Upload
chanif-lutfiyati-muyasaroh
View
97
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inkontinensia urin dan alvi merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai
pada orang berusia lanjut. Inkontinensia seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau
keluarganya, karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang
memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin
dan alvi, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada
orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis
yang lain juga tidak jarang memahami tatalaksana dengan baik atau bahkan tidak mengetahui
bahwa inkontinensia merupakan masalah kesehatan yang dan dapat diselesaikan.
Sebagai seorang dokter yang kompeten nantinya, harus dapat memahami dan
mengambil tindakan yang tepat dalam menghadapi masalah yang dihadapi pasien, baik
tindakan secara farmakologis maupun non farmakologis. Berikut adalah masalah yang akan
didiskusikan dalam laporan ini. Pada kasus di skenario ke dua blok Geriatri ini dilaporkan
ada seorang laki-laki, usia 75 tahun, dibawa ke klinik geriatri oleh anaknya. Anaknya
mengatakan bahwa pasien tidak bisa menahan BAB sejak 2 minggu yang lalu, dan sering
ngompol sejak 3 bulan yang lalu. Sebenarnya pasien sudah hampir 1 tahun kurang mampu
menahan kencing, sehingga seringkali sudah kencing sudah keluar sebelum sampai ke kamar
mandi. Satu minggu ini penderita sering merasa anyang-anyangen dan sakit saat kencing.
Hasil pemeriksaan fisik rectal touche prostat dalam batas normal. Dari hasil USG
didapatkan prostat dalam batas normal. Dari hasil USG didapatkan prostat tidak membesar.
Dua tahun lalu penderita dirawat di rumah sakit akibat stroke, ketika pulang dalam keadaan
defisit neurologis berupa kesulitan berjalan. Pada saat di rumah sakit penderita dilakukan
scoring Barthel didapatkan nilai indeks ADL Barthel 10 (ketergantungan sedang). Pada saat
sebelum pulang indeks menjadi 18 (ketergantungan ringan). Saat itu penderita sering marah-
marah dan tidak bisa tidur, sehingga sering mengkonsumsi obat tidur. Pada pemeriksaan
Geriatric depression scale = 11. Istri penderita telah meninggal 1,5 tahun yang lalu,
sehingga penderita dirawat putrinya di rumah yang kamar mandinya terpisah dari kamar
pasien. Sosial ekonomi keluarga baik.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses fisiologis berkemih dan defekasi orang usia lanjut?
2. Bagaimana mekanisme patofisiologi inkontinensia urin dan alvi, anyang-anyangen, sakit
saat kencing, sering marah, dan tidak bisa tidur?
3. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit dahulu pasien (stroke) dengan riwayat
penyakit sekarang (inkotinensia urin dan alvi)?
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan rectal touche, USG, scoring Barthel, dan
Geriatric depression scale?
5. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat bagi pasien dalam skenario?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui proses fisiologis berkemih dan defekasi pada orang usia lanjut.
2. Mengetahui mekanisme patofisiologi inkontinensia urin dan alvi, anyang-anyangen, sakit
saat kencing, sering marah, dan tidak bisa tidur.
3. Mengetahui apakah ada hubungan antara riwayat penyakit dahulu pasien (stroke) dengan
riwayat penyakit sekarang (inkontinensia urin dan alvi).
4. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan rectal touche, USG, scoring Barthel, dan
Geriatric depression scale.
5. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat bagi pasien dalam skenario.
D. Manfaat Penulisan
1. Menjadi bahan pertimbangan bagi tenaga kesehatan untuk memberi tatalaksana yang
lebih baik dan lebih tepat, sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
dan angka harapan hidup orang usia lanjut.
E. Hipotesis
Pasien dalam skenario menderita inkontinensia urin dan alvi, sebagai akibat dari stroke yang
dialaminya dua tahun yang lalu.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Berkemih dan Defekasi pada Lanjut Usia
Pada dasarnya proses berkemih dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase penyimpanan dan
fase pengosongan. Fase penyimpanan ialah fase di mana kandung kemih terisi oleh urin hingga
mencapai nilai ambang batas. Setelah nilai ambang tersebut dicapai, maka akan masuk ke dalam
fase kedua yaitu fase pengosongan atau disebut dengan refleks mikturisi. Refleks ini
dikendalikan oleh sistem saraf otonom tetapi dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat
saraf di korteks serebri atau batang otak. Kedua proses tersebut melibatkan struktur dan fungsi
komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan lingkungan.
Persarafan kandung kemih dikendalikan oleh saraf-saraf pelvis, berhubungan dengan
pleksus sakralis terutama segmen S-2 dan S-3. Perjalanan impuls melalui dua jalur, sensorik dan
motorik. Peregangan yang terjadi pada dinding kandung kemih akan dibawa oleh saraf sensorik
kemudian diteruskan ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat saraf subkortikal
menyebabkan dinding kandung kemih semakin meregang, sehingga menunda desakan untuk
segera berkemih. Sedangkan, pusat saraf kortikal akan memperlambat produksi urin. Sehingga,
proses berkemih dapat ditunda. Gangguan pada pusat saraf tersebut menurunkan kemampuan
seseorang untuk menunda berkemih.
Proses berkemih akan terjadi bila otot destrusor kandung kemih berkontraksi. Kontraksi
ini disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dibawa oleh saraf-saraf motorik pelvis.
Sedangkan pada fase pengisian, saraf simpatis akan menghambat kerja parasimpatis dan dinding
kandung kemih.
Mekanisme berkemih pada usia dewasa dan usia lanjut tidak jauh berbeda. Hanya saja,
akibat proses penuaan, fungsi dan fisiologis berkemih mengalami penurunan. Pada usia tua
terjadi penurunan kadar hormon estrogen pada wanita dan androgen pada pria. Akibatnya, terjadi
perubahan anatomis dan fisiologis termasuk pada struktur saluran kemih. Misalnya, penurunan
elastisitas pada otot polos uretra sehingga menurunkan tekanan penutupan uretra dan tekanan
outflow. Melemahnya otot dasar panggul yang berperan dalam mempertahankan tekanan
abdomen dan dinamika miksi menyebabkan prolapsnya kandung kemih dan melemahnya tekanan
akhiran pengeluaran urin.
Seperti halnya berkemih, proses defekasi juga melibatkan koordinasi dari sistem saraf,
otot dan kesadaran. Ketika feses sampai di rektum akan memberikan respon keinginan untuk
3
defekasi. Reaksi ini diawali dengan perangsangan pada saraf enterik setempat. Kemudian impuls
akan disebarkan oleh pleksus mienterikus sehingga terjadi gerakan pendorongan feses.
Penghambatan oleh pleksus mienterikus terhadap sfingter ani internus akan menyebabkan
sfingter berelaksasi. Dan jika, sfingter ani eksternus yang dipersarafi oleh nervus pudendus
secara sadar berelaksasi maka akan terjadi defekasi. Selain itu, kontraksi otot-otot abdomen juga
akan membantu mendorong feses ke rektum dan secara bersamaan juga menyebabkan otot dasar
pelvis berelaksasi ke bawah dan menarik cincin anus keluar untuk mengeluarkan feses.
B. Stroke
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan,
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-
gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan
bukan oleh yang lain dari itu.
Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu: stroke iskemik maupun stroke hemorragik.
Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak
sebagian atau keseluruhan terhenti. 80% stroke adalah stroke iskemik. Stroke iskemik ini dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Stroke Trombotik : proses terbentuknya thrombus yang membuat penggumpalan.
2. Stroke Embolik : tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3. Hipoperfusion Sistemik : berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung.
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir
70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke hemoragik ada 2 jenis,
yaitu:
1. Hemoragik Intraserebral : pendarahan yang terjadi didalam jaringan otak.
2. Hemoragik Subaraknoid : pendarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit
antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak).
Tanda dan Gejala-gejala Stroke
Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala-gejala stroke terbagi menjadi berikut:
1. Bagian sistem saraf pusat : kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik.
4
2. Batang otak, dimana terdapat 12 saraf kranial: menurun kemampuan membau, mengecap,
mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah terganggu,
pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
3. Cerebral cortex: aphasia, apraxia, daya ingat menurun, hemineglect, kebingungan.
Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam, dinyatakan sebagai Transient
Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan serangan kecil atau serangan awal stroke.
Faktor Penyebab Stroke
Faktor resiko medis, antara lain hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi), kolesterol,
aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah), gangguan jantung, diabetes mellitus, riwayat stroke
dalam keluarga, dan migrain.
Faktor resiko perilaku, antara lain merokok (aktif dan pasif), makanan tidak sehat (junk
food, fast food), alkohol, kurang olahraga, mendengkur, kontrasepsi oral, narkoba, dan obesitas.
80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut statistik, 93%
pengidap penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi. Pemicu
stroke pada dasarnya adalah suasana hati yang tidak nyaman (marah-marah), terlalu banyak
minum alkohol, merokok, dan senang mengkonsumsi makanan yang berlemak.
Pasca Stroke
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yang terbentuk akan diserap kembali secara
bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat
menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau
cacat. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut:
1/3 --- bisa pulih kembali,
1/3 --- mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,
1/3 sisanya --- mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus
menerus di kasur.
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya
mengalami cacat, sehingga banyak penderita stroke menderita stress akibat kecacatan yang
ditimbulkan setelah diserang stroke.
Akibat Stroke lainnya:
80% penurunan parsial/total gerakan lengan dan tungkai.
80-90% bermasalah dalam berpikir dan mengingat.
70% menderita depresi.
30 % mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri.
5
C. Indeks ADL Barthel
Indeks ADL Barthel adalah suatu penilaian fungsional tubuh dengan menggunakan
klasifikasi standard untuk mengukur ketrampilan, seperti activities of daily living dan mobilitas
harian. Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui kemampuan pasien dengan kelainan
neuromuscular maupun musculoskeletal (khususnya pada post stroke) dalam merawat dirinya
sendiri dan dengan mengulang tes ini secara rutin dapat dinilai peningkatannya.
Tes ini menggunakan 10 indikator, yaitu :
1. Makan (feeding)
0 = unable
1 = butuh bantuan memotong, mengoles mentega, atau membutuhkan modifikasi diet
2 = independen
2. Mandi (bathing)
0 = dependen
1 = independen (atau menggunakan shower)
3. Perawatan diri (grooming)
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri
1 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
4. Berpakaian (dressing)
0 = dependen
1 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan sendiri
2 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita, dan sebagainya
5. Buang air kecil (bowel)
0 = inkontinensia
1 = occasional accident
2 = kontinensia
6. Buang air besar (bladder)
0 = inkontinensia
1 = occasional accident
2 = kontinensia
7. Penggunaan toilet
0 = dependen
1 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri
2 = independen
6
8. Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk
1 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik) tapi dapat duduk
2 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
3 = independen
9. Mobilitas
0 = immobile
1 = menggunakan wheel chair
2 = berjalan dengan bantuan satu orang
3 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun, tongkat)
10. Menaiki tangga
0 = unable
1 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
2 = independen
Interpretasi hasil :
20 : mandiri
12-19 : ketergantungan ringan
9-11 : ketergantungan sedang
5-8 : ketergantungan berat
0-4 : ketergantungan total
(Schwamm, 2004)
D. Gangguan Tidur pada Orang Usia Lanjut
Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di
tempat tidur sebelum masuk tidur) dan mempunyai lebih sedikit waktu tidur nyenyaknya. Secara
luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi : kesulitan masuk tidur (sleep onset
problems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem), bangun terlalu
pagi (early morning awakening). Pada usia lanjut juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur
normal, yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Pada usia lanjut,
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol.
Melatonin, hormon yang diekskresi malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan
meningkatnya umur.
7
Pada insomnia sementara, misalnya dalam keadaan stress ringan (jet lag) dapat digunakan
hipnotik dengan waktu paruh singkat, kecuali bila ada kebutuhan sedasi siang hari. Pada
insomnia jangka pendek, misalnya terjadi kesedihan yang dalam, sakit yang singkat. Pikiran yang
risau, benzodiazepine dapat bermanfaat. Pengobatan dimulai dengan dosis kecil kemudian
dinakkan bertahap bila diperlukan. Pemberian obat harus dihentikan 1 / 2 malam setelah tidur
lelap dapat dicapai dan pemberian lebih dari 3 minggu terus menerus tidak dibenarkan.
Penghentian harus dilakukan bertahap.
Obat insomnia --- obat hipnotik-sedatif
1. Golongan benzodiazepine
Efek benzodiazepin hampir semua merupakan hasil kerja golongan ini pada sistem saraf
pusat dengan efek utama : sedasi, hypnosis, pengurangan rangsangan emosi/ansietas,
relaksasi otot, dan antikonvulsi. Kerja benzodiazepine terutama merupakan postensiasi
inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator yang akan
menyebabkan pembukaan kanal Cl-. Membran sel yang akan menjadi permeabel terhadap ion
klorida, sehingga memungkinkan masuknya ion klorida, meningkatkan potensial elektrik
sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi.
Efek samping yang relatif umum terjadi adalah lemah badan, sakit kepala, pandangan
kabur, vertigo, mual dan muntah, diare, sakit epigastrik, sakit sendi, sakit dada, dan dapat
terjadi inkontinensia.
Golongan Benzodiazepin
a. Diazepam, klordiazepoksid, klorazepat, halazepam, prazepam, lorazepam, flurazepam,
oksazepam, nitrazepam, bromazepam, temazepam, estazolam, triazolam, midazolam &
alprazolam.
b. Obat pelemas otot
c. Obat antikonvulsi
d. Obat anti ansietas
e. Obat sedatif – hipnotik
f. Long acting : flurazepam
g. Intermediate acting : temazepam, lorazepam _ Short acting : triazolam, estazolam
2. Golongan barbiturat
Barbiturat telah banyak digantikan oleh benzodiazepin sebagai hipnotik dan sedatif
karena lebih aman. Pada susunan saraf pusat. Efek utama barbiturat adalah depresi SSP mulai
sedasi sampai dengan kematian.
8
Golongan Barbiturat
a. Amobarbital, aprobarbital, barbital,butabarbital, heksobarbital, kemital, fenobarbital,
sekobarbital, tiopental, mefobarbital, pentobarbital.
b. Obat sedatif – hipnotik:
- Long acting (6 jam) : fenobarbital
- Short acting (3 jam) : amobarbital, pentobarbital dan sekobarbital.
3. Lain-lain: Kloralhidrat, Paraldehid, Antihistamin (difenhidramin, doksilamin), obat baru
(zolpidem, zaleplon, zolpiklon).
E. Gangguan Depresif pada Orang Usia Lanjut
Pada orang usia lanjut, gangguan depresif merupakan suasana alam perasaan yang utama
bagi orang usia lanjut dengan penyakit fisik kronik dan kerusakan fungsi kognitif yang
disebabkan oleh adanya penderitaan, disabilitas, perhatian keluarga yang kurang serta bertambah
buruknya penyakit fisik yang banyak dialaminya.
Selain itu proses-proses sehubungan dengan ketuaan dan penyakit fisik yang dialaminya
akan mempengaruhi jalur frontostriatal, amygdala serta hypocampus, dan meningkatkan
kerentanan untuk terjadinya gangguan depresif. Begitu pula faktor herediter bisa juga berperan
sebagian. Adanya musibah yang bersifat psikososial seperti kemiskinan, isolasi sosial, dan lain-
lain akan mengundang untuk suatu perubahan fisiologis yang selanjutnya akan meningkatkan
kerentanan untuk mengalami depresi atau untuk mencetuskan kondisi depresi pada orang usia
lanjut yang rentan akan hal tersebut.
Etiologi
Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut bisa berupa:
1. Faktor Biologis
Hal ini bisa berupa faktor genetis, gangguan pada otak terutama sistem serebrovaskular,
gangguan neurotransmitter terutama aktivitas serotonin, perubahan endokrin, dan lainnya.
a) Faktor Genetis
Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian dinyatakan bahwa gen-gen yang
berhubungan dengan risiko yang meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat
meningkatkan kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain melaporkan
bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif mayor pada orang usia lanjut dapat
dimediasi oleh adanya lesi vaskular.
b) Gangguan pada Otak
9
Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu penyebab
timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit serebrovaskular, yang
mana gangguan ini dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi, atau mempertahankan
gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia lanjut.
c) Gangguan Neurotransmitter
Pada suatu penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa konsentrasi norepinephrin dan
serotonin berkurang sesuai dengan bertambahnya usia, tetapi metabolit 5- HIAA dan
enzim monoamineoksidase meningkat sesuai pertambahan usia.
d) Perubahan Endokrin
Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar hormon estrogen pada wanita,
testosteron pada pria, dan hormon pertumbuhan pada pria dan wanita. Penurunan kadar
hormon tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena pertambahan usia. Sehingga
dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel dari organ tubuh makin meningkat,
termasuk di antaranya meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh yang
memproduksi hormon tersebut makin berkurang. Dengan penurunan kadar hormon
tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi neurotransmitter terutama serotonin dan
norepinephrin.
2. Faktor Psikologis
Ini bisa berupa penyimpangan perilaku, psikodinamik, dan kognitif.
a) Teori Perilaku
Dari konsep teori perilaku terjadinya gangguan depresif pada individu usia lanjut oleh
karena orang-orang usia lanjut cukup banyak mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan atau yang cukup berat sehingga terjadinya gangguan depresif
tersebut sebagai respons perilaku terhadap stressor-stressor kehidupan yang dialaminya
tersebut.
b) Teori Psikodinamis
Berdasarkan teori psikodinamis, terjadinya gangguan depresif pada orang usia lanjut, oleh
karena pada orang usia lanjut sering terjadi ketidaksanggupan untuk menyelesaikan
pencarian pemulihan sekunder dari peristiwa-peristiwa kehilangan yang tak terelakkan
oleh individu tersebut.
c) Teori Kognitif
Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan depresif adalah terjadinya distorsi
kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana interpretasi seseorang terhadap
10
peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialaminya. Terjadinya distorsi kognitif pada orang
usia lanjut oleh karena pada individu usia lanjut tersebut memiliki harapan-harapan yang
tidak realistis dan membuat generalisasi yang berlebih-lebihan terhadap peristiwa
kehidupan tertentu yang tidak menyenangkan individu tersebut.
3. Faktor Sosial
Hal ini bisa berupa hilangnya status peranan sosialnya atau hilangnya sokongan sosial yang
selama ini dimilikinya.
Gambaran Klinik
Pada orang usia lanjut, gambaran klinik dari gangguan depresifnya bisa dijumpai sebagai berikut:
a) Depresi dan dysphoria
b) Menangis --- jarang pada pasien pria.
c) Ansietas (kecemasan) dan agitasi
d) Menurunnya energi dan kelelahan (fatigue)
e) Anhedonia
f) Retardasi fisik
g) Defisit kognitif
h) Somatisasi
i) Hypokhondriasis
j) Insight
k) Suicide (bunuh diri)
l) Gejala-gejala psikotik
m) Gangguan Perilaku
n) Gangguan tidur, terutama late insomnia
Selain gejala-gejala di atas, dapat dikatakan bahwa pasien gangguan depresif usia lanjut sering
dijumpai comorbiditas dengan penyakit-penyakit lain, yaitu:
Co-morbiditas dengan gangguan psikiatri lainnya antara lain gangguan cemas (ansietas) dan
lain-lain.
Co-morbiditas dengan penyakit-penyakit fisik, antara lain: penyakit Alzheimer, penyakit
Parkinson, stroke, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain.
Faktor Risiko Untuk Perkembangan Terjadinya Depresi Pada Usia Lanjut
a. Penyakit fisik, terutama yang menimbulkan rasa sakit atau ketidaksanggupan.
b. Merasa kesepian.
c. Ada duka cita saat ini, atau peristiwa kehidupan buruk yang lain.
11
d. Gangguan pendengaran.
e. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan depresif.
f. Demensia dini.
g. Ada penggunaan obat-obat tertentu seperti: steroid, mayor transquilizer, dan lain-lain.
h. Kondisi kardiovaskular yang bisa berupa: stroke, myocard infarct, dan sebagainya.
i. Kanker sebagai penyebab kematian pada penderita gangguan depresif pada usia lanjut.
Diagnosis --- penetapan diagnosis untuk gangguan depresif pada orang usia lanjut dapat
mempergunakan kriteria diagnostik dari Geriatric Depression Scale (GDS).
Manajemen Terapi
a) Pengobatan terhadap penyakit yang mendasarinya.
b) Pemberian obat anti depressant dan psikoterapi (cognitive behavior therapy, psychodynamic
psychotherapy, dsb.).
c) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Obat antidepressant golongan S.S.R.I. dan S.N.R.I. adalah obat antidepressant pilihan,
diikuti dengan Bupropion dan Mirtazapine. Sedangkan beberapa jenis obat antidepressant
seperti: Amitriptyline, Maprotyline, dan lain-lain harus dihindari.
12
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang pada pasien, penulis
berhipotesis bahwa proses penuaan dan stroke merupakan faktor predisposisi munculnya keluhan-
keluhan pasien. Perjalanan penyakit pasien secara ringkas terlihat pada bagan berikut.
Dua tahun yang lalu
disebutkan bahwa pasien
menderita stroke. Secara
garis besar, stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke nonhemoragik. Pada
akhirya kedua jenis stroke tersebut menyebabkan daerah otak yang terkena tidak menerima O2 dan
glukosa secara adekuat. Akibatnya daerah otak tersebut tidak berfungsi dan menimbulkan
manifestasi defisit neurologik. Pada pasien ini, defisit neurologik yang terjadi berupa gangguan
berjalan. Adanya defisit neurologis juga ditunjukkan dengan skor ADL yang rendah saat masuk
rumah sakit (ADL 10 = ketergantungan sedang). Perawatan di rumah sakit memperbaiki kondisi
pasien yang ditunjukkan oleh skor ADL saat pulang yaitu 18 (ketergantungan ringan).
Pada skenario juga disebutkan bahwa semenjak pulang dari rumah sakit pasien menjadi susah
tidur. Penulis menduga bahwa susah tidur yang dialami pasien merupakan gejala dari depresi pada
lansia. Apalagi skor geriatric depression scale (GDS) pasien adalah 11 yang menunjukkan telah
terjadi depresi ringan. Menurut ICD-10, diagnosis depresi pada lansia ditegakkan bila terdapat
13
kurang mampu menahan BAK, sering keluar sebelum sampai kamar mandi (1 tahun
yang lalu)
istri meninggal (1,5 tahun yang lalu)
tidak bisa menahan BAB (2 minggu yang lalu)
sering ngompol(3 bulan yang lalu)
anyang-anyangan dan sakit saat BAK (1 minggu yang lalu)
Laki-laki, 75 tahun
Sosio ekonomi keluarga baik
KM terpisah dari kamar
rawat inap (ADL 10)
Stroke
tidak bisa tidur minum obat tidur sering marah
defisit neurologis (sulit berjalan)
pulang (ADL 18)
GDS 11
2 tahun yang lalu
Hasil PmxRT : prostat normalUSG : prostat tidak membesar
sedikitnya 2 gejala utama dan 2 gejala lain. Gejala utama berupa afek depresi, anhedonia, dan
anenergi. Sedangkan gejala lain meliputi penurunan konsentrasi dan harga diri, pesimis terhadap
masa depan, gangguan tidur dan nafsu makan, gagasan bunuh diri, serta penurunan libido. Depresi
pada lansia sering dikaitkan dengan perasaan kesepian akibat kehilangan orang yang dicintai seperti
pasangan hidup dan anak-anak. Penurunan kemampuan fisik yang berakibat pada penurunan
kemampuan merawat diri juga dapat memicu timbulnya depresi. Faktor predisposisi lain depresi
pada lansia adalah penurunan kemampuan kognitif dan intelektual yang berakibat pada kehilangan
pekerjaan dan penghasilan serta dukungan sosial.
Namun, depresi juga dapat dikaitkan dengan penyakit neurologis seperti stroke (depresi
pascastroke). Beberapa peneliti berhipotesis bahwa sitokin-sitokin proinflamasi memiliki peran
penting dalam patogenesis depresi pascastroke. Telah diketahui bahwa akan terjadi proses inflamasi
pada daerah yang mengalami iskemia saat stroke. Proses inflamasi tersebut menyebabkan pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, TNFα, dan IL-18. Sitokin proinflamasi tersebut justru
merangsang amplifikasi proses inflamasi terutama di area limbik. Selain itu, juga terjadi peningkatan
aktivasi indolamine 2,3-dioxygenase (IDO) dan penurunan jumlah serotonin di area paralimbik
seperti ganglia basalis, ventral lateral cortex frontralis, dan polar temporal cotex. Padahal kita tahu
bahwa sistem limbik merupakan pusat emosi dan serotonin merupakan neurotransmiter utama dalam
patogenesis depresi. Istri pasien yang meninggal setengah tahun setelah pasien mengalami stroke
dapat memperberat depresi yang dialami pasien.
Dari bagan perjalanan di atas, diketahui bahwa pasien mulai mengalami gangguan berkemih
sejak setahun yang lalu. Gangguan berkemih yang dialami pasien dapat disebabkan oleh proses
penuaan dan juga gangguan neurologis pascastroke. Sebelum membahas patogenesis gangguan
berkemih pada pasien, penulis akan membahas sedikit tentang struktur anatomis dan fisiologi saluran
kemih bagian bawah.
Saluran kemih bagian bawah terdiri atas vesica urinaria dan urethrae dimana keduanya harus
bekerja secara sinergis agar dapat menjalankan fungsi penyimpanan (storage) dan pengeluaran
(voiding) urin. Pada perbatasan vesica urinaria dan urethrae terdapat sphincter urethrae interna yaitu
otot polos yang tertutup selama pengisian dan terbuka saat pengosongan vesica urinaria. Di sebelah
distal dari urethrae posterior terdapat sphincter urethrae externa yang terdiri atas otot lurik dari otot
dasar panggul (diaphragma pelvis). Sphincter tersebut terbuka saat miksi sesuai dengan perintah
cortex cerebri. Selama pengisian, vesica urinaria mampu melakukan akomodasi yaitu meningkatkan
volume dengan mempertahankan tekanan di bawah 15 cmH2O. Kemampuan itu disebut sebagai
komplians vesica urinaria yang dapat dinyatakan dalam rumus:
14
Berdasarkan rumus tersebut, bila komplians vesica urinaria menurun maka pengisian vesica urinaria
dengan volume urin ( ) yang lebih kecil dapat menghasilkan tekanan intravesica ) yang sama.
Kelainan pada saluran kemih bagian bawah dapat berupa kegagalan pada fase pengisian atau
fase pengeluaran. Bila kegagalan terjadi pada fase pengisian, kelainannya disebut sebagai
inkontinensia. Sedangkan kegagalan pada fase pengeluaran disebut sebagai retensi urin.
Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan menjadi inkontinensia urge dan stres seperti yang terlihat
pada bagan di bawah ini.
Pada inkontinensia urge, overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologis
dan non neurologis. Bila penyebabnya adalah kelainan neurologis maka disebut hiperrefleksia
detrusor, sedangkan jika penyebabnya non neurologis disebut instabilitas detrusor. Hiperrefleksia
biasanya disebabkan oleh stroke, cedera corda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida, dan penyakit
Parkinson. Instabilitas detrusor lebih sering disebabkan oleh obstruksi infravesika, sistitis, serta batu
dan tumor vesica urinaria. Penurunan komplians vesica urinaria disebabkan oleh peningkatan
kolagen pada matriks detrusor atau adanya kelainan neurologis. Pada inkontinensia stres,
hipermobilitas urethrae terjadi akibat kelemahan otot-otot dasar panggul oleh karena penuaan
(penurunan kadar hormon) dan atau kelainan neurologis. Sedangkan defisiensi sphincter intrinsik
selain oleh karena kelainan neurologis juga disebabkan oleh trauma, radiasi, dan komplikasi operasi.
Menurut penulis, pada pasien ini terjadi inkontinensia urge dan stres yang dikaitkan dengan
proses penuaan dan stroke. Penuaan menyebabkan penurunan komplians vesica urinaria dengan cara:
1) meningkatkan deposisi kolagen matriks detrusor, fibrosis, dan trabekulasi, 2) meningkatkan
volume residu pasca berkemih, dan 3) meningkatkan kontraksi involunter. Kontraksi involunter
semakin diperparah dengan hiperreflektibilitas detrusor akibat stroke. Berdasarkan rumus
sebelumnya, bila terjadi penurunan komplians maka hanya sedikit volume urin yang diperlukan
15
Inkontinensia urin
overaktivitas detrusor penurunan komplians
Kelainan pada vesica urinaria/inkontinensia
urge
Kelainan pada urethrae/inkontinensia stres
hipermobilitas urethrae defisiensi sphincter intrinsik
untuk merangsang kontraksi vesica urinaria. Oleh karena itu, pasien inkontinensia urge biasanya
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Itu karena
muculus detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas vesica urinaria belum
terpenuhi.
Pada proses penuaan juga terjadi kelemahan otot-otot dasar panggul oleh karena peningkatan
deposit kolagen dan rasio jaringan ikat otot. Kelemahan otot menyebabkan penurunan (herniasi) dan
angulasi leher vesica urinaria-urethrae saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. Herniasi dan
angulasi itu terlihat sebagai terbukanya leher vesica urinaria-urethrae sehingga menyebabkan
bocornya urine dari vesica urinaria meskipun tidak ada peningkatan tekanan intravesica. Posisi
kamar mandi yag terpisah dengan kamar pasien membuat pasien harus berjalan lebih jauh sehingga
tekanan intraabdomen makin tinggi. Kemungkinan itulah yang menyebabkan urin pasien sering
keluar sebelum mencapai kamar mandi.
Peningkatan volume residu urin akibat proses miksi yang tidak efektif menyebabkan rasa
tidak tuntas saat BAK. Itulah yang disebut anyang-anyangan. Sakit saat BAK menimbulkan
kecurigaan telah terjadi ISK. Seiring dengan bertambahnya usia, imunitas seseorang biasanya
menurun. Hal itu karena penurunan jumlah sel imun seluler dan humoral serta penurunan intake
makanan akibat turunnya nafsu makan. Risiko terkena ISK juga meningkat karena hilangnya efek
bakterisid dari sekresi prostat.
Pada skenario juga disebutkan bahwa sejak 2 minggu yang lalu pasien tidak dapat menahan
BAB (inkontinensia alvi). Dari berbagai jenis inkontinensia alvi yang telah dijelaskan pada tinjauan
pustaka, penulis lebih mengarah kepada inkotinensia alvi neurogenik sebagai diagnosis pasien. Hal
itu didukung oleh riwayat stroke pasien. Sebelumnya penulis sedikit akan membahas mengenai
fisiologi defekasi.
Proses normal defekasi terjadi melalui refleks gastrocolon. Ketika makanan memasuki
lambung, secara otomatis akan terjadi pergerakan feses dari colon decendens ke arah rectum.
Distensi rectum oleh feses akan meningkatkan potensial aksi dari reseptor regang rectum. Impuls
tersebut selanjutnya dibawa oleh serabut afferen menuju medulla spinalis untuk dilanjutkan ke cortex
cerebri, tetapi sebelumnya mengalami relay terlebih dahulu di thalamus. Ketika kondisi dan waktu
memungkinkan untuk defekasi, serabut efferen preganglioer akan mengirim impuls ke rectum dan
sphincter ani interna serta eksterna. Akibatnya rectum berkontraksi sedangkan sphincter ani
relaksasi. Hal itulah yang menyebabkan feses dapat keluar. Namun, bila waktu dan tempat tidak
memungkinkan, pada orang yang normal dapat terjadi inhibisi oleh cortex cerebri. Serabut inhibisi
tersebut dikirim melalui tractus coticospinalis sehingga terjadi relaksasi rectum dan kontraksi
16
sphincter ani. Pada orang lanjut usia terutama dengan penyakit cerebrovascular (stroke), kematian
bagian cortex cerebri menyebabkan kemampuan inhibisi tersebut hilang. Akibatnya distensi rectum
oleh feses dapat langsung menyebabkan defekasi.
Selain gangguan neurologis, perubahan struktur anatomi pada usia lanjut juga dapat
menyebabkan inkontinensia alvi. Pada orang dewasa normal, terdapat tiga proteksi anatomis yang
mengatur mekanisme defekasi, yaitu: 1) sudut anorektal berada dalam posisi ideal (< 1000), 2)
sphincter ani externa sebagai pelindung dari peningkatan tekanan intraabdominal mendadak, dan 3)
bentuk rectum dan canalis analis (anus) seperti katup yang menguncup. Penurunan kadar hormon dan
peningkatan kolagen matriks pada otot yang terjadi selama penuaan menyebabkan bentuk rectum dan
diaphragma pelvis menjadi kurang baik. Akibatnya proteksi anatomis tersebut tidak dapat
menjalankan fungsi proteksinya lagi dengan baik dan terjadilah inkontinensia alvi.
Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan pada pasien adalah
rectal touche. Sebagaimana diketahui bahwa rectal touche bertujuan eksplorasi rektum dengan jari.
Rectal touche menilai keadaan mukosa rectal, posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta
menilai reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal touche sesuai skenario karena
salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan
prostat pasien. Kasus pembesaran prostat dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi
pada usia tua sehingga gejala yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urin tipe overflow disertai
inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal touche dan gambaran USG,
didapatkan prostat dalam batas normal dan tidak membesar maka diagnosis inkontiensia urin tipe
overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.
Penatalaksanaan yang sesuai dengan keadaan pasien di skenario adalah penatalaksanaan non-
medikamentosa dengan mempertimbangkan segala aspek dari segi fisik, psikis, dan sosial ekonomi
baru jika tidak ada perbaikan dipikirkan untuk memberikan penatalaksanaan medikamentosa untuk
menghindari terjadinya polifarmasi pada pasien geriatri ini.
Penatalaksanaan medikamentosa biasanya diperuntukkan bagi kasus inkontinensia urin tipe
urge dan stres. Jenis obat yang menjadi pertimbangan adalah jenis antikolinergik, antispasmodik,
agonis adrenergik alfa, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik alfa tetapi dikarenakan banyaknya
efek samping dari semua obat yang disebutkan di atas seperti delirium atau insomnia maka
penatalaksanaan medikamentosa tidak menjadi lini pertama pengobatan untuk kasus skenario.
Penatalaksanaan non medikamentosa yang tepat untuk kasus ini adalah rehabilitasi medik
seperti pemakaian orthesa, fisioterapi, dll. Selain itu juga pasien dilatih cara melatih BAK dan BAB
yang teratur seperti mengatur untuk buang air kecil dan buang air besar setiap beberapa jam sekali
17
serta melatih pasien untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul sehingga dapat menahan aliran
kencing. Sedangkan dari segi psikis yaitu lebih meningkatkan peran serta dari pihak keluarga pasien
untuk lebih memerhatikan tahap-tahapan penyembuhan pasien dan lebih memberikan perhatian lagi
ke pasien. Masalah susah tidur, sering-sering marah, dan GDS pasien yang menunjukkan tingkat
depresi sedang, maka penatalaksanaan yang tepat adalah psikoterapi dengan peran dukungan
keluarga penuh.
Pengaruh lokasi kamar mandi yang terpisah dari kamar tidur pasien dan keadaan sosio-
ekonomi pasien juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan. Pada inkontinensia fungsional salah
satunya adalah memberikan tempat berkemih yang nyaman, mudah dijangkau, dan tidak
membahayakan si lansia. Perlu juga dipertimbangkan mengenai pemberian pampers, perawat yang
menjaga, pengadaan kateter, pembangunan ruang dan toilet yang sesuai dengan penderita. Dukungan
keluarga diperlukan jika dalam hal ini membutuhkan biaya yang cukup memberatkan pasien.
BAB IV
18
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Pasien dalam skenario menderita inkontinensia urin (tipe urge dan stress) dan inkotinensia
alvi neurogenik.
2. Inkontinensia pada pasien disebabkan oleh karena proses penuaan dan stroke yang telah
dialaminya dua tahun lalu.
3. Pasien dalam skenario juga mengalami depresi sebagai akibat stroke dan perasaan sedih
ditinggal istrinya meninggal.
4. Penatalaksanaan pada pasien di skenario adalah penatalaksanaan non-medikamentosa dan
medikamentosa dengan mempertimbangkan segala aspek dari segi fisik, psikis, dan sosial
ekonomi.
B. SARAN
1. Pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, pembuatan rencana terapi yang
mencakup perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi, dan berbagai upaya
pencegahan komplikasi lanjutan sebaiknya segera dilakukan untuk mengatasi kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
19
Martono H, Kuswardhani RAT. 2006. Strok dan Penatalaksanaanya oleh Internis. In: Sudoyo dkk
(ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1421-24.
Pranaka K, Andayani R. 2006. Konstipasi dan Inkontinensia Alvi. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1410-14.
Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto, pp: 105-11.
Schwamm L.M.D. 2004. Barthel Index Scoring Form. http://www.strokecenter.org/trials/
scales/barthel.html (Diakses tanggal 20 Maret 2011).
Setiati S, Putu DP. 2006. Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. In: Sudoyo dkk (ed).
Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1402-09.
Soejono CH, Probosuseno, Sari NK. 2006. Depresi pada Usia Lanjut. In: Sudoyo dkk (ed). Buku
Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 1379-1382.
20