Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    1/26

    MAKALAH TUTORIAL

    KASUS KE – 3

    RHINITIS

    DISUSUN OLEH :

    TUTORIAL A-2

    NUR KHAIRANI ACHMAD 1310211007

    TIRA KURNIATI 1310211025

    RYANTINO IRDAN 1310211058

    JEANNE d'Arc DYANCHANA 1310211076

    IRMA RIZKI HIDAYATI 1310211103

    IBNU WADUDU PUJANGGA 1310211107

    WIDYA NOVIT AMANDA 1310211110

    SYIFA SILVIYAH 1310211125

    PUTRI HARDYANTI 1310211142

     ANNISA FIRIZQI NAHILA 1310211199

    HESTI HERLINAWATI 1310211203

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” 

    JAKARTA

    TAHUN 2016

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    2/26

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat

    menyelesaikan makalah tutorial kasus mengenai rhinitis guna sebagai bahan

     pembelajaran bagi kami dan untuk bahan penilaian terhadap kami.

    Tak ada gading yang tak retak, begitupun hal yang kami tuangkan dalam

    makalah kami mohon dimaafkan dengan memberikan kritik dan saran yang

    membangun. Terima kasih.

    Penulis

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    3/26

    Rinosinusitis

    1. Definisi

    Rinosinusitis adalah istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan

    sinus paranasal.

    2. Anatomi

    Sinus paranasal adalah pneumonitisasi dari tulang-tulang kepala sehingga membentuk rongga

    udara yang berada di sekitar hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat rongga di setiap sisi

    wajah. rongga ini mulai dari yang terbesar adalah sinus maksilaris, sinus frontal, sinus ethmoid

    dan sinus sphenoid.

    2.1. Sinus Maksila

    Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-

    8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu

    15 ml saat dewasa.

    Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila

    yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,

    dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita

    dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di

    sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum

    etmoid.

    Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

    - Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

     premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi

    molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi

    gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

    - Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

    - Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,

    lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    4/26

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    5/26

    Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal

    adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

    2.3. Sinus Etmoid

    Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap

     paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang

    dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari

    anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di

     bagian posterior.

    Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang

    terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan

    dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).

    Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di

    meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus

    etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,

    sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan

    terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.

    Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,

    yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah

    etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya

    ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan

    sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

    Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding

    lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga

    orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

    2.4. Sinus Sfenoid

    Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid

    dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,

    dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    6/26

     berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat

     berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.

    Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa,

    sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan

    a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan

    fosa serebri posterior di daerah pons.

    2.5. Kompleks Ostio-Meatal

    Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid

    anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari

    infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid

    dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila

    3. Fisiologis

    Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa

     pendapat

    3.1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

    Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udarainspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang

    definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi

    dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

    3.2. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

    Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri

    dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

    3.3. Membantu keseimbangan kepala

    Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat

    sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.

    3.4. Membantu resonansi suara

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    7/26

    Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus

     berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan

     besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

    3.5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

    Misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

    3.6. Membantu produksi mucus

    Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk

    membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari

    meatus medius, tempat yang paling strategis.

    4. Pemeriksaan

    4.1. Inspeksi

    Yang diperhatikan adalah pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak

    mata bawah yag berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukan sinusitis maksila akut.

    Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid

    akut jarang menyebabkan pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses

    4.2. Palpasi

     Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada

    sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu oada bagian medial atap orbita.

    Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.

    4.3. Transiluminasi

    Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa

    sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.

    Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan

    transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di

    dalam sinus maksila.

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    8/26

    Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini

    seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal,

    sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

    4.4. Pemeriksaan Radiologik

    Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan pemeriksaan

    radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan lateral. Posisi Waters terutama

    untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior

    untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.

    Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan

    CT-scan.

    4.5. Sinuskopi

    Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui

    lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa kanina.

    Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan

    granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka

    5. Etiologi dan KlasifikasiTerjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan gusi

    (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat

    terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. 

    Faktor predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan anatomi hidung,

    hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.Rinosinusitis ini sering bermula dari infeksi

    virus pada selesma, yang kemudian karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi

     bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab

    lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan yang lebih jarang lagi fraktur dan tumor.

    Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada rhinosinusitis akut adalah

    Streptococcus pneumonia  (30-50%)  Haemophylus Influenzae  (20-40%) dan  Moraxella

    catarrhalis (4%). M.catarrhalis lebih banyak ditemukan pada anak.

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    9/26

     

    6. Diagnosa

    6.1. Anamnesa

    Terdapat 2 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi

    Atau 1 gejala mayor yang salah satunya adalah purulent atau obstruksi diikuti 2 gejala minor

    6.2. Pemeriksaan

     Nyeri tekan pada sinus yang terkena (maksila, frontal)

    Rhinoskop ditemukan pus

    -  Meatus medius : maksila, etmoid anterior, frontal

    -  Meatus superior : etmoid posterior, sphenoid

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    10/26

     

    7. Patogenesis

    Rhinitis

     udem mukosa

     ostium menyempit

     gangguan drainasePosisi osteum sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sinus maksilaris gangguan drainase

    Infeksi gigi menyebar infeksi sinus maksilaris udem gangguan drainase

    Gangguan drainase infeksi kuman

    8. Terapi

    Antibiotik + dekongestan

    Antibiotik : Penicilin (amoksisilin) bila curiga resisten tambahakan asam klavulanad atau

    sefalosporin generasi 2/3 (cefixime). Berikan selama 10-14 hari

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    11/26

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    12/26

    9. Komplikasi

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    13/26

    1. Definisi rinitis alergi

    Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang disebabkan oleh

    paparan material alergenik yang terhirup yang kemudian memicu serangkaian respon

    imunologik spesifik diperantarai IgE (Bousquet et al , 2008).

    2. Etiologi rinitis alergi

    Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

    perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada

    ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler ., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering

    adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien

    sensitif terhadap beberapa allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda

    tergantung dari klasifikasi. Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya

    berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat

    adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma

    yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker et al., 1994).

    3. Patofisiologi rinitis alergi

    a. Sensitisasi

    Respon imun dalam alergi diawali dengan proses sensitisasi di mana ketika suatu

    allergen terhirup, maka  Antigen Presenting Cells (APC) seperti sel langerhans pada

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    14/26

    epitelium yang melapisi saluran paru-paru dan hidung, akan memproses dan

    mengekpresikan alergen tersebut pada permukaan sel.  Allergen tersebut kemudian

    akan dipresentasikan kepada sel lain yang terlibat dalam respon imun, khususnya sel t-

    limfosit. Melalui beberapa interaksi sel spesifik kemudian sel b-limfosit akan

    bertransformasi menjadi antibody secretory cell , yaitu sel plasma (Schwinghammer in

    DiPiro et al., 2009). Pada respon alergi, sel plasma tersebut memproduksi antibodi IgE

    yang seperti isotip imunoglobulin lainnya, mampu berikatan dengan allergen spesifik

    melalui sisi Fab-nya. Ketika IgE sudah terbentuk dan memasuki sirkulasi, ia akan

    berikatan melalui sisi Fc-nya dengan reseptor afinitas tinggi di sel mast, sementara sisi

    reseptornya yang bersifat spesifik terhadap allergen akan siap untuk berinteraksi

    dengan allergen  pada paparan berikutnya. Sel lain yang telah diketahui mampu

    mengekspresikan reseptor afinitas tinggi kepada IgE antara lain adalah basofil, sel

    langerhans, dan monosit yang teraktivasi. Produksi antibodi IgE yang bersifat allergen-

    spesific inilah yang menimbulkan respon imun yang disebut sensitisasi (World Allergy

    Organization, 2003).

    b. Reaksi alergi fase cepat

    Merupakan reaksi cepat yang terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak

    kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini

    yaitu histamin, triptase, dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2), dan

    bradikinin. Mediator-mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh

    darah dan dilatasi dari anastomosis arteri yang menyebabkan terjadi edema,

    berkumpulnya darah pada karvenous sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    15/26

    tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan

    sel goblet menyebabkan hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

    terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa

    gatal pada hidung dan bersin-bersin (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

    c. Reaksi alergi fase lambat

    Reaksi alergi fase lambat terjadi 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan oleh

    mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel post-kapiler yang

    menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) di mana molekul ini

    menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada dinding endotel. Faktor

    kemotaktik seperti interleukin-5 (IL-5) menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,

    limfosit, neutrofil, dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi

    teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

    Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic  

    Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsivitas

    hidung. Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan

    hidung (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

    4. Klasifikasi rinitis alergi

    Rinitis berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

    a. Rinitis alergi :

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    16/26

    disebabkan oleh adanya allergen yang terhirup oleh hidung.

    b. Rinitis non-alergi :

    disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu. Rinitis non-alergi dibagi lagi menjadi tiga,

    yaitu rinitis vasomotor, rinitis medicamentosa, dan rinitis struktural.

    1) Rinitis vasomotor

    Merupakan tipe rinitis di mana terjadi reaksi hiperresponsivitas pada saluran

    pernapasan bagian atas terhadap faktor pemicu eksternal non-spesifik, seperti

    perubahan suhu dan kelembaban, asap rokok, atau aroma tajam. Simptom yang sering

    muncul pada tipe ini adalah inflamasi nasal (sebagian kecil pasien), hiperreaktivitas

    parasimpatik dan/atau glandular.

    2) Rinitis medicamentosa

    Rinitis medicamentosa adalah obstruksi nasal yang terjadi pada pasien yang

    menggunakan vasokonstriktor intranasal secara kronis. Belum diketahui dengan jelas

    penyebabnya, namun vasodilatasi dan edema intravaskular telah menjadi implikasi

    utamanya. Penanganan rinitis medicamentosa membutuhkan penghentian penggunaan

    nasal dekongestan untuk memulihkan kondisi nasal, lalu diikuti dengan terapi sesuai

    dengan simptom yang timbul. 3) Rinitis stuktural Rinitis tipe ini disebabkan oleh adanya

    kelainan anatomi hidung yang diakibatkan oleh injury (kecelakaan), congenital (kelainan

    bawaan), maupun kelainan tumbuh-kembang. Pasien rinitis tipe ini dapat mengalami

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    17/26

    simptom rinitis kapan saja dalam setahun dan biasanya keparahannya lebih tinggi pada

    salah satu sisi hidung dibanding sisi lainnya (Northern Nevada Allergy Clinic, 2006). c.

    Rinitis alergi berdasarkan waktunya digolongkan menjadi tiga, yaitu:

    1) Seasonal (hay fever)   Terjadi sebagai respon terhadap allergen spesifik seperti

    pollen, rerumputan, dan alang-alang) pada waktu yang dapat terprediksi tiap tahunnya

    (musim semi dan/atau gugur) dan umumnya memicu simptomsimptom akut lebih

    banyak.

    2) Perrenial (interm ittent or p ersisten t)   Dapat terjadi kapanpun sepanjang tahun,

    sebagai respon terhadap allergen non-musiman seperti dust mites, bulu hewan, jamur,

    dan biasanya menimbulkan simptom yang lebih kronis.

    a) Interm ittent   Seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila gejala

    rinitis yang ia alami terjadi kurang dari 4 hari tiap minggunya, atau terjadi selama tidak

    lebih dari empat minggu berturut-turut.

    b) Persis tent  Sedangkan seseorang dapat dikatakan menderita rinitis alergi tipe ini bila

    gejala rinitis yang ia alami terjadi lebih dari 4 hari tiap minggunya, dan terjadi selama

    lebih dari empat minggu berturutturut.

    3) Occupat ional   Rinitis alergi yang terjadi sebagai akibat dari paparan allergen di

    tempat kerja, misalnya paparan terhadap agen dengan bobot molekul tinggi, agen

    berbobot molekul rendah, atau zat-zat iritan, melalui mekanisme imunologi atau

    patogenik non-imunologi yang tidak begitu diketahui (Ikawati, 2011).

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    18/26

     

    5. Diagnosis rinitis alergi

    a. Gejala dan tanda

    Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua atau lebih dari

    gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin, obstruksi nasal,

    rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu

    hari (Bousquet et al., 2008).

    b. Pemeriksaan fisik

    Pada anak, hasil pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan adanya lingkaran hitam di

    bawah mata (allergic shiners), adanya luka pada daerah hidung yang disebabkan

    karena seringnya anak menggosok hidung, pernapasan adenoidal, edema nasal yang

    dilapisi dengan lendir jernih, serta pembengkakan periorbital. Simptom fisik lebih susah

    diamati pada orang dewasa (Schwinghammer in DiPiro et al., 2009).

    c. Pemeriksaan penunjang

    Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil

    yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi

    sifatnya kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST)

    dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    19/26

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    20/26

     

    Gambar 1. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi (Bousquet et al., 2008)

    a. Tujuan terapi

    1) Meningkatkan kualitas tidur

    2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah 3) Menghilangkan

    gejala-gejala yang mengganggu aktivitas 4) Menghilangkan atau meminimalkan efek

    samping terapi

    b. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi)

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    21/26

     

    1) Terapi non-farmakologi

    Salah satu terapi alergi adalah pencegahan terhadap paparan

    allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi jika

    allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap dibersihkan, tidak

    boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk

    (diganti dengan busa atau

    springbed ) dan sebaiknya tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu

    digunakan penyaring udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate

     Air (HEPA) filter. Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim penyerbukan, dan

    gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011).

    2) Terapi farmakologi

    Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau

    meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin,

    dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin (Ikawati,

    2011).

    7. Obat-obat yang digunakan

    a. Oral antihistamin (H1-blocker )

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    22/26

    H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir histamin pada

    reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejalagejala rinitis yang diperantarai

    oleh histamin, seperti rinore, bersin, hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi

    kurang efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Obat golongan ini terbukti aman

    untuk anak-anak. Oral antihistamin generasi pertama menimbulkan efek samping yang

    signifikan akibat sifat sedatif dan antikolinergiknya (ARIA, 2008). Contoh obat golongan

    ini antara lain adalah cetirizin, loratadin, dan fexofenadin.

    b. Lokal H1 antihistamin (intranasal, intraokular)

    Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya diadministrasikan dalam

    mengatasi gejala hidung gatal, kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin. Intraokular

    H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi di mata. Onset aksi obat

    golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).

    Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan olopatadin.

    c. Lokal glukokortikosteroid

    Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam

    penanganan rinitis alergi maupun non-alergi. Contoh obat golongan ini adalah

    metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain sebagainya. Keuntungan

    menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis alergi adalah

    konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa adanya efek

    sistemik yang tidak diinginkan. Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala

    rinitis alergi maupun gejala-gejala pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-

    gejala lain sering diderita pasien, maka obat golongan ini adalah first line therapy yang

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    23/26

    direkomendasikan di atas obat golongan lain. Melihat dari mekanisme aksinya, efek

    obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian, namun efikasi maksimum

    kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al., 2008).

    d. Oral/intramuskular glukokortikosteroid

    Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan tidak merespon terhadap

    obat-obatan lain atau intoleran terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan

    glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka pendek. Glukokortikosteroid

    dapat diberikan dalam sediaan oral ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon).

    Pemberian jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat menimbulkan efek

    samping sistemik yang bermakna. Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak

    disarankan (Bousquet et al., 2008).

    e. Lokal kromon (intranasal, intraokular)

    Obat golongan ini dikenal sebagai penstabil sel mast, karena bekerja dengan

    mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator, termasuk histamin. Contoh

    obat golongan ini adalah kromoglikat dan nedokromil. Efek sampingnya yang paling

    sering adalah iritasi lokal yaitu bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung

    (Ikawati, 2011).

    f. Dekongestan

    Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor α-

    adrenergik pada hidung yang menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    24/26

    membengkak, dan memperbaiki pernapasan. Contoh obat golongan ini antara lain

    adalah pseudoefedrin dan oxymetazolin (intranasal). Penggunaan agen topikal yang

    lama dapat menyebabkan rinitis medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan

    dekongestan topikal sebaiknya dibatasi 3-5 hari. Sedangkan dekongestan oral secara

    umum tidak direkomendasikan, karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak

    memiliki efek samping (Ikawati, 2011).

    g. Intranasal antikolinergik

    Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf kolinergik, efektif untuk pasien rinitis

    alergi maupun non-alergi, yang menderita gejala rinore. Efek samping topikal jarang

    ditemui, dan intensitasnya bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008). Contoh

    obat golongan ini adalah ipratropium.

    h. Antileukotrien

    Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien. Contoh obat golongan ini

    adalah montelukast, pranlukast dan zafirlukast. Beberapa penelitian menyebutkan

    bahwa obat ini lebih efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1-antihistamin,

    tetapi kurang unggul dibanding intranasal glukokortikosteroid dalam menangani rinitis

    alergi seasonal (Bousquet et al., 2008)

    i. Imunoterapi Imunoterapi

    Terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya

    efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen

    yang dianggap dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    25/26

    pasien yang tidak mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan

    penghindaran allergen, dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi

    dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru

    atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil,

    karena beresiko menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati,

    2011).

  • 8/19/2019 Makalah A2 Case 3 - Rhinitis

    26/26

    DAFTAR PUSTAKA

    Adam,Boies, Higler,2012, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta

    Aring, A, 2011, Acute Rhinosinusitis in Adults diakses tanggal 20-01-2016http://www.aafp.org/afp

    Bacher, C , 2014, Crhonic Rhinosinusitis, diakses tanggal 20-01-2016

    http://www.waojournal.org/content/7/1/25

    Soepardi, E, Iskandar, N, Bashirudin, J, Restuti, R, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

    Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi 6, FKUI, Jakarta