Upload
boorayscar
View
129
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Luka Tusuk Abdomen
Citation preview
LUKA TUSUK ABDOMEN
LUKA TUSUK ABDOMEN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka robek (vulnus laceratum) sering disertai luka lecet (excoriasis), yakni luka atau rusaknya
jaringan kulit luar, akibat benturan dengan benda keras, seperti aspal jalan, bebatuan atau benda
kasar lainnya. Sementara luka tusuk (vulnus functum), yakni luka yang disebabkan benda tajam
seperti pisau, paku dan sebagainya. Biasanya pada luka tusuk, darah tidak keluar (keluar sedikit)
kecuali benda penusuknya dicabut. Luka tusuk sangat berbahaya bila mengenai organ vital
seperti paru, jantung, ginjal maupu abdomen.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah reaksi
korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan lukanya menjadi
tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat penusukan juga akan
mempengaruhi. Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
1. Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan kembali
melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai dengan gambaran
biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan yang lebih dalam maupun pada
organ.
2. Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut, sehingga
luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan kulit seperti ekor.
3. Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain, sehingga saluran luka
menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan dengan lebar senjata
yang digunakan.
4. Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam sebagai
landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada bagian superfisial.
Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang digunakan.
5. Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk ireguler dan
besar.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian, penyebab, tanda
dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada Luka Tusuk Abdomen
C. Sistematika Penulisan
Pada penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, setiap bab diuraikan secara singkat dan dalam
bentuk makalah yakni :Bab satu terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan
penulisan, dan sistematika penulisan. Bab dua terdiri dari konsep dasar keperawatan dan asuhan
keperawatan gawat darurat. Dan bab tiga berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
ISI
I. KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian Luka Tusuk Abdomen
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan
tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau. Berat
ringannya luka tusuk tergantung dari dua faktor yaitu :
1.Lokasi anatomi injury
2.Kekuatan tusukan, perlu dipertimbangkan panjangnya benda yang digunakan untuk menusuk
dan arah tusukan.
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen akan
sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-organ padat berespon
terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya
dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga
akan mengakibatkan peradangan atau infeksi.
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma perut merupakan luka pada
isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada
penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi
(FKUI, 1995).
B. Etiologi dan Klasifikasi
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan
oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).Disebabkan oleh :
pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).
C. Patofisiologi
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-
belt)-Trauma abdomen- :
a. Trauma tumpul abdomen
• Kehilangandarah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
• Kerusakan organ-organ.
• Nyeri
• Iritasi cairan usus
b. Trauma tembus abdomen
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
c. 1 & 2 menyebabkan :
• Kerusakan integritas kulit
• Syok dan perdarahan
• Kerusakan pertukaran gas
• Risiko tinggi terhadap infeksi
• Nyeri akut (FKUI, 1995).
D. Tanda dan Gejala
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
• Kehilangan darah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
Kerusakan organ-organ
• Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
• Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
E. Komplikasi
Segera :hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat :infeksi (Smeltzer, 2001).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi,
kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya
lesi pada saluran kencing.
Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya
kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang
berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui
dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan
buli-buli terlebih dahulu.
Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam
fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).
G. Penatalaksanaan
a. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
b. menilai urin yang keluar (perdarahan).
c. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan
peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam
lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas
dalam rongga perut) (FKUI, 1995).
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Data
DasarPemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari
bagian kepala ke ujung kaki.
Pengkajian data dasar menurut Doenges (2000), adalah:
1. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas(hipoventilasi, hiperventilasi, dll),
3. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenangatau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus ataumengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahanSelera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma,perubahan status mental,Kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas danlokasi yang berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih
8. PernafasanData Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangg kognitif.Gangguan rentang gerak.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan
aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
C. Implementasi dan Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara
tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.R/ mengetahui sejauh mana
perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.R/ mengidentifikasi tingkat
keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh. R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril,
gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. R/ agar benda
asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar
tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R / antibiotik berguna untuk mematikan
mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi,
kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
• luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
• Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Pantau tanda-tanda vital.R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
b. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. R/ mengendalikan penyebaran
mikroorganisme patogen.
c. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll. R/ untuk
mengurangi risiko infeksi nosokomial.
d. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.R/
penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses
infeksi.
e. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. R/ antibiotik mencegah perkembangan
mikroorganisme patogen.
3. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat
adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ;
awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat
di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
• Nyeri berkurang atau hilang
• Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga R/ hubungan yang baik membuat klien dan
keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi
menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri \R/ memberikan penjelasan akan menambah
pengetahuan klien tentang nyeri
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic R/ merupakan tindakan
dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
4. Intoleransi aktivitas adalah suatu keadaaan seorang individu yang tidak cukup mempunyai
energi fisiologis atau psikologis untuk bertahan atau memenuhi kebutuhan atau aktivitas sehari-
hari yang diinginkan.
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
• perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
• pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
• Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
a. Rencanakan periode istirahat yang cukup. R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan
energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
b. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan
menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
c. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
d. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
5. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik
yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
• penampilan yang seimbang..
• melakukan pergerakkan dan perpindahan.
• mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.R/ mengidentifikasi
masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan
ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan
aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.R/ mempertahankan
/meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
D. EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal
III. ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus mengkaji
dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat Apabila
sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani,
penilaian awal dilakuakan prosedur ABC jika ada indikasi, Jika korban tidak berespon, maka
segera buka dan bersihkan jalan napas.
a. Airway
Muntah darah
b. Breathing
Nafas tersengal-sengal
c. Circulation
Pendarahan,syok,
B. Diagnosa dan Intervensi keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit b/d perdarahan
Tujuan : terjadi keseimbangan cairan
Kriteria hasil : volume cairan terpenuhi,TTV dalam batas normal
Intervensi
a. Kaji TTV
b. Pantau cairan parenteral dan elektrolit,antibiotic dan vitamin
c. Kaji tetesan infuse
d. Kolaborasi pemberian cairan parenteral
e. Transfusi darah
2. Nyeri b/d Luka penitrasi abdomen
Tujuan : Nyeri teratasi
Kriteria Hasil : Nyeri berkuran / terkontrol,TTV dalam batas normal, ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
a. Kaji karakteristik nyeri
b. Memberikan posisi yang nyaman
c. Ajarkan teknik relaksasi
d. Kolaborasi pemberian obat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka tusuk merupakan bagian dari trauma tajam yang mana luka tusuk masuk ke dalam jaringan
tubuh dengan luka sayatan yang sering sangat kecil pada kulit, misalnya luka tusuk pisau.
Tanda dan gejala luka tusuk abdomen terdiri dari dua yaitu adanya Trauma tembus (trauma perut
dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,
respon stres simpatis, Perdarahan dan pembekuan darah,Kontaminasi bakteri danKematian sel.
Kemudian adanya Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium)
berupa Kehilangan darah, memar/jejas pada dinding perut, Kerusakan organ-organ, nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut dan Iritasi cairan usus .
Adapun pengkajian yang terpenting untuk asuhan kegawat daruratan adalah Airway : Muntah
darah; Breathing: Nafas tersengal-sengal dan Circulation :Pendarahan,syok.
B. Saran
Untuk memudahkan pemberian tindakan keperawatan dalam keadaan darurat secara cepat dan
tepat, mungkin perlu dilakukan prosedur tetap/protokol yang dapat digunakan setiap hari. Bila
memungkinkan , sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan buku-
buku yang di perlukan baik untuk perawat maupun untuk klien.
DAFTAR PUSTAKA
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidayat. 1997, Buku Ajar Bedah, EC, Jakarta.
Doenges. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
Pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Carpenito, 1998 Buku saku: Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi 6, EGC ;
Jakarta.
Mansjoer,Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.UI : Media
2.1.1 Definisi Trauma Abdomen
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya
dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula
dilakukan tindakan laparatomi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara
diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk.
2.1.2 Etiologi Trauma Abdomen
1. Penyebab trauma penetrasi (Trauma tajam)
1) Biasanya berkaitan dengan tikaman atau luka tembak
2) Mungkin berhubungan dengan luka pada dada, diafragma atau retroperitonial
3) Hati dan usus kecil biasanya organ yang paling sering rusak
4) Luka tikaman bisa tidak menembus peritoneum dan sering ditangani dengan konservatif
(Caterino,2003;251)
Mekanisme : Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi
akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus
(30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih
besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan seberapa besar energi kinetiknya
maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka
tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh
darah abdominal (25%) (American College of Surgeon Committe on Trauma,2004).
2. Penyebab trauma non-peneterasi (Trauma Tumpul)
1) Biasanya dikarenakan karena kecelakaan lalulintas
2) Kasus lain disebabkan karena terjatuh (Caterino,2003;251
Mekanisme : Suatu pukulan langsung, misalnya terbentur pinggiran stir ataupun bagian pintu
mobil karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ
viscera. Kekuatan seperti ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa
mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu yang hamil), dan
mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ
viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt
jenis lapbelt ataupun komponen pengaman bahu) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang
cedera pada saat suatu tabrakan motor bisa mengalami trauma deselerasi dimana terjadi
pergerakan yang tidak sama antar suatu bagian yag terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti
suatu ruptur lien ataupun ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang
terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien –
pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering mengalami
trauma adalah lien (40-55%), hepar (35-45%) dan usus halus (5-10%). Sebagai tambahan, 15%
nya mengalami hemetoma retroperitoneal. (American College of Surgeon Committe on
Trauma,2004)
2.1.3 Klasifikasi Trauma Abdomen
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Trauma penetrasi (Trauma tajam) : luka tusuk dan luka tembak menyebabkan kerusakan
jaringan karena laserasi atau terpotong. Luka tembak kecepatan tinggi mengalihkan lebih
banyak energy pada organ-organ abdomen mengingat peluru mungkin berguling atau
pecah sehingga menambah efek cedera yang lebih berat (Modul Pelatihan
Penanggulangan Gawat Darurat, 2008)
2. Trauma non-penetrasi (Trauma tumpul) : akibat trauma benda tumpul dapat
mengakibatkan rusaknya organ padat atau berongga yang menyebabkan rupture, dengan
perdarahan sekunder dan peritonitis. Pada penderita yang dilakukan lapaorotomi oleh
karena trauma tumpul organ yang paling sering terkena adalah limpa (40-55%), hati dan
hematoma retroperitoneum (Modul Pelatihan Penanggulangan Gawat Darurat, 2008)
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis
atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
1. Laserasi, Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen
harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi
dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding abdomen.
1. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
1. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan
hati harus dieksplorasi
Berdasarkan organ yang mengalami cedera :
1. Liver injuries
Cedera organ hati biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan trauma tumpul atau
trauma tajam dan harus dicurigai jika terjadi fraktur costa bagian kanan bawah. Angka
kematiannya berkisar antara 10-20%. Ini dikarenankan 1/5 curah jantung menuju hati,
kemungkinan besar untuk terjadi kehilangan darah oleh cedera organ hati. Cedera pada hati
mempengaruhi fungsinya termasuk cadangan darah dan filtrasi : sekresi empedu, pemecahan
gula menjadi glikogen, sintesis dan pemecahan lemak dan tempat penyimpanan sementara asam
lemak dan sintesis protein serum (globulin dan albumin) yng membantu meregulasi volume
darah dan faktor-faktor penting dalam pembekuan darah (fibrinogen dan protrombin).
1. Splenic injuries
Limpa adalah organ abdomen yang sering terkena luka akibat trauma tumpul. Cedera limpa
harus dicurigai apabila terjadi fraktur pada costa kiri atau terjadi pneumothorax kiri. Cedera
limpa dapat menghambat fungsinya yaitu sebagai tempat berkumpulnya sel-sel
retikuloendotelial, mempertahankan cadangan darah yang mengandung eritrosit, membantu
darah tetap bebas dari limbah yang tidak diinginkan dan infeksi organisme dan penyimpanan
sementara hemoglobin. Perhatian khusus adalah potensi kehilangan darah ke abdomen setelah
trauma limpa. Kehilangan tersebut mungkin tak terdeteksi sampai mengancam kehidupan
1. Stomach injuries
Cedera perut biasanya terkait dengan luka tembus, seperti luka tembak, namun dapat
berhubungan dengan trauma tumpul karena kecelakaan kendaraan bermotor (sebuah gaya geser
oleh kemudi untuk perut). Sebagian trauma perut adalah luka tembus dengan jumlah sekitar 19%
dari semua cedera intra-abdomen. Cedera pada perut mengganggu gerak peristaltik dan
pencernaan. Jika perut tertembus, korosif asam klorida, enzim, dan dan mucin dapat bocor ke
dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis. Cedera pada perut dapat mengganggu kerja
enzim yang membantu memecah molekul makanan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil :
mucin, yang bekerja pada gula dan melindungi lapisan perut : dan asam hidroklorik, yang
membantu melarutkan enzim makanan sebelum mulai bekerja.
1. Pancreatic injuries
Cedera pankreas sering dikaitkan dengan cedera otot perut lainnya. Seperti cedera karena
kecelakaan kendaraan bermotor. Tingkat kematian dilaporkan sebesar 50% untuk cedera tumpul,
25% untuk luka tembak, dan 8% untuk luka tusukan. Satu-satunya faktor paling penting yang
mempengaruhi morbiditas dan kematian adalah keterlambatan dalam diagnosis, itulah sebabnya
mengapa angka kesakitan begitu tinggi untuk trauma tumpul. Cedera pankreas mengubah sekresi
pankreas mengandung enzim-enzim yang jus pemecahan protein, lemak dan karbohidrat. ion
bikarbonat dalam jus pankreas membantu menetralisir chyme yang lulus dari lambung ke
duodenum. mengubah sekresi glukagon dan insulin sebagai akibat dari cedera pankreas adalah
salah satu masalah terbesar dan kekhawatiran.
1. Mesentric/bowel/colon injuries
Cedera ini sering dikaitkan dengan cedera otot perut lainnya. Trauma tumpul biasanya
disebabkan oleh perlambatan atau kendaraan bermotor jatuh mengakibatkan kekuatan geser
kontak tubuh dengan kemudi. Luka tembus paling sering disebabkan oleh luka tembakan. Cedera
pada mesenterium dan usus menghambat gerak peristaltik, pemecahan dan penyerapan nutrisi,
penyerapan dan limbah cairan ekskresi.
2.1.4 Patofisiologi Trauma Abdomen
Etiologi trauma abdomen dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam.
Trauma tumpul (pukulan atau benturan benda tumpul) akan menyebabkan kompresi terhadap
abdomen yang dapat merusak jaringan, sistem saraf dan pecahnya pembuluh darah. Sedangkan
trauma tajam secara langsung dapat menyebabkan inkontinuitas jaringan, saraf dan vaskular.
Pecahnya dan robeknya pembuluh darah akan menyebabkan bocornya pembuluh darah yang
membutuhkan penanganan segera untuk menghentikan pendarahan. Bocornya pembuluh darah
secara langsung mengakibatkan penurunan volume darah sirkulaslasi efektif (syok hipovelemi
dan kekurangan volume cairan). Kerusakan jaringan dan sel saraf menyebabkan pelepasan
mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung dengan lokasi reseptor di
nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang berbahaya) untuk memulai transmisi
neural. Impuls saraf yang dihasilkan menyebar di sepanjang serabut perifer (serabut C dan A)
dan ditransmisikan ke kornus dorsalis medula spinalis dan selanjutnya ke korteks serebri untuk
selanjutnya di interpretasikan sebagai sensasi nyeri.
2.1.5 Manifestasi Klinis Trauma Abdomen
Tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang
luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
1. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
1. Cairan atau udara dibawah diafragma
Tanda Kehrs : Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat
pasien dalam posisi rekumben.
1. Perdarahan
2. Sesak
3. Mual dan muntah
4. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) : Yang disebabkan oleh kehilangan darah
dan tanda-tanda awal shock hemoragi
5. Tekanan darah menurun / hipotensi
6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd arteri
karotis),
7. Nadi cepat
8. Diaforesis
9. Spasme otot abdomen
10. Tanda dullness pada perkusi, terutama saat pasien mengubah posisi
11. Laserasi, memar
12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal .
14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan perkusi pada hematoma limfe
16. Hematemesis
17. Bising usus (-)
18. Hematuria
Menurut Bambang Suryono (2008), gejala dan tanda Trauma abdomen yang ditimbulkan
disebabkan karena dua hal yaitu :
1. Pecahnya organ solid
Hepar atau lien yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan
sampai berat dan bahkan kematian.
Gejala dan tandanya adalah :
1. Gejala perdarahan secara umum dimana penderita tampak anemis (pucat) dan bila
perdarahan berat akan menimbulkan gejala dan tanda dari syok perdarahan
2. Gejala adanya darah intra peritoneal, penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat
bervariasi dari ringan sampai nyeri hebat. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun.
Tanda ini bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya karena bising usus akan menurun
pada banyak kejadian lain. Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan,
kadang-kadang ada nyeri lepas dan defance muscular (kekakuan otot) seperti pada
peritonitis.
3. Pecahnya organ berlumen
Pecahnya gaster, usus halus atau colon akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat
sekali (gaster) atau lambat. Pada pemeriksaan penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen.
Pada auskultasi bising akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defance muscular, nyeri
tekan, nyeri tekan lepas. Pada perkusi akan ditemukan nyeri pula (nyeri ketok). Biasanya
peritonitis bukan merupakan keadaan yang memerlukan penanganan sangat segera (berbeda
dengan perdarahan intra peritoneal) sehingga jarang menjadi masalah pada fase pra hospital
Apabila trauma tajam, maka kadang-kadang akan ditemukan bahwa ada organ intra abdomen
yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usus halus atau colon), keadaan ini
dikenal sebagai eviserasi.
Trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga peritoneum (organ ekstra
peritoneal). Jarang perdarahan dari ginjal akan menyebabkan shock walaupun bisa. Gejala lain
pada trauma ginjal adalah bahwa kebanyakab penderita ini akan buang air kecil kemerahan atau
berdarah (hematuria)
2.1.6 Komplikasi Trauma Abdomen
1. Trombosis Vena
2. Emboli Pulmonar
3. Stress Ulserasi dan perdarahan
4. Pneumonia
5. Tekanan ulserasi
6. Atelektasis
7. Sepsis
8. Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan perdarahan.
9. Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis, dan syok.
10. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
11. Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA) (Catherino, 2003)
2.1.7 Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
Menurut Catherino (2003), Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen ialah :
Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan trauma
intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free air,
evisceration) harus segera dilakukan pembedahan
Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative berdasarkan
status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT
Pemberian obat analgetik sesuai indikasi
Pemberian O2 sesuai indikasi
Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan
Trauma penetrasi :
ü Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas
ü Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman penetrasi dan
keterlibatan intraperitoneal
ü Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk
menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan
ü Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan
ü Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan pembedahan
Sedangkan menurut ENA (2000) penatalaksanaan kegawatdaruratan trauma abdomen yaitu :
§ Monitor TTV
§ Monitor CVP
§ Monitor AGD
§ Berikan terapi oksigen sesuai indikasi
o § Berikan resusitasi cairan IV dengan cairan kristaloid, darah atau komponen
darah
§ Pasang kateter urine
§ Monitor pemasukan dan haluaran
§ Pasang NGT sesuai indikasi
§ Berikan analgesik jika diijinkan
§ Minimalkan rangsangan dari luar
§ Siapkan intervensi bedah sesuai indikasi
§ Monitor GCS
§ Monitor perfusi jaringan perifer
o § Antiembolic stoking untuk mencegah pembentukan trombus sekunder untuk
meningkatkan trombosit
§ Monitor tingkat kesadaran
§ Monitor CRT
§ Jelaskan prosedur dengan sederhana
§ Jawab pertanyaan pasien
§ Monitor serum amilase dan lipase
§ Monitor serum dan kadar gula dalam urine
§ Monitor suhu tubuh
§ Monitor serum amilase dan lipase
o § Monitor serum dan kadar gula dalam urine
o § Monitor tanda-tanda peritonitis : spasme otot/kekakuan abdomen, penurunan
sampai tidak ada bising usus.
Menurut Bambang Suryono (2008),pengelolaan trauma abdomen ialah :
Perawatan pasien dengan perdarahan abdomen difokuskan seputar pencegahan dan penanganan
syok. Pengobatan definitif untuk perdarahan internal hanya dapat dilakukan di ruang operasi
rumah sakit. Tanda-tanda syok harus dinilai sejak dini, periksa periksa dengan cermat nadi
penderita, kesadaran dan warna kulit. Penurunan tekanan darah merupakan tanda yang terlambat.
Tanda-tanda itu akan muncul setelah perdarahan internal menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan. Pasien yang diduga mengalami perdarahan internal harus dianggap serius dan harus
dirujuk ke rumah sakit secepatnya.
Seperti semua pasien, prioritas pertama adalah ABC. Pastikan pembukaan jalan nafas,
pernafasan yang adekuat dan sirkulasi.
Pasien dengan perdarahan internal kemungkinan akan memburuk dengan cepat. ABC dan tanda
vital harus sering dimonitor. Persiapkan untuk mempertahankan jalan nafas pasien, untuk
memberikan ventilasi atau melakukan RJP jika diperlukan.
2.2 Perdarahan Saluran Cerna
Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi dimana saja di sepanjang
saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja
atau muntah darah, tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui
pemeriksaan tertentu. Perdarahan yang terjadi di saluran cerna bila disebabkan oleh adanya erosi
arteri akan mengeluarkan darah lebih banyak dan tidak dapat dihentikan dengan
penatalaksanaan medis saja. (Mansjoer, 2000)
Perdarahan saluran cerna dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas/ Upper gastrointestinal bleeding (UGIB)
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah /Lower gastrointestinal bleeding (LGIB)
(Mansjoer, 2000)
2.2.1 Definisi Perdarahan Saluran Cerna Atas
Perdarahan saluran cerna atau Upper gastrointestinal bleeding (UGIB) didefinisikan sebagai
perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinalis yang terletak di atas dari
Ligamentum Treitz. Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya
berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.
2.2.1.1 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Atas
Perdarahan orofaringeal dan epistakis ® darah tertelan
Esofagitis erosive
Pejamu yang tanggap imunnya baik : GERD / esofagus Barrett, XRT
Pejamu yang tanggap imunnya lemah : CMV, HSV, kandida
Varices (10 %)
Ruptur Mallory-Weiss (7%, robekan di gastroesofagus karena mau muntah /
muntah-muntah dengan glotis yang tertutup).
Gastritis / gastropati (23%, NSAID, H. Pylori, alkohol, penyakit mukosa yang
berhubungan dengan stres).
Penyakit ulkus peptikum (PUD) (46%)
Malformasi vascular : Lesi Dieulafony (arteri ektatik superfisialis biasanya pada kardia
dengan UGIB yang mendadak dan massif), AVM (tersendiri atau bersama sindrom Osler-
Weber-Rendu), fistula aorta-enterik (tandur aorta mengikis sepertiga porsio duodenum,
muncul dengan “perdarahan luas”) serta vaskulitis.
Penyakit neoplastik (esofagus atau gaster)
Penyebab lainnya : ulserasi hiatus hernia, koagulapati, amiloidosis, penyakit jaringan
penyambung.
2.2.1.2 Manifestasi Klinis Perdarahan Saluran Cerna Atas
Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi
Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti ter atau aspal
Hematemesis dan melena
Hematoskezia :Buang air besar berwarna merah marun, biasanya dijumpai pada pasien-pasien
dengan perdarahan masif dimana transit time dalam usus yang pendek
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas hemodinamik karena
hipovolemik dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit ginjal dsb.
2.2.1.3 Komplikasi Perdarahan Saluran Cerna Atas
1. Stenosis pilorus-duodenum
2. Perforasi
3. Tukak duodenum refrakter
4. Syok hipovolemik
2.2.1.4 Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Atas
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum dan
tindakan khusus .
v Tindakan umum: Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC.
Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai,pasien dapat segera dirawat
untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi.
Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
ü Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal no 18. Hal ini
penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP
ü Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
ü Mencatat intake output,harus dipasang kateter urine
ü Memonitor Tekanan darah, Nadi,saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai dengan
komorbid yang ada.
ü Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi
Dalam melaksanakan tindakan umum ini,terhadap pasien dapat diberikan terapi
ü Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
ü Pemberian vitamin K
ü Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
ü Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat diberikan
oktreotid bolus 50 g dilanjutkan dengan g tiap 4 jam.drip 50
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi pada 20% dapat
berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat mengalami perdarahan
ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka assessmen yang lebih akurat untuk memprediksi
perdarahan ulang dan mortalitas.
v Terapi khusus
Varises gastroesofageal
Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif.
Otreotid
Somatostatin
Glipressin (Terlipressin)
o Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
o Terapi endoskopi
o Skleroterapi
o Ligasi
Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS( Transjugular
Intrahepatic Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno –
porta.
Terapi pembedahan
Shunting
Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
Devaskularisasi + splenektomi
2.2.2 Definisi Perdarahan Saluran Cerna Bawah
Perdarahan saluran cerna bawah atau Lower gastrointestinal bleeding (LGIB) didefinisikan
sebagai perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinalis yang terletak distal dari
Ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik dan anemia
simptomatis.
Perdarahan saluran cerna bagian bawah umumnya didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal
dari usus di sebelah bawah ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
bawah datang dengan keluhan darah segar sewaktu buang air besar.
2.2.2.1 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna Bawah
Perdarahan divertikel kolon, angiodisplasia dan kolitis iskemik merupakan penyebab tersering
dari saluran cerna bagian bawah. Perdarahan saluran cerna bagian bawah yang kronik dan
berulang biasanya berasal dari hemoroid dan neoplasia kolon. Tidak seperti halnya perdarahan
saluran cerna bagian atas, kebanyakan perdarahan saluran cerna bagian bawah bersifat lambat,
intermiten, dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
v Divertikulosis : Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi pada 3% pasien-
divertikulosis. Tinja biasanya berwarna merah marun, kadang-kadang bisa juga menjadi merah.
Meskipun divertikel kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid namun perdarahan divertikel
biasanya terletak di sebelah kanan. Umumnya terhenti secara spontan dan tidak berulang, oleh
karena itu tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh para pasien.
v Angiodisplasia : Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan saluran cerna
bagian bawah. Angiodisplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah yang kronik.
Angiodisplasia kolon biasanya multipel, ukuran kecil kurang dari diameter <5mm dan biasa
terlokalisir di daerah caecum dan kolon sebelah kanan. Sebagaimana halnya dengan vaskular
ektasia di saluran cerna, jejas di kolon umumnya berhubungan dengan usia lanjut, insufisiensi
ginjal, dan riwayat radiasi.
v Kolitis Iskemia : Kebanyakan kasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah
viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan pembuluh darah mesenteik. Umunya pasien
kolitis iskemia berusia tua. Dan kadang-kadang dipengaruhi juga oleh sepsis, perdarahan akibat
lain, dan dehidrasi.
v Penyakit Perianal : Penyakit perianal contohnya: hemoroid dan fisura ani biasanya
menimbulkan perdarahan dengan warana merah segar tetapi tidak bercampur dengan faeces.
Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadang-
kadang bisa mengancam nyawa. Polip dan karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan
yang mirip dengan yang disebabkan oleh hemoroid oleh karena itu pada perdarahan yang diduga
dari hemoroid perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip dan
karsinoma kolon.
v Neoplasia Kolon : Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya terdapat pada pasien
usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya perdarahan berulang atau darah
samar. Kelainan neoplasma di usus halus relatif jarang namun meningkat pada pasien IBD
seperti Crohn’s Disease atau celiac sprue.
v Penyebab Lain dari Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah: Kolitis yang merupakan bagian
dari IBD, infeksi (Campilobacter jejuni spp, Salmonella spp, Shigella spp, E. Coli) dan terapi
radiasi, baik akut maupun kronik. Kolitis dapat menimbulkan perdarahan namun biasanya sedikit
sampai sedang. Divertikular Meckel merupakan kelainan kongenital di ileum dapat berdarah
dalam jumlah yang banyak akibat dari mukosa yang menghasilkan asam. Pasien biasanya anak-
anak dengan perdarahan segar maupun hitam yang tidak nyeri. Intususepsi menyebabkan kotoran
berwarna marun disertai rasa nyeri di tempat polip atau tumor ganas pada orang dewasa.
Hipertensi portal dapat menimbulkan varises di ileukolon dan di anorektal yang dapat
menimbulkan perdarahan dalam jumlah yang besar. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian
bawah yang lebih jarang seperti fistula autoenterik, ulkus rektal soliter, dan ulkus di caecum.
2.2.2.2Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna Bawah
Perdarahan saluran cerna bagian bawah dibagi menjadi 3 jenis, berdasarkan jumlah perdarahan,
yaitu massive bleeding, moderate bleeding, occult bleeding. Massive bleeding merupakan suatu
keadaan yang mengancam jiwa yang memerlukan sedikitnya 5 unit labu tranfusi darah.
Pemeriksaan yang didapatkan pada pasien dengan keadaan seperti ini adalah tekanan darah sistol
kurang dari 90 mmHg dan kadar hemoglobin darah kurang atau sama dengan 6 gr/dl. Kasus ini
lebih sering terjadi pada pasien dengan usia lebih atau sama dengan 65 tahun, ada penyakit
penyerta, dengan risiko kematian karena perdarahan akut atau komplikasi perdarahan. Tingkat
kematian LGIB jenis massive bleeding sebesar 0-21%. Occultbleeding menunjukkan adanya
anemia hipokrom mikrositer dan reaksi guaiac intermiten. Definisi massive bleeding adalah
adanya darah dalam jumlah yang sangat banyak dan berwarna merah marun yang melewati
rectum, adanya ketidakseimbangan hemodinamik dan syok, penurunan initial hematokrit kurang
atau sama dengan 6 gr/ dl, tranfusi minimal 2 unit labu transfuse PRC, perdarahan yang
berlangsung terus menerus selama 3 hari.
2.2.2.3 Manifestasi klinis Perdarahan Saluran Cerna Bawah
v Hematokezia : Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan merupakan
mznifestasi tersering dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Hematokezia lazimnya
menunjukkan perdarahan kolon sebelah kiri, namun demikian perdarahan seperti ini juga dapat
berasal dari saluran cerna bagian atas, usus halus, transit darah yang cepat.
v Melena : Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas. Melena
timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokhrom lainnya oleh bakteri
setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian atas atau
usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan
dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol,
lycorice, obat-obatan yang mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces
menjadi hitam. Oleh karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin.
v Darah Samar : Darah samar timbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak sampai
merubah warna tinja/feses. Perdarahan jenis ini dapat diketahui dengan tes guaiac.
2.2.2.4 Komplikasi Pendarahan Saluran Cerna Bawah
Sebagaimana halnya perdarahan saluran cerna bagian atas, perdarahan saluran cerna bagian
bawah yang masif dapat menimbulkan sequele yang nyata. Perdarahan saluran cerna bagian
bawah yang berulang atau kronik berhubungan dengan morbiditas dan dapat menyebabkan
kebutuhan transfusi yang lebih sering dan juga dapat menguras sumber pembiayaan kesehatan.
Perdarahan yang persisten biasanya bearasal dari usus halus dan tidak dapat dijangkau dengan
tindakan terapi endoskopi, hanya dapat dilakukan diagnosis saja.
2.2.2.5 Penatalaksaan Pendarahan Saluran Cerna Bawah
Resusitasi : Resusitasi pada perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut mengikuti
protokol yang juga dianjurkan pada perdarahan saluran cerna bagian atas. Dengan
langkah awal menstabilkan hemodinamik. Oleh karena perdarahan saluran cerna bagian
atas yang hebat juga menimbulkan darah segar di anus maka pemasangan NGT
(nasogatric tube) dilakukan pada kasus-kasus yang perdarahannya kemungkinan dari
saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan laboratorium memberikan informasi serupa
dengan perdarahan saluran cerna bagian atas meskipun azotemia jarang ditemukan pada
perdarahan saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan segera diperlukan pada kasus-kasus
yang membutuhkan transfusi lebih 3 unit pack red cell.
Medikamentosa : Beberapa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat diobati secara
medikamentosa. Hemoroid fisura ani dan ulkus rektum soliter dapat diobati dengan bulk-
forming agent, sitz baths, dan menghindari mengedan. Salep yang mengandung steroid
dan obat supositoria sering digunakan namun manfaatnya masih dipertanyakan.
Kombinasi estrogen dan progesteron dapat mengurangi perdarahan yang timbul pada
pasien yang menderita angiodisplasia. IBD biasanya memberi respon terhadap obat-
obatan anti inflamasi. Pemberian formalin intrarektal dapat memperbaiki perdarahan
yang timbul pada proktitis radiasi. Respon serupa juga terjadi pada pemberian oksigen
hiperbarik.
Terapi Endoskopi : Colonoscopic bipolar cautery, monopolar cautery, heater probe
application, argon plasma caogulation, and Nd: YAG laser bermanfaat untuk mengobati
angiodisplasia dan perubahan vaskular pada kolitis radiasi. Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk melakukan ablasi dan reseksi polip yang berdarah atau mengendalikan
perdarahan yang timbul pada kanker kolon. Sigmoidoskopi dapat mengatasi perdarahan
hemoroid internal dengan ligasi maupun teknik termal.
Angiografi Terapeutik : Bilamana kolonoskopi gagal atau tida dikerjakan maka
angiografi dapat digunakan untuk melakukan tindakan terapeutik. Embolisasi arteri
secara selektif dengan polyvinyl alcohol atau mikrokoil telah menggantikan vasopresin
intraartery untuk mengatasi perdarahan saluran cerna bagian bawah. Embolisasi
angiografi merupakan pilihan terakhir karena dapat menimbulkan infark kolon sebesar
13-18%.
Terapi Bedah : Pada beberapa diagnostik (seperti divertikel Meckel atau keganasan)
bedah merupakan pendekatan utama setelah keadaan pasien stabil. Bedah emergensi
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan dapat memperburuk keadaan
klinis. Pada kasus-kasus dengan perdarahan berulang tanpa diketahui sumber
perdarahannya maka hemikolektomi kanan atau hemikolektomi subtotal dapat
dipertimbangkan dan memberikan hasil yang baik.