26
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016 MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY Oleh: Yeterina Widi Nugrahanti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Email: [email protected] Abstract The purpose of this article is to describe Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure using postmodern perspectives, Lyotard’s and Jean Baudrillard’s thinking. From Lyotard’s thinking, CSR disclosure can be viewed as grand narration used to camouflage real social and environmental problems. CSR disclosure guideliness arranged by Global Reporting Initiative (GRI) is a form of universalims that strongly opposed by postmodernism. CSR disclosure practices that accommodate Indonesian cultures and values will be able to break grand narration in CSR disclosure. From Baudrillard perspective, CSR disclosure can be viewed as simulacrum. The simulacrum is shown by (a) the disconnect between reality and its representations, especially the lack of tranparancy in negative business impact disclosures; (b) The control and manipulation of information, and (c) the proliferation of misleading images. To break the CSR disclosure simulacra, it takes CSR concept that based on love, which are love to God, love to human being and love to nature. Keywords: corporate social responsibility disclosure, posmodernism, grand naration, simulacra Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/ CSR) dari perspektif pemikiran posmodern, yaitu pemikiran Lyotard dan pemikiran Jean Baudrillard. Dari pemikiran Lyotard, pengungkapan CSR merupakan narasi besar yang digunakan untuk mengkamuflase masalah sosial dan lingkungan yang sebenarnya. Aturan panduan pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI (Global Reporting Initiative) merupakan bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern. Praktik pengungkapan CSR yang mengakomodasi budaya dan nilai-nilai Indonesia diharapkan dapat mematahkan narasi besar pengungkapan CSR. Dari sudut pandang pemikiran Baudrillard, pengungkapan CSR merupakan simulakra, yang ditunjukkan dengan (a) semakin terpisahnya realitas dengan representasi yang disajikan oleh perusahaan, khususnya perusahaan tidak transparan dalam menyajikan informasi dampak negatif dari bisnisnya; (b) kontrol dan manipulasi informasi CSR; (c) pengungkapan CSR yang mengarah pada proliferasi imaji yang menyesatkan. Untuk mematahkan simulakra pengungkapan CSR, maka dibutuhkan konsep aktivitas dan pengungkapan CSR yang didasarkan pada cinta kasih, baik cinta kasih kepada Tuhan, cinta kasih kepada sesama dan cinta kasih kepada alam. Kata kunci: pengungkapan corporate social responsibility, posmodern, narasi besar, simulakra PENDAHULUAN Seiring dengan globalisasi dan perkembangan bisnis, dalam jangka waktu 2-3 dekade terakhir ini, kesadaran masyarakat dunia mengenai peran perusahaan dalam

MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA PENGUNGKAPAN

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

Oleh:

Yeterina Widi Nugrahanti

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana

Email: [email protected]

Abstract

The purpose of this article is to describe Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure using

postmodern perspectives, Lyotard’s and Jean Baudrillard’s thinking. From Lyotard’s thinking,

CSR disclosure can be viewed as grand narration used to camouflage real social and

environmental problems. CSR disclosure guideliness arranged by Global Reporting Initiative

(GRI) is a form of universalims that strongly opposed by postmodernism. CSR disclosure

practices that accommodate Indonesian cultures and values will be able to break grand narration

in CSR disclosure. From Baudrillard perspective, CSR disclosure can be viewed as simulacrum.

The simulacrum is shown by (a) the disconnect between reality and its representations, especially

the lack of tranparancy in negative business impact disclosures; (b) The control and

manipulation of information, and (c) the proliferation of misleading images. To break the CSR

disclosure simulacra, it takes CSR concept that based on love, which are love to God, love to

human being and love to nature.

Keywords: corporate social responsibility disclosure, posmodernism, grand naration, simulacra

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan

(Corporate Social Responsibility/ CSR) dari perspektif pemikiran posmodern, yaitu pemikiran

Lyotard dan pemikiran Jean Baudrillard. Dari pemikiran Lyotard, pengungkapan CSR

merupakan narasi besar yang digunakan untuk mengkamuflase masalah sosial dan lingkungan

yang sebenarnya. Aturan panduan pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI (Global

Reporting Initiative) merupakan bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern.

Praktik pengungkapan CSR yang mengakomodasi budaya dan nilai-nilai Indonesia diharapkan

dapat mematahkan narasi besar pengungkapan CSR. Dari sudut pandang pemikiran Baudrillard,

pengungkapan CSR merupakan simulakra, yang ditunjukkan dengan (a) semakin terpisahnya

realitas dengan representasi yang disajikan oleh perusahaan, khususnya perusahaan tidak

transparan dalam menyajikan informasi dampak negatif dari bisnisnya; (b) kontrol dan

manipulasi informasi CSR; (c) pengungkapan CSR yang mengarah pada proliferasi imaji yang

menyesatkan. Untuk mematahkan simulakra pengungkapan CSR, maka dibutuhkan konsep

aktivitas dan pengungkapan CSR yang didasarkan pada cinta kasih, baik cinta kasih kepada

Tuhan, cinta kasih kepada sesama dan cinta kasih kepada alam.

Kata kunci: pengungkapan corporate social responsibility, posmodern, narasi besar, simulakra

PENDAHULUAN

Seiring dengan globalisasi dan perkembangan bisnis, dalam jangka waktu 2-3

dekade terakhir ini, kesadaran masyarakat dunia mengenai peran perusahaan dalam

Page 2: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

lingkungan dan sosial semakin meningkat. Banyak perusahaan besar mendapat kritikan

karena menyebabkan masalah sosial maupun lingkungan dan hal ini dapat mengganggu

going concern perusahaan. Sejalan dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan para

stakeholders perusahaan, maka konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau

tanggung jawab sosial perusahaan muncul dan menjadi bagian tak terpisahkan dari

kelangsungan hidup perusahaan. Konsep CSR menekankan bahwa tanggung jawab

perusahaan bukan lagi hanya sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan laba), tetapi

perusahaan juga mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat (sosial) dan

lingkungan. Implementasi CSR di Indonesia diatur dalam UU Perseroan Terbatas No 40

Tahun 2007, pasal 74 yang mewajibkan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya

alam untuk melakukan CSR. Perusahaan yang tidak melakukan CSR akan dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti pelaksanaan

CSR merupakan keharusan dan bersifat memaksa bagi perusahaan-perusahaan di

Indonesia.

Perusahaan yang melakukan CSR pada umumnya akan mengungkapkan kegiatan

dan biaya CSR tersebut dalam laporan tahunan maupun laporan berkelanjutan

(sustainability reporting). Pengungkapan aktivitas CSR disebut dengan social

responsibility accounting (SRA) (Belkaoui,2006); corporate social reporting, social

disclosure, social accounting (Mathews, 1995 dalam Damayanti, 2009) atau corporate

social responsibility disclosure (Hackston dan Milne, 1996). Data dari KPMG (2008)

menunjukkan bahwa lebih dari 80% perusahaan di seluruh dunia telah menerbitkan

laporan berkelanjutan. Laporan berkelanjutan tersebut ditujukan memberikan informasi

yang lebih baik pada stakeholder dan sudah seharusnya perusahaan mengungkapkan

informasi secara transparan tentang dampak aktual dari aktivitas bisnis organisasi. Tanpa

transparansi ini, informasi CSR hanya mejadi alat pemasaran yang ditujukan untuk

meningkatkan citra perusahaaan dan legitimasi sosial (Cho dan Patten, 2007).

Untuk memfasilitasi pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan, sebuah

lembaga internasional pemerhati CSR, yaitu Global Reporting Initiative (GRI)

menerbitkan panduan pengungkapan CSR yang dapat digunakan bagi perusahaan di

seluruh dunia. Deegan (2002) melakukan studi literatur untuk mengetahui motivasi

manajer melakukan pengungkapan CSR. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

motivasi manajer melakukan pengungkapan CSR pada dasarnya bukan semata-mata

karena rasa kepedulian dan charity-nya kepada lingkungan dan masyarakat, tetapi CSR

Page 3: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

lebih ditujukan untuk alasan ekonomi dan laba. Sehingga dapat dikatakan bahwa

kapitalisme merupakan motivasi utama mengapa sebuah perusahaan melakukan dan

mengungkapkan aktivitas CSR.

Gray (2010) menyatakan bahwa perkembangan akuntansi dan pelaporan CSR

selama lebih dari 40 tahun dapat dipahami sebagai narasi yang mengartikulasikan

hubungan antara organisasi dengan stakeholdersnya dan dengan lingkungannya.

Meningkatnya dominasi praktik bisnis barat dan kapitalisme keuangan internasional

berimplikasi pada praktik un-sustainability itu sendiri (Gray, 2006). Chwastiak dan

Young (2003) menemukan bahwa salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan untuk

menutupi dampak buruk aktivitas mereka adalah melakukan pengungkapan CSR dalam

laporan tahunan.

Hasil penelitian Deegan (2002) serta Chwastiak dan Young (2003) diatas

menunjukkan informasi CSR dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh perusahaan

untuk mengakumulasi laba dan menutupi eksploitasi lingkungan dan sosial yang

dilakukan oleh perusahaa. Dengan kata lain, informasi CSR dalam laporan tahunan dapat

digunakan sebagai alat untuk mendominasi dan menguasai pihak lain. Menurut Lyotard

(1984) dalam Ryadi (2014) ketika sebuah pengetahuan digunakan untuk menguasai dan

mendominasi pihak lain, maka pengetahuan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah

grand narration (narasi besar/meta narasi). Lyotard merupakan pemikir posmodern yang

menolak narasi besar yang menekankan pada universalisme. Aktivitas CSR yang

digembar-gemborkan oleh lembaga pemerhati lingkungan di dunia serta pengungkapan

CSR yang diatur oleh Global Reporting Initiative (GRI) menunjukkan bahwa

universalisme juga terjadi pada wacana pengungkapan CSR. Menurut Lyotard, meta

narasi merupakan narasi utama/ penguasaan, bagaimana manusia berusaha menguasai

alam untuk mencapai tujuan hidupnya. Narasi besar diyakini sebagai narasi modern, yang

mampu memaksakan konsensus/kebenaran.

Selain itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, penggunaan internet

dalam bisnis serta meningkatnya dampak buruk atas aktivitas bisnis di seluruh dunia,

maka pengungkapan CSR juga dapat dikritik sebagai sebuah simulakra. Simulakra

merupakan representasi ideal dan artifisial yang terpisah dari realitas sebenarnya. Konsep

simulakra diperkenalkan oleh Baudrillard (1995) yang merupakan seorang tokoh pemikir

posmodern. Baudrillard menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam dunia yang penuh

dengan pencitraan, dimana citra dapat menjadi realitas itu sendiri bahkan menggantikan

Page 4: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

realitas yang sebenarnya (Kamayanti, 2016). Pengungkapan CSR dapat dianggap sebagai

sebuah simulakra karena perusahaan tidak melakukan pengungkapan secara transparan

dan menyamarkan masalah sosial dan lingkungan yang sedang terjadi, serta

pengungkapan tersebut menunjukkan representasi versi ideal dari kondisi perusahaan.

Pemikiran Lyotard dan Baudrillard yang digunakan untuk membahas CSR dan

pengungkapan CSR pada artikel ini merupakan pemikiran posmodern. Paradigma

posmodern pada awalnya muncul karena adanya kelemahan dan kegagalan paradigm

modernism (positivis, interpretif dan kritis) (Sugiharto, 1996). Menurut Mulawarman

(2010), posmodernisme memandang bahwa modernism membawa dampak buruk berupa

pengangguran, kesenjangan ekonomi, diksriminasi, seiring dengan maraknya kemajuan

teknologi, urbanisasi, industrialisasi dan dominasi budaya barat yang menjadi ciri khas

modernism. Posmodernisme merupakan pergerakan ide yang menggantikan ide-ide

zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas,

totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan sains.

Posmodern bercita-cita ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan

semua realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang (Muhlisin, 2006).

Posmodernisme menentang universalitas pengetahuan dan mengakomodasi pluralitas

dan kreatifitas dalam mencari pengetahuan.

Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini bertujuan untuk menggambarkan

pengungkapan CSR jika dilihat dari perspektif posmodern. Kerangka pikir yang

digunakan dalam artikel ini adalah pemikiran Lyotard (narasi besar) dan pemikiran Jean

Baudrillard (simulakra). Pemikiran Baudrillard merupakan aliran posmodern esktrim

yang berpendapat bahwa masyarakat modern telah tergantikan oleh masyarakat

posmodern, atau dengan kata lain masyarakat telah berubah secara radikal. Sedangkan

pemikiran Lyotard merupakan aliran posmodern posisi teoretis yang memandang

modernitas dan postmodernitas sebagai kekuatan yang selalu menjalin hubungan satu

sama lain. Dengah menempatkan postmodernitas secara berkesinambungan dengan

modernitas, maka aliran ini berupaya untuk selalu menunjukkan keterbatasan–

keterbatasan modernitas (Muhlisin, 2006).

Pembahasan CSR dalam perspektif posmodern ini akan memperkaya khazanah

pengetahuan mengenai praktik pengungkapan CSR dan memberikan pandangan

bagaimana seharusnya perusahaan melakukan pengungkapan CSR. Pembahasan dalam

artikel ini meliputi (a) Lyotard dan grand narration (b) Pengungkapan CSR sebagai

Page 5: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

narasi besar, (c) Menggugat Narasi Besar Pengungkapan CSR melalui Posmodernisme,

(d) Baudrillard dan simulakra, (e) Simulakra Pengungkapan CSR, (f) Menggugat

simulakra pengungkapan CSR dengan menghadirkan cinta kasih dalam pengungkapan

CSR dan (g) Kesimpulan.

PEMBAHASAN

Lyotard dan Grand Naration

Pemikiran posmodern Lyotard berkembang setelah melihat kenyataan gagalnya

modernitas, hilangnya daya tarik perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, serta

modernitas dalam kesatuan ideal yang terpecah-pecah. Dalam bukunya "Postmodern

Condition” (1979), Lyotard berpendapat bahwa pengetahuan tidak dapat mengklaim

kebenaran sejati dalam arti absolut; tetapi tergantung pada trik bahasa yang selalu relevan

dengan konteks tertentu (Elaati, 2016). Lyotard menolak narasi besar yang menekankan

pada universalisme dan meyakini bahwa tak seorangpun dapat memahami apa yang

terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan. Lyotard tidak setuju dengan keseragaman

maupun upaya menyeragamkan, apalagi upaya tersebut dicapai dengan jalan kekerasan.

Menurut Umanailo (2014), Lyotard menjelaskan bahwa perkembangan

teknologi informasi pada akhir abad 20 membawa dampak yang besar pada pengetahuan,

pendidikan dan telah menggiring masyarakat ke dalam kondisi posmodern. Miniaturisasi

dan komersialisasi mesin telah mengubah perolehan, klasifikasi, penciptaan dan

eksploitasi pengetahuan. Selanjutnya, Kamayanti (2016) menyebutkan bahwa menurut

Lyotard, pengetahuan pada akhirnya menjadi grand naratives/ meta narasi. Pengetahuan

sibuk berupaya melegitimasi dirinya sendiri sebagai sebuah kebenaran melalui

penjelasan berbagai asumsi. Ilmuwan yang mengalami hal ini disebut sedang mengalami

demoralisasi, karena ilmu penuh dengan kepentingan penguasa. Ilmuwan melegitimasi

pengetahuan dalam rangka menjual informasi dan akhirnya menguasai dunia. Cara

ilmuwan untuk melakukan legitimasi pengetahuan adalah dengan menciptakan

permainan bahasa (language games). Meta narasi disepakati oleh para pembuat

pernyataan sehingga menjadi kesepakatan sosial. Dengan demikian, sebuah narasi tidak

selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi merupakan kebenaran yang terkonstruksi.

Lyotard berpendapat bahwa cara untuk kembali menghidupkan ilmu

pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan dan keterbukaan pada tafsiran-

tafsiran baru. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan dapat dihidupkan dengan narasi

Page 6: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

kecil yang diidentikkan dengan kreatifitas lokal. Meta narasi merupakan narasi utama/

penguasaan, bagaimana manusia berusaha menguasai bumi untuk mencapai tujuan

hidupnya. Narasi besar diyakini sebagai narasi modern, yang mampu memaksakan

konsensus/kebenaran. Sehingga Lyotard memunculkan strategi untuk mendobrak

konsensus yang telah mapan dengan memberikan kesempatan bagi karakter lokal tiap

wacana dan pendapat untuk dihargai. Bentuk konkrit dari upaya ini adalah terciptanya

keragaman narasi-narasi kecil dan meta argumen yang saling mencari kesempatan untuk

dapat tampil kuat dan diakui dalam permainan bahasa.

CSR Sebagai “Narasi Besar”

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan

merupakan mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan

perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan

stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2006).

Konsep CSR diawali oleh publikasi Howard Bowen pada tahun 1953 yang menulis

Social Responsibilities of Businessman. Bowen memberikan penjelasan mengapa

manajer harus melakukan tanggung jawab sosial. Pada tahun 1954, Peter Drucker

menulis The Practise of Management, yang memasukkan public responsibility sebagai

salah satu tujuan perusahaan.

Literatur CSR berkembang pesat pada tahun 1960an, dan berfokus kepada apa

sebenarnya makna dari CSR dan pentingnya CSR bagi bisnis dan masyarakat (Carrol,

1999). Pada tahun 1960, artikel William C. Frederick '' The growing concern over

business” menyoroti pentingnya CSR dapat dijelaskan oleh runtuhnya laissez faire

(filosofi Adam Smith) sebagai filosofi ekonomi. CSR berimplikasi pada sikap publik

terkait dengan sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia, bagaimana masyarakat

memandang sumber daya tersebut digunakan untuk tujuan sosial yang luas, bukan hanya

untuk kepentingan pribadi dan perusahaan. Sebaliknya, Friedman (1962) dalam Moura-

leite dan Padgett (2013) menyatakan bahwa CSR akan meruntuhkan dirinya sendiri

ketika perusahaan mengabaikan prinsip maksimalisasi laba yang diajukan oleh sistem

kapitalis.

Pada tahuan 1970, Friedman kembali membuat artikel yang menyatakan bahwa

satu-satunya tujuan dari bisnis adalah untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin.

Kepedulian sosial bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, sehingga perusahaan

Page 7: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

tidak perlu memikirkan CSR. Di sisi lain, Carrol (1979) membuat framework CSR yang

terdiri dari tanggung jawab ekonomi, legal, etis dan filantropi. Sejalan dengan Carrol,

Freeman (1984) mengemukakan teori stakeholder yang menjelaskan kepada siapa saja

perusahaan harus bertanggung jawab. Dalam kerangka teori stakeholder ini, perusahaan

tidak hanya dipengaruhi oleh shareholder saja, tetapi juga stakeholder lain seperti

karyawan, pelanggan dan pemerintah.

Pada tahun 1991, Donna J. Wood menghubungkan kinerja CSR dengan berbagai

teori organisasi, seperti teori institusi organisasi, teori manajemen stakeholder, dan teori

sosial manajemen. Pada tahun 1995, perkembangan komunikasi global dengan

menggunakan internet menciptakan tekanan baru bagi perusahaan untuk melakukan CSR

(Waddock, 2008). Pada masa ini, penelitian CSR banyak dilakukan dengan

menggunakan paradigma positif, dalam kerangka teori stakeholder, dan mengaitkan CSR

dengan kinerja perusahaan.

Untuk memfasilitasi pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan, pada

tahun 1997 berdirilah sebuah organisasi non profit di Boston USA, yang diberi nama

Global Reporting Initiative (GRI). GRI merupakan organisasi dunia yang concern

dengan pelaporan CSR, yang menekankan pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan

sosial. Mulai tahun 2000, GRI menerbitkan first global framework for sustainability

reporting. Panduan tersebut dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan di seluruh

dunia untuk melakukan pelaporan CSR. GRI merupakan jaringan stakeholder global,

pengurus GRI terdiri dari perwakilan 30 negara di dunia dan mereka berperan penting

dalam menentukan kerangka kerja pelaporan CSR. Pada saat ini lebih dari 700

perusahaan dari 43 negara mengungkapkan CSR dan menyusun laporan berkelanjutan

berdasarkan panduan dari GRI (www.globalreporting.org). Pelaporan CSR menurut GRI

disebut dengan sustainability reporting. Laporan keberlanjutan harus merepresentasikan

kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan sebuah perusahaan, mencakup kontribusi positif

maupun negatif. Berdasarkan panduan GRI 4 yang terbaru, pengungkapan CSR yang

lengkap mencakup 75 item pengungkapan.

Jika dilihat dari perkembangan konsep dan teori CSR, penelitian CSR yang

sebagian besar dilakukan dalam paradigma positivis, serta pelaporan CSR menggunakan

standar GRI, maka dapat dikatakan bahwa isu CSR merupakan bagian dari akuntansi

modern. Akuntansi modern muncul pada jaman renaissance dan revolusi industri,

dimana manusia sangat mengutamakan rasionalitas. Kebutuhan pelaporan untuk

Page 8: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

kepentingan industri mendorong munculnya konsep-konsep dan standar dalam akuntansi

(Sylvia, 2014). FASB, sebagai lembaga akuntansi di Amerika mengarahkan akuntansi

pada pendekatan pragmatis yang mengikuti pola pikir kaum strukturalis. Pemikir

strukturalis merumuskan simbol dari realitas sosial sehingga dapat dibuat hubungan

kausalitas dari masing-masing simbol tersebut (Januarti, 2004). Sehingga akuntansi

modern pada akhirnya menjadi meta narasi yang diusung oleh paradigm positivis, dimana

akuntansi tersebut sarat dengan nilai-nilai kapitalisme. Pro dan kontra yang menyertai

perkembangan konsep CSR dan panduan pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI

sangat berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh badan yang memiliki kuasa

atas CSR. Cara ilmuwan untuk melakukan legitimasi pengetahuan adalah dengan

menciptakan permainan bahasa (language games). Meta narasi disepakati oleh para

pembuat pernyataan sehingga menjadi kesepakatan sosial. Dengan demikian, sebuah

narasi tidak selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi merupakan kebenaran yang

terkonstruksi, termasuk pengungkapan CSR.

Menurut GRI ketika perusahaan dapat mengungkapkan CSR secara lengkap

sesuai dengan panduan GRI, maka perusahaan dapat dikatakan telah akuntabel di bidang

ekonomi, sosial dan lingkungan. Padahal praktik di perusahaan membuktikan realitas

yang berbeda. Beberapa perusahaan di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai GRI

reporter tidak selau bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan dan sosial yang

ditimbulkannya. Sebagai contoh PT. Aneka Tambang Tbk pada tahun 2016

menyebabkan pencemaran lima sungai besar di Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi

yang mengakibatkan kematian berbagai jenis ikan dan pencemaran laut di sekitar Pulau

Halmahera Timur. Ironisnya PT. Antam mendapatkan penghargaan Indonesia

Sustainability Reporting Awards (ISRA) dari The National Center for Sustainibility

Reporting (NCSR) pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa pengungkapan CSR

sebagai sebuah narasi yang tidak selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi

merupakan kebenaran yang terkonstruksi. Perusahaan yang mengungkapkan CSR secara

lengkap sesuai panduan GRI dapat dianggap telah bertanggung jawab walaupun praktik

riil di perusahaan tidak sesuai dengan yang diungkapkan.

NCSR sebagai salah satu lembaga yang concern terhadap CSR di Indonesia,

mengacu pada GRI dalam melakukan aktivitasnya, termasuk dalam memberikan

penghargaan ISRA. Moneva et al (2006) meyatakan bahwa panduan GRI disusun

berdasarkan kerangka konseptual International Accounting Standard Board (IASB)

Page 9: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

untuk pelaporan keuangan. Hal ini berarti Penyusunan panduan GRI sebagai panduan

pengungkapan CSR juga tidak terlepas dari peranan IASB. IASB sangat memahami

kuasa yang mereka miliki untuk mempengaruhi dan mengatur praktik akuntansi. Sebagai

contoh adalah penetapan adopsi IFRS secara internasional. Dengan demikian penerapan

GRI sebagai bentuk panduan pengungkapan yang diakui dan disepakati secara

internasional merupakan bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern.

Pengungkapan CSR yang disyaratkan oleh GRI belum tentu sesuai dengan kondisi

praktik dan pengungkapan CSR di Indonesia. Panduan GRI didesain untuk perusahaan

yang besar dan terdaftar di pasar modal. Di sisi lain fakta menunjukkan bahwa semakin

banyak perusahaan di Indonesia yang mengungkapkan CSR dan membuat pelaporan

berkelanjutan, tidak terbatas pada perusahaan yang terdaftar di bursa saja, namun juga

BUMN, perusahaan non listing baik kecil dan menengah hingga organisasi nirlaba

(Habib, 2016).

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa panduan GRI tidak selalu cocok

diterapkan di suatu negara adalah kasus di Jepang terkait dengan kesulitan implementasi

panduan GRI untuk mengurangi masalah emisi greenhouse di Kyoto. Jepang menolak

campurtangan dari lembaga internasional untuk menangani masalah tersebut, karena

mereka menganggap bahwa masalah emisi tersebut merupakan masalah internal negara.

Menanggapi masalah tersebut, Moneva et al., (2006) menyatakan bahwa untuk

menciptakan manajemen lingkungan yang efektif, maka perlu melibatkan peranan

organisasi internasional yang powerfull, dimana rekomendasi serta panduan

pelaksanaannya harus dikoordinir oleh otoritas yang berterima umum. GRI merupakan

lembaga internasional yang dapat ditargetkan sebagai lembaga otoritas tersebut. Dari

pernyataan ini, dapat dilihat bahwa GRI berkontribusi menjadikan isu CSR sebagai

sebuah narasi besar yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pihak

tertentu.

Menggugat Narasi Besar Pengungkapan Corporate Social Responsibility melalui

Posmodernisme

Lyotard mendefinisikan posmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap narasi

besar modernisme. Era posmodern menunjukkan bahwa narasi besar kehilangan

legitimasi dan kredibilitasnya akibat kemajuan ilmu pengetahuan melalui teknologi

informasi dan ekpansi kapitalisme. Perkembangan dan perubahan tersebut telah

Page 10: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern

(Sugiharto, 1996). Dalam era posmodern, pengetahuan dianggap semakin kompleks

sehingga semakin tidak memungkinkan adanya penjelasan tunggal (universalisme) atas

pengetahuan. Lyotard menyatakan bahwa telah terjadi delegitimasi ilmu pengetahuan

ilmiah dan implikasinya adalah ketidakpercayaan terhadap narasi besar modernisme.

Narasi besar modern mengalami keruntuhan dan Lyotard menawarkan alternatif berupa

pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas pengetahuan dan narasi.

Posmodern menolak dominasi narasi besar terhadap subjek-subjek yang kecil, hal

ini disebabkan ilmu pengetahuan positif yang mendominasi, tidak lepas dari permainan

bahasa dalam penyampaiannya. Permainan bahasa tersebut penuh dengan pesan

terselubung (Sylvia, 2014). Aspek utama yang dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya

menolak wacana universal rasional yang diutamakan oleh kaum modernis. Dengan

menolak pemikiran yang totaliter, posmodern juga mengimplikasikan adanya toleransi

dan penerimaan terhadap perbedaan dan realita yang tidak terukur.

Lyotard (2009) menyatakan bahwa pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam

dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual.

Pengetahuan menjadi tulang punggung produksi selama beberapa puluh tahun terakhir

ini. Pengetahuan yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi mendorong

munculnya globalisasi. Globalisasi suatu jaringan kerja global yang mempersatukan

masyarakat secara bersamaan yang sebelumnya tersebar menjadi terisolasi ke dalam

saling ketergantungan dan persatuan dunia (Ritcher, 2010). Globalisasi memungkinkan

ideologi dan nilai-nilai dari negara yang kuat menyebar ke negara lain. Ilmu

pengetahuanpun semakin dapat digunakan untuk mengejar dan memenuhi kepentingan

pihak-pihak yang berkuasa.

Hal ini juga terlihat dari pengungkapan CSR yang lebih menekankan pada

kelengkapan item CSR sesuai panduan GRI, tanpa melihat fakta dan praktik yang terjadi

di perusahaan. Nilai-nilai moral dan Ketuhanan diabaikan ketika terjadi kasus eksploitasi

terhadap lingkungan dan manusia. Hal ini membuktikan bahwa akuntansi bersifat

sekuler. Pengungkapan CSR dapat menjadi alat legitimasi tindakan elit perusahaan untuk

memenuhi kepentingan mereka sendiri.

GRI telah menetapkan panduan pengungkapan CSR yang dapat digunakan oleh

perusahaan-perusahaan di seluruh dunia untuk megungkapkan aktivitas CSR nya. GRI

disusun berdasarkan kerangka konseptual International Accounting Standard Board

Page 11: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

(IASB) untuk pelaporan keuangan. Panduan pengungkapan tersebut juga diadopsi oleh

NCSR, salah satu lembaga pemerhati CSR di Indonesia dan pemeringkat laporan

berkelanjutan perusahaan- perusahaan di Indonesia. Ketika mengadopsi standar dari luar

negeri, maka harus diperhatikan apakah budaya dari luar negeri tersebut sesuai dengan

budaya Indonesia. Akuntansi dan pengungkapan CSR merupakan praktik yang

tergantung dari budaya suatu negara. Menurut Hofstede (1998), setiap negara

mempunyai ciri khas kultur berupa simbol, pahlawan, ritual dan nilai. Akar budaya

Bangsa Indonesia sangat mengutamakan nilai-nilai Ketuhanan (religious), tepo sliro dan

gotong royong. Tapi nilai-nilai tersebut tidak nampak dalam praktik akuntansi Indonesia

ketika Indonesia mengadopsi akuntansi kapitalis dari barat.

Melalui posmodern yang menolak universalisme dan mengakui pluralitas, kita

dapat menghidupkan akuntansi yang sarat dengan nilai Ketuhanan dan budaya Indonesia.

Hal tersebut berlaku pula bagi implementasi, akuntansi dan pengungkapan CSR.

Pengungkapan CSR berdasarkan panduan GRI yang dirumuskan oleh negara-negara

barat belum tentu sesuai dengan kondisi Indonesia, yang memiliki budaya yang berbeda

dengan budaya negara barat. Bahkan Asocio (2004) menyatakan bahwa karakter CSR di

kawasan Asia Pasifik (termasuk Indonesia) lebih dipengaruhi oleh tradisi panjang

menghargai keluarga, jaringan sosial, agama dan budaya yang beraneka ragam, yang

membuat karakter CSR di negara Asia pasifik berbeda dengan negara Eropa dan

Amerika. Untuk itu diperlukan wacana praktik dan pengungkapan CSR yang disesuaikan

dengan budaya Indonesia.

Ide untuk melibatkan budaya dan nilai Ketuhanan dalam pembahasan mengenai

CSR sejalan dengan ide Diamond (2012) dan Mulawarman (2016). Diamond (2012)

menjelaskan pentingnya budaya tradisional bagi kehidupan modern seperti sekarang ini,

masyarakat tradisional sangat kaya secara sosial dan hal tersebut dapat diadopsi untuk

memecahkan masalah yang dihadapi manusia pada saat ini. Mulawarman (2016)

menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung meninggalkan budayanya dan

cenderung tenggelam dalam kehidupan modern yang sekuler, kapitalis, konsumtif,

pragmatis, sarat dengan oposisi biner dan individualis. Untuk itu dibutuhkan hijrah

kebudayaan beragama yang dapat mengembalikan masyarakat Indonesia kepada budaya

dan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.

Beberapa penelitian yang berusaha mewacanakan CSR dan pengungkapan CSR

sesuai dengan budaya Indonesia dan nilai-nilai Ketuhanan pernah dilakukan oleh

Page 12: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

beberapa peneliti seperti Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Werastuti (2017). Pertiwi dan

Ludigdo (2013) meneliti implementasi CSR berdasarkan budaya Tri Hita Karana pada

Kartika Plaza Hotel Bali. Konsep Tri Hita Karana menjadi filosofi keseimbangan hidup

masyarakat Hindu di Pulau Bali, meliputi hubungan yang harmonis antara manusia

dengan Tuhan (parhyangan), antar manusia (pawongan) dan antara manusia dengan

lingkungan (palemahan). Unsur sosial/masyarakat dalam pelaksanaan CSR sesuai

dengan unsur pawongan,unsur alam dan lingkungan sesuai dengan unsur palemahan.

Dalam budaya Tri Hita Karana, unsur palemahan dan pawongan akan selalu

berhubungan dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Bentuk implementasi CSR

Kartika Plaza Hotel sesuai konsep pawongan antara lain memberikan kesempatan seluas-

luasnya bagi masyarakat lokal untuk mementaskan keseniannya setiap malam tanpa

harus dipungut biaya dan memiliki komitmen untuk mengutamakan kesejahteraan

pengusaha agrobisnis lokal (dari Bali maupun Indonesia). Bentuk implementasi CSR

sesuai dengan unsur palemahan antara lain tetap menjaga habitat asli tanaman yang

tumbuh di sepanjang pantai hotel dan pengolahan limbah hotel agar tidak mencemari

lingkungan. Implementasi CSR yang sesuai dengan dimensi parhyangan antara lain

membuat pura di area hotel dan memberikan kontribusi terhadap kegiatan keagamaan di

sekitar hotel. Perbedaan mencolok dari implementasi CSR berdasar GRI dan budaya Tri

Hita Karana adalah CSR berdasarkan GRI tidak mempertimbangkan aspek Ketuhanan,

dengan kata lain panduan GRI bersifat sekuler sedangkan budaya Tri Hita Karana

mengakomodasi aspek Ketuhanan dalam implementasi CSR.

Werastuti (2017) mengkonstruksi konsep CSR dalam perspektif Catur Purusa

Artha (CPA). CPA merupakan filosofi Hindu- Bali yang menggambarkan empat tujuan

hidup umat Hindu, yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dharma

merupakan berbagai norma, nilai, dan aturan yang memiliki sumber dari konsensus dan

kesepakatan manusia sendiri dan dari ajaran agama. Artha merupakan harta benda yang

digunakan untuk keperluan hidup. Kama merupakan keinginan, seperti keinginan untuk

mempertahankan hidup, bebas dari rasa haus, lapar, dingin, panas, sakit, dan lain-lain.

Moksa, adalah capaian kebahagian yang sangat kekal serta abadi, manunggalnya Atma

dengan Sang Maha Pencipta yaitu Paramatma. Konstruksi CSR berdasarkan CPA

menghasilkan definisi CSR sebagai berikut CSR merupakan pelaksanaan Dharma dalam

bentuk pemberian kontribusi berupa uang atau bentuk lain yang bermanfaat bagi banyak

pihak. Kontribusi tersebut dilakukan secara tulus ikhlas yang berasal dari Artha

Page 13: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

perusahaan. Pendistribusiannya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat

serta lingkungan yang berlandaskan Kama. Semua dilakukan dengan sasaran dan tujuan

akhir Moksa, yaitu kebahagiaan di dunia akhirat nanti. Dari konstruksi tersebut, dapat

dilihat bahwa aktivitas CSR ditujukan untuk aspek spiritual, yaitu kebahagiaan akhirat

dan aspek ini tidak nampak pada definisi CSR menurut GRI maupun tokoh-tokoh barat.

Baudrillard dan Simulakra

Kamayanti (2016) menjelaskan bahwa menurut Baudrillard, saat ini kita hidup

dalam dunia yang penuh dengan pencitraan, di mana citra menjadi realitas itu sendiri

bahkan menggantikan realitas yang sebenarnya. Citra yang menggantikan realitas

sebenarnya, bahkan terpisah atau tidak memiliki hubungan dengan realitas sebenarnya

disebut dengan simulakra. Baudrillard menggunakan idenya mengenai simulakra,

implosion dan hyperreality untuk menjelaskan secara radikal mengenai masyarakat

posmodern. Simulakra merupakan simbol, imaji, model, atau bayangan yang mirip

dengan sesuatu yang lain. Implosion terjadi saat batas antara dua atau lebih entitas,

konsep, atau dua dunia saling memudar dan saling larut dan perbedaan diantara keduanya

menjadi hilang. Hperreality menjelaskan kondisi posmodern dimana simulakra tidak lagi

terkait dengan realitas yang sebenarnya dan dimana simbol, imaji dan model yang ada

merupakan imaji, simbol dan model yang terpisah dari material/objek yang yang riil

(Baudrillard, 1994 dalam Macintosh, Shearer, Thornton dan Welker, 2000).

Baudrillard menyatakan bahwa simulakra tidak serta merta terjadi secara

sekaligus. Proses suatu citra menjadi simulakra terdiri dari beberapa tahap, yang disebut

dengan simulation (Macintosh et al, 2000). Tahap pertama disebut dengan sacramental

order, dimana citra/imaji merupakan cerminan dari realitas sebenarnya. Tahap kedua

adalah maleficence order, dimana citra mulai menjadi topeng dan mengubah realitas.

Tahap ketiga adalah sorcery order, dimana citra menjadi topeng atas realitas yang tidak

lagi ada. Tahap terakhir adalah pure simulation, dimana sebuah citra/imaji tidak memiliki

hubungan /koneksi sama sekali dengan realitas, namun telah menjadi realitas itu sendiri.

Selanjutnya Bauldrillard dalam Kamayanti (2016) menjelaskan tiga macam

simulakra yang berkembang semakin rumit dan diciptakan dengan tujuan berbeda.

Simulakra yang masih didasarkan pada citra natural bertujuan untuk mensubstitusikan

realitas ideal yang hilang dengan optimism. Simulakra tahap kedua bertujuan untuk

membangkitkan kesadaran tentang kebebasan dan progresivitas. Simulakra tahap ketiga

Page 14: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

merupakan simulakra berdasarkan informasi yang menjadi hyperreality. Simulakra

menurut pandangan Jean Baudrillard menjadi sebuah duplikasi, yang aslinya tidak

pernah ada atau bisa dikatakan merupakan sebuah realitas tiruan yang tidak lagi mengacu

pada realitas sesungguhnya, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur.

Hyperreality bertujuan untuk mengendalikan realitas.

Konsep simulakra pernah digunakan sebagai kerangka pikir penelitian akuntansi,

diantaranya penelitian Macintosh et al (2000) yang menyoroti bahwa akuntansi

merupakan sebuah simulakra dan hyperreality, dilihat dari perspektif income dan modal.

Dalam penelitian tersebut, simbol akuntansi mengalami perubahan representasi melalui

beberapa tahap, yaitu (a) pada masa pra sejarah, akuntansi merefleksikan realitas yang

sebenarnya; (b) pada masa pencerahan (feudal renaissance), akuntansi berubah menjadi

citra yang menjadi topeng realitas; (c) masa teknologi rekayasa keuangan, yang

merupakan era simulasi dimana citra akuntansi semakin terpisah dari realitasnya, yang

ditandai dengan adanya manajemen laba, pasar modal dan kemajuan teknologi. Mengacu

pada penelitian Macintosh et al (2000), maka simulakra juga dapat dijadikan sebagai

kerangka pikir untuk membahas mengenai pelaporan CSR dalam laporan tahunan.

Simulakra Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Salah satu tujuan dari panduan pengungkapan CSR yang dikeluarkan oleh GRI

adalah menyediakan informasi kinerja perusahaan di bidang ekonomi, sosial dan

lingkungan, baik berupa kontribusi positif maupun negatif. Penerapan standar GRI akan

diverifikasi melalui assurance eksternal maupun sertifikasi, untuk memastikan bahwa

informasi yang diungkapkan bersifat reliabel, sesuai standar, dan transparan (Owen dan

O’Dwyer, 2005). Dalam praktiknya, pengungkapan CSR berdasarkan panduan GRI

banyak dikritik oleh beberapa peneliti. Salah satu kritik diajukan oleh Bebbington,

Larrinaga dan Moneva (2004). Panduan GRI memperbolehkan perusahaan untuk

menerapkan panduan tersebut secara bertahap, dengan berfokus kepada salah satu aspek

saja, sosial atau lingkungan. Dengan demikian perusahaan dapat memilih untuk hanya

melaporkan aktivitas yang meningkatkan reputasi perusahaan, sedangkan informasi

negatif yang memperburuk citra perusahaan tidak akan dilaporkan (Bebbington et al,

2004). Kemungkinan perbedaan antara pengungkapan CSR dengan kondisi riil

perusahaan ini membutuhkan analisis yang lebih mendalam atas hubungan yang

menyesatkan antara informasi yang diungkapkan ke publik dengan realitas yang terjadi.

Page 15: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

Pemikiran Baudrillard mengenai simulakra dapat digunakan untuk menganalisis

perbedaan antara informasi yang diungkapkan ke publik dengan kondisi riil yang terjadi

di perusahaan.

Analisis pengungkapan CSR dalam konteks simulakra berarti apa yang

diungkapkan perusahaan bukanlah kondisi riil yang terjadi dalam perusahaan, tetapi

simulakra dari apa yang mereka persepsikan sebagai sesuatu yang riil. Coy dan Pratt

(1998) menyatakan bahwa konsep akuntansi dan pengungkapan merupakan alat untuk

membentuk dan menciptakan realitas terkait operasi perusahaan. Adanya standar

pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI juga memunculkan kesenjangan (gap)

antara apa yang diinginkan oleh standar dengan apa yang diungkapkan oleh perusahaan

(Adam dan Evan, 2004). Oleh beberapa peneliti, kesenjangan tersebut dinamakan dengan

”reporting-performance portrayal gap” (Adams, 2004); ”assurance expectation gap”

(Swift dan Dando, 2002); ”legitimacy gap” (Moeman dan Van der Laan, 2005); dan

”credibility gap” (Owen dan O’Dwyer, 2005) dalam Gray (2010). Dey (2007)

mengidentifikasi tiga macam gap terkait dengan pengungkapan CSR dan panduan

pelaporan CSR menurut GRI, yang pertama adalah perbedaaan antara kelengkapan

pengungkapan dengan kinerja sosial dan lingkungan yang dijanjikan oleh perusahaan dan

standar pelaporan. Kemungkinan besar perusahaan hanya akan mengungkapkan

informasi yang meningkatkan reputasi dan citra perusahaan. Selain itu, untuk

memastikan pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan sesuai dengan standar GRI,

maka dibutuhkan assurance dari pihak eksternal, hal ini menimbulkan pertanyaan

mengenai independensi dari tim assurance. Sehingga gap kedua yang muncul adalah

kesenjangan antara rendahnya reliabilitas assurance dan kredibilitas yang dijanjikan oleh

pengungkapan. Gap ketiga adalah perbedaan antara pengendalian dan pembatasan pada

proses dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya dengan kebebasan dan hak dari

peserta dialog (stakeholder).

Mengacu pada pemikiran Baudrillard, Boiral (2013) menjelaskan bahwa

sustainability reports merupakan simulakra terkait dengan tiga hal, yaitu (a) semakin

terputusnya koneksi antara realitas tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan

oleh perusahaan dengan representasinya, (b) kontrol dan manipulasi atas informasi, dan

(c) pengaruh yang diberikan oleh proliferasi gambar yang menyesatkan. Informasi CSR

yang diungkapkan oleh perusahaan semakin tidak terkait dengan realitas yang terjadi.

Informasi yang diberikan oleh perusahaan cenderung menggantikan relitas, menjadi

Page 16: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

semakin sulit untuk dipahami dan membingungkan pemakai pelaporan. Panduan

pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI menghendaki perusahaan

mengungkapkan aktivitas CSRnya sesuai dengan 75 indikator baik di bidang ekonomi,

sosial maupun lingkungan. Semakin banyak item yang diungkapkan, maka perusahaan

dianggap semakin transparan. Menurut Debord (2002), penyampaian informasi yang

terlalu banyak (overload) akan membingungkan dan menyesatkan pengguna laporan

ketika informasi tersebut terpisah dari realitas yang sebenarnya, bahkan informasi

tersebut akan membuat penggguna laporan tidak menyadari realitas yang terjadi. Selain

itu, adanya assurance yang dilakukan oleh pihak eksternal untuk memastikan bahwa

pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan panduan pengungkapan

GRI mengundang banyak kritik. Kritikan atas assurance tersebut antara lain terkait

dengan independensi dari tim assurance, konflik kepentingan manajer dan kurangnya

keterlibatan dari stakeholder kunci (Moneva et al., 2006, Dey, 2007). Dari sudut pandang

Baudrillard, mekanisme assurance tersebut dapat menutupi realitas yang terjadi dan

informasi yang diungkapkan oleh perusahaan bisa jadi hanya sebatas pengungkapan saja

tanpa didukung fakta yang terjadi dalam perusahaan. Sehingga pengungkapan CSR dan

assurance atas pengungkapan CSR merepresentasikan hyppereality atas simbol, data dan

imaji tanpa referensi pada realitas yang terjadi.

Dalam konteks simulakra, manajer dapat melakukan kontrol dan manipulasi atas

informasi yang diungkapkan kepada publik untuk mempertahankan posisinya. Kontrol

manajer bersifat signifikan karena pengungkapan CSR masih merupakan pengungkapan

sukarela. Manajer memegang kendali atas pelaporan perusahaan, sehingga informasi

yang diungkapkan oleh perusahaan cenderung bias dan lebih merefleksikan kepentingan

manajer daripada merefleksikan kondisi riil perusahaan (Gray, 2010). Manajer dapat

mengungkapkan dampak positif aktivitas operasinya terhadap lingkungan dan sosial dan

menyembunyikan dampak negatif yang terjadi. Aktivitas ini akan mendorong perusahaan

pada narsisme pengungkapan CSR, yaitu upaya perusahaan untuk mendapatkan

pengakuan dan kekaguman dari pihak lain dengan cara menyoroti prestasi perusahaan

dan menyamarkan dampak negatif yang ditimbulkannya (Boiral, 2013). Panduan

pengungkapan GRI mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara

seimbang, baik dampak positif maupun negatif dari aktivitas operasi perusahaan. Tetapi

fakta menunjukkan bahwa pengungkapan informasi CSR yang dikontrol oleh manajer

Page 17: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

merepresentasikan tontonan yang narsis (narcissist spectacle), monolog tanpa akhir yang

memuji diri sendiri.

Melalui pengungkapan CSR dalam laporan tahuan, perusahaan dapat menyajikan

proliferasi imaji yang menyesatkan. Perusahaan dapat menyajikan imaji yang terkesan

lebih nyata dari realitas (Boiral, 2013). Hal ini nampak dari gambar-gambar yang

disajikan dalam pelaporan berkelanjutan maupun laporan tahunan perusahaan, yang

penuh dengan pencitraan untuk kepentingan public relations. Bahkan seiring dengan

kemajuan teknologi, saat ini banyak perusahaan yang menggunakan jasa designer grafis

untuk membuat laporan tahunan yang lebih menarik secara visual dan untuk

memasukkan gambar yang tidak selalu mewakili realitas (Preston and Young, 2000).

Sebagai contoh PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) menampilkan gambar karyawan yang

sedang menanam pohon (kepedulian lingkungan) dan mencantumkan tulisan proper

(program penghargaan lingkungan dari menteri lingkungan hidup) pada sampul laporan

tahunannya.

Sumber: Annual Report PT. Antam, 2016

Gambar di atas menciptakan representasi ideal perusahaan dan menunjukkan kepedulian

lingkungan serta prestasi PT.Antam di bidang lingkungan. Gambar tersebut bukan hanya

dapat menyamarkan kasus pencemaran PT. Antam pada lima sungai besar di Kabupaten

Sarolangun Propinsi Jambi yang mengakibatkan kematian berbagai jenis ikan serta

pencemaran laut di sekitar Pulau Halmahera Timur pada tahun 2016 akibat eksplorasi

(tempo.co.id). Tetapi gambar tersebut juga menghasilkan ilusi dalam pikiran pembaca

laporan bahwa aktivitas operasi PT. Antam memiliki dampak positif terhadap

lingkungan. Dengan cara seperti ini, gambar aktivitas CSR yang terdapat dalam laporan

tahunan berkontribusi untuk menciptakan simulakra yang meyakinkan pembaca, tetapi

terpisah dari realitas. Informasi CSR yang diungkapkan oleh perusahaan akan digunakan

Page 18: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

oleh pemakai laporan untuk membuat keputusan, dengan kata lain keputusan yang

diambil merupakan keputusan yang salah karena didasarkan pada informasi yang tidak

mencerminkan bahkan terpisah dari realitas. Agar pengungkapan CSR tidak terus

menerus menjadi simulakra yang dapat menyesatkan pemakai informasi, maka perlu

menghadirkan cinta kasih sebagai landasan dalam aktivitas dan pengungkapan CSR.

Menggugat Simulakra Pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan

Menghadirkan Cinta Kasih dalam Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Konsep CSR dan pengungkapan CSR pada awalnya muncul pada pemikiran

pemikir-pemikir barat modern yang sangat mengutamakan rasionalisme. Peradaban

masyarakat barat modern merupakan peradaban yang sekuler karena manusia berusaha

untuk “membunuh semua tuhan” dan membebaskan diri dari kekuatan surgawi (Nasr,

1983). Bahkan Diamond (2012) menyatakan bahwa Tuhan adalah Supranatural

Explanation, yang pada akhirnya akan hilang luruh di masa depan. Manusia memiliki

kehendak bebas dan Tuhan tidak pernah hadir dalam realitas dan Realitasnya sendiri.

Negasi akan Tuhan dalam pemikiran Barat mendorong manusia menjadi serakah,

sehingga memunculkan krisis lingkungan dan sosial. Krisis lingkungan dan sosial

sebagai akibat budaya modern dan kapitalisme akhirnya memunculkan konsep tanggung

jawab perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. Tetapi karena konsep CSR ini masih

sekuler, maka dalam pelaksanaannya pun CSR hanya digunakan sebagai alat untuk

melegitimasi eksploitasi lingkungan dan masyarakat. Hasil penelitian Boiral (2013)

dengan menggunakan 23 laporan berkelanjutan dari perusahaan di seluruh dunia yang

mendapatkan grade A dari GRI menunjukkan bahwa pengungkapan CSR merupakan

simulakra. Agar pengungkapan CSR tidak lagi menjadi alat legitimasi eksploitasi

lingkungan dan sosial, serta bukan lagi sekadar menjadi narasi besar dan simulakra yang

digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, maka cinta kasih yang didasarkan pada

nilai-nilai Ketuhanan perlu dihadirkan sebagai landasan dalam aktivitas dan

pengungkapan CSR.

Cinta kasih yang akan saya hadirkan sebagai nafas dalam aktivitas dan

pengungkapan CSR akan saya landaskan dari nilai-nilai Kristen. Salah satu ajaran Yesus

adalah hukum kasih yang dituangkan dalam Kitab Matius 22 : 34-40 “Kasihilah Tuhan,

Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal

budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang

Page 19: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ketika

semua aktivitas manusia dilandaskan pada dua hukum tersebut, maka semua tindakan

yang dilakukan akan didasarkan pada rasa cinta kasih baik kepada Tuhan maupun

sesama. Hal itu juga berlaku bagi perusahaan sebagai kumpulan dari manusia.

Sebagai bentuk kasih Tuhan pada manusia, maka Tuhan memberikan alam

semesta dan seluruh isinya untuk dikelola oleh manusia. Dengan demikian manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada alam, sehingga diperlukan

kerjasama antara manusia dengan alam. Hal ini sejalan dengan paradigma kosmologi

holistik yang dikemukakan oleh Fritjof Capra, melalui bukunya yang berjudul The Tao

of Physics dan The Turning Point dinyatakan bahwa hubungan antara manusia dan alam

dipandang sebagai serangkaian jaringan yang kompleks dan segala sesuatu yang saling

terkait antara satu dengan yang lain. Kosmologi holistik tersebut berusaha menyingkap

kesejajaran antara fisika modern dengan mistisisme timur (Budha, Hindu, Tao dan Zen)

dalam memandang alam. Capra (2001) menyatakan bahwa seluruh bumi merupakan

sebuah kompleksitas kehidupan yang utuh dan terpadu.

Menurut ajaran Kristen (Kitab Kejadian 1: 26-28), manusia dan alam semesta

diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi, serta manusia diberi mandat oleh Tuhan

untuk memelihara dan mengelola alam semesta. Praktik pengungkapan CSR saat ini

masih menitikberatkan pada aspek ekonomi dan masih sarat dengan kapitalisme.

Kehadiran nilai ajaran Kristen diharapkan membantu perusahaan untuk membangun

konsep dan praktik CSR yang lebih utuh, bukan hanya berporos pada aspek ekonomi

saja, tetapi juga bertanggung jawab secara tulus dan benar pada aspek lingkungan dan

sosial. Aktivitas dan pengungkapan CSR dipandang sebagai perwujudan cinta kasih

perusahaan kepada Tuhan, manusia serta alam.

Hukum kasih yang kedua memerintahkan agar manusia mengasihi sesamanya

seperti mengasihi diri sendiri. Pelaksanaan CSR perusahaan pada aspek sosial dapat

mengacu pada hukum ini. Dari dimensi sosial dapat dikatakan bahwa mengasihi sesama

seperti diri sendiri berarti manusia memiliki tanggung jawab terhadap sesamanya.

Konsep sesama dalam konteks perusahaan adalah stakeholders, sehingga perusahaan

memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan para stakeholdernya. Selama perusahaan

ada, maka tanggung jawab tersebut terus melekat pada dirinya. Hubungan perusahaan

dengan stakeholdernya tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan bisnis, tetapi

relasi yang saling mendukung dan mencintai antara satu sama lain. Mengasihi sesama

Page 20: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

dapat diartikan bahwa perusahaan harus menganggap semua stakeholder memiliki hak

dan kedudukan yang sama, sehingga tidak ada stakeholder tertentu yang lebih

diutamakan. Dengankata lain, perusahaan harus memperlakukan semua stakeholdernya

secara adil. Perusahaan harus memperhatikan semua kepentingan stakeholder, bukan

hanya mengutamakan kepentingan pemegang saham saja.

Mengasihi sesama juga berarti perusahaan hendaknya tidak memperlakukan

stakeholder hanya sebagai alat mencapai tujuannya. Kegiatan operasi perusahaan

merupakan kerjasama dari seluruh stakeholder, sehingga para stakeholder perlu dihargai

sebagai subjek dalam kegiatan perusahaan. Dengan kata lain perusahaan hendaknya

memiliki sikap setia kawan dan tenggang rasa pada stakeholdernya. Keberlanjutan

perusahaan tidak lepas dari peran stakeholder, hal ini berimplikasi keberhasilan

perusahaan hendaknya juga memberikan kesejahteraan bagi stakeholder. Sehingga

mengasihi sesama juga dapat diartikan perusahaan harus membagikan keberhasilannya

untuk kesejahteraan stakeholder.

Hukum kasih pertama memerintahkan manusia untuk mengasihi Tuhan dengan

segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.

Mengasihi Tuhan berarti segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai

bentuk cinta kasih kepada Tuhan, bukan untuk memenuhi keinginan diri manusia sendiri.

Sehingga dalam melakukan aktivitasnya, manusia selalu bertumpu pada perintah atau

Firman Tuhan. Salah satu perintah Tuhan terhadap manusia adalah untuk menguasai dan

mengelola bumi (Kejadian 1: 26-28). Menguasai dan mengelola bumi ini bukan berarti

manusia bebas mengeksploitasi bumi untuk kepentingan manusia, tetapi manusia

mengelola alam sebagai wujud cinta kasih dan tanggung jawab kepada Tuhan.

Perintah Tuhan untuk menguasai dan mengelola bumi seperti yang dijelaskan di

atas memiliki inti yang sama jika dilihat dari sudut pandang agama lain, misalnya Islam.

Dari sudut pandang Islam, Zuhri (2015) menyatakan bahwa berbeda dengan makhluk

lain yang memiliki misi kehadiran terbatas, manusia hadir di dunia memiliki misi yang

lebih penting. Manusia diberi kebebasan. Maka kebebasan yang dia miliki itu diarahkan

ke mana, di situlah letak nilai manusia. Jika manusia dapat menggunakan kebebasannya

secara bertanggung jawab sebagai wakil Allah di bumi (khalifah), termasuk dalam

mengelola alam, maka martabat manusia akan meningkat. Pernyataan Zuhri (2015)

tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Arabi dan Jalal Al-Din Rumi (Kartanegara, 2005).

Ibn Arabi dan Jalal Al-Din Rumi menyatakan bahwa manusia adalah tujuan akhir

Page 21: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

penciptaan alam. Sebagai makhluk yang paling akhir diciptakan, manusia dimungkinkan

untuk memiliki semua daya dan kecakapan yang dimiliki makhluk lain yang diciptakan

sebelum manusia. Manusia diciptakan untuk menjadi wakil Allah di bumi, yang

diharapkan Tuhan untuk melaksanakan kehendakNya di bumi, termasuk kehendakNya

untuk memelihara alam.

Dalam konteks perusahaan, menguasai dan mengelola bumi secara bertanggung

jawab dapat diartikan bahwa perusahaan menggunakan alam secara bertanggungjawab,

bukan hanya untuk kepentingan perusahaan itu sendiri tetapi untuk kepentingan sesama

manusia dan keberlanjutan alam itu sendiri. Menguasai dan mengelola bumi (alam)

sebagai wujud cinta kasih kepada Tuhan dan sesama berarti perusahaan dalam segala

aktivitas bisnisnya tidak dapat seenaknya sendiri menggunakan alam dan menikmati

hasilnya. Dengan segala kapabilitas yang dimiliki perusahaan, maka seluruh aktivitasnya

hendaknya diarahkan untuk mengembangkan, melindungi dan melestarikan alam.

Pemahaman yang benar tentang alam akan mencegah manusia dan perusahaan

mengeksploitasi alam dengan sewenang-wenang. Rumambi (2014), menyatakan bahwa

sebagai bagian dari stakeholders perusahaan, alam juga berhak untuk diperlakukan

secara adil. Alam diciptakan sebagai sumber kehidupan manusia. Di sisi lain, dalam alam

semesta ada kehidupan lainnya selain manusia. Oleh sebab itu, perusahaan mempunyai

kewajiban moral untuk bersikap adil terhadap alam dengan melindunginya. Sikap adil

tersebut diwujudkan dengan melindungi lingkungan alam, lingkungan di sekitar

perusahaan, dan lingkungan kerja di perusahaan.

Cinta kasih kepada Tuhan, sesama dan lingkungan hendaknya diterapkan bukan

hanya pada implementasi aktivitas CSR, tetapi juga pada pengungkapan aktivitas CSR.

Setiap pemangku kepentingan berhak untuk mendapatkan informasi tentang

perkembangan perusahaan. Sehingga perusahaan perlu untuk mengungkapkan informasi

yang lengkap, benar dan transparan dalam laporan tahunannya. Menurut Vaccaro dan

Mele (2010), setiap manusia memiliki kebebasan dalam memperoleh kebenaran. Dengan

demikian, perusahaan bertanggungjawab untuk mewujudkan kebenaran. Tanggung

jawab tersebut diwujudkan melalui prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam

penyusunan laporan tahunan. Dengan menerapkan transparansi dan akuntabilitas, maka

perusahaan menunjukkan rasa penghargaannya kepada stakeholder sebagai pribadi yang

mendukung perusahaan. Hal ini berarti perusahaan mengungkapkan semua dampak

Page 22: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

positif dan negatif dari aktivitas bisnisnya dengan penuh kejujuran, sebagai bentuk

pertanggungjawabannya kepada Tuhan dan manusia.

Perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada rasa cinta kasih akan terwujud

dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dan individu yang berada dalam

perusahaan. Pelaksanaan dan pengungkapan CSR merupakan wujud nyata cinta kasih

perusahaan kepada para stakeholdernya dan kepada Tuhan. Mencintai para stakeholder

berarti perusahaan akan bersikap adil, tenggang rasa dan rela berbagi dengan

stakeholdernya serta melindungi dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian

aktivitas dan pengungkapan CSR bukan lagi hanya menjadi narasi besar sebagai sarana

legitimasi eksploitasi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengungkapan

CSR juga bukan lagi menjadi simulakra yang terpisah dari realitas dan menyesatkan

pengguna informasi. Tetapi aktivitas dan pengungkapan CSR menjadi aktivitas cinta

kasih perusahaan kepada Tuhan dan sesama manusia. Jika manusia menyadari bahwa

segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya, maka semua aktivitas

manusia akan dilakukan sesuai dengan petunjukNya. Aktivitas yang dilandaskan pada

nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia, yang diwujudkan dalam keadilan,

tenggang rasa dan kejujuran kepada stakeholder dan perlindungan kepada alam akan

membawa kebaikan secara materi maupun spiritual.

KESIMPULAN

Krisis sosial dan lingkungan sebagai dampak negatif dari aktivitas perusahaan

memunculkan kesadaran masyarakat atas pentingnya Corporate Social Responsibility

(CSR). Walaupun perusahaan sudah melakukan CSR tetapi bukti menunjukkan bahwa

aktivitas dan pengungkapan CSR tersebut digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi

eksploitasi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat dalam upayanya mencari

laba. Mengacu pada pemikiran Lyotard, CSR dapat dikatakan sebagai grand narration

yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasannya.

Bukti yang menunjukkan bahwa CSR merupakan grand narration adalah

pengungkapan CSR yang diatur oleh panduan pengungkapan Global Reporting Initiative

(GRI). Menurut GRI, selama perusahaan dapat mengungkapkan CSR secara lengkap

sesuai dengan panduan GRI, maka perusahaan dapat dikatakan telah akuntabel di bidang

ekonomi, sosial dan lingkungan. Padahal praktik di perusahaan dapat menunjukkan

realitas yang berbeda. Perusahaan dapat menutupi masalah lingkungan dan sosial yang

Page 23: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

sebenarnya dengan melakukan pengungkapan CSR. Selain itu, GRI sebagai bentuk

panduan pengungkapan yang diakui dan disepakati secara internasional merupakan

bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern . Pengungkapan CSR yang

disyaratkan oleh GRI belum tentu sesuai dengan kondisi praktik dan pengungkapan CSR

di Indonesia. Pengungkapan CSR yang mengakomodasi budaya dan nilai-nilai luhur

Bangsa Indonesia akan dapat membebaskan pengungkapan CSR dari narasi besar.

Mengacu pada pemikiran Jean Baudrillard, pengungkapan CSR merupakan

sebuah simulakra, yang terpisah dari realitas yang terjadi dalam perusahaan. Hal itu

ditunjukkan dengan (a) Representasi perusahaan yang semakin tidak terkoneksi dengan

realitas dampak negatif operasi bisnis perusahaan karena perusahaan tidak transparan

dalam pelaporan, (b) Kontrol dan manipulasi informasi yang diungkapkan oleh

perusahaan, yang hanya menyoroti hal-hal positif dari perusahaan, (c) Ploriferasi imaji

yang menyesatkan. Jika informasi akuntansi dan pengungkapan CSR tidak lagi merujuk

pada realitas ekonomi, maka informasi tersebut menjadi informasi yang menyesatkan.

Untuk mematahkan simulakra CSR, dibutuhkan konsep aktivitas dan pengungkapan

CSR yang dilandaskan pada cinta kasih, baik cinta kasih kepada Tuhan maupun cinta

kasih kepada sesama manusia dan alam.

REFERENSI

Belkaoui, Ahmed.R. 2006. Accounting Theory.”Ed.5. Jakarta: Salemba Empat.

Bebbington, J., Larrinaga, C., & Moneva, J.M. 2004. “An Evaluation Of The Role Of

Social, Environmental And Sustainable Development Reporting In Reputation

Risk Management. Fourth Asian Pacific interdisciplinary research in

accounting.

Capra., Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan

Kebudayaan. Terjemahan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Capra., Fritjof. 2005. The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan

MistismeTimur, Terjemahan. Cetakan Lxxxiv. Yogyakarta: Jala Sutra.

Carroll, A.B. 1979. “A Three-Dimensional Conceptual Model Of Corporate

Performance’’. Academy of Management Review 4: 497-505.

Page 24: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

Carroll, A.B. 1999. ‘‘Corporate social responsibility: evolution of a definitional

construct’’, Business and Society, 38: 68-95.

Chwastiak, Michele dan Joni J Young. 2003. “Silences in Annual Reports.” Critical

Perspectives on Accounting 14 :533–552

Cho, C.H. and Patten, D.M.2007. “The Role Of Environmental Disclosures As Tools Of

Legitimacy: A Research Note”. Accounting, Organizations and Society 32 (7-

8):639-647.

Coy D, Pratt M. 1998. “An insight into accountability and politics in universities: a case

study”. Accounting, Auditing & Accountability Journal 11: 540–561.

Damayanti, Theresia Woro. 2009. “Audit Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan:

Pendekatan Literatur.” Jurnal Akuntansi dan Keuangan 11 (2): 101-108.

Darwin, Ali. 2006. “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi

Perusahaan di Indonesia”. IAI-KAM, eBar edisi3.

Deegan, Craig. 2002. “Introduction: The Legitimising Effect of Social and

Environmental Disclosures – A Theoritical Foundation”. Accounting, Auditing,

and Accountability Journal 15 (3): 282-311.

Dey, C. 2007. “Developing Silent and Shadow Accounts”. Sustainability, Accounting

and Accountability, Routledge, New York, NY, pp. 307-326.

Diamond., Jared. 2012. The World until Yesterday: What can We Learn from Traditional

Societies. New York: Penguin Books.

Elaati, Albulazim. 2016. Postmodernism Theory. ttps://www.researchgate.net/ (diunduh

pada 10 November 2017).

Everett, J., & Neu, D. 2000. “Ecological Modernization and The Limits of Environmental

Accounting?”. Accounting Forum 24(1), 5–29.

Gray, R.. 2006). :Social, environmental and sustainability reporting and organisational

value creation? Whose value? Whose creation?”. Accounting, Auditing and

Accountability Journal 19 (6): 793-819.

Gray, R. 2010. “Is Accounting For Sustainability Actually Accounting For Sustainability

and How Would We Know? An Exploration Of Narratives Of Organisations And

The Planet”. Accounting, Organizations and Society 35 (1): 47-62.

Habib, Fariz. 2016. Perkembangan Sustainability Reporting di Indonesia.

www.farizhabib.woerpress.com (diunduh pada 10 November 2017).

Page 25: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

Hackston, David dan Markus J Milne. 1996. “Some Determinants of Social and

Environmental Disclosure in New Zealand Companies.” Accounting, Auditing

and Accountability Journal 9 (1): 1996.

Hofstede, G. 1998. “Think Locally, Act Globally: Cultural Constraints in Personnel

Management”. Management International Review 38:7-26.

Januarti, I. 2004. “Pendekatan dan Kritik Teori Akuntansi Positif”. Jurnal Akuntansi &

Auditing 01 (01): 83-94.

Kamayanti., Ari. 2016. Metodologi Konstruktif: Riset Akuntansi Membumikan

Religiositas. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.

Bandung: Penerbit Mizan.

Lyotard, J.F. 2009. Kondisi Postmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. Selasar

Surabaya Publishing: Surabaya.

Macintosh, N.B., Shearer, T., Thornton, D.B. and Welker, M. 2000. “Accounting as

Simulacrum and Hyperreality: Perspectives on Income and Capital”. Accounting,

Organizations and Society 25 (1): 13-50.

Moneva, J.M., Archel, P. and Correa, C. 2006. “GRI and the camouflaging of corporate

unsustainability”, Accounting Forum 30 (2): 121-137.

Moura-Leite., Rosamaria dan Robert Padgett. 2013. “Historical Background of

Corporate Social Responsibility”. Social Responsibility Journal 7 (4): 528 – 539.

Muhlisin. 2006. Posmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern.

Eprints.dinus.ac.id (diunduh pada 21 November 2017).

Mulawarman, Aji Dedi. 2010. Integrasi Paradigma Akuntansi : Refleksi atas Pendekatan

Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 1 (1): 155-

171.

Mulawarman., A. Dedi. 2016. 2024 Hijrah untuk Negeri. Kehancuran atau Kebahagiaan

(?) Indonesia dalam Ayunan Peradaban. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.

Nasr., Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. 1983. Terjemahan.

Cetakan I. Bandung: Penerbit Pustaka – Perpustakaan Salman Institut Teknologi

Bandung.

Owen, D. and O’Dwyer, B. 2005.“Assurance Statement Practice in Environmental,

Social and Sustainability Reporting: a Critical Evaluation”. The British

Accounting Review 37(2): 205-229.

Page 26: MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA …

Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016

Pertiwi, I Dewa Ayu dan Unti Ludigdo. Implementasi Corporate Social Responsibility

Berlandaskan Budaya Tri Hita Karana. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 4 (3):

430-455.

Preston, Alistair dan Joni Young. 2000. “Constructing The Global Corporation and

Corporate Construction of The Global: A Picture Essay. Accounting,

Organizations and Society 25 (2000): 427-449.

Ritzer, George. 2010. Globalization: The Essentials. USA: John Wiley & Sons Ltd.

Rumambi, Hedy. 2014. Konsep Dasar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam

Perspektif Ajaran Gereja Katholik (Kasus pada PT. Indofood CBP Sukses

Makmur Tbk Cabang Manado). Disertasi FEB Universitas Brawijaya.

Ryadi, Agustinus. 2004. “Postmodernisme Versus Modernisme”. Studia Philosophica et

Theologica 4 (20): 90-102.

Sugiharto., I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius.

Sylvia. 2014. “Membawakan Cinta untuk Akuntansi.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma

5 (1): 139-148.

Umanailo. 2014. Postmodernisme dalam Pandangan Jean Franois Lyotard.

www.academia.edu (diunduh pada 24 November 2017).

Waddock, S. 2008. ‘‘Building a new institutional infrastructure for corporate

responsibility. Academy of Management Perspectives: 87-108.

Werastuti, Desak Nyoman. 2017. “Konsep Corporate Social Responsibility Berbasis

Catur Purusa Artha”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 8 (2): 1-10.

Zuhri., Muhammad. 2013. Secawan Cinta: Pesan-Pesan Kearifan dari Lereng Muria.

Jakarta: Barzakh Foundation.