BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik Israel-Palestina memiliki kualitas dan kuantitas yang tidak mudah
dicarikan perbandingannya dengan poros lain di Timur Tengah, bahkan di dunia. Kualitas
konflik ini yang sangat tinggi adalah akibat dari kompleksitas persoalannya dan
banyaknya kepentingan serta aktor yang bermain didalamnya. Akibatnya, kuantitas
terjadinya perang dan konflik menjadi sangat tinggi lantaran situasi konfliktual bertahan
dalam waktu yang panjang dan tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bukan tanpa
alasan apabila ada yang berkomentar bahwa konflik ini adalah takdir sejarah yang tak
dapat diubah.
Seiring dengan perkembangannya konflik abadi Israel-Palestina hampir saja
runtuh dengan kuatnya dorongan perdamaian yang terjadi antara tahun 1990-an hingga
2007. Dunia banyak berharap proses perdamaian yang didorong berbagai pihak dapat
membawa kedua negara ini menuju perdamaian sejati. Penyelesaian parsial poros Israel-
Palestina melalui Oslo sampai Road Map.1
Dengan melihat banyaknya konflik dan semakin tidak meredamkan eskalasi
kekerasan terjadi antara Israel dan Palestina, banyak pihak yang berpendapat bahwa tidak
mungkin mendapatkan perdamaian apabila kedua belah pihak berada dalam jalur yang
berbeda atau yang dikenal dengan Two-State Solution. Secara yuridis pembagian kedua
negara ini diharapkan oleh kedua belah pihak bisa mendatangkan perdamaian yang
dimana hidup berdampingan dengan agenda negara Palestina merdeka dan mengakui
kedaulatan Israel.2
Namun sekali lagi sejarah membuktikan bahwa dengan hidup terpisah, Israel dan
Palestina malah terlibat dalam serangkaian konflik yang sampai saat ini belum 1 Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Domensi Konflik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal. 5.2 Eiland, Giora. There are Viable Alternatives to the Two-State Paradigm, dalam Bar-Ilan University Bulletin No. 25, Februari 2010, hal. 5.
1
mendapatkan titik terang, dengan kata lain bahwa agenda hidup berdampingan dan saling
mengakui kedaulatan tampaknya jauh dari yang diharapkan sesuai dengan gagalnya
semua perundingan perdamaian.
Diluar faktor sejarah tersebut munculah agenda penyatuan kedua negara ini yang
dikenal dengan nama One-State Solution atau negaranya yang disebut dengan Isratina
(Isratine) dan Palisra. One-State Solution menjadi ramai diperbincangkan terutama
dengan isi pidato dari Muammar Qaddafi atas nama sekjen Uni Afrika pada Sidang PBB
pada tanggal 25 September 2009 di New York yang berisikan penyatuan Israel-Palestina
dengan nama Isratina (Isratine). Dengan penyatuan kedua negara ini diharapkan segala
konflik dapat hilang dan menumbuhkan rasa kebersamaan diantara keduanya.
B. Pokok Permasalahan
Eskalasi kekerasan yang terjadi diantara Israel dan Palestina telah mendorong
lahirnya suatu agenda yang bisa dibilang sangat kontroversial yaitu penyatuan diantara
kedua negara atau yang disebut dengan One-State Solution. Model ini mengisyaratkan
penggabungan kedua belah wilayah di atap satu atap administrasi dengan adanya
persamaan hak di kedua belah warga negara. Dengan agenda penyatuan ini, diharapkan
kedua pihak dapat hidup berdampingan secara damai.
Dari uraian diatas, tim penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan
menjadi fokus dalam makalah ini, adalah bagaimana penyelesaian konflik Israel –
Palestina melalui mekanisme satu negara?
C. Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan untuk menguraikan permasalahan didalam
makalah ini antara lain teori dan teori penyelesaian konfik. Diharapkan ketiga teori ini
mampu memberikan paparan sistematis dan menjawab konteks masalah yang diuraikan
dalam skripsi.
2
Teori yang pertama adalah teori Peter Wallenstein yang mendefinisikan konflik
sebagai situasi social dimana terdapat minimal dua aktor 3. Dalam konteks internasional
secara umum konflik dikategorikan dalam konflik antar negara (inter-state conflict) dan
konflik intra negara (intra-state). Ho-Won Jeong mendefinisikan konflik antar negara
sebagai :
“Adversarial relationships between states are ascribed to the competitive pursuit of economic or military interests in a power politics model, the explanation of many contemporary conflicts arises from the desire of ethnic or nationalist groups to secede. Geopolitical and geo-economic significance, for example, attached to competition over vast oil reserves, has encouraged the meddling of major powers in ethnically diverse parts of the world. Religious and linguistic differences often surface as a visible division overlaid in ethnic animosities and territorial disputes.”4
Untuk mengetahui pola hubungan yang terjalin antara pihak-pihak yang ada,
selain menggunakan teori konflik, juga digunakan suatu teori lain yang dinamakan teori
penyelesaian konflik.
Didalam upaya penyelesaian konflik yang dikemukakan oleh Peter Wallenstein
dimana terdapat 7 mekanisme untuk menyelesaikan konflik, yaitu :
1. Pihak-pihak yang bertikai melakukan modifikasi tujuan dan menggeser
prioritasnya masing-masing.
2. Pihak-pihak yang bertikai pada tujuannya masing-masing namun menemukan satu
titik dimana tercapainya kompromi terhadap situasi isu.
3. Taktir Horse Trading, yaitu suatu kondisi dimana satu pihak memperoleh semua
tuntutannya terhadap isu sementara pihak yang lain mendapatkannya pada isu
yang lain.
4. Kedua pihak sepakat untuk melakukan konrol atau penguasaan secara bersama-
sama atas wilayah atau sumber daya yang disengketakan. Pembagian kekuasaan
(Power Sharing) dan pembagian kekayaan (Wealth Sharing) merupakan contoh
dari mekanisme ini.
3 Wallenstein, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global System, (London: SAGE Publisher Ltd., 2002), hal. 16.4 Jeong, Ho-Won .Understanding Conflict and Conflict Analysis, (London: SAGE Publications Ltd, 2008), hal. 58.
3
5. Menyerahkan kontrol pada pihak lain. Dalam hal ini pihak yang bertikai pada
dasarnya meneirma dan setuju untuk menyelesaikan konflik yang ada melalui
pihak ketiga sebagai mediator.
6. Menyerahkan penyelesaian konflik kepada suatu institusi atau mekanisme tertentu
yang disepakati kedua pihak yang bertikai.
7. Membiarkan permasalahan berbeda dalam status quo dengan harapakan akan
adanya perubahan situasi atau kepemimpinan.5
Dan juga digunakan tahapan konflik dari Simon fisher dalam bukunya
“Mengelola Konflik : Strategi dan Tindakan “ . Dimulai dari Pra konflik-Konfrontasi-
Krisis-Akibat-Pascakonflik.
Konsep satu negara nampaknya dengan jelas menggunakan bagian keempat
dalam upaya penyelesaian konflik yang tak berujung antara Israel dengan Palestina.
Walaupun belum ada tanggapan yang positif dari kedua belah pihak dan solusi satu
negara ini masih merupakan suatu perbincangan dan tawaran yang diajukan oleh
beberapa pihak, tim penulis merasa dengan adanya pembagian kekuasaan merupakan
faktor yang paling dominan dalam One-State Solution.
BAB II
5Wallenstein, Peter.Op. Cit., hal. 54-57.
4
ANALISIS
Pemisahan dua negara merupakan adaptasi yang dilakukan oleh Palestine
Liberation Organization (PLO) sebagai pandangan pragmatis tanpa pendirian yang kuat.
Pada perkembanganya ditahun 1980an, otoritas Palestina mulai membicarakan mengenai
penyatuan negara, namun pada saat itu ketua PLO, Yasser Arafat, menerima negara
Palestina hanya di Tepi Barat dan Gaza, sebagai ekspektasi bahwa Israel akan mundur
dari wilayah-wilayah Palestina.6
Pemisahan antara Israel dan Palestina dianggap sebagai biang keladi dari
terjadinya berbagai macam pertikaian yang terjadi dan seterusnya dianggap akan menjadi
jurang pemisah diantara keduanya sehingga sulit untuk mendatangkan perubahan yang
menjurus ke arah perdamaian, sehingga menimbulkan penyelesaian konflik melalui
penyatuan kedua belah wilayah dalam satu atap administrasi yang diharapkan akan
membawa perubahan.
Meskipun agenda untuk penyatuan antara Israel dan Palestina ini memiliki banyak
istilah dan proyek, seperti One-State Solution (solusi satu negara), Isratina, dan Palisra,
secara garis besar proyek-proyek penyatuan ini memiliki kesamaan yaitu penggabungan
itu sendiri namun hanya berbeda dari segi pandang siapa yang mencetuskannya dan
pandangan-padangan filosofi kenegaraan saja.
Menurut Dr.Burak Erdenir Erdenir (ahli Uni Eropa di Sekretariat Jenderal untuk
Urusan Uni Eropa (EUSG) dari Turki), terdapat 4 periode dalam pandangan penyelesaian
konflik Israel-Palestina dengan metode penyatuan negara, yaitu :
1. Agenda penyatuan kedua negara pertama kali dicetuskan pada Palestina Mandate
oleh beberapa pemikir Yahudi liberal, yaitu Judah Magnes, Gershom Scholem,
Martin Buber, dan beberapa pemikir lain yang tergabung dalam Brit Shalom
Organization diawal tahun 1920-an. Mereka berpendapat pada gerakan Zionis
seharusnya tidak mengejar kekuatan politik yang berbasis pada keistimewaan
etnis Yahudi atau mendirikan negara Yahudi merdeka di Palestina, tetapi lebih
baik mendirikan negara bersama dengan rakyat Palestina. Akan tetapi dukungan
6 Savera Kalideen dan Haidar Eid, A One State Solution for the Palestine-Israel conflict: an Interview with Ali Abunimah, dalam Nebula Vol. 5 Issue 3 September 2008, hal. 78.
5
akal hal ini di dunia internasional menjadi sangat lemah karena mayoritas bangsa
Palestina pada saat ini tidak setuju dan malah banyak melakukan gerakan
perlawanan bersenjata akibat keagresifan bangsa Israel. Meskipun demikian
dalam perkembangnya orang-orang Israel yang melanjutkan agenda ini dalam
jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sekarang, orang-orang ini dimarjinalisasikan
secara politik dan hukum di Israel.
2. Pergerakan kedua muncul ditahun 1970an atau setelah proses Oslo. Para
pendukungnya adalah orang Yahudi non-Zionis kiri Dalam perkembangannya, ide
ini mendapatkan dukungan dari kaum Yahudi sayap kanan juga. Yahudi sayap
kiri mengkritik ideologi ekspansionis Zionisme yang mengklaim bahwa
Pemerintah Israel telah memecah wilayah Palestina menjadi dua negara yang
telah melahirkan banyak konflik dan mengokupasi wilayah-wilayah territorial
Palestina. Menurut mereka hanya dengan ide ini yang akan menyelematkan
mereka dan bangsa Yahudi sendiri dari akibat-akibat konflik yang disebabkan
oleh kaum Zionis yang akan membawa Israel ambruk dikemudian hari. Ide negara
bersama telah mendapatkan dukungannya di kaum Yahudi sayap kanan sejak dari
proposal Single Land of Israel, mereka menambahkan bahwa warganegara Israel
dan Palestina memiliki hak yang sama di Tepi Barat dan Gaza dan tidak ada
pemisahan antara demografi Arab dan Yahudi. Proposal ini hanya berdasarkan
pada kritikan semata, tidak berdasarkan pada bagaimana negara tunggal ini akan
berdiri, dan proposal ini pun tidak mendapatkan simpati yang besar dari rakyat
Israel sendiri.
3. Pertama kalinya ide penggabungan negara berasal dari pihak Palestina yang
berasal dari PLO untuk negara bersatu yang demokratis dan sekular untuk umat
pemeluk Yahudi, Kristen, dan Muslim ditahun 1970an. Para pendukung ide ini
berkembang pesat terutama setelah gagalnya proses negosiasi Oslo dan akibat dari
tumbuhnya gerakan Intifada, sehingga menimbulkan gagasan untuk Palestina
merdeka dengan adanya kesetaraan antara rakyat Palestina dan bangsa Yahudi
seperti layaknya di era Palestina zaman dahulu. PLO menginginkan adanya
perubahan pera demografi layaknya para pendukung negara tunggal dari pihak
Yahudi. Walaupun ide ini dihantarkan oleh PLO, namun mayoritas rakyat
6
Palestina tidak mendukung hal ini karena akan membuka pertempuran dengan
militer Israel.
4. Dengan semakin meningkatnya kritik terhadap kebijakan-kebijakan Israel yang
dimana didukung oleh Amerika Serikat dan dampak dari meningkatnya rasa anti-
Amerika, telah mendatangkan ide penggabungan negara sebagai penyelesaian
alternatif. Israel dianggap sebagai biang keladi atas konflik-konflik yang terjadi
karena tidak toleran dan bersikukuh menciptakan negara yang sangat etnosentris
yang dimana harus dirubah menjadi lebih terbuka dan pluralis demokratis.
Dengan berbengkalainya dan tidak terjaminnya hak hidup rakyat Palestina
mendatangkan simpati dari dunia internasional, dari simpati ini melahirkan
berbabagi proposal penggabungan negara seperti yang dilakukan oleh Sekjen Uni
Afrika Muammar Qaddafi yaitu “Fundamental Historical Solution: Isratine”.7
Beberapa rakyat Palestina yang mendukung akan penyatuan negara ini secara
yuridis merujuk pada penyelesaian tradisional yang terdapat pada Piagam PLO 1968
yang berisikan pembentukan satu negara di Israel dan wilayah-wilayah yang dulu
dikuasasi oleh Israel. Dalam piagam tersebut disebutkan bahwa satu negara ini adalah
milik orang Arab dan rakyat Palestina, tidak merujuk pada penggabungan dengan bangsa
Yahudi.8
One-State Solution atau yang dikenal dengan Bi-national Solution merupakan
usulan untuk memecahkan konflik Israel-Palestina. Usulan ini secara prinsip-prinsipnya
telah disetujui oleh Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina pada Annapolis Conference,
November 2007. Pada November 2009, negosiator Palestina Saeb Erekat mengajukan
usulan solusi One-State Solution ini jika hanya Israel tidak melanjutkan pembangunan
pemukiman Yahudi-nya.
Didalam solusi ini menganjurkan satu negara di Israel, Tepi Barat, dan Gaza,
dengan hak kewarganegaraan dan persamaan hak untuk semua warga yang menetap
diketiga wilayah tersebut, terlepas dari status etnis dan agamanya. Namun Israel bersikap
7 Burak Erdenir, The Idea of a Bi-National State in the Israel-Palestinian Conflict, dalam Turkish Policy Quarterly Vol. 7 No. 4, 2009, hal. 27-31.8 Hussein Ibish, What’s Wrong with the One-State Agenda, (Washington DC: ATFP, 2006), hal. 15-17.
7
berbeda menanggapi One-State Solution ini karena akan mengikis identitas negara Israel
sebagai negara Yahudi.9
Secara garis besar proyek One-State Solution berdasarkan pada prinsip-prinsip
berikut:
1. Tanah Palestina dimiliki oleh siapa saja yang hidup didalamnya, yang terbuang,
dan yang terungsikan sejak dari 1948, terlepas dari agama, etnis, asal negara atau
status kewarganegaraannya.
2. Sistem pemerintahan yang ada seharusnya berdasarkan pada prinsip persamaan
hak sipil, politik, dan sosial budaya bagi seluruh warganegaranya. Kekuasaan
harus dijalankan secara tepat dan tidak memihak kepada siapun.
3. Harus adanya ganti rugi terdapat kehancuran dari kolonialisasi Zionis yang telah
berlangsung selama beberapa dekade, termasuk sebelum dan sesudah
didirikannya Israel, disini juga termasuk pencabutan semua sistem hukum,
menghentikan kebijakan-kebijakan kontrol militer terhadap rakyat sipil dan
diskriminasi yang berdasarkan pada etnis dan agama.
4. Pengakuan terhadap perbedaan karakter sosial, meliputi agama, bahasa, budaya
dan tradisi, dan bangsa.
5. Pembentukan negara ini, tidak memberikan hak istimewa kepada suatu etnis atau
kelompok beragama tertentu atas yang lainnya, tetapi saling menghormati dan
menghargai semua bentuk agama.
6. Mengimplementasikan hak pengembalian pengungsi Palestina yang sesuai dengan
Resolusi DK PBB No. 194 tahun 1948 yang dimana merupakan syarat yang
fundamental akan tegaknya keadilan dan perlambang penghormataan atas
persamaan.
7. Menciptakan kebijakan imigrasi yang terbuka dan tidak diskriminan.
8. Pengakuan atas hubungan historis yang terjalin antara beberapa kelompok
dibawah negara demokratis yang baru.
9. Orang-orang yang selasa ini terbuang hak politiknya, terutama orang Palestina di
Israel harus memainkan peranan yang penting dalam terbentuknya negara yang
baru.
9 “Qaddafi’s Mideast Solution: Isratine”,www.israelnationalnews.com/News/News.aspx/133572, diakses tanggal 2 April 2010.
8
10. Pembentukan badan hukum untuk keadilan dan rekonsiliasi.10
Menurut Muammar Qaddafi dengan menggabungkan Israel dan Palestina yang
disebut dengan Isratina perlu dilakukan karena :
1. Daratan yang diperebutkan terlalu sempit untuk keduanya.
2. Israel dan Palestina akan selalu berhadapan dalam konflik apabila masih terpecah
karena oleh kepercayaan yang kuat diantara mereka sebagai pemiliknya.
3. Dapat menampung imigran Yahudi lebih banyak dan mengembalikan para
pengungsi Palestina.
4. Banyaknya orang Palestina di wilayah Yahudi dan banyaknya orang Yahudi di
wilayah Palestina yang memungkinkan untuk terjadinya asimilasi.
5. Hampir semua pekerja di Israel merupakan orang Palestina, dan adanya
persamaan kepercayaan.
Selanjutnya Qaddafi menambahkan untuk terciptanya Isratina maka diperlukan
pengembalian para penungsi Palestina dan mengembalikan mereka ke rumahnya masing-
masing, otoritas satu negara, dibawah pengawasan PBB dan dilakukannya pemilihan
umum, penghapusan senjata nuklir yang dimiliki oleh Israel, dengan langkah-langkah
tersebut maka Qaddafi berpendapat bahwa konflik di Timur Tengah akan segera berakhir
dan negara baru tersebut layaknya seperti model negara Libanon.11
Sami Sheikh Mohamed selanjutnya mengemukakan padangangannya mengenai
Isratina, bahwa pengambilan keputusan politik nantinya akan dipegang oleh orang Arab
dan para pemimpin palestina yang akan mendeklarasikan tanggungjawab bersama dengan
Israel yang telah gagal dalam proses negosiasi politik dan bersama-sama mendirikan
negara bersama. Dikemudiannya mereka akan mengakomodasi para rakyat Palestina
yang telah tersebat dan bangsa Yahudi untuk hidup damai berdampingan. Namun hal ini
harus didukung oleh negara-negara Arab besar lainnya sebagai dukungan politik atas
strategi ini. Dengan negara tunggal ini, diharapkan wilayah-wilayah okupasi Israel,
seperti Dataran Tinggi Golan dan wilayah Libanon akan dikembalikan kepada Suriah dan
Libanon serta penghapusan ideologi Zionisme sebagai solusi realistis dan praktikal.
10 “Challanging the Boundaries: A Single State in Israel/Palestina”, http://onestate.net/pages/declaration.htm, diakses tanggal 2 April 2010.11 “Isratine”, http://www.hopeways.org/e_index.htm?page=e_gadf01, diakses tanggal 2 April 2010.
9
Menurutnya hanya dengan pendirian negara bersatu, bangsa Arab dan Palestina akan
mendapatkan haknya yang telah terampas oleh Israel.12
Adapun Nizar Habash (a Research Scientist at the Center for Computational
Learning systems in Columbia University) lewat pandangannya mengenai proyek Palisra
yang mengemukakan tujuannya untuk menciptakan gerakan budaya bersama demi
membangun identitas bersama terhadap bangsa Palestina dan Israel. Pembangunan
identitas bersama ini dilandaskan pada saling berbagai aspek kebudayaan antara Arab dan
Yahudi, serta bertujuan untuk menciptakan suatu simbol kebudayaan baru (agama,
bahasa, dan politis), yang akan menggugah pihak-pihak yang terkait. Hasil dari proyek
Palisra diharapkan akan menbentuk rasa perdamaian bagi seluruh warga yang telah
tergabung dalam negeri tunggal ini baik di Israel dan Palestina. Dampak yang diharapkan
dari proyek ini juga adalah untuk membuka pemikiran orang lain akan adanya
kemungkinan perdamaian dan ketentraman yang abadi, sehingga ide negeri tunggal ini
dapat terlaksana secara politis.13
Dengan banyaknya dukungan terhadap penyatuan antara Israel dan Palestina ini
yang diharapkan akan mendatangkan perdamaian terhadap keduanya untuk hidup damai
berdampingan secara bersama yang datang akibat dari konflik panjang yang telah
berlangsung selama beberapa dekade terakhir, namun agenda pengatuan ini juga
mendapatkan pertentangan dari pemikir Timur Tengah seperti oleh Hussein Ibish (Senior
Fellow at The American Task Force on Palestine), beliau menjabarkan masalah-masalah
yang akan ditanggung oleh keduan belah pihak, apabila keduanya setuju untuk
mendirikan negera tunggal, masalah-masalah tersebut adalah :
1. Pembentukan negara bersatu Israel-Palestina tidak memungkinkan untuk
mendapatkan persamaan politik ditingkat regional dan internasional. Hal ini
dikarenakan oleh wilayah-wilayah yang dulu diokupasi oleh Israel dari negara-
negara tetangganya akan dipertanyakan serta statusnya bisa diambil alih
dikemudiannya yang malah akan menciptakan konflik yang lebih lebar lagi
dengan negara-negara lain.
12 “The Single State is the Only Guarantee to Achieve The Minimum Rights of Arabs Palestinians (part one)”, http://esraten.com/new/all_en/asbab/2010/30.html, diakses tanggal 2 April 2010.13 “The Palisra Project”, http://www.nizarhabash.com/palisra/palisra-statement.html, diakses tanggal 2 April 2010.
10
2. Negara tunggal tidak akan menghentikan okupasi Israel dan pembangunan
pemukiman. Dengan ini kecenderungan Israel akan keagresifan akan semakin
meningkat didalam negerinya serta dengan pembangunan pemukiman yang
semakin mendapatkan wilayah dinegeri yang baru akan semakin menggusur
rakyat Palestina.
3. Agenda negara tunggal tidak memiliki basis politik yang signifikan, baik terhadap
rakyat Palestina dan Israel. Warisan politik keduanya yang berbasis pada politik
keagamaan, seperti Palestina yang secara vertikal mendapatkan pembelajaran
politik Islam yang keras serta dilain sisi, Israel berpandangan politik Yahudi
orthodoks yang berpegang teguh pada ajaran setiap orang Yahudi harus kembali
ke Promised Land (tanah yang dijanjikan). Perbedaan pandangan basis politik
inilah yang pada awalnya merupakan sumber konflik yang akan berlanjut apabila
negara bersatu didirikan.
4. Agenda negara tunggal tidak memiliki basis hukum internasional. Wilayah-
wilayah okupasi Israel yang dikemudian dalam negara baru ini akan berdiri tidak
berlandaskan pada hukum internasional karena merupakan hasil okupasi yang
jelas-jelas ditentang oleh Resolusi DK PBB No. 242 tahun 1967.
5. Negara tunggal akan merugikan kepentingan nasional Palestina. Walaupun
dengan penyatuan kedua otoritas ini akal mendatangkan persamaan hak diantara
keduanya, mendapatkan nasionalisme Palestina, dan kemenangan atas wilayah-
wilayah yang terampas pada tahun 1948, namun dalam penggabungan ini
kepentingan nasional Palestina akan tereliminasi dengan masuknya agenda-
agenda Israel kedalam negara persatuan dan eliminasi nasionalitas Palestina.
6. Agenda negara tunggal tidak memberikan keuntungan terhadap bangsa Yahudi-
Israel. Agenda penggabungan sejak dari awal esensinya adalah mengkritik
kebijakan-kebijakan Israel, mengkritik negara-negara Arab yang mendukung
pemisahan diantara keduanya, dan dukungan penuh terhadap perjuangan
Palestina, mendatangkan permasalahan bagi agenda penyatuan ini yang
menanyakan apa untungnya terhadap pihak Yahudi-Israel.
7. Negara tunggal merupakan sebuah okupasi. Basis perjuangan Palestina sejak awal
adalah menghentikan okupasi yang dilakukan oleh Israel dan bukan untuk
11
melanjutnya dalam bentuk apapun. Dengan penggabungan ini, wilayah Palestina
berada dalam kontrol yang sama, yaitu oleh Israel juga, bukan oleh otoritas resmi
Palestina.
8. Alternatif yang sebenarnya adalah bukan dengan penggabungan atau pemisahan
negara, namun oleh konflik atau damai. Pilihan yang sebetulnya adalah bukan
dengan penggabungan atau pemisahan kedua belah pihak namun adalah
penghentikan okupasi atau dilanjutkannya konflik. Palestina masih hidup dibawah
bayang-bayang dan okupasi Israel sehingga penggabungan kedua negara hanya
akan terlaksana kalau okupasi dihentikan dan dalam jangka waktu yang masih
sangat lama.
9. Konflik semakin tidak terkendali dan mengarah pada konflik beragama.
Banyaknya konflik yang mengarah pada konflik agama tidak memungkinkan
keduanya untuk melakukan penggabungan, seperti penggalian yang dilakukan
oleh Israel dibawah Masjidil Aqsa dan penggunakan istilah-istilah Islam oleh
pejuang Palestina sebagai perlambang perjuangan.14
Dengan melihat komponen-komponen masalah tersebut bisa dibilang bahwa
penyelesaian konflik Israel dengan Palestina dengan menggunakan mekanisme satu
negara mustahil untuk dilaksanakan karena kompleksnya permasalahan yang terjadi
diantara keduanya yang melibatkan beberapa faktor yang sensitif seperti latar belakang
sejarah, etnis, dan agama. Ide penyatuan kedua negara mungkin akan bisa terlaksana
dikemudian hari nanti, menunggu kondisi yang kondusif dan adanya inisiatif dari kedua
pemimpin Israel dan Palestina.
BAB III
KESIMPULAN
14 Ibish, Hussein. Op. Cit., (Washington DC: ATFP, 2006), hal. 73-99.
12
Pemisahan negara antara Israel dan Palestina merupakan wujud dari persetujuan
yang dilakukan oleh Pemerintah Israel dan otoritas Palestina di bawah PLO yang diketuai
oleh Yasser Arafat pada saat ini. Dimana keduanya memegang kontrol wilayah,
menjalankan administrasinya, dan mengurus kehidupan berpolitik dan berbangsa masing-
masing pihak. Namun yang terjadi adalah pengambilan wilayahnatau okupasi yang
dilakukan oleh Israel makin menjadi-jadi yang menyebabkan semakin berkurangnya
wilayah Palestina dan bertambahnya wilayah Israel yang semakin diperparah oleh
pembangunan pemukiman Yahudi-Israel di wilayah Tepi Barat dan Gaza.
Dengan semakin meningkatnya eskalasi konflik diantara keduanya yang tak
kunjung reda, menyebabkan banyaknya agenda atau proposal yang mengajukan kedua
otoritas ini untuk menggabungkan kedua negaranya menjadi satu negara dibawah satu
atap. Penggabungan ini sebetulnya sudah datang dari jauh-jauh hari sebelumnya yaitu
diawal tahun 1920-an, sewaktu negara Israel belum merdeka dan masih berupa
sekumpulan imigran-imigran Yahudi di Palestina, dan pada saat 1970-an adanya ide ini
kembali oleh para Yahudi non-Zionis kiri, dan baru pada saat 1970-an PLO menghendaki
adanya negara satu yaitu Palestina, dan pada perkembangannya seiring dengan
banyaknya kritikan terhadap kebijakan Israel atas Palestina yang mendatangkan simpati
dari dunia internasional menghadirkan ide untuk penggabungan negara seperti yang
dilontarkan oleh Muammar Qaddafi lewat idenya yaitu Isratina.
Ide penggabungan negara dalam kajian ilmiah kerap kali disebut dengan One-
State Solution atau Isratina (Isratine) atau Palisra. Ketiga istilah ini pada dasarnya adalah
sama yaitu menginginkan penggabungan Israel dan Palestina sebagai bentuk
penyelesaian konflik yang terjadi diantara keduanya dengan adanya persamaan hak
diantara warganegaranya, kepemilikan bersama wilayah Palestina dan Israel,
penghentikan praktek diskriminasi, pengembalian pengungsi Palestina, hidup damai
secara bersama, dan pembentukan negara demokratis yang baru. Perbedaan ketiganya
hanya pandangan filosofi tentang kehidupan bernegara dan berbangsanya saja tergantung
dari siapa yang melontarkan ide tersebut.
Konflik Israel-Palestina memasuki pada tahapan konflik krisis dikarenakan
banyak peperangan yang telah terjadi disini dan sampai sekarang memang masih terjadi
konflik yang berkepanjangan.
13
Jika dilihat ide penggabungan ini terdapat aspek negatifnya seperti tidak tidak
memungkinkan untuk mendapatkan persamaan politik ditingkat regional dan
internasional, tidak akan menghentikan okupasi Israel dan pembangunan pemukiman,
tidak memiliki basis politik yang signifikan, tidak memiliki basis hukum internasional,
merugikan kepentingan nasional Palestina, tidak memberikan keuntungan terhadap
bangsa Yahudi-Israel, merupakan sebuah okupasi, titik berat bukan pada penggabungan
atau pemisahan negara namun antara konflik dan damai, mengarah pada konflik
beragama. Sehingga penyelesaian lewat mekanisme satu negara sangat sulit untuk
direalisasikan. Tetapi dapat terwujud apabila koordinasi dari kedua Negara dan
manajemen resolusi konflik yang baik dari semua pihak yang terkait dan berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :
14
Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Domensi Konflik. Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2008.
Eiland, Giora. There are Viable Alternatives to the Two-State Paradigm. Bar-Ilan
University Bulletin, 2010.
Erdenir, Burak. The Idea of a Bi-National State in the Israel-Palestinian Conflict .
Turkish Policy Quarterly, 2009.
Ibish, Hussein. What’s Wrong with the One-State Agenda. Washington DC : ATFP, 2006
Jeong, Ho-Won. Understanding Conflict and Conflict Analysis. London : SAGE
Publisher Ltd., 2008.
Kalideen, Savera dan Haidar Eid. A One State Solution for the Palestine-Israel conflict:
an Interview with Ali Abunimah. Nebula, 2008.
Wallenstein, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global
System. London : SAGE Publisher Ltd., 2002.
Website :
www.esraten.com
www.hopeways.org
www.israelnationalnews.com
www.nizarhabash.com
www.onestate.net
15