Latar Belakang1(2) (1)

Embed Size (px)

Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama Peneliti: Ratih Puspa Wardani NIM/Semester : G0009180/VIII. Judul Penelitian : Hubungan antara Usia Kehamilan dengan Anemia Defisiensi Besi di RSUD Dr. Moewardi.III. Bidang Ilmu : Obstetri Ginekologi IV. Latar Belakang MasalahTingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih merupakan masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan yaitu 228 setiap 100.000 kelahiran. Tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yaitu perdarahan (28%), hipertensi saat hamil atau preeklamasi (24%), dan infeksi (11%). Dampak utama terjadinya perdarahan adalah anemia (Depkes, 2007).Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Sekitar 75 % anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional, angka anemia defisiensi besi pada ibu hamil sebesar 40,1%. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian anemia defisiensi besi cukup tinggi di Indonesia (Depkes, 2003).Menurut survey World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 di Indonesia dari 225.465 penderita anemia defisiensi besi di Indonesia, 4.399 penderita anemia defisiensi besi merupakan ibu hamil. Dan dari hasil survey diestimasikan bahwa ibu hamil yang menderita anemia defisiensi besi di Indonesia akan meningkat sekitar 35-75 % serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan (McLean, 2009).Perbedaan insidensi anemia defisiensi besi pada ibu hamil terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh. Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama anemia defisiensi besi (Wiknjosastro, 2009).Anemia defisiensi besi pada kehamilan dapat berakibat buruk baik terhadap ibu maupun janin yang dikandungnya. Menurut WHO, 40 % kematian ibu-ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan. Di samping pengaruhnya kepada kematian, anemia pada saat hamil akan mempengaruhi pertumbuhan janin, memicu kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah dan peningkatan kematian maternal dan perinatal (Dimm, 2007).Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti adakah hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian anemia defisiensi besi di RSUD Dr. Moewardi.V. Rumusan Masalah Adakah hubungan antara usia kehamilan dengan risiko mengalami anemia defisiensi besi? VI. Tujuan PenelitianMengetahui hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian anemia defisiensi besi.VII. Manfaat PenelitianA. Manfaat TeoritisPenelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh usia kehamilan dengan angka kejadian anemia defisiensi besi pada ibu hamil.B. Manfaat praktisPenelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pendidikan kesehatan bagi masyarakat sebagai upaya mengurangi resiko anemia defisiensi besi.

VIII. Tinjauan PustakaA. ANEMIA DEFISIENSI BESI 1. Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2009). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2010).Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu: a. Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum (Andrews, 2005).b. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif (terletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase. Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus (Andrews, 2005). c. Fase Korporeal Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin akan berikatan dengan reseptor transferin yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas (Andrews, 2005).Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin. Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endos09om sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali (Bakta, 2009).Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh empat gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2009).2. Etiologi Menurut Bakta (2009) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun: a. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari: 1) Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang. 2) Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia. 3) Saluran kemih: hematuria. 4) Saluran nafas: hemoptisis. b. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah. c. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan. d. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polifenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). 3.Patogenesis Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi semakin menurun (Bakta, 2009).Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun . Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (Andrews, 1999).4. Manifestasi Klinis a. Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas (Bakta, 2009). b. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah (Bakta, 2009): 1) Koilonychia, yaitu kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. 2) Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. 3) Stomatitis angularis, yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. 4) Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. 5. Pemeriksaan Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain: a. Pemeriksaan Laboratorium 1) Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III (Bakta, 2009).2) Penentuan Indeks Eritrosit Menurut Bakta (2009) penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: a) Mean Corpusculer Volume (MCV) MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesifik setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 80-100 fl, mikrositik < 80 fl pada anemia defisiensi besi dan makrositik > 100 fl pada anemia defisiensi asam folat. b) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan jumlah sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. c) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 31%. 3) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag (Bakta, 2009).4) Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang (Bakta, 2009). 5) Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik (Bakta, 2009).6) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi (Bakta, 2009). 7) Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 20 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi (Bakta, 2009). Kadar serum feritin menurut WHO untuk anemia defisiensi besi pada ibu hamil adalah < 20 g/l (Suega, 2002).b. Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler (Bakta, 2009). Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum (Bakta, 2009).

B. ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari 10,5 gr% pada trimester dua. Perbedaan nilai batas di atas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi (Cunningham, 2007). 1. Kebutuhan Zat Besi pada Ibu HamilZat besi (Fe) adalah bagian penting dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim, namun zat gizi ini tergolong esensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama zat besi adalah pangan hewani terutama yang berwarna merah, yaitu hati dan daging, sedangkan sumber lain adalah sayuran berwarna hijau. Pangan hewani relatif lebih tinggi absorpsinya yaitu 20-30% dibandingkan dengan pangan nabati hanya 1-7%. Hal tersebut karena zat besi dalam nabati yaitu ferri ketika akan diabsorpsi harus direduksi dahulu menjadi bentuk ferro (FKM UI, 2007).Banyaknya absorpsi zat besi tergantung pada jumlah kandungan besi dalam makanan, jenis besi dalam makanan, adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan, jumlah cadangan besi dalam tubuh, dan kecepatan eritropoesis (Bakta, 2009). Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi daripada laki-laki karena terjadi menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 mg. Disamping itu, kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin. Jika persediaan cadangan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya (Manuaba, 1998).Kebutuhan akan zat besi selama kehamilan meningkat. Peningkatan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan janin untuk tumbuh (pertumbuhan janin memerlukan banyak sekali zat besi), pertumbuhan plasenta, dan peningkatan volume darah ibu. Jumlahnya sekitar 1.000 mg selama hamil. Kebutuhan akan zat besi selama trimester I relatif sedikit, yaitu 0,8 mg sehari, yang kemudian meningkat tajam selama trimester II dan III yaitu 6,3 mg sehari (Arisman, 2007).Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat mutlak dibutuhkan oleh ibu hamil agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dikandungnya dan persiapan fisik ibu untuk menghadapi persalinan dengan aman (Sulityawati, 2009).2. Peningkatan Kebutuhan Fisiologi Kehamilan Kebutuhan zat besi meningkat selama kehamilan untuk memenuhi kebutuhan zat besi akibat peningkatan volume darah, menyediakan zat besi bagi janin dan plasenta, dan untuk menggantikan kehilangan darah pada saat persalinan. Peningkatan absorpsi zat besi selama trimester II kehamilan membantu peningkatan kebutuhan. Beberapa studi menggambarkan hubungan antara suplementasi zat besi salama kehamilan dan peningkatan konsentrasi Hb pada trimester III kehamilan dapat meningkatkan berat lahir bayi (FKM UI, 2007).3. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Bila kadar hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 g/dl maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan kadar Hb ibu akan menjadi 9,5 sampai 10 g/dl (Manuaba, 1998). Anemia dalam kehamilan disebabkan karena dalam kehamilan kebutuhan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang. Volume darah bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Akan tetapi bertambahnya sel-sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan pertambahan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19% (Abdulmuthalib, 2010).Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Pertama-tama pengenceran itu meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil sebagai akibat hidremia cardiac output meningkat. Kerja jantung menjadi lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik. Kedua, ketika perdarahan pada saat persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental (Abdulmuthalib, 2010).Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan kekurangan besi adalah deplesi cadangan zat besi. Cadangan besi wanita dewasa sekitar 2 gram, sekitar 60-70 % berada dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah besi cadangan yang terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang. Deplesi cadangan besi kemudian diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga anemia berkembang (Bakta, 2009). Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800-1000 mg untuk mencukupi kebutuhan yang terdiri dari : 1. Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan. 2. Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg. 3. Pertumbuhan plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg. 4. Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan. Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan untuk laktasi, dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka pasien hamil dengan mudah bisa mengalami kekurangan besi (Riswan, 2003). 4. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil adalah: a. Usia KehamilanPada suatu penelitian yang diadakan di beberapa praktek bidan swasta di kota Medan, ditemukan bahwa terjadi peningkatan penderita anemia dengan makin tuanya usia kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil (Amiruddin, 2006).b. Usia IbuSalah satu keadaan kehamilan yang dapat beresiko tinggi adalah umur ibu hamil yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun. Pada usia kurang dari 20 tahun kebutuhan zat besi meningkat ditunjang dengan keadaan hamil yang lebih membutuhkan zat besi maka kemungkinan untuk menderita anemia pada kehamilan cukup tinggi. Demikian pula pada usia lebih dari 35 tahun kondisi fisiknya sudah menurun, daya tahan tubuh terhadap berbagai serangan penyakit tidak lagi optimal dan rentan terhadap komplikasi penyakit (Depkes RI, 2003).c. Antenatal Care (ANC) ANC adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu dan janin secara berkala yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Frekuensi yang disarankan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu:1) Minimal satu kali pada trimester I2) Minimal satu kali pada trimester II3) Minimal dua kali pada trimester IIIHasil pengukuran didapatkan tiga kelompok yaitu :1) ANC teratur jika lebih dari atau sama dengan pedoman di atas.2) ANC tidak teratur jika frekuensi maksimal kurang dari atau sama dengan empat kali.3) Tidak pernah ANC.d. Jarak KehamilanJarak kehamilan yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia, hal ini dikarenakan kondisi ibu belum pulih dan kebutuhan zat gizi belum optimal, sesudah memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung. Seorang ibu memerlukan waktu lebih dari 2 tahun antara kelahiran agar pulih secara fisiologik dari suatu kehamilan/persalinan dan mempersiapkan diri untuk kehamilan berikutnya. Makin kecil jarak kelahiran makin besar pula risiko kematian untuk ibu dan anak, hal ini dapat terjadi akibat komplikasi dalam kehamilan dan persalinan seperti antara lain anemia berat, partus prematurus dan kematian perinatal yang meningkat (Amiruddin, 2006).5. Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak buruk, baik pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal (Milman, 2011).Merchan dan Agarwal dalam Riswan (2003) melaporkan bahwa hasil persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12-28 % angka kematian janin, 30 % kematian perinatal, dan 7-10 % angka kematian neonatal. 6. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi diperlukan metode pemeriksaan yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah menyetujui bahwa diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah dan sumsum tulang (WHO, 2004).Bakta (2009) membuat definisi anemia defisiensi besi yaitu apabila kadar hemoglobin < 11 g/dl dan memenuhi salah satu kriteria di bawah ini :a. Penentuan indeks eritrosit1) MCV < 80 fl2) MCH < 27 pg3) MCHC < 31%b. Mikroskopis eritrosit mikrositik hipokromikc. Dua dari tiga parameter di bawah ini1) Serum iron < 50 mg/dl2) TIBC > 350 mg/dl3) Saturasi transferin < 16%d. Feritin serum < 20 gr/l

Tabel 1. Diagnosis anemia defisiensi besiPemeriksaan HemoglobinAnemia Defisiensi Besi Normal

Laki-laki dewasa Wanita dewasa (tidak hamil)Wanita dewasa (hamil)MCVMCHMCHCEritrosit ProtoporfirinSerum Iron (SI)TIBCSaturasi TransferinSerum Feritin< 13 gr/dl < 12 gr/dl< 11 gr/dl< 80 fl< 27 pg< 31 %> 100 mg/dl< 50 gr%> 350 gr%< 16 %< 20 gr/l15 gr/dl13 14 gr/dl 12 gr/dl80 100 fl27 31 pg32 35 %< 30 mg/dl80 160 gr%250 350 gr%30 35 %20 200 gr/l

Sumber: Riswan, 2003C. HUBUNGAN USIA KEHAMILAN DENGAN ANEMIA DEFISIENSI BESIKebutuhan akan berbagai zat gizi termasuk zat besi pada trimester I meningkat secara minimal. Setelah itu sepanjang trimester II dan III, kebutuhan akan terus membesar sampai pada akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu, yaitu penambahan volume darah, pertumbuhan uterus dan payudara (Wiknjosastro, 2009). Prevalensi anemia defisiensi besi tertinggi pada ibu hamil adalah pada trimester II dan III, sesuai dengan penelitian yang dilakukan di National Health Service hospital yaitu trimester I (18,9%), trimester II (32,7 %), dan trimester III (42,5%). Perbedaan ini terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan organ tubuh (Al-Mehaisen 2011).Jumlah zat besi yang dibutuhkan pada wanita hamil jauh lebih besar dari pada tidak hamil. Pada saat hamil trimester I kebutuhan zat besi sedikit karena tidak terjadinya menstruasi dan pertumbuhan janin lambat. Sedangkan pada awal trimester kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air ketuban sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan. Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia defisiensi besi. Menginjak kehamilan trimester II sampai trimester III terjadi pertambahan sel darah merah sampai 35% yang ekuivalen dengan 450 mg besi. Pertambahan ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen oleh janin yang harus diangkut oleh sel darah merah (Wiknjosastro, 2009).

Usia kehamilan < 12 mingguKebutuhan O2 Volume plasma Eritrosit HemodilusiTidak menstruasi,pertumbuhan janin lambatButuh zat besi sedikitPertumbuhan janin sangat cepat, janin aktif bergerakButuh > zat besi Anemia defisiensi besiVariabel luar yang dapat dikendalikan :Kunjungan ANC, jarak kehamilanVariabel luar yang tidak dapat dikendalikan :- hormonal, nutrisiIbu hamilCadangan besi kosongIron deficient erythropoiesis kecilIron deficient erythropoiesis >Eritropoiesis tergangguEritropoiesis > tergangguKebutuhan O2 Usia kehamilan 12 mingguIX.Kerangka Pemikiran

Deplesi besi >Deplesi besi kecil

Cadangan besi > kosong

Hb

Keterangan:> : lebih besar : meningkat : lebih meningkat : menurun sekaliGambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

X.HipotesisTerdapat hubungan antara usia kehamilan dan risiko mengalami anemia defisiensi besi. XI.Metode PenelitianA. Jenis Penelitian Jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Penelitian ini bersifat observasional karena peneliti hanya mengamati (mengukur) variabel yang diteliti, tanpa dengan sengaja memberi intervensi (perlakuan). Penelitian ini merupakan penelitian analitik karena bertujuan menganalisis hubungan - hubungan antar variabel (pengaruh) sebuah atau sejumlah variabel terhadap variabel lainnya (Murti, 2010).B. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah pasien ibu hamil di poli kandungan RSUD Dr. Moewardi.C. Subjek penelitian Subjek penelitian yang digunakan adalah semua ibu hamil di RSUD Dr. Moewardi dengan:1. Kriteria inklusi :0. Ibu hamil pada semua usia kehamilan2. Kriteria eksklusi : a. Ibu hamil dengan kelainan darah (selain anemia). b. Ibu hamil menderita penyakit kronis.c. Ibu hamil dengan konsumsi tablet Fe.D. Teknik SamplingSampel pada penelitian ini diambil dengan metode fixed- disease sampling. Fixed-disease sampling menurut Murti (2010) merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status pengambilan subjek, sedang status paparan subjek bervariasi mengikuti status pengambilan subjek yang sudah fixed. E. Ukuran SampelMenurut Murti (2010), ukuran sampel ditentukan dari variabel independen x (15-20 observasi). Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel independen sehingga jumlah sampel yang diperlukan adalah 3 x (15-20) = 45 - 60 sampel.F. Identifikasi Variabel1. Variabel bebas: Usia kehamilan.2. Variabel terikat: Anemia defisiensi besi.3. Variabel Perancua. Terkendali : Kunjungan ANC, jarak kehamilanb. Tidak terkendali : Hormonal, nutrisiG. Definisi Operasional Variabel1. Variabel bebas :Usia kehamilanDefinisi :Usia kehamilan adalah ukuran lama waktu seorang janin berada dalam rahim. Usia kehamilan dibedakan menjadi < 12 minggu dan 12 minggu.Alat ukur: Wawancara pasienSkala pengukuran: Kategorikal1. Variabel terikatAnemia defisiensi besiDefinisi: Anemia defisiensi besi adalah kondisi ibu hamil yang pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar Hb < 11 g/dl, MCH < 27 pg, MCV < 80 fl, dan MCHC