11
1 Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi) Melalui Sistem E-Governance MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 6239 Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui Sistem E-Governance Oleh: Khoyrul Anwar ABSTRACT Salah satu kewajiban yang paling penting dan wajib untuk dilaksanakan oleh pemerintah adalah melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Dengan birokrasi yang masih sangat korup dan bersikap sebagai penguasa serta tidak professional, maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan kita tidak akan membawa dampak yang berarti dalam perbaikan kinerja dan perbaikan pelayanan publik. Banyak sekali bentuk patologi birokrasi yang ada di Indonesia antara lain ialah penanganan berlarut, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, praktek KKN, melalaikan kewajiban, pemalsuan (Maladministrasi). Oleh karenanya, maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memutus mata rantai hubungan kontak langsung dengan penerapan electronic-government dalam pelayanan publik. Jika TIK ini benar-benar dijalakankan secara konsisten, akan memberikan peluang yang semakin besar bagi birokrasi memodernisasi struktur kelembagan, menyederhanakan proses kerja dan mempermudah interaksi antara pemerintah dengan masyarakatnya serta pemangku kepentingan lainnya. Kata Kunci: Maladministrasi, Pelayanan Publik, E-Government I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu kewajiban yang paling penting dan wajib untuk dilaksanakan oleh pemerintah adalah melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, pemerintah perlu membangun kepercayaan kepada masyarakat atas pelayanan publik yang diberikannya seiring dengan tuntutan dan harapan warga masyarakat akan terciptanya pelayanan publik yang berkualitas dan berkeadilan memalui reformasi adminsitrasi (Dwiyanto, 2011). Harapan masyarakat bahwa keberhasilan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu yang demokratis sebagai proses awal dalam membentuk pemerintahan yang baru, pemerintahan yang akan mampu memerangi KKN dan membentuk pemerintahan yang bersih, ternyata sampai saat ini masih jauh dari realitas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan publik yang efisien, responsive, dan akuntabel masih jauh dari realitas. Pemerintahan

Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

1

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi):

Melalui Sistem E-Governance

Oleh: Khoyrul Anwar

ABSTRACT

Salah satu kewajiban yang paling penting dan wajib untuk dilaksanakan

oleh pemerintah adalah melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan

kebutuhan dasarnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Dengan birokrasi yang masih sangat korup dan bersikap sebagai penguasa

serta tidak professional, maka perubahan apapun yang terjadi dalam

pemerintahan kita tidak akan membawa dampak yang berarti dalam perbaikan

kinerja dan perbaikan pelayanan publik. Banyak sekali bentuk patologi

birokrasi yang ada di Indonesia antara lain ialah penanganan berlarut,

penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, praktek KKN, melalaikan

kewajiban, pemalsuan (Maladministrasi). Oleh karenanya, maka upaya yang

dapat dilakukan adalah dengan memutus mata rantai hubungan kontak

langsung dengan penerapan electronic-government dalam pelayanan publik.

Jika TIK ini benar-benar dijalakankan secara konsisten, akan memberikan

peluang yang semakin besar bagi birokrasi memodernisasi struktur kelembagan,

menyederhanakan proses kerja dan mempermudah interaksi antara pemerintah

dengan masyarakatnya serta pemangku kepentingan lainnya.

Kata Kunci: Maladministrasi, Pelayanan Publik, E-Government

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu kewajiban yang

paling penting dan wajib untuk

dilaksanakan oleh pemerintah adalah

melayani setiap warga negara untuk

memenuhi hak dan kebutuhan

dasarnya, sebagaimana yang

diamanatkan dalam Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Oleh karenanya,

pemerintah perlu membangun

kepercayaan kepada masyarakat atas

pelayanan publik yang diberikannya

seiring dengan tuntutan dan harapan

warga masyarakat akan terciptanya

pelayanan publik yang berkualitas dan

berkeadilan memalui reformasi

adminsitrasi (Dwiyanto, 2011).

Harapan masyarakat bahwa

keberhasilan pemerintah untuk

menyelenggarakan pemilu yang

demokratis sebagai proses awal dalam

membentuk pemerintahan yang baru,

pemerintahan yang akan mampu

memerangi KKN dan membentuk

pemerintahan yang bersih, ternyata

sampai saat ini masih jauh dari

realitas. Keinginan masyarakat untuk

menikmati pelayanan publik yang

efisien, responsive, dan akuntabel

masih jauh dari realitas. Pemerintahan

Page 2: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

2

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

yang baru dengan orang-orang yang

baru, ternyata tidak mampu untuk

memperbaiki citra kinerja birokrasi

publik yang sudah terlanjur “buruk”

bahkan tidak jarang justru

terperangkap dalam lumpur KKN dan

itu semakin memperburuk birokrasi

publik kita. Praktek KKN dan

rendahnya kualitas pelayanan

birokrasi pemerintahan adalah bagian

dari rendahnya komitmen pemerintah

dalam membenahi sistem administrasi

publik (Anwar, 2008:30-33).

Reformasi dalam politik yang

selama ini lebih diperhatikan dengan

tidak diikuti dengan reformasi dalam

birokrasi, ternyata tidak banyak

menghasilkan perbaikan kinerja

pelayanan publik. Dengan birokrasi

yang masih sangat korup dan bersikap

sebagai penguasa serta tidak

professional, maka perubahan apapun

yang terjadi dalam pemerintahan kita

tidak akan membawa dampak yang

berarti dalam perbaikan kinerja dan

perbaikan pelayanan publik.

Karenanya menjadi sangat wajar kalau

perbaikan dalam kehidupan politik

yang menjadi semakin demokratis

sekarang ini belum mampu membawa

dampak yang berarti pada kinerja

birokrasi dalam menyelenggarakan

pelayanan publik.

Ketidakberhasilan birokrasi

dalam penyelenggaraan pemerintahan,

secara umum terjadi akibat adanya

patologi birokrasi. Konsep patologi

birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran

yang mengkaji mengenai yang

melekat pada organ manusia sehingga

menyebabkan tidak berfungsinya

organ itu. Dengan menjadikan

patologi sebagai metafora, patologi

birokrasi di sini di pahami sebagai

kajian ilmu administrasi publik untuk

memahami berbagai penyakit yang

melekat dalam suatu birokrasi

sehingga menyebabkan birokrasi

mengalami disfungsi (Dwiyanto,

2011:59). Banyak teori yang telah

dikembangkan oleh para ilmuan

administrasi publik untuk menjelaskan

mengapa muncul berbagai penyakit

birokrasi. Banyak sekali bentuk

patologi birokrasi yang ada di

Indonesia antara lain ialah penanganan

berlarut, penyimpangan prosedur,

penyalahgunaan wewenang, praktek

KKN, melalaikan kewajiban,

pemalsuan, nyata-nyata berpi-

hak/politis, bertindak tidak layak,

intervensi dan inkompetensi yang

selanjutnya disebut sebagai

Maladministrasi.

1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah adalah aspek

yang harus ada dalam tulisan.

Berdasarkan realitas yang muncul

dalam latar belakang tulisan di atas,

maka rumusan masalah yang hendak

dijawab adalah “Apa penyebab

terjadinya patologi birokrasi di

Indonesia dan bagaimana upaya yang

dapat dilakukan untuk meminimalisir

patologi birokrasi (Maladministrasi)?”

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Maladministrasi

Pemahaman tentang malad-

ministrasi tidak dapat dipisahkan dari

konsep administrasi publik itu sendiri.

Gerald Caiden mengemukakan bahwa

administrasi negara/publik meliputi

setiap bidang dan aktifitas yang

menjadi sasaran kebijaksanaan

pemerintah, termasuk proses formal

dan kegiatan-kegiatan DPR, fungsi-

Page 3: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

3

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

fungsi yang berlaku dalam lingkungan

pengadilan dan kegiatan-kegiatan dari

lembaga militer. Secara spesifik

Soesilo Zauhar memberikan

pengertian administrasi negara/publik

adalah proses kerjasama yang berlaku

dalam organisasi publik dalam rangka

memberikan pelayanan publik. Oleh

karena itu, maka makna

maladministrasi tidak saja berkaitan

dengan penyimpangan-penyimpangan

yang berkaitan dengan ketatabukuan

atan tulis-menulis (makna administrasi

dalam arti sempit), akan tetapi juga

berkaitan dengan penyimpangan-

penyimpangan atas fungsi-fungsi

pelayanan publik yang dilakukan oleh

para penyelenggara negara kepada

warga masyarakatnya. Pemaknaan

yang demikian, dapat pula dilihat

dalam berbagai tulisan, diantaranya

dalam buku “Mengenal Ombudsman

Indonesia” yang ditulis oleh Masthuri

(2005) yang mendefenisikan

maladministrasi sebagai suatu praktek

yang menyimpang dari etika

administrasi, atau suatu praktek

administrasi yang menjauhkan dari

pencapaian tujuan administrasi, di

mana dalam hal ini adalah tujuan

penyelenggaraan pemerintahan.

Sejalan dengan itu, pengertian

maladministrasi dalam Cambridge

Dictionary mendefinisikan

maladministrasi ialah sebagai lack of

care, judgment or honesty in the

management of something, atau dapat

dimaknai sebagai kekurangpedulian

atau ketidakjujuran seseorang dalam

mengelola sesuatu. Sedangkan dalam

Wikipedia, maladministrasi diartikan

sebagai sesuatu yang memiliki makna

yang luas dan mencakup antara lain:

Delay (menunda-nunda

pekerjaan);

incorrect action or failure to take

any action (kesalahan dalam

bertindak atau melayani);

failure to follow procedures or

the law (mengabaikan prosedur

atau hukum yang berlaku);

failure to provide information

(kesalahan dalam memberikan

informasi);

inadequate record-keeping

(pencatatan yang tidak memadai);

failure to investigate (kesalahan

dalam penyelidikan);

failure to reply (kesalahan dalam

menjawab);

misleading or inaccurate

statements (pernyataan yang

menyesatkan atau tidak akurat);

inadequate liaison (kurangnya

penghubung);

inadequate consultation

(kurangnya konsultasi);

broken promises (ingkar janji);

Sementara itu Hartono, dkk

(2003) juga memberikan pengertian

tentang maladminsitrasi secara umum

yaitu perilaku yang tidak wajar

(termasuk penundaan pemberian

pelayanan), tidak sopan dan kurang

peduli terhadap masalah yang

menimpa seseorang disebabkan oleh

perbuatan penyalahgunaan kekuasaan,

termasuk penggunaan kekuasaan

secara semena-mena atau kekuasaan

yang digunakan untuk perbuatan yang

tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau

diskriminatif, dan tidak patut

didasarkan seluruhnya atau sebagian

atas ketentuan undang-undang atau

fakta, tidak masuk akal, atau tidak

berdasarkan tindakan unreasonable,

Page 4: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

4

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

unjust, oppressive, improper, dan

diskriminatif.

Lebih lanjut Hartono, dkk

menyebutkan bahwa maladministrasi

dapat merupakan perbuatan, sikap

maupun prosedur dan tidak terbatas

pada hal-hal administrasi atau tata

usaha saja. Hal-hal maladministrasi

tersebut, menjadi salah satu penyebab

bagi timbulnya pemerintahan yang

tidak efisien, buruk dan tidak

memadai. Dengan kata lain, bahwa

tindakan atau perilaku maladministrasi

bukan sekedar merupakan

penyimpangan dari prosedur atau tata

cara pelaksanaan tugas pejabat atau

aparat negara atau aparat penegak

hukum, akan tetapi juga dapat

merupakan perbuatan melawan

hukum.

Dari uraian diatas maka dapat

disimpulkan bahwa maladministrasi

adalah setiap perilaku yang

menyebabkan terjadinya

penyimpangan, pelanggaran atau

pengabaikan kewajiban hukum serta

kepatutan masyarakat dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan,

sehingga tidak dapat memenuhi asas

umum pemerintahan yang baik (good

governance). Dengan demikian, maka

parameter yang dapat dijadikan

sebagai tolok ukur terjadinya

maladministrasi dalam pelayanan

publik adalah peraturan hukum yang

berlaku (termasuk prosedur dan

persyaratan pelayanan) dan kepatutan

masyarakat serta asas umum

pemerintahan yang baik.

2.2 Bentuk Maladministrasi

Masthuri (2005) dalam bukunya

yang berjudul “Mengenal

Ombudsman Indonesia” telah

mengklasifikasikan bentuk dan jenis

maladministrasi menjadi enam

kelompok berdasarkan kedekatan

karakteristik, yaitu sebagai berikut.

a) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang terkait dengan ketepatan

waktu dalam proses pemberian

pelayanan publik, dapat berupa

tindakan-tindakan seperti berikut

ini:

1) Penundaan Berlarut

2) Tidak Menangani

3) Melalaikan Kewajiban

b) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang mencerminkan

keberpihakan sehingga

menimbulkan rasa ketidakadilan

dan diskriminasi. Kelompok ini

terdiri dari tindakan-tindakan:

1) Persekongkolan

2) Kolusi dan Nepotisme

3) Bertindak Tidak Adil

4) Nyata-nyata Berpihak

c) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang lebih mencerminkan

sebagai bentuk pelanggaran

terhadap hukum dan peraturan

perundangan. Kelompok ini

terdiri dari tindakan-tindakan

sebagai berikut:

1) Pemalsuan

2) Pelanggaran Undang-Undang

3) Perbuatan Melawan Hukum

d) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang terkait dengan kewenangan

atau ketentuan yang berdampak

pada kualitas pelayanan yang

diberikan pejabat publik kepada

masyarakat. Kelompok ini terdiri

dari tindakan-tindakan sebagai

berikut:

1) Diluar Kompetensi

2) Tidak Kompeten

3) Intervensi

Page 5: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

5

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

4) Penyimpangan Prosedur

e) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang mencerminkan sikap

arogansi seorang pejabat publik

dalam proses pemberian

pelayanan publik kepada

masyarakat. Kelompok ini terdiri

dari beberapa tindakan sebagai

berikut:

1) Bertindak Sewenang-wenang

2) Penyalahgunaan Wewenang

3) Bertindak Tidak Layak/ Tidak

Patut

f) Bentuk-bentuk maladministrasi

yang mencerminkan sebagai

bentuk-bentuk korupsi secara

aktif. Kelompok ini terdiri dari

tindakan-tindakan sebagai

berikut:

1) Permintaan Imbalan Uang/

Korupsi

2) Penguasaan Tanpa Hak

3) Penggelapan Barang Bukti

III. PEMBAHASAN

3.1 Akibat Penerapan Birokrasi

“Ideal” Weberian

Dalam mengawali pengkajian

tentang birokrasi di Indonesia, perlu

terlebih dahulu dikedepankan sedikit

pokok persoalan birokrasi menurut

Weber. Max Weber berpendapat

bahwa untuk mencapai tujuannya,

organisasi harus memiliki struktur

ideal yang disebutkan dalam birokrasi,

sebagaimana yang disampaikan oleh

Robbins dalam Organization Theory

(1992). Dalam perjalanan sejarah,

ternyata struktur birokrasi model

Weber tersebut tidak cocok diterapkan

di Indonesia karena terlalu

centralizede decision Making,

impersonal submission to authority

dan narrow division of Labor. Lebih

lanjut, Dwiyanto (2011:60) secara

tegas dalam bukunya juga

menyebutkan bahwa katarestik

birokrasi Weberian tertentu yang pada

awalnya dirancang untuk membuat

birokrasi dapat menjalankan fungsinya

dengan baik, pada akhirnya justru

menimbulkan berbagai penyakit yang

membuat birokrasi mengalami

disfungsi.

Dwiyanto (2011:2) menjelaskan

lebih lanjut bahwa birokrasi tipe ideal

Weberian ternyata pada tataran

praktiknya tidak memberikan

kekuatan, akan tetapi banyak

kelemahan dan banyak penyakit yang

berkembang dalam birokrasi publik

muncul dari kateristik birokrasi

“ideal”. Sebagai contoh, terlalu baku

dan kaku yang lebih mengedepankan

proses ketimbang hasil, sedangkan

sentralisasi kewenangan dalam

pengambilan keputusan cenderung

berada pada pusat kekuasaan.

Keadaan-keadaan inilah yang secara

luar biasa menjadi pemicu

menguatnya citra negatif birokrasi

dalam pemerintahan pada umumnya

dan menyebabkan terjadinya patologi

birokrasi pada khususnya.

Kritik terhadap birokrasi “ideal”

menurut Weber ini, telah banyak

dibahas dalam berbagai sumber

tentang teori organisasi. Tuduhan

negatif terhadap birokrasi sepanjang

zaman, gencar sekali sampai-sampai

birokrasi dianggap sebagai penyakit

“red tape” (prosedur birokrasi yang

bertele-tele cenderung memakan

waktu yang lama dan biaya yang

mahal). Namun demikian, seperti

dekemukakan dipihak lain, birokrasi

itu tidak akan terelakkan, ibarat

pepatah “benci tapi sayang“ (dibenci

Page 6: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

6

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

oleh masyarakat tapi disayang oleh

penguasa).

Sesungguhnya, karakteristik

model birokrasi yang dibangun oleh

Max Weber pada esensinya memiliki

beberapa keunggulan yang masih

dapat diterapkan di dalam

kelembagaan pemerintah saat ini, oleh

karena itu tidak mengherankan jika

banyak negara dan pemerintahan

sekarang ini masih menerapkan

prinsip-prinsip birokrasi Weberian

(Dwiyanto, 2011:2). Sementara, ada

beberapa hal lain yang dirasa tidak

sesuai dengan kondisi kekinian perlu

diselaraskan sesuai kebutuhan.

Disinilah kewajiban para pimpinan

organisasi untuk memainkan peran

leadership nya. Beberapa karakter

birokrasi yang masih dinilai relevan

dengan kondisi saat ini diantaranya

adalah pembagian tugas secara jelas

dan promosi berdasarkan kompetensi.

Pembagian kerja secara jelas sangat

dibutuhkan di dalam sebuah

organisasi. Dengan pembagian tugas

yang jelas, maka siapa mengerjakan

apa dan siapa yang bertanggungjawab,

serta melapor kepada siapa akan

terdapat kejelasan. Lebiha dari itu,

pembangian kerja merupakan dasar

dan faktor pendorong berkembangnya

profesionalisme (Dwiyanto, 2011:24).

Karakter lain birokrasi yang

masih dibutuhkan adalah promosi

berdasarkan kompetensi. Sejak awal

dibangun model birokrasi oleh Weber,

karakter ini sudah melekat dan tidak

bisa dipisahkan. Kompetensi menjadi

syarat mutlak bagi setiap anggota

organisasi yang akan menduduki

jabatan tertentu. Nilai positif birokrasi

ini pada umumnya telah “dipasung”

dengan berbagai aturan yang tidak lagi

makesense apabila diterapkan pada

masa sekarang. Salah satu contoh

aturan yang masih dipegang sangat

kuat di arena pemerintah kita adalah

prinsip senioritas dan kepangkatan

sebagai persyaratan utama bagi calon

pemegang jabatan struktural,

sementara syarat kompetensi dan

prestasi kerja kerapkali diabaikan.

Hal demikian tentu sangat

membahayakan bagi eksistensi

organisasi pemerintahan ke depan.

Menyimak dan menyikapi kondisi

demikian tentunya sangat mendesak

untuk melakukan kajian lebih

mendalam dan serius mengenai

eksistensi dan aktualisasi teori

birokrasi Weber dalam rangka

implementasi pembaharuan kebijakan

birokrasi pemerintah di Indonesia

dewasa ini, agar mampu mencapai

hasil yang diharapkan oleh banyak

pihak.

3.2 Patologi Birokrasi (Malad-

ministrasi)

Perwujudan good governance di

negara kita telah didukung oleh

political will dari pemerintah yaitu

melalui diimplemetasikannya produk-

produk kebijakan yang di dalamnya

mengandung prinsip-prinsip good

governance. Dengan penerapan good

governance ini, sebenarnya akan

memberikan peluang kepada

pemerintah, swasta dan masyarakat

menjadi lebih berdaya. Pada

gilirannya nanti, keberdayaan ini akan

menjadi fondasi yang kokoh bagi

perwujudan good governance di

Indonesia. Untuk itu, perlu diciptakan

kondisi kompetitif di antara lembaga

pemerintah dan swasta, antara swasta

dengan swasta atau antara lembaga

Page 7: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

7

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

pemerintah baik yang menyangkut

kualitas pelayanan maupun mutu hasil

kerja.

Hanya saja, birokrasi masih

menujukkan kesan negatif disebabkan

karena birokrasi selama ini tidak bisa

merespon keinginan warga

masyarakat. Akibat penerapan kinsep

birokrasi Weber, birokrasi Indonesia

yang selama ini dikenal dengan

bekerja lambat, berhati-hati dan

metodologinya sudah tidak dapat

diterima oleh orang yang perlu

layanan cepat, efisien, tepat waktu dan

sederhana. Untuk meningkatkan daya

saing yang kian kompetitif diperlukan

reformasi birokrasi yang dapat

menghasilkan birokrasi profesional

dan ramping yang bebas hambatan.

Hal inilah yang menjadi prasyarat

penyelenggaraan good governance,

dengan menerapkan prinsip

akuntabalitas, transparansi dan

keterbukaan, efisiensi dan efektifitas,

serta partisipasi, yang dilakukan

secara demokratis sebagai suatu

kesatuan yang utuh.

Di Indonesia sendiri, sampai

saat ini birokrasi sering di identikkan

dengan pegawai negeri yang lamban

dan korup. Pelbagai intansi di

Indonesia dari tingkat pusat dan

daerah menjadi sarang “premanisme”

dan pusat “ngobyek”, serta mereka

juga bebas mengatur jam kerja. Belum

lagi image pelayanan publik di

tingkatan prosedur/aturan yang

memakan waktu dan biaya yang

mahal. Belum lagi hal tersebut akan

dijamin tepat waktu sesuai yang

dijanjikan oleh aturan, dalam keadaan

ini akan dimanfaatkan terjadinya KKN

di mana masyrakat diharuskan

membayar lebih mahal dari biaya yang

ditetapkan bila ingin mendapat

fasilitas ketepatan dan kecepatan

dalam pelayanan. Sehingga sering kita

dengar muncul bahasa dalam birokrasi

kita yaitu “kalau sebuah urusan bisa

dipersulit, kenapa harus dipermudah“

atau sebaliknya “kenapa dipersulit,

kalau memang bisa dipermudah”.

Meluasnya praktik-praktik semacam

ini dalam birokrasi publik, semakin

menambah daftar panjang patologi

birokrasi di Indonesia dan jelas akan

mencoreng image masyarakat

terhadap birokrasi.

Dalam melihat birokrasi di

Indonesia mentalitas birokratnya yang

dilumuri KKN, rupanya masih

melekat dimata publik setiap kali

berhadapan dengan aparat birokrasi

dan cara kerja mereka. Aparat

pemerintah belum terbebas dari KKN

setiap kali menjalankan kerjanya

merupakan cermin kegagalan

birokrasi. Sebenarnya, berbagai upaya

yang telah dilakukan oleh pemerintah

untuk meningkatkan kualitas

pelayanan publik, antara lain dengan

dikeluarkannya Kepmenpan Nomor 63

Tahun 2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik

dan Undang-undang Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pelayanan Publik. Di

mana yang kesemuanya adalah

bertujuan untuk mengatur tentang hak

dan kewajiban warga masyarakat serta

birokrat agar tercipta pelayanan publik

yang memenuhi prinsip-prinsip good

governance.

Meskipun telah banyak aturan

atau norma hukum yang mengatur

tentang penyelenggaraan pelayanan

publik di Indonesia, namun

nampaknya dari berbagai penelitian

dan survey yang telah dilakukan

Page 8: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

8

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

terhadap penyelenggaraan pelayanan

publik, diantaranya yang dilakukan

oleh Hasniati (2008:32), menunjukkan

bahwa kualitas pelayanan publik

masih jauh dari harapan dan cita-cita

akan terwujudnya pelayanan publik

yang akuntabel, transparan dan

berkeadilan. Sebagai contoh dalam

pemberian pelayanan masih terlihat

perilaku-perilaku birokrat yang

senantiasa mencari keuntungan pribadi

atas pelayanan yang diberikannya,

diantaranya adalah perilaku sebagai

calo dan perilaku diskriminasi dengan

tujuan mendapatkan imbalan baik

dalam bentuk uang maupun imbalan

lainnya.

Perilaku menyimpang yang

demikian pada akhirnya akan

mengakibatkan terjadinya malad-

ministrasi. Masthuri (2005:78)

mendefenisikan maladministrasi

sebagai suatu praktek yang

menyimpang dari etika administrasi,

atau suatu praktek administrasi yang

menjauhkan dari pencapaian tujuan

administrasi di mana dalam hal ini

adalah tujuan penyelenggaraan

pemerintahan. Sementara itu Hartono,

dkk (2003:23) juga memberikan

pengertian tentang maladminsitrasi

secara umum yaitu perilaku yang tidak

wajar (termasuk penundaan pemberian

pelayanan), tidak sopan dan kurang

peduli terhadap masalah yang

menimpa seseorang disebabkan oleh

perbuatan penyalahgunaan kekuasaan,

termasuk penggunaan kekuasaan

secara semena-mena atau kekuasaan

yang digunakan untuk perbuatan yang

tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau

diskriminatif, dan tidak patut

didasarkan seluruhnya atau sebagian

atas ketentuan undang-undang atau

fakta, tidak masuk akal, atau tidak

berdasarkan tindakan dan

diskriminatif.

Seperti pada perilaku sebagai

calo yang dapat mengakibatkan

terabaikannya prosedur atau bahkan

persyaratan yang seharusnya dipenuhi

oleh warga masyarakat. Demikain

pula halnya dalam perilaku sebagai

calo, dengan membayar sejumlah uang

sebagaimana yang disepakati bersama

oleh pelaku interaksi (birokrat selaku

pelayan dan warga masyarakat selaku

pengguna jasa layanan), maka seorang

warga masyarakat yang membutuhkan

produk pelayanan akan dengan mudah

mendapatkannya tanpa perlu melalui

prosedur yang standar. Hal ini lah

yang perlu sesegara mungkin untuk

diperbaiki dan menyesuaikan dengan

kondisi dan perkembangan saat ini.

3.3 Staregi: Penerapan Sistem E-

Governance

Praktek maladministrasi

merupakan salah bentuk patologi

birokrasi yang ada di Indonesia seperti

yang telah diuraikan di atas adalah

praktek-praktek yang sering terjadi

dalam penyelenggaraan pelayanan

publik di Indonesia. Sesuai dengan

pengalaman yang pernah saya temui,

praktek maladministrasi dapat terjadi

karena adanya interaksi secara

langsung serta diperparah oleh kurang

memadainya alat pelayanan yang

digunakan dan tidak jelasnya aturan

tentang biaya dan waktu untuk

pemberian layanan.

Dalam interaksi melalui kontak

langsung (face to face) antara pegawai

selaku pelayanan dengan warga

masyarakat selaku pengguna jasa

layanan, peluang terjadinya

Page 9: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

9

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

persekongkolan sangat besar

kemungkinannya. Ketika pegawai

yang melayani cenderung memaknai

pelayanan yang diberikannya sebagai

sesuatu yang dapat memberikan

keuntungan pribadi (selain dari gaji

mereka sebagai pegawai), maka

pegawai seperti ini akan

“memanfaatkan” orang-orang yang

dilayaninya, misalnya dengan

meminta secara terang-terangan

sejumlah uang terhadap warga

masyarakat atau sengaja mempersulit

warga masyarakat yang dilayaninya

dengan harapan dapat memberikan

uang sogokan. Jadi, kualitas pelayanan

publik sangat ditentukan oleh pelaku

interaksi (baik itu pegawai maupun

warga masyarakat). Selama pemberian

pelayanan publik masih menggunakan

metoda tatap muka langsung antara

pegawai dan warga masyarakat, maka

kecenderungan praktek-praktek

maladministrasi seperti ini tetap akan

terjadi.

Oleh karenanya, maka salah

satu upaya yang dapat dilakukan

(reformasi administrasi) adalah

dengan memutus mata rantai

hubungan kontak langsung dengan

penerapan E-Government dalam

pelayanan publik. Alasan utama saya

adalah bahwa dengan memutus mata

rantai hubungan (kontak langsung)

seperti ini, maka peluang terjadinya

maladministrasi khususnya yang

tergolong dalam kelompok kolusi,

korupsi dan nepotisme akan dapat

diminimalisasi atau bahkan tidak akan

ada lagi. Lebih labjut, Dwiyanto

(2011:124) juga menjelaskan bahwa

pengembangan birokrasi berbasis

teknologi informasi dan komunikasi

(TIK) juga perlu diberi perhatian

secara khusus. Selain itu, penggunaan

TIK juga akan dapat memperkecil

kemungkinan terjadi praktek KKN

karena keberadaan TIK mampu

memfasilitasi pemerintah untuk

mencegah berbagai kelemahan

birokrasi dalam menjalankan tugasnya

yang menyangkut perencanaan,

koordinasi, dan pengawasan. Jika TIK

ini benar-benar dikelola dan

dijalkankan secara konsisten, menurut

Dwiyanto (2011:124) akan

memberikan peluang yang semakin

besar bagi birokrasi memodernisasi

struktur kelembagan, menyederhana-

kan proses kerja dan mempermudah

interaksi antara pemerintah dengan

masyarakatnya serta pemangku

kepentingan lainnya.

Menurut Indrajit (2002:87) E-

Governance yaitu suatu metode

pemberian pelayanan dengan

memanfaatkan teknologi informasi

dan komunikasi, di mana aparat

pelayan publik tidak lagi bertemu

langsung dengan warga masyarakat

pengguna jasa layanan. Dengan

demikian, maka praktek

maladministrasi sebagaimana yang

disebutkan di atas tidak lagi mudah

terjadi. Pelayanan tidak lagi melihat

langsung siapa orang yang dilayani

karena hanya terhubung dengan

teknologi. Demikian pula halnya yang

dilayani, ia tidak lagi melihat siapa

yang melayaninya, sehingga peluang

terjadinya kolusi dan nepotisme dalam

pelayanan publik akan terhindarkan.

Meskipun memang perlu diakui

juga bahwa tidak semua jenis

pelayanan publik itu dapat disediakan

sepenuhnya melalui elektronik dalam

bingkai E-Governance. Akan tetapi,

beberapa dari kegiatan pelayanan

Page 10: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

10

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

publik ini dapat disediakan melalui

elektronik, misalnya saja jenis

pelayanan administrative seperti

pelayanan Pengurusan KTP,

Pelayanan Perizinan, Pembayaran

pajak, Pelaporan pindah alamat,

Pelaporan kelahiran, Pendaftaran

pernikahan, Pendaftaran siswa dan

mahasiswa baru secara online, Motor

vehicle registration, Informasi

pelayanan kesehatan, Perpanjangan

Surat Izin Mengemudi (SIM).

Disamping bertujuan untuk

menghindarkan praktek-praktek

maladministrasi dalam pelayanan

publik, E-Governance ini nantinya

juga akan memiliki beberapa nilai

manfaat secara langsung lainnya

antara lain adalah:

a) Meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kerja.

b) Mempercepat proses pemberian

layanan kepada masyarakat.

c) Informasi yang diberikan akan

lebih lengkap, cepat dan akurat

dengan biaya yang lebih efisien

dalam pengeloloaan data.

d) Secara umum dapat mendukung

terciptanya good governance.

e) Tersedianya database yang up to

date.

Dari uraian di atas, secara

ringkas tujuan yang ingin dicapai

dengan implementasi E-Governance

adalah untuk menciptakan customer

online dan bukan in-line. E-

Governance bertujuan memberikan

pelayanan tanpa adanya intervensi

pegawai dan sistem antrian yang

panjang hanya untuk mendapatkan

suatu pelayanan yang sederhana.

Selain itu, E-Governance juga

bertujuan untuk mendukung

terciptanya tata pemerintahan yang

baik (good governance).

Penggunaan teknologi yang

mempermudah masyarakat untuk

mengakses informasi dapat

mengurangi korupsi dengan cara

meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas lembaga publik.

Disamping itu, E-Governance juga

dapat memperluas partisipasi publik

dimana masyarakat dimungkinkan

untuk terlibat aktif dalam pengambilan

keputusan/kebijakan oleh pemerintah.

E-Governance juga diharapkan dapat

memperbaiki produktifitas dan

efisiensi birokrasi (paperless) serta

meningkatkan pertumbuhan ekonomi

karena dapat merangsang minat

investor untuk menanamkan modalnya

berkat adanya kepercayaan terhadap

lembaga pemerintah.

IV. PENUTUP

Interaksi antara pegawai dan

warga masyarakat dalam pelayanan

seringkali dapat mengakibatkan

munculnya patologi birokrasi

(maladministrasi). Maladministrasi

dapat dimaknai secara luas, yakni

semua perilaku yang dapat

menyebabkan terjadinya penyim-

pangan prosedur, penyalahgunaan

wewenang, dan perilaku yang tidak

sepantasnya dilakukan oleh pegawai

dalam memberikan pelayanan publik.

Maladministrasi dalam penyeleng-

garaan pelayanan publik pada

dasarnya dapat diminimalisir atau

bahkan dihilangkan. Upaya yang dapat

dilakukan adalah dengan memotong

mata rantai hubungan langsung antara

pegawai dan warga masyarakat, yakni

dengan melalui E-Governance.

Page 11: Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi): Melalui ... · patologi birokrasi. Konsep patologi birokrasi berasal dari Ilmu Kedokteran yang mengkaji mengenai yang melekat pada

11

Khoyrul Anwar, Memerangi Patologi Birokrasi (Maladministrasi)

Melalui Sistem E-Governance

MEDIA SOERJO Vol. 16 No 1 April 2015 ISSN 1978 – 6239

E-Governance adalah suatu

metode pemberian layanan publik

dengan memanfaatkan teknologi

informasi dan komunikasi (TIK).

Dengan E-Governance ini, maka

kontak langsung (face to face) antara

pegawai (selaku pelayan) dan warga

masyarakat (selaku penerima layanan)

tidak lagi terjadi karena dimediasi oleh

teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan demikian, maka peluang

terjadinya praktek-praktek malad-

ministrasi seperti kolusi, korupsi dan

nepotisme atau perlakuan khusus

terhadap orang-orang “tertentu” dapat

dihindarkan, sehingga pemberian

pelayanan publik secara berkeadilan

dapat dilakukan dengan baik. Dengan

demikian dorongan untuk me;kukan

perubaahan dan pengembangan dalam

rangka memperbaiki kinerja akan

menjadoi semakin kuat.

Daftar Pustaka

Dwiyanto, A. 2011. Mengembalikan

Kepercayaan Publik Melalui

Reformasi Birokrasi. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Hasniati, 2008. Perilaku Pelayanan

Birokrat Garis-Depan (Studi

Tentang Interaksi Birokrat

Kepolisian dengan Warga

Masyarakat Dalam Pelayanan

Surat Izin Mengemudi di Kota

Makassar). Malang: Disertasi,

Universitas Brawijaya.

Hartono, Sunaryati; Budhi Masthuri,

Enni Rochmaeni, Winarso.

2003. Panduan Investigas untuk

Ombudsman Indonesia.

Diterbitkan: The Asia

Foundation Indonesia.

Indrajit, R.E. 2002. E-Government:

Strategi Pembangunan dan

Pengembangan SIstem

Pelayanan Publik Berbasis

Teknologi Digital. Yogyakarta:

Andi Yogyakarta.

Lipsky, Michael. 1980. Street-level

Bureaucracy: Dilemmas of the

Individual in Public Services.

Russell Sage Foundation, New

York.

Lembaga Administrasi Negara. 2003.

SANKRI Buku I Prinsip-prinsip

Penyelenggaraan Negara.

Jakarta: LAN.

Masthuri, Budi. 2005. Mengenal

Ombudsman Indonesia. Jakarta:

Pradnya Paramita.

Robbins, Stephen P. 2002. “Essential

of Organizational Behavior

(Prinsip-Prinsip Perilaku

Organisasi)”.

Terjemahan:Halida dan Dewi

Sartika. Jakarta: Erlangga.

Rust, R.T. and P.K. Kannan. 2002. e-

Service: New Direstions inf

Theory and Practice. ME

Sharpe, New York.

Suprawoto. 2007. Pelayanan Publik

Melalui E-Government (Studi

tentang Pelayanan KTP, e-

Procurement dan PSB-Online

di Kota Surabaya). Malang:

Disertasi, Universitas

Brawijaya.