Upload
aiyu-amely
View
1.360
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dengan segala hal yang ada di sekitarnya merupakan proses
berkelanjutan yang belum pernah selesai. Proses berkelanjutan ini mengandung
berbagai persoalan pelik tersendiri yang hingga saat ini masih tetap aktual
untuk dibicarakan. Teka-teki besar, yaitu dari mana sesungguhnya manusia itu
berasal, sedang berada dalam fase kehidupan yang bagaimana saat ini, hingga
kemudian ke mana manusia akan menuju, belum bisa terjawab seutuhnya dan
masih menyisakan berbagai pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya.
Persoalan yang muncul tentang manusia—tentu manusia sendiri yang
memunculkannya—mulai dari persoalan yang berkaitan dengan struktur yang
menyusun eksistensinya, makna eksistensinya, kebebasan dan keterikatannya
dalam mewujudkan eksistensinya di lingkungan sosialnya, hingga pada
persoalan seputar kematian merupakan tabir misteri yang terus diupayakan
penyingkapannya. Manusia bukanlah “probleme” yang akan habis dipecahkan,
melainkan “ mystere” yang tak mungkin sifat dan cirinya dapat disebutkan
secara tuntas. Demikian yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel ketika
mengemukakan pandangannya tentang manusia.
Kepercayaan manusia terhadap kematian merupakan salah satu
penggerak manusia beragama. Dua tokoh psikologi Freud dan Jung
menyatakan bahwa ada hubungan erat antara kematian dan perilaku religius.
Kematian yang tak terelakkan itu menginsafkan manusia dengan paling tajam
akan ketidakberdayaan. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia
bertindak religious (Dister, 1982: 105). Bahkan Durant menegaskan bahwa
maut adalah asal usul semua agama. “Boleh jadi kalau tak ada maut, Tuhan
tidak akan wujud dalam benak kita.” (Shihab dalam Hidayat, 2006: viii).
Masalah kematian sangat menggusarkan manusia. Mitos, filsafat juga ilmu
pengetahuan tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Hanya
agama yang dapat berperan dalam hal ini.
1
Kematian merupakan sesuatu yang penuh misteri sehingga banyak
tinjauan tentang kematian itu dari berbagai segi. Ada yang meninjau dari segi
mistik, segi agama (religius). Tinjauan secara mistik dikaitkan dengan
masalah-masalah takhayul, sedangkan tinjauan dari segi agama ada yang
mengaitkan dengan masalah gaib. Lain pula tinjauan dari sisi ilmiah, kematian
dijelaskan dengan penalaran ilmiah berdasarkan pengalaman manusia.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa salah satu
misteri yang melingkupi manusia adalah persoalan tentang kematian.
Perbincangan yang membahas seputar kematian telah banyak dilakukan,
namun belum juga mampu memuaskan manusia untuk menemukan jawaban
atas berbagai persoalan yang diajukan seputar kematian itu. Berdasar atas latar
belakang tersebut, maka penulis berusaha menguak sedikit tabir misteri
kematian yang melingkupi hidup manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka persoalan yang hendak dibahas
dalam makalah ini adalah bagaimana hakekat kematian dan kematian dalam
perspektif berbagai agama.
.
2
BAB II
MANUSIA DAN KEMATIAN
A. Hakekat Kematian
1. Pengertian Mati dan Kematian
Kata mati berarti tidak ada, gersang, tandus, kehilangan akal dan
hati nurani, kosong, berhenti, padam, buruk, lepasnya ruh dan jasad.
Pengertian mati yang sering di jumpai dalam istilah sehari-hari adalah:
a. Kemusnahan dan kehilangan total roh dan jasad.
b. Terputusnya hubungan antara roh dan badan.
c. Terhentinya budi daya manusia secara total.
Menurut Speece dan Brant (1984) menyebut kematian berlaku
kepada 4 komponen:
a. Perhentian dalam kehidupan adalah segala proses kehidupan manusia
seperti pergerakan, sensasi dan pemikiran.
b. Inrrevesity adalah muktamad dan tidak boleh diobati sesuatu keadaan
yang mana disebabkan proses dalam atau biologikal.
c. Kehilangan status adalah merupakan dari suatu keadaan kehidupan
yang biasa dilalui, lalu hilang hilang semua ciri-ciri yang mewakili
kehidupan lalunya.
d. Kematian somatik adalah matinya semua sel dalam badan.
Dalam bahasa Yunani ‘kematian’ disebut thanatos. Thanatos berarti
bentuk kematian atau keadaan mati. Tetapi kata ini juga dipakai untuk
mengungkapkan hal berbahaya yang mematikan, bagaimana kematian,
ancaman kematian. Thanatos berarti membuat seseorang mati, membunuh,
dan mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian
3
adalah jangka waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak
kelihatan.
Definisi mati menurut Tanatologi. Tanatologi berasal dari kata
thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang kematian dan perubahan yang terjadi
setelah kematian serta faktor yang memengaruhi perubahan tersebut.
Tanatologi adalah bagian dari Ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
tentang hal-hal yang ada hubungannya denga kematian dan perubahan yang
terjadi setelah seseorang mati dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah berikut:
1) Mati somatik
Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem
pernapasan secara menetap (ireversibel). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak
terdengar, tidak ada gerakan pernapasan dan suara pernapasan tidak
terdengar pada auskultasi.
2) Mati suri
Mati suri (near-death experience (NDE), suspend animation,
apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan
yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana. Dengan alat
kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem
tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus
keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati suri sendiri dapat didefinisikan sebagai ingatan yang
dilaporkan dari seluruh kesan yang didapatkan seseorang dalam kondisi
sadar khusus, termasuk sejumlah unsur khususnya seperti keluar dari
jasad, perasaan damai, melihat lorong, melihat cahaya, bertemu
keluarga yang telah wafat atau sebuah peninjauan ulang pengalaman
4
semasa hidup. Kondisi ini terjadi pada saat-saat seseorang menjelang
kondisi mati.
Banyak dilaporkan menjadi penyebab mati suri, seperti
kemacetan jantung (mati klinis), shock pasca pendarahan besar, cedera
otak traumatik atau haemorrhage intra cerebral (pendarahan di dalam
otak), nyaris tenggelam (asphyxia), namun juga dalam penyakit serius
yang tidak seketika mengancam jiwa. Pengalaman yang serupa dengan
mati suri dapat juga terjadi saat fase terminal suatu penyakit yang
disebut visi kematian. Pengalaman serupa seperti pengalaman takut
mati juga dilaporkan setelah situasi dimana kematian sudah pasti akan
terjadi seperti saat mengalami kecelakaan lalu lintas atau pendakian
gunung.
3) Mati seluler (mati molekuler)
Yaitu kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul
beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-
masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian
seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengertian ini
penting dalam transplantasi organ.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa susunan saraf
pusat mengalami mati seluler dalam empat menit, otot masih dapat
dirangsang (listrik) sampai kira-kira dua jam paska mati dan mengalami
mati seluler setelah empat jam, dilatasi pupil masih terjadi pada
pemberian adrenalin 0,1 persen atau penyuntikan sulfas atropin 1
persen kedalam kamera okuli anterior, pemberian pilokarpin 1 persen
atau fisostigmin 0,5 persen akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam
paska mati.
Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam paska
mati dengan cara menyuntikkan subkutan pilokarpin 2 persen atau asetil
kolin 20 persen, spermatozoa masih dapat bertahan hidup beberapa hari
5
dalam epididimis, kornea masih dapat ditransplantasikan dan darah
masih dapat dipakai untuk transfusi sampai enam jam pasca-mati.
4) Mati serebral
Yaitu kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversibel, kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu
sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan
alat.
5) Mati otak (batang otak)
Yaitu bila terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial
yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak), maka dapat dikatakan
seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi,
sehingga alat bantu dapat dihentikan.
Secara umum kematian dapat dikatakan sebagai lenyapnya proses
biologikal, psikologikal dan pengalaman sosial dalam sebuah budaya
kehidupan. Selain itu, kematian juga boleh dikatakan apabila roh terpisah
dari jasad. Seseorang individu itu boleh diisytiharkan mati apabila
pernafasan dan degupan jantungnya terhenti untuk satu jangka masa tertentu
dan aktivitas otaknya tidak berfungsi lagi.
2. Tanda Kematian dan Perubahan yang Terjadi Pada Tubuh Setelah Kematian
Perubahan pada tubuh mayat adalah dengan melihat tanda kematian
pada tubuh tersebut. Perubahan dapat terjadi dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian, misalnya: kerja jantung dan peredaran darah
terhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan kornea mata hilang, kulit
pucat, dan terjadi relaksasi otot.
Setelah beberapa waktu timbul perubahan pasca mati yang jelas,
sehingga memungkinkan diagnosa kematian menjadi lebih pasti. Tanda-
tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa: lebam
6
mayat/livor mortis(hipostatis/lividitas paska mati), kaku mayat (rigor
mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mummifikasi, dan adiposera.
Beberapa tanda kematian menurut ilmu kedokteran dan para
fuqaha, yaitu :
a. Tanda Kematian Menurut Ilmu Kedokteran
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya
penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh
buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan
indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya. Namun kini
mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini mengatakan
bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya
manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap
hidup. Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghentian
jantung. Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan
kematian seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah
matinya batang otak (brain stem). Batang otak adalah semacam tangkai
pada otak yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada
pertengahan bagian akhir dari otak sebelah bawah, yang berhubungan
dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf
yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang
menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar,
yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan
membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk
melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi
paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum
matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan
berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih
berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-
organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi
7
sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada
otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan
sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti
dan matinya otak. Demikian pendapat para dokter.
b. Tanda Kematian Menurut Para Fuqaha
Adapun para fuqaha, mereka tidak memutuskan terjadinya
kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian
pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan
bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut
terbuka, mata terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup,
pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas
sehingga tidak dapat ditekuk ke atas. Jika muncul keraguan (syak) akan
kematian seseorang, misalnya jika jantungnya berhenti berdetak, atau
pingsan, atau dalam keadaan koma total karena sesuatu sebab, maka
dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan kematiannya.
Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kematian atau
adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi
dugaan kuat ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah
ada keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang
menunjukkan kematian sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan
yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat
dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula
hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang
meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu
adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada
suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu
diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga
harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda
8
kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan,
berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya
batang otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya
kehidupannya secara medis, tidaklah sesuai dengan hukum syara’.
Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh organ tubuh yang vital–
seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi indikator kematian
seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator, adalah bila
seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan hilangnya
seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ
tersebut.
3. Sebab-Sebab Kematian
Kematian adalah satu perkara yang lazim dan realiti kepada
manusia. Setiap manusia akan menghadapinya. Namun corak kematian
manusia adalah dalam kondisi atau situasi yang berbeda-beda. Berlakunya
kematian adalah dengan berbagai sebab- musabab:
a) Kematian penyakit adalah kematian yang disebabkan oleh sesuatu
penyakit seperti kanser, AIDS, sakit jantung, angina ahmar dan lain-
lain.
b) Kematian tak diduga adalah kematian yang boleh terjadi akibat
kemalangan, bencana, mati ketika tidur dan lain-lain.
c) Kematian Perkembangan umur atau usia adalah kematian yang berlaku
perkembangan hidupnya. Dengan lebih jelas adalah kematian yang
bakal dihadapi oleh orang tua.
4. Proses Kematian (Sakaratul Maut)
Proses kematian seseorang beraneka ragam, mulai dari proses mati
dengan tenang sampai pada proses mati dengan terlebih dahulu mengalami
kecelakaan dan sebagainya. Ini semuanya peristiwa lahir. Demikian pula
9
dalam sikap batin, manusia menghadapi kematian bermacam-macam.
Menurut ukuran agama, misalnya, ada yang mati dalam keadaan iman atau
sebaliknya. Kesemuanya mempunyai penilaian atau penghargaan menurut
dimensi agama yang berbeda- beda. Seseorang yang mati syahid (membela
agama) kedudukannya berbeda dengan seseorang yang mati bukan syahid.
Proses kematian manusia tidak dapat diketahui atau digambarkan
dengan jelas karena menyangkut segi fisik dan segi rohani. Dari segi fisik
dapat diketahui secara klinis, yaitu seseorang dikatakan mati apabila
pernapasannya dan denyut jantungnya berhenti. Dari segi rohani ialah
proses roh manusia melepaskan diri dari jasadnya. Proses kematian dari segi
rohani ini sulit digambarkan secara inderawi, tetapi nyata terjadi.
Istilah lain untuk proses kematian adalah sakaratul maut. Sakaratul
maut artinya bingung, ketakutan dan kedahsyatan saat sedang dicabut
rohnya dari badan yang perlahan-lahan bergeser ke paha, sampai ke
kerongkongan, kemudian mata terbelalak ke atas mengikuti lepasnya roh.
5. Fungsi Kematian
Fungsi kematian jawabannya bersumber dari ajaran-ajaran agama.
Ajaran agama tidak memandang semata-mata sebagai kematian fisik, tetapi
berfungsi rohaniah, yaitu untuk memberikan pembalasan kepada manusia
sesuai dengan amal perbuatannya sewaktu ia hidup. Orang yangmengikuti
ajaran agama dengan sebenarnya dan sebaik-baiknya akan dijamin masuk
surga, dan sebaliknya orang yang tidak mengikuti ajaran agama akan
masuk neraka. Kalau demikian, kematian itu dapat merupakan bencana atau
nikmat.
Fungsi kematian adalah untuk menghentikan budi daya, prestasi,
dan sumbangan seluruh potensi kemanusiaannya. Maka kematian itu bukan
akibat kesalahannya atas dosanya kepada orang lain, atau tumbal, melainkan
karena takdir.
10
B. Kematian dalam Perspektif Berbagai Agama
1. Kematian Menurut Pespektif Agama Kristiani
Kematian ialah permulaan dan permulaan sesuatu yang indah jika
menjalani hidup menurut jalan Tuhan. Semua menyadari bahwa ada
kehidupan selepas kematian dan ada balasan.
Kitab Bible sangat jelas mengenai bila masa seseorang akan
menemui takdir muktamadnya. Kitab Injil memberitahu bahwa selepas
masa mati, seseorang diangkat ke syurga atau dihantar ke neraka
berasaskan samada dia percaya kepada Jesus sebagai Penyelamat Individu.
Bagi orang yang percaya kepada Jesus, selepas kematian dia akan
meninggalkan badan fizikal ini dan berada bersama dengan Tuhan Jesus (2
Korintus 5:6-8; Filipi 1:23). Untuk mereka yang tidak percaya, selepas
kematian mereka akan mengalami hukuman abadi di dalam neraka (Lukas
16:22-23).
Wahyu 20:11-15 menguraikan mereka yang berada di neraka
adalah dicampak ke dalam tasik api. Wahyu bab 21-22 menguraikan satu
Syurga Baru dan Bumi Baru. Oleh itu, nampaknya sehingga kebangkitan
terakhir, selepas mati roh manusia akan berada di satu Syurga atau Neraka
sementara. Takdir muktamad seseorang tidak akan diubah tetapi lokasi
takdir akhirnya mungkin bertukar.
Setakat sesuatu ketika selepas mati, mereka yang percaya kepada
Jesus akan dihantar ke Syurga Baru dan Bumi Baru (Wahyu 21:1). Setakat
sesuatu ketika selepas mati,mereka yang tidak percaya kepada Jesus akan
dicampak ke dalam tasik api (Wahyu 20:11-15). Inilah destinasi terakhir
dan abadi untuk semua orang – berasaskan sepenuhnya ke atas samada dia
percaya kepada Jesus untuk penyelamatan dan pengampunan dosa.
2. Kematian Menurut Perspektif Agama Buddha
Definisi kematian dalam Agama Buddha tidak hanya sekadar
ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah atau paru-paru, jantung ataupun otak.
11
Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan ‘gejala’, ‘akibat’
atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri.
Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah
suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi
sebagaimana layaknya secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan
medis, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta)
telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal langsung
padam. Kepadaman kesadaran ajal merupakan ‘The point of no return’ bagi
suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian
ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi
kematian menurut pandangan Agama Buddha. Ada 3 (tiga) jenis kematian
dalam Agama Buddha, yakni:
1. Khanika marana: Kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan
jasmaniah pada tiap-tiap saat akhir (bhanga).
2. Sammuti-marana: Kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan
umum yang dipakai oleh masyarakat dunia.
3. Samuccheda-marana: Kematian mutlak yang merupakan keterputusan
daur penderitaan para Arahanta.
Kematian pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab,
yaitu karena habisnya usia (âyukkhaya), karena habisnya akibat perbuatan
penyebab kelahiran serta perbuatan pendukung (kammakkhaya), karena
habisnya usia serta akibat perbuatan (ubhayakkhaya), karena terputus oleh
kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka). Empat sebab kematian
ini dapat diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena
habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar,
dan karena tertiup angin.
Salah satu alasan mengapa orang-orang cenderung menjadi takut
terhadap kematian ialah mereka tidak tahu apa yang akan mereka alami. Di
dalam tradisi Buddhis Tibet ada keterangan yang jelas dan terperinci
mengenai proses kematian, yang meliputi lapan tahap. Lapan tahap itu
berhubungan dengan pencerai-beraian berbagai faktor secara beransur-
12
angsur, seperti empat elemen: tanah, air, api, dan udara. Jika mereka
melewati lapan tahap itu, akan muncul berbagai tanda internal dan
eksternal. Empat elemen tercerai berai pada empat tahap yang pertama.
Pada tahap pertama, elemen tanah mulai terpisah, dan kelihatan dari tanda
luar iaitu: tubuh seseorang menjadi lebih kurus dan lebih lemah dan secara
internal orang itu melihat berbagai ilusi. Pada tahap kedua,unsur air mulai
terpisah dengan tanda eksternal, tubuh mengering, dan secara internal
orang tersebut melihat asap. Elemen api mulai terpisah pada tahap ketiga,
dengan tanda eksternal, pendengaran dan kemampuan mencerna
mengalami penurunan dan secara internal orang tersebut memiliki suatu
penglihatan terhadap tanda-tanda. Pada tahap keempat, angin atau udara
terpisah, dengan tanda eksternalnya: nafas berhenti, dan secara internal:
orang itu melihat sebuah bara api yang hampir menyala. Ini adalah saat
dimana seseorang dinyatakan mati. Elemen-elemen fisik yang besar telah
tercerai berai secara keseluruhan, nafas telah berhenti, dan sudah tidak ada
lagi gerakan di dalam otak atau sistem sirkulasi.
Bagaimanapun juga, menurut Buddhisme, kematian belum terjadi
karena fikiran atau kesadaran masih ada di dalam jasad fisik. Ada beberapa
tingkat fikiran: kasar, halus, dan sangat halus. Fikiran atau kesadaran kasar
terdiri dari: enam kesedaran Indra kita dan lapan puluh konsepsi instinktif.
Yang pertama terpisah pada empat tahap yang pertama. Yang belakangan
terpisah pada tahap kelima, mengikuti orang yang mendapat penglihatan
tentang warna putih (visi putih). Pada tahap keenam, visi putih hilang dan
visi merah muncul. Pada tahap ketujuh, visi merah lenyap dan visi
kegelapan muncul. Visi-visi putih, merah, dan kegelapan merupakan tahap
kesedaran yang halus. Akhirnya, pada tahap kelapan, visi kegelapan
lenyap dan fikiran yang sangat halus yang berupa cahaya terang menjadi
nyata. Ini adalah tahap fikiran kita yang paling halus dan paling murni atau
kesedaran. Para meditator yang mengalaminya mampu memanfaatkan
cahaya terang dari fikiran ini untuk bermeditasi dan merealisasi kebenaran
mutlak, bahkan mencapai pencerahan. Itulah sebabnya para meditator
13
seperti itu tidak takut menghadapi kematian, bahkan kelihatan berani
menghadapi kematian seolah-olah akan pergi untuk berhibur.
3. Kematian Menurut Perspektif Agama Hindu
Agama Hindu percaya bahawa penjelmaan dan kematian adalah
sebagai pandangan jiwa beralih daripada satu badan ke satu laluan untuk
mencapai Nirwana, yaitu syurga. Kematian adalah satu peristiwa yang
menyedihkan. Manakala sami-sami Hindu menekankan pengebumian
adalah satu penghormatan dan tanda peringatan kepada si mati.
Masyarakat Hindu membakar mayat mereka, percaya bahawa
pembakaran satu mayat menandakan pembebasan semangat dan api adalah
mewakili shiva, yaitu dewa pemusnah. Ahli-ahli keluarga akan berdoa di
sekeliling badan secepat mungkin selepas kematian. Orang akan coba
mengelak daripada menyentuh mayat. Hal ini, karena ia adalah dianggap
sebagai lambang memalukan si mayat tersebut. Mayat biasanya dimandikan
dan dipakaikan dengan pakaian putih, adalah salah satu pakaian tradisional
orang India. Jika si isteri mati sebelum suaminya, dia dipakaikan pakaian
pengantin. Manakala seorang janda akan dipakaikan sari yang berwarna
putih atau berwarna pucat. Badan dihiasi dengan cendana, bunga-bunga dan
kalungan-kalungan bunga. Selepas itu, Vedas atau Bhagavad Gita ataupun
Sivapuranam, yaitu Kitab suci Hindu akan dibaca. Orang yang berkabung
diketuai olah anak sulung lelaki ataupun anak lelaki bungsu, akan
menerangi beberapa umpan api dengan mengelilingi mayat, demi
mendoakan pemergian jiwa. Selepas pembakaran mayat, keluarga akan
dihidangkan dan bersembahyang dalam rumah mereka. Orang yang
berkabung akan mandi dengan sepenuhnya sebelum memasuki rumah
selepas pengebumian. Seorang sami akan melawat dan melakukan upacara
sembayang untuk si mati pada hari ke 16 sebagai tujuan mententeramkan si
mati. Biasanya, satu kalungan dijemur atau bunga-bunga diletakkan pada
gambar si mati adalah menunjukkan tanda penghormatan bagi mengingati
mereka. 'Shradh' adalah upacara sembahayang setahun selepas kematian
orang. Ini diadakan setahun sekali bagi memperingati mereka. Sami juga
14
berpesan kepada ahli keluarga bahwa pemberian makanan kepada
masyarakat miskin adalah satu tanda ingatan kepada si mati.
Mati menurut pandangan Hindu hanyalah berlaku bagi jasad, bukan
untuk Roh. Bagi Roh, jasad tak lebih dari sekedar baju yang jika sudah
usang mesti dilepas/dibuang untuk diganti dengan yang baru sebelum
mendapat “selimut keabadian” di alam Moksa. Baik buruknya kualitas baju
yang diperoleh kemudian bergantung dari daya beli “uang kebajikan” yang
telah ditabungnya. Baju baru si Roh akan disandang pada reinkarnasinya.
Baju yang paling mahal adalah bermerek “Manusia”, merek ini pun ada
bermacam tingkatan, ada yang asli (kualitas utama), yang sedang, rendah
bahkan yang imitasi juga banyak.
Gambaran perjalanan sang Roh antara kematian dan kelahiran
kembali sebagai berikut : Roh berpindah dengan badan astral atau suksma
sarira. Badan astral ini terjadi dan 19 tattwa atau prinsip, yaitu; 5 organ
penggerak, 5 organ pengetahuan, 5 prana, pikiran, kecerdasan dan citta
(bawah sadar) dan ahamkara atau keakuan (ego). Badan halus ini membawa
segala jenis samskara atau kesan, serta wawasan atau kecenderungan-
kecenderungan dan Roh pribadi. Bila buah dan karma- karma baik telah
dihabiskan. Ta menggabungkan dirinya dengan badan fisik yang baru dan
berinkarnai pada tempat di bumi ini. Yang penilakunya sudah baik
mencapai kelahiran baik, dan yang perilakunya jahat ditanik ke dalam
kandungan yang penuh dosa atau kelahiran yang lebih rendah.
Hindu mengenal konsep PurusaPradhana, Brahman-Atman,
Bhuana Agung-Bhuana Alit. Pada peristiwa “kematian”, Atman diharapkan
kembali kepada Brahman, dan jasad (Bhuana Alit) kembali kepada alam
(Ehuana Agung). Untuk proses kembalinya Bhuana alit ke Bhuana Agung,
cara yang terbaik adalah dengan membakar (kremasi). Mengapa kremasi
yang terbaik? Menurut Sri Swami Sivananda, kremasi memberikan manfaat
yang tertinggi bagi Roh. Bila badan tidak dibakar, sang Roh/Jiwa masih
dihubungkan dengan bumi. Roh terkatung-katung mengitari badan yang
sudah mati disebabkan oleh moha atau keterikatan pada badan fisik.
15
Perjalanannya ke alarn surgawi terhalang karenanya. Jika dibakar, getaran-
getaran yang dihasilkan dari penguncaran mantra dan persembahan sesajian
air mampu memberikan hiburan dan menyenangkan Roh yang meninggal.
Upacara sapindikarana membantu jiwa melewati Preta Loka
menuju Pitri Loka. Ia lalu diakui di antara para Pitri atau leluhur. Si anak
mengelilingi jasad ayahnya tiga kali sebelum api dinyalakan pada tumpukan
kayu bakar dan memercikkan air sekali, penguncaran mantra, “Pergilah!
Menyingkir dan berangkat dari sini.” Tulang-tulangnya dikumpulkan pada
hari berikutnya dan dibuang ke dalam sungai. Mereka yang mampu akan
membawanya ke Banares atau Hardwar dan membuangnya ke sungai
Gangga. Menjadi kepercayaan bahwa Roh yang fana, tinggal disampaikan
ke sungai Gangga yang suci maka Roh akan mencapai wilayah yang lebih
tinggi dari kecemerlangan dan sinar spiritual yang akhirnya bebas. Lewat
kremasi unsur-unsur penyusun jasad dikembalikan ke asalnya, unsur air
kembali ke air, api kembali ke api dan seterusnya.
4. Kematian dari Perspektif Agama Islam
Mati ialah terputusnya hubungan roh dengan lahir batin,
perpisahan antara keduanya. Bagi seorang muslim, mati bukanlah akhir
segalanya. Mati lebih merupakan laksana untuk menuju kehidupan
selanjutnya yang kekal dan abadi (akhirat). Pengertian hidup menurut
bahasa Arab adalah kebalikan dari mati (naqiidlul maut). Tanda-tanda
kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan,
gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan makanan. Sedang
pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebalikan dari hidup (naqiidlul
hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan : “Mati adalah kebalikan dari
hidup.” Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-
tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan,
yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya
penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan
kebutuhan akan makanan.
16
Kematian merupakan suatu musibah yang amat hebat. Allah
pulalah yang menamatkannya sebagai ‘musibah’ sebagaimana firman-Nya
dalam Al-Qur’an Al-Karim :
“Lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (QS. Al-Maidah : 106)
Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada
hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat
diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung
dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali
apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai
kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).
Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk
kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak (menahan).
Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah satu
isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan menuju
perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih mulia dan baik
dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah kematian adalah wafat yang
berarti kesempurnaan serta imsak yang berarti menahan (di sisi-Nya).
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia
akan mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang
oleh Allah SWT Sang Pencipta.
Allah SWT berfirman : “Allah memegang jiwa (orang) ketika
matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.
Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan
Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.”(QS. Az
Zumar : 42). Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa
Rasulullah SAW : “Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata
akan mengikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakikat jiwa
dan ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah
pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah
17
SWT selaku pencipta keduanya, termasuk dalam perkara ghaib yang
berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang dapat diamati hanyalah
pengaruh-pengaruh fenomena tersebut dalam tubuh fisik manusia, berupa
tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa
berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa,
akan tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan
terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan.
Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut,
akan diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterangkan dalam
hadits di atas. Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah
SAW : “Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah
penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang
dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA).
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan
berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi
objek penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati
dan telah berhenti kehidupannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian
dan pengetahuan.
Ajaran agama menggambarkan konsepsi adanya pertalian alam
dunia dan akhirat serta menggambarkan prinsip tanggungjawab manusia
selama hidup di dunia. Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad
SAW. sebagai berikut:
“Apabila anak Adam telah mati, terputuslah daripadanya budi-
dayanya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang berguna, atau
anak saleh yang mendo’akan kebaikan bagi kedua orang tuanya.”
Demikian pula difirmankan Allah SWT.:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang
gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya)
mereka itu hidup, tetapikamu tidak menyadarinya.”
Islam memberikan perspektif yang positif tentang kematian.
Kehidupan dan kematian adalah tanda-tenda kebesaran Allah. Kehidupan
18
dan kematian adalah ujian bagi manusia, agar manusia dapat mengambil
pelajaran dari keduanya, dan berbuat baik di atas bumi. Dalam Al-Qur’an
dinyatakan :
“(Dialah Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia
menguji kalian, siapa diantara kalian yang baik amalnya”. ( QS Al-Mulk:
2)
Kematian hanya merupakan salah satu tahap dari perjalanan
manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah. Setelah manusia di
ciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk mulai dari masa konsepsi, Allah
kemudian mematikannya. Namun sesudah itu, manusia akan dibangkitkan
di hari kiamat.
Menurut perspektif Islam, kematian dianggap sebagai peralihan
kehidupan, dari kehidupan dunia menuju kehidupan di alam lain. Menurut
Islam, setelah meninggal dan dikuburkan, manusia akan dihidupkan
kembali. Kematian di alam kubur seperti tidur untuk menghadapi hari
kebangkitan. Mereka yang berpisah karena kematian di dunia, dapat
bertemu kembali dalam kehidupan setelah mati, manusia akan
mempertanggung jawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam
bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia
untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga
merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta
mendapatkan keadilan sejati.
Kehidupan setelah mati merupakan hal yang sulit untuk di
buktikan secara emperik. Mereka telah mengalami kematian tidak dapat
kembali ke dunia untuk memberi tahu apa yang terjadi setelah mati.
Penelitian emperik hanya dapat dilakukan pada orang-orang yang pernah
mengalami mati suri, dan setalah beberapa lama, kemudian bangun
kembali dari mati sementaranya tersebut. Penelitian terhadap mereka
menunjukan adanya kesamaan pola pengalaman mati suri. Hal ini
19
memperlihatkan adanya kemungkinan besar tentang kehidupan setelah
mati.
C. Kematian dan Makna Hidup
Kalau diakui bahwa hidup itu ada artinya, maka kematian sebagai
bagian integral kehidupan pasti juga mempunyai arti. Mengingat kaitan yang
begitu erat antara kematian dan kehidupan, maka setiap pertanyaan mengenai
makna kematian mau tidak mau menyangkut makna kehidupan. Jawab atas
makna kematian bisa ditelusuri dari jawab atas makna hidup. Tetapi kita harus
mulai dari makna hidup dulu. Alasannya sederhana yaitu karena kematian
belum kita alami secara pribadi, sedangkan kehidupan sudah dan sedang
dijalani. Dengan demikian makna hidup lebih mudah dicari.
Pertanyaan mengenai apa itu makna hidup tidak bisa dijawab dengan
menyebutkan satu per satu kegiatan hidup, seperti: lahir, menjadi dewasa,
belajar, bekerja, berkeluarga, menjadi tua, dan mati. Memang orang biasanya
melewati tahap-tahap kehidupan itu dan hal itu sudah dimengerti. Tetapi semua
kegiatan hidup itu justru telah mendorongnya untuk bertanya "Apa itu hidup?",
"Apa tujuan semua itu?" Jadi, makna hidup yang ditanyakan itu terletak jauh di
balik semua pengalaman empiris dari kehidupan. Maka hidup bukan sekedar
soal apa yang dijalani setiap hari, melainkan soal apa yang mendasari semua
pengalaman hidup empiris itu.
Pertanyaan mengenai makna hidup paling tidak muncul dalam dua
masa. Pertama, yaitu pada masa puber seorang remaja. Pada masa itu seorang
remaja mulai berdiri sendiri dan ia sanggup memandang dirinya sebagai orang
lain. Ketika Yosi kecil ditanya "Siapakah kamu?" Ia segera menjawab: "Yosi!"
Tetapi ketika Yosi sudah remaja, setelah ia menjawab "Aku Yosi", ia masih
meneruskan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri "Tetapi siapakah aku ini?"
Demikianlah remaja mengalami krisis identitas. Secara tiba-tiba ia mulai
melihat dirinya secara menyeluruh dari luar. Ia mulai sadar kalau hidupnya
tidak melulu untuk makan, minum, bermain, sekolah, tetapi ada sesuatu yang
lebih agung. Ia mulai bertanya: "Apa makna hidupku?"
20
Kedua, makna hidup mulai dipertanyakan ketika orang sudah sampai
pada titik jenuh dari rutinisme hidup sehari-hari. Pada saat itulah orang tidak
lagi memandang dirinya sebagai seorang karyawan yang harus bangun pagi,
makan, bekerja, merokok, tetapi ia merasa dalam hidupnya mesti ada suatu
tujuan yang mau dituju. Hidupnya secara pasti mengarah ke satu tujuan.
Namun ke mana? Untuk apa ia hidup?
Begitulah kedua momen eksistensiil yang mendorong orang
menanyakan makna hidupnya. Setelah pertanyaan itu muncul, datanglah
pelbagai tawaran jawaban atas makna hidup itu.
D. Paradoks Kematian
Secara teoritis dan filosofis kematian jelas merupakan bagian integral
dari kehidupan, dan untuk itu telah diusahakan makna baginya. Kematian
dengan demikian diterima sebagai sesuatu yang natural. Kendatipun demikian
manusia ternyata masih merasa cemas dan takut terhadap kematian. Kematian,
yang datang dengan tiba-tiba itu, merenggut ketenangan hidup yang sedang
dijalani, perjalanan hidup terputus, seperti tontonan televisi yang
mengasyikkan tiba-tiba terhenti karena listrik padam. Menjengkelkan, tetapi
sekaligus menakutkan.
Maka orang menghayati kehidupan dan kematian dengan berbeda
sekali, walaupun pada dasarnya kematian merupakan bagian dari kehidupan
juga. Tampaknya kehidupan merasa asing dengan kematian. Di sinilah tampak
paradoks antara kehidupan dan kematian. Sebenarnya keduanya tidak
berkontradiksi, tetapi tampak seperti kontradiksi. Alami tetapi juga kelihatan
tidak wajar. Akibat ketidaksesuaian antara pengetahuan teoritis dan
pengalaman aktual tentang kematian itu, maka timbullah kegelisahan
menghadapi kematian yang pasti datang itu.
Manusia yang diperhadapkan dengan kematian merasa tidak
mempunyai pegangan pasti. Nilai-nilai absolut yang menjadi alasan hidupnya
selama ini dirasa kurang mencukupi pada dirinya sendiri. Belum ada
penjelasan yang mampu meredakan rasa cemas ini. Sebagian orang beragama
21
pun tidak luput dari kecemasan eksistensiil ini. Memang kematian sebagai
fakta tetap merupakan fakta, dan itu dialami oleh orang hidup. Hanya iman
yang hidup mampu meneduhkan kecemasan akan kematian itu. Tetapi dalam
konteks filosofis soal iman tidak mendapat tempat, dan oleh karenanya kaum
saleh yang menghadapi kematian tidak dibahas secara khusus. Yang mau
disoroti yaitu manusia pada umumnya merasa bingung dan gelap ketika
diperhadapkan dengan kematian.
E. Kematian dan Kehidupan
Kehidupan yang dijalani manusia pasti berakhir. Titik akhir ini sampai
bila kematian datang. Lebih jelasnya lagi, kematian merupakan batas terakhir
kehidupan. Manusia mati dan itu berarti ia sudah sampai di akhir hidupnya.
Kalau begitu, kematian bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar
kehidupan. Sebaliknya, kematian merupakan bagian integral dari kehidupan
manusia, yang datang paling akhir, namun toh tetap merupakan bagian
kehidupan. Seperti misalnya, perbatasan suatu negara tentu menjadi milik
negara itu. Demikian juga kematian bukan sesuatu yang datang dari luar
kehidupan seperti suatu serangan mendadak. Kehidupan membawa kematian.
Kematian sudah membayang-bayangi kehidupan. Ke mana pun manusia pergi,
sepanjang ia masih hidup, kematian terus menguntitnya. Bahkan kematian itu
mengkondisikan setiap momen hidupnya. Manusia merupakan "ada yang
terarah kepada kematian" demikian kata Heidegger.
Maka menjadi jelaslah bahwa kematian merupakan potensi manusia,
yang wujudnya nyata ketika terjadi peristiwa kecelakaan, pembunuhan, umur
tua, dan segala peristiwa yang menyebabkan terjadinya kematian. Demikianlah
kematian sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan..
Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Seorang
bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang
sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa
terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa
untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
22
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah
ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang
perilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)
Kematian tak lain tak bukan cuma sebuah, atau salah satu proses
dalam kehidupan. Pemisahan substansi-substansi sekaligus pembaruan
substansi-substansi. Pemeliharaan dan perubahan bentuk-bentuk, adalah proses
tak berkesudahan dalam hidup. Dan memang, kematian adalah bentuk
perubahan yang besar dan cepat dari format kehidupan itu. Perubahan yang
memang diperlukan kehidupan demi keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Bahkan dalam “kematian” tubuh itu, sesungguhnya tak ada satu pun yang mati.
Hanya pecah terurainya materi dari sebuah bentuk, yang dibutuhkan sebagai
materi untuk membentuk format kehidupan lainnya.
Dengan cara yang sama, kita pun dapat mengerti, dalam kerangka
hukum alam atau sunnatullah yang seragam, bahwa energi yang ada dalam zat-
zat yang terurai dan berubah tadi, termasuk energi yang kita kenal sebagai jiwa
dan mental, tak ada yang musnah atau menghilang; hanya berpindah tempat
atau berubah bentuk, untuk selalu menyediakan energi dan jiwa, bagi bentuk-
bentuk kehidupan berikutnya..
Sesungguhnya kematian merupakan hakekat yang menakutkan, akan
mendatangi seluruh orang yang hidup. Semuanya tidak kuasa menolaknya,
tidak ada seorangpun di sekitarnya yang mampu menahannya. Maut
merupakan ketetapan Allah SWT., seandainya ada seseorang selamat dari
maut, niscaya manusia yang paling mulia yang akan selamat.
23
1. Kematian Adalah Hal Pasti Terjadi
Kematian merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan.
Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami dan merasakan kematian,
karena mati telah menjadi pasangan bagi hidup. Tetapi kita memang tidak
pernah bisa menentukan sebuah kepastian, kapan kematian itu akan datang.
Kematian datang menghampiri kita bagaikan seorang pencuri, menyelinap
masuk lalu membawa ruh kehidupan kita dengan meninggalkan jasad tak
berdaya (Leahy, 1998 : x). Itulah gambaran yang diberikan oleh Ahmad
Charris Zubair berkenaan dengan ketidakpahaman manusia kapan maut itu
akan menghampirinya.
Kematian, baik dalam situasi normal maupun tidak normal, tidak
pernah gagal untuk menunjukkan taringnya yang bengis dan siap merobek
jaringan kehidupan manusia dengan sewenang-wenang. Kematian benar-
benar merampas segala skala nilai kehidupan yang telah ditata dengan rapi,
serta memporak-porandakan semua rencana hidup yang disusun oleh
manusia menjadi suatu bangunan yang megah dan indah. Manusia selalu
merasa datangnya kematian itu terlalu cepat. Kesempatan untuk
menyelesaikan segala rencana yang ada dirampok oleh kematian yang tidak
kenal kompromi. Belum puas rasanya mengukir kehidupan ini. Belum
sempat rasanya menikmati kehidupan dengan orang-orang yang dicintai.
Kematian segera datang menjemput, tidak pernah sabar menunggu barang
semenit atau sedetik pun.
Kematian sering identik dengan tragedi yang membawa banyak
kesedihan bagi yang ditinggalkan. Tentu saja kesedihan akan terasa semakin
mendalam bila kematian itu menimpa orang-orang terdekat kita, yang kita
cintai dan kita butuhkan. Ketika itu yang terjadi, banyak di antara manusia
yang tidak sanggup menerima proses kematian itu sebagai konsekuensi logis
dari kehidupan. Kematian memunculkan jarak yang tak terukur dan tak
terbatas antara yang masih hidup dengan yang telah mati. Meskipun
demikian, pada akhirnya semua manusia harus dengan rela menerima
datangnya kematian sebagai suatu ketentuan “nasib” yang tak terelakkan.
24
Fenomena kematian bukanlah hal yang asing di tengah eksistensi
manusia. Kendati demikian, hal itu tidak memberikan jawaban apa pun atas
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri manusia ketika kematian itu
disaksikannya. Sehingga meskipun fenomena kematian itu bukan hal yang
asing bagi manusia, namun tetap memunculkan kecemasan dan ketakutan
dalam dirinya. Sidi Gazalba menyatakan bahwa pertanyaan tentang
kematian merupakan pertanyaan yang muncul dari kesangsian, kesangsian
muncul dari ketidakpastian, ketidakpastian menimbulkan kegelisahan dan
pada akhirnya kegelisahan akan membawa manusia kepada kecemasan dan
ketakutan (Gazalba, 1967 : 25).
Achmad Charris Zubair dalam pengantarnya berjudul Refleksi
tentang Kematian pada buku Misteri Kematian Suatu Pendekatan Filosofis
menyatakan banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis,
karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar dia dilahirkan, tetapi
begitu dia lahir, mencintai hidup dan kehidupannya, dia dihadapkan pada
realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Manusia dihadapkan pada
kematiannya, dihadapkan pada batas akhir hidupnya, yang senang atau tidak
senang harus dijalaninya, sebagaimana kelahirannya sendiri (Leahy, 1998 :
ix).
Pembuktian akan adanya hidup setelah mati bukan suatu pekerjaan
yang mudah. Hukum-hukum berpikir rasional tidak akan dapat
memverifikasi bagaimana kondisi alam kehidupan setelah mati, apa yang
terjadi di sana dan sampai kapan itu akan berlangsung. Tetapi hal itu bukan
berarti lantas meniadakan adanya hidup setelah mati. Bila dimensi rasio
tidak mampu untuk memahaminya, sudah sepantasnya membangun
pemahaman akan kematian itu dari dimensi ruhani. Lewat dimensi ruhani
ini, maka pemahaman akan kematian—sebagaimana yang ditulis oleh Arif
Widodo dalam kesimpulan skripsinya berjudul Laku Icip Pati Sebagai
Langkah Metodis untuk Mencapai Derajat Kemulyaan Hidup (1995)—
bukan lagi sebatas kejadian “pasif”, namun sampai kepada pemahaman akan
kematian “aktif”.
25
2. Pentingnya Kesadaran Akan Kematian
Paulo Coelho berkata,”Kesadaran akan kematian akan membuat
kita hidup secara lebih berkualitas.”
Kematian adalah kristalisasi kehidupan. Manusia bisa memilih
bagaimana mati sebagaimana dia memilih bagaimana dia hidup. W. S.
Rendra mati sebagai seorang penyair dan dramawan sebagaimana seumur
hidupnya dia hidup sebagai penyair dan dramawan. Chairil Anwar mati
sebagai seorang binatang jalang sebagaimana dalam hidup singkatnya dia
hidup sebagai seorang binatang jalang. Soren Kierkegaard mati dengan
membawa cintanya kepada Regina Olsen sebagaimana seumur hidup dia
mencintai perempuan itu. Friedrich Nietzsche mati sebagai seorang
pembunuh Tuhan sebagaimana selama hidup warasnya dia
memproklamasikan kematian Tuhan.
Setiap orang bisa merencanakan setiap detail dalam kehidupannya.
Mungkin karena dia jagoan dalam hal perencanaan atau jagoan meramal.
Tetapi orang tidak akan pernah bisa merencanakan dan meramal kapan dia
akan mati dan seperti apa kematian yang harus dilakoninya itu. Semua serba
misteri, sama dengan misteri sesudah mati. Dan kematian, dalam
kepercayaan sebagian orang, adalah awal dari suatu kehidupan. Kehidupan
setelah mati yang diyakini akan damai dan penuh dengan ketenangan.
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian.
Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya
dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka
berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka
akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang
akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-
persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai
sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang
kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman
mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi
26
ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang
kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu
ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup
dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian
orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang
lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu
sedang menunggunya.
Hingga saat ini, kebanyakan kesadaran yang dimiliki manusia
tentang kematian masih berupa ketakutan. Akibatnya, tidak jarang muncul
lontaran yang bernada keberatan bila kematian dijadikan sebagai bahan
kajian. Berpikir tentang kematian atau berdiskusi mengenainya dianggap
sebagai sesuatu yang tidak sehat dan dapat membahayakan keseimbangan
psikologis. Padahal bila kita telusuri On Death and Dying-nya Elisabeth
Kubler-Ross (1998 : 15), dia menyatakan bahwa berpikir tentang kematian
dan mendiskusikannya secara serius justru akan memunculkan
kebijaksanaan kolektif umat manusia baik dari segi psikologis maupun
spiritual. Senada dengan hal itu, filusuf Miguel de Unamuno mengatakan
bahwa kesadaran akan kematian membawa manusia dan individu-individu
menjadi matang secara spiritual.
Kematian bagi manusia sesungguhnya bukan sebagai kehancuran
yang tiada bermakna. Kematian justru berfungsi sebagai mediator bagi suatu
proses transendensi diri manusia itu sendiri. Pengertian dan pemahaman
seputar kematian yang ditanggapi semata-mata sebagai peristiwa yang
menakutkan dan mengancam eksistensi manusia seyogyanya perlu
diluruskan.
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa sesungguhnya ketakutan akan
kematian itu hanya ada pada diri orang yang tidak memahami hakikat
kematian itu, atau tidak tahu ke mana tujuan dirinya setelah mati. Dia juga
mengatakan boleh jadi juga karena orang itu menyangka bila jasmaninya
telah rusak, maka dirinya pun akan hilang pula. Kemungkinan lain, orang
mengira bahwa alam ini akan terus lestari sementara dirinya telah musnah.
27
Padahal diri dan jiwa itu kekal, kemudian kembali kepada Allah. Rasa takut
kepada maut juga menghinggapi orang yang menyangka bahwa kematian itu
menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan, atau pada orang yang merasa
bahwa setelah mati akan menerima siksa, atau pada orang yang merasa
sedih bila berpisah dengan harta dan kesenangan duniawi (Miskawaih, 1994
: 185). Bila diperhatikan penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Miskawaih
tersebut, kecemasan dan ketakutan akan kematian itu muncul sebagai akibat
dari pemahaman yang disandarkan pada pola pikir kaum materialis.
Kebanyakan manusia, alam pikirannya telah didominasi oleh corak berpikir
ini, sehingga segala hal yang terjadi diukur secara materi. Louis Leahy
(1991 : 66) mengutip pendapat Pascal yang menyatakan bahwa karena umat
manusia tidak berhasil mengatasi kematian, kesengsaraan dan
ketidaktahuan, maka mereka memutuskan untuk tidak memikirkan
tentangnya. Mereka menyerah pada tataran fenomena kematian itu saja dan
tidak bersedia untuk berbicara lebih luas lagi mengenainya sekalipun dalam
benak mereka tersisa kecemasan dan ketakutan.
Kematian akan membawa manusia kepada jati dirinya.
Pengetahuan tentang kematian yang disertai dengan sentuhan ruhani,
mengubah image kematian yang penuh dengan kegelapan dan ketersesatan
menjadi suasana yang dirindukan penuh kesyahduan. Karena alam kematian
mengantarkan manusia kepada asal mula kodrat manusia itu sendiri.
Bagi orang-orang tertentu, kematian haruslah dihadapi dengan
suatu persiapan agar bisa memasuki suatu dunia lain dengan damai.
Kematian, bagi mereka, adalah suatu istirahat terakhir dalam damai. Itulah
mungkin di batu nisan orang yang telah mati dituliskan “Rest in Peace”,
disingkat RIP. Bahwa kematian adalah suatu peristirahatan menuju
kedamaian. Damai adalah kelanjutan dan padanan dari mati, karena
kematian akan menuju kedamaian. Dan kedamaian adalah dambaan setiap
orang, yang jika tidak ditemukan di dunia orang hidup, mungkin bisa
ditemukan di “dunia” orang mati.
28
3. Kecemasan dalam Menghadapi Kematian
Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya
yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini
telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya
kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun
demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya
kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang
atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian
merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun
dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang
takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama
maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh,
1993 : 1).
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya
kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian
serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian,
karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan
lansia penting untuk, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis,
dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab
kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk
kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini
merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan
kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak
enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat
menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock
(1990:93) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme
dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan
sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.
29
5. Tuhan, Manusia, dan Kematian
Kematian bisa menghampiri semua orang di segala tempat dan
waktu. Kematian adalah suatu misteri. Mengetahui misteri kematian ini,
tentu akan membuat mudah berpikir tentang hari kematian. Kematian adalah
sebuah perjalanan menuju dunia baru. Dalam pemikiran tentang kehidupan
baru, manusia akan mulai berpikir tentang pribadi yang berkuasa dalam
alam maut, dalam dunia baru, dalam kehidupan setelah kematian. Pribadi itu
adalah Tuhan. Dan saat berpikir tentang Tuhan, kita akan terhanyut untuk
berpikir tentang kelayakan. Tentang perbuatan buruk dan baik, tentang dosa
dan pahala.
Dalam hidup ini semua orang pasti akan mati, entah bagaimana
caranya atau seperti apa matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan
kematian, walaupun arti “merasakan” itu tidak sama dengan yang dipersepsi
oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan
yang pasti dijalani, sama seperti kelahiran. Bedanya adalah yang pertama
menandai akhir dari suatu kehidupan sedangkan yang terakhir menandai
awal dari suatu kehidupan. Kelahiran dan kematian bisa diandaikan seperti
ujung dari seutas tali yang bernama kehidupan, berbeda titik tetapi terentang
sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah kehidupan yang ada dan berada.
Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi
banyak juga yang percaya bahwa ada “kehidupan lain” setelah kematian.
Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan
akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan.
Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu
kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang
dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi
sesudah kematian. Banyak yang mengandaikannya sebagai suatu kondisi
“ketiadaan”, bahwa sebuah kematian adalah awal dari suatu ketiadaan,
bertentangan dengan kelahiran yang dianggap sebagai awal dari suatu
ketiadaan.
30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kematian merupakan suatu misteri yang tidak dapat diketahui dengan
jelas. Dalam hidup semua orang pasti akan mati, entah kapan, bagaimana, dan
dimana. caranya atau seperti apa matinya.
Kematian adalah satu perkara yang lazim dan realiti kepada manusia.
Setiap manusia akan menghadapinya. Namun corak kematian manusia adalah
dalam kondisi atau situasi yang berbeda-beda.
B. Saran
Pembahasan mengenai hakikat kematian memang hal yang sukar
untuk diungkap, karena pada dasarnya hakikat kematian tidak dapat dipahami
dalam dimensi rasio melainkan harus dalam dimensi ruhani. Bahkan, filsafat
sebagai aktivitas rasional-reflektif juga melakukan kajian tentang persoalan ini.
Melalui cabangnya, Anthropology Metaphisycs, bidang ini berusaha menguak
tabir hakikat kematian yang melingkupi hidup manusia. Namun hakikat
kematian juga masih saja tetap menjadi sebuah misteri yang belum secara utuh
terungkap. Sehingga, diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai
hakekat kematian untuk menguak misteri kematian.
31