logika dimitri

Embed Size (px)

Citation preview

Absolutisme versus RelativismeJika seekor kucing benar-benar berada di rumah, dan kita yakin bahwa "kucing ada di rumah", dan kita katakan bahwa "kucing ada di rumah", maka jelas keyakinan kita maupun proposisi yang kita nyatakan bernilai benar secara mutlak. Inilah yang saya maksudkan dengan absolutisme. Setiap peyakin kebenaran, mesti seorang absolutis. Dapatkah pernyataan ini kita buktikan secara lebih jelas? Mari kita mulai dulu dengan menyusun beberapa struktur linguafranca untuk pembahasan kita saat ini. Apa yang dimaksudkan dengan alam dalam pembahasan kita dalam suatu himpunan. Dalam makalh ini akan ada tiga alam; alam mental, tidak lain adalah himpunan obyek dalam fikiran manusia; alam eksternal, tidak lain adalah himpunan obeyek di luar fikiran manusia; dan alam bahasa, tidak lain himpunan bahasa yang digunakan manusia. Dalam contoh di paragraf sebelumnya, keberadaan kucing di rumah merujuk pada suatu obyek dalam alam eksternal. Sedang keyakinan akan keberadaan kucing di fikiran merujuk pada alam mental. Dan pernyatan "Kucing ada di rumah" merujuk pada alam bahasa. Seseorang disebut absolutis, jika dan hanya jika, ia yakin ketiga alam tersebut, -mental, eksternal dan bahasa-, dalam kondisi tertentu, mungkin selaras. Artinya setiap hal yang ada di alam eksternal yang difikirkan oleh manusia mungkin ekivalen dengan fikiran manusia tentang hal itu. Lebih lanjut setiap hal dalam fikiran manusia yang dinyatakan dalam bahasa mungkin pula ekivalen dengan pernyataanya di alam bahasa. Dengan bahasa yang lebih mudah, absolutis yakin bahwa mental manusia mungkin mencapai kebenaran mutlak tentang suatu obyek nyata, dalam arti, sesuaatu "fikiran" atau "keyakinan" dalam alam mental disebut benar jika ia mencerminkan keadaan obyektif sebenarnya di alam eksternal. Lebih jauh, absolutis, yakin bahwa

bahasa mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran tersebut. Sebaliknya seorang disebut relativis, jika dan hanya jika, ia bukan absolutis. Artinya, seorang disebut relativis jika salh satu aatau kedua kriteria di bawah ini terpenuhi; 2 Ia yakin bahwa tidak mungkin apa yang ada di alam eksternal ini ekivalen dengan apa yang ada di alam mental. 3 Ia yakin bahwa tidak mungkin menyatakan apa yang aada di alam mental dengan suatu bahasa yang akurat. Poin pertama menghancurkan hubungan antara alam mental manusia dengan alam eksternal. Artinya seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan manusia runtuh, karena semua pengetahuan dan keyakinan manusia tidak ekivalen dengan apa pun dalam realitas sebenarnya. Poin kedua menghancurkan kemungkinan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan keyakinan manusia apa pun.

Relativisme sejati dalam defenisi seperti di atas tidak mempunyai signifikansi sedikitpun untuk di bahas, karena jelas semua proposisinya pun hancur. Kenapa? Karena seluruh bangunan pengetahuan dan keyakinan sendiri pun termasuk proposisi-nya (poin pertama dan poin kedua) tersebut tidak mewakili kenyataan apa pun (berdasar poin pertama), atu jika tidak, seluruh pengetahuan dan keyakinannya sendiri termasuk proposisi-nya (poin pertama dan kedua) tidak mungkin dikomunikasikan sama sekali (berdasar pon kedua).Filsafat barat modern menyandarkan dirinya dalam berbagai relativisme parsial yang akan diuraikan di bawah ini.

Rene Descartes, yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern, mengatakan dalam "Le Discours de la Methode" : "Berhubung indra ada kalanya menipu kita, saya berniat

menganggap bahwa apa yang biasa ditampilkan oleh indra kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada orangorang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana, sampai-sampai melakukan paralogi, serta mengingat pila bahwa saya sendiri pun mungkin keliru seperti yang lain, maka saya buang semua penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai pembuktian. Dan terakhir karena beranggapan bahwa sekua fikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur tanpa ada yang benar satu pun. Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala pendapat yang pernah terlintas dalam angan-angan tidal lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya menyadari bahwa sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar, saya sebagai yang memikirkanya haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini : Saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum) begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptis yang paling berlebihan-pun tidak mampu menggoyahkannya." Pertama, Descartes meyakini ketidak-absahan indera karena indera mungkin salah. Kedua, Descartes meyakini ketidak-absahan penalaran kerana penalaran mungkin salah. Ketiga, Descartes meyakini ketidak-absahan pemikiran karena fikiran tidak mampu membadakan yang khayal (atau mimpi) dan yang nyata.Jelas argumentasi Descartes ini salah. Kenapa?

Pertama, karena argumentasi ini menghancurkan sendiri. Dengan tiga proposisi berturut-turut ini, jelas

dirinya

4 Hubungan antara alam eksternal dan alam fikiran manusia terputus total.

5 Segala jenis penalaran apa [un nafi 6 Segala jenis pemikiranapa pun tidak absah, Sehingga jika benar seseorang meyakini ketiga proposisi ini, tidak mungkin ia mempunyai pengetahuan ataupun keyakinan apa pun.

Kedua, dalam tiap proposisi dalam argumentasi tersebut terdapat kesalahan pengambilan kesimpulan karena terlalu menggeneralisasi. Contohnya adalah proposisi pertama, karena indera mungkin salah, maka kita mesti meyakini bahwa indera mungkin salah, tidak bisa digeneralisasikan menjadi bahwa indera selalu salah sehingga ia tidak mingkin pula ia benar. Demikian pula terjadi pada proposisi kedua dan ketiga.Saya yakin Descartes sendiri tidak meyakini ketiga proposisi tersebut dalam artian yang hakiki. Contoh yang jelas adalah ketika Descartes menyatakan Cogito ergo sum (Aku berfikir, maka aku ada). Sebenarnya saat ini, Descaartes telah menggunakan metode penalaran silogisme Aristoteles;

Premis minor : Sesuatu yang berfikir pasti ada. Premis minor : Aku befikir. Konklusi : Aku ada.Ini dapa dilihat langsung dalam pernyataan Descartes dalam dua paragraf berikutnya "La discours de la methode";

"Saya perhatikan bahwa dalam dalil "saya berfikir, jadi saya ada" tak ada suatu pun yang menjamin kebenarannya selain bahwa saya melihat dengan sangat jelas bahwa untuk berfikir saya harus ada."Analisa historis mungkin menjelaskan kenyataan bahwa mungkin bagi kita untuk memahami "kesalahan logika" Descartes sebagai upaya untuk melawan sketisisme yang merajalela saat itu.

Lain lagi dengan Emmanuel Kant, yang membatasi alam eksternal di mana hukum logika berlaku. Menurut Kant; ilmu matematis memiliki kebenaran absolut, ilmu pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi memiliki kebenaran relatif, dan subyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia sama sekali. Pernyataan Kant ini mempunyai dua kemungkinan. Pertama, pernyataan bahwa suyek-subyek metafisika tak mungkin dicapai oleh akal manusia dalam arti harfiah. Tapi, bagaimana mungkin kita bisa menilai pernyataan Kant ini salah atau benar, sedang pernyataan itu sendiri menyangkut hal yang metafisis sehingga hal ini tak mungkin dicapai oleh akal kita sama sekali? Kedua, jika artinya subyek-subyek metafisika tak mungkin dibahasakan sama sekali oleh akal manusia. Dalam hal ini, karena proposisi hal ini pula termasuk hal yang metafisis, proposisi ini pun tak mungkin dibahasakan sama sekali. Jadi seharusnya biarkanlah proposisi ini melanglang buana dalam alam mental kita tanpa pernah dinyatakan bahkan oleh Kant sendiri.

Relativisme parsial jenis lain mungkin seperti apa yang dinyatakan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus -nya; "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja."Secara khusus, Wittgenstein menyebutkan tiga hal yang tidak dapat diungkapkan secara jelas - yang disebutnya sebagai The Mystical-, sehingga sebaiknya didiamkan saja, yaitu ;7

"Subyek tidak termasuk dalam lingkup dunia, melainkan hanya merupakan suatu batas dunia." "Kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab

8

kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani."9

"Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia."Jadi, jika seseorang meyakini proposisi Wittgenstein tersebut, ia tidak akan pernah mempermasalahkan adanya dirinya sendiri sebagai subyek, ada atau tidaknya kematian bahkan ada atau tidaknya Tuhan.

Relativisme parsial ala Wittgenstein tidak mengakui adanya alam mental, dan Wittgenstein langsung merelasikan alam kenyataan dengan alam bahasa. Lebih lanjut, ia membatasi alam eksternal yang dapat dirlasikan secara ekivalen dengan bahasa yang akurat, yaitu alam non-mistikal. Maka jika benar Wittgenstein berpendapat seperti ini, jelas pendapatnya salah. Kenapa?Karena argumentasinya menghancurkan dirinya sendiri. Pada saat Wittgeinstein membahas ketiga hal yang termasuk ke dalam The Mystcal, subyek, kematian, dan Allah, karena mereka semua tidak termasuk dalam lingkup dunia, maka dari-mana ia memperoleh kesimpula itu? Kalau dikatakan dari alam bahasa itu sendiri, bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya setiap proposisi harus jelas? Dan bukankah menurutnya jelas adalah mewakili suatu keadaan faktual tertentu? Jadi secara otomatis, karena Wittgenstein memperoleh kesimpulan tentang subyek, kematian, dan Allah dari alam eksternalnya, ia musti memperolehnya dari alam mentalnya. Jadi argumentasi Wittgenstein memestikan keberadaan alam mental, minimal alam mentalnya sendiri. Proposisi, "Sesuatu yang memang dapat dikatakan haruslah diungkapkan secara jelas, sedang sesuatu yang tidak dapat dikatakan sebaiknya didiamkan saja," Ini sendri tidak jelas. Kenapa? Karena masih bisa dipertanyakan lagi apa arti jelas dan arti "jelas" bagi setiap orang relatif. Misalnya ; mungkin kata

"gaya" jelas artinya bagi seorang fisikawan, tapi tidak jelas artinya bagi fisikawan lain. Misalnya lagi dapatkan Anda menjelaskan kepada sya kapan sebuah jambu yang dimakan seseorang masih disebut jambu atau sudah menjadi bukan jambu? Jadi karena arti "jelas" itu relatif, tentu ia tidak dijamin jelas artinya bagi setiap orang. Arinya proposisi ini sendiri, didiamkan saja. Didiamkan seperti rumput yang bergoyang. Keadaan orang yang meyakini paham relativis ini mengingatkan saya pada "Shummum bukmun umyun fahum laa yarjiuun." (Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali). Relativis seolah kehilangan seluruh inderanya, karena mereka sendirilah yang menafikannya. Kemudian bagaimana mereka bisa mengreksi kebenaran seluruh pengetahuan dan keyakinannya? Kembali pada pembahasan semula, seorang yang meyakini pengetahuan ataupun keyakinan apapun mesti adalah absolutis. Kenapa? Karena jika ia tidak absolutis maka mustahil ia yakin apa pun yang ada dalam fikirannya mempuyai relasi dengan suatu yang benar-benar ada di alam nyata atau mustahil ia yakin bahwa ppernyataan keyakinan dalam alam bahasa sesuai dengan apa yang ada dalam fikirannya sendiri. Sehingga, ia tidak akan meyakini apapun atau walaupun meyakini terpaksa diam seribu bahasa akan keyakinannya tersebut. Sebagai penutup, saya mengajak anda semua merenungi; wa qul jaa al-haqqa wa zahaaqal-baathil, innal baathila kaana zahuuqa. (Dan katakan, telah tiba kebenaran dan telah lenyap kebatilan, dan sesungguhnya kebatilan itu benar-benar sirna). Yang benar tetap benar, dan harus kita katakan benar. Yang salah tetap salah, dan mestilah sirna.

Wallohu alamDialektika

Rumah tua itu kosong. Namun ketika dilewati, terdengar rintihan. Kami pun berlari terbirit-birit."Pasti ada hantu di dalamnya." Demikian hadir-nya dan demikian penting prinsip non-kontradiksi ini, sehingga tidak ada satu saat pun yang lolos dari kehadiran dan keniscayaannya. Seperti ungkapan penyimpulan yang dikutip di atas. Kalau di susun lagi urutan penyimpulannya adalah sebagai berikut. Jika ada suara dari sebuah rumah, pasti ada yang mengeluarkan suara tersebut dalam rumah itu. Walaupun terdapat fakta bahwa di rumah tua itu tidak ada orang, tapi karena ada rintihan dari suara itu, kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Ada berkontradiksi dengan tidak ada, dan karena kontradiksi tidak mungkin, tidak mungkin tidak ada yang mengeluarkan suara rintihan tersebut. Karena itu kita tetap yakin ada yang mengeluarkan suara, yaitu (mungkin) hantu. Ketidak-mungkinan terjadinya kontradiksi logis dalam realitas ini disebut dengan prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini menjadi dasar sekaligus hakikat logika klasik (the very nature of classical logics). Jika diringkas secara simbolis adalah sebagai berikut, A tidak sama dengan (bukan A) dan A sama dengan A sendiri. Tidak ada satu kebenaran apapun yang bisa ditahkik tanpa menggunakan prinsip ini sebelumnya. Meyakini kebenaran prinsip non-kontradiksi merupakan syarat mesti (necessary condition) bagi meyakini seluruh kebenaran lain. Dan keyakinan kebenaran prinsip ini ternyata hadir dalam kesadaran setiap insan. Orang yang meyakini prinsip non-kontradiksi percaya bahwa jika suatu proposisi tertentu benar, tidak mungkin pada saat yang sama ia salah. Dan kalau proposisi tertentu benar, maka proposisi lain yang berkontradiksi dengan proposisi itu pasti salah. Sebaliknya jika suatu proposisi tertentu salah, tidak mungkin pada saat yang sama ia benar. Contohnya; jika kita meyakini proposisi bahwa " Tuhan (Allah) itu Satu." benar, maka proposisi bahwa "Tuhan (Allah) itu dua" atau "Tuhan (Allah) itu tiga" pasti salah.

Kenapa ? Karena pernyataan bahwa sesuatu itu satu jelas berkontradiksi dengan sesuatu itu bukan satu (yaitu dalam hal ini dua atau tiga). Selanjutnya karena jelas bahwa proposisi "Tuhan(Allah) itu dua" atau "Tuhan(Allah) itu tiga" salah, tidak mungkin mereka benar. Para materialis, atau lebih akurat lagi Marxis, tidak percaya pada kesahihan prinsip non-kontradiksi. Bahkan lebih jauh, mereka percaya bahwa justru kontradiksi-lah hal yang paling hakiki yang ada merupakan detak jantung seluruh gerak alam ini. Strukturnya: jika ada tesa maka ada anti-tesa yang kontradiktif terhadap tesa. Setelah itu dua halyang berkontradiksi itu tersintesakan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi tesa baru, menjadi suatu titik tolak baru. Demikianlah, tiga hal ini, tesa-antitesa-sintesa, berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan keberadaan. Contoh logika dialektis ini adalah sebagai berikut.

Tesa = Eksistensi itu ada. Anti-Tesa = Eksistensi bukanlah sesuatu, karena ia adalah segala sesuatu, sehingga karena itu eksistensi tidak maujud (tidak ada). Karena itu terjadi sintesa, yaitu sesuatu yang ada tapi tidak sepenuhnya ada yang tidak lain adalah gerak. Kesimpulannya? Eksistensi nyata itu menjadi. Tesa = Sesuatu itu hidup. Anti-Tesa = Sesuatu yang hidup selalu berubah dan berkembang. Jika A berubah menjadi A maka A sebenarnya telah mati dan kematian A merupakan syarat bagi kehidupan A. Sintesa = setiap maujud hidup membawa kematiannya sendiri setiap saat untuk memperoleh kehidupannya.Bukan menjadi tujuan makalah ini untuk mengkritik logika dialektis sebagai logika dialektis, walaupun itu sebenarnya bukan hal yang sulit. Yang menjadi concern dalam makalah ini adalah pertanyaan berikut; "Apakah benar klaim kaum materialis (Marxis) bahwa

logika dialektis seperti ini menggugurkan prinsi non-kontradiksi? " Jawabannya jelas, salah. Argumennya adalah sebagai berikut. Pertama, jika prinsip non-kontradiksi gugur, maka suatu proposisi bisa sekaligus benar dan salah, sehingga tidak perlu kita yakini (bahkan tidak perlu kita bicarakan) apakah pernyataan (proposisi) kaum materialis ini benar atau pun salah. Kedua, pengertian kontradiksi yang dimaksud oleh mereka (kaum materialis) bukan kontradiksi dalam logika klasik. Contohnya dalam contoh kedua. Kehidupan A dan kematian A diartikan sebagai suatu kontradiksi. Padahal menurut logika klasik, ini tidak memenuhi syarat kesamaan subyek (A berbeda dengan A). Sehingga ini sebenarnya bukan merupakan kontradiksi dalam logika klasik. Selayaknya kita lebih berhati-hati dalam mengkritik sesuatu, apakah sesuatu yang kita kritik itu berdasar lingua-franca ( language-frame) yang benar atau sebenarnya kita hanyalah mengkritik suatu pendapat menurut imajinasi atau language-frame yang kita buat sendiri. Adalah satu kenyataan bahwa Hegel, lepas dari kenyataan bahwa dia adalah filsuf besar, telah mengkritik sesuatu yang tidak atau belum ia pahami dengan baik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Walhasil, alih-alih kritiknya sahih, malah ia telah mengkritik prinsip non-kontradiksi menurut penafsiran dan pemahamannya sendiri. Ada sebuah cerita lucu, ketika seorang suami Sunda bertanya kepada istrinya (orang Jawa) yang sedang di WC; "Atos? Atos?" Istrinya pun berpikir, jorok bener suaminya ini ? Atos menurut bahasa Sunda artinya sudah. Sedang menurut bahasa Jawa artinya, keras. Jadi apa yang akan terjadi si istri langsung mendamprat suaminya?

wallohu alam Kausalitas dan Korespondensi

Rangka-nya rangka dari seluruh sains maupun ilmu pengetahuan. Tidak lebih dan tidak kurang. Itulah prinsip kausalitas.Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Ini-lah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat - sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat - sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika. Prinsip kausalitas berbunyi , "Segala sesuatu membutuhkan sebab untuk meng - ada, kecuali keberadaan itu sendiri." Sifat penting kausalitas pertama adalah keselarasan; yaitu satu sebab yang sama akan menghasilkan akibat yang sama. Selain itu adalah sifat kesemasaan sebab dan akibat, serta sifat relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam. Karena tanpa menerima prinsip kausalitas sebagai hukum dasar alam, yang merupakan salah satu dari the very properties of being, tidak mungkin kita meniscayakan satu hukum apa pun yang bersifat umum bagi alam. Dan dia bukanlah merupakan hasil "korespondensi" atau "penghubung-hubungan" yang dilakukan oleh rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya, sebagai-mana yang dikatakan oleh sebagian orang. Karena bahkan semua pengalaman inderawi kehilangan maknanya, bahkan seluruh alam materi tidak bisa ditahkik keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas dulu sebelumnya. Dan bagaimana mungkin sebagian orang tersebut menjelaskan adanya hal - hal yang berkorespondesi secara berulang - ulang tapi tidak diyakini mempunyai hubungan kausalitas. Misalnya sesudah malam datanglah siang dan sesudah siang datanglah

malam. Kenapa tidak ada seorangpun yang berfikir bahwa siang adalah penyebab malam dan malam adalah penyebab siang? Maka, mestilah diterima ke - obyektif - an prinsip kausalitas, dan meyakini bahwa prinsip ini bukanlah prinsip psikologis saja. Sehingga dengan mata kausalitas mestilah diterima adanya penyebab seluruh alam materi ini, yang pasti bukanlah alam materi itu sendiri, atau sebagian darinya, karena materi bukanlah keberadaan sehingga mesti selalu memerlukan sebab untuk mengada. Sungguh ini adalah merupakan bukti yang terang tentang adanya alam immaterial, yang sebagian orang menyebutnya alam spiritual atau alam intelligebles. Sebagaimana para fisikawan meyakini eksistensi elektron? Atau lebih terang lagi?

wallahu alam bish-showwab Logika "Man tamanthaqa faqad fazandaqa" , demikian ungkapan terkenal dari tokoh besar di dunia Islam, Ibn Taimiyyah. Arti harfiahnya kira-kira adalah, "Barang siapa menggunakan logika maka ia telah kafir." Apakah sikap seperti ini dapat dibenarkan? Ataukah memang mutlak salah? Apa implikasi jika sikap seperti ini dibenarkan? Dan apa pula konsekuensinya jika ia mutlak salah? Ataukah sikap seperti ini relatif, bisa benar sekaligus bisa salah secara bersamaan atau secara fuzzy ? Dan apa-kah konsekuensinya jika kebenaran sikap seperti ini fuzzy atau relatif?Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa mencerminkan realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah berfikir ini mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua

khayalan yang mi\ungkin (all possible intelligebles). Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud (the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh bagunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan manusia. Sebagai contoh perkataan Ibn Taimiyyah di atas, jika misal pernyataan itu benar, maka menggunakan kaidah logika adalah salah. Karena menggunakan kaidah logika salah, maka prinsip nonkontradiksi salah. Kalau prinsip non-kontradiksi salah . Artinya seluruh kebenaran tiada bermakna, tidak bisa dibenarkan ataupun disalahkan, atau bisa dibenarkan dan disalahkan sekaligus. Kalalu seluruh keberadaan tidak bermakna, maka pernyataan itu sendiri "Man tamanthaqa faqad fazandaqa" juga nafi. Tak bermakna. Tak perlu dipikirkan. Menerima kebenaran pernyataan beliau tersebut sama saja dengan mengkafirkan beliau. Karena jika peenyataan tersebut benar, maka untuk membenarkannya telah digunakan kaidah logika. Dan karena beliau telah menggunakan kaidah logika, menurut pernyataan-nya sendiri beliau kafir. Jadi sebaiknya pernyataan pengkafiran orang yang menggunakan logika ini benar-benar ditolak. Pernyataan ini salah. Salah. Dan mustahil benar. Karena kalau benar, semua orang yang berfikir benar kafir. Dan ini mustahil.

"Wa qul jaa al-haqqa wazahaaqal-baathil, innal-baathila kaana zahuuqa." Dalam pandangan saya, Islam jelas menentang adanya relativisme Kebenaran. Dalam Islam yang benar pasti benar dan tidak mungkin salah. Sedang yang salah pasti salah dan tak mungkin benar. Dalam dunia dikenali adanya golongan relativis kebenaran yang disebut sufastaiyyah. Golongan relativis kebenaran ini merupakan pewaris mazhab pemikiran sophisme, yang bermula pada abad ke-5 dan ke-4 SM di Yunani melalui pemikiran Protagoras, Hippias, Prodicus, Giorgias dan lain-lain. Beberapa pemikiran yang mendasari gelombang filsafat pascamodernis juga merupakan cerminan dari pandangan golongan ini. Dalam majalah Ummat No.3/Thn.I/7 Agustus 1995, hal 76, DR.Wan Mohd Nor Wan Daud menjelaskan bahwa Akidah Islam jelas menentang keras sikap golongan sufastaiyyah ini. Bagi golongan sufastaiyyah, benar itu bisa salah dan salah itu bisa benar. Bagi golongan shopisme Yunsni, semua yang jelas-jelas ada ini dianggap tidak memiliki keberadaan. Jadi ada dan tiada sama saja. Bagi golongan positivis pasca- Renaisance, semua yang tidak bisa diukur tidak bisa ditentukan benar salahnya. Bagi pengikut Marx dan Hegel, kontradiksibukan saja mungkin terjadi, tapi menjadi arah gerakan alam yang sering disebut sebagai dialektika Hegel. Bagi golongan relativis pasca-modern, yang mendasarkan pemiokirannya pada language games ala Wittgenstein ataupun Russel seyiap propisisi adalah bahasa, dan setiap bahasa nilai kebenarannya relatif, karena itu setiap keberanan itu relatif.Adapun sufastaiyyah, misalnya sama. Menghancurkan kaidah dasar logoka. Yaitu prinsip non-kontradiksi. Hanya Protagoras meniadakannya dalam tingkatan ada-tidaknya segala sesuatu, para positivis meniadakannya pada tingkatan hal yang tidak bisa diindra, Marx dan Hegel meniadaknnya sebagai watak umum segala yang maujud, dan Wittgenstein maupun Russel menghilangkan otoritas fikiran untuk menerapkan kaidahnaya kepada alam di luar fikiran.

Hasilnya sama. Runtuhnya seluruh bangunan pengetahuan manusia. Runtuhnya suatu bangunan keyakinan manusia. Bahkan keyakinan tentang adanya dirinya sendiri ! Nauudzubihi min dzaalik. Penerapan kaidah-kaidah berfikir yang benar telah menghantarkan para filosof besar pada keyakinan yang pasti akan keberadaan Tuhan. Socraets dengan The Most Beauty -nya. Plato dengan archetype -nya. Aristoteles dengan prime-mover-nya.. Ibn Arabi dengan al-jamu bainal-addaad (coincindentia in oppositorium) nya. Suhrawardi dengan Nur-i-qahir nya. Mulla Shadra dan Mulla Hadi Sabzavary dengan Al-Wujud AlMuthlaq-nya. Jelas-jelas penerapan logika bagi mereka tidak menentang agama. Malah sebaliknya, me-real-kan agama sampai ke seluruh pori-pori rohaninya yang mingkin. Atau dengan kata lain, mencapai hakikat. Dalam dialog terakhir Socrates, digambarkan betapa figur filsuf ini mati tersenyum setelah menyebut nama Tuhan sebelum akhir hayatnya. Tentang Aristoteles, sebuah riwayat menyatakan bahwa ia adalah seorang nabi yang didustakan ummatnya. Tentang Ibn Arabi, tidak ada yang menyangsingkan sebagai salah seorang sufi terbesar sepanjang sejarah dengan tak terhitung pengalaman ruhani yang tertulis di kurang lebih 700 kitabnya. Sedang Mulla Shadra , tujuh kali haji ke Mekkah dengan berjalan dari Qum (Iran) hanya untuk memenuhi panggilan kekasih-Nya. Alih-alih logika menentang agama, malah logika adalah kendaraan super-executive untuk mencapai hakikat. Dan sekali lagi alih-alih logika menentang agama , tanpa logika agama tak-kan dapat terpahami. Jadi apakah logika menentang agama? Dalam kerangka befikir fiqhiy, ada suatu istilah yang amat penting; fardhu. Fardhu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Fardhu ain artinya kewajiban bagi tiap individu. Fardhu kifayah artinya kewajiban bagi setiap kelompok orang (masyarakat). Setiap Muslim harus melakukan sesuatu yang di-fardhu-kan oleh Islam, walaupun dalam kasus fardhu kifayah, kewajiban ini gugur

pada saat ada Muslim lain yang telah menunaikannya. Berfikir dengan kerangka fiqh, membuat seorang berfikir fardhuharam-makruh-sunnah-mubah. Jika fardhu dan sunnah memperoleh pahala. Jika haram memperoleh dosa. Jika mubah tidak memperoleh apa-apa. Berfikir seperti seorang pedagang. Barang dagangannya "amal" . Labanya "pahala" = "surga". Ruginya "dosa" = "neraka". Dari sudut pandang ini, mungkin ada orang yang bertanya ; menggunakan logika dalam Islam ini hukumnya apa apakah fardhu atau lainnya? Atau lebih gamblang lagi apakah seorang Muslim harus menggunakan logikanya untuk mencapai Tauhid atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini , mungkin perlu kita tinjau terlebih dahulu dua istilah dalam logika matemaatika, necessary & sufficient condition. Syarat perlu (atau syarat mesti), dan syarat cukup. Apa yang dimaksud dengan syarat mesti? B disebut syarat mesti dari A jika keberadaan (kebenaran) A memestikan/mempasti-kan keberadaan (kebenaran) B. Contohnya; B : x adalah bilangan nyata positif. A : x adalah bilangan nyata yang lebih dari 3. Maka B adalah syarat mesti dari A. Apa artinya? Jika A benar (yaitu x adalah suatu bilangan nyata yang lebih dari 3), pasti B benar (yaitu pasti x adalah suatu bilangan nyata yang positif). Di sisi laim apa yang dimaksud dengan syarat cukup? B disebut syarat cukup dari A jika keberadaan (kebenaran) B men-cukup-kan atau mem-pasti-kan atau men-implikasi-kan keberadaan (kebenaran) A. Contohnya B : ada dua benda bermuatan listrik berada pada jarak tertentu, A : kedua benda tersebut akan saling tarik menarik atau tolak menolak. B mem-pastikan A, sebaliknya A tidak mempastikan B. Dalam filsafat, manusia didefenisikan sebagai hewan yang

berfikir. Jadi jika X manusia pasti X berfikir. Berfikir adalah syarat mesti bagi ke-manusiaan. Jadi jika X tidak berfikir pasti X bukan manusia. Selanjutnya jika X berfikir maka X pasti menggunakan logika/kaidah berfkir. Jadi menggunakan logika merupakan syarat mesti bagi bagi berfikir. Jadi jika X tidak menggunakan logika pasti X tidak berfikir , dan karena itu pasti X bukan manusia. Jadi apakah berfikir dan menggunakan logika itu keharusan? Tidak. Ia bukan keharusan. Tapi suatu kemestian. Suatu keniscayaan. Thouan au karhan. Sebagai suatu contoh lain yang sederhana, prinsip logika identitas (qanun dzatiyah), bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri tidak mungkin kita tinggalkan dalam setiap aktifitas. Pada saat melihat bebek, kita yakin bahwa bebek adal bebek. Pada saat mendengar suara gitar, kita yakin bahwa tiap nada dan suara memiliki identitasnya sendiri-sendiri. Pada saat merasa panas , kita yakin bahwa panas tersebut memiliki suatu identitas sendiri. Di mana kita bisa mengharuskan logika, sedangkan ia ada "sebelum" kita "ada" dan ia selalu menyertai kemanapun kedipan mata memandang?

Mustahilnya PositivismeMaterialis meyakini ke-real-an materi, bahkan kekekalan materi, dan tak percaya adanya hal - hal yang immaterial. Sebaliknya rasionalis, dengan menerima prinsip-prinsip niscaya rasional seperti prinsip non-kontradiksi dan kausalitas, percaya adanya hal - hal yang immaterial. Di antara kedua kutub ini terdapat segolongan besar manusia yang selalu dalam keadaan ragu-ragu (syak) dan tidak pernah bisa yakin. Jelas tidak mungkin untuk meyakini hal - hal immaterial apa pun, apalagi Tuhan, jika seseorang masih terkadang terombang-ambing oleh gelombang materialisme. Alladziina yu`minuuna bil-ghoib .... Percaya kepada

yang ghaib tidak mungkin didirikan jika jiwa masih tergoyah oleh materialisme. Demikian materialisnya sebagian orang sehingga walaupun jelas dalam Quran disebutkan Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil-wariidi (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya), mereka melakukan maksiyat - maksiyat seolah Tuhan itu tak ada. Mendasarkan dirinya pada epistemologi positivisme, sebagian besar materialis akan terjebak ke dalam aksiologi pragmatisme dan praxisme ala Francis Bacon, yang menganggap tidak perlunya mempelajari apa pun kecuali yang memberikan manfaat material langsung pada kita. Dan sesuai dengan watak kegelapan materi, mereka akan terjebak pada hedonisme yang musti berakhir dengan nihilisme. Apa itu nihilisme? Semuanya nihil dan kosong. Setelah hidup, mati dan titik. Akhir semuanya adalah kegelapan, ke-tidaktahu-an mutlak "Dari mana, untuk apa dan ke mana manusia dalam kehidupannya", dan kengerian hidup yang tak berarti. Akar materialisme modern dan post-modern adalah faham empirisme dan positivisme. " Tidak ada pengetahuan atas sesuatu yang tidak bisa diukur." Demikian ungkapan terkenal Lord Kelvin yang merupakan hakikat empirisme. Anak empirisme, - yang jauh lebih ekstrim lagi-, adalah positivisme logik. Belajar di lingkungan Wina (Der Weiner Kreis) dari Moritz Schilck dan Rudolf Carnapp, Alfred Jules Ayer, - tokoh positivisme logik yang mengakui bahwa gagasan dalam bukunya merupakan jabaran dari ajaran Bertrand Russel dan Ludwig Wittgenstein-, mengatakan, "Suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisa atau dapat ditasdik secara empirik". Berlindung di balik keberhasilan sains modern pasca-Renaisance-yang berpuncak pada karya Newton "Principia", John Locke, George Berkeley maupun David Hume telah meletakkan dasar-dasar bagi empirisme maupun positivisme, yang

kemudian mempengaruhi Ayer, Russel, Wittgenstein dan banyak filosof modern maupun pasca-modern. Doktrin empirisme dan positivisme bersandar pada beberapa proposisi dasar berikut ini. 10 Pengalaman inderawi adalah sumber pertama pengetahuan manusia, dan tidak ada pengetahuan rasional apa pun yang mendahului pengalaman.11 Pengalaman

inderawi adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq, to assent) kebenaran suatu proposisi. (Dalam bentuk ekstrimnya, suatu proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik secara empirik)

12 Suatu proposisi, jika

mungkin mencapai pengalaman inderawi yang memberi petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan perlu dibahas.

Jelas proposisi-proposisi ini mustahil Buktinya? Terlalu banyak. Tapi di sini akan diberikan beberapa bukti yang cukup simpel. Pertama, karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita mesti menerima prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi bahwa A=A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak mungkin mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera kehilangan maknanya. Kedua, pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa menerima terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image / bayangan, bukan benda yang dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip kausalitaslah yang memberikan suatu relasi antara image dengan benda sebenarnya,

bahwa image adalah suatu akibat yang disebabkan oleh benda yang dilihat.` Tanpa menerima prinsip kausalitas, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, seluruh penangkapan image indera kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera ! Ketiga, bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik (membenarkan, menegaskan) adanya materi. Karena seperti yang dikatakan tadi, tanpa prinsip kausalitas, hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan subyektif yang tidak menunjukkan adanya apa pun yang diindera. Keempat, dan bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan kesalahan inheren pada penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata morgana dengan oase sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq) kebenaran dirinya sendiri? Kelima, sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan? Jika keberadaan materi saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa teratasi. Keenam, dan bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanp tersebut tidak dapat diindera ? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber pengetahuan), maka karena proposi pertama mempersyaratkan keter-indera-an sumber-sumber pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini bukan pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka merupakan suatu pengetahuan yang perlu di-tashdiq, proposisi kedua meniadakam kemungkinan untuk men-tashdiq ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan kemungkinan membenarkan untuk melakukan suatu eksperimen untuk menguji kebenaran ketiga proposisi ini berdasarkan proposisi ketiga? Ada satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka

terjebak ke dalam pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra-Renaisance membuat saya, -yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis sederhana. Pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya "agama" telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan "akal". Dan ini adalah akar dari sekularisme ?

wallahu alam Kembali kepada Prima-Principia

Kemustahilan adanya kontradiksi dalam semua yang maujud. Ini adalah hakikat inti prima-principia, yang disebut dengan prinsip non-kontradiksi (qanun tanaqudh). Secara lebih terperinci prima - principia ini terdiri atas tiga prinsip; identitas (qanun dzatiyyah), non-kontradiksi (qanun tanaqudh) dan ketiadaan batas (qanun imtina`). Prinsip identitas artinya sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri. Prinsip non-kontradiksi artinya sesuatu pasti tidak sama dengan yang bukan dirinya sendiri. Prinsip ketiadaan batas artinya sesuatu tidak mungkin sekaligus sesuatu dan bukan sesuatu tersebut pada saat yang bersamaan. Contohnya; Tuhan itu Ada. Dan Ada memiliki makna hanya karena menurut qanun dzatiyyah Ada itu benarbenar Ada. Kemudian, menurut qanun tanaqudh, Ada itu pasti tidak sama dengan tidak Ada. Dan lebih tegas lagi, menurut qanun imtina` , Tuhan itu Ada dan

mustahil tidak Ada. Demikianlah, tidak ada satu kebenaran apa pun yang dapat di-tashdiq tanpa mengakui prima - principia. Karena berarti benar bisa sekaligus salah, dan sebaliknya. Dan bahkan tidak ada satu konsepsi apa pun, baik tunggal maupun majemuk, yang dapat diterima tanpa sebelumnya mengakui prima - principia. Karena segala sesuatu kehilangan identitasnya dan tak mungkin diberi identitas tanpa menerima prinsip ini sebelumnya. Keberadaannya dalam akal manusia niscaya, dan jelas bukan merupakan prinsip yang bisa diturunkan dari fakta maupun prinsip lain. Karena justru prinsip ini-lah tempat semua bangunan pengetahuan manusia bertumpu. Dan kebenarannya dalam alam obyektif tidak mungkin dapat dibantah. Karena dengan menolak kebenarannya kita akan kehilangan keseluruhan makna semua yang maujud. Dan penolakan kepadanya hanyalah karena perbedaan istilah tentang kontradiksi. Sehingga secara hakiki tidak mengubah kebenaran prinsip ini yang Mutlak. Sehingga benarlah jika dikatakan prinsip dasar seluruh bangunan pengetahuan manusia adalah suatu ilmu hudhuriy. Karena prima-principia yang merupakan kenyataan yang paling nyata dari yang nyata ternyata telah hadir dalam akal manusia tanpa memerlukan suatu usaha rasional apa pun.

Bahkan sebagian filsuf yakin bahwa pada hakikatnya semua ilmu bersifat hudhuriy. Karena bukankah semua ilmu lain lahir dari, oleh dan untuk prima principia ini ? Dan bahkan, prinsip kesegalaan,- tidak lain adalah prima - principia -, telah ada secara niscaya pada jiwa manusia, sehingga terkadang manusia disebut sebagai mikro-kosmos. Walaupun secara material manusia sebagian kecil dari alam materi, namun sebagai intellegebles, manusia mengandung hakikat semua yang maujud. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa, seluruh yang ada qua seluruh yang ada telah secara niscaya ada dalam jiwa manusia, in potentia , dengan memahami bahwa belum tentu teraktualisasi sempurna. Apakah itu yang dimaksudkan dengan Tuhan tak mungkin ditampung apapun kecuali di qalbi mu`min? Dan semoga Ia menjernihkan al-aql dari hawa nafsu sehingga jelas tampak semuapyang benar sebagaimana adanya, kabulkan Yaa Allah tunjukilah hatiku yang sesat lagi gelap ini.

wallahu alam bish-showwab Tentang Wujud ;Sebuah Ringkasan Wujud dan Mahiyyah Wujud adalah keberadaan atau ke-ada-an sesuatu. Sedang mahiyyah adalah keapaan atau jawaban dari pertanyaan " apakah ..?" . Mahiyyah yang tak memiliki wujud mempunyai sifat esensial mungkin ada dan mungkin tidak ada. Keadaan ini disebut dengan keadaan kesamaan. Sedang wujud yang tak memiliki mahiyyah tak

terperikan dan tak terbatas walau dalam fikiran. Wujud itu tunggal Ambil dua sesuatu yang sebarang A dan B. Ketakberadaan A dan ketakberadaan B mempunyai efek yang identik, karena ketakberadaan sesuatu artinya ketakberefekan sesuatu tersebut. Karena itu keberadaan atau wujud A sama dengan keberadaan atau wujud B. Ini dapat digeneralisasi dengan induksi sempurna pada segala hal. Jadi wujud segala hal identik. Dan tidak mungkin sesuatu dalam pikiran manusia identik melainkan dihasilkan oleh satu hal yang tunggal di alam eksternal. Seperti halnya tidak mungkin satu telor dikeluarkan oleh lebih dari satu ayam betina. Wujud itu real, dan bukan mahiyyah yang real Jika mahiyyah yang real, maka bagaimana segala sesuatu (baca pula; segala mahiyyah) meninggalkan keadaan kesamaan? Artinya, jika mahiyyah yang real, segala sesuatu mungkin ada dan mungkin tidak ada dan tidak mesti ada. Padahal keberadaan segala sesuatu yang telah lalu dan saat ini mesti, - mereka benar-benar telah ada. Jadi ini adalah suatu kontradiksi yang mustahil terjadi. Tuhan, sumber wujud segala sesuatu, itu ada dan Ia adalah wujud. Karena wujud adalah sumber wujud bagi dirinya sendiri, dan ia pula adalah wujud segala. Maka Tuhan ada, karena wujud ada. Sebuah tambahan argumen bahwa Tuhan adalah wujud diberikan berikut ini. Jika Tuhan adalah sesuatu selain wujud, maka pasti ia memerlukan sebab untuk meng-ada. Dan jika ia memerlukan sebab untuk meng-ada, pasti ia bukan Tuhan, karena ada sesuatu yang menjadi sumber wujud selain diri-Nya. Wujud itu tak terbatas. Karena sekiranya ia terbatas, maka pembatasnya hanyalah

ketiadaan. Dan jelas ketiadaan tidak memiliki keberadaan apa pun sehingga bisa berefek membatasi sesuatu. Tuhan, -yaitu wujud-, tak mungkin dipahami sepenuhnya oleh akal / mental manusia. Karena jika wujud dipahami sepenuhnya, - dalam seluruh aspek manifestasinya-, oleh akal manusia artinya ia telah terbatas oleh akal manusia, sedang telah dibuktikan bahwa wujud tidak terbatas, Mutlak dalam segala seginya. Wujud adalah Kesempurnaan. Karena wujud adalah realitas kesegalaan yang tunggal, maka Ia pasti paling sempurna dari segi kediriannya sendiri, yang tak lain adalah dari segi kesegalaan. Dan karena Ia adalah satu-satunya realitas kesegalaan yang ada, maka Ia - lah satu-satunya kriteria kesempurnaan. Jadi wujud adalah Kesempurnaan itu sendiri. Wujud simpel (basith), -tidak tersusun atas bagian yang lebih kecil-, dan karena itu murni immaterial. Karena sekiranya wujud tersusun atas bagian yang lebih kecil, maka bagian-bagian yang lebih kecil tersebut apa? Apa-pun jawabannya pasti akan berakhir dengan kesalahan logis petitio principii. Debu-debu kejamakan muncul dari mahiyyah. Yang muncul dari realitas pemikiran mental manusia, dan jelas tidak memiliki akar realitas. Wujud ada dalam segala sesuatu, tanpa suatu persatuan (material) dan bukanlah segala sesuatu, tanpa suatu perpisahan. Karena segala "selain" wujud tidak real, hanyalah bayangan, maka tidak mungkin bisa didefinisikan persatuan dan perpisahan sesuatu

yang real dan sesuatu yang imajiner. Dan, wujud meliputi segala sesuatu. Karena wujud - lah yang mesti mendahului "selain"-nya tanpa kecuali. Wujud lebih prior dibanding segala waktu dan segala ruang, lebih prior dibanding segala substansi dan segala aksiden. Ke mana saja engkau menghadap di situlah Wajah Allah. Dan, sesungguhnya dalam segala "selain" wujud pasti terdapat mahiyyah pertama, yang sering disebut dengan Akal Pertama atau Nur Muhammad. Karena wujud tunggal tidak terbagi, yang pertama "muncul" darinya pasti tunggal dan tidak terbagi pula, dan inilah yang disebut dengan mahiyyah pertama. Sehingga dalam segala, terdapat Allah dan Muhammad, yakni wujud dan mahiyyah pertama. Karena seluruh "selain" wujud mesti muncul melewati jalur mahiyyah pertama ini. Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah padanya dan sampaikan keselamatan padanya.

Wa allohu alam bi ash-showabBukti-bukti Ketunggalan Realitas

lautan dalam setetes air, karena bila tidak, betapa mungkin lautan mengada mentari ada dalam cahaya purnama, karena bila tidak, betapa mungkin purnama bercahya

hujan, yang menghujani dan yang dihujani, dapatkah engkau pilahkan, duhai Afkari sebagaimana lautan, yang melauti dan yang dilauti, dapatkah engkau pisahkan, duhai Aqali Puji pada Nya Yang Maha Kudus, dan tiada tersifati oleh apa pun, oleh siapa pun, kapan pun. Subhanalloohi amma yashifuun. Kecuali oleh hamba-hambaNya yang ikhlash, illa ibaadalloohi almukhlashiin, yakni yang telah menyadari tauhid afaal,, yakni yang menyadari bahwa Pelaku Hakiki adalah Sang Maha Tunggal Yang Sempurna. Demikian Ibnu Arabi menguraikan bahwa Rasulullah tidak mengatakan barangsiapa fana (lenyap) dalam Tuhannya maka ia mengenal Tuhannya, namun Rasulullah mengatakan barrang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya (man arafa nafsahu faqod arofa robbahu). Yakni, barangsiapa mengenal bahwa "dirinya" adalah "ketiadaan" dan hanya Tuhan Yang Ada dan Tiada Selain Dia, maka ia ( baca pula "Ia") telah mengenal Tuhannya. Yakni, barangsiapa yang mengenal Ketunggalan Realitas yang menampakkan dirinya dalama alam maha-jamak ini, dan tidak melihat adanya sesuatu selain Dia Yang Tunggal dan Meliputi Segela Sesuatu yang tak lain adalah DiriNya Sendiri, maka ia (baca pula; " Ia") telah mengenal TuhanNya. Maka orang yang percaya adanya penyatuan wujud manusia dan wujud Tuhan adalah puncak kesempurnaan perjalanan ruhani ada dalam kesesatan yang nyata, karena ia telah menyerupakan Tuhan dalam hal yang paling hakiki dengan manusia, tak lain adalah keberadaan atau wujudnya. Argumentasi lain adalah, bagaimana mungkin menyatukan yang tiada dengan yang Ada? Mengenai orang-orang yang telah mencapai keadaan jiwa ilahiyyah seperti ini, yang telah lenyap dalam samudera Ketunggalan

Keberadaan Tuhan seperti ini, mungkin inilah yang diibaratkan oleh Maulana, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (a.s.) dalam pesannya kepada Kumayl Ibn Ziyad (r.a.) tentang sifat-sifat jiwa (nafs) yang al-kulliyyah al-ilaahiyyah (komprehensif ke-ilahian); " .dan bagi jiwa yang seperti ini terdapat dua sifat khas; ridho (terhadap qodho dan qadar Allah) dan taslim (berserah diri kepada Allah), dan hal ini sumbernya adalah dari Allah dan kepadaNya akan kembali, sebagaimana FirmanNya Taaala; dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kami (wa nafakhnaa fiihi min ruuhinaa)." Dalam riwayat ini, ImamAli menegaskan bahwa sumber-sumber keadaan jiwa yang ilahi adalah Allah itu sendiri, dengan merujuk kepada "Dan Kami tiupkan ke dalamnya dari ruh Kamii" Subhaanallooh. Mengenai bukti (rasional dan filosofis) Ketunggalan Realitas salah satunya adalah sebagai berikut. Pertama, segala yang ada hanyalah lautan keapaan (atau disebut juga mahiyyah/esensi/kuiditas) , seperti halnya ruang, waktu, kopi, langit, atom, gen, yang akan mempunyai efek terhadap yang lain jika telah memiliki keberadaan.Kedua, dengan mengamati bahwa tanpa keberadaannya seluruh samudera keapaan tersebut tidak memiliki efek apa pun, yakni mereka tereduksi dalam keadaan ketiadaan, maka keberadaan lebih nyata (real) dibandingkan dengan keapaan. Ketiga, dengan mengamati bahwa ketiadaan segala sesuatu identik, maka keberadaannya pun identik, maka dapat disimpulkan bahwa Keberadan di Alam Real itu Tunggal. Keempat, dengan mengamati bahwa Keberadaan di Alam Real itu Tunggal, maka semua selain Keberadaan itu sendiri tidak memliki Keberadaan. Kelima, dengan mengamati bahwa semua selain Keberadan itu sendiri tidak memiliki keberadaan, maka keberadaan seluruh samudera maujudaat (hal-hal yang maujud) semuanya tidak real , kecuali Keberadaan itu sendiri. Dan inilah yang disebut dengan Realitas Tunggal yang meliputi semua namun bukan salah satu dari hal yang terliputinya sama sekali. Maha Suci Dia dari semua yang kita

sifatkan. Wa allohu alam bi ash-showwabBukti Ketunggalan Realitas (2)

bening dan hening, lautan kesejukan dalam gemilang kerlap cahaya buta segalat mata, tuli segala telinga, pula segenap rasa oh layla perawan suci, kusentuh indahmu dengan indahmu dan bukan selain itu oh layla purnama rindu, kudesahi nanar matamu dan keindahannya dengan celakmu dan bukan selain ituBilamana ada keindahan nan senantiasa perawan dan kecantian nan senantiasa terjaga dalam masudera iffah (kehormatan serta keanggunan), maka tentulah itu adalah Dia, Yang Maha Cantik dan Teramat Menarik namun tak tersentuh oleh siapa pun, bahkan oleh pandangan siapa pun. Mata-mata majnun hingga nanar mengharapkan persuaan dengan layla pun yang didapatinya tak lebih dari domba-domba yang mengembik. Maka, dikisahkan dalam tarikh, betapa Penghulu Semua Wanita di Semesta Fathimah binti Muhammad (alaihimassalam) selalu dalam keadaan Perawan. Maha Suci Dia yang menjadikan kekasihkekasihnya sebagai ibarat atas DiriNya Sendiri. Wa yabqoo wajhu robbika dzu aljalaali wa al-ikraami. Dan kekallah wajah Tuhanmu. Maka, Dia-lah Sang Maha Suci Nan Senantiasa Perawan. Dia-lah Sang Maha Perawan, yang bahkan tak tersentuh oleh penglihatan apa pun selainNya dan pendengaran apa pun selainNya. Dalam hakikat KeDiaanNya (huwiyyah) tak mungkin selain Ia menyentuhnya dengan pemahaman (idrak) apa pun, dan tak mungkin pula menyentuhnya dengan apa pun (secara lahir maupun batin) bahkan Ia meliputi segala sesuatu. Allohumma inni asaluka birohmatika allatii wasiat kulla syai. Yaa Allah, aku bermohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu. Alaa innahu bikulli syaiin muhitth. Sesungguhnya Dia atas segala

sesuatu Maha Meliputi. Laa tudrikuhu al-abshooru, wa huwa yudriku al-abshoora. Tak menyentuhNya (segala) penglihatan dan Dia menyentuh (segala) penglihatan. Sebagian orang menganggap bahwa ayat laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora menegaskan bahwa; 13 Dia tak bisa dipersepsi oleh persepsi apa pun 14 Adanya realitas yang jamak, minimal adanya persepsi yang jamak Muhyiddin Ibn Arabi menegaskan bahwa ayat laa tudrikuhu alabshooru wa huwa yudriku al-abshoora justru menegaskan Ketunggalan Realitas, bahwa hanya Dialah satu-satunya yang maujud dan tiada maujud selain Dia. Dalam Kitab Al-Ajwibah, beliau menuliskan sebagai berikut;

laa tudrikuhu al-abshooru wa huwa yudriku al-abshoora, yakni, tak ada siapa pun dan tiada siapa pun yang berpenglihatan mampu untuk mempersepsiNya. Maka jika kita misalkan ada sesuatu yang lain selain Ia dalam keberadaan, maka kita mesti membolehkan bahwa selain di mempersepsiNya (minimal dalam satu aspek/modalitas keberadaannya yang dirasakan oleh sesuatu yang lain tersebut, penjelasan penulisan).Tapi Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi) telah mengingatkan kita dalam firmanNya "Penglihatan-penglihatan tak menyentuhNya" yakni tidak ada apa pun disampingNya; artinya, tidak ada yang lain yang mempersepsiNya (dalam seluruh modalitas keberadaannya, penjelasan penulis) tapi Ia yang mempersepsiNya adalah Tuhan (Yang Namanya Maha Tinggi). Maka tak ada apa pun yang lain selain Dia. Dia lah yang mempersepsi Hakikatnya sendiri, dan bukan yang lain. Maka "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya", secara sederhana adalah karena penglihatan-penglihatan adalah bukanlah sesuatu selain WujudNya sendiri. Dan bila ada yang

mengatakan "Penglihatan-penglihatan tak mengenaiNya" karena penglihatan-penglihatan ini bermula hudust sedangkan yang hudust tak mungkin mempersepsi yang qidam", ia belum mengenal dirinya sendiri, karena tidak ada apa pun dan tidak ada penglihatan apa pun kecuali Dia. Dia, maka, mempersepsi WujudNya sendiri, tanpa keberadaan persepsi dan tanpa sifat."

Wa allohu alam bi ash-showwabBukti Ketunggalan Realitas (3)

menggapai-gapai jemari orok merah, susu ibuku tetek ibuku, kerna di dalam susu-lah sermpurnalah ia demikian pula majnun sang Qays, tanpa Layla pun ia teriakkan Layla, kerna di dalam Layla sempurnalah ia menggapai-gapai lautan wujud nan mungkin, wujud wajibku wujud wajibku, kerna di dalamNya sempurnalah ia demikian pula khidir sang Hidup, di samudera Hidup pun ia teriakkan Huwa, kerna di dalamNya sempurnalah iaMan arafa nafsahu faqod arafa robbahu. Barangsiapa menganal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Demikian sabda Junjungan Kita YM Rasulullah SAWW. Maka salah satu ibarat yang dapat diambil dari ucapan Baginda Rasul SAWW tersebut; Barangsiapa yang mengenal kefaqiran esensial dirinya dan keinginan dirinya untuk menuju Kesempurnaan maka ia akan mengenal Tuhannya, taklain adalah Kesempurnaan itu sendiri. Intelek (akal) manusia tiada yang tak memahami kefaqiran esensial dirinya sendiri. Apakah itu kefaqiran esensial? Bahwa diri

seseorang, maupun semua miliknya, ataupun hal-hal yang jauhari ( substansial) maupun aradhi (aksidental) dari dirinya, mungkin lenyap sesaat setelah ini. Sebuah roti kecil yang menyumbat jalan pernafasan bisa melenyapkan jiwa . Sebuah kompor kecil yang meledak bisa menghancurkan seluruh harta-benda maupun keluarga. Sebuah tabrakan maut dengan mudah melenyapkan jiwajiwa. Apakah benar manusia bisa memiliki sesuatu? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak ia miliki? Apakah benar orang terkaya memiliki harta terbanyak? Dan apakah benar orang alim memiliki ilmu terbanyak? Sedangkan gerak jantungnya sendiri pun tidak ia miliki? Maka jelas bahwa antum al-fuqoroo` ila alloohi., kamu semua faqir terhadap Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Kaya atas sekalian alam, Innallooha ghoniyyun ani al-aalamiina. Di sisi lain, intelek(akal) memandang bahwa semua makhluk bergerak menuju yang lebih sempurna bagi dirinya sendiri secara spontan. Demikianlah bayi menangis mencari susu. Harimau lapar mencari makan. Laki dan wanita menikah. Hujan turun dari langit. Air sungai mengalir ke lautan. Wanita hamil makan lebih banyak. Dan lain-lain. Maka demikianlah manusia mengharapkan Kesempurnaan. Manusia belajar agar semakin berilmu, dan Berilmu adalah suatu kesempurnaan. Manusia makan agar berkekuatan, dan Berkekuatan adalah suatu kesempurnaan. Manusia bermain musik agar semakin lembut dan indah, dan Lembut maupun Indah adalah suatu kesempurnaan. Pada saat lautan kefaqiran menerpa manusia, dengan bala dan bencana, dengan berbagai hal yang menggundahkan dirinya, dengan hambatan-hambatan untuk mencapai nikmat-nikmat kesempurnaan, maka hati manusia menyeru secara spontan pada Kesempurnaan Tunggal, tak lain tempat bergantungnya seluruh ide kesempurnaan yang ingin ia capai. Duhai Tuhan, Duhai Kenikmatan Yang Sempurna. Demikianlah, salah satu bukti adanya Tuhan adalah; bayangkan diri Anda terapung-apung di sebatang kayu kecil di

samudera maha luas, maka saat itu apakah yang akan Anda bayangkan? Satu kefaqiran, ketakberdayaan total, kelemahan total diri, dan satu ketergantungan total ke Satu Fokus Yang Maha Kokoh. Saksikanlah demikian jelas dan terang dalam hati ! Allohu ash-shomad. Engkaulah itu Yaa Allah, An-Nuur, yang maha terang dan menunjuki segala yang di langit dan di bumi, dan Al-Qudduus, yang tak kan terjangkau oleh pandangan apa pun kecuali dirinya sendiri. Maka kecenderungan hati manusia untuk menuju Kesempurnaan Yang Satu merupakan bukti nyata Keberadaan Kesempurnaan itu. Maka ingatkah kita akan "perjanjian" kita sebelum hidup di dunia ini dengan Tuhan; alastu birobbikum, qooluu balaa. Apakah Aku TuhanMu, mereka semua berkata yaa. Padahal dapat dibuktikan dengan mudah bahwa kesempurnaan identik dengan keberadaan. Karena sesuatu disebut sempurna bila tak butuh selain dirinya, dan tak ada yang tak butuh selain dirinya untuk mengada selain keberadaan. Maka jika kesempurnaan itu ada, pastilah ia tak lain adalah keberadaan itu sendiri. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan mengenal bahwa Yang Sempurna(baca pula ; Ada) Hanyalah Satu, maka ia mengenal Tuhannya, yakni Kesempurnaan (baca pula; Keberadaan) itu sendiri. Pada saat Pemimpin Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib (a.s.) membicarakan tentang jiwa yang al-kulliyyatul-ilaahiyyah (komprehensif ilahi), Beliau (a.s.) menyifatkan lima kekuatan jiwa yang seperti ini; baqaa`un fii ial-fanaa` i, wa naiimun fii asysyiqaaqi, wa izzun fii dzillin, wa ghoniyyun fii faqrin, wa shobron fii balaa`in(kekal dalam kefanaan, dan nikmat dalam kesengsaraan, dan mulia dalam kehinaan, dan kaya dalam kemiskinan, dan sabar dalam bencana. Dan beliau (a.s.) menegaskan pula bahwa Sumber dari kelima kekuatan ini adalah

Allah dan kepadaNya-lah akan kembali. Maka, barang siapa mengenal dirinya, yakni kefaqiran esensialnya, dan Yang Kekal, Yang Nikmat, Yang Mulia, Yang Kaya, Yang Sabar hanyalah Dia Yang Maha Sempurna , maka ia telah mengenal TuhanNya, yakni Kesempurnaan itu sendiri. Maha Suci Allah, Yang baginya segenap Kesempurnaan, di awalnya maupun di akhirnya, di segala tempat dan segala waktu, di segala alam yang tampak maupun yang gaib. Tunjukilah kami semua WajahMu Yang Mulia, Yaa Allah, dengan keterputusan kepada selainMu, dan hanya pada wajahMu dan gemilangnya saja kami menatap. Bihurmati Muhammadin wa aali Muhammad.

Wa allohu alam bi ash-showwab