Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
MENGGUGAT NARASI BESAR DAN SIMULAKRA PENGUNGKAPAN
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Oleh:
Yeterina Widi Nugrahanti
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
Email: [email protected]
Abstract
The purpose of this article is to describe Corporate Social Responsibility (CSR) Disclosure using
postmodern perspectives, Lyotard’s and Jean Baudrillard’s thinking. From Lyotard’s thinking,
CSR disclosure can be viewed as grand narration used to camouflage real social and
environmental problems. CSR disclosure guideliness arranged by Global Reporting Initiative
(GRI) is a form of universalims that strongly opposed by postmodernism. CSR disclosure
practices that accommodate Indonesian cultures and values will be able to break grand narration
in CSR disclosure. From Baudrillard perspective, CSR disclosure can be viewed as simulacrum.
The simulacrum is shown by (a) the disconnect between reality and its representations, especially
the lack of tranparancy in negative business impact disclosures; (b) The control and
manipulation of information, and (c) the proliferation of misleading images. To break the CSR
disclosure simulacra, it takes CSR concept that based on love, which are love to God, love to
human being and love to nature.
Keywords: corporate social responsibility disclosure, posmodernism, grand naration, simulacra
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility/ CSR) dari perspektif pemikiran posmodern, yaitu pemikiran
Lyotard dan pemikiran Jean Baudrillard. Dari pemikiran Lyotard, pengungkapan CSR
merupakan narasi besar yang digunakan untuk mengkamuflase masalah sosial dan lingkungan
yang sebenarnya. Aturan panduan pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI (Global
Reporting Initiative) merupakan bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern.
Praktik pengungkapan CSR yang mengakomodasi budaya dan nilai-nilai Indonesia diharapkan
dapat mematahkan narasi besar pengungkapan CSR. Dari sudut pandang pemikiran Baudrillard,
pengungkapan CSR merupakan simulakra, yang ditunjukkan dengan (a) semakin terpisahnya
realitas dengan representasi yang disajikan oleh perusahaan, khususnya perusahaan tidak
transparan dalam menyajikan informasi dampak negatif dari bisnisnya; (b) kontrol dan
manipulasi informasi CSR; (c) pengungkapan CSR yang mengarah pada proliferasi imaji yang
menyesatkan. Untuk mematahkan simulakra pengungkapan CSR, maka dibutuhkan konsep
aktivitas dan pengungkapan CSR yang didasarkan pada cinta kasih, baik cinta kasih kepada
Tuhan, cinta kasih kepada sesama dan cinta kasih kepada alam.
Kata kunci: pengungkapan corporate social responsibility, posmodern, narasi besar, simulakra
PENDAHULUAN
Seiring dengan globalisasi dan perkembangan bisnis, dalam jangka waktu 2-3
dekade terakhir ini, kesadaran masyarakat dunia mengenai peran perusahaan dalam
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
lingkungan dan sosial semakin meningkat. Banyak perusahaan besar mendapat kritikan
karena menyebabkan masalah sosial maupun lingkungan dan hal ini dapat mengganggu
going concern perusahaan. Sejalan dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan para
stakeholders perusahaan, maka konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau
tanggung jawab sosial perusahaan muncul dan menjadi bagian tak terpisahkan dari
kelangsungan hidup perusahaan. Konsep CSR menekankan bahwa tanggung jawab
perusahaan bukan lagi hanya sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan laba), tetapi
perusahaan juga mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat (sosial) dan
lingkungan. Implementasi CSR di Indonesia diatur dalam UU Perseroan Terbatas No 40
Tahun 2007, pasal 74 yang mewajibkan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya
alam untuk melakukan CSR. Perusahaan yang tidak melakukan CSR akan dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti pelaksanaan
CSR merupakan keharusan dan bersifat memaksa bagi perusahaan-perusahaan di
Indonesia.
Perusahaan yang melakukan CSR pada umumnya akan mengungkapkan kegiatan
dan biaya CSR tersebut dalam laporan tahunan maupun laporan berkelanjutan
(sustainability reporting). Pengungkapan aktivitas CSR disebut dengan social
responsibility accounting (SRA) (Belkaoui,2006); corporate social reporting, social
disclosure, social accounting (Mathews, 1995 dalam Damayanti, 2009) atau corporate
social responsibility disclosure (Hackston dan Milne, 1996). Data dari KPMG (2008)
menunjukkan bahwa lebih dari 80% perusahaan di seluruh dunia telah menerbitkan
laporan berkelanjutan. Laporan berkelanjutan tersebut ditujukan memberikan informasi
yang lebih baik pada stakeholder dan sudah seharusnya perusahaan mengungkapkan
informasi secara transparan tentang dampak aktual dari aktivitas bisnis organisasi. Tanpa
transparansi ini, informasi CSR hanya mejadi alat pemasaran yang ditujukan untuk
meningkatkan citra perusahaaan dan legitimasi sosial (Cho dan Patten, 2007).
Untuk memfasilitasi pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan, sebuah
lembaga internasional pemerhati CSR, yaitu Global Reporting Initiative (GRI)
menerbitkan panduan pengungkapan CSR yang dapat digunakan bagi perusahaan di
seluruh dunia. Deegan (2002) melakukan studi literatur untuk mengetahui motivasi
manajer melakukan pengungkapan CSR. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
motivasi manajer melakukan pengungkapan CSR pada dasarnya bukan semata-mata
karena rasa kepedulian dan charity-nya kepada lingkungan dan masyarakat, tetapi CSR
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
lebih ditujukan untuk alasan ekonomi dan laba. Sehingga dapat dikatakan bahwa
kapitalisme merupakan motivasi utama mengapa sebuah perusahaan melakukan dan
mengungkapkan aktivitas CSR.
Gray (2010) menyatakan bahwa perkembangan akuntansi dan pelaporan CSR
selama lebih dari 40 tahun dapat dipahami sebagai narasi yang mengartikulasikan
hubungan antara organisasi dengan stakeholdersnya dan dengan lingkungannya.
Meningkatnya dominasi praktik bisnis barat dan kapitalisme keuangan internasional
berimplikasi pada praktik un-sustainability itu sendiri (Gray, 2006). Chwastiak dan
Young (2003) menemukan bahwa salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan untuk
menutupi dampak buruk aktivitas mereka adalah melakukan pengungkapan CSR dalam
laporan tahunan.
Hasil penelitian Deegan (2002) serta Chwastiak dan Young (2003) diatas
menunjukkan informasi CSR dalam laporan tahunan dapat digunakan oleh perusahaan
untuk mengakumulasi laba dan menutupi eksploitasi lingkungan dan sosial yang
dilakukan oleh perusahaa. Dengan kata lain, informasi CSR dalam laporan tahunan dapat
digunakan sebagai alat untuk mendominasi dan menguasai pihak lain. Menurut Lyotard
(1984) dalam Ryadi (2014) ketika sebuah pengetahuan digunakan untuk menguasai dan
mendominasi pihak lain, maka pengetahuan tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah
grand narration (narasi besar/meta narasi). Lyotard merupakan pemikir posmodern yang
menolak narasi besar yang menekankan pada universalisme. Aktivitas CSR yang
digembar-gemborkan oleh lembaga pemerhati lingkungan di dunia serta pengungkapan
CSR yang diatur oleh Global Reporting Initiative (GRI) menunjukkan bahwa
universalisme juga terjadi pada wacana pengungkapan CSR. Menurut Lyotard, meta
narasi merupakan narasi utama/ penguasaan, bagaimana manusia berusaha menguasai
alam untuk mencapai tujuan hidupnya. Narasi besar diyakini sebagai narasi modern, yang
mampu memaksakan konsensus/kebenaran.
Selain itu, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, penggunaan internet
dalam bisnis serta meningkatnya dampak buruk atas aktivitas bisnis di seluruh dunia,
maka pengungkapan CSR juga dapat dikritik sebagai sebuah simulakra. Simulakra
merupakan representasi ideal dan artifisial yang terpisah dari realitas sebenarnya. Konsep
simulakra diperkenalkan oleh Baudrillard (1995) yang merupakan seorang tokoh pemikir
posmodern. Baudrillard menyatakan bahwa saat ini kita hidup dalam dunia yang penuh
dengan pencitraan, dimana citra dapat menjadi realitas itu sendiri bahkan menggantikan
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
realitas yang sebenarnya (Kamayanti, 2016). Pengungkapan CSR dapat dianggap sebagai
sebuah simulakra karena perusahaan tidak melakukan pengungkapan secara transparan
dan menyamarkan masalah sosial dan lingkungan yang sedang terjadi, serta
pengungkapan tersebut menunjukkan representasi versi ideal dari kondisi perusahaan.
Pemikiran Lyotard dan Baudrillard yang digunakan untuk membahas CSR dan
pengungkapan CSR pada artikel ini merupakan pemikiran posmodern. Paradigma
posmodern pada awalnya muncul karena adanya kelemahan dan kegagalan paradigm
modernism (positivis, interpretif dan kritis) (Sugiharto, 1996). Menurut Mulawarman
(2010), posmodernisme memandang bahwa modernism membawa dampak buruk berupa
pengangguran, kesenjangan ekonomi, diksriminasi, seiring dengan maraknya kemajuan
teknologi, urbanisasi, industrialisasi dan dominasi budaya barat yang menjadi ciri khas
modernism. Posmodernisme merupakan pergerakan ide yang menggantikan ide-ide
zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas,
totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan sains.
Posmodern bercita-cita ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan kesadaran akan
semua realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang (Muhlisin, 2006).
Posmodernisme menentang universalitas pengetahuan dan mengakomodasi pluralitas
dan kreatifitas dalam mencari pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini bertujuan untuk menggambarkan
pengungkapan CSR jika dilihat dari perspektif posmodern. Kerangka pikir yang
digunakan dalam artikel ini adalah pemikiran Lyotard (narasi besar) dan pemikiran Jean
Baudrillard (simulakra). Pemikiran Baudrillard merupakan aliran posmodern esktrim
yang berpendapat bahwa masyarakat modern telah tergantikan oleh masyarakat
posmodern, atau dengan kata lain masyarakat telah berubah secara radikal. Sedangkan
pemikiran Lyotard merupakan aliran posmodern posisi teoretis yang memandang
modernitas dan postmodernitas sebagai kekuatan yang selalu menjalin hubungan satu
sama lain. Dengah menempatkan postmodernitas secara berkesinambungan dengan
modernitas, maka aliran ini berupaya untuk selalu menunjukkan keterbatasan–
keterbatasan modernitas (Muhlisin, 2006).
Pembahasan CSR dalam perspektif posmodern ini akan memperkaya khazanah
pengetahuan mengenai praktik pengungkapan CSR dan memberikan pandangan
bagaimana seharusnya perusahaan melakukan pengungkapan CSR. Pembahasan dalam
artikel ini meliputi (a) Lyotard dan grand narration (b) Pengungkapan CSR sebagai
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
narasi besar, (c) Menggugat Narasi Besar Pengungkapan CSR melalui Posmodernisme,
(d) Baudrillard dan simulakra, (e) Simulakra Pengungkapan CSR, (f) Menggugat
simulakra pengungkapan CSR dengan menghadirkan cinta kasih dalam pengungkapan
CSR dan (g) Kesimpulan.
PEMBAHASAN
Lyotard dan Grand Naration
Pemikiran posmodern Lyotard berkembang setelah melihat kenyataan gagalnya
modernitas, hilangnya daya tarik perjuangan sosialisme, runtuhnya komunisme, serta
modernitas dalam kesatuan ideal yang terpecah-pecah. Dalam bukunya "Postmodern
Condition” (1979), Lyotard berpendapat bahwa pengetahuan tidak dapat mengklaim
kebenaran sejati dalam arti absolut; tetapi tergantung pada trik bahasa yang selalu relevan
dengan konteks tertentu (Elaati, 2016). Lyotard menolak narasi besar yang menekankan
pada universalisme dan meyakini bahwa tak seorangpun dapat memahami apa yang
terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan. Lyotard tidak setuju dengan keseragaman
maupun upaya menyeragamkan, apalagi upaya tersebut dicapai dengan jalan kekerasan.
Menurut Umanailo (2014), Lyotard menjelaskan bahwa perkembangan
teknologi informasi pada akhir abad 20 membawa dampak yang besar pada pengetahuan,
pendidikan dan telah menggiring masyarakat ke dalam kondisi posmodern. Miniaturisasi
dan komersialisasi mesin telah mengubah perolehan, klasifikasi, penciptaan dan
eksploitasi pengetahuan. Selanjutnya, Kamayanti (2016) menyebutkan bahwa menurut
Lyotard, pengetahuan pada akhirnya menjadi grand naratives/ meta narasi. Pengetahuan
sibuk berupaya melegitimasi dirinya sendiri sebagai sebuah kebenaran melalui
penjelasan berbagai asumsi. Ilmuwan yang mengalami hal ini disebut sedang mengalami
demoralisasi, karena ilmu penuh dengan kepentingan penguasa. Ilmuwan melegitimasi
pengetahuan dalam rangka menjual informasi dan akhirnya menguasai dunia. Cara
ilmuwan untuk melakukan legitimasi pengetahuan adalah dengan menciptakan
permainan bahasa (language games). Meta narasi disepakati oleh para pembuat
pernyataan sehingga menjadi kesepakatan sosial. Dengan demikian, sebuah narasi tidak
selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi merupakan kebenaran yang terkonstruksi.
Lyotard berpendapat bahwa cara untuk kembali menghidupkan ilmu
pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan dan keterbukaan pada tafsiran-
tafsiran baru. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan dapat dihidupkan dengan narasi
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
kecil yang diidentikkan dengan kreatifitas lokal. Meta narasi merupakan narasi utama/
penguasaan, bagaimana manusia berusaha menguasai bumi untuk mencapai tujuan
hidupnya. Narasi besar diyakini sebagai narasi modern, yang mampu memaksakan
konsensus/kebenaran. Sehingga Lyotard memunculkan strategi untuk mendobrak
konsensus yang telah mapan dengan memberikan kesempatan bagi karakter lokal tiap
wacana dan pendapat untuk dihargai. Bentuk konkrit dari upaya ini adalah terciptanya
keragaman narasi-narasi kecil dan meta argumen yang saling mencari kesempatan untuk
dapat tampil kuat dan diakui dalam permainan bahasa.
CSR Sebagai “Narasi Besar”
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan
perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan
stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2006).
Konsep CSR diawali oleh publikasi Howard Bowen pada tahun 1953 yang menulis
Social Responsibilities of Businessman. Bowen memberikan penjelasan mengapa
manajer harus melakukan tanggung jawab sosial. Pada tahun 1954, Peter Drucker
menulis The Practise of Management, yang memasukkan public responsibility sebagai
salah satu tujuan perusahaan.
Literatur CSR berkembang pesat pada tahun 1960an, dan berfokus kepada apa
sebenarnya makna dari CSR dan pentingnya CSR bagi bisnis dan masyarakat (Carrol,
1999). Pada tahun 1960, artikel William C. Frederick '' The growing concern over
business” menyoroti pentingnya CSR dapat dijelaskan oleh runtuhnya laissez faire
(filosofi Adam Smith) sebagai filosofi ekonomi. CSR berimplikasi pada sikap publik
terkait dengan sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia, bagaimana masyarakat
memandang sumber daya tersebut digunakan untuk tujuan sosial yang luas, bukan hanya
untuk kepentingan pribadi dan perusahaan. Sebaliknya, Friedman (1962) dalam Moura-
leite dan Padgett (2013) menyatakan bahwa CSR akan meruntuhkan dirinya sendiri
ketika perusahaan mengabaikan prinsip maksimalisasi laba yang diajukan oleh sistem
kapitalis.
Pada tahuan 1970, Friedman kembali membuat artikel yang menyatakan bahwa
satu-satunya tujuan dari bisnis adalah untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin.
Kepedulian sosial bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, sehingga perusahaan
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
tidak perlu memikirkan CSR. Di sisi lain, Carrol (1979) membuat framework CSR yang
terdiri dari tanggung jawab ekonomi, legal, etis dan filantropi. Sejalan dengan Carrol,
Freeman (1984) mengemukakan teori stakeholder yang menjelaskan kepada siapa saja
perusahaan harus bertanggung jawab. Dalam kerangka teori stakeholder ini, perusahaan
tidak hanya dipengaruhi oleh shareholder saja, tetapi juga stakeholder lain seperti
karyawan, pelanggan dan pemerintah.
Pada tahun 1991, Donna J. Wood menghubungkan kinerja CSR dengan berbagai
teori organisasi, seperti teori institusi organisasi, teori manajemen stakeholder, dan teori
sosial manajemen. Pada tahun 1995, perkembangan komunikasi global dengan
menggunakan internet menciptakan tekanan baru bagi perusahaan untuk melakukan CSR
(Waddock, 2008). Pada masa ini, penelitian CSR banyak dilakukan dengan
menggunakan paradigma positif, dalam kerangka teori stakeholder, dan mengaitkan CSR
dengan kinerja perusahaan.
Untuk memfasilitasi pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan, pada
tahun 1997 berdirilah sebuah organisasi non profit di Boston USA, yang diberi nama
Global Reporting Initiative (GRI). GRI merupakan organisasi dunia yang concern
dengan pelaporan CSR, yang menekankan pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan
sosial. Mulai tahun 2000, GRI menerbitkan first global framework for sustainability
reporting. Panduan tersebut dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan di seluruh
dunia untuk melakukan pelaporan CSR. GRI merupakan jaringan stakeholder global,
pengurus GRI terdiri dari perwakilan 30 negara di dunia dan mereka berperan penting
dalam menentukan kerangka kerja pelaporan CSR. Pada saat ini lebih dari 700
perusahaan dari 43 negara mengungkapkan CSR dan menyusun laporan berkelanjutan
berdasarkan panduan dari GRI (www.globalreporting.org). Pelaporan CSR menurut GRI
disebut dengan sustainability reporting. Laporan keberlanjutan harus merepresentasikan
kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan sebuah perusahaan, mencakup kontribusi positif
maupun negatif. Berdasarkan panduan GRI 4 yang terbaru, pengungkapan CSR yang
lengkap mencakup 75 item pengungkapan.
Jika dilihat dari perkembangan konsep dan teori CSR, penelitian CSR yang
sebagian besar dilakukan dalam paradigma positivis, serta pelaporan CSR menggunakan
standar GRI, maka dapat dikatakan bahwa isu CSR merupakan bagian dari akuntansi
modern. Akuntansi modern muncul pada jaman renaissance dan revolusi industri,
dimana manusia sangat mengutamakan rasionalitas. Kebutuhan pelaporan untuk
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
kepentingan industri mendorong munculnya konsep-konsep dan standar dalam akuntansi
(Sylvia, 2014). FASB, sebagai lembaga akuntansi di Amerika mengarahkan akuntansi
pada pendekatan pragmatis yang mengikuti pola pikir kaum strukturalis. Pemikir
strukturalis merumuskan simbol dari realitas sosial sehingga dapat dibuat hubungan
kausalitas dari masing-masing simbol tersebut (Januarti, 2004). Sehingga akuntansi
modern pada akhirnya menjadi meta narasi yang diusung oleh paradigm positivis, dimana
akuntansi tersebut sarat dengan nilai-nilai kapitalisme. Pro dan kontra yang menyertai
perkembangan konsep CSR dan panduan pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI
sangat berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh badan yang memiliki kuasa
atas CSR. Cara ilmuwan untuk melakukan legitimasi pengetahuan adalah dengan
menciptakan permainan bahasa (language games). Meta narasi disepakati oleh para
pembuat pernyataan sehingga menjadi kesepakatan sosial. Dengan demikian, sebuah
narasi tidak selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi merupakan kebenaran yang
terkonstruksi, termasuk pengungkapan CSR.
Menurut GRI ketika perusahaan dapat mengungkapkan CSR secara lengkap
sesuai dengan panduan GRI, maka perusahaan dapat dikatakan telah akuntabel di bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan. Padahal praktik di perusahaan membuktikan realitas
yang berbeda. Beberapa perusahaan di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai GRI
reporter tidak selau bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan dan sosial yang
ditimbulkannya. Sebagai contoh PT. Aneka Tambang Tbk pada tahun 2016
menyebabkan pencemaran lima sungai besar di Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi
yang mengakibatkan kematian berbagai jenis ikan dan pencemaran laut di sekitar Pulau
Halmahera Timur. Ironisnya PT. Antam mendapatkan penghargaan Indonesia
Sustainability Reporting Awards (ISRA) dari The National Center for Sustainibility
Reporting (NCSR) pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa pengungkapan CSR
sebagai sebuah narasi yang tidak selalu menunjukkan kebenaran yang riil, tetapi
merupakan kebenaran yang terkonstruksi. Perusahaan yang mengungkapkan CSR secara
lengkap sesuai panduan GRI dapat dianggap telah bertanggung jawab walaupun praktik
riil di perusahaan tidak sesuai dengan yang diungkapkan.
NCSR sebagai salah satu lembaga yang concern terhadap CSR di Indonesia,
mengacu pada GRI dalam melakukan aktivitasnya, termasuk dalam memberikan
penghargaan ISRA. Moneva et al (2006) meyatakan bahwa panduan GRI disusun
berdasarkan kerangka konseptual International Accounting Standard Board (IASB)
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
untuk pelaporan keuangan. Hal ini berarti Penyusunan panduan GRI sebagai panduan
pengungkapan CSR juga tidak terlepas dari peranan IASB. IASB sangat memahami
kuasa yang mereka miliki untuk mempengaruhi dan mengatur praktik akuntansi. Sebagai
contoh adalah penetapan adopsi IFRS secara internasional. Dengan demikian penerapan
GRI sebagai bentuk panduan pengungkapan yang diakui dan disepakati secara
internasional merupakan bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern.
Pengungkapan CSR yang disyaratkan oleh GRI belum tentu sesuai dengan kondisi
praktik dan pengungkapan CSR di Indonesia. Panduan GRI didesain untuk perusahaan
yang besar dan terdaftar di pasar modal. Di sisi lain fakta menunjukkan bahwa semakin
banyak perusahaan di Indonesia yang mengungkapkan CSR dan membuat pelaporan
berkelanjutan, tidak terbatas pada perusahaan yang terdaftar di bursa saja, namun juga
BUMN, perusahaan non listing baik kecil dan menengah hingga organisasi nirlaba
(Habib, 2016).
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa panduan GRI tidak selalu cocok
diterapkan di suatu negara adalah kasus di Jepang terkait dengan kesulitan implementasi
panduan GRI untuk mengurangi masalah emisi greenhouse di Kyoto. Jepang menolak
campurtangan dari lembaga internasional untuk menangani masalah tersebut, karena
mereka menganggap bahwa masalah emisi tersebut merupakan masalah internal negara.
Menanggapi masalah tersebut, Moneva et al., (2006) menyatakan bahwa untuk
menciptakan manajemen lingkungan yang efektif, maka perlu melibatkan peranan
organisasi internasional yang powerfull, dimana rekomendasi serta panduan
pelaksanaannya harus dikoordinir oleh otoritas yang berterima umum. GRI merupakan
lembaga internasional yang dapat ditargetkan sebagai lembaga otoritas tersebut. Dari
pernyataan ini, dapat dilihat bahwa GRI berkontribusi menjadikan isu CSR sebagai
sebuah narasi besar yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pihak
tertentu.
Menggugat Narasi Besar Pengungkapan Corporate Social Responsibility melalui
Posmodernisme
Lyotard mendefinisikan posmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap narasi
besar modernisme. Era posmodern menunjukkan bahwa narasi besar kehilangan
legitimasi dan kredibilitasnya akibat kemajuan ilmu pengetahuan melalui teknologi
informasi dan ekpansi kapitalisme. Perkembangan dan perubahan tersebut telah
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern
(Sugiharto, 1996). Dalam era posmodern, pengetahuan dianggap semakin kompleks
sehingga semakin tidak memungkinkan adanya penjelasan tunggal (universalisme) atas
pengetahuan. Lyotard menyatakan bahwa telah terjadi delegitimasi ilmu pengetahuan
ilmiah dan implikasinya adalah ketidakpercayaan terhadap narasi besar modernisme.
Narasi besar modern mengalami keruntuhan dan Lyotard menawarkan alternatif berupa
pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas pengetahuan dan narasi.
Posmodern menolak dominasi narasi besar terhadap subjek-subjek yang kecil, hal
ini disebabkan ilmu pengetahuan positif yang mendominasi, tidak lepas dari permainan
bahasa dalam penyampaiannya. Permainan bahasa tersebut penuh dengan pesan
terselubung (Sylvia, 2014). Aspek utama yang dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya
menolak wacana universal rasional yang diutamakan oleh kaum modernis. Dengan
menolak pemikiran yang totaliter, posmodern juga mengimplikasikan adanya toleransi
dan penerimaan terhadap perbedaan dan realita yang tidak terukur.
Lyotard (2009) menyatakan bahwa pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam
dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual.
Pengetahuan menjadi tulang punggung produksi selama beberapa puluh tahun terakhir
ini. Pengetahuan yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi mendorong
munculnya globalisasi. Globalisasi suatu jaringan kerja global yang mempersatukan
masyarakat secara bersamaan yang sebelumnya tersebar menjadi terisolasi ke dalam
saling ketergantungan dan persatuan dunia (Ritcher, 2010). Globalisasi memungkinkan
ideologi dan nilai-nilai dari negara yang kuat menyebar ke negara lain. Ilmu
pengetahuanpun semakin dapat digunakan untuk mengejar dan memenuhi kepentingan
pihak-pihak yang berkuasa.
Hal ini juga terlihat dari pengungkapan CSR yang lebih menekankan pada
kelengkapan item CSR sesuai panduan GRI, tanpa melihat fakta dan praktik yang terjadi
di perusahaan. Nilai-nilai moral dan Ketuhanan diabaikan ketika terjadi kasus eksploitasi
terhadap lingkungan dan manusia. Hal ini membuktikan bahwa akuntansi bersifat
sekuler. Pengungkapan CSR dapat menjadi alat legitimasi tindakan elit perusahaan untuk
memenuhi kepentingan mereka sendiri.
GRI telah menetapkan panduan pengungkapan CSR yang dapat digunakan oleh
perusahaan-perusahaan di seluruh dunia untuk megungkapkan aktivitas CSR nya. GRI
disusun berdasarkan kerangka konseptual International Accounting Standard Board
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
(IASB) untuk pelaporan keuangan. Panduan pengungkapan tersebut juga diadopsi oleh
NCSR, salah satu lembaga pemerhati CSR di Indonesia dan pemeringkat laporan
berkelanjutan perusahaan- perusahaan di Indonesia. Ketika mengadopsi standar dari luar
negeri, maka harus diperhatikan apakah budaya dari luar negeri tersebut sesuai dengan
budaya Indonesia. Akuntansi dan pengungkapan CSR merupakan praktik yang
tergantung dari budaya suatu negara. Menurut Hofstede (1998), setiap negara
mempunyai ciri khas kultur berupa simbol, pahlawan, ritual dan nilai. Akar budaya
Bangsa Indonesia sangat mengutamakan nilai-nilai Ketuhanan (religious), tepo sliro dan
gotong royong. Tapi nilai-nilai tersebut tidak nampak dalam praktik akuntansi Indonesia
ketika Indonesia mengadopsi akuntansi kapitalis dari barat.
Melalui posmodern yang menolak universalisme dan mengakui pluralitas, kita
dapat menghidupkan akuntansi yang sarat dengan nilai Ketuhanan dan budaya Indonesia.
Hal tersebut berlaku pula bagi implementasi, akuntansi dan pengungkapan CSR.
Pengungkapan CSR berdasarkan panduan GRI yang dirumuskan oleh negara-negara
barat belum tentu sesuai dengan kondisi Indonesia, yang memiliki budaya yang berbeda
dengan budaya negara barat. Bahkan Asocio (2004) menyatakan bahwa karakter CSR di
kawasan Asia Pasifik (termasuk Indonesia) lebih dipengaruhi oleh tradisi panjang
menghargai keluarga, jaringan sosial, agama dan budaya yang beraneka ragam, yang
membuat karakter CSR di negara Asia pasifik berbeda dengan negara Eropa dan
Amerika. Untuk itu diperlukan wacana praktik dan pengungkapan CSR yang disesuaikan
dengan budaya Indonesia.
Ide untuk melibatkan budaya dan nilai Ketuhanan dalam pembahasan mengenai
CSR sejalan dengan ide Diamond (2012) dan Mulawarman (2016). Diamond (2012)
menjelaskan pentingnya budaya tradisional bagi kehidupan modern seperti sekarang ini,
masyarakat tradisional sangat kaya secara sosial dan hal tersebut dapat diadopsi untuk
memecahkan masalah yang dihadapi manusia pada saat ini. Mulawarman (2016)
menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung meninggalkan budayanya dan
cenderung tenggelam dalam kehidupan modern yang sekuler, kapitalis, konsumtif,
pragmatis, sarat dengan oposisi biner dan individualis. Untuk itu dibutuhkan hijrah
kebudayaan beragama yang dapat mengembalikan masyarakat Indonesia kepada budaya
dan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
Beberapa penelitian yang berusaha mewacanakan CSR dan pengungkapan CSR
sesuai dengan budaya Indonesia dan nilai-nilai Ketuhanan pernah dilakukan oleh
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
beberapa peneliti seperti Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Werastuti (2017). Pertiwi dan
Ludigdo (2013) meneliti implementasi CSR berdasarkan budaya Tri Hita Karana pada
Kartika Plaza Hotel Bali. Konsep Tri Hita Karana menjadi filosofi keseimbangan hidup
masyarakat Hindu di Pulau Bali, meliputi hubungan yang harmonis antara manusia
dengan Tuhan (parhyangan), antar manusia (pawongan) dan antara manusia dengan
lingkungan (palemahan). Unsur sosial/masyarakat dalam pelaksanaan CSR sesuai
dengan unsur pawongan,unsur alam dan lingkungan sesuai dengan unsur palemahan.
Dalam budaya Tri Hita Karana, unsur palemahan dan pawongan akan selalu
berhubungan dengan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Bentuk implementasi CSR
Kartika Plaza Hotel sesuai konsep pawongan antara lain memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi masyarakat lokal untuk mementaskan keseniannya setiap malam tanpa
harus dipungut biaya dan memiliki komitmen untuk mengutamakan kesejahteraan
pengusaha agrobisnis lokal (dari Bali maupun Indonesia). Bentuk implementasi CSR
sesuai dengan unsur palemahan antara lain tetap menjaga habitat asli tanaman yang
tumbuh di sepanjang pantai hotel dan pengolahan limbah hotel agar tidak mencemari
lingkungan. Implementasi CSR yang sesuai dengan dimensi parhyangan antara lain
membuat pura di area hotel dan memberikan kontribusi terhadap kegiatan keagamaan di
sekitar hotel. Perbedaan mencolok dari implementasi CSR berdasar GRI dan budaya Tri
Hita Karana adalah CSR berdasarkan GRI tidak mempertimbangkan aspek Ketuhanan,
dengan kata lain panduan GRI bersifat sekuler sedangkan budaya Tri Hita Karana
mengakomodasi aspek Ketuhanan dalam implementasi CSR.
Werastuti (2017) mengkonstruksi konsep CSR dalam perspektif Catur Purusa
Artha (CPA). CPA merupakan filosofi Hindu- Bali yang menggambarkan empat tujuan
hidup umat Hindu, yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dharma
merupakan berbagai norma, nilai, dan aturan yang memiliki sumber dari konsensus dan
kesepakatan manusia sendiri dan dari ajaran agama. Artha merupakan harta benda yang
digunakan untuk keperluan hidup. Kama merupakan keinginan, seperti keinginan untuk
mempertahankan hidup, bebas dari rasa haus, lapar, dingin, panas, sakit, dan lain-lain.
Moksa, adalah capaian kebahagian yang sangat kekal serta abadi, manunggalnya Atma
dengan Sang Maha Pencipta yaitu Paramatma. Konstruksi CSR berdasarkan CPA
menghasilkan definisi CSR sebagai berikut CSR merupakan pelaksanaan Dharma dalam
bentuk pemberian kontribusi berupa uang atau bentuk lain yang bermanfaat bagi banyak
pihak. Kontribusi tersebut dilakukan secara tulus ikhlas yang berasal dari Artha
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
perusahaan. Pendistribusiannya bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat
serta lingkungan yang berlandaskan Kama. Semua dilakukan dengan sasaran dan tujuan
akhir Moksa, yaitu kebahagiaan di dunia akhirat nanti. Dari konstruksi tersebut, dapat
dilihat bahwa aktivitas CSR ditujukan untuk aspek spiritual, yaitu kebahagiaan akhirat
dan aspek ini tidak nampak pada definisi CSR menurut GRI maupun tokoh-tokoh barat.
Baudrillard dan Simulakra
Kamayanti (2016) menjelaskan bahwa menurut Baudrillard, saat ini kita hidup
dalam dunia yang penuh dengan pencitraan, di mana citra menjadi realitas itu sendiri
bahkan menggantikan realitas yang sebenarnya. Citra yang menggantikan realitas
sebenarnya, bahkan terpisah atau tidak memiliki hubungan dengan realitas sebenarnya
disebut dengan simulakra. Baudrillard menggunakan idenya mengenai simulakra,
implosion dan hyperreality untuk menjelaskan secara radikal mengenai masyarakat
posmodern. Simulakra merupakan simbol, imaji, model, atau bayangan yang mirip
dengan sesuatu yang lain. Implosion terjadi saat batas antara dua atau lebih entitas,
konsep, atau dua dunia saling memudar dan saling larut dan perbedaan diantara keduanya
menjadi hilang. Hperreality menjelaskan kondisi posmodern dimana simulakra tidak lagi
terkait dengan realitas yang sebenarnya dan dimana simbol, imaji dan model yang ada
merupakan imaji, simbol dan model yang terpisah dari material/objek yang yang riil
(Baudrillard, 1994 dalam Macintosh, Shearer, Thornton dan Welker, 2000).
Baudrillard menyatakan bahwa simulakra tidak serta merta terjadi secara
sekaligus. Proses suatu citra menjadi simulakra terdiri dari beberapa tahap, yang disebut
dengan simulation (Macintosh et al, 2000). Tahap pertama disebut dengan sacramental
order, dimana citra/imaji merupakan cerminan dari realitas sebenarnya. Tahap kedua
adalah maleficence order, dimana citra mulai menjadi topeng dan mengubah realitas.
Tahap ketiga adalah sorcery order, dimana citra menjadi topeng atas realitas yang tidak
lagi ada. Tahap terakhir adalah pure simulation, dimana sebuah citra/imaji tidak memiliki
hubungan /koneksi sama sekali dengan realitas, namun telah menjadi realitas itu sendiri.
Selanjutnya Bauldrillard dalam Kamayanti (2016) menjelaskan tiga macam
simulakra yang berkembang semakin rumit dan diciptakan dengan tujuan berbeda.
Simulakra yang masih didasarkan pada citra natural bertujuan untuk mensubstitusikan
realitas ideal yang hilang dengan optimism. Simulakra tahap kedua bertujuan untuk
membangkitkan kesadaran tentang kebebasan dan progresivitas. Simulakra tahap ketiga
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
merupakan simulakra berdasarkan informasi yang menjadi hyperreality. Simulakra
menurut pandangan Jean Baudrillard menjadi sebuah duplikasi, yang aslinya tidak
pernah ada atau bisa dikatakan merupakan sebuah realitas tiruan yang tidak lagi mengacu
pada realitas sesungguhnya, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur.
Hyperreality bertujuan untuk mengendalikan realitas.
Konsep simulakra pernah digunakan sebagai kerangka pikir penelitian akuntansi,
diantaranya penelitian Macintosh et al (2000) yang menyoroti bahwa akuntansi
merupakan sebuah simulakra dan hyperreality, dilihat dari perspektif income dan modal.
Dalam penelitian tersebut, simbol akuntansi mengalami perubahan representasi melalui
beberapa tahap, yaitu (a) pada masa pra sejarah, akuntansi merefleksikan realitas yang
sebenarnya; (b) pada masa pencerahan (feudal renaissance), akuntansi berubah menjadi
citra yang menjadi topeng realitas; (c) masa teknologi rekayasa keuangan, yang
merupakan era simulasi dimana citra akuntansi semakin terpisah dari realitasnya, yang
ditandai dengan adanya manajemen laba, pasar modal dan kemajuan teknologi. Mengacu
pada penelitian Macintosh et al (2000), maka simulakra juga dapat dijadikan sebagai
kerangka pikir untuk membahas mengenai pelaporan CSR dalam laporan tahunan.
Simulakra Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Salah satu tujuan dari panduan pengungkapan CSR yang dikeluarkan oleh GRI
adalah menyediakan informasi kinerja perusahaan di bidang ekonomi, sosial dan
lingkungan, baik berupa kontribusi positif maupun negatif. Penerapan standar GRI akan
diverifikasi melalui assurance eksternal maupun sertifikasi, untuk memastikan bahwa
informasi yang diungkapkan bersifat reliabel, sesuai standar, dan transparan (Owen dan
O’Dwyer, 2005). Dalam praktiknya, pengungkapan CSR berdasarkan panduan GRI
banyak dikritik oleh beberapa peneliti. Salah satu kritik diajukan oleh Bebbington,
Larrinaga dan Moneva (2004). Panduan GRI memperbolehkan perusahaan untuk
menerapkan panduan tersebut secara bertahap, dengan berfokus kepada salah satu aspek
saja, sosial atau lingkungan. Dengan demikian perusahaan dapat memilih untuk hanya
melaporkan aktivitas yang meningkatkan reputasi perusahaan, sedangkan informasi
negatif yang memperburuk citra perusahaan tidak akan dilaporkan (Bebbington et al,
2004). Kemungkinan perbedaan antara pengungkapan CSR dengan kondisi riil
perusahaan ini membutuhkan analisis yang lebih mendalam atas hubungan yang
menyesatkan antara informasi yang diungkapkan ke publik dengan realitas yang terjadi.
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
Pemikiran Baudrillard mengenai simulakra dapat digunakan untuk menganalisis
perbedaan antara informasi yang diungkapkan ke publik dengan kondisi riil yang terjadi
di perusahaan.
Analisis pengungkapan CSR dalam konteks simulakra berarti apa yang
diungkapkan perusahaan bukanlah kondisi riil yang terjadi dalam perusahaan, tetapi
simulakra dari apa yang mereka persepsikan sebagai sesuatu yang riil. Coy dan Pratt
(1998) menyatakan bahwa konsep akuntansi dan pengungkapan merupakan alat untuk
membentuk dan menciptakan realitas terkait operasi perusahaan. Adanya standar
pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI juga memunculkan kesenjangan (gap)
antara apa yang diinginkan oleh standar dengan apa yang diungkapkan oleh perusahaan
(Adam dan Evan, 2004). Oleh beberapa peneliti, kesenjangan tersebut dinamakan dengan
”reporting-performance portrayal gap” (Adams, 2004); ”assurance expectation gap”
(Swift dan Dando, 2002); ”legitimacy gap” (Moeman dan Van der Laan, 2005); dan
”credibility gap” (Owen dan O’Dwyer, 2005) dalam Gray (2010). Dey (2007)
mengidentifikasi tiga macam gap terkait dengan pengungkapan CSR dan panduan
pelaporan CSR menurut GRI, yang pertama adalah perbedaaan antara kelengkapan
pengungkapan dengan kinerja sosial dan lingkungan yang dijanjikan oleh perusahaan dan
standar pelaporan. Kemungkinan besar perusahaan hanya akan mengungkapkan
informasi yang meningkatkan reputasi dan citra perusahaan. Selain itu, untuk
memastikan pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan sesuai dengan standar GRI,
maka dibutuhkan assurance dari pihak eksternal, hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai independensi dari tim assurance. Sehingga gap kedua yang muncul adalah
kesenjangan antara rendahnya reliabilitas assurance dan kredibilitas yang dijanjikan oleh
pengungkapan. Gap ketiga adalah perbedaan antara pengendalian dan pembatasan pada
proses dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya dengan kebebasan dan hak dari
peserta dialog (stakeholder).
Mengacu pada pemikiran Baudrillard, Boiral (2013) menjelaskan bahwa
sustainability reports merupakan simulakra terkait dengan tiga hal, yaitu (a) semakin
terputusnya koneksi antara realitas tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan
oleh perusahaan dengan representasinya, (b) kontrol dan manipulasi atas informasi, dan
(c) pengaruh yang diberikan oleh proliferasi gambar yang menyesatkan. Informasi CSR
yang diungkapkan oleh perusahaan semakin tidak terkait dengan realitas yang terjadi.
Informasi yang diberikan oleh perusahaan cenderung menggantikan relitas, menjadi
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
semakin sulit untuk dipahami dan membingungkan pemakai pelaporan. Panduan
pengungkapan CSR yang diterbitkan oleh GRI menghendaki perusahaan
mengungkapkan aktivitas CSRnya sesuai dengan 75 indikator baik di bidang ekonomi,
sosial maupun lingkungan. Semakin banyak item yang diungkapkan, maka perusahaan
dianggap semakin transparan. Menurut Debord (2002), penyampaian informasi yang
terlalu banyak (overload) akan membingungkan dan menyesatkan pengguna laporan
ketika informasi tersebut terpisah dari realitas yang sebenarnya, bahkan informasi
tersebut akan membuat penggguna laporan tidak menyadari realitas yang terjadi. Selain
itu, adanya assurance yang dilakukan oleh pihak eksternal untuk memastikan bahwa
pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan panduan pengungkapan
GRI mengundang banyak kritik. Kritikan atas assurance tersebut antara lain terkait
dengan independensi dari tim assurance, konflik kepentingan manajer dan kurangnya
keterlibatan dari stakeholder kunci (Moneva et al., 2006, Dey, 2007). Dari sudut pandang
Baudrillard, mekanisme assurance tersebut dapat menutupi realitas yang terjadi dan
informasi yang diungkapkan oleh perusahaan bisa jadi hanya sebatas pengungkapan saja
tanpa didukung fakta yang terjadi dalam perusahaan. Sehingga pengungkapan CSR dan
assurance atas pengungkapan CSR merepresentasikan hyppereality atas simbol, data dan
imaji tanpa referensi pada realitas yang terjadi.
Dalam konteks simulakra, manajer dapat melakukan kontrol dan manipulasi atas
informasi yang diungkapkan kepada publik untuk mempertahankan posisinya. Kontrol
manajer bersifat signifikan karena pengungkapan CSR masih merupakan pengungkapan
sukarela. Manajer memegang kendali atas pelaporan perusahaan, sehingga informasi
yang diungkapkan oleh perusahaan cenderung bias dan lebih merefleksikan kepentingan
manajer daripada merefleksikan kondisi riil perusahaan (Gray, 2010). Manajer dapat
mengungkapkan dampak positif aktivitas operasinya terhadap lingkungan dan sosial dan
menyembunyikan dampak negatif yang terjadi. Aktivitas ini akan mendorong perusahaan
pada narsisme pengungkapan CSR, yaitu upaya perusahaan untuk mendapatkan
pengakuan dan kekaguman dari pihak lain dengan cara menyoroti prestasi perusahaan
dan menyamarkan dampak negatif yang ditimbulkannya (Boiral, 2013). Panduan
pengungkapan GRI mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara
seimbang, baik dampak positif maupun negatif dari aktivitas operasi perusahaan. Tetapi
fakta menunjukkan bahwa pengungkapan informasi CSR yang dikontrol oleh manajer
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
merepresentasikan tontonan yang narsis (narcissist spectacle), monolog tanpa akhir yang
memuji diri sendiri.
Melalui pengungkapan CSR dalam laporan tahuan, perusahaan dapat menyajikan
proliferasi imaji yang menyesatkan. Perusahaan dapat menyajikan imaji yang terkesan
lebih nyata dari realitas (Boiral, 2013). Hal ini nampak dari gambar-gambar yang
disajikan dalam pelaporan berkelanjutan maupun laporan tahunan perusahaan, yang
penuh dengan pencitraan untuk kepentingan public relations. Bahkan seiring dengan
kemajuan teknologi, saat ini banyak perusahaan yang menggunakan jasa designer grafis
untuk membuat laporan tahunan yang lebih menarik secara visual dan untuk
memasukkan gambar yang tidak selalu mewakili realitas (Preston and Young, 2000).
Sebagai contoh PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) menampilkan gambar karyawan yang
sedang menanam pohon (kepedulian lingkungan) dan mencantumkan tulisan proper
(program penghargaan lingkungan dari menteri lingkungan hidup) pada sampul laporan
tahunannya.
Sumber: Annual Report PT. Antam, 2016
Gambar di atas menciptakan representasi ideal perusahaan dan menunjukkan kepedulian
lingkungan serta prestasi PT.Antam di bidang lingkungan. Gambar tersebut bukan hanya
dapat menyamarkan kasus pencemaran PT. Antam pada lima sungai besar di Kabupaten
Sarolangun Propinsi Jambi yang mengakibatkan kematian berbagai jenis ikan serta
pencemaran laut di sekitar Pulau Halmahera Timur pada tahun 2016 akibat eksplorasi
(tempo.co.id). Tetapi gambar tersebut juga menghasilkan ilusi dalam pikiran pembaca
laporan bahwa aktivitas operasi PT. Antam memiliki dampak positif terhadap
lingkungan. Dengan cara seperti ini, gambar aktivitas CSR yang terdapat dalam laporan
tahunan berkontribusi untuk menciptakan simulakra yang meyakinkan pembaca, tetapi
terpisah dari realitas. Informasi CSR yang diungkapkan oleh perusahaan akan digunakan
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
oleh pemakai laporan untuk membuat keputusan, dengan kata lain keputusan yang
diambil merupakan keputusan yang salah karena didasarkan pada informasi yang tidak
mencerminkan bahkan terpisah dari realitas. Agar pengungkapan CSR tidak terus
menerus menjadi simulakra yang dapat menyesatkan pemakai informasi, maka perlu
menghadirkan cinta kasih sebagai landasan dalam aktivitas dan pengungkapan CSR.
Menggugat Simulakra Pengungkapan Corporate Social Responsibility dengan
Menghadirkan Cinta Kasih dalam Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Konsep CSR dan pengungkapan CSR pada awalnya muncul pada pemikiran
pemikir-pemikir barat modern yang sangat mengutamakan rasionalisme. Peradaban
masyarakat barat modern merupakan peradaban yang sekuler karena manusia berusaha
untuk “membunuh semua tuhan” dan membebaskan diri dari kekuatan surgawi (Nasr,
1983). Bahkan Diamond (2012) menyatakan bahwa Tuhan adalah Supranatural
Explanation, yang pada akhirnya akan hilang luruh di masa depan. Manusia memiliki
kehendak bebas dan Tuhan tidak pernah hadir dalam realitas dan Realitasnya sendiri.
Negasi akan Tuhan dalam pemikiran Barat mendorong manusia menjadi serakah,
sehingga memunculkan krisis lingkungan dan sosial. Krisis lingkungan dan sosial
sebagai akibat budaya modern dan kapitalisme akhirnya memunculkan konsep tanggung
jawab perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. Tetapi karena konsep CSR ini masih
sekuler, maka dalam pelaksanaannya pun CSR hanya digunakan sebagai alat untuk
melegitimasi eksploitasi lingkungan dan masyarakat. Hasil penelitian Boiral (2013)
dengan menggunakan 23 laporan berkelanjutan dari perusahaan di seluruh dunia yang
mendapatkan grade A dari GRI menunjukkan bahwa pengungkapan CSR merupakan
simulakra. Agar pengungkapan CSR tidak lagi menjadi alat legitimasi eksploitasi
lingkungan dan sosial, serta bukan lagi sekadar menjadi narasi besar dan simulakra yang
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, maka cinta kasih yang didasarkan pada
nilai-nilai Ketuhanan perlu dihadirkan sebagai landasan dalam aktivitas dan
pengungkapan CSR.
Cinta kasih yang akan saya hadirkan sebagai nafas dalam aktivitas dan
pengungkapan CSR akan saya landaskan dari nilai-nilai Kristen. Salah satu ajaran Yesus
adalah hukum kasih yang dituangkan dalam Kitab Matius 22 : 34-40 “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal
budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ketika
semua aktivitas manusia dilandaskan pada dua hukum tersebut, maka semua tindakan
yang dilakukan akan didasarkan pada rasa cinta kasih baik kepada Tuhan maupun
sesama. Hal itu juga berlaku bagi perusahaan sebagai kumpulan dari manusia.
Sebagai bentuk kasih Tuhan pada manusia, maka Tuhan memberikan alam
semesta dan seluruh isinya untuk dikelola oleh manusia. Dengan demikian manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada alam, sehingga diperlukan
kerjasama antara manusia dengan alam. Hal ini sejalan dengan paradigma kosmologi
holistik yang dikemukakan oleh Fritjof Capra, melalui bukunya yang berjudul The Tao
of Physics dan The Turning Point dinyatakan bahwa hubungan antara manusia dan alam
dipandang sebagai serangkaian jaringan yang kompleks dan segala sesuatu yang saling
terkait antara satu dengan yang lain. Kosmologi holistik tersebut berusaha menyingkap
kesejajaran antara fisika modern dengan mistisisme timur (Budha, Hindu, Tao dan Zen)
dalam memandang alam. Capra (2001) menyatakan bahwa seluruh bumi merupakan
sebuah kompleksitas kehidupan yang utuh dan terpadu.
Menurut ajaran Kristen (Kitab Kejadian 1: 26-28), manusia dan alam semesta
diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi, serta manusia diberi mandat oleh Tuhan
untuk memelihara dan mengelola alam semesta. Praktik pengungkapan CSR saat ini
masih menitikberatkan pada aspek ekonomi dan masih sarat dengan kapitalisme.
Kehadiran nilai ajaran Kristen diharapkan membantu perusahaan untuk membangun
konsep dan praktik CSR yang lebih utuh, bukan hanya berporos pada aspek ekonomi
saja, tetapi juga bertanggung jawab secara tulus dan benar pada aspek lingkungan dan
sosial. Aktivitas dan pengungkapan CSR dipandang sebagai perwujudan cinta kasih
perusahaan kepada Tuhan, manusia serta alam.
Hukum kasih yang kedua memerintahkan agar manusia mengasihi sesamanya
seperti mengasihi diri sendiri. Pelaksanaan CSR perusahaan pada aspek sosial dapat
mengacu pada hukum ini. Dari dimensi sosial dapat dikatakan bahwa mengasihi sesama
seperti diri sendiri berarti manusia memiliki tanggung jawab terhadap sesamanya.
Konsep sesama dalam konteks perusahaan adalah stakeholders, sehingga perusahaan
memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan para stakeholdernya. Selama perusahaan
ada, maka tanggung jawab tersebut terus melekat pada dirinya. Hubungan perusahaan
dengan stakeholdernya tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan bisnis, tetapi
relasi yang saling mendukung dan mencintai antara satu sama lain. Mengasihi sesama
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
dapat diartikan bahwa perusahaan harus menganggap semua stakeholder memiliki hak
dan kedudukan yang sama, sehingga tidak ada stakeholder tertentu yang lebih
diutamakan. Dengankata lain, perusahaan harus memperlakukan semua stakeholdernya
secara adil. Perusahaan harus memperhatikan semua kepentingan stakeholder, bukan
hanya mengutamakan kepentingan pemegang saham saja.
Mengasihi sesama juga berarti perusahaan hendaknya tidak memperlakukan
stakeholder hanya sebagai alat mencapai tujuannya. Kegiatan operasi perusahaan
merupakan kerjasama dari seluruh stakeholder, sehingga para stakeholder perlu dihargai
sebagai subjek dalam kegiatan perusahaan. Dengan kata lain perusahaan hendaknya
memiliki sikap setia kawan dan tenggang rasa pada stakeholdernya. Keberlanjutan
perusahaan tidak lepas dari peran stakeholder, hal ini berimplikasi keberhasilan
perusahaan hendaknya juga memberikan kesejahteraan bagi stakeholder. Sehingga
mengasihi sesama juga dapat diartikan perusahaan harus membagikan keberhasilannya
untuk kesejahteraan stakeholder.
Hukum kasih pertama memerintahkan manusia untuk mengasihi Tuhan dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.
Mengasihi Tuhan berarti segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai
bentuk cinta kasih kepada Tuhan, bukan untuk memenuhi keinginan diri manusia sendiri.
Sehingga dalam melakukan aktivitasnya, manusia selalu bertumpu pada perintah atau
Firman Tuhan. Salah satu perintah Tuhan terhadap manusia adalah untuk menguasai dan
mengelola bumi (Kejadian 1: 26-28). Menguasai dan mengelola bumi ini bukan berarti
manusia bebas mengeksploitasi bumi untuk kepentingan manusia, tetapi manusia
mengelola alam sebagai wujud cinta kasih dan tanggung jawab kepada Tuhan.
Perintah Tuhan untuk menguasai dan mengelola bumi seperti yang dijelaskan di
atas memiliki inti yang sama jika dilihat dari sudut pandang agama lain, misalnya Islam.
Dari sudut pandang Islam, Zuhri (2015) menyatakan bahwa berbeda dengan makhluk
lain yang memiliki misi kehadiran terbatas, manusia hadir di dunia memiliki misi yang
lebih penting. Manusia diberi kebebasan. Maka kebebasan yang dia miliki itu diarahkan
ke mana, di situlah letak nilai manusia. Jika manusia dapat menggunakan kebebasannya
secara bertanggung jawab sebagai wakil Allah di bumi (khalifah), termasuk dalam
mengelola alam, maka martabat manusia akan meningkat. Pernyataan Zuhri (2015)
tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Arabi dan Jalal Al-Din Rumi (Kartanegara, 2005).
Ibn Arabi dan Jalal Al-Din Rumi menyatakan bahwa manusia adalah tujuan akhir
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
penciptaan alam. Sebagai makhluk yang paling akhir diciptakan, manusia dimungkinkan
untuk memiliki semua daya dan kecakapan yang dimiliki makhluk lain yang diciptakan
sebelum manusia. Manusia diciptakan untuk menjadi wakil Allah di bumi, yang
diharapkan Tuhan untuk melaksanakan kehendakNya di bumi, termasuk kehendakNya
untuk memelihara alam.
Dalam konteks perusahaan, menguasai dan mengelola bumi secara bertanggung
jawab dapat diartikan bahwa perusahaan menggunakan alam secara bertanggungjawab,
bukan hanya untuk kepentingan perusahaan itu sendiri tetapi untuk kepentingan sesama
manusia dan keberlanjutan alam itu sendiri. Menguasai dan mengelola bumi (alam)
sebagai wujud cinta kasih kepada Tuhan dan sesama berarti perusahaan dalam segala
aktivitas bisnisnya tidak dapat seenaknya sendiri menggunakan alam dan menikmati
hasilnya. Dengan segala kapabilitas yang dimiliki perusahaan, maka seluruh aktivitasnya
hendaknya diarahkan untuk mengembangkan, melindungi dan melestarikan alam.
Pemahaman yang benar tentang alam akan mencegah manusia dan perusahaan
mengeksploitasi alam dengan sewenang-wenang. Rumambi (2014), menyatakan bahwa
sebagai bagian dari stakeholders perusahaan, alam juga berhak untuk diperlakukan
secara adil. Alam diciptakan sebagai sumber kehidupan manusia. Di sisi lain, dalam alam
semesta ada kehidupan lainnya selain manusia. Oleh sebab itu, perusahaan mempunyai
kewajiban moral untuk bersikap adil terhadap alam dengan melindunginya. Sikap adil
tersebut diwujudkan dengan melindungi lingkungan alam, lingkungan di sekitar
perusahaan, dan lingkungan kerja di perusahaan.
Cinta kasih kepada Tuhan, sesama dan lingkungan hendaknya diterapkan bukan
hanya pada implementasi aktivitas CSR, tetapi juga pada pengungkapan aktivitas CSR.
Setiap pemangku kepentingan berhak untuk mendapatkan informasi tentang
perkembangan perusahaan. Sehingga perusahaan perlu untuk mengungkapkan informasi
yang lengkap, benar dan transparan dalam laporan tahunannya. Menurut Vaccaro dan
Mele (2010), setiap manusia memiliki kebebasan dalam memperoleh kebenaran. Dengan
demikian, perusahaan bertanggungjawab untuk mewujudkan kebenaran. Tanggung
jawab tersebut diwujudkan melalui prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
penyusunan laporan tahunan. Dengan menerapkan transparansi dan akuntabilitas, maka
perusahaan menunjukkan rasa penghargaannya kepada stakeholder sebagai pribadi yang
mendukung perusahaan. Hal ini berarti perusahaan mengungkapkan semua dampak
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
positif dan negatif dari aktivitas bisnisnya dengan penuh kejujuran, sebagai bentuk
pertanggungjawabannya kepada Tuhan dan manusia.
Perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada rasa cinta kasih akan terwujud
dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dan individu yang berada dalam
perusahaan. Pelaksanaan dan pengungkapan CSR merupakan wujud nyata cinta kasih
perusahaan kepada para stakeholdernya dan kepada Tuhan. Mencintai para stakeholder
berarti perusahaan akan bersikap adil, tenggang rasa dan rela berbagi dengan
stakeholdernya serta melindungi dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian
aktivitas dan pengungkapan CSR bukan lagi hanya menjadi narasi besar sebagai sarana
legitimasi eksploitasi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengungkapan
CSR juga bukan lagi menjadi simulakra yang terpisah dari realitas dan menyesatkan
pengguna informasi. Tetapi aktivitas dan pengungkapan CSR menjadi aktivitas cinta
kasih perusahaan kepada Tuhan dan sesama manusia. Jika manusia menyadari bahwa
segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya, maka semua aktivitas
manusia akan dilakukan sesuai dengan petunjukNya. Aktivitas yang dilandaskan pada
nilai cinta kasih kepada Tuhan dan sesama manusia, yang diwujudkan dalam keadilan,
tenggang rasa dan kejujuran kepada stakeholder dan perlindungan kepada alam akan
membawa kebaikan secara materi maupun spiritual.
KESIMPULAN
Krisis sosial dan lingkungan sebagai dampak negatif dari aktivitas perusahaan
memunculkan kesadaran masyarakat atas pentingnya Corporate Social Responsibility
(CSR). Walaupun perusahaan sudah melakukan CSR tetapi bukti menunjukkan bahwa
aktivitas dan pengungkapan CSR tersebut digunakan sebagai sarana untuk melegitimasi
eksploitasi perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat dalam upayanya mencari
laba. Mengacu pada pemikiran Lyotard, CSR dapat dikatakan sebagai grand narration
yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasannya.
Bukti yang menunjukkan bahwa CSR merupakan grand narration adalah
pengungkapan CSR yang diatur oleh panduan pengungkapan Global Reporting Initiative
(GRI). Menurut GRI, selama perusahaan dapat mengungkapkan CSR secara lengkap
sesuai dengan panduan GRI, maka perusahaan dapat dikatakan telah akuntabel di bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan. Padahal praktik di perusahaan dapat menunjukkan
realitas yang berbeda. Perusahaan dapat menutupi masalah lingkungan dan sosial yang
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
sebenarnya dengan melakukan pengungkapan CSR. Selain itu, GRI sebagai bentuk
panduan pengungkapan yang diakui dan disepakati secara internasional merupakan
bentuk universalisme yang sangat ditentang oleh posmodern . Pengungkapan CSR yang
disyaratkan oleh GRI belum tentu sesuai dengan kondisi praktik dan pengungkapan CSR
di Indonesia. Pengungkapan CSR yang mengakomodasi budaya dan nilai-nilai luhur
Bangsa Indonesia akan dapat membebaskan pengungkapan CSR dari narasi besar.
Mengacu pada pemikiran Jean Baudrillard, pengungkapan CSR merupakan
sebuah simulakra, yang terpisah dari realitas yang terjadi dalam perusahaan. Hal itu
ditunjukkan dengan (a) Representasi perusahaan yang semakin tidak terkoneksi dengan
realitas dampak negatif operasi bisnis perusahaan karena perusahaan tidak transparan
dalam pelaporan, (b) Kontrol dan manipulasi informasi yang diungkapkan oleh
perusahaan, yang hanya menyoroti hal-hal positif dari perusahaan, (c) Ploriferasi imaji
yang menyesatkan. Jika informasi akuntansi dan pengungkapan CSR tidak lagi merujuk
pada realitas ekonomi, maka informasi tersebut menjadi informasi yang menyesatkan.
Untuk mematahkan simulakra CSR, dibutuhkan konsep aktivitas dan pengungkapan
CSR yang dilandaskan pada cinta kasih, baik cinta kasih kepada Tuhan maupun cinta
kasih kepada sesama manusia dan alam.
REFERENSI
Belkaoui, Ahmed.R. 2006. Accounting Theory.”Ed.5. Jakarta: Salemba Empat.
Bebbington, J., Larrinaga, C., & Moneva, J.M. 2004. “An Evaluation Of The Role Of
Social, Environmental And Sustainable Development Reporting In Reputation
Risk Management. Fourth Asian Pacific interdisciplinary research in
accounting.
Capra., Fritjof. 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan
Kebudayaan. Terjemahan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Capra., Fritjof. 2005. The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan
MistismeTimur, Terjemahan. Cetakan Lxxxiv. Yogyakarta: Jala Sutra.
Carroll, A.B. 1979. “A Three-Dimensional Conceptual Model Of Corporate
Performance’’. Academy of Management Review 4: 497-505.
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
Carroll, A.B. 1999. ‘‘Corporate social responsibility: evolution of a definitional
construct’’, Business and Society, 38: 68-95.
Chwastiak, Michele dan Joni J Young. 2003. “Silences in Annual Reports.” Critical
Perspectives on Accounting 14 :533–552
Cho, C.H. and Patten, D.M.2007. “The Role Of Environmental Disclosures As Tools Of
Legitimacy: A Research Note”. Accounting, Organizations and Society 32 (7-
8):639-647.
Coy D, Pratt M. 1998. “An insight into accountability and politics in universities: a case
study”. Accounting, Auditing & Accountability Journal 11: 540–561.
Damayanti, Theresia Woro. 2009. “Audit Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan:
Pendekatan Literatur.” Jurnal Akuntansi dan Keuangan 11 (2): 101-108.
Darwin, Ali. 2006. “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR bagi
Perusahaan di Indonesia”. IAI-KAM, eBar edisi3.
Deegan, Craig. 2002. “Introduction: The Legitimising Effect of Social and
Environmental Disclosures – A Theoritical Foundation”. Accounting, Auditing,
and Accountability Journal 15 (3): 282-311.
Dey, C. 2007. “Developing Silent and Shadow Accounts”. Sustainability, Accounting
and Accountability, Routledge, New York, NY, pp. 307-326.
Diamond., Jared. 2012. The World until Yesterday: What can We Learn from Traditional
Societies. New York: Penguin Books.
Elaati, Albulazim. 2016. Postmodernism Theory. ttps://www.researchgate.net/ (diunduh
pada 10 November 2017).
Everett, J., & Neu, D. 2000. “Ecological Modernization and The Limits of Environmental
Accounting?”. Accounting Forum 24(1), 5–29.
Gray, R.. 2006). :Social, environmental and sustainability reporting and organisational
value creation? Whose value? Whose creation?”. Accounting, Auditing and
Accountability Journal 19 (6): 793-819.
Gray, R. 2010. “Is Accounting For Sustainability Actually Accounting For Sustainability
and How Would We Know? An Exploration Of Narratives Of Organisations And
The Planet”. Accounting, Organizations and Society 35 (1): 47-62.
Habib, Fariz. 2016. Perkembangan Sustainability Reporting di Indonesia.
www.farizhabib.woerpress.com (diunduh pada 10 November 2017).
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
Hackston, David dan Markus J Milne. 1996. “Some Determinants of Social and
Environmental Disclosure in New Zealand Companies.” Accounting, Auditing
and Accountability Journal 9 (1): 1996.
Hofstede, G. 1998. “Think Locally, Act Globally: Cultural Constraints in Personnel
Management”. Management International Review 38:7-26.
Januarti, I. 2004. “Pendekatan dan Kritik Teori Akuntansi Positif”. Jurnal Akuntansi &
Auditing 01 (01): 83-94.
Kamayanti., Ari. 2016. Metodologi Konstruktif: Riset Akuntansi Membumikan
Religiositas. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam.
Bandung: Penerbit Mizan.
Lyotard, J.F. 2009. Kondisi Postmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. Selasar
Surabaya Publishing: Surabaya.
Macintosh, N.B., Shearer, T., Thornton, D.B. and Welker, M. 2000. “Accounting as
Simulacrum and Hyperreality: Perspectives on Income and Capital”. Accounting,
Organizations and Society 25 (1): 13-50.
Moneva, J.M., Archel, P. and Correa, C. 2006. “GRI and the camouflaging of corporate
unsustainability”, Accounting Forum 30 (2): 121-137.
Moura-Leite., Rosamaria dan Robert Padgett. 2013. “Historical Background of
Corporate Social Responsibility”. Social Responsibility Journal 7 (4): 528 – 539.
Muhlisin. 2006. Posmodernisme dan Kritik Ideologi Ilmu Pengetahuan Modern.
Eprints.dinus.ac.id (diunduh pada 21 November 2017).
Mulawarman, Aji Dedi. 2010. Integrasi Paradigma Akuntansi : Refleksi atas Pendekatan
Sosiologi dalam Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 1 (1): 155-
171.
Mulawarman., A. Dedi. 2016. 2024 Hijrah untuk Negeri. Kehancuran atau Kebahagiaan
(?) Indonesia dalam Ayunan Peradaban. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.
Nasr., Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern. 1983. Terjemahan.
Cetakan I. Bandung: Penerbit Pustaka – Perpustakaan Salman Institut Teknologi
Bandung.
Owen, D. and O’Dwyer, B. 2005.“Assurance Statement Practice in Environmental,
Social and Sustainability Reporting: a Critical Evaluation”. The British
Accounting Review 37(2): 205-229.
Jurnal Dinamika Akuntansi, Keuangan dan Perbankan, Vol. 5, No. 2, 2016
Pertiwi, I Dewa Ayu dan Unti Ludigdo. Implementasi Corporate Social Responsibility
Berlandaskan Budaya Tri Hita Karana. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 4 (3):
430-455.
Preston, Alistair dan Joni Young. 2000. “Constructing The Global Corporation and
Corporate Construction of The Global: A Picture Essay. Accounting,
Organizations and Society 25 (2000): 427-449.
Ritzer, George. 2010. Globalization: The Essentials. USA: John Wiley & Sons Ltd.
Rumambi, Hedy. 2014. Konsep Dasar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam
Perspektif Ajaran Gereja Katholik (Kasus pada PT. Indofood CBP Sukses
Makmur Tbk Cabang Manado). Disertasi FEB Universitas Brawijaya.
Ryadi, Agustinus. 2004. “Postmodernisme Versus Modernisme”. Studia Philosophica et
Theologica 4 (20): 90-102.
Sugiharto., I. Bambang. 1996. Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Sylvia. 2014. “Membawakan Cinta untuk Akuntansi.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma
5 (1): 139-148.
Umanailo. 2014. Postmodernisme dalam Pandangan Jean Franois Lyotard.
www.academia.edu (diunduh pada 24 November 2017).
Waddock, S. 2008. ‘‘Building a new institutional infrastructure for corporate
responsibility. Academy of Management Perspectives: 87-108.
Werastuti, Desak Nyoman. 2017. “Konsep Corporate Social Responsibility Berbasis
Catur Purusa Artha”. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 8 (2): 1-10.
Zuhri., Muhammad. 2013. Secawan Cinta: Pesan-Pesan Kearifan dari Lereng Muria.
Jakarta: Barzakh Foundation.