Upload
dinhthuan
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi):
Melalui Sistem E-Governance
Oleh: Khoyrul Anwar
ABSTRACT
Salah satu kewajiban yang paling penting dan wajib untuk dilaksanakan
oleh pemerintah adalah melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Dengan birokrasi yang masih sangat korup dan bersikap sebagai penguasa
serta tidak professional, maka perubahan apapun yang terjadi dalam
pemerintahan kita tidak akan membawa dampak yang berarti dalam perbaikan
kinerja dan perbaikan pelayanan publik. Banyak sekali bentuk patologi
birokrasi yang ada di Indonesia antara lain ialah penanganan berlarut,
penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, praktek KKN, melalaikan
kewajiban, pemalsuan (Maladministrasi). Oleh karenanya, maka upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan memutus mata rantai hubungan kontak
langsung dengan penerapan electronic-government dalam pelayanan publik.
Jika TIK ini benar-benar dijalakankan secara konsisten, akan memberikan
peluang yang semakin besar bagi birokrasi memodernisasi struktur kelembagan,
menyederhanakan proses kerja dan mempermudah interaksi antara pemerintah
dengan masyarakatnya serta pemangku kepentingan lainnya.
Kata Kunci: Maladministrasi, Pelayanan Publik, E-Government
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu kewajiban yang
paling penting dan wajib untuk
dilaksanakan oleh pemerintah adalah
melayani setiap warga negara untuk
memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh karenanya,
pemerintah perlu membangun
kepercayaan kepada masyarakat atas
pelayanan publik yang diberikannya
seiring dengan tuntutan dan harapan
warga masyarakat akan terciptanya
pelayanan publik yang berkualitas dan
berkeadilan memalui reformasi
adminsitrasi (Dwiyanto, 2011).
Harapan masyarakat bahwa
keberhasilan pemerintah untuk
menyelenggarakan pemilu yang
demokratis sebagai proses awal dalam
membentuk pemerintahan yang baru,
pemerintahan yang akan mampu
memerangi KKN dan membentuk
pemerintahan yang bersih, ternyata
sampai saat ini masih jauh dari
realitas. Keinginan masyarakat untuk
menikmati pelayanan publik yang
efisien, responsive, dan akuntabel
masih jauh dari realitas. Pemerintahan
2
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
yang baru dengan orang-orang yang
baru, ternyata tidak mampu untuk
memperbaiki citra kinerja birokrasi
publik yang sudah terlanjur “buruk”
bahkan tidak jarang justru
terperangkap dalam lumpur KKN dan
itu semakin memperburuk birokrasi
publik kita. Praktek KKN dan
rendahnya kualitas pelayanan
birokrasi pemerintahan adalah bagian
dari rendahnya komitmen pemerintah
dalam membenahi sistem administrasi
publik (Anwar, 2008:30-33).
Reformasi dalam politik yang
selama ini lebih diperhatikan dengan
tidak diikuti dengan reformasi dalam
birokrasi, ternyata tidak banyak
menghasilkan perbaikan kinerja
pelayanan publik. Dengan birokrasi
yang masih sangat korup dan bersikap
sebagai penguasa serta tidak
professional, maka perubahan apapun
yang terjadi dalam pemerintahan kita
tidak akan membawa dampak yang
berarti dalam perbaikan kinerja dan
perbaikan pelayanan publik.
Karenanya menjadi sangat wajar kalau
perbaikan dalam kehidupan politik
yang menjadi semakin demokratis
sekarang ini belum mampu membawa
dampak yang berarti pada kinerja
birokrasi dalam menyelenggarakan
pelayanan publik.
Ketidakberhasilan birokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan,
secara umum terjadi akibat adanya
patologi birokrasi. Konsep patologi
birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran
yang mengkaji mengenai yang
melekat pada organ manusia sehingga
menyebabkan tidak berfungsinya
organ itu. Dengan menjadikan
patologi sebagai metafora, patologi
birokrasi di sini di pahami sebagai
kajian ilmu administrasi publik untuk
memahami berbagai penyakit yang
melekat dalam suatu birokrasi
sehingga menyebabkan birokrasi
mengalami disfungsi (Dwiyanto,
2011:59). Banyak teori yang telah
dikembangkan oleh para ilmuan
administrasi publik untuk menjelaskan
mengapa muncul berbagai penyakit
birokrasi. Banyak sekali bentuk
patologi birokrasi yang ada di
Indonesia antara lain ialah penanganan
berlarut, penyimpangan prosedur,
penyalahgunaan wewenang, praktek
KKN, melalaikan kewajiban,
pemalsuan, nyata-nyata berpi-
hak/politis, bertindak tidak layak,
intervensi dan inkompetensi yang
selanjutnya disebut sebagai
Maladministrasi.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah adalah aspek
yang harus ada dalam tulisan.
Berdasarkan realitas yang muncul
dalam latar belakang tulisan di atas,
maka rumusan masalah yang hendak
dijawab adalah “Apa penyebab
terjadinya patologi birokrasi di
Indonesia dan bagaimana upaya yang
dapat dilakukan untuk meminimalisir
patologi birokrasi (Maladministrasi)?”
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Maladministrasi
Pemahaman tentang malad-
ministrasi tidak dapat dipisahkan dari
konsep administrasi publik itu sendiri.
Gerald Caiden mengemukakan bahwa
administrasi negara/publik meliputi
setiap bidang dan aktifitas yang
menjadi sasaran kebijaksanaan
pemerintah, termasuk proses formal
dan kegiatan-kegiatan DPR, fungsi-
3
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
fungsi yang berlaku dalam lingkungan
pengadilan dan kegiatan-kegiatan dari
lembaga militer. Secara spesifik
Soesilo Zauhar memberikan
pengertian administrasi negara/publik
adalah proses kerjasama yang berlaku
dalam organisasi publik dalam rangka
memberikan pelayanan publik. Oleh
karena itu, maka makna
maladministrasi tidak saja berkaitan
dengan penyimpangan-penyimpangan
yang berkaitan dengan ketatabukuan
atan tulis-menulis (makna administrasi
dalam arti sempit), akan tetapi juga
berkaitan dengan penyimpangan-
penyimpangan atas fungsi-fungsi
pelayanan publik yang dilakukan oleh
para penyelenggara negara kepada
warga masyarakatnya. Pemaknaan
yang demikian, dapat pula dilihat
dalam berbagai tulisan, diantaranya
dalam buku “Mengenal Ombudsman
Indonesia” yang ditulis oleh Masthuri
(2005) yang mendefenisikan
maladministrasi sebagai suatu praktek
yang menyimpang dari etika
administrasi, atau suatu praktek
administrasi yang menjauhkan dari
pencapaian tujuan administrasi, di
mana dalam hal ini adalah tujuan
penyelenggaraan pemerintahan.
Sejalan dengan itu, pengertian
maladministrasi dalam Cambridge
Dictionary mendefinisikan
maladministrasi ialah sebagai lack of
care, judgment or honesty in the
management of something, atau dapat
dimaknai sebagai kekurangpedulian
atau ketidakjujuran seseorang dalam
mengelola sesuatu. Sedangkan dalam
Wikipedia, maladministrasi diartikan
sebagai sesuatu yang memiliki makna
yang luas dan mencakup antara lain:
Delay (menunda-nunda
pekerjaan);
incorrect action or failure to take
any action (kesalahan dalam
bertindak atau melayani);
failure to follow procedures or
the law (mengabaikan prosedur
atau hukum yang berlaku);
failure to provide information
(kesalahan dalam memberikan
informasi);
inadequate record-keeping
(pencatatan yang tidak memadai);
failure to investigate (kesalahan
dalam penyelidikan);
failure to reply (kesalahan dalam
menjawab);
misleading or inaccurate
statements (pernyataan yang
menyesatkan atau tidak akurat);
inadequate liaison (kurangnya
penghubung);
inadequate consultation
(kurangnya konsultasi);
broken promises (ingkar janji);
Sementara itu Hartono, dkk
(2003) juga memberikan pengertian
tentang maladminsitrasi secara umum
yaitu perilaku yang tidak wajar
(termasuk penundaan pemberian
pelayanan), tidak sopan dan kurang
peduli terhadap masalah yang
menimpa seseorang disebabkan oleh
perbuatan penyalahgunaan kekuasaan,
termasuk penggunaan kekuasaan
secara semena-mena atau kekuasaan
yang digunakan untuk perbuatan yang
tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau
diskriminatif, dan tidak patut
didasarkan seluruhnya atau sebagian
atas ketentuan undang-undang atau
fakta, tidak masuk akal, atau tidak
berdasarkan tindakan unreasonable,
4
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
unjust, oppressive, improper, dan
diskriminatif.
Lebih lanjut Hartono, dkk
menyebutkan bahwa maladministrasi
dapat merupakan perbuatan, sikap
maupun prosedur dan tidak terbatas
pada hal-hal administrasi atau tata
usaha saja. Hal-hal maladministrasi
tersebut, menjadi salah satu penyebab
bagi timbulnya pemerintahan yang
tidak efisien, buruk dan tidak
memadai. Dengan kata lain, bahwa
tindakan atau perilaku maladministrasi
bukan sekedar merupakan
penyimpangan dari prosedur atau tata
cara pelaksanaan tugas pejabat atau
aparat negara atau aparat penegak
hukum, akan tetapi juga dapat
merupakan perbuatan melawan
hukum.
Dari uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa maladministrasi
adalah setiap perilaku yang
menyebabkan terjadinya
penyimpangan, pelanggaran atau
pengabaikan kewajiban hukum serta
kepatutan masyarakat dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga tidak dapat memenuhi asas
umum pemerintahan yang baik (good
governance). Dengan demikian, maka
parameter yang dapat dijadikan
sebagai tolok ukur terjadinya
maladministrasi dalam pelayanan
publik adalah peraturan hukum yang
berlaku (termasuk prosedur dan
persyaratan pelayanan) dan kepatutan
masyarakat serta asas umum
pemerintahan yang baik.
2.2 Bentuk Maladministrasi
Masthuri (2005) dalam bukunya
yang berjudul “Mengenal
Ombudsman Indonesia” telah
mengklasifikasikan bentuk dan jenis
maladministrasi menjadi enam
kelompok berdasarkan kedekatan
karakteristik, yaitu sebagai berikut.
a) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang terkait dengan ketepatan
waktu dalam proses pemberian
pelayanan publik, dapat berupa
tindakan-tindakan seperti berikut
ini:
1) Penundaan Berlarut
2) Tidak Menangani
3) Melalaikan Kewajiban
b) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang mencerminkan
keberpihakan sehingga
menimbulkan rasa ketidakadilan
dan diskriminasi. Kelompok ini
terdiri dari tindakan-tindakan:
1) Persekongkolan
2) Kolusi dan Nepotisme
3) Bertindak Tidak Adil
4) Nyata-nyata Berpihak
c) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang lebih mencerminkan
sebagai bentuk pelanggaran
terhadap hukum dan peraturan
perundangan. Kelompok ini
terdiri dari tindakan-tindakan
sebagai berikut:
1) Pemalsuan
2) Pelanggaran Undang-Undang
3) Perbuatan Melawan Hukum
d) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang terkait dengan kewenangan
atau ketentuan yang berdampak
pada kualitas pelayanan yang
diberikan pejabat publik kepada
masyarakat. Kelompok ini terdiri
dari tindakan-tindakan sebagai
berikut:
1) Diluar Kompetensi
2) Tidak Kompeten
3) Intervensi
5
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
4) Penyimpangan Prosedur
e) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang mencerminkan sikap
arogansi seorang pejabat publik
dalam proses pemberian
pelayanan publik kepada
masyarakat. Kelompok ini terdiri
dari beberapa tindakan sebagai
berikut:
1) Bertindak Sewenang-wenang
2) Penyalahgunaan Wewenang
3) Bertindak Tidak Layak/ Tidak
Patut
f) Bentuk-bentuk maladministrasi
yang mencerminkan sebagai
bentuk-bentuk korupsi secara
aktif. Kelompok ini terdiri dari
tindakan-tindakan sebagai
berikut:
1) Permintaan Imbalan Uang/
Korupsi
2) Penguasaan Tanpa Hak
3) Penggelapan Barang Bukti
III. PEMBAHASAN
3.1 Akibat Penerapan Birokrasi
“Ideal” Weberian
Dalam mengawali pengkajian
tentang birokrasi di Indonesia, perlu
terlebih dahulu dikedepankan sedikit
pokok persoalan birokrasi menurut
Weber. Max Weber berpendapat
bahwa untuk mencapai tujuannya,
organisasi harus memiliki struktur
ideal yang disebutkan dalam birokrasi,
sebagaimana yang disampaikan oleh
Robbins dalam Organization Theory
(1992). Dalam perjalanan sejarah,
ternyata struktur birokrasi model
Weber tersebut tidak cocok diterapkan
di Indonesia karena terlalu
centralizede decision Making,
impersonal submission to authority
dan narrow division of Labor. Lebih
lanjut, Dwiyanto (2011:60) secara
tegas dalam bukunya juga
menyebutkan bahwa katarestik
birokrasi Weberian tertentu yang pada
awalnya dirancang untuk membuat
birokrasi dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, pada akhirnya justru
menimbulkan berbagai penyakit yang
membuat birokrasi mengalami
disfungsi.
Dwiyanto (2011:2) menjelaskan
lebih lanjut bahwa birokrasi tipe ideal
Weberian ternyata pada tataran
praktiknya tidak memberikan
kekuatan, akan tetapi banyak
kelemahan dan banyak penyakit yang
berkembang dalam birokrasi publik
muncul dari kateristik birokrasi
“ideal”. Sebagai contoh, terlalu baku
dan kaku yang lebih mengedepankan
proses ketimbang hasil, sedangkan
sentralisasi kewenangan dalam
pengambilan keputusan cenderung
berada pada pusat kekuasaan.
Keadaan-keadaan inilah yang secara
luar biasa menjadi pemicu
menguatnya citra negatif birokrasi
dalam pemerintahan pada umumnya
dan menyebabkan terjadinya patologi
birokrasi pada khususnya.
Kritik terhadap birokrasi “ideal”
menurut Weber ini, telah banyak
dibahas dalam berbagai sumber
tentang teori organisasi. Tuduhan
negatif terhadap birokrasi sepanjang
zaman, gencar sekali sampai-sampai
birokrasi dianggap sebagai penyakit
“red tape” (prosedur birokrasi yang
bertele-tele cenderung memakan
waktu yang lama dan biaya yang
mahal). Namun demikian, seperti
dekemukakan dipihak lain, birokrasi
itu tidak akan terelakkan, ibarat
pepatah “benci tapi sayang“ (dibenci
6
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
oleh masyarakat tapi disayang oleh
penguasa).
Sesungguhnya, karakteristik
model birokrasi yang dibangun oleh
Max Weber pada esensinya memiliki
beberapa keunggulan yang masih
dapat diterapkan di dalam
kelembagaan pemerintah saat ini, oleh
karena itu tidak mengherankan jika
banyak negara dan pemerintahan
sekarang ini masih menerapkan
prinsip-prinsip birokrasi Weberian
(Dwiyanto, 2011:2). Sementara, ada
beberapa hal lain yang dirasa tidak
sesuai dengan kondisi kekinian perlu
diselaraskan sesuai kebutuhan.
Disinilah kewajiban para pimpinan
organisasi untuk memainkan peran
leadership nya. Beberapa karakter
birokrasi yang masih dinilai relevan
dengan kondisi saat ini diantaranya
adalah pembagian tugas secara jelas
dan promosi berdasarkan kompetensi.
Pembagian kerja secara jelas sangat
dibutuhkan di dalam sebuah
organisasi. Dengan pembagian tugas
yang jelas, maka siapa mengerjakan
apa dan siapa yang bertanggungjawab,
serta melapor kepada siapa akan
terdapat kejelasan. Lebiha dari itu,
pembangian kerja merupakan dasar
dan faktor pendorong berkembangnya
profesionalisme (Dwiyanto, 2011:24).
Karakter lain birokrasi yang
masih dibutuhkan adalah promosi
berdasarkan kompetensi. Sejak awal
dibangun model birokrasi oleh Weber,
karakter ini sudah melekat dan tidak
bisa dipisahkan. Kompetensi menjadi
syarat mutlak bagi setiap anggota
organisasi yang akan menduduki
jabatan tertentu. Nilai positif birokrasi
ini pada umumnya telah “dipasung”
dengan berbagai aturan yang tidak lagi
makesense apabila diterapkan pada
masa sekarang. Salah satu contoh
aturan yang masih dipegang sangat
kuat di arena pemerintah kita adalah
prinsip senioritas dan kepangkatan
sebagai persyaratan utama bagi calon
pemegang jabatan struktural,
sementara syarat kompetensi dan
prestasi kerja kerapkali diabaikan.
Hal demikian tentu sangat
membahayakan bagi eksistensi
organisasi pemerintahan ke depan.
Menyimak dan menyikapi kondisi
demikian tentunya sangat mendesak
untuk melakukan kajian lebih
mendalam dan serius mengenai
eksistensi dan aktualisasi teori
birokrasi Weber dalam rangka
implementasi pembaharuan kebijakan
birokrasi pemerintah di Indonesia
dewasa ini, agar mampu mencapai
hasil yang diharapkan oleh banyak
pihak.
3.2 Patologi Birokrasi (Malad-
ministrasi)
Perwujudan good governance di
negara kita telah didukung oleh
political will dari pemerintah yaitu
melalui diimplemetasikannya produk-
produk kebijakan yang di dalamnya
mengandung prinsip-prinsip good
governance. Dengan penerapan good
governance ini, sebenarnya akan
memberikan peluang kepada
pemerintah, swasta dan masyarakat
menjadi lebih berdaya. Pada
gilirannya nanti, keberdayaan ini akan
menjadi fondasi yang kokoh bagi
perwujudan good governance di
Indonesia. Untuk itu, perlu diciptakan
kondisi kompetitif di antara lembaga
pemerintah dan swasta, antara swasta
dengan swasta atau antara lembaga
7
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
pemerintah baik yang menyangkut
kualitas pelayanan maupun mutu hasil
kerja.
Hanya saja, birokrasi masih
menujukkan kesan negatif disebabkan
karena birokrasi selama ini tidak bisa
merespon keinginan warga
masyarakat. Akibat penerapan kinsep
birokrasi Weber, birokrasi Indonesia
yang selama ini dikenal dengan
bekerja lambat, berhati-hati dan
metodologinya sudah tidak dapat
diterima oleh orang yang perlu
layanan cepat, efisien, tepat waktu dan
sederhana. Untuk meningkatkan daya
saing yang kian kompetitif diperlukan
reformasi birokrasi yang dapat
menghasilkan birokrasi profesional
dan ramping yang bebas hambatan.
Hal inilah yang menjadi prasyarat
penyelenggaraan good governance,
dengan menerapkan prinsip
akuntabalitas, transparansi dan
keterbukaan, efisiensi dan efektifitas,
serta partisipasi, yang dilakukan
secara demokratis sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Di Indonesia sendiri, sampai
saat ini birokrasi sering di identikkan
dengan pegawai negeri yang lamban
dan korup. Pelbagai intansi di
Indonesia dari tingkat pusat dan
daerah menjadi sarang “premanisme”
dan pusat “ngobyek”, serta mereka
juga bebas mengatur jam kerja. Belum
lagi image pelayanan publik di
tingkatan prosedur/aturan yang
memakan waktu dan biaya yang
mahal. Belum lagi hal tersebut akan
dijamin tepat waktu sesuai yang
dijanjikan oleh aturan, dalam keadaan
ini akan dimanfaatkan terjadinya KKN
di mana masyrakat diharuskan
membayar lebih mahal dari biaya yang
ditetapkan bila ingin mendapat
fasilitas ketepatan dan kecepatan
dalam pelayanan. Sehingga sering kita
dengar muncul bahasa dalam birokrasi
kita yaitu “kalau sebuah urusan bisa
dipersulit, kenapa harus dipermudah“
atau sebaliknya “kenapa dipersulit,
kalau memang bisa dipermudah”.
Meluasnya praktik-praktik semacam
ini dalam birokrasi publik, semakin
menambah daftar panjang patologi
birokrasi di Indonesia dan jelas akan
mencoreng image masyarakat
terhadap birokrasi.
Dalam melihat birokrasi di
Indonesia mentalitas birokratnya yang
dilumuri KKN, rupanya masih
melekat dimata publik setiap kali
berhadapan dengan aparat birokrasi
dan cara kerja mereka. Aparat
pemerintah belum terbebas dari KKN
setiap kali menjalankan kerjanya
merupakan cermin kegagalan
birokrasi. Sebenarnya, berbagai upaya
yang telah dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik, antara lain dengan
dikeluarkannya Kepmenpan Nomor 63
Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
dan Undang-undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. Di
mana yang kesemuanya adalah
bertujuan untuk mengatur tentang hak
dan kewajiban warga masyarakat serta
birokrat agar tercipta pelayanan publik
yang memenuhi prinsip-prinsip good
governance.
Meskipun telah banyak aturan
atau norma hukum yang mengatur
tentang penyelenggaraan pelayanan
publik di Indonesia, namun
nampaknya dari berbagai penelitian
dan survey yang telah dilakukan
8
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik, diantaranya yang dilakukan
oleh Hasniati (2008:32), menunjukkan
bahwa kualitas pelayanan publik
masih jauh dari harapan dan cita-cita
akan terwujudnya pelayanan publik
yang akuntabel, transparan dan
berkeadilan. Sebagai contoh dalam
pemberian pelayanan masih terlihat
perilaku-perilaku birokrat yang
senantiasa mencari keuntungan pribadi
atas pelayanan yang diberikannya,
diantaranya adalah perilaku sebagai
calo dan perilaku diskriminasi dengan
tujuan mendapatkan imbalan baik
dalam bentuk uang maupun imbalan
lainnya.
Perilaku menyimpang yang
demikian pada akhirnya akan
mengakibatkan terjadinya malad-
ministrasi. Masthuri (2005:78)
mendefenisikan maladministrasi
sebagai suatu praktek yang
menyimpang dari etika administrasi,
atau suatu praktek administrasi yang
menjauhkan dari pencapaian tujuan
administrasi di mana dalam hal ini
adalah tujuan penyelenggaraan
pemerintahan. Sementara itu Hartono,
dkk (2003:23) juga memberikan
pengertian tentang maladminsitrasi
secara umum yaitu perilaku yang tidak
wajar (termasuk penundaan pemberian
pelayanan), tidak sopan dan kurang
peduli terhadap masalah yang
menimpa seseorang disebabkan oleh
perbuatan penyalahgunaan kekuasaan,
termasuk penggunaan kekuasaan
secara semena-mena atau kekuasaan
yang digunakan untuk perbuatan yang
tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau
diskriminatif, dan tidak patut
didasarkan seluruhnya atau sebagian
atas ketentuan undang-undang atau
fakta, tidak masuk akal, atau tidak
berdasarkan tindakan dan
diskriminatif.
Seperti pada perilaku sebagai
calo yang dapat mengakibatkan
terabaikannya prosedur atau bahkan
persyaratan yang seharusnya dipenuhi
oleh warga masyarakat. Demikain
pula halnya dalam perilaku sebagai
calo, dengan membayar sejumlah uang
sebagaimana yang disepakati bersama
oleh pelaku interaksi (birokrat selaku
pelayan dan warga masyarakat selaku
pengguna jasa layanan), maka seorang
warga masyarakat yang membutuhkan
produk pelayanan akan dengan mudah
mendapatkannya tanpa perlu melalui
prosedur yang standar. Hal ini lah
yang perlu sesegara mungkin untuk
diperbaiki dan menyesuaikan dengan
kondisi dan perkembangan saat ini.
3.3 Staregi: Penerapan Sistem E-
Governance
Praktek maladministrasi
merupakan salah bentuk patologi
birokrasi yang ada di Indonesia seperti
yang telah diuraikan di atas adalah
praktek-praktek yang sering terjadi
dalam penyelenggaraan pelayanan
publik di Indonesia. Sesuai dengan
pengalaman yang pernah saya temui,
praktek maladministrasi dapat terjadi
karena adanya interaksi secara
langsung serta diperparah oleh kurang
memadainya alat pelayanan yang
digunakan dan tidak jelasnya aturan
tentang biaya dan waktu untuk
pemberian layanan.
Dalam interaksi melalui kontak
langsung (face to face) antara pegawai
selaku pelayanan dengan warga
masyarakat selaku pengguna jasa
layanan, peluang terjadinya
9
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
persekongkolan sangat besar
kemungkinannya. Ketika pegawai
yang melayani cenderung memaknai
pelayanan yang diberikannya sebagai
sesuatu yang dapat memberikan
keuntungan pribadi (selain dari gaji
mereka sebagai pegawai), maka
pegawai seperti ini akan
“memanfaatkan” orang-orang yang
dilayaninya, misalnya dengan
meminta secara terang-terangan
sejumlah uang terhadap warga
masyarakat atau sengaja mempersulit
warga masyarakat yang dilayaninya
dengan harapan dapat memberikan
uang sogokan. Jadi, kualitas pelayanan
publik sangat ditentukan oleh pelaku
interaksi (baik itu pegawai maupun
warga masyarakat). Selama pemberian
pelayanan publik masih menggunakan
metoda tatap muka langsung antara
pegawai dan warga masyarakat, maka
kecenderungan praktek-praktek
maladministrasi seperti ini tetap akan
terjadi.
Oleh karenanya, maka salah
satu upaya yang dapat dilakukan
(reformasi administrasi) adalah
dengan memutus mata rantai
hubungan kontak langsung dengan
penerapan E-Government dalam
pelayanan publik. Alasan utama saya
adalah bahwa dengan memutus mata
rantai hubungan (kontak langsung)
seperti ini, maka peluang terjadinya
maladministrasi khususnya yang
tergolong dalam kelompok kolusi,
korupsi dan nepotisme akan dapat
diminimalisasi atau bahkan tidak akan
ada lagi. Lebih labjut, Dwiyanto
(2011:124) juga menjelaskan bahwa
pengembangan birokrasi berbasis
teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) juga perlu diberi perhatian
secara khusus. Selain itu, penggunaan
TIK juga akan dapat memperkecil
kemungkinan terjadi praktek KKN
karena keberadaan TIK mampu
memfasilitasi pemerintah untuk
mencegah berbagai kelemahan
birokrasi dalam menjalankan tugasnya
yang menyangkut perencanaan,
koordinasi, dan pengawasan. Jika TIK
ini benar-benar dikelola dan
dijalkankan secara konsisten, menurut
Dwiyanto (2011:124) akan
memberikan peluang yang semakin
besar bagi birokrasi memodernisasi
struktur kelembagan, menyederhana-
kan proses kerja dan mempermudah
interaksi antara pemerintah dengan
masyarakatnya serta pemangku
kepentingan lainnya.
Menurut Indrajit (2002:87) E-
Governance yaitu suatu metode
pemberian pelayanan dengan
memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi, di mana aparat
pelayan publik tidak lagi bertemu
langsung dengan warga masyarakat
pengguna jasa layanan. Dengan
demikian, maka praktek
maladministrasi sebagaimana yang
disebutkan di atas tidak lagi mudah
terjadi. Pelayanan tidak lagi melihat
langsung siapa orang yang dilayani
karena hanya terhubung dengan
teknologi. Demikian pula halnya yang
dilayani, ia tidak lagi melihat siapa
yang melayaninya, sehingga peluang
terjadinya kolusi dan nepotisme dalam
pelayanan publik akan terhindarkan.
Meskipun memang perlu diakui
juga bahwa tidak semua jenis
pelayanan publik itu dapat disediakan
sepenuhnya melalui elektronik dalam
bingkai E-Governance. Akan tetapi,
beberapa dari kegiatan pelayanan
10
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
publik ini dapat disediakan melalui
elektronik, misalnya saja jenis
pelayanan administrative seperti
pelayanan Pengurusan KTP,
Pelayanan Perizinan, Pembayaran
pajak, Pelaporan pindah alamat,
Pelaporan kelahiran, Pendaftaran
pernikahan, Pendaftaran siswa dan
mahasiswa baru secara online, Motor
vehicle registration, Informasi
pelayanan kesehatan, Perpanjangan
Surat Izin Mengemudi (SIM).
Disamping bertujuan untuk
menghindarkan praktek-praktek
maladministrasi dalam pelayanan
publik, E-Governance ini nantinya
juga akan memiliki beberapa nilai
manfaat secara langsung lainnya
antara lain adalah:
a) Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas kerja.
b) Mempercepat proses pemberian
layanan kepada masyarakat.
c) Informasi yang diberikan akan
lebih lengkap, cepat dan akurat
dengan biaya yang lebih efisien
dalam pengeloloaan data.
d) Secara umum dapat mendukung
terciptanya good governance.
e) Tersedianya database yang up to
date.
Dari uraian di atas, secara
ringkas tujuan yang ingin dicapai
dengan implementasi E-Governance
adalah untuk menciptakan customer
online dan bukan in-line. E-
Governance bertujuan memberikan
pelayanan tanpa adanya intervensi
pegawai dan sistem antrian yang
panjang hanya untuk mendapatkan
suatu pelayanan yang sederhana.
Selain itu, E-Governance juga
bertujuan untuk mendukung
terciptanya tata pemerintahan yang
baik (good governance).
Penggunaan teknologi yang
mempermudah masyarakat untuk
mengakses informasi dapat
mengurangi korupsi dengan cara
meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas lembaga publik.
Disamping itu, E-Governance juga
dapat memperluas partisipasi publik
dimana masyarakat dimungkinkan
untuk terlibat aktif dalam pengambilan
keputusan/kebijakan oleh pemerintah.
E-Governance juga diharapkan dapat
memperbaiki produktifitas dan
efisiensi birokrasi (paperless) serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
karena dapat merangsang minat
investor untuk menanamkan modalnya
berkat adanya kepercayaan terhadap
lembaga pemerintah.
IV. PENUTUP
Interaksi antara pegawai dan
warga masyarakat dalam pelayanan
seringkali dapat mengakibatkan
munculnya patologi birokrasi
(maladministrasi). Maladministrasi
dapat dimaknai secara luas, yakni
semua perilaku yang dapat
menyebabkan terjadinya penyim-
pangan prosedur, penyalahgunaan
wewenang, dan perilaku yang tidak
sepantasnya dilakukan oleh pegawai
dalam memberikan pelayanan publik.
Maladministrasi dalam penyeleng-
garaan pelayanan publik pada
dasarnya dapat diminimalisir atau
bahkan dihilangkan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan memotong
mata rantai hubungan langsung antara
pegawai dan warga masyarakat, yakni
dengan melalui E-Governance.
11
Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)
Melalui Sistem E-Governance
MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239
E-Governance adalah suatu
metode pemberian layanan publik
dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK).
Dengan E-Governance ini, maka
kontak langsung (face to face) antara
pegawai (selaku pelayan) dan warga
masyarakat (selaku penerima layanan)
tidak lagi terjadi karena dimediasi oleh
teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan demikian, maka peluang
terjadinya praktek-praktek malad-
ministrasi seperti kolusi, korupsi dan
nepotisme atau perlakuan khusus
terhadap orang-orang “tertentu” dapat
dihindarkan, sehingga pemberian
pelayanan publik secara berkeadilan
dapat dilakukan dengan baik. Dengan
demikian dorongan untuk me;kukan
perubaahan dan pengembangan dalam
rangka memperbaiki kinerja akan
menjadoi semakin kuat.
Daftar Pustaka
Dwiyanto, A. 2011. Mengembalikan
Kepercayaan Publik Melalui
Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hasniati, 2008. Perilaku Pelayanan
Birokrat Garis-Depan (Studi
Tentang Interaksi Birokrat
Kepolisian dengan Warga
Masyarakat Dalam Pelayanan
Surat Izin Mengemudi di Kota
Makassar). Malang: Disertasi,
Universitas Brawijaya.
Hartono, Sunaryati; Budhi Masthuri,
Enni Rochmaeni, Winarso.
2003. Panduan Investigas untuk
Ombudsman Indonesia.
Diterbitkan: The Asia
Foundation Indonesia.
Indrajit, R.E. 2002. E-Government:
Strategi Pembangunan dan
Pengembangan SIstem
Pelayanan Publik Berbasis
Teknologi Digital. Yogyakarta:
Andi Yogyakarta.
Lipsky, Michael. 1980. Street-level
Bureaucracy: Dilemmas of the
Individual in Public Services.
Russell Sage Foundation, New
York.
Lembaga Administrasi Negara. 2003.
SANKRI Buku I Prinsip-prinsip
Penyelenggaraan Negara.
Jakarta: LAN.
Masthuri, Budi. 2005. Mengenal
Ombudsman Indonesia. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Robbins, Stephen P. 2002. “Essential
of Organizational Behavior
(Prinsip-Prinsip Perilaku
Organisasi)”.
Terjemahan:Halida dan Dewi
Sartika. Jakarta: Erlangga.
Rust, R.T. and P.K. Kannan. 2002. e-
Service: New Direstions inf
Theory and Practice. ME
Sharpe, New York.
Suprawoto. 2007. Pelayanan Publik
Melalui E-Government (Studi
tentang Pelayanan KTP, e-
Procurement dan PSB-Online
di Kota Surabaya). Malang:
Disertasi, Universitas
Brawijaya.