29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Inkontinensia urin dan alvi merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut. Inkontinensia seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin dan alvi, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang memahami tatalaksana dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia merupakan masalah kesehatan yang dan dapat diselesaikan. Sebagai seorang dokter yang kompeten nantinya, harus dapat memahami dan mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi masalah yang dihadapi pasien, baik tindakan secara farmakologis maupun non farmakologis. Berikut adalah masalah yang akan didiskusikan dalam laporan ini. Pada kasus di skenario ke dua blok Geriatri ini dilaporkan ada seorang laki-laki, usia 75 tahun, dibawa ke klinik geriatri oleh anaknya. Anaknya mengatakan bahwa pasien tidak bisa menahan BAB sejak 2 minggu yang lalu, dan sering ngompol sejak 3 bulan yang lalu. Sebenarnya pasien sudah hampir 1 tahun kurang mampu menahan kencing, sehingga seringkali sudah kencing sudah keluar sebelum sampai ke kamar mandi. Satu minggu ini penderita sering merasa anyang-anyangen dan sakit saat kencing. Hasil pemeriksaan fisik rectal touche prostat dalam batas normal. Dari hasil USG didapatkan prostat dalam batas normal. Dari hasil USG didapatkan prostat tidak membesar. Dua tahun lalu 1

Laporan Ske 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Ske 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Inkontinensia urin dan alvi merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai

pada orang berusia lanjut. Inkontinensia seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau

keluarganya, karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang

memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin

dan alvi, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada

orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis

yang lain juga tidak jarang memahami tatalaksana dengan baik atau bahkan tidak mengetahui

bahwa inkontinensia merupakan masalah kesehatan yang dan dapat diselesaikan.

Sebagai seorang dokter yang kompeten nantinya, harus dapat memahami dan

mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi masalah yang dihadapi pasien, baik

tindakan secara farmakologis maupun non farmakologis. Berikut adalah masalah yang akan

didiskusikan dalam laporan ini. Pada kasus di skenario ke dua blok Geriatri ini dilaporkan

ada seorang laki-laki, usia 75 tahun, dibawa ke klinik geriatri oleh anaknya. Anaknya

mengatakan bahwa pasien tidak bisa menahan BAB sejak 2 minggu yang lalu, dan sering

ngompol sejak 3 bulan yang lalu. Sebenarnya pasien sudah hampir 1 tahun kurang mampu

menahan kencing, sehingga seringkali sudah kencing sudah keluar sebelum sampai ke kamar

mandi. Satu minggu ini penderita sering merasa anyang-anyangen dan sakit saat kencing.

Hasil pemeriksaan fisik rectal touche prostat dalam batas normal. Dari hasil USG

didapatkan prostat dalam batas normal. Dari hasil USG didapatkan prostat tidak membesar.

Dua tahun lalu penderita dirawat di rumah sakit akibat stroke, ketika pulang dalam keadaan

defisit neurologis berupa kesulitan berjalan. Pada saat di rumah sakit penderita dilakukan

scoring Barthel didapatkan nilai indeks ADL Barthel 10 (ketergantungan sedang). Pada saat

sebelum pulang indeks menjadi 18 (ketergantungan ringan). Saat itu penderita sering marah-

marah dan tidak bisa tidur, sehingga sering mengkonsumsi obat tidur. Pada pemeriksaan

Geriatric depression scale = 11. Istri penderita telah meninggal 1,5 tahun yang lalu,

sehingga penderita dirawat putrinya di rumah yang kamar mandinya terpisah dari kamar

pasien. Sosial ekonomi keluarga baik.

1

Page 2: Laporan Ske 2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses fisiologis berkemih dan defekasi orang usia lanjut?

2. Bagaimana mekanisme patofisiologi inkontinensia urin dan alvi, anyang-anyangen, sakit

saat kencing, sering marah, dan tidak bisa tidur?

3. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit dahulu pasien (stroke) dengan riwayat

penyakit sekarang (inkotinensia urin dan alvi)?

4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan rectal touche, USG, scoring Barthel, dan

Geriatric depression scale?

5. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat bagi pasien dalam skenario?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui proses fisiologis berkemih dan defekasi pada orang usia lanjut.

2. Mengetahui mekanisme patofisiologi inkontinensia urin dan alvi, anyang-anyangen, sakit

saat kencing, sering marah, dan tidak bisa tidur.

3. Mengetahui apakah ada hubungan antara riwayat penyakit dahulu pasien (stroke) dengan

riwayat penyakit sekarang (inkontinensia urin dan alvi).

4. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan rectal touche, USG, scoring Barthel, dan

Geriatric depression scale.

5. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat bagi pasien dalam skenario.

D. Manfaat Penulisan

1. Menjadi bahan pertimbangan bagi tenaga kesehatan untuk memberi tatalaksana yang

lebih baik dan lebih tepat, sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.

2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup

dan angka harapan hidup orang usia lanjut.

E. Hipotesis

Pasien dalam skenario menderita inkontinensia urin dan alvi, sebagai akibat dari stroke yang

dialaminya dua tahun yang lalu.

2

Page 3: Laporan Ske 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Berkemih dan Defekasi pada Lanjut Usia

Pada dasarnya proses berkemih dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase penyimpanan dan

fase pengosongan. Fase penyimpanan ialah fase di mana kandung kemih terisi oleh urin hingga

mencapai nilai ambang batas. Setelah nilai ambang tersebut dicapai, maka akan masuk ke dalam

fase kedua yaitu fase pengosongan atau disebut dengan refleks mikturisi. Refleks ini

dikendalikan oleh sistem saraf otonom tetapi dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat

saraf di korteks serebri atau batang otak. Kedua proses tersebut melibatkan struktur dan fungsi

komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan lingkungan.

Persarafan kandung kemih dikendalikan oleh saraf-saraf pelvis, berhubungan dengan

pleksus sakralis terutama segmen S-2 dan S-3. Perjalanan impuls melalui dua jalur, sensorik dan

motorik. Peregangan yang terjadi pada dinding kandung kemih akan dibawa oleh saraf sensorik

kemudian diteruskan ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat saraf subkortikal

menyebabkan dinding kandung kemih semakin meregang, sehingga menunda desakan untuk

segera berkemih. Sedangkan, pusat saraf kortikal akan memperlambat produksi urin. Sehingga,

proses berkemih dapat ditunda. Gangguan pada pusat saraf tersebut menurunkan kemampuan

seseorang untuk menunda berkemih.

Proses berkemih akan terjadi bila otot destrusor kandung kemih berkontraksi. Kontraksi

ini disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dibawa oleh saraf-saraf motorik pelvis.

Sedangkan pada fase pengisian, saraf simpatis akan menghambat kerja parasimpatis dan dinding

kandung kemih.

Mekanisme berkemih pada usia dewasa dan usia lanjut tidak jauh berbeda. Hanya saja,

akibat proses penuaan, fungsi dan fisiologis berkemih mengalami penurunan. Pada usia tua

terjadi penurunan kadar hormon estrogen pada wanita dan androgen pada pria. Akibatnya, terjadi

perubahan anatomis dan fisiologis termasuk pada struktur saluran kemih. Misalnya, penurunan

elastisitas pada otot polos uretra sehingga menurunkan tekanan penutupan uretra dan tekanan

outflow. Melemahnya otot dasar panggul yang berperan dalam mempertahankan tekanan

abdomen dan dinamika miksi menyebabkan prolapsnya kandung kemih dan melemahnya tekanan

akhiran pengeluaran urin.

Seperti halnya berkemih, proses defekasi juga melibatkan koordinasi dari sistem saraf,

otot dan kesadaran. Ketika feses sampai di rektum akan memberikan respon keinginan untuk

3

Page 4: Laporan Ske 2

defekasi. Reaksi ini diawali dengan perangsangan pada saraf enterik setempat. Kemudian impuls

akan disebarkan oleh pleksus mienterikus sehingga terjadi gerakan pendorongan feses.

Penghambatan oleh pleksus mienterikus terhadap sfingter ani internus akan menyebabkan

sfingter berelaksasi. Dan jika, sfingter ani eksternus yang dipersarafi oleh nervus pudendus

secara sadar berelaksasi maka akan terjadi defekasi. Selain itu, kontraksi otot-otot abdomen juga

akan membantu mendorong feses ke rektum dan secara bersamaan juga menyebabkan otot dasar

pelvis berelaksasi ke bawah dan menarik cincin anus keluar untuk mengeluarkan feses.

B. Stroke

Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan

kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan

oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan,

penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-

gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan

bukan oleh yang lain dari itu.

Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu: stroke iskemik maupun stroke hemorragik.

Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak

sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke iskemik. Stroke iskemik ini dibagi

menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Stroke Trombotik : proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.

2. Stroke Embolik : tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.

3. Hipoperfusion Sistemik : berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya

gangguan denyut jantung.

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir

70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke hemoragik ada 2 jenis,

yaitu:

1. Hemoragik Intraserebral : pendarahan yang terjadi didalam jaringan otak.

2. Hemoragik Subaraknoid : pendarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit

antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak).

Tanda dan Gejala-gejala Stroke

Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala-gejala stroke terbagi menjadi berikut:

1. Bagian sistem saraf pusat : kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik.

4

Page 5: Laporan Ske 2

2. Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan membau, mengecap,

mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu,

pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.

3. Cerebral cortex: aphasia, apraxia, daya ingat menurun, hemineglect, kebingungan.

Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai Transient

Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke.

Faktor Penyebab Stroke

Faktor resiko medis, antara lain hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi), kolesterol,

aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), gangguan jantung, diabetes mellitus, riwayat stroke

dalam keluarga, dan migrain.

Faktor resiko perilaku, antara lain merokok (aktif dan pasif), makanan tidak sehat (junk

food, fast food), alkohol, kurang olahraga, mendengkur, kontrasepsi oral, narkoba, dan obesitas.

80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut statistik, 93%

pengidap penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi. Pemicu

stroke pada dasarnya adalah suasana hati yang tidak nyaman (marah-marah), terlalu banyak

minum alkohol, merokok, dan senang mengkonsumsi makanan yang berlemak.

Pasca Stroke

Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yang terbentuk akan diserap kembali secara

bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat

menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau

cacat. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut:

1/3 --- bisa pulih kembali,

1/3 --- mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,

1/3 sisanya --- mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus

menerus di kasur.

Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya

mengalami cacat, sehingga banyak penderita stroke menderita stress akibat kecacatan yang

ditimbulkan setelah diserang stroke.

Akibat Stroke lainnya:

80% penurunan parsial/total gerakan lengan dan tungkai.

80-90% bermasalah dalam berpikir dan mengingat.

70% menderita depresi.

30 % mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri.

5

Page 6: Laporan Ske 2

C. Indeks ADL Barthel

Indeks ADL Barthel adalah suatu penilaian fungsional tubuh dengan menggunakan

klasifikasi standard untuk mengukur ketrampilan, seperti activities of daily living dan mobilitas

harian. Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui kemampuan pasien dengan kelainan

neuromuscular maupun musculoskeletal (khususnya pada post stroke) dalam merawat dirinya

sendiri dan dengan mengulang tes ini secara rutin dapat dinilai peningkatannya.

Tes ini menggunakan 10 indikator, yaitu :

1. Makan (feeding)

0 = unable

1 = butuh bantuan memotong, mengoles mentega, atau membutuhkan modifikasi diet

2 = independen

2. Mandi (bathing)

0 = dependen

1 = independen (atau menggunakan shower)

3. Perawatan diri (grooming)

0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri

1 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur

4. Berpakaian (dressing)

0 = dependen

1 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan sendiri

2 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita, dan sebagainya

5. Buang air kecil (bowel)

0 = inkontinensia

1 = occasional accident

2 = kontinensia

6. Buang air besar (bladder)

0 = inkontinensia

1 = occasional accident

2 = kontinensia

7. Penggunaan toilet

0 = dependen

1 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri

2 = independen

6

Page 7: Laporan Ske 2

8. Transfer

0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk

1 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik) tapi dapat duduk

2 = bantuan kecil (verbal atau fisik)

3 = independen

9. Mobilitas

0 = immobile

1 = menggunakan wheel chair

2 = berjalan dengan bantuan satu orang

3 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat)

10. Menaiki tangga

0 = unable

1 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)

2 = independen

Interpretasi hasil :

20 : mandiri

12-19 : ketergantungan ringan

9-11 : ketergantungan sedang

5-8 : ketergantungan berat

0-4 : ketergantungan total

(Schwamm, 2004)

D. Gangguan Tidur pada Orang Usia Lanjut

Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di

tempat tidur sebelum masuk tidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya. Secara

luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi : kesulitan masuk tidur (sleep onset

problems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem), bangun terlalu

pagi (early morning awakening). Pada usia lanjut juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur

normal, yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Pada usia lanjut,

ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol.

Melatonin, hormon yang diekskresi malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan

meningkatnya umur.

7

Page 8: Laporan Ske 2

Pada insomnia sementara, misalnya dalam keadaan stress ringan (jet lag) dapat digunakan

hipnotik dengan waktu paruh singkat, kecuali bila ada kebutuhan sedasi siang hari. Pada

insomnia jangka pendek, misalnya terjadi kesedihan yang dalam, sakit yang singkat. Pikiran yang

risau, benzodiazepine dapat bermanfaat. Pengobatan dimulai dengan dosis kecil kemudian

dinakkan bertahap bila diperlukan. Pemberian obat harus dihentikan 1 / 2 malam setelah tidur

lelap dapat dicapai dan pemberian lebih dari 3 minggu terus menerus tidak dibenarkan.

Penghentian harus dilakukan bertahap.

Obat insomnia --- obat hipnotik-sedatif

1. Golongan benzodiazepine

Efek benzodiazepin hampir semua merupakan hasil kerja golongan ini pada sistem saraf

pusat dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan rangsangan emosi/ansietas,

relaksasi otot, dan antikonvulsi. Kerja benzodiazepine terutama merupakan postensiasi

inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator yang akan

menyebabkan pembukaan kanal Cl-. Membran sel yang akan menjadi permeabel terhadap ion

klorida, sehingga memungkinkan masuknya ion klorida, meningkatkan potensial elektrik

sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi.

Efek samping yang relatif umum terjadi adalah lemah badan, sakit kepala, pandangan

kabur, vertigo, mual dan muntah, diare, sakit epigastrik, sakit sendi, sakit dada, dan dapat

terjadi inkontinensia.

Golongan Benzodiazepin

a. Diazepam, klordiazepoksid, klorazepat, halazepam, prazepam, lorazepam, flurazepam,

oksazepam, nitrazepam, bromazepam, temazepam, estazolam, triazolam, midazolam &

alprazolam.

b. Obat pelemas otot

c. Obat antikonvulsi

d. Obat anti ansietas

e. Obat sedatif – hipnotik

f. Long acting : flurazepam

g. Intermediate acting : temazepam, lorazepam _ Short acting : triazolam, estazolam

2. Golongan barbiturat

Barbiturat telah banyak digantikan oleh benzodiazepin sebagai hipnotik dan sedatif

karena lebih aman. Pada susunan saraf pusat. Efek utama barbiturat adalah depresi SSP mulai

sedasi sampai dengan kematian.

8

Page 9: Laporan Ske 2

Golongan Barbiturat

a. Amobarbital, aprobarbital, barbital,butabarbital, heksobarbital, kemital, fenobarbital,

sekobarbital, tiopental, mefobarbital, pentobarbital.

b. Obat sedatif – hipnotik:

- Long acting (6 jam) : fenobarbital

- Short acting (3 jam) : amobarbital, pentobarbital dan sekobarbital.

3. Lain-lain: Kloralhidrat, Paraldehid, Antihistamin (difenhidramin, doksilamin), obat baru

(zolpidem, zaleplon, zolpiklon).

E. Gangguan Depresif pada Orang Usia Lanjut

Pada orang usia lanjut, gangguan depresif merupakan suasana alam perasaan yang utama

bagi orang usia lanjut dengan penyakit fisik kronik dan kerusakan fungsi kognitif yang

disebabkan oleh adanya penderitaan, disabilitas, perhatian keluarga yang kurang serta bertambah

buruknya penyakit fisik yang banyak dialaminya.

Selain itu proses-proses sehubungan dengan ketuaan dan penyakit fisik yang dialaminya

akan mempengaruhi jalur frontostriatal, amygdala serta hypocampus, dan meningkatkan

kerentanan untuk terjadinya gangguan depresif. Begitu pula faktor herediter bisa juga berperan

sebagian. Adanya musibah yang bersifat psikososial seperti kemiskinan, isolasi sosial, dan lain-

lain akan mengundang untuk suatu perubahan fisiologis yang selanjutnya akan meningkatkan

kerentanan untuk mengalami depresi atau untuk mencetuskan kondisi depresi pada orang usia

lanjut yang rentan akan hal tersebut.

Etiologi

Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut bisa berupa:

1. Faktor Biologis

Hal ini bisa berupa faktor genetis, gangguan pada otak terutama sistem serebrovaskular,

gangguan neurotransmitter terutama aktivitas serotonin, perubahan endokrin, dan lainnya.

a) Faktor Genetis

Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian dinyatakan bahwa gen-gen yang

berhubungan dengan risiko yang meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat

meningkatkan kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain melaporkan

bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif mayor pada orang usia lanjut dapat

dimediasi oleh adanya lesi vaskular.

b) Gangguan pada Otak

9

Page 10: Laporan Ske 2

Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu penyebab

timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit serebrovaskular, yang

mana gangguan ini dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi, atau mempertahankan

gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia lanjut.

c) Gangguan Neurotransmitter

Pada suatu penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa konsentrasi norepinephrin dan

serotonin berkurang sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi metabolit 5- HIAA dan

enzim monoamineoksidase meningkat sesuai pertambahan usia.

d) Perubahan Endokrin

Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar hormon estrogen pada wanita,

testosteron pada pria, dan hormon pertumbuhan pada pria dan wanita. Penurunan kadar

hormon tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena pertambahan usia. Sehingga

dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel dari organ tubuh makin meningkat,

termasuk di antaranya meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh yang

memproduksi hormon tersebut makin berkurang. Dengan penurunan kadar hormon

tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi neurotransmitter terutama serotonin dan

norepinephrin.

2. Faktor Psikologis

Ini bisa berupa penyimpangan perilaku, psikodinamik, dan kognitif.

a) Teori Perilaku

Dari konsep teori perilaku terjadinya gangguan depresif pada individu usia lanjut oleh

karena orang-orang usia lanjut cukup banyak mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan

yang tidak menyenangkan atau yang cukup berat sehingga terjadinya gangguan depresif

tersebut sebagai respons perilaku terhadap stressor-stressor kehidupan yang dialaminya

tersebut.

b) Teori Psikodinamis

Berdasarkan teori psikodinamis, terjadinya gangguan depresif pada orang usia lanjut, oleh

karena pada orang usia lanjut sering terjadi ketidaksanggupan untuk menyelesaikan

pencarian pemulihan sekunder dari peristiwa-peristiwa kehilangan yang tak terelakkan

oleh individu tersebut.

c) Teori Kognitif

Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan depresif adalah terjadinya distorsi

kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana interpretasi seseorang terhadap

10

Page 11: Laporan Ske 2

peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialaminya. Terjadinya distorsi kognitif pada orang

usia lanjut oleh karena pada individu usia lanjut tersebut memiliki harapan-harapan yang

tidak realistis dan membuat generalisasi yang berlebih-lebihan terhadap peristiwa

kehidupan tertentu yang tidak menyenangkan individu tersebut.

3. Faktor Sosial

Hal ini bisa berupa hilangnya status peranan sosialnya atau hilangnya sokongan sosial yang

selama ini dimilikinya.

Gambaran Klinik

Pada orang usia lanjut, gambaran klinik dari gangguan depresifnya bisa dijumpai sebagai berikut:

a) Depresi dan dysphoria

b) Menangis --- jarang pada pasien pria.

c) Ansietas (kecemasan) dan agitasi

d) Menurunnya energi dan kelelahan (fatigue)

e) Anhedonia

f) Retardasi fisik

g) Defisit kognitif

h) Somatisasi

i) Hypokhondriasis

j) Insight

k) Suicide (bunuh diri)

l) Gejala-gejala psikotik

m) Gangguan Perilaku

n) Gangguan tidur, terutama late insomnia

Selain gejala-gejala di atas, dapat dikatakan bahwa pasien gangguan depresif usia lanjut sering

dijumpai comorbiditas dengan penyakit-penyakit lain, yaitu:

Co-morbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya antara lain gangguan cemas (ansietas) dan

lain-lain.

Co-morbiditas dengan penyakit-penyakit fisik, antara lain: penyakit Alzheimer, penyakit

Parkinson, stroke, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain.

Faktor Risiko Untuk Perkembangan Terjadinya Depresi Pada Usia Lanjut

a. Penyakit fisik, terutama yang menimbulkan rasa sakit atau ketidaksanggupan.

b. Merasa kesepian.

c. Ada duka cita saat ini, atau peristiwa kehidupan buruk yang lain.

11

Page 12: Laporan Ske 2

d. Gangguan pendengaran.

e. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan depresif.

f. Demensia dini.

g. Ada penggunaan obat-obat tertentu seperti: steroid, mayor transquilizer, dan lain-lain.

h. Kondisi kardiovaskular yang bisa berupa: stroke, myocard infarct, dan sebagainya.

i. Kanker sebagai penyebab kematian pada penderita gangguan depresif pada usia lanjut.

Diagnosis --- penetapan diagnosis untuk gangguan depresif pada orang usia lanjut dapat

mempergunakan kriteria diagnostik dari Geriatric Depression Scale (GDS).

Manajemen Terapi

a) Pengobatan terhadap penyakit yang mendasarinya.

b) Pemberian obat anti depressant dan psikoterapi (cognitive behavior therapy, psychodynamic

psychotherapy, dsb.).

c) Electro Convulsive Therapy (ECT)

Obat antidepressant golongan S.S.R.I. dan S.N.R.I. adalah obat antidepressant pilihan,

diikuti dengan Bupropion dan Mirtazapine. Sedangkan beberapa jenis obat antidepressant

seperti: Amitriptyline, Maprotyline, dan lain-lain harus dihindari.

12

Page 13: Laporan Ske 2

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang pada pasien, penulis

berhipotesis bahwa proses penuaan dan stroke merupakan faktor predisposisi munculnya keluhan-

keluhan pasien. Perjalanan penyakit pasien secara ringkas terlihat pada bagan berikut.

Dua tahun yang lalu

disebutkan bahwa pasien

menderita stroke. Secara

garis besar, stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke nonhemoragik. Pada

akhirya kedua jenis stroke tersebut menyebabkan daerah otak yang terkena tidak menerima O2 dan

glukosa secara adekuat. Akibatnya daerah otak tersebut tidak berfungsi dan menimbulkan

manifestasi defisit neurologik. Pada pasien ini, defisit neurologik yang terjadi berupa gangguan

berjalan. Adanya defisit neurologis juga ditunjukkan dengan skor ADL yang rendah saat masuk

rumah sakit (ADL 10 = ketergantungan sedang). Perawatan di rumah sakit memperbaiki kondisi

pasien yang ditunjukkan oleh skor ADL saat pulang yaitu 18 (ketergantungan ringan).

Pada skenario juga disebutkan bahwa semenjak pulang dari rumah sakit pasien menjadi susah

tidur. Penulis menduga bahwa susah tidur yang dialami pasien merupakan gejala dari depresi pada

lansia. Apalagi skor geriatric depression scale (GDS) pasien adalah 11 yang menunjukkan telah

terjadi depresi ringan. Menurut ICD-10, diagnosis depresi pada lansia ditegakkan bila terdapat

13

kurang mampu menahan BAK, sering keluar sebelum sampai kamar mandi (1 tahun

yang lalu)

istri meninggal (1,5 tahun yang lalu)

tidak bisa menahan BAB (2 minggu yang lalu)

sering ngompol(3 bulan yang lalu)

anyang-anyangan dan sakit saat BAK (1 minggu yang lalu)

Laki-laki, 75 tahun

Sosio ekonomi keluarga baik

KM terpisah dari kamar

rawat inap (ADL 10)

Stroke

tidak bisa tidur minum obat tidur sering marah

defisit neurologis (sulit berjalan)

pulang (ADL 18)

GDS 11

2 tahun yang lalu

Hasil PmxRT : prostat normalUSG : prostat tidak membesar

Page 14: Laporan Ske 2

sedikitnya 2 gejala utama dan 2 gejala lain. Gejala utama berupa afek depresi, anhedonia, dan

anenergi. Sedangkan gejala lain meliputi penurunan konsentrasi dan harga diri, pesimis terhadap

masa depan, gangguan tidur dan nafsu makan, gagasan bunuh diri, serta penurunan libido. Depresi

pada lansia sering dikaitkan dengan perasaan kesepian akibat kehilangan orang yang dicintai seperti

pasangan hidup dan anak-anak. Penurunan kemampuan fisik yang berakibat pada penurunan

kemampuan merawat diri juga dapat memicu timbulnya depresi. Faktor predisposisi lain depresi

pada lansia adalah penurunan kemampuan kognitif dan intelektual yang berakibat pada kehilangan

pekerjaan dan penghasilan serta dukungan sosial.

Namun, depresi juga dapat dikaitkan dengan penyakit neurologis seperti stroke (depresi

pascastroke). Beberapa peneliti berhipotesis bahwa sitokin-sitokin proinflamasi memiliki peran

penting dalam patogenesis depresi pascastroke. Telah diketahui bahwa akan terjadi proses inflamasi

pada daerah yang mengalami iskemia saat stroke. Proses inflamasi tersebut menyebabkan pelepasan

sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, TNFα, dan IL-18. Sitokin proinflamasi tersebut justru

merangsang amplifikasi proses inflamasi terutama di area limbik. Selain itu, juga terjadi peningkatan

aktivasi indolamine 2,3-dioxygenase (IDO) dan penurunan jumlah serotonin di area paralimbik

seperti ganglia basalis, ventral lateral cortex frontralis, dan polar temporal cotex. Padahal kita tahu

bahwa sistem limbik merupakan pusat emosi dan serotonin merupakan neurotransmiter utama dalam

patogenesis depresi. Istri pasien yang meninggal setengah tahun setelah pasien mengalami stroke

dapat memperberat depresi yang dialami pasien.

Dari bagan perjalanan di atas, diketahui bahwa pasien mulai mengalami gangguan berkemih

sejak setahun yang lalu. Gangguan berkemih yang dialami pasien dapat disebabkan oleh proses

penuaan dan juga gangguan neurologis pascastroke. Sebelum membahas patogenesis gangguan

berkemih pada pasien, penulis akan membahas sedikit tentang struktur anatomis dan fisiologi saluran

kemih bagian bawah.

Saluran kemih bagian bawah terdiri atas vesica urinaria dan urethrae dimana keduanya harus

bekerja secara sinergis agar dapat menjalankan fungsi penyimpanan (storage) dan pengeluaran

(voiding) urin. Pada perbatasan vesica urinaria dan urethrae terdapat sphincter urethrae interna yaitu

otot polos yang tertutup selama pengisian dan terbuka saat pengosongan vesica urinaria. Di sebelah

distal dari urethrae posterior terdapat sphincter urethrae externa yang terdiri atas otot lurik dari otot

dasar panggul (diaphragma pelvis). Sphincter tersebut terbuka saat miksi sesuai dengan perintah

cortex cerebri. Selama pengisian, vesica urinaria mampu melakukan akomodasi yaitu meningkatkan

volume dengan mempertahankan tekanan di bawah 15 cmH2O. Kemampuan itu disebut sebagai

komplians vesica urinaria yang dapat dinyatakan dalam rumus:

14

Page 15: Laporan Ske 2

Berdasarkan rumus tersebut, bila komplians vesica urinaria menurun maka pengisian vesica urinaria

dengan volume urin ( ) yang lebih kecil dapat menghasilkan tekanan intravesica ) yang sama.

Kelainan pada saluran kemih bagian bawah dapat berupa kegagalan pada fase pengisian atau

fase pengeluaran. Bila kegagalan terjadi pada fase pengisian, kelainannya disebut sebagai

inkontinensia. Sedangkan kegagalan pada fase pengeluaran disebut sebagai retensi urin.

Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan menjadi inkontinensia urge dan stres seperti yang terlihat

pada bagan di bawah ini.

Pada inkontinensia urge, overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologis

dan non neurologis. Bila penyebabnya adalah kelainan neurologis maka disebut hiperrefleksia

detrusor, sedangkan jika penyebabnya non neurologis disebut instabilitas detrusor. Hiperrefleksia

biasanya disebabkan oleh stroke, cedera corda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida, dan penyakit

Parkinson. Instabilitas detrusor lebih sering disebabkan oleh obstruksi infravesika, sistitis, serta batu

dan tumor vesica urinaria. Penurunan komplians vesica urinaria disebabkan oleh peningkatan

kolagen pada matriks detrusor atau adanya kelainan neurologis. Pada inkontinensia stres,

hipermobilitas urethrae terjadi akibat kelemahan otot-otot dasar panggul oleh karena penuaan

(penurunan kadar hormon) dan atau kelainan neurologis. Sedangkan defisiensi sphincter intrinsik

selain oleh karena kelainan neurologis juga disebabkan oleh trauma, radiasi, dan komplikasi operasi.

Menurut penulis, pada pasien ini terjadi inkontinensia urge dan stres yang dikaitkan dengan

proses penuaan dan stroke. Penuaan menyebabkan penurunan komplians vesica urinaria dengan cara:

1) meningkatkan deposisi kolagen matriks detrusor, fibrosis, dan trabekulasi, 2) meningkatkan

volume residu pasca berkemih, dan 3) meningkatkan kontraksi involunter. Kontraksi involunter

semakin diperparah dengan hiperreflektibilitas detrusor akibat stroke. Berdasarkan rumus

sebelumnya, bila terjadi penurunan komplians maka hanya sedikit volume urin yang diperlukan

15

Inkontinensia urin

overaktivitas detrusor penurunan komplians

Kelainan pada vesica urinaria/inkontinensia

urge

Kelainan pada urethrae/inkontinensia stres

hipermobilitas urethrae defisiensi sphincter intrinsik

Page 16: Laporan Ske 2

untuk merangsang kontraksi vesica urinaria. Oleh karena itu, pasien inkontinensia urge biasanya

mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Itu karena

muculus detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas vesica urinaria belum

terpenuhi.

Pada proses penuaan juga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul oleh karena peningkatan

deposit kolagen dan rasio jaringan ikat otot. Kelemahan otot menyebabkan penurunan (herniasi) dan

angulasi leher vesica urinaria-urethrae saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. Herniasi dan

angulasi itu terlihat sebagai terbukanya leher vesica urinaria-urethrae sehingga menyebabkan

bocornya urine dari vesica urinaria meskipun tidak ada peningkatan tekanan intravesica. Posisi

kamar mandi yag terpisah dengan kamar pasien membuat pasien harus berjalan lebih jauh sehingga

tekanan intraabdomen makin tinggi. Kemungkinan itulah yang menyebabkan urin pasien sering

keluar sebelum mencapai kamar mandi.

Peningkatan volume residu urin akibat proses miksi yang tidak efektif menyebabkan rasa

tidak tuntas saat BAK. Itulah yang disebut anyang-anyangan. Sakit saat BAK menimbulkan

kecurigaan telah terjadi ISK. Seiring dengan bertambahnya usia, imunitas seseorang biasanya

menurun. Hal itu karena penurunan jumlah sel imun seluler dan humoral serta penurunan intake

makanan akibat turunnya nafsu makan. Risiko terkena ISK juga meningkat karena hilangnya efek

bakterisid dari sekresi prostat.

Pada skenario juga disebutkan bahwa sejak 2 minggu yang lalu pasien tidak dapat menahan

BAB (inkontinensia alvi). Dari berbagai jenis inkontinensia alvi yang telah dijelaskan pada tinjauan

pustaka, penulis lebih mengarah kepada inkotinensia alvi neurogenik sebagai diagnosis pasien. Hal

itu didukung oleh riwayat stroke pasien. Sebelumnya penulis sedikit akan membahas mengenai

fisiologi defekasi.

Proses normal defekasi terjadi melalui refleks gastrocolon. Ketika makanan memasuki

lambung, secara otomatis akan terjadi pergerakan feses dari colon decendens ke arah rectum.

Distensi rectum oleh feses akan meningkatkan potensial aksi dari reseptor regang rectum. Impuls

tersebut selanjutnya dibawa oleh serabut afferen menuju medulla spinalis untuk dilanjutkan ke cortex

cerebri, tetapi sebelumnya mengalami relay terlebih dahulu di thalamus. Ketika kondisi dan waktu

memungkinkan untuk defekasi, serabut efferen preganglioer akan mengirim impuls ke rectum dan

sphincter ani interna serta eksterna. Akibatnya rectum berkontraksi sedangkan sphincter ani

relaksasi. Hal itulah yang menyebabkan feses dapat keluar. Namun, bila waktu dan tempat tidak

memungkinkan, pada orang yang normal dapat terjadi inhibisi oleh cortex cerebri. Serabut inhibisi

tersebut dikirim melalui tractus coticospinalis sehingga terjadi relaksasi rectum dan kontraksi

16

Page 17: Laporan Ske 2

sphincter ani. Pada orang lanjut usia terutama dengan penyakit cerebrovascular (stroke), kematian

bagian cortex cerebri menyebabkan kemampuan inhibisi tersebut hilang. Akibatnya distensi rectum

oleh feses dapat langsung menyebabkan defekasi.

Selain gangguan neurologis, perubahan struktur anatomi pada usia lanjut juga dapat

menyebabkan inkontinensia alvi. Pada orang dewasa normal, terdapat tiga proteksi anatomis yang

mengatur mekanisme defekasi, yaitu: 1) sudut anorektal berada dalam posisi ideal (< 1000), 2)

sphincter ani externa sebagai pelindung dari peningkatan tekanan intraabdominal mendadak, dan 3)

bentuk rectum dan canalis analis (anus) seperti katup yang menguncup. Penurunan kadar hormon dan

peningkatan kolagen matriks pada otot yang terjadi selama penuaan menyebabkan bentuk rectum dan

diaphragma pelvis menjadi kurang baik. Akibatnya proteksi anatomis tersebut tidak dapat

menjalankan fungsi proteksinya lagi dengan baik dan terjadilah inkontinensia alvi.

Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan pada pasien adalah

rectal touche. Sebagaimana diketahui bahwa rectal touche bertujuan eksplorasi rektum dengan jari.

Rectal touche menilai keadaan mukosa rectal, posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta

menilai reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal touche sesuai skenario karena

salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan

prostat pasien. Kasus pembesaran prostat dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi

pada usia tua sehingga gejala yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urin tipe overflow disertai

inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal touche dan gambaran USG,

didapatkan prostat dalam batas normal dan tidak membesar maka diagnosis inkontiensia urin tipe

overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.

Penatalaksanaan yang sesuai dengan keadaan pasien di skenario adalah penatalaksanaan non-

medikamentosa dengan mempertimbangkan segala aspek dari segi fisik, psikis, dan sosial ekonomi

baru jika tidak ada perbaikan dipikirkan untuk memberikan penatalaksanaan medikamentosa untuk

menghindari terjadinya polifarmasi pada pasien geriatri ini.

Penatalaksanaan medikamentosa biasanya diperuntukkan bagi kasus inkontinensia urin tipe

urge dan stres. Jenis obat yang menjadi pertimbangan adalah jenis antikolinergik, antispasmodik,

agonis adrenergik alfa, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik alfa tetapi dikarenakan banyaknya

efek samping dari semua obat yang disebutkan di atas seperti delirium atau insomnia maka

penatalaksanaan medikamentosa tidak menjadi lini pertama pengobatan untuk kasus skenario.

Penatalaksanaan non medikamentosa yang tepat untuk kasus ini adalah rehabilitasi medik

seperti pemakaian orthesa, fisioterapi, dll. Selain itu juga pasien dilatih cara melatih BAK dan BAB

yang teratur seperti mengatur untuk buang air kecil dan buang air besar setiap beberapa jam sekali

17

Page 18: Laporan Ske 2

serta melatih pasien untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul sehingga dapat menahan aliran

kencing. Sedangkan dari segi psikis yaitu lebih meningkatkan peran serta dari pihak keluarga pasien

untuk lebih memerhatikan tahap-tahapan penyembuhan pasien dan lebih memberikan perhatian lagi

ke pasien. Masalah susah tidur, sering-sering marah, dan GDS pasien yang menunjukkan tingkat

depresi sedang, maka penatalaksanaan yang tepat adalah psikoterapi dengan peran dukungan

keluarga penuh.

Pengaruh lokasi kamar mandi yang terpisah dari kamar tidur pasien dan keadaan sosio-

ekonomi pasien juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan. Pada inkontinensia fungsional salah

satunya adalah memberikan tempat berkemih yang nyaman, mudah dijangkau, dan tidak

membahayakan si lansia. Perlu juga dipertimbangkan mengenai pemberian pampers, perawat yang

menjaga, pengadaan kateter, pembangunan ruang dan toilet yang sesuai dengan penderita. Dukungan

keluarga diperlukan jika dalam hal ini membutuhkan biaya yang cukup memberatkan pasien.

BAB IV

18

Page 19: Laporan Ske 2

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

1. Pasien dalam skenario menderita inkontinensia urin (tipe urge dan stress) dan inkotinensia

alvi neurogenik.

2. Inkontinensia pada pasien disebabkan oleh karena proses penuaan dan stroke yang telah

dialaminya dua tahun lalu.

3. Pasien dalam skenario juga mengalami depresi sebagai akibat stroke dan perasaan sedih

ditinggal istrinya meninggal.

4. Penatalaksanaan pada pasien di skenario adalah penatalaksanaan non-medikamentosa dan

medikamentosa dengan mempertimbangkan segala aspek dari segi fisik, psikis, dan sosial

ekonomi.

B. SARAN

1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan rencana terapi yang

mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, dan berbagai upaya

pencegahan komplikasi lanjutan sebaiknya segera dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: Laporan Ske 2

Martono H, Kuswardhani RAT. 2006. Strok dan Penatalaksanaanya oleh Internis. In: Sudoyo dkk

(ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1421-24.

Pranaka K, Andayani R. 2006. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar

Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1410-14.

Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto, pp: 105-11.

Schwamm L.M.D. 2004. Barthel Index Scoring Form. http://www.strokecenter.org/trials/

scales/barthel.html (Diakses tanggal 20 Maret 2011).

Setiati S, Putu DP. 2006. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. In: Sudoyo dkk (ed).

Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1402-09.

Soejono CH, Probosuseno, Sari NK. 2006. Depresi pada Usia Lanjut. In: Sudoyo dkk (ed). Buku

Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1379-1382.

20