8
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2, B015-022, Maret 2018 https://doi.org/10.32315/sem.2.b015 Prosiding Semarnusa IPLBI | B 015 Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya ISBN XXX E-ISBN XXX Mencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya. Korespondensi : [email protected] Abstrak Arsitektur Nusantara dipahami sebagai arsitektur yang berada di antara benua Asia dan Australia serta diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Rujukan artefak arsitekturalnya pun adalah arsitektur masa lampau atau sebelum masuknya pengaruh Hindia Belanda. Arsitektur Nusantara, oleh Josef Prijotomo, ditempatkan sebagai arsitektur liyan yang mempunyai logika berarsitektur yang berbeda (Prijotomo, 2008). Dasar pemikiran Prijotomo inilah yang menjadi titik awal permasalah makalah, yaitu mengapa liyan, dan darimana asal masyarakat berpola pikir liyan ini? Tidak banyak yang melakukan telaah „asal muasal‟ masyarakat yang berhuni di nusantara. Widodo (2009) melakukan jelajah diakronik sinkronik yang diawali pada masa 10.000 tahun SM sampai 200 M, atau lebih dikenal dengan teori out of Taiwan, saat ada migrasi besar-besaran dari China daratan menuju ke Nusantara. Makalah ini mencoba menarik mundur jauh kebelakang dan meminjam tulisan-tulisan dari pengetahuan arkeologis kuno, penelitian biologi terutama tentang dna manusia purba, sehingga menjabarkan pemahaman-pemahaman teori out of sundaland, hingga teori out of africa atau multiregional hypothesis. Makalah ini bersifat spekulatif eksplorasi dengan mengacu pada pendekatan sinkronik-diakronik. Jelajah eksploratif membuktikan bahwa arsitektur di nusantara dipengaruhi oleh pola berhuni dan berarsitektur tempat-tempat lain secara global. Kemampuan adaptif manusia nusantara karena pengaruh iklim dan kondisi geologis membuat arsitekutrnya „berbeda‟ dengan yang lain. Kemampuan adaptif secara sosial budaya juga membuat arsitektur di nusantara hibrid. Perbincangan arsitektur di Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan unsur lokalitasnya (iklim lokal, kondisi geologis-geografi) dan unsur eksternal sebagai konsekuensi dari adanya hubungan perdagangan. Kata-kunci : Pendahuluan Prijotomo menyatakan bahwa arsitektur nusantara dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang dilandaskaan dan dipangkalkan dari filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur, sehingga bukanlah arsitektur tradisional yang didasarkan pada ilmu budaya; arsitektur nusantara adalah arsitektur pernaungan; dan arsitektur nusantara didasarkan pada tradisi tanpatulisan (Prijotomo, Globalisasi dan Arsitektur Nusantara , 2002). Pangarsa mempertegas lagi bahwa arsitektur nusantara secara metodologis dan aksiologis bukan pada ranah etno-antro-historis yang sempit, tetapi juga arsitektur masa kini dengan keluasan sosio-geografis yang melewati batas wilayah politik Indonesia (Pangarsa, 2006, hal. 4). Dengan dasar dua pendapat tentang pengetahuan arsitektur diatas, jelajah pemikiran makalah ini dilakukan. Permasalaha makalah di dasarkan pada pemikiran Prijotomo bahwa arsitektur nusantara adalah arsitektur liyan. Pemikiran liyan ini didasarkan pada konsep arsitekur nusantara adalah arsitektur perteduhan dan didasarkan pada masyarakat dengan tradisi tanpatulisan (Prijotomo, 2008). Disinilah muncul masalah yang coba ditelusur lebih lanjut oleh makalah ini, yaitu mengapa

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 2, B015-022, Maret 2018 https://doi.org/10.32315/sem.2.b015

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 015

Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Departemen Arsitektur ITS, Surabaya

ISBN XXX E-ISBN XXX

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

Johannes Adiyanto

Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.

Korespondensi : [email protected]

Abstrak

Arsitektur Nusantara dipahami sebagai arsitektur yang berada di antara benua Asia dan Australia

serta diantara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Rujukan artefak arsitekturalnya pun adalah

arsitektur masa lampau atau sebelum masuknya pengaruh Hindia Belanda. Arsitektur Nusantara,

oleh Josef Prijotomo, ditempatkan sebagai arsitektur liyan yang mempunyai logika berarsitektur yang

berbeda (Prijotomo, 2008). Dasar pemikiran Prijotomo inilah yang menjadi titik awal permasalah

makalah, yaitu mengapa liyan, dan darimana asal masyarakat berpola pikir liyan ini? Tidak banyak

yang melakukan telaah „asal muasal‟ masyarakat yang berhuni di nusantara. Widodo (2009)

melakukan jelajah diakronik sinkronik yang diawali pada masa 10.000 tahun SM sampai 200 M, atau

lebih dikenal dengan teori out of Taiwan, saat ada migrasi besar-besaran dari China daratan menuju

ke Nusantara. Makalah ini mencoba menarik mundur jauh kebelakang dan meminjam tulisan-tulisan

dari pengetahuan arkeologis kuno, penelitian biologi terutama tentang dna manusia purba, sehingga

menjabarkan pemahaman-pemahaman teori out of sundaland, hingga teori out of africa atau

multiregional hypothesis. Makalah ini bersifat spekulatif eksplorasi dengan mengacu pada

pendekatan sinkronik-diakronik. Jelajah eksploratif membuktikan bahwa arsitektur di nusantara

dipengaruhi oleh pola berhuni dan berarsitektur tempat-tempat lain secara global. Kemampuan

adaptif manusia nusantara karena pengaruh iklim dan kondisi geologis membuat arsitekutrnya

„berbeda‟ dengan yang lain. Kemampuan adaptif secara sosial budaya juga membuat arsitektur di

nusantara hibrid. Perbincangan arsitektur di Nusantara tidak bisa dipisahkan dengan unsur

lokalitasnya (iklim lokal, kondisi geologis-geografi) dan unsur eksternal sebagai konsekuensi dari

adanya hubungan perdagangan.

Kata-kunci :

Pendahuluan

Prijotomo menyatakan bahwa arsitektur nusantara dibangun sebagai sebuah pengetahuan yang

dilandaskaan dan dipangkalkan dari filsafat, ilmu dan pengetahuan arsitektur, sehingga bukanlah

arsitektur tradisional yang didasarkan pada ilmu budaya; arsitektur nusantara adalah arsitektur

pernaungan; dan arsitektur nusantara didasarkan pada tradisi tanpatulisan (Prijotomo, Globalisasi

dan Arsitektur Nusantara , 2002). Pangarsa mempertegas lagi bahwa arsitektur nusantara secara

metodologis dan aksiologis bukan pada ranah etno-antro-historis yang sempit, tetapi juga arsitektur

masa kini dengan keluasan sosio-geografis yang melewati batas wilayah politik Indonesia (Pangarsa,

2006, hal. 4).

Dengan dasar dua pendapat tentang pengetahuan arsitektur diatas, jelajah pemikiran makalah ini

dilakukan. Permasalaha makalah di dasarkan pada pemikiran Prijotomo bahwa arsitektur nusantara

adalah arsitektur liyan. Pemikiran liyan ini didasarkan pada konsep arsitekur nusantara adalah

arsitektur perteduhan dan didasarkan pada masyarakat dengan tradisi tanpatulisan (Prijotomo,

2008). Disinilah muncul masalah yang coba ditelusur lebih lanjut oleh makalah ini, yaitu mengapa

Page 2: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

B 016 | Prosiding Semarnusa IPLBI

liyan? Apanya yang liyan? Faktor apa yang mempengaruhi mutasi gen, jika dianggap ada proses

transformasi dari DNA asal? Jelajah spekulatif ini tidak hanya mengacu pada fisikal arsitektural

semata tapi tapi hal yang menyeluruh, atau dalam istilah yang digunakan Mangunwijaya adalah

„total architecture‟ yang kemudian tertuang dalam kata „wastu widya‟ (Mangunwijaya, 1995, hal. vii-

viii). Konsekuensinya penelusuran tidak hanya pada wujud teknis semata (tampang arsitektural) tapi

pada jelajah perjalanan manusia yang kemudian membentuk huniannya. Pola pikir berhuni menjadi

salah satu tolok ukur penting dalam makalah ini.

Dengan „bingkai kerja‟ (framework) mengacu pada pemikiran Prijotomo dan Pangarsa, dan subyek

kajian total architecture mengacu pemikiran Mangunwijaya maka perlu dijabarkan „obyek kerjanya‟.

Obyek kerja disini adalah hunian masa lampau yang berada di wilayah antara Benua Asia dan Benua

Pasifik, dan antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kurun waktu yang digunakan adalah kurun

waktu sejak sebelum terbentuknya „nusantara‟ hingga masa kini. Locus dan time jadi hal penting

dalam makalah yang berperspektif spekulatif dan menggunakan pendekatan kajian kesejarahan

(historical research) dengan memakai metode sinkronik-diakronik. Metode sinkronik-diakronik adalah

metode yang berasal dari ilmu pengetahuan bahasa / linguistic, yang membahas tentang the study

of the history of language (diakronik – dimensi waktu menekankan pada proses dan durasi) dan the

study of the history of language (sinkronik – dimensi ruang menekankan pada struktur dan fungsi)i.

Migrasi Manusia

Dalam penelitian tentang gelombang migrasi homo sapiens yang terjadi kurang lebih 100.000 tahun

yang lalu diduga berasal dari Africa, yang kemudian dikenal dengan out of Africa theory

(Oppenheimer, 2004). Teori out of Africa mendapat tentangan dari kelompok yang berpendapat

multiregional migration. (Thorne & Wolpoff, Vol 13, Issue 2, 2003). Dari dua pendekatan tentang

proses migrasi manusia purba ini dapat dikatakan bahwa ada „pergerakan‟ karena bermacam sebab.

Multiregional thesis/theory bahkan menjabarkan bahwa ada „perkawinan‟ antara manusia dari Afrika

dan „penduduk‟ asli. (Thorne & Wolpoff, Vol 13, Issue 2, 2003), dan hal itu masih mempengaruhi

keberadaan DNA manusia bahkan sampai struktur otak sampai sekarang ii . Secara bukti artefak

arsitektural bisa dipastikan tidak akan kita temukan sisa-sisa/jejak dari masa itu, namun setidaknya

pola „berpindah‟ dan „saling berkaitan‟ dengan tempat lain sudah terjadi sejak masa itu.

Gambar 1 Peta narasi penyebaran manusia modern Sumber (Oppenheim, 2012)

Page 3: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Johannes Adiyanto

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 017

Pada selanjutnya migrasi terjadi pada masa the last glacial maximum, saat cuaca menjadi sangat

dingin dan muka air laut surut dengan dramatis. Pada masa inilah kemudian dengan sundaland,

yaitu tergabungnya Pulau Kalimantan, Jawa, Bali dengan benua Asia. Dengan terjadinya „daratan‟ ini

memungkinkan terjadinya migrasi dari benua Asia daratan menuju beberapa tempat di Jawa,

Kalimantan. Tidak hanya itu, seperti yang terjadi pada saat ini, sepanjang Pulau Sumatera hingga

Pulau Jawa hingga Pulau Bali pada dataran tingginya terkoneksi oleh pegunungan berapi (Bird,

Taylor, & Hunt, 2005). Dengan demikian selain manusia saat itu mereka bermigrasi memanfaatkan

„laut‟ yang surut, harus beradaptasi dengan cuaca dingin, dan juga beradaptasi dengan lingkungan

dengan kondisi gunung api, yang punya potensi gempa dan meletus. Hall menyatakan bahwa

Sundaland adalah sebuah wilayah yang spesial karena bukan lempeng bumi yang rigid, tapi justru

lemah (Hall, 2012).

Setelah es mencair,terjadi lagi gelombang migrasi, yang kemudian dikenal dengan teori out of

sundaland. Beberape penelitian menyatakan adanya kaitan kepulauan di nusantara dengan beberapa

tempat di asia dan pasifik (Tumonggor, et al., 2013 (58); Palmer, 2007 (19)). Pada masa inilah

kemudian dikenal migrasi melalui air dengan menggunakan perahu. Ada proses adaptasi dengan

adanya air.

Migrasi berikutnya adalah yang kemudian dikenal dengan out of taiwan. Adanya migrasi ini

dibuktikan dengan penelusuran linguistic dan bukti-bukti arkeologi (Ko, et al., Marc 2014). Hal yang

menarik dari teori migrasi out of taiwan adalah adanya budaya bercocok tanam / agriculture lifestyle,

yang memang sudah umum dilakukan oleh para penduduk China daratan (Bellwood, 1984). Dengan

datangnya masyarakat migrasi dari Taiwan, ada pertemuan budaya, yaitu budaya air dengan budaya

darat (bercocok tanam) di wilayah Nusantara.

Arsitektur dan Migrasi Manusia

Telaah migrasi diatas, memang tidak langsung berkaitan dengan arsitektur. Apalagi artefak

arsitekturalnya juga sulit ditemukan. Namun ada dua penelitian panjang oleh sejarahwan arsitektur

yang mencoba melakukan penelusuran terhadap tradisi berhuni dalam masyarakat kuno yaitu Mark

Gambar 2 Perbedaan Multiregional Thesis dengan Out of Africa Theory Sumber:

https://www.slideshare.net/william

hogan52/prehistory-early-man-pdf

Gambar 3 Sundaland pada masa The Last Glacial Maximum Sumber (Bird, Taylor, & Hunt, 2005)

Page 4: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

B 018 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Jarzombek dan Paul Oliver. Jarzombek mencoba menelusuri primitive architecture, dan tidak mau

terjebak dengan pemahaman arsitektur vernacular (Jarzombek, 2013, hal. ix). Sedikit berbeda

dengan Jarzombek, Oliver justru mengacu pada pemahaman vernacular sebagai sebuah sistem

„berhuni/dwelling‟ (Oliver, 2003, hal. 14). Dengan pemahaman ini Oliver menyusun alur bukunya

melalui evolusi berhuni yaitu dari hunian kaum nomaden / shelter of nomads, lalu saat kaum nomad

„menentap‟ / settling down, dan tahap selanjutnya, yang oleh Oliver diberi judul true type, yang

menjabarkan bahwa manusia kemudian membentuk huniannya berdasarkan kebutuhan dasar

mereka dengan bentuk-bentuk dasar/ primary forms yaitu hemisphere, cone, silinder,dan tabung.

Lalu mulai diberi nama bagian-bagian dari huniannya, dan untuk membentuk bagian-bagian itu

munculnya ketrampilan-ketrampilan membentuk bagian-bagian hunian tersebut, yang membawa

konsekuensi munculah peralatan-peralatan khusus (Oliver, 2003, hal. 66-83). Evolusi ini kemudian

berlanjut dengan proses adaptasi terhadap iklim, lalu memahami hubungan ruang, kaitannya dengan

kosmologi, proses berhias dan membentuk kota. Oliver melakukan kajian dengan tidak

memperhatikan locus, tapi memahaminya sebagai sebuah proses evolusi berhuni.

Jarzombek kemudian mengisi „lubang‟ dari Oliver dengan melakukan kajian dari tiap-tiap titik di

dunia ini dan memahami proses berarsitekturnya. Untuk wilayah nusantara, Jarzombek memberi

catatan khusus yang mengacu pada proses migrasi out of taiwan. Jarzombek pada bagian ini

menjabarkan adanya perpaduan budaya yaitu budaya „air‟ dan budaya „bercocok tanam‟ dengan

munculnya nasi yang berasal dari India sepanjang Sungai Gangga (Jarzombek, 2013, hal. 521). Ada

penghormatan khusus dalam bentuk „bangunan penyimpanan beras‟ yaitu lumbung dari Jepang,

Kalimantan (suku dayak), Sumatera (suku batak, dan nias); Filipina (provinsi Ifugao) hingga

kepulauan pasifik ( pulau Nan Madol) (Jarzombek, 2013, hal. 518 - 547).

Arsitektur Di Nusantara Pasca Migrasi

Setelah gelombang migrasi tersebut jabaran yang komprehensif menjelajah perkembangan

arsitektur di Nusantara adalah tulisan Widodo. Jelajah Widodo didasarkan pada pemahaman modern

yang dimaknai sebagai sebuah proses alih-alih produk, yang menunjukkan pada munculnya produk

baru yang bukan tradisi lama, yang didapatkan melalui enelmuan, penciptaan dan transformasi yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan terkini (Widodo, 2009, hal. 17). Widodo

menyimpulkan bawah modernisasi adalah sebuah proses sosial budaya yang terus menerus dalam

bentuk : transplantasi, adaptasi, akomodasi, asimilasi, hibridisasi dan materialisasi (Widodo, 2009,

hal. 24). Proses masih berlangsung sampai sekarang.

Diskusi

Jelajah panjang diatas memang tidak seperti kajian arsitektural yang menyuguhkan banyak gambar

arsitektur. Namun kajian diatas menunjukkan bahwa manusia di nusantara tidak berdiri sendiri tapi

saling kait mengkait secara global. Dari masa purba pun, wilayah di nusantara (saat ini) adalah

tempat pertemuan antar manusia (jika beranggapan bahwa homo sapiens adalah cikal bakal

Gambar 4 pergerakan manusia ke Pasifik selatan dan Kepulauan Indonesia Sumber (Jarzombek, 2013, hal. 516)

Page 5: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Johannes Adiyanto

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 019

manusia modern saat ini). Kemampuan berhuni manusia purba merupakan „gen‟ yang diturunkan

hingga masa kini.

Oliver menyatakan bahwa dasar pemilihan lokasi berhuni dari masa ke masa mempunyai pola yang

sama yaitu tidak jauh dari sumber air tetapi memilih tempat yang tinggi (Oliver, 2003, hal. 74). Hal

ini juga dilakukan oleh masyarakat Jawa, yang kemudian terhimpun dalam Primbon Betaljemur

Adammakna yang menyatakan adanya persyaratan pemilihan lokasi dengan kriteria kemiringan

lahan, kondisi lingkungan, dan potensi lahan-jenis tanah (Roesmanto, 1999). Sedangkan untuk

pemilihan lahan untuk sebuah ibukota kerajaan juga punya kriteria tertentu yaitu ditempatkan di

daerah rawa-rawa atau kering, agar calon pemimpin kerajaan menunjukkan kemampuannya untuk

menaklukan alam demi kemakmuran rakyatnya (Santoso, 2008, hal. 167). Alasan yang mendasar

dalam evolusi migrasi manusia yaitu mencari tempat yang lebih baik, yang ternyata memilih lokasi

yang tidak jauh dari sumber kehidupan (air dan bahan pangan) namun tetap berada di tempat yang

aman. Dan pola itu juga dibuktikan dari penemuan arkeologis seperti temuan di teman lukisan dalam

gua di Kalimantan Timur di tepi Sungai Marang (Chazine, 2005).

Dalam konteks ruang, Oliver menyatakan bahwa bentuk kerucut, cone-and-cylinder‟ dideskripsikan

sebagai bentuk dasar dalam hunian manusia dengan denah dasar melingkar (Oliver, 2003, hal. 74).

Hal yang menarik dari bentuk ini dan denah melingkar ini adalah artefak arsitekturalnya. Kita masa

kini masih bisa menemukan di Wae rebo, Nusa Tenggara Timur, Indonesia; lalu di Kaledonia Baru

(pasifik) dan di Ethiopia (lihat Gambar 5). Apakah ini „jejak‟ dari teori out of africa ? Masih perlu

pendalaman dan studi yang lebih mendalam.

Jika diperhatikan lebih lanjut ketiga contoh hunian diatas menggunakan sistem struktur yang sama

dan menggunakan „tali‟ sebagai pengikatnya. Sistem strukturnya adalah sistem struktur yang

goyah/goyang/tidak stabil dan bertumpu pada simpul-simpul tali. Apakah ini adalah „jejak‟ tradisi air

(melaut/berlayar)? Yang juga merupakan adaptasi terhadap keadaan geografis di jalur gempa? Hal

ini perlu dipertanyakan sebab Porphyrios yang dikutip oleh Oliver menyatakan bahwa ide hunian

vernakular tidak ada kaitannya dengan gaya bangunan, namun lebih kepada gagasan konstruksi

hunian yang dipengaruhi oleh ketersediaan material dan teknik operasional konstruksional (Oliver,

2003, hal. 13).

Gambar 5 Arsitektur Waerebo di Flores, Indonesia (kiri, sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpkt/wp-content/uploads/sites/6/2015/09/Upacara-Adat-Penti-Wae-Rebo.pdf.); Arsitektur Kanak di Kaledonia Baru (tengah, sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Kanak_house.jpg); Arsitektur Gamo Gofa Omo, Ethiopia, (kanan, sumber : http://www.gettyimages.com/detail/photo/dorze-tribe-elephant-type-home-in-village-high-res-stock-photography/173987323)

Page 6: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

B 020 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Pemilihan material yang tersedia di sekitar hunian juga membuat pilihan manusia saat itu sangat

terbatas. Bangun hunian jadi bersifat sementara, karena materialnya masih mengandalkan material

yang organik dengan daya tahan terbatas. Pola pikir untuk mengganti material tubuh bangun hunian

secara berkala inilah yang kemudian masih muncul „jejaknya‟ dibeberapa daerah. Santosa merekam

proses pergantian material di daerah Trusmi, Cirebon, Jawa Barat (Santosa, 2017), dan hal itu juga

terjadi di beberapa tempat seperti di Jepang dan lainnya. Apakah hanya sekedar karena materialnya

yang tidak tahan lama sehingga ada „ritual‟ penggantian material untuk hunian? Atau biasakah

dibaca sebagai pola berpikir „nomaden‟ yang tersisa dalam cara berarsitektur, sehingga cara berhuni

didasarkan pada keadaan „sementara‟ bukan „menentap‟

Domenig yang melakukan kajian arah orientasi material kayu pada beberapa rumah vernakular di

Indonesia menyatakan bahwa ada pertimbangan struktural pada arah orientasi penggunaan kayu

pada rumah-rumah vernakular tersebut, yang kemudian dikaitkan dengan gagasan keagamaan

(Domenig, Timber Orientation in The Traditional Architecture of Indonesia , Vol 164, No. 4 (2008)).

Hal ini menunjukkan bahwa ada aturan-aturan yang terkait dengan adaptasi struktural pada

masyarakat-masyarakat tradisional, namun mereka menyampaikannya dengan cara „spiritual‟.

Perspekfit memahami alam dan lingkungan berperan disini. Pada tahapan berikutnya, mereka

datang melalui air/laut. Untuk memahami air/laut mereka harus membaca alam. Koneksi dengan

alam sangatlah dekat, kita bisa melihat jejaknya pada suku-suku yang „air‟ seperti suku Badjo yang

amat cerdik/cerdas melihat arus laut dan membaca tanda-tanda langit yang amat penting bagi

kehidupannya mencari ikan. Setelah itu pendatang yang dari air/laut itu mendarat dan berevolusi

menjadi petani. Domenig menyatakan bahwa ada korelasi antar „kepercayaan‟ dengan arsitektur di

Indonesia dan hal itu bersifat evolutif (Domenig, 2014). Sato menyatakan bahwa ada evolusi dari

lumbung menjadi rumah dan berbentuk panggung, terutama kawasan pasifik (Sato, 1991) dan hal

ini juga disepakati oleh Domenig, bahwa lumbung menjadi dasar bentuk dan dasar berpikir

struktural untuk dikembangkan bentuknya menjadi lebih kompleks dengan perluasan serta fungsi

baru (Domenig, 2014, hal. 261). Inilah yang kemudian dinyatakan sebagai mitos yang oleh van

Puersen (Peursen, 1985) sebagai tahap awal sebuah perkembangan kebudayaan, yang kemudian

dilanjutkan dengan tahap ontologis dan tahap fungsional.

Dengan jelajah migrasi, serta menunjukkan beberapa kesamaan-kesamaan di beberapa titik terlihat

bahwa wilayah nusantara adalah sebuah wilayah tempat tujuan migrasi. „Jejak-jejak‟ pola pikir

arsitektural dari tempat asal terkadang masih muncul, ada universalitas daya nalar untuk beberapa

penyelesaian masalah arsitektural, salah satunya adalah mengenai tata ruang dan struktur.

Lalu apa kaitan antara pola pikir universal tersebut dengan evolusi migrasi manusia? Jika kemudian

menggunakan logika multiregion theory yang beranggapan bahwa ada perpaduan antara pendatang

dan penduduk asli, maka disaat itu terjadi pertukaran pengetahuan antara pendatang dan penduduk

asli dengan dasar pola pikir universal, seperti cara memilih tempat hunian, tata ruang dan

pemahaman struktural. Para pendatang membawa „pengetahuan baru‟ berpadu dengan penduduk

asli yang paham terhadap keadaan lingkungannya. Ada evolusi cara berarsitektur. Dan keadaan ini

terus menerus berlangsung sampai saat ini. Apakah yang cara lama ditinggalkan? Terkadang jejak-

jejak cara berpikir arsitektural yang lama masih saja muncul. Hanya di tempat-tempat yang

berpontensi mempunyai hubungan dengan „dunia luar‟ yang mempunyai kemampuan berkembang

lebih cepat daripada tempat yang lebih terisolasi. Ada layer baru bagi pemahaman berarsitekturalnya.

Ini yang kemudian disebut sebagai hibriditas arsitektural oleh Widodo (Widodo, 2009).

Jika diatas telah dieksplorasi cara berpikir universalitas yang terjadi dimana-mana, lalu apa dasar

cara berpikir lokalitasnya? Kemampuan adaptasi manusia juga muncul dalam cara berarsitekturnya.

Sistem struktur „goyah‟ dengan sistem ikat/simpul untuk hunian merupakan salah satu contoh

Page 7: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Johannes Adiyanto

Prosiding Semarnusa IPLBI | B 021

adaptasi di suatu keadaan geografis yang tidak stabil (gempa). Tentang iklim tropis lembab Prijtomo

menyatakan bahwa arsitektur nusantara adalah arsitektur pernaungan bukan arsitektur perlindungan

(Prijotomo, 2008). Hal itu yang kemudian ditiru oleh arsitektur indis, dengan tritisan lebar dan

adanya teras baik depan maupun belakang. Silaban dengan tegas menyatakan bahwa bukan

bentuknya tapi pada adaptasi iklim tropis yang perlu diperhatikan dalam arsitektur di nusantara ini.

(Silaban, 1983). Ada proses adaptasi.

Lalu kembali ke pertanyaan mendasar makalah ini, apakah yang liyan dari arsitektur di nusantara?

Dari jelajah diatas terungkap bahwa nusantara menjadi meeting point dari beberapa gelombang

migrasi yang telah terjadi. Pola pikir dasar yang bersifat universal muncul di beberapa arsitektur

vernakular di nusantara, ada yang amat terlihat seperti lokasi-lokasi yang sulit terjangkau, ada yang

samar dan muncul sebagai jejak-jejak pemikiran terutama di pusat-pusat perdagangan. Pemikiran

dasar tersebut kemudian mengalami proses adaptasi dengan keadaan setempat, seperti keadaan

geografis yang cenderung gempa dan iklim tropis lembab.

Kesimpulan

Ke-liyan-an arsitektur nusantara terletak pada asal usul arsitektur nusantara yang beragam. Migrasi

manusia membawa kemampuan berhuni dan meninggalkan jejaknya di nusantara. Kemampuan

berarsitektur hunian tersebut kemudian berpadu dengan kemampuan adaptasi manusia

menghasilkan karya arsitektur hunian yang „baru‟. Kemampuan „baru‟ ini kemudian juga berpadu

dengan kemampuan lain yang datang dari pendatang pada gelombang migrasi berikutnya. Ada

lapisan-lapisan berarsitektur yang bisa ditelusur jejaknya. Pada tempat-tempat yang mempunyai

kemampuan berinteraksi secara luas mempunyai lapisan-lapisan yang banyak, sehingga terkadang

„jejak kemampuan‟ yang awal tidak terlihat jelas. Namun pada tempat-tempat yang sulit dijangkau

dan jarang terjadi interaksi maka „jejak kemampuan awal‟ masih terlihat jelas. Contohnya bentuk

hunian kerucut dan denah lingkaran kita temui di tempat-tempat, yang sampai saat inipun, sulit

dijangkau.

Arsitektur nusantara memang liyan karena keberagamannya, karena hibriditasinya, dan juga

kemampuan adaptasinya terhadap lingkungannya. Arsitektur nusantara tidak singular / satu tapi

plural / bermacam-macam, sehingga adalah wajar jika memahami arsitektur nusantara dari pelbagai

sudut pandang. Gelombang migrasi yang bermacam-macam asal dan arahnya membawa dasar

pemahaman ini. Membaca arsitektur nusantara berarti juga membaca perkembangan dunia secara

menyeluruh/global. Jadi adalah janggal jika membaca arsitektur nusantara hanya terhadap dirinya

sendiri.

Daftar Pustaka

Bellwood, P. (1984). A Hypothesis for Austronesian origins. Asian Perspectives 26 (1), 107 - 117. Bird, M. I., Taylor, D., & Hunt, C. (2005). Palaeoenvironments of insular Southeast Asia during the Last Glacial

Period: a savanna corridor in Sundaland? Quaternary Science Reviews, 2228- 2242. Chazine, J.-M. (2005). Rock Art, Burials, and Habitations : caves in East Kalimantan . Asian Perspective 44 (1),

219 - 230. Domenig, G. (2014). Religion and Architecture in Premodern Indonesia. Leiden : Brill. Domenig, G. (Vol 164, No. 4 (2008)). Timber Orientation in The Traditional Architecture of Indonesia . Bijdragen

tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 450 - 474. Hall, R. (2012). Sundaland and Wallacea: geology, plate tectonics and paleogeography. In D. (. Gower, Biotic

Evolution and Environmental Change in Southeast Asia (pp. 37-78). New York: Cambridge University Press.

Jarzombek, M. (2013). Architecture of First Societies: a global perspective. New Jersey: John Wiley & Sons. Ko, A. M.-S., Chen, C.-Y., Fu, Q., Delfin, F., Li, M., Chiu, H.-L., . . . Ko, Y.-C. (Marc 2014). Early Austronesians:

Into and Out Of Taiwan. The American Journal of Human Genetics 94, 426 - 436.

Page 8: Mencari DNA Arsitektur di Nusantara - seminar.iplbi.or.id fileMencari DNA Arsitektur di Nusantara Johannes Adiyanto Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya

Mencari DNA Arsitektur di Nusantara

B 022 | Prosiding Semarnusa IPLBI

Mangunwijaya, Y. (1995). Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya beserta contoh-contoh praktis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Oliver, P. (2003). Dwelling . New York: Phaidon Press. Oppenheim, S. (2012). Review : Out-of-Africa, the peopling of continents and islands: tracing uniparental gene

trees across the map. Philosophical Transactions B, 770–784. Oppenheimer, S. (2004). OUt of Eden: The Peopling of The World . London : Constable & Robinson Ltd. Palmer, E. (2007 (19)). Out of Sunda? Provenance of the Jomon Japanese. Japan Review, 47-75. Pangarsa, G. W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset. Peursen, V. (1985). Strategi Kebudayaan . Kanisius: Yogyakarta . Prijotomo, J. (2002). Globalisasi dan Arsitektur Nusantara . Seminar Nasional 'Kematian Arsitektur Tradisional' .

Yogyakarta: Himpunan Mahasiswa Arsitektur Univ. Atma Jaya Yogyakarta. Prijotomo, J. (2006). (Re)-Konstruksi Arsitektur Jawa : Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan. Surabaya: PT.

Wastu Lanas Grafika . Prijotomo, J. (2008). Arsitektur Nusantara: Arsitektur Perteduhan dan Arsitektur Liyan, Pembacaan Arsitektural

atas Arsitektur Masyarakat Tanpatulisan . Surabaya : unpublished, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teori dan Metode Perancangan, Institut Teknologi Sepuluh November .

Roesmanto, T. (1999). Pemilihan Lokasi dan Lahan menurut Primbon Betaljemur Adammakna suatu kajian awal (dan dangkal). Simposium Nasional Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Reflektif Arsitektural (pp. III-3 - III-23). Surabaya : Laboratorium Perkembangan Arsitektur, Jurusan Arsitektur, FTSP, ITS.

Santosa, R. B. (2017). Trusmi : Berasitektur yang Tak Abadi . Yogyakarta : Matabangsa. Santoso, J. (2008). Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultur dan Kuasa . Jakarta: Centropolis-Magister Teknik

Perencanaan Universitas Tarumanegara. Sato, K. (1991). Menghuni Lumbung: Beberapa Pertimbangan mengenai Asal Usul Konstruksi Rumah Panggung

di Kepulauan Pasifik. Antropologi Indonesia No 49, 31 - 47. Silaban, F. (1983). Idealisme Arsitektur dan Kenyataan Di Indonesia . In E. Budihardjo, Menuju Arsitektur

Indonesia (pp. 75-88). Bandung : Penerbit Alumni . Thorne, A. G., & Wolpoff, M. (Vol 13, Issue 2, 2003). The Multiregional Evolution of Humans. Scientific American,

Special Edition, New Look at Human Evolution , 46-53. Tumonggor, M. K., Karafet, T. M., Brian Hallmark, J. S., Sudoyo, H., Hammer, M. F., & Cox, M. P. (2013 (58)).

The Indonesian Archipelago: an acient genetic highway linking Asia and the Pasific. Journal of Human Genetics , 165 - 173.

Widodo, J. (2009). Arsitektur Indonesia Modern: Transplantasi, Adaptasi, Akomodasi dan Hibridisasi. In P. J. Nas, Masa Lalu dalam Masa Kini (pp. 17-24). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama .

Widodo, J. (2009). Morphogenesis and Layering of Southeast Asian Coastal Cities: Re-conceptualization of urban and environmental. The International Conference “Asian Environments Shaping the World: Conceptions of Nature and Environmental Practices”,. Singapore: Asia Research Institute.

i Sumber : "DIACHRONIC AND SYNCHRONIC." Concise Oxford Companion to the English Language.Retrieved November 20, 2017

from Encyclopedia.com: http://www.encyclopedia.com/humanities/encyclopedias-almanacs-transcripts-and-maps/diachronic-

and-synchronic dan http://kecantikanalamoment.blogspot.co.id/2016/05/perbedaan-konsep-berpikir-sinkronis-dan.html

ii Finally, we might simply wish to reflect on the fact that physical evolution does not start from scratch, but simply adapts what already exists. As such, the brain structure of all descendent species still, in part, resides within the workings of our own brain. This simple fact may go along way to explain why some of our most primitive characteristics still persist to this day. (sumber

http://www.mysearch.org.uk/website1/html/91.Scope.html )