Upload
allen-salman
View
37
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mikrobiologi
Citation preview
MAKALAH
DEMAM BERDARAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi dengan dosen pengampu
Ns. Roymond H. Simamora, M.Kep.
disusun oleh:
Kelompok 1
1. Yunus Nur Zakaria 072310101033
2. Ahdya Islaha 082310101055
3. Riska O 082310101049
4. Moh. Salman 082310101071
5. Dwi indah 082310101066
6. Riza firman 092310101027
7. Velina Silviyani 092310101044
8. Risky Rahmawan 092310101056
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
BAB 1. KONSEP PENYAKIT
1.1 Pengertian DHF
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa
nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat
menyebar secara efidemik. (Sir, Patrick manson, 2001).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak
dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang
disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan
masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina)
(Seoparman, 1990).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh
penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue
haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita
melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau
tanpa ruam.
1.2 Etiologi
1. Virus dengue sejenis arbovirus.
2. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae
Ciri-ciri virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap
inaktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.
1.3 Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan
kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-
antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi
ini dapat melepaskan histamine yang merupakan mediator kuat sebagai faktor
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma
melalui endotel dinding itu. Akibatnya terjadinya trobositopenia, menurunnya
fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen)
merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan
saluran gastrointestinal pada DHF. Selain itu nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah
sehingga dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak
diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, asidosis metaboik dan kematian.
1.4 Manifestasi klinis
1. Demam tinggi selama 5 – 7 hari
2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echmosis,
hematoma.
4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
6. Sakit kepala
7. Pembengkakan sekitar mata.
8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan
lemah.
1.5 Penatalaksanaan
1. Tirah baring
2. Berikan kompers dingin
3. Berikan cairan oralit
4. Berikan makanan lunak
5. Monitor tanda-tanda vital
6. Monitor intake dan output cairan
7. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
BAB 2. GAMBARAN VEKTOR PENYAKIT
2.1. Gambaran Aedes Aegypti
2.6.1 Klasifikasi Aedes Aegypti
Kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi hewan, yaitu (Soegijanto,
2006):
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L
2.6.2 Morfologi Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran kecil bila dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk lain, berwarna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan, kaki dan sayap. Pada bagian toraks bagian belakang terdapat garis-
garis putih keperak-perakan. Pada bagian toraks ini terdapat sepasang kaki depan,
sepasang kaki tengah, dan sepasang kaki belakang (Hasan, 2006). Sisik-sisik pada
tubuh nyamuk umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan
identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua (Soegijanto, 2006).
Dalam hal ukuran, nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan
terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat
diamati dengan mata telanjang (Wikipedia, 2009). Morfologi nyamuk Ae. aegypti
(Soegijanto, 2006).
a. Telur
Telur nyamuk Ae. Aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, warna
hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung,
dan diletakkan satu per satu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding
bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan
permukaan air. Dilaporkan bahwa dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat
di dinding TPA, sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.
b. Larva
Larva nyamuk Ae. Aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-
bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan
perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang
terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I,
tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada
dada (thorax) belum jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam.
Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan
corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada
(thorax), dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa
duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Perut tersusun atas 8
ruas. Larva Ae. Aegypti ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat
fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus
dengan bidang permukaan air.
c. Pupa
Pupa nyamuk Ae. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-
dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada
terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat
pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh terdapat berjumbai
panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah
bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan
larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.
d. Dewasa
Nyamuk Ae. aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada,
dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang
berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan
termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan
bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena
itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina
mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.
2.6.3 Siklus hidup Aedes Aegypti
Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami
metamorphosis sempurna dengan bentuk siklus hidup berupa telur, larva
(beberapa instar), pupa, dan dewasa (Sembel, 2009). Selama masa bertelur, seekor
nyamuk betina mampu meletakkan 100-400 butir telur. Biasanya, telur-telur
tersebut diletakkan di bagian yang berdekatan dengan permukaan air, misalnya di
bak yang airnya jernih dan tidak berhubungan langsung dengan tanah (Kardinan,
2009). Telur nyamuk Ae. aegypti di dalam air dengan suhu 20-400C akan menetas
menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
larva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air, dan
kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Pada kondisi
optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa
menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan
perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih
7-14 hari (Soegijanto, 2006).
2.6.4 Lingkungan hidup Aedes Aegypti
Nyamuk Ae. aegypti bersifat urban, hidup di perkotaan dan lebih sering hidup
di dalam dan di sekitar rumah (domestik) dan sangat erat hubungannya dengan
manusia. Tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti yaitu tempat di mana nyamuk
Aedes meletakkan telurnya terdapat di dalam rumah (indoor) maupun di luar
rumah (outdoor). Tempat perindukan yang ada di dalam rumah yang paling utama
adalah tempat-tempat penampungan air: bak air mandi, bak air WC, tendon air
minum, tempayan, gentong tanah liat, gentong plastik, ember, drum, vas tanaman
hias, perangkap semut, dan lain-lain. Sedangkan tempat perindukan yang ada di
luar rumah (halaman): drum, kaleng bekas, botol bekas, ban bekas, pot bekas, pot
tanaman hias yang terisi oleh air hujan, tendon air minum, dan lain-lain
(Soegijanto, 2006). Ae. aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang
hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk
betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan
protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak
membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun
tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam
atau merah (Wikipedia, 2009). Nyamuk betina sangat sensitif terhadap gangguan
sehingga memiliki kebiasaan menggigit berulang-ulang. Kebiasaan ini sangat
memungkinkan penyebaran virus demam berdarah ke beberapa orang sekaligus
(Kardinan, 2009). Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari,
dengan 2 puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 (Depkes,
2005). Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap, dan
tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar
mandi, kamar kecil, maupun di dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar
rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan,
permukaan istirahat yang mereka suka adalah di bawah furnitur, benda yang
tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding (WHO, 2005).
Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa
faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah, tetapi tampaknya terbatas
sampai jarak 100 meter dan lokasi kemunculan. Akan tetapi, penelitian terbaru di
Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk ini dapat menyebar sampai lebih dari
400 meter terutama untuk mencari tempat bertelur. Transportasi aktif dapat
berlangsung melalui telur dan larva yang ada dalam penampungan (WHO, 2005).
a. Suhu
Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Di luar
kisaran suhu tersebut, serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pada
umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum
250C, dan suhu maksimum 450C (Jumar, 2000). Menurut Yotopranoto, et al.
dalam Yudhastuti (2005), dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 250 – 270C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti
sama sekali bila suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C.
b. Kelembapan
Kelembaban yang dimaksudkan adalah kelembaban tanah, udara, dan tempat
hidup serangga dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi,
kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai, serangga
biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrem (Jumar, 2000). Menurut Mardihusodo
dalam Yudhastuti (2005), disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar
81,5-89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan
ketahanan hidup embrio nyamuk.
2.6.5 Nyamuk Ae. Aegypti Sebagai Vektor Penyakit
Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau Arthropoda
(Soemirat, 2007). Nyamuk merupakan anggota ordo Diptera yang berbentuk
langsing, baik tubuhnya, sayap maupun proboscisnya. Ciri-ciri khas ordo Diptera,
yaitu (Soedarto, 1992):
a. Kepala, toraks, dan abdomen berbatas jelas
b. Mempunyai sepasang antenna
c. Sepasang sayap selaput melekat pada segmen toraks yang kedua; pasangan
sayap lainnya berubah bentuk menjadi alat keseimbangan
d. Mulut berfungsi untuk mengisap
e. Abdomen terdiri dari 10 segmen
Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit-penyakit
arbovirus (demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis, dan lain-
lain), serta penyakit-penyakit nematoda (filariasis), riketsia, dan protozoa
(malaria). Di seluruh dunia terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk meskipun
sebagian besar dari spesies-spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan penyakit.
Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vektor utama, biasanya adalah Aedes spp.,
Culex spp., Anopheles spp., dan Mansonia spp (Sembel, 2009). Aedes aegypti
adalah vektor terpenting bagi virus demam kuning, dengue, dan chikungunya.
Nyamuk ini terdistribusi antara 400 Lintang Utara dan 400 Lintang Selatan., tapi
sangat rentan terhadap temperatur yang ekstrem (Harwood, 1979).
2.2. Gambaran Virus Dengue
2.2.1 Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthtropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe
virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) secara antigenik sangat mirip
satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap
setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan
dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
2.2.2 Vektor
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang
kurang berperan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis dan subtropis
dengan suhu 28-32OC dan kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di
ketinggian 1000 m. Vektor utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter,
antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan
14.00-16.00), jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina
yang terinfeksi.
2.2.3 Cara Penularan
Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui
gigitan. Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya
seperti makrofag, monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah
putih dan jaringan limfatik. Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah. Di
tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum
menimbulkan penyakit. Nyamuk kedua akan menghisap virus yang ada di darah
manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ lain yang selanjutnya akan
menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi dalam kelenjar ludah
nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali kepada manusia lainnya.
Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk
dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
emnularkan virus selama hidupnya (infektif).
2.2.4 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima
hari (vijfdaagse koorts) kadang juga disebut sebagai demam sendi (knokkel
koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam 5 hari
disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan
kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di
kota-kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahuntahun terakhir ini,
penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan.
Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur
yang paling sering terkena ialah 5 – 14 tahun walaupun saat ini makin banyak
kelompok umur lebih tua menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap
tinggi rata-rata 10-25/100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun
bermakna < 2%
2.2.5 Patogenesis
Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai penjamu terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein.
Beberapa faktor resiko yang dilaporkan pada infeksi virus dengue antara lain
serotipe virus, antibodi dengue yang telah ada oleh karena infeksi sebelumnya
atau antibodi maternal pada bayi, genetic penjamu, usia penjamu, resiko tinggi
pada infeksi sekunder, dan resiko tinggi bila tinggal di tempat dengan 2 atau lebih
serotipe yang bersirkulasi tinggi secara simultan.
Ada beberapa patogenesis yang dianut pada infeksi virus dengue yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection), teori virulensi,
dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/berat. Antibodi heterolog yang ada
tidak akan menetralisasi virus dalam tubuh sehingga virus akan bebas
berkembangbiak dalam sel makrofag. Hipotesis antibody dependent enhancement
(ADE) adalah suatu proses dimana antibodi nonnetralisasi yang terbentuk pada
infeksi primer akan membentuk kompleks antigen-antibodi dengan antigen pada
infeksi kedua yang serotipenya heterolog. Kompleks antigen-antibodi ini akan
meningkatkan ambilan virus yang lebih banyak lagi yang kemudian akan
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel monosit. Teori virulensi menurut
Russel, 1990, mengatakan bahwa DBD berat terjadi pada infeksi primer dan bayi
usia < 1 tahun, serotipe DEN-3 akan menimbulkan manifestasi klinis yang berat
dan fatal, dan serotipe DEN-2 dapat menyebabkan syok. Hal-hal diatas
menyimpulkan bahwa virulensi virus turut berperan dalam menimbulkan
manifestasi klinis yang berat.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder yang
dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekuder oleh tipe
virus dengue yang beralinan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer antibody IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat etrdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya
akn mengakibatkan aktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular.
Perembesan plasma ini terbeukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan
asidosis dan anoksia yang dapat berakhir dengan kematian.
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi komplemen dapat juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine difosfat) sehingga trombosit melekat
satu sama lain. Adanya trombus ini akan dihancurkan oleh RES
(retikuloendotelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit
juga menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulasi intravskular deseminata yang ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan factor pembekuan.
Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfunsgi baik. Di sisi lain
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan massif pada DBD disebabkan oleh
trombositopenia, penurunan factor pembekuan (akibat koagulasi intravascular
deseminata), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Kasus
An. A(7 th) datang dengan DHF, dia mengeluh mual, tidak nafsu makan. Dia
hanya mnghabiskan ¾ porsi dar makanannya. TTV: suhu 36.7 0C, TD 100/70
mmHg, nadi 110 x/menit, RR 20 x/menit, akral hangat dan An. A tampak cemas
dan tidak terbiasa di ruma sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan Hb 12,4 g/dl, Ht
31%, leukosit 2,2 ribu/ul, trombosit 56 ribu/ul, eritrosit 4,47 juta/ul, anti dengue Ig
G positiv dan anti dengue Ig M positiv. Trombosit An. A terus menurun
3.2. Pengkajian
a. Data Objektif:
1) An. A menghabiskan ¾ porsi makanannya
2) TTV: suhu 36.7 0C, TD 100/70 mmHg, nadi 110 x/menit, RR 20
x/menit, akral hangat dan An. A tidak gelisah.
3) Hasil pemeriksaan lab: Hb 12,4 g/dl, Ht 31%, leukosit 2,2 ribu/ul,
trombosit 56 ribu/ul, eritrosit 4,47 juta/ul, anti dengue Ig G positiv dan
anti dengue Ig M positiv. Trombosit An. A terus menurun
4) An. A tampak cemas dan tidak terbiasa di ruma sakit
b. Data Subyektif: An. A mengeluh mual, tidak nafsu makan
3.3. Diagnosa
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler dan terjadi perbesaran plasma dari ruang
intravaskuler ke ekstravaskuler
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake inadekuat
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
3.4. Planning
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler dan terjadi perbesaran plasma dari ruang
intravaskuler ke ekstravaskuler
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi
Planning :
1) Lakukan tirah baring
2) Berikan Kompres hangat
3) Berikan cairan (minum)
4) Berikan pasien selimut hangat
5) Berikan range of motion pada pasien
6) Lakukan pemasangan kateter urin pada pasien
7) Monitoring intake output cairan
8) Berikan pengetahuan pada pasien dan keluarga tentang kebutuhan
cairan
b. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake inadekuat
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan
makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.
1) Lakukan tirah baring
2) Lakukan inspeksi mulut dan lidah adanya luka
3) Berikan makanan lunak namun sering
4) Beriakn cairan (minum) sesuai kebutuhan
5) Monitoring asupan nutrisi
6) Lakukan pembersihan mulut sebelum dan sesudah makan
7) Berikan pengetahuan tentang manfaat nutrisi bagi pasien
8) Monitoring kenaikan berat badan pasien
c. Resiko perdarahan berhubungan dengan trombositopenia
Tujuan:
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut. Jumlah trombosit
meningkat.
1. Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
2. Kaji adanya perdarahan
3. Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan
lebih lanjut.
4. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
5. observasi tanda-tanda vital
6. antisipasi terjadinya perlukaan/ perdarahan.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi, pemberian
cairan intra vena.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI
Jakarta
Anonim, (tanpa tahun). Demam Berdarah [serial online]
http://id.wikipedia.org/wiki/Demam_berdarah [diakses tanggal 3 April
2013]
Budi Santosa, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006, Prima
Medika
Notoatajmodjo, S. (1993). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta : Andi Offset.
Soegijanto, S. (2004). Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga
University Press.
Suriadi & Yuliani, Rita. 2001. Buku Pegangan Praktek Klinik : Asuhan
Keperawatan pada Anak.
Suroso, T. (2003). Strategi Baru Penanggulangan DBD di Indonesia. Jakarta :
Depkes RI
WHO. (2000). Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah
Dengue. Terjemahan dari WHO Regional Publication SEARO No.29 :
Prevention Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Jakarta :
Depkes RI