24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik Israel-Palestina memiliki kualitas dan kuantitas yang tidak mudah dicarikan perbandingannya dengan poros lain di Timur Tengah, bahkan di dunia. Kualitas konflik ini yang sangat tinggi adalah akibat dari kompleksitas persoalannya dan banyaknya kepentingan serta aktor yang bermain didalamnya. Akibatnya, kuantitas terjadinya perang dan konflik menjadi sangat tinggi lantaran situasi konfliktual bertahan dalam waktu yang panjang dan tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bukan tanpa alasan apabila ada yang berkomentar bahwa konflik ini adalah takdir sejarah yang tak dapat diubah. Seiring dengan perkembangannya konflik abadi Israel- Palestina hampir saja runtuh dengan kuatnya dorongan perdamaian yang terjadi antara tahun 1990-an hingga 2007. Dunia banyak berharap proses perdamaian yang didorong berbagai pihak dapat membawa kedua negara ini menuju perdamaian sejati. Penyelesaian parsial poros Israel- Palestina melalui Oslo sampai Road Map. 1 1 Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Domensi Konflik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal. 5. 1

makalah MRKI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah MRKI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik Israel-Palestina memiliki kualitas dan kuantitas yang tidak mudah

dicarikan perbandingannya dengan poros lain di Timur Tengah, bahkan di dunia. Kualitas

konflik ini yang sangat tinggi adalah akibat dari kompleksitas persoalannya dan

banyaknya kepentingan serta aktor yang bermain didalamnya. Akibatnya, kuantitas

terjadinya perang dan konflik menjadi sangat tinggi lantaran situasi konfliktual bertahan

dalam waktu yang panjang dan tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bukan tanpa

alasan apabila ada yang berkomentar bahwa konflik ini adalah takdir sejarah yang tak

dapat diubah.

Seiring dengan perkembangannya konflik abadi Israel-Palestina hampir saja

runtuh dengan kuatnya dorongan perdamaian yang terjadi antara tahun 1990-an hingga

2007. Dunia banyak berharap proses perdamaian yang didorong berbagai pihak dapat

membawa kedua negara ini menuju perdamaian sejati. Penyelesaian parsial poros Israel-

Palestina melalui Oslo sampai Road Map.1

Dengan melihat banyaknya konflik dan semakin tidak meredamkan eskalasi

kekerasan terjadi antara Israel dan Palestina, banyak pihak yang berpendapat bahwa tidak

mungkin mendapatkan perdamaian apabila kedua belah pihak berada dalam jalur yang

berbeda atau yang dikenal dengan Two-State Solution. Secara yuridis pembagian kedua

negara ini diharapkan oleh kedua belah pihak bisa mendatangkan perdamaian yang

dimana hidup berdampingan dengan agenda negara Palestina merdeka dan mengakui

kedaulatan Israel.2

Namun sekali lagi sejarah membuktikan bahwa dengan hidup terpisah, Israel dan

Palestina malah terlibat dalam serangkaian konflik yang sampai saat ini belum 1 Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Domensi Konflik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal. 5.2 Eiland, Giora. There are Viable Alternatives to the Two-State Paradigm, dalam Bar-Ilan University Bulletin No. 25, Februari 2010, hal. 5.

1

Page 2: makalah MRKI

mendapatkan titik terang, dengan kata lain bahwa agenda hidup berdampingan dan saling

mengakui kedaulatan tampaknya jauh dari yang diharapkan sesuai dengan gagalnya

semua perundingan perdamaian.

Diluar faktor sejarah tersebut munculah agenda penyatuan kedua negara ini yang

dikenal dengan nama One-State Solution atau negaranya yang disebut dengan Isratina

(Isratine) dan Palisra. One-State Solution menjadi ramai diperbincangkan terutama

dengan isi pidato dari Muammar Qaddafi atas nama sekjen Uni Afrika pada Sidang PBB

pada tanggal 25 September 2009 di New York yang berisikan penyatuan Israel-Palestina

dengan nama Isratina (Isratine). Dengan penyatuan kedua negara ini diharapkan segala

konflik dapat hilang dan menumbuhkan rasa kebersamaan diantara keduanya.

B. Pokok Permasalahan

Eskalasi kekerasan yang terjadi diantara Israel dan Palestina telah mendorong

lahirnya suatu agenda yang bisa dibilang sangat kontroversial yaitu penyatuan diantara

kedua negara atau yang disebut dengan One-State Solution. Model ini mengisyaratkan

penggabungan kedua belah wilayah di atap satu atap administrasi dengan adanya

persamaan hak di kedua belah warga negara. Dengan agenda penyatuan ini, diharapkan

kedua pihak dapat hidup berdampingan secara damai.

Dari uraian diatas, tim penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan

menjadi fokus dalam makalah ini, adalah bagaimana penyelesaian konflik Israel –

Palestina melalui mekanisme satu negara?

C. Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan untuk menguraikan permasalahan didalam

makalah ini antara lain teori dan teori penyelesaian konfik. Diharapkan ketiga teori ini

mampu memberikan paparan sistematis dan menjawab konteks masalah yang diuraikan

dalam skripsi.

2

Page 3: makalah MRKI

Teori yang pertama adalah teori Peter Wallenstein yang mendefinisikan konflik

sebagai situasi social dimana terdapat minimal dua aktor 3. Dalam konteks internasional

secara umum konflik dikategorikan dalam konflik antar negara (inter-state conflict) dan

konflik intra negara (intra-state). Ho-Won Jeong mendefinisikan konflik antar negara

sebagai :

“Adversarial relationships between states are ascribed to the competitive pursuit of economic or military interests in a power politics model, the explanation of many contemporary conflicts arises from the desire of ethnic or nationalist groups to secede. Geopolitical and geo-economic significance, for example, attached to competition over vast oil reserves, has encouraged the meddling of major powers in ethnically diverse parts of the world. Religious and linguistic differences often surface as a visible division overlaid in ethnic animosities and territorial disputes.”4

Untuk mengetahui pola hubungan yang terjalin antara pihak-pihak yang ada,

selain menggunakan teori konflik, juga digunakan suatu teori lain yang dinamakan teori

penyelesaian konflik.

Didalam upaya penyelesaian konflik yang dikemukakan oleh Peter Wallenstein

dimana terdapat 7 mekanisme untuk menyelesaikan konflik, yaitu :

1. Pihak-pihak yang bertikai melakukan modifikasi tujuan dan menggeser

prioritasnya masing-masing.

2. Pihak-pihak yang bertikai pada tujuannya masing-masing namun menemukan satu

titik dimana tercapainya kompromi terhadap situasi isu.

3. Taktir Horse Trading, yaitu suatu kondisi dimana satu pihak memperoleh semua

tuntutannya terhadap isu sementara pihak yang lain mendapatkannya pada isu

yang lain.

4. Kedua pihak sepakat untuk melakukan konrol atau penguasaan secara bersama-

sama atas wilayah atau sumber daya yang disengketakan. Pembagian kekuasaan

(Power Sharing) dan pembagian kekayaan (Wealth Sharing) merupakan contoh

dari mekanisme ini.

3 Wallenstein, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global System, (London: SAGE Publisher Ltd., 2002), hal. 16.4 Jeong, Ho-Won .Understanding Conflict and Conflict Analysis, (London: SAGE Publications Ltd, 2008), hal. 58.

3

Page 4: makalah MRKI

5. Menyerahkan kontrol pada pihak lain. Dalam hal ini pihak yang bertikai pada

dasarnya meneirma dan setuju untuk menyelesaikan konflik yang ada melalui

pihak ketiga sebagai mediator.

6. Menyerahkan penyelesaian konflik kepada suatu institusi atau mekanisme tertentu

yang disepakati kedua pihak yang bertikai.

7. Membiarkan permasalahan berbeda dalam status quo dengan harapakan akan

adanya perubahan situasi atau kepemimpinan.5

Dan juga digunakan tahapan konflik dari Simon fisher dalam bukunya

“Mengelola Konflik : Strategi dan Tindakan “ . Dimulai dari Pra konflik-Konfrontasi-

Krisis-Akibat-Pascakonflik.

Konsep satu negara nampaknya dengan jelas menggunakan bagian keempat

dalam upaya penyelesaian konflik yang tak berujung antara Israel dengan Palestina.

Walaupun belum ada tanggapan yang positif dari kedua belah pihak dan solusi satu

negara ini masih merupakan suatu perbincangan dan tawaran yang diajukan oleh

beberapa pihak, tim penulis merasa dengan adanya pembagian kekuasaan merupakan

faktor yang paling dominan dalam One-State Solution.

BAB II

5Wallenstein, Peter.Op. Cit., hal. 54-57.

4

Page 5: makalah MRKI

ANALISIS

Pemisahan dua negara merupakan adaptasi yang dilakukan oleh Palestine

Liberation Organization (PLO) sebagai pandangan pragmatis tanpa pendirian yang kuat.

Pada perkembanganya ditahun 1980an, otoritas Palestina mulai membicarakan mengenai

penyatuan negara, namun pada saat itu ketua PLO, Yasser Arafat, menerima negara

Palestina hanya di Tepi Barat dan Gaza, sebagai ekspektasi bahwa Israel akan mundur

dari wilayah-wilayah Palestina.6

Pemisahan antara Israel dan Palestina dianggap sebagai biang keladi dari

terjadinya berbagai macam pertikaian yang terjadi dan seterusnya dianggap akan menjadi

jurang pemisah diantara keduanya sehingga sulit untuk mendatangkan perubahan yang

menjurus ke arah perdamaian, sehingga menimbulkan penyelesaian konflik melalui

penyatuan kedua belah wilayah dalam satu atap administrasi yang diharapkan akan

membawa perubahan.

Meskipun agenda untuk penyatuan antara Israel dan Palestina ini memiliki banyak

istilah dan proyek, seperti One-State Solution (solusi satu negara), Isratina, dan Palisra,

secara garis besar proyek-proyek penyatuan ini memiliki kesamaan yaitu penggabungan

itu sendiri namun hanya berbeda dari segi pandang siapa yang mencetuskannya dan

pandangan-padangan filosofi kenegaraan saja.

Menurut Dr.Burak Erdenir Erdenir (ahli Uni Eropa di Sekretariat Jenderal untuk

Urusan Uni Eropa (EUSG) dari Turki), terdapat 4 periode dalam pandangan penyelesaian

konflik Israel-Palestina dengan metode penyatuan negara, yaitu :

1. Agenda penyatuan kedua negara pertama kali dicetuskan pada Palestina Mandate

oleh beberapa pemikir Yahudi liberal, yaitu Judah Magnes, Gershom Scholem,

Martin Buber, dan beberapa pemikir lain yang tergabung dalam Brit Shalom

Organization diawal tahun 1920-an. Mereka berpendapat pada gerakan Zionis

seharusnya tidak mengejar kekuatan politik yang berbasis pada keistimewaan

etnis Yahudi atau mendirikan negara Yahudi merdeka di Palestina, tetapi lebih

baik mendirikan negara bersama dengan rakyat Palestina. Akan tetapi dukungan

6 Savera Kalideen dan Haidar Eid, A One State Solution for the Palestine-Israel conflict: an Interview with Ali Abunimah, dalam Nebula Vol. 5 Issue 3 September 2008, hal. 78.

5

Page 6: makalah MRKI

akal hal ini di dunia internasional menjadi sangat lemah karena mayoritas bangsa

Palestina pada saat ini tidak setuju dan malah banyak melakukan gerakan

perlawanan bersenjata akibat keagresifan bangsa Israel. Meskipun demikian

dalam perkembangnya orang-orang Israel yang melanjutkan agenda ini dalam

jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sekarang, orang-orang ini dimarjinalisasikan

secara politik dan hukum di Israel.

2. Pergerakan kedua muncul ditahun 1970an atau setelah proses Oslo. Para

pendukungnya adalah orang Yahudi non-Zionis kiri Dalam perkembangannya, ide

ini mendapatkan dukungan dari kaum Yahudi sayap kanan juga. Yahudi sayap

kiri mengkritik ideologi ekspansionis Zionisme yang mengklaim bahwa

Pemerintah Israel telah memecah wilayah Palestina menjadi dua negara yang

telah melahirkan banyak konflik dan mengokupasi wilayah-wilayah territorial

Palestina. Menurut mereka hanya dengan ide ini yang akan menyelematkan

mereka dan bangsa Yahudi sendiri dari akibat-akibat konflik yang disebabkan

oleh kaum Zionis yang akan membawa Israel ambruk dikemudian hari. Ide negara

bersama telah mendapatkan dukungannya di kaum Yahudi sayap kanan sejak dari

proposal Single Land of Israel, mereka menambahkan bahwa warganegara Israel

dan Palestina memiliki hak yang sama di Tepi Barat dan Gaza dan tidak ada

pemisahan antara demografi Arab dan Yahudi. Proposal ini hanya berdasarkan

pada kritikan semata, tidak berdasarkan pada bagaimana negara tunggal ini akan

berdiri, dan proposal ini pun tidak mendapatkan simpati yang besar dari rakyat

Israel sendiri.

3. Pertama kalinya ide penggabungan negara berasal dari pihak Palestina yang

berasal dari PLO untuk negara bersatu yang demokratis dan sekular untuk umat

pemeluk Yahudi, Kristen, dan Muslim ditahun 1970an. Para pendukung ide ini

berkembang pesat terutama setelah gagalnya proses negosiasi Oslo dan akibat dari

tumbuhnya gerakan Intifada, sehingga menimbulkan gagasan untuk Palestina

merdeka dengan adanya kesetaraan antara rakyat Palestina dan bangsa Yahudi

seperti layaknya di era Palestina zaman dahulu. PLO menginginkan adanya

perubahan pera demografi layaknya para pendukung negara tunggal dari pihak

Yahudi. Walaupun ide ini dihantarkan oleh PLO, namun mayoritas rakyat

6

Page 7: makalah MRKI

Palestina tidak mendukung hal ini karena akan membuka pertempuran dengan

militer Israel.

4. Dengan semakin meningkatnya kritik terhadap kebijakan-kebijakan Israel yang

dimana didukung oleh Amerika Serikat dan dampak dari meningkatnya rasa anti-

Amerika, telah mendatangkan ide penggabungan negara sebagai penyelesaian

alternatif. Israel dianggap sebagai biang keladi atas konflik-konflik yang terjadi

karena tidak toleran dan bersikukuh menciptakan negara yang sangat etnosentris

yang dimana harus dirubah menjadi lebih terbuka dan pluralis demokratis.

Dengan berbengkalainya dan tidak terjaminnya hak hidup rakyat Palestina

mendatangkan simpati dari dunia internasional, dari simpati ini melahirkan

berbabagi proposal penggabungan negara seperti yang dilakukan oleh Sekjen Uni

Afrika Muammar Qaddafi yaitu “Fundamental Historical Solution: Isratine”.7

Beberapa rakyat Palestina yang mendukung akan penyatuan negara ini secara

yuridis merujuk pada penyelesaian tradisional yang terdapat pada Piagam PLO 1968

yang berisikan pembentukan satu negara di Israel dan wilayah-wilayah yang dulu

dikuasasi oleh Israel. Dalam piagam tersebut disebutkan bahwa satu negara ini adalah

milik orang Arab dan rakyat Palestina, tidak merujuk pada penggabungan dengan bangsa

Yahudi.8

One-State Solution atau yang dikenal dengan Bi-national Solution merupakan

usulan untuk memecahkan konflik Israel-Palestina. Usulan ini secara prinsip-prinsipnya

telah disetujui oleh Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina pada Annapolis Conference,

November 2007. Pada November 2009, negosiator Palestina Saeb Erekat mengajukan

usulan solusi One-State Solution ini jika hanya Israel tidak melanjutkan pembangunan

pemukiman Yahudi-nya.

Didalam solusi ini menganjurkan satu negara di Israel, Tepi Barat, dan Gaza,

dengan hak kewarganegaraan dan persamaan hak untuk semua warga yang menetap

diketiga wilayah tersebut, terlepas dari status etnis dan agamanya. Namun Israel bersikap

7 Burak Erdenir, The Idea of a Bi-National State in the Israel-Palestinian Conflict, dalam Turkish Policy Quarterly Vol. 7 No. 4, 2009, hal. 27-31.8 Hussein Ibish, What’s Wrong with the One-State Agenda, (Washington DC: ATFP, 2006), hal. 15-17.

7

Page 8: makalah MRKI

berbeda menanggapi One-State Solution ini karena akan mengikis identitas negara Israel

sebagai negara Yahudi.9

Secara garis besar proyek One-State Solution berdasarkan pada prinsip-prinsip

berikut:

1. Tanah Palestina dimiliki oleh siapa saja yang hidup didalamnya, yang terbuang,

dan yang terungsikan sejak dari 1948, terlepas dari agama, etnis, asal negara atau

status kewarganegaraannya.

2. Sistem pemerintahan yang ada seharusnya berdasarkan pada prinsip persamaan

hak sipil, politik, dan sosial budaya bagi seluruh warganegaranya. Kekuasaan

harus dijalankan secara tepat dan tidak memihak kepada siapun.

3. Harus adanya ganti rugi terdapat kehancuran dari kolonialisasi Zionis yang telah

berlangsung selama beberapa dekade, termasuk sebelum dan sesudah

didirikannya Israel, disini juga termasuk pencabutan semua sistem hukum,

menghentikan kebijakan-kebijakan kontrol militer terhadap rakyat sipil dan

diskriminasi yang berdasarkan pada etnis dan agama.

4. Pengakuan terhadap perbedaan karakter sosial, meliputi agama, bahasa, budaya

dan tradisi, dan bangsa.

5. Pembentukan negara ini, tidak memberikan hak istimewa kepada suatu etnis atau

kelompok beragama tertentu atas yang lainnya, tetapi saling menghormati dan

menghargai semua bentuk agama.

6. Mengimplementasikan hak pengembalian pengungsi Palestina yang sesuai dengan

Resolusi DK PBB No. 194 tahun 1948 yang dimana merupakan syarat yang

fundamental akan tegaknya keadilan dan perlambang penghormataan atas

persamaan.

7. Menciptakan kebijakan imigrasi yang terbuka dan tidak diskriminan.

8. Pengakuan atas hubungan historis yang terjalin antara beberapa kelompok

dibawah negara demokratis yang baru.

9. Orang-orang yang selasa ini terbuang hak politiknya, terutama orang Palestina di

Israel harus memainkan peranan yang penting dalam terbentuknya negara yang

baru.

9 “Qaddafi’s Mideast Solution: Isratine”,www.israelnationalnews.com/News/News.aspx/133572, diakses tanggal 2 April 2010.

8

Page 9: makalah MRKI

10. Pembentukan badan hukum untuk keadilan dan rekonsiliasi.10

Menurut Muammar Qaddafi dengan menggabungkan Israel dan Palestina yang

disebut dengan Isratina perlu dilakukan karena :

1. Daratan yang diperebutkan terlalu sempit untuk keduanya.

2. Israel dan Palestina akan selalu berhadapan dalam konflik apabila masih terpecah

karena oleh kepercayaan yang kuat diantara mereka sebagai pemiliknya.

3. Dapat menampung imigran Yahudi lebih banyak dan mengembalikan para

pengungsi Palestina.

4. Banyaknya orang Palestina di wilayah Yahudi dan banyaknya orang Yahudi di

wilayah Palestina yang memungkinkan untuk terjadinya asimilasi.

5. Hampir semua pekerja di Israel merupakan orang Palestina, dan adanya

persamaan kepercayaan.

Selanjutnya Qaddafi menambahkan untuk terciptanya Isratina maka diperlukan

pengembalian para penungsi Palestina dan mengembalikan mereka ke rumahnya masing-

masing, otoritas satu negara, dibawah pengawasan PBB dan dilakukannya pemilihan

umum, penghapusan senjata nuklir yang dimiliki oleh Israel, dengan langkah-langkah

tersebut maka Qaddafi berpendapat bahwa konflik di Timur Tengah akan segera berakhir

dan negara baru tersebut layaknya seperti model negara Libanon.11

Sami Sheikh Mohamed selanjutnya mengemukakan padangangannya mengenai

Isratina, bahwa pengambilan keputusan politik nantinya akan dipegang oleh orang Arab

dan para pemimpin palestina yang akan mendeklarasikan tanggungjawab bersama dengan

Israel yang telah gagal dalam proses negosiasi politik dan bersama-sama mendirikan

negara bersama. Dikemudiannya mereka akan mengakomodasi para rakyat Palestina

yang telah tersebat dan bangsa Yahudi untuk hidup damai berdampingan. Namun hal ini

harus didukung oleh negara-negara Arab besar lainnya sebagai dukungan politik atas

strategi ini. Dengan negara tunggal ini, diharapkan wilayah-wilayah okupasi Israel,

seperti Dataran Tinggi Golan dan wilayah Libanon akan dikembalikan kepada Suriah dan

Libanon serta penghapusan ideologi Zionisme sebagai solusi realistis dan praktikal.

10 “Challanging the Boundaries: A Single State in Israel/Palestina”, http://onestate.net/pages/declaration.htm, diakses tanggal 2 April 2010.11 “Isratine”, http://www.hopeways.org/e_index.htm?page=e_gadf01, diakses tanggal 2 April 2010.

9

Page 10: makalah MRKI

Menurutnya hanya dengan pendirian negara bersatu, bangsa Arab dan Palestina akan

mendapatkan haknya yang telah terampas oleh Israel.12

Adapun Nizar Habash (a Research Scientist at the Center for Computational

Learning systems in Columbia University) lewat pandangannya mengenai proyek Palisra

yang mengemukakan tujuannya untuk menciptakan gerakan budaya bersama demi

membangun identitas bersama terhadap bangsa Palestina dan Israel. Pembangunan

identitas bersama ini dilandaskan pada saling berbagai aspek kebudayaan antara Arab dan

Yahudi, serta bertujuan untuk menciptakan suatu simbol kebudayaan baru (agama,

bahasa, dan politis), yang akan menggugah pihak-pihak yang terkait. Hasil dari proyek

Palisra diharapkan akan menbentuk rasa perdamaian bagi seluruh warga yang telah

tergabung dalam negeri tunggal ini baik di Israel dan Palestina. Dampak yang diharapkan

dari proyek ini juga adalah untuk membuka pemikiran orang lain akan adanya

kemungkinan perdamaian dan ketentraman yang abadi, sehingga ide negeri tunggal ini

dapat terlaksana secara politis.13

Dengan banyaknya dukungan terhadap penyatuan antara Israel dan Palestina ini

yang diharapkan akan mendatangkan perdamaian terhadap keduanya untuk hidup damai

berdampingan secara bersama yang datang akibat dari konflik panjang yang telah

berlangsung selama beberapa dekade terakhir, namun agenda pengatuan ini juga

mendapatkan pertentangan dari pemikir Timur Tengah seperti oleh Hussein Ibish (Senior

Fellow at The American Task Force on Palestine), beliau menjabarkan masalah-masalah

yang akan ditanggung oleh keduan belah pihak, apabila keduanya setuju untuk

mendirikan negera tunggal, masalah-masalah tersebut adalah :

1. Pembentukan negara bersatu Israel-Palestina tidak memungkinkan untuk

mendapatkan persamaan politik ditingkat regional dan internasional. Hal ini

dikarenakan oleh wilayah-wilayah yang dulu diokupasi oleh Israel dari negara-

negara tetangganya akan dipertanyakan serta statusnya bisa diambil alih

dikemudiannya yang malah akan menciptakan konflik yang lebih lebar lagi

dengan negara-negara lain.

12 “The Single State is the Only Guarantee to Achieve The Minimum Rights of Arabs Palestinians (part one)”, http://esraten.com/new/all_en/asbab/2010/30.html, diakses tanggal 2 April 2010.13 “The Palisra Project”, http://www.nizarhabash.com/palisra/palisra-statement.html, diakses tanggal 2 April 2010.

10

Page 11: makalah MRKI

2. Negara tunggal tidak akan menghentikan okupasi Israel dan pembangunan

pemukiman. Dengan ini kecenderungan Israel akan keagresifan akan semakin

meningkat didalam negerinya serta dengan pembangunan pemukiman yang

semakin mendapatkan wilayah dinegeri yang baru akan semakin menggusur

rakyat Palestina.

3. Agenda negara tunggal tidak memiliki basis politik yang signifikan, baik terhadap

rakyat Palestina dan Israel. Warisan politik keduanya yang berbasis pada politik

keagamaan, seperti Palestina yang secara vertikal mendapatkan pembelajaran

politik Islam yang keras serta dilain sisi, Israel berpandangan politik Yahudi

orthodoks yang berpegang teguh pada ajaran setiap orang Yahudi harus kembali

ke Promised Land (tanah yang dijanjikan). Perbedaan pandangan basis politik

inilah yang pada awalnya merupakan sumber konflik yang akan berlanjut apabila

negara bersatu didirikan.

4. Agenda negara tunggal tidak memiliki basis hukum internasional. Wilayah-

wilayah okupasi Israel yang dikemudian dalam negara baru ini akan berdiri tidak

berlandaskan pada hukum internasional karena merupakan hasil okupasi yang

jelas-jelas ditentang oleh Resolusi DK PBB No. 242 tahun 1967.

5. Negara tunggal akan merugikan kepentingan nasional Palestina. Walaupun

dengan penyatuan kedua otoritas ini akal mendatangkan persamaan hak diantara

keduanya, mendapatkan nasionalisme Palestina, dan kemenangan atas wilayah-

wilayah yang terampas pada tahun 1948, namun dalam penggabungan ini

kepentingan nasional Palestina akan tereliminasi dengan masuknya agenda-

agenda Israel kedalam negara persatuan dan eliminasi nasionalitas Palestina.

6. Agenda negara tunggal tidak memberikan keuntungan terhadap bangsa Yahudi-

Israel. Agenda penggabungan sejak dari awal esensinya adalah mengkritik

kebijakan-kebijakan Israel, mengkritik negara-negara Arab yang mendukung

pemisahan diantara keduanya, dan dukungan penuh terhadap perjuangan

Palestina, mendatangkan permasalahan bagi agenda penyatuan ini yang

menanyakan apa untungnya terhadap pihak Yahudi-Israel.

7. Negara tunggal merupakan sebuah okupasi. Basis perjuangan Palestina sejak awal

adalah menghentikan okupasi yang dilakukan oleh Israel dan bukan untuk

11

Page 12: makalah MRKI

melanjutnya dalam bentuk apapun. Dengan penggabungan ini, wilayah Palestina

berada dalam kontrol yang sama, yaitu oleh Israel juga, bukan oleh otoritas resmi

Palestina.

8. Alternatif yang sebenarnya adalah bukan dengan penggabungan atau pemisahan

negara, namun oleh konflik atau damai. Pilihan yang sebetulnya adalah bukan

dengan penggabungan atau pemisahan kedua belah pihak namun adalah

penghentikan okupasi atau dilanjutkannya konflik. Palestina masih hidup dibawah

bayang-bayang dan okupasi Israel sehingga penggabungan kedua negara hanya

akan terlaksana kalau okupasi dihentikan dan dalam jangka waktu yang masih

sangat lama.

9. Konflik semakin tidak terkendali dan mengarah pada konflik beragama.

Banyaknya konflik yang mengarah pada konflik agama tidak memungkinkan

keduanya untuk melakukan penggabungan, seperti penggalian yang dilakukan

oleh Israel dibawah Masjidil Aqsa dan penggunakan istilah-istilah Islam oleh

pejuang Palestina sebagai perlambang perjuangan.14

Dengan melihat komponen-komponen masalah tersebut bisa dibilang bahwa

penyelesaian konflik Israel dengan Palestina dengan menggunakan mekanisme satu

negara mustahil untuk dilaksanakan karena kompleksnya permasalahan yang terjadi

diantara keduanya yang melibatkan beberapa faktor yang sensitif seperti latar belakang

sejarah, etnis, dan agama. Ide penyatuan kedua negara mungkin akan bisa terlaksana

dikemudian hari nanti, menunggu kondisi yang kondusif dan adanya inisiatif dari kedua

pemimpin Israel dan Palestina.

BAB III

KESIMPULAN

14 Ibish, Hussein. Op. Cit., (Washington DC: ATFP, 2006), hal. 73-99.

12

Page 13: makalah MRKI

Pemisahan negara antara Israel dan Palestina merupakan wujud dari persetujuan

yang dilakukan oleh Pemerintah Israel dan otoritas Palestina di bawah PLO yang diketuai

oleh Yasser Arafat pada saat ini. Dimana keduanya memegang kontrol wilayah,

menjalankan administrasinya, dan mengurus kehidupan berpolitik dan berbangsa masing-

masing pihak. Namun yang terjadi adalah pengambilan wilayahnatau okupasi yang

dilakukan oleh Israel makin menjadi-jadi yang menyebabkan semakin berkurangnya

wilayah Palestina dan bertambahnya wilayah Israel yang semakin diperparah oleh

pembangunan pemukiman Yahudi-Israel di wilayah Tepi Barat dan Gaza.

Dengan semakin meningkatnya eskalasi konflik diantara keduanya yang tak

kunjung reda, menyebabkan banyaknya agenda atau proposal yang mengajukan kedua

otoritas ini untuk menggabungkan kedua negaranya menjadi satu negara dibawah satu

atap. Penggabungan ini sebetulnya sudah datang dari jauh-jauh hari sebelumnya yaitu

diawal tahun 1920-an, sewaktu negara Israel belum merdeka dan masih berupa

sekumpulan imigran-imigran Yahudi di Palestina, dan pada saat 1970-an adanya ide ini

kembali oleh para Yahudi non-Zionis kiri, dan baru pada saat 1970-an PLO menghendaki

adanya negara satu yaitu Palestina, dan pada perkembangannya seiring dengan

banyaknya kritikan terhadap kebijakan Israel atas Palestina yang mendatangkan simpati

dari dunia internasional menghadirkan ide untuk penggabungan negara seperti yang

dilontarkan oleh Muammar Qaddafi lewat idenya yaitu Isratina.

Ide penggabungan negara dalam kajian ilmiah kerap kali disebut dengan One-

State Solution atau Isratina (Isratine) atau Palisra. Ketiga istilah ini pada dasarnya adalah

sama yaitu menginginkan penggabungan Israel dan Palestina sebagai bentuk

penyelesaian konflik yang terjadi diantara keduanya dengan adanya persamaan hak

diantara warganegaranya, kepemilikan bersama wilayah Palestina dan Israel,

penghentikan praktek diskriminasi, pengembalian pengungsi Palestina, hidup damai

secara bersama, dan pembentukan negara demokratis yang baru. Perbedaan ketiganya

hanya pandangan filosofi tentang kehidupan bernegara dan berbangsanya saja tergantung

dari siapa yang melontarkan ide tersebut.

Konflik Israel-Palestina memasuki pada tahapan konflik krisis dikarenakan

banyak peperangan yang telah terjadi disini dan sampai sekarang memang masih terjadi

konflik yang berkepanjangan.

13

Page 14: makalah MRKI

Jika dilihat ide penggabungan ini terdapat aspek negatifnya seperti tidak tidak

memungkinkan untuk mendapatkan persamaan politik ditingkat regional dan

internasional, tidak akan menghentikan okupasi Israel dan pembangunan pemukiman,

tidak memiliki basis politik yang signifikan, tidak memiliki basis hukum internasional,

merugikan kepentingan nasional Palestina, tidak memberikan keuntungan terhadap

bangsa Yahudi-Israel, merupakan sebuah okupasi, titik berat bukan pada penggabungan

atau pemisahan negara namun antara konflik dan damai, mengarah pada konflik

beragama. Sehingga penyelesaian lewat mekanisme satu negara sangat sulit untuk

direalisasikan. Tetapi dapat terwujud apabila koordinasi dari kedua Negara dan

manajemen resolusi konflik yang baik dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal :

14

Page 15: makalah MRKI

Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Domensi Konflik. Yogyakarta :

Tiara Wacana, 2008.

Eiland, Giora. There are Viable Alternatives to the Two-State Paradigm. Bar-Ilan

University Bulletin, 2010.

Erdenir, Burak. The Idea of a Bi-National State in the Israel-Palestinian Conflict .

Turkish Policy Quarterly, 2009.

Ibish, Hussein. What’s Wrong with the One-State Agenda. Washington DC : ATFP, 2006

Jeong, Ho-Won. Understanding Conflict and Conflict Analysis. London : SAGE

Publisher Ltd., 2008.

Kalideen, Savera dan Haidar Eid. A One State Solution for the Palestine-Israel conflict:

an Interview with Ali Abunimah. Nebula, 2008.

Wallenstein, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global

System. London : SAGE Publisher Ltd., 2002.

Website :

www.esraten.com

www.hopeways.org

www.israelnationalnews.com

www.nizarhabash.com

www.onestate.net

15