan bagi kaum marginal dan tertindas untuk mempertahankan hak-

hak hidup (Bdk. Fakih, 2002: 73).

Sikap politik semacam ini mau menunjukkan bahwa para aktivis PV tidak

menginginkan adanya keterbatasan ruang gerak dalam hal pengungkapan kebenaran dan

pencarian keadilan. Jika mereka memilih untuk berafiliasi dengan rezim tertentu, maka

gerakan budaya yang diperjuangkan menjadi tidak hegemonik, karena sebagian dari keluhan

dan tuntuan diakomodir. Dampaknya adalah chain of equivalence yang telah dibangun di

dalam PV sebagai identitas kolektif menjadi buyar; dan setiap anggota akan kembali kepada

masing-masing partikularitasnya. Kondisi inilah yang disebut Laclau-Mouffe sebagai logic

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

116

of difference; sebuah kondisi yang menyebabkan sebuah hubungan yang anatagonistik

menjadi tidak stabil dan dapat menghambat lajunya gerak perlawanan (Bdk. Hutagalung,

2016). Sudah sepatutnya PV menjadi mesin politik yang menggerakkan kerja-kerja politik

para aktivisnya dengan mengedepankan politik kepemimpinan yang didasarkan padalived-

experiences untuk membedakan dirinya dari politik negara yang condong kepada

korporatisme serta abai terhadap kedaulatan rakyat.

D. Rangkuman

Ada dua hal pokok yang saya temukan dari hasil pembacaan terhadap gerakan budaya

di pusaran PV, yakni kontestasi makna dan perjuangan demokrasi kerakyatan yang didukung

oleh politik kepemimpinan yang hegemonik. Berangkat dari adanya praktik pemaknaan yang

timpang di dalam sejumlah media-media arus utama, serta kemampuannya menghegemoni

opini publik secara tidak sehat tetang Papua, para aktivis PV berupaya membangun sebuah

makna baru yang lebih otentik. Dalam mewujudkan aktivismenya, para aktivis PV tidak

berhenti pada produksi makna baru melalui film-film dokumenter, tetapi juga melibatkan

kerja-kerja politik untuk menyusun struktur mobiliasiyang didasarkan pada peluang-peluang

politik yang mengitarinya.

Dari makna-makna baru yang dihasilkan itulah, perjuangan demokrasi kerakyatan

menjadi mungkin untuk diperjuangkan sebagai bentuk protes terhadap limitasi eksistensial

dari demokrasi liberal yang semata-mata menekankan konsensus politik dan kebebasan

individu yang rasional dan otonom. Singkatnya, kehadiran PV dapat dilihat sebagai bentuk

koreksi lanjutan terhadap buruknya mekanisme kebijakan pembangunan neoliberal yang

jamak dipraktekkan di Indonesia, khususnya di Papua dewasa ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

117

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejak kemunculannya di Eropa dan Amerika pada awal abad ke-20, sampai saat ini,

gerakan sosial menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Gerakan sosial menjadi

salah satu bidang kajian yang terbilang relatif lama dan terus mengalami pembaruan secara

teoretis maupun praksis. Dalam tradisi Marxis, kajian tentang gerakan sosial selalu berangkat

dari beberapa gagasan pokok seperti: pertentangan kelas (Karl Marx), partai pelopor gerakan

(Vladimir Lenin), hegemoni budaya (Antonio Gramsci), dan demokrasi plural radikal

(Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe). Secara teoretis, gagasan-gagasan tersebut secara

kontras memiliki cara pandang tersendiri tentang logika politik yang menjadi dasar dan

tujuan bagi sebuah aksi massa; entah itu sebagai gerakan sosial lama (old social movement)

maupun gerakan sosial baru (new social movement). Praksisnya, perbedaan di antara kedua

bentuk gerakan sosial tersebut berkaitan dengan perubahan karakteristik dan pola hidup

masyarakat pada era industrial sampai post-industrial. Atau dengan kata lain, gerakan sosial

baru tidak lagi terjebak logika ekonomi sebagai satu-satunya penyebab terjadinya eksploitasi

dan subordinasi antar kelas (borjuis vs proletar), tetapi meliputi banyak faktor determinan, di

mana ada bentuk-bentuk baru dari eksploitasi dan subordinasi yang terjadi di dalam

masyarakat post-industrial.

Tesis ini merupakan salah satu bagian dari kajian tentang gerakan sosial baru untuk

melihat karakteristik gerakan yang dihidupi oleh PV sebagai sebuah organisasi masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

118

sipil milik orang Papua. Dengan menggunakan pendekatan gramscian di dalam tradisi

marxis, tesis ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok tentang bagaimana logika

politik gerakan budaya di pusaran PV. Dalam penjabarannya, saya mengulas tiga pertanyaan

utama, yakni: (1) Faktor-faktor ideologis apa saja yang menjadi latar belakang lahirnya PV;

(2) Bagaimana antagonisme dan hegemoni tandingan lahir dan tumbuh di dalam gerakan

budaya yang diperjuangkan PV; dan (3) Sejauh mana para aktivis PV mewujud-nyatakan

politik kepemimpinan dalam kaitannya dengan kontestasi makna dan perjuangan demokrasi

kerakyatan sebagai sebuah model gerakan sosial baru.

Sebagai perangkat analisis untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, saya

memakai gagasan hegemoni budaya milik Gramsci, yang di dalamnya tercakup pembentukan

blok historis dan intelektual organic untuk melihat bagaimana proses hegemoni tandingan di

balik kerja-kerja politik yang dilakukan oleh para aktivis PV. Selain itu, sebagai pelengkap

perangkat analisis, saya juga memakai gagasan anagonisme dan demokrasi plural-radikal

milik Laclau-Mouffe untuk melihat bentuk-bentuk hubungan antagonistik yang melahirkan

batas-batas politis di balik pembentukan identitas kolektif dalam tubuh PV.

Berdasarkan hasil analisis, saya menemukan bahwa media-media massa arus utama,

seperti media online, televisi, dan film layar lebar, menjadi perangkat kerja hegemoni kaum

penguasa dalam membentuk opini publik yang tidak sehat tetang alam dan manusia Papua.

Melalui media-media tersebut, ideologi penguasa ditanamkan dan disebar-luaskan untuk

mendapatkan persetujuan sekaligus konsensus publik yang berhubungan dengan dua hal.

Pertama, Papua membutuhkan penertiban, pemberadaban dan pembangunan, di mana

apparatus negara menjadi subjek utamanya. Di dalamnya ada politik pencitraan tentang peran

negara dan aparatusnya yang dinilai berhasil membangun Papua; sekaligus melegitimasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

119

sejumlah kebijakan dan praktik pembangunan, meskipun berbanding ternbalik dengan

kondisi sosial-historis di Papua. Kedua, hegemoni melalui media massa bertujuan untuk

meredam perlawanan secara massif, karena berhasil mengaburkan kepentingan dan orientasi

politik pembangunan yang sarat akan praktik eksploitasi, diskriminasi, dan subordinasi di

Papua.

Menurut saya, berdirinya PV sebagai sebuah blok historis yang dalam kerja-kerja

politiknya terus berupaya menggalang intelektual organik tidak terlepas dari kedua hal

tersebut. Menariknya, partikularitas kehendak dan tuntutan yang datang dari berbagai elemen

masyarakat dapat dipadukan ke dalam sebuah identitas kolektif yang mengatas-namakan

suara-suara orang Papua. Tidak ada kategori tunggal dalam hal isu yang diperjuangkan

maupun partisipan gerakan, karena di dalamnya sudah mencakup universalitas kehendak dan

tuntutan yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian alam Papua. Jadi, PV tidak

memperjuangkan satu isu tunggal, seperti anti-kapitalisme atau rasisme saja. Basis

partisipannya pun tidak lagi didasarkan pada etnis, agama atau kelas sosial tertentu, tetapi

berdasarkan ideologi yang mengikat setiap individu di dalam identitas kolektif. Ideologi yang

saya maksud di sini bukan merupakan suatu gagasan abstrak yang jauh dari realitas empiris,

melainkan punya sifat materialistik, karena didasarkan pada pemahaman dan kedekatan para

aktor penggerak dengan pengalaman hidup sehari-hari orang Papua.

Sebagai gerakan budaya, aktivisme yang dilakukan PV adalah salah satu bentuk

hegemoni tandingan terhadap hegemoni budaya kaum penguasa. Dengan memanfaatkan

film-film dokumenter yang diproduksinya sebagai media kampanye dan advokasi di tengah

masyarakat, para aktivis PV terus berupaya menciptakan makna baru tentang alam dan

manusia Papua berdasarkan perspektif orang Papua. Proses penciptaan makna baru tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

120

melibatkan popular education yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kritis massa

untuk sedapat mungkin memahami situasi dan kondisi hidup orang Papua beserta alamnya

sambil mencari solusi alternatif untuk mengatasi persoalan yang didihadapi. Melalui cara

demikian, PV sesungguhnya sedang berjuang mendapatkan kepercayaan dan konsensus

publik sambil terus melakukan regenerasi agen-agen perubahan demi keberlangsungan

aktivismenya secara hegemonik. Dalam hal ini, film dokumneter bukan semata-mata sebagai

kerja seni, melainkan menjadi bagian dari kerja politik kepemimpinan untuk mewujudkan

demokrasi kerakyatan dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi orang Papua untuk

memperjuangkan perubahan dan transformasi sosial. Dengan demikian, selain menjadi

media artikulasi pengalaman hidup sehari-hari orang Papua, film dokumenter juga menjadi

medan kontestasi makna sambil mengeritik model kerja demokrasi liberal yang tidak

berpihak pada kedaulatan rakyat.

B. Rekomendasi

Kerja kemanusiaan yang diinisasi oleh PV dan pelbagai organisasi independen

lainnya di Papua perlu diapresiasi. Tanpa mereka, cukup sulit bagi kita untuk membayangkan

adanya narasi pembanding berhadapan dengan wacana dominan yang diproduksi oleh

apparatus rezim negara. Meskipun penelitian ini berhasil menunjukkan mekanisme

kepengaturan dan bagaimana kuasa dominan beroperasi dalam kehidupan masyarakat Papua,

namun perlu disampaikan beberapa hal berkaitan dengan limitasi penelitian ini dan apa saja

peluang riset jika ada peneliti yang ingin mengkaji tema serupa.

Pertama, limitasi pendekatan. Mempertimbangkan bahwa Papua merupakan sebuah

enclave yang menarik sekaligus menantang, lived resistance terbatas untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

121

merepresentasikan politik gerakan sosial masyarakat Papua pada umumnya termasuk jenis

kekuasaanapa yang sedang dilawan dan jenis kekuasaan apa yang sedang didukung. Oleh

sebab itu, penelitian selanjutnya, perlu diperkaya dengan pendekatan komparatif, termasuk

mengidentifikasi logika kuasa yang bekerja pada setiap sector kehidupan masyarakat Papua.

Menyitir Saukko (2017:19-20) ketika mendeskripsikan lived resistence dengan contingent

approach (pendekatan “tergantung”), komparasi bentuk resistensi di kancah lain perlu

dibahas dalam rangka mengukur sejauh mana dampak kumulatif dari tindakan lokal yang

dilakukan (baik oleh PV maupun organisasi lain yang memiliki agenda yang sama).

Kedua, selanjutnya penelitian ini terbatas dalam menawarkan sebuah strategi gerakan

kiri baru. Disebut demikian karena model gerakan yang ditawarkan oleh Laclau-Mouffe

mengandalkan strategi multi-front yang melibatkan bukan hanya PV, tetapi juga lembaga dan

organisasi lain. Penelitian selanjutnya perlu melacak dan menemukan apa saja strategi yang

relevan dalam rangka menjadikan Papua sebagai empty signifier yang memungkinkan

terciptanya konsolidasi sipil di tingkat lokal.

Ketiga, perspektif global. Akhirnya, penelitian selanjutnya perludi perkaya dengan

perspektif geopolitik tentang bagaimana wacana Papua dihidupi dan distribusikan di kancah

internasional. Hal ini penting untuk melacak distribusi ideologi yang sedang berkembang

saat ini melalui pelbagai platform media khususnya film dokumenter. Disebut penting karena

mustahil membayangkan adanya gerakan politik dalam negeri terlepas dari intervensi dan

pengaruh dari dinamika sosial politik global.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

122

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy and Other Essay. New York: Monthly Review

Press.

Alua, Agus. 2006. Papua Barat dari Pangkuan ke Pangkuan: Suatu Ikhtiar Kronologis.

Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur.

Aufderheide, P. 2007. Documentary Film, A Very Short Introduction. New York: Oxford

University Press.

Barker, C. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: SAGE Publications.

____. 2004. Cultural Studies: Teori & Praktik. Tr. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Butler, Judith, Ernesto Laclau dan Slavoj Zizek. 2000. Contingency, Hegemony,

Universality: Contemporary Dialogues on the Left. London: Verso.

Della Porta, Donatella & Diani Mario. 2006. Social Movement: An Introduction. Malden:

Blackwell Publishing.

Edgar-Hunt, Robert, John Marland, dan Steven Rawle. 2010. The Language of Film.

Switzerland: AVA Publishing SA.

Gramsci, Antonio. 1971. Selection From the Prison Notebook. Translated by Quintin Hoare

and Geoffrey Nowel Smith. London: Lawrence & Wishart.

____. 2017. Sejarah dan Budaya. Tr. Ira Puspitonni, dkk. Yogyakarta: Narasi

Laclau, E. & Chantal Mouffe. 1985. Hegemony & Socialist Strategy: Toward A Radical

Democratic Politics. London-N.Y.: Verso.

____. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru. Tr.

Eko Prasetyo. Yogyakarta: Resist Book.

Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film.

Yogyakarta: Penerbit CV Homerian Pustaka.

Jones, S. 2006. Antonio Gramschi. London-N.Y: Routledge.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

123

Magnis-Suseno, Franz. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nichols, Bill. 2001. Introduction to Documentary. USA: Indiana University Press.

Patria, Nezar & Andi Arief. 1999. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Prakosa, Gatot. 2004. Film dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Seni Visual Inonesia.

____. 2008. Film Pinggiran: Antologi Film Pendek, Film Eksperimental, dan Film

Dokumneter. Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia.

Saukko, P. 2003. Doing Research in Cultural Studies, An Introduction to Classic and New

Methodological Approaches. London: SAGE Publication.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramschi. Tr. Kandani dan Imam Baehaqi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Singh, Rajendra. 2010. Gerakan Sosial Baru. Tr. Eko Prasetyo. Yogyakarta: Resist Book.

Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing.

Tarrow, Sidney. 2011. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics. New

York: Cambridge University Press.

Young, Robert. 2016. Postcolonial Remains. Dalam Pramod K. Nayar (ed). “Postcolonial

Studies: An Anthology”. Oxford: Wiley Blackwell.

Wolf, E. R. 1969. Peasant Wars of the Twentieth Century. New York: University of

Oklahoma Press.

Sumber Artikel

Benford, R. D. & David A. Snow. 2000. “Framing Processes and Social Movement: An

Overview and Assesment”. Annual Review of Sociology, Vol. 26, 2000.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

124

Canella, G. 2017. “Social Movement Documentary Practices: Digital Storytelling, Social

Media and Organizing”. Digital Creativity, Vol. 28.

Fakih, Mansour. 2002. “Social Movement Sebagai Alternatif Terhadap Civil Society”.

Dalam Menuju Gerakan Sosial Baru. Wacana Edisi 11. Tahun III. Yogyakarta: Insist

Press.

Goffman, Erving. 1974. “Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience”.

London: Harper and Row.

Hayes, John. 2007. “Documentary as Social Justice Activism: The Textual and Strategies of

Robert Greenwald and Brave New Films”. 49th Paralle, Vol. 21.

Hutagalung, Daniel. 2006. “Laclau-Mouffe Tentang Gerakan”. Basis No. 01-02, Tahun Ke-

55, 2006

Irawanto, Budi dan Theresia Octastefani. 2019. “Film Dokumenter Sebagai Katalis

Perubahan Sosial: Studi Kasus Ambon, Aceh, dan Bali”. Jurnal Kawistara, Vol. 9, No.

1, 22 April 2019.

Juliawan, B. Hari. 2016. “Tradisi Marxis dalam Kaian Gerakan Sosial”. Basis No. 03-04,

Tahun Ke-65, 2016.

Notley, T. dan Alexandra C. 2014. “Transmedia Activism: Exploring the Possibilities in

West Papua”. Dalam Transmedia Practice: A Collective Approach. Oxford, United

Kingdom: Inter-Disciplinary Press.

Prasetijo, Adi. 2015. “Pergerakan Sosial: Antara Marxian dan Non Marxian”. Jurnal

Antropologi, Vol. 17, No. 1.

Singh, Rajendra. 2002. “Teori-Teori Gerakan Sosial Baru”. Tr. Setiaji Purnasatmoko. Dalam

Menuju Gerakan Sosial Baru. Wacana, Edisi 11. Tahun III. Yogyakarta: Insist Press.

Stover, J. A. 2013. “Framing Social Movement Through Documentary Film”. Sage Journals.

Sumarwan, A. 2018. “Memahami Framing Gerakan Sosial”. Basis No. 01-02, Tahun Ke-67,

2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: MENGGUGAT KETIMPANGAN, MERAWAT PAPUA: MEMBACA …

125

Suryawan, I Ngurah. 2011. “Antropologi Gerakan Sosial: Membaca Transformasi Identitas

Budaya di Kota Manikwari, Papua Barat”. Humaniora, Vol. 23, No. 3 Oktober 2011.

Sumber Film

Denias: Senandung di Atas Awan (2006)

Di Timur Matahari (2012)

Dipenjara (2018)

Ironic Survival (2011)

Lost in Papua (2011)

Mama Mariode (2014)

Resep Pendidikan Papua (2018)

Surat Cinta Kepada Sang Prada (2012)

Sumber Internet

https://nasional.tempo.co/read/1102251/dana-otsus-mampu-tingkatkan-kesejahteraan-

masyarakat-papua (Diakses pada 16 Mei 2020)

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/05/04/opfk5l349-tingkatkan-

investasi-papua-terus-lakukan-pembenahan-birokrasi (Diakses pada 26 Mei 2020)

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200227205824-92-478931/luhut-tawarkan-

investasi-hijau-di-papua-kepada-24-perusahaan. (Diakses pada 26 Mei 2020)

https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1552-membasmi-separatisme.

(Diakses pada 27 Mei 2020)

https://www.youtube.com/watch?v=ilKlkT06FJs. (Diakses pada 28 Mei 2020)

https://jubi.co.id/hati-hati-netizen-kini-ada-18-media-siluman-di-papua/ (Diakses pada 30

Mei 2020)

https://tirto.id/media-siluman-di-papua-propaganda-hoaks-hingga-narasumber-fiktif-da5B

(Diakses pada 30 Mei 2020)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI