Upload
fatiya-m-aziz
View
53
Download
6
Embed Size (px)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Otonomi Daerah
Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa
adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah
suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah
"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk
kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri."
Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah
yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri
mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan
sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara
itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si
pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam
berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut
tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 1
Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang
dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerinta kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2.2. Latar Belakang Otonomi Daerah
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat
kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat
daerah.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama
sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada
perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,
menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai
persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah
secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi
proyek di daerah.
Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali
ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati
ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 2
mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini,
disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di
pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang
international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk
menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang
seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah
ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena
ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus.
Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik
pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.
Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban
terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah
mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah
ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman
pemerintah daerah.
Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan
dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan
mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya.
Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang
dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan
pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada
penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi,
pengakuan kewenangan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan
demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 3
pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah
desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan
para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974
yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan
perkembangan keadaan.
Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan
mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk
memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan
aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan
ketika masa orde baru.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka
aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.
Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya
kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan
dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan
kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi
terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada
perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari,
memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.
2.3. Prinsip Otonomi Daerah
Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai
kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim
Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara
yang melahirkan problem bernegara.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 4
Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun
tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki
prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah:
Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri
Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak
dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya
Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan
dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama
yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya.
a. Bidang politik.
Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas
dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun
struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan
pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif.
b. Bidang ekonomi.
Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional
di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 5
di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi,
memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang
menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan
membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat
daerah
c. Bidang sosial budaya
Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan
pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif
terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.
2.4. Permasalahan Otonomi Daerah
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Adapun tiga masalah yang mendasar yang dihadapi PEMDA
dalam menyelenggarakan daerah otonominya antara lain :
1. Masalah keamanan, di mana sangat sensititif dalam bagi pihak investor untuk
investasi di daerah otonom tersebut dengan menilai secara ekonomis untung-rugi,
seperti contoh jika daerah tersebut rawan dengan tindakan kriminal/pidana, tindakan
anarkis berbau sara di dalam masyarakat didaerahnya sudah sangat jelas, tentunya
pihak investor ragu-ragu untuk menginvestasikan modalnya di daerah tersebut.
2. Ketakutan yang menjadi mimpi buruk bagi pihak investor adalah lemahnya
implementasi otonomi daerah akibat adanya pemaknaan ganda.
3. Penyakit baru dalam dunia iklim investasi yang terakululasi dengan penyakit lama
seperti lemahnya penegakkan supremasi hukum, KKN yang menyebar keseluruhan
daerah otonomi serta administrasi yang tidak efisien
Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui
kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya
tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 6
a) Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang
tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang
lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi
pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota
atau provinsi.
b) Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat.
Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut
dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan
selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran
belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan
masyarakat.
c) Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya
kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum
lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak
terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak
memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak
sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan
strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
d) Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang
mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya
menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang
bernuansa etnis
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 7
e) Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu
untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh
kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai
momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa
dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan
kepala daerah.
f) Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi
masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya
kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan
perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan
yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi
campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
g) Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand
desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna
menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu
harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu
berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
h) Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak
persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk
pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya
biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal
kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada
langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 8
uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya
kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
2.5. Pokok - Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas
pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan.
Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah meliputi:
Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan,
pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat
strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat
didesentralisasikan.
Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan,
yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang
diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan
pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan
tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk
melakukan operasi di daerah propinsi.
Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil
pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan
hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka
hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan.
Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas
pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan
supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan
pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah
berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya.
Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah.
Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai
keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 9
memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang
sebenarnya.
Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul,
selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah.
Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber
penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara
dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah
pusat yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-
lembaga swadaya pembangunan yang ada.
Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat
kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu
bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang
diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu meliputi:
1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama;
2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004):
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 10
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004)
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
2.6. Monitoring Keuangan Daerah
1. Monitoring
Monitoring merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mengawasi atau
memantau proses dan perkembangan pelaksanaan suatu program/kegiatan. Fokus monitoring
adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan suatu kegiatan, bukan pada
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 11
hasilnya. Lebih spesifiknya, fokus monitoring adalah pada komponen proses pelaksanaan
program/kegiatan yang menyangkut proses pengambilan keputusan, prosedur yang harus
dilalui, dokumen-dokumen yang dihasilkan, waktu pelaksanaan dan pihak-pihak yang harus
terlibat pada setiap proses kegiatan dan lain sebagainya.
Monitoring dilakukan untuk maksud mengetahui apakah kegiatan berjalan sesuai aturan,
apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Dengan kata
lain monitoring menekankan pada pemantauan proses pelaksanaan kegiatan. Hasil monitoring
digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan kegiatan atau memperbaiki suatu
sistem.
Secara umum, pengertian dasar Monitoring mencakup:
Suatu penilaian yang dilaksanakan terus menerus (berkelanjutan) dalam suatu
kegiatan untuk program tertentu.
Mengecek & mencatat keadaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang
sedang berlangsung
Melihat perkembangan sesuatu kegiatan yang sedang berjalan
2. Keuangan daerah
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan daerah ada berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi semua hak dan
Daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi seluruh obyek
sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah
Daerah, Perusahaan Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
daerah.
Dari sisi proses, keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 12
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan daerah meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam panduan praktis ini, rumusan yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah dari sisi
proses, yakni seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal pengelolaan keuangan daerah istilah APBD.
Adapun pengertian dari APBD itu adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah.
3. Monitoring keuangan daerah
Dengan menyimak pengertian dan batasan tentang monitoring dan keuangan daerah, maka
yang dimaksud dengan monitoring keuangan daerah adalah serangkaian usaha yang
dilakukan untuk menilai proses pengelolaan keuangan daerah, yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dengan mengecek dan mencatat berbagai
keadaan dan melihat perkembangan yang ada di lapangan.
4. Menyusun sistem monitoring keuangan daerah
Pengertian menyusun sistem monitoring keuangan derah adalah membuat instrumen yang
berisikan tool-tool yang akan memandu atau membantu usaha monitoring keuangan daerah.
Dengan instrumen tersebut proses pengelolaan keuangan daerah bisa diamati dan dinilai
dengan cara-cara praktis dan sederhana.
Tujuan
Upaya melakukan serangkaian kegiatan monitoring keuangan daerah tidak lepas dari tujuan-
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut meliputi: (1) tujuan utama (goal), dan (2) tujuan
khusus.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 13
Tujuan Umum
Tujuan umum (goal) dari monitoring keuangan daerah adalah terciptanya tata kelola
pemerintahan yang good governance. Pengertian good governance disini adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip seperti:
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat
mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan
kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang
disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi, dan sebagainya.
Transparansi
Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang
berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui
publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses
oleh publik dan harus diumumkan agar pendapat tanggapan publik. Demikian pula
informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus
terbuka dan dapat diakses publik.
Tegaknya Supremasi Hukum
Wujud nyata dari prinsip supremasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan
peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan
kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum dan
pengembangan budaya hukum.
Akuntabilitas
Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada
saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program
accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan
penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan
hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang
ditetapkan (outcome accountability).
Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 14
Berorientasi pada Konsensus
Perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah
dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif.
Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif,
dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus agar
setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama.
Kesetaraan
Semua komponen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperbaiki
atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
Efektifitas dan Efisiensi
Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan dukungan struktur
yang tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya
mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya
yang tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai
tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.
Visi Strategis
Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai
bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi
implementasi yang jelas.
Tujuan Khusus
a. Sesuai aturan
Pengelolaan keuangan daerah telah diatur dengan berbagai peraturan mulai dari
undang-undang, keputusan presiden (kepres), peraturan pemerintah (PP) dan
keputusan mentri dalam negeri (kepmendagri). Pada prakteknya sejauh mana proses
pengelolaan keuangan daerah telah merujuk pada aturan-aturan tersebut diatas.
b. Transparan
Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan telah menjadi tuntutan masyarakat
luas dan keberadaannya sudah didukung oleh payung hukum. Dalam kontek
pengelolaan keuangan daerah, sudah sejauh mana hal itu berjalan secara transparan.
c. Partisipatif
Tuntutan partisipasi dalam proses pengelolaan keuangan daerah sudah menjadi
kecenderungan umum masyarakat. Keberadaannya juga sudah dipayungi oleh payung
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 15
hukum. Dalam monitoring keuangan daerah ini sudah sejauh mana pengelolaan
keuangan daerah melibatkan partisipasi aktiv masyarakat.
Sasaran
Sasaran monitoring keuangan daerah ini adalah sebagai berikut:
Untuk memperbaiki prosedur pengelolaan keuangan daerah agar sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan.
Untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman dari orang-orang yang terlibat dalam
proses pengelolaan keuangan daerah.
Untuk menyediakan informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan pengelolaan
keuangan daerah
Untuk mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat pada seluruh proses
pengelolaan keuangan daerah
5. Waktu Monitorng
Idealnya pelaksanaan monitoring dilaksanakan pada seluruh proses pengelolaan keuangan
daerah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Bila hal itu tidak
memungkinkan, pelaksanaan monitoring dapat dilakukan pada tahap manapun dengan
mengikuti panduan yang ada. Melalui panduan ini, proses pengelolaan keuangan daerah
yang sudah lewat dapat dilacak dinamikanya sehingga keberadaannya juga bisa diukur.
6. Pelaksana Monitoring
Secara umum instrumen monitoring ini disusun sebagai sarana bantu pengawasan masyarakat
terhadap pemerintah daerah, utamanya dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Namun
yang lebih utama sistem monitoring keuangan daerah ini di laksanakan untuk kelompok
strategis masyarakat seperti:
NGO
Selama ini NGO, utamanya NGO antikorupsi adalah kelompok masyarakat yang
paling progresif dalam melakukan pengawasan dan advokasi terhadap tindak
penyimpangan dilingkungan pemerintahan.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 16
Jurnalis
Sudah menjadi kebutuhan bagi Media massa untuk menjebatani komunikasi antara
pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian kalangan media sangat butuh
informasi aktual seputar penyelenggaraan pemerintahan. Instrumen monitoring ini
akan bermanfaat bagi media untuk turut memantau proses keuangan daerah sebagai
sarana mempertajam bahan berita.
Aktivis mahasiswa
Mahasiswa merupakan lapisan generasi muda yang paling potensial dan progresif
dalam menyuarakan isyu-isyu penyimpangan dan ketidakadilan, utamanya yang
dilakukan oleh pemerintahan. Bila gerak progresif tersebut didukung oleh instrumen
yang memadai akan memberikan bobot tersendiri.
7. Obyek dan Subyek yang dimonitor
Obyek yang dimonitor
Obyek yang akan menjadi sasaran dalam monitoring keuangan daerah ini meliputi
prosedur proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, implementasi
dan pertanggungjawaban. Termasuk dalam obyek yang dimonitor disini berkenaan
dengan waktu kegiatan dan dokumen-dokumen resmi yang dihasilkan.
Subyek yang dimonitor
Sasaran dari subyek yang dimonitor dalam buku panduan monitoring ini adalah
pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah. Pihak-pihak
tersebut adalah anggota:legislatif, aparat pemerintah daerah dan unsur-unsur
masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
8. Instrumen monitoring
Lembar monitoring
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 17
Lembar monitoring berbentuk formulir pengisian untuk memandu melakukan
pemantauan dilapangan. Pelaksana monitoring dengan bantuan formulir tersebut
tinggal melakukan verifikasi dilapangan dengan memastikan apakah seluruh proses
pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai dengan aturan, transparan dan
partisipatif.
Penilaian hasil
Hasil dari pengisian formulir selanjutnya dilakukan penilaian yang sifatnya kuantatif
maupun kualitatif. Kuantitatif adalah jenis penilaian dengan menggunakan skor.
Sedangkan kualitatif adalah jenis penilaian yang sifatnya deskriptif.
9. Manfaat yang diharapkan dari Monitoring
Pemerintahan daerah
Bagi pemerintahan daerah monitoring keuangan daerah dapat dimanfaatkan sebagai
alat koreksi dari pelaksanaan kebijakan, meningkatkan kinerja dan memperbaiki
sistem.
Masyarakat pemantau
Sistem monitroing yang menyertakan peta proses pengelolaan keuangan daerah ini
diharapkan mampu menambah bobot para aktivis dalam melakukan advokasi.
Dengan instrumen pemantauan rinci sejak di perencanaan hingga
pertanggungjawaban akan menambah jumlah (kualitas dan kuantitas) masalah yang
akan didesakkan oleh para aktivis dilapangan. Selain itu, pemantauan dengan sistem
monitoring ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendeteksi masalah secara dini.
10. Dampak yang diharapkan dari Monitoring
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 18
Dampak bagi Pelaksana monitoring
a. Peningkatan kapasitas
Dengan intrumen monitoring ini diharapkan berdampak pada peningkatan
pengetahuan pelaksana monitoring utamanya berkenaan dengan proses-proses dalam
pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada
pertanggungjawaban.
b. Keterlibatan yang lebih luas
Dengan instrumen monitoring yang sederhana dan relatif mudah dikerjakan,
diharapkan berdampak pada keterlibatan komponen masyarakat yang lebih luas untuk
menjadi pelaksana monitoring.
Dampak bagi Subyek yang dimonitor
a. Mawas diri aparat
Dampak yang diharapkan dari monitoring keuangan daerah ini akan menimbulkan
rasa mawas diri aparat dan tidak gegabah dalam melakukan tindakan penyimpangan
pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah.
b. Peningkatan kapasitas
Oleh karena sistem monitoring ini menggunakan instrumen yang relatif detail dalam
memantau proses, diharapkan aparat pemerintah daerah akan semakin jeli dalam
mengelola proses dan berusaha meningkatkan kapasitas diri.
c. Komitmen pada aturan
Seluruh indikator dalam instrumen monitoring ini merujuk sepenuhnya pada aturan-
aturan yang berlaku. Pada kondisi demikian diharapkan kegiatan monitoring ini
berdampak pada kepatuhan aparat dalam mengikuti aturan-aturan yang berlaku.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 19
Dampak terhadap sistem
a. Perbaikan sistem
Usaha monitoring yang dilakukan secara terus menerus dengan perangkat yang dapat
memantau seluruh proses pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat berdampak
pada perbaikan sistem pengelolaan keuangan di daerah. Perbaikan yang dimaksud
mencakup dua hal:
b. Menekan korupsi dan penyimpangan
Dampak yang paling penting diharapkan dari usaha monitoring keuangan daerah ini
adalah mendeteksi sejak dini gejala penyimpangan yang gejala itu kemudian
disuarakan kepublik sehingga berbagai upaya penyimpangan menjadi tereliminasi.
2.7. SISTEM DAN METODOLOGI MONITORING
1. Komponen dan Indikator
a. Komponen
Secara umum, monitoring keuangan daerah mencakup 3 komponen utama, yaitu: Taat aturan
tata kelola, transpransi dan partisipasi publik. Ketiga komponen tersebut diturunkan dari tiga
prinsip utama Good governance yakni Supremasi hukum, transparansi dan partisipasi.
Adapun batasan-batasan dalam komponen diatas adalah sebagai berikut:
Taat aturan tata kelola
Segala kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang berjalan beserta seluruh aspek-
aspek yang melingkupinya merujuk pada aturan yang telah ditetapkan
Transparan
Mekanisme akses publik yang diberikan pemerintah berkenaan dengan seluruh proses
pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 20
Partisipasi
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
Pilihan terhadap komponen monitoring dari tiga prinsip utama Good Governance didasari
pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Pertama, terlalu besar dan luas
cakupannya bila komponen itu diturunkan dari seluruh prinsip-prinsip good governance.
Luasnya cakupan akan cenderung membuat monitoring kurang fokus. Kedua, pilihan prinsip
utama good governance yang menjadi komponen dalam monitoring ini merupakan unsur
fundamental dalam mewujudkan good governance. Tiga prinsip utama good governance
sebagai disebutkan diatas, bila berjalan semua akan mempengaruhi prinsip-prinsip lainya.
Ketiga, adanya berbagai keterbatasan dalam penyusunan sistem monitoring baik dari segi
waktu, dana dan SDM sehingga membatasi komponen ruang lingkup dalam monitoring
menjadi tidak dapat dihindari.
b. Indikator
Komponen monitoring sebagaimana disebutkan diatas belum dapat dijadikan alat untuk
menilai atau mengukur suatu proses kegiatan. Komponen tersebut harus diterjemahkan
kedalam indikator-indikator yang lebih operasional. Perumusan indikator tersebut adalah
sebagai berikut:
Indikator dari komponen taat aturan. komponen taat aturan pada dasarnya
mempertanyakan pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini apakah seluruh proses
perencanaan dan pelaksanaan APBD telah sesuai dengan aturan yang berlaku?
Komponen taat aturan mencakup indikator: (a) prosedur yang dijalankan (b)
dokumen-dokumen yang tersedia (c) waktu yang ditetapkan dan (d) pihak-pihak yang
harus terlibat dalam proses.
Indikator dari komponen transaparansiKomponen transparansi pada dasarnya
mempertanyakan apakah proses dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari
perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban telah dilakukan secara
transparan. Komponen transparan mencakup indikator (a) publikasi proses (b)
ketesedian dokumen untuk diakses dan (c) kesediaan aparat memberikan informasi
yang dibutuhkan masyarakat
Indikator dari komponen partisipasiKomponen partisipasi pada dasarnya
mempertanyakan apakah proses pegelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 21
pelaksanaan dan pertanggungjawaban telah melibatkan masyarakat. Komponen
partisipasi dalam pengelolaan keuangan daerah mencakup indikator: (a) Media
aspirasi (b) forum publik dan (c) unsur-unsur masyarakat yang terlibat.
2. Indikator dan Sumber Referensi
Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan yang segala
sesuatunya mengacu pada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Berkenaan dengan hal
tersebut diatas, menurunkan indikator monitoring keuangan daerah juga harus berdasarkan
pada sumber-sumber resmi yang dapat dijadikan rujukan aparat pemerintah di lapangan.
Berikut ini tabel perumusan indikator dan sumber referensi:
Kegiatan Monitoring Dasar Hukum Pasal - Pasal
I.Prosedur Tata Kelola
Keuangan Daerah
1. Penyusunan RPJP Daerah UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal 5,9,10,11,
12,13,15,27, 34,
Pasal 150
2. Penyusunan RPJM
Daerah
UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal
5,7,9,14,15,16,17,18,19
Pasal 150,151
3. Penyusunan RKPD UU NO.25/2004
UU NO.32/2004
Pasal
20,21,22,23,24,25,26,27
Pasal 150, 151
4. Penyusunan APBD UU NO.25/2004
UU NO.17/2003
Pasal 179,180,181,182
Pasal 16,17,18,19,20
5. Implementasi APBD
1. Pengelolaan Kas
APBD
2. Pengadaan
Barang/Jasa
UU NO.17/2003
UU NO.1/2004
KEPMENDAGRI
No.29/2002
KEPPRES NO.
80/2003
Pasal 28, 29
Semua Pasal
Semua Pasal
Semua Pasal
6. Pertanggungjawaban UU NO.1/2004 Pasal 51,52,52,54,56,57
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 22
APBD UU NO.17/2003
UU NO.24/2005
UU NO.32/2004
Pasal 31, 32,33
Pasal 1,2,3,4,5,6,7,8
Pasal 184
II. Transparansi Tata
Kelola Keuangan
Daerah
1. Akuntabilitas dan
Ketersediaan Dokumen
UU NO.32/2004
UU NO.1/200
Pasal
20,43,181,182,183,190
Pasal 27, 67, 76, 151
2. Ketersediaan Aparat
Memberikan Informasi
yang Dibutuhkan
Masyarakat
UU NO.32/2004 Pasal 27,67, 76, 151
III
.
Partisipasi Masyarakat
dalam Tata Kelola Daerah
1. Musrenbang UU NO.25/2004
SE BERSAMA
KABAPPENAS
MENDAGRI
0259/M.PPN/I/2005
Pasal 1,10,11,
12,16,17,18,22,23,24,27
2. Penjaringan Aspirasi
Masyarakat
UU N0.32/2004 Pasal 45, 209
3. Dengar Pendapat
(hearing) DPRD dengan
masyarakat
UU NO.32/2004 Pasal 4
3. Instrumen Monitoring
Instrumen yang digunakan dalam monitoring menggunakan formulir yang berisi pokok-
pokok masalah untuk dilakukan pengecekan di lapangan. Formulir monitoring ini meliputi
formulir untuk monitoring proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Selain
untuk memantau proses, disediakan pula formulir untuk memantau aspek transparansi dan
partisipasi. Perlu dipahami bahwa kondisi daerah dan permasalahan yang dihadapi sangat
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 23
bervariasi. Oleh karena itu, tidak mungkin disusun instrumen yang rinci untuk masing-
masing daerah. Instrumen pada panduan ini sifatnya umum yang berlaku di setiap daerah.
4. Data Monitoring
Untuk keperluan mengisi cek list monitoring diperlukan sejumlah data-data tertentu. Data-
data tersebut meliputi:
a. Prosedur kegiatan
Prosedur adalah segala jenis kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang harus
dijalankan dalam rentang waktu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh pihak-
pihak tertentu..
b. Dokumen
Dukumen adalah rumusan dari suatu kegiatan dalam proses pengelolaan keuangan
daerah yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
5. Sumber Data
Untuk memperoleh data-data monitoring dibutuhkan sumber data yang tepat. Adapun yang
dimaksud dengan sumber data adalah:
Pelaksanaan kegiatan
Sumber data monitoring keuangan daerah yang paling utama adalah pelaksanaan
setiap proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban. Didalam kegiatan tersebut akan terlihat jelas kapan kegiatan
itu dilaksanakan, siapa saja yang terlibat, masalah yang sedang dibahas, dokumen apa
yang dipersiapkan dan dokumen apa yang akan dihasilkan.
Literatur
Bila pelaksanaan langsung tidak dapat diikuti oleh pelaksana monitoring, maka
sumber data lain adalah literatur. Maksud literlatur adalah segala dokumen atau data
yang dapat memberi informasi tentang perisitwa kegiatan, pihak-pihak yang terlibat,
rumusan (dokumen) yang dihasilkan dari kegiatan, waktu pelaksanaan dll.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 24
Narasumber
Selain literatur, sumber data lain adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses, atau
pihak yang kredibel memberikan informasi seputar pengelolaan keuangan daerah.
Pihak-pihak yang dimaksud misalnya, aparatur pemda, anggota legislatif dan unsur
masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.
6. Teknik Verifikasi lapangan
Formulir monitoring hanya berisi form-form pemantauan. Pelaksana monitoring melakukan
pengecekan dilapangan melalui sumber-sumber data dengan cara-cara sebagai berikut:
Observasi
Kegiatan observasi adalah upaya monitoring dengan mengikuti proses secara
langsung pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Apa yang perlu diamati dan dicatat dalam
observasi adalah merekam proses dan mengamati apakah prosedur yang dilaksanakan,
dokumen-dokumen yang tersedia, pihak-pihak yang terlibat dan waktu
pelaksanaannya telah sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.
Literatur
Verifikasi lapangan menggunakan literatur adalah upaya melakukan pengamatan
proses melalui sumber-sumber literatur yang mendukung. Litelatur yang dimaksud
dapat berupa dokumen hasil dari sebuah kegiatan atau dokumen proses itu sendiri,
sumber media atau data-data pendukung lainya.
Wawancara
Tehnik wawancara adalah upaya melacak proses dan kegiatan pengelolaan keuangan
daerah melalui wawancara narusumber. Narasumber yang dimaksud adalah pihak-
pihak yang terlibat dalam proses dan utamanya yang kridebel untuk memberikan
informasi.
7. Pelaksanaan Monitoring
Penyusunan Rancangan
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 25
Sebelum melaksanakan monitoring, rancangan atau disain pelaksanaan monitoring perlu
lebih dahulu dikembangkan. Hal ini mengingat banyak aspek yang akan terjadi dilapangan.
Rancangan ini diperlukan sebagai pedoman dalam melaksanakan monitoring dilapangan.
Secara umum, beberapa komponen utama yang perlu ada dalam rancangan Monitoring antara
lain: (1) penentuan fokus monitoring (2) rancangan pengumpulan data (3) penyusunan
rencana kerja.
Penentuan Fokus dan Tujuan
Monitoring memfokuskan pada perolehan informasi mengenai pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
pencermatan pada bagian manakah monitoring dilakukan. Pada saat perencanaankah,
pelaksanaankah atau pada saat pertanggungjawaban? Bila pada saat perencanaan,
pada bagian manakah perencanaan itu dilakukan dan seterusnya.
Rancangan Pengumpulan Data
Sesuai dengan fokus monitoring yang yang telah direncankan perlu ditentukan
rencana pengumpulan data. Dalam hal ini, ata apa saja yang akan dijaring, kegiatan
apa yang mesti dipantau, dokumen apa yang harus dicari, pihak-pihak manakah yang
tepat menjadi narasumber. Selain itu yang perlu direncanakan dan dipersiapkan
adalah alat-alat apa yang dibutuhkan untuk mendukung memperoleh data-data
dilapangan.
Penyusunan Rencana Kerja
Rencana kerja pelaksanaan monitoring perlu disusun, mencakup berbagai kegiatan
dalam monitoring. Berikut ini merupakan salah satu contoh format rencana kerja
penyelenggaraan monitoring:
Tabel 1. Rencana Kerja Pelaksanaan monitoring
NoWakt
u
Kegiata
n
Hasil Yang
Diharapkan
Pelaksanaa
n
Tempa
t
Responden /
Sumber data
Alat /
Instrumen
1.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 26
2.
3.
dll
.
Pelaksanaan
Kegiatan pelaksanaan monitoring keuangan daerah pada dasarnya memantau siklus anggaran
pemerintah daerah yang dimulai pada saat perencanaan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban. Kegiatan dilakukan dengan cara mengisi form cek list pada seluruh
proses tersebut diatas dengan berbagai metode yang telah direncanakan sebelumnya.
Pengisian Cek list.(form cek list lihat lampiran)
1. Bila pelaksana monitoring mengikuti kegiatan secara langsung, sebelum mengisi cek
list dilakukan pengamatan dengan penuh seksama seperti mencermati jenis kegiatan
yang sedang berjalan, masalah yang dibahas, pihak-pihak yang terlibat, waktu
pelaksanaan dll. Selanjutnya dari pengamatan itu dijadikan dasar untuk mengisi form
cek list.
2. Bila pelaksana monitoring tidak dapat mengikuti proses secara langsung, upaya yang
dapat dilakukan untuk mengisi cek list adalah dengan melakukan wawancara dengan
narasumber yang relevan. Narasumber tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat
dalam proses seperti pihak eksekutif, legislatif atau unsur masyarakat yang terlibat
dalam proses.
3. Pelaksana monitoring dalam mengisi cek list dapat juga berdasar dokumen proses,
seperti nolutulensi proses, dokumen produk kegiatan dll.
Analisa data
Analisis data pada monitoring keuangan daerah pada dasarnya untuk menjawab pertanyaan
pokok, antara lain:
1. Apakah prosedur pengelolaan anggara telah sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan? Jika telah sesuai dengan aturan, sejauh mana? Dan Jika tidak mengapa
aturan itu tidak dipatuhi? Rakomendasi apa yang mesti disusun?
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 27
2. Apakah tiap prosedur pengelolaan anggaran yang dilaksanakan sudah cukup
transparan? Jika sudah transparan sejauh mana? Dan jika tidak mengapa?
Rekomendasi apa yang perlu dibuat?
3. Apakah tiap prosedur pengelolaan anggaran sudah cukup melibatkan masyarakat?
Jika melibatkan masyarakat sudah sejauh mana? Dan jika tidak, mengapa?
Rekomendasi apa yang perlu dibuat?
Pemanfaatan Hasil
Sesuai dengan tujuan monitoring, yakni terciptanya tata pemerintahan yang bersih dan
terselenggaranya pengelolaan keuangan daerah yang governance, maka hasil monitoring
dapat dimanfaatkan untuk:
1. Informasi kepada stakeholeder (anggota legislatif, pejabat pemda, tokoh masyarakat,
jurnalis dll) berkenaan dengan progres pengelolaan keuangan daerah.
2. Menjadi bahan tambahan untuk advokasi kalangan aktivis bila dirasa hasil
monitoringnya sangat buruk dan menyimpang
2.8. Penyusunan Perda Partisipatif
Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup
penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi
perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD
sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah
kelengkapan eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai
lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut
berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena
pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap
kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah.
Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara
persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk
kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang
bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja,
dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 28
bermasalah. Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis,
penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat
mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah
sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan
1. Mengapa Partisipasi diperlukan
Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena
kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal
secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah
mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya
langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang
kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara
pemerintahan yang hidup ‘bersama’ masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi
masyarakatnya. Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah
menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur pelibatan masyarakat.
2. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi
Hak Masyarakat
Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya
sebagai berikut;
1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara
2. Hak menyampaikan saran dan pendapat
3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 29
Kewajiban Pemerintah
Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara
pemerintahan mempunyai kewajiban untuk mendengar pendapat masyarakat (yang
berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan yang menyangkut
kepentingan masyarakat. Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima
mandat masyarakat berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat.
Dan terjaminnya hak-hak masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan
penyelenggaraan pamerintahan.
Mekanisme Partisipasi
Mekanisme yang memungkinkan pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin
terlaksananya hak masyarakat sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini minimal
harus mengatur:
1. Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan
prosedur pelibatan masyarakat.
2. Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat.
3. Hasil akomodasi masyarakat dan
4. Keberatan
3. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
Deraja
t
Partisipasi
MasyarakatContoh
TinggiMemiliki
Kontrol
Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong
masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah,
tujuan, maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci.
Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat
dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan
tujuan-tujuan tersebut.
Memiliki
Kekuasaan
Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM –
mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 30
yang terlegasi
kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan
serta membuat keputusan-keputusan yang dapat
digabungkan dalam suatu rencana yang diterima
Keterlibatan
dalam
perencanaan
Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM –
menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka
untuk menerima perubahan dari subjek yang
dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana
paling sedikit dan mungkin lebih dari itu.
Saran
Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM –
menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan
masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk
dimodifikasi, jika memang diperlukan
Dikonsultasi
Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM – mencoba
menawarkan rencana. Mencari dukungan agar,
memperoleh penerimaan atau memberi sanksi,
sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti
yang diharapkan.
Menerima
informasi
sosialisasi
Lembaga – pemerintah, legislatif, LSM – membuat
perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat
dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi.
Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang
diharapkan.
RendahTidak ada
sama sekaliMasyarakat tidak mengetahui sama sekali.
Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group
of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001
4. Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah
Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila masyarakat
terlibat secara aktif dari awal proses penyusunan hingga peraturan daerah itu disahkan
menjadi produk hukum. Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif
saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah. Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 31
fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya
dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari
Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah. Semua aspirasi yang masuk dicatat dan
didokumentasikan dengan baik. Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan
memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan
berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya. Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk
menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD.
Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD,
usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat luas. Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di
DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut. Langkah ini dilakukan selain untuk
mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan bentuk Transparansi lembaga
Legislasi kepada publik. Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi
prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih. Setelah disosialisasikan, DPRD
perlu menyerap aspirasi dari masyarakat. Aspirasi dari masyarakat cukup penting karena
akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan. Upaya untuk menyerap aspirasi
tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif. Cara pasif DPRD
menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan. Sedangkan
cara aktif, DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang
berkepentingan untuk melakukan pembahasan.
Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD
melalui Rapat Paripurna (I dan II). Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan
ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi. Jumlah usulan yang
ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna. Selama sidang komisi,
DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari
masyarakat. Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan
dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan. Cara yang
ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara. Cara pasif menunggu
reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan. Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai
elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.
2.9. Regulasi Otonomi Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 32
Undang-Undang
UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara
UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara
UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara
UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999
Peraturan Pemerintah
PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah
PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom
PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah
PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan
PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam
Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah
PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah
PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD
PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 33
PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan
Otonomi Daerah
PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi
PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan
PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah
PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah
PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa
PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang
Dana Perimbangan
PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal
PP No.72/2005 tentang Desa
PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan
Daerah
Keputusan Presiden
Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut
Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU
No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 34
Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota 2001
Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota
Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota 2002
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan
Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999
Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah
Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD
Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah
Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan
Manual Adiministrasi Barang Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 35
DAFTAR PUSTAKA
Rukmo, J. Endi Rukmo.2002.Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Indonesia.
Darumurti, Krishna D. dan Rauta, Umbu.2003.Otonomi Daerah: Perkembangan Pemikiran
dan Pelaksanaan.Citra Aditya, Indonesia.
Yudoyono,Bambang.2001.Otonomi Daerah.Indonesia
Widjaja,HAW.2008. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.Rajawali Pers, Indonesia.
Rosidin,Utang.2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi.Pustaka Setia, Indonesia.
http://perpus.yipd.or.id/sub/publikasidetail/Kajian-Hukum-Terhadap-Pelaksanaan-Otonomi-
Daerah-Menurut-Undang-Undang-22-1999
http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=pelaksanaan+otonomi+daerah+dan+berbagai+masalah+yang+dihadapi&sourc
e=web&cd=100&ved=0CFIQFjAJOFo&url=http%3A%2F%2Fwww.forumdesa.org%2Fadd
%2Fsumedang.pdf&ei=9NPrTvGJJ8amrAfF6YjiCA&usg=AFQjCNEhY7VAJiJPNR6Qr6B
XoWrSvQSyZg&cad=rja
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 36