Upload
muflikhatun-umamah
View
72
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
STUDENT CENTER LEARNING
“Tikus-Tikus Nakal”
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 21
1. NURCAHYO MAULANA 25010110141044
2. BALQIS AZ ZAHRA 25010110141045
3. ISMAH SYARAFINA 25010110141046
4. EVI SONDANG S 25010110141047
5. RISMA SHINTA DEWI 25010110141049
6. M. LUQMAN ANSHORI 25010110141050
7. FEBY RAHMAWATI 25010110141051
8. ASTI AWIYATUL B 25010110141052
9. YULIA SARI RAHAYU 25010110141153
10. ANINDYA AYU R 25010110141156
11. BEATRIGE SULASTI S 25010110141157
12. MASITA FATMAWATI 25010110141166
13. CHAIRUL ANWAR NASUTION 25010110141167
14. AKHA PRATILA SARI 25010110141169
15. HESTITI INTAN H 25010110141173
16. ARIEF SATIAWAN 25010110141175
17. SUKIS 25010110141176
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. KASUS
Tikus-Tikus Nakal
Wawan adalah anak dari seorang petani di Desa Sukanyanyi
bernama Pak Karjo. Setelah Pak Karjo meninggal karena sakit, Wawan
menggantikan pekerjaan ayahnya di sawah. Sebelum menginggal awalnya
Pak Karjo menderita demam disertai sakit kepala dan nyeri betis selama 2
hari. Pak Karjo sempat berobat di Polindes dan diberi obat penurun panas,
tetapi kondisi Pak Karjo semakin memburuk mata memerah dan susah
berjalan. Karena khawatir biaya tinggi, Pak Karjo membiarkan saja
penyakitnya. Hingga akhirnya pak Karjo tidak tertolong lagi saat keluarga
membawanya ke Rumah sakit karena kondisi sudah parah dan badannya
sudah menguning.
Seperti almarhum ayahnya, Wawan menjadi petani tradisional.
Wawan bertani dan mengerjakan sawah tanpa alas kaki sehingga kakinya
sering luka karena menginjak keong yang ada di sawah. Walaupun begitu,
Wawan akan tetap bekerja karena sudah terbiasa. Bahkan pada musim
tanam, Wawan dapat bekerja di sawah dari pagi sampai menjelang maghrib
hingga pola makannya tidak teratur. Kadang juga Wawan ke sawahnya untuk
membasmi hama di sawahnya. Hama pertanian yang utama di daerah itu
antara lain adalah wereng, keong dan tikus. Biasanya Wawan akan
membunuh tikus yang dijumpainya di sawah dan membuang bangkainya di
sungai. Populasi tikus yang banyak membuat Wawan harus selalu
mengulangi hal tersebut agar padi di sawahnya tidak habis dimakan tikus.
Awalnya biasa saja, namun sebulan kemudian Wawan menderita sakit
dengan gejala yang mirip dengan ayahnya dahulu. Selain Wawan, ada 10
orang lain penderita penyakit yang sama dari 513 penduduk yang ada di
Desa Suka nyanyi dari bulan Juli-Agustus pada tahun 2012. Kondisi drainase
di desa ini tersumbat karena sampah yang dibuang sembarangan. Petugas
kesehatan sudah pernah member penyuluhan kepada warga bahwa tikus
bisa menularkan penyakit.
2
B. JUMP
1. ISTILAH PENTING
a. Polindes: Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salaha satu
bentuk peran serta masyarakat dalam menyediakan tempat
pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak
lainnya, termasuk kb di desa (depkresi, 1999) polindes dirintis
dandikelola oleh pamong desa setempat. Berbeda dengan posyandu
yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader didukung oleh petugas
puskesmas, maka petugas polindes pelayanannyatergantung pada
keberadaan bidan, oleh karena pelayanan di polindes merupakan
pelayan profesi kebidanan.
b. Mata merah: adalah hasil dari perubahan dalam pembuluh darah
dimata yang membuat mata terlihat merah, dan biasanya disebabkan
terjadi pada satu atau kedua mata. Mata merah biasanya disebabkan
oleh iritasi atau infeksi.
c. Nyeri otot betis : Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan
paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin
phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan
pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu
diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini,
pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan.
d. Badan menguning: disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang
ringan, pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis
intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi
bilirubin.
e. Hama: adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak
diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia.
f. Drainase: adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di
bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh
manusia.
3
g. Tenaga kesehatan: adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan.
h. Penyuluhan adalah salah satu kegiatan penyampaian keinginan
pemerintah kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi tahu dan
mengerti antara kegiatan yang dilarang serta merugikan dengan
kegiatan apa yang boleh dikerjakan dan bermanfaat.
i. Demam: International Union of Physiological Sciences Commission
for Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu
keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya)
merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular
(host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang
patogenik atau dianggap asing oleh host dari segi patofisiologis dan
klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan
thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai
oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah
peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu
normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan
set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru.
Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan
panas dan memproduksi panas.
j. Sakit Kepala: rasa nyeri atau tidak enak disebagian atau seluruh
kepala.
k. Petani: Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan
usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan".
l. Sawah: adalah lahan usaha tani yang secara fisik permukaan
tanahnya rata, dibatasi oleh pematang, dapat ditanami padi dan
palawija / tanaman pangan lainnya.
m. Obat penurun panas: ada beberapa macam obat penurun panas
yang biasa ditemui dipasaran, yaitu:
1) Parasetamol
4
Parasetamol / Asetaminofen merupakan obat penurun panas
yang paling umum digunakan karena paling aman dibandingkan
golongan lain berkaitan dengan efek sampingnya.
2) Ibuprofen
Ibuprofen termasuk dalam obat golongan anti-inflamasi non
steroid. Bekerja sebagai analgesik (pereda nyeri) dan
antiinflamasi (anti radang) yang juga punya efek antipiretik.
Bekerja menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambat enzim Cyclooksigenasi 1 (COX-1) dan COX-2,
sehingga menimbulkan efek samping yang lebih banyak
dibandingkan Parasetamol.
n. Luka: adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang
disebabkan oleh trauma benda tajamatau tumpul, perubahan suhu,
zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.Luka adalah
suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit Didalam melakukan
pemeriksaan terhadaporang yang menderita luka akibat kekerasan,
pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapatmemberikan
kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan
yang menyebabkanluka, dan kualifikasi luka.
o. Pembasmi hama: pembasmi hama bisa dikatakan sebagai suatu
cara untuk membunuh hama dengan berbagai cara. Sara tradisional
seperti langsung memburu hama tersebut dengan alat-alat runcing
atau tumpul. Dan dengan cara modern adalah dengan menggunakan
obat pembasmi hama seperti jenis pestisida atau alat modern lainnya.
2. DAFTAR MASALAH
a. Kurangnya pengetahuan dan informasi
b. Kondisi sosial ekonomi rendah
c. Keterjangkauan akses pelayanan kesehatan berupa; SDM, nakes,
dan biaya
d. Terlambat memutuskan memperoleh pertolongan (baik pasien /
keluarga)
e. Jam kerja tinggi sehingga pola makan menjadi tidak teratur
5
f. Perilaku masyarakat buruk berupa membuang sampah sembarangan,
g. Banyaknya populasi tikus akibat pembasmian hama yang kurang
maksimal
h. Kondisi drainase tersumbat sehingga penyakit mudah menyebar
i. 10 orang menderita penyakit yang sama di bulan Juli dan Agustus
j. Masyarakat mengabaikan penyuluhan yang diberikan oleh nakes
k. Adanya gejala penyakit berupa; demam, sakit kepala, mata merah,
susah berjalan, nyeri betis, dan badan menguning
3. ANALISIS MASALAH
a. Pelayanan Kesehatan
1) Keterjangkauan Yankes
Akses
Sarana Prasarana
Jamkesmas
2) Penyuluhan Kurang Efektif
Bahaya Tikus
Program Kesehatan
6
TEORI HL. BLOOM
Pelayanan Kesehatan Perilaku Lingkungan
b. Perilaku
1) Kurangnya pengetahuan Informasi
2) Terlambat memutuskan memperoleh pertolongan
3) Tanpa menggunakan APD saat bekerja
4) Jam kerja tinggi
5) Cara membasmi hama kurang maksimal
6) Kebiasaan membuang sampah sembarangan yang menyebabkan
drainase tersumbat
7) Pola makan tidak teratur
c. Lingkungan
1) Kondisi SOSEK rendah
2) Banyaknya populasi tikus
3) Penyakit mudah menyebar
7
8
9
PETANI Perilaku Beresiko
Buang sampah
sembarangan
Jam kerja tinggi
Tidak menggu-nakan
APD
Adanya sampah
Drainase tersumbat
Vektor Bakteri Leptospirosis
Banyaknya tikus
Luka
Infeksi Leptospirosis
Timbul Gejala: Demam Sakit kepala Mata merah Susah berjalan Nyeri betis Badan
menguning
Pola makan tidak teratur
Imunitas Menurun
Kurangnya Pengetahuan
Keterjangkauan Informasi Yankes
Akses
Penyuluhan kurang efektif
Bahaya Tikus
Program Kesehatan
Terlambat memutuskan
Pendapatan
PHBSPenyuluhan JAMKESMAS
Sosek Rendah
SembuhMeninggal
Sarana Prasarana
JAMKESMAS
10 Orang terjangkit
Leptospirosis
Petani Tradisional
Resiko Kerja(Faktor Biologi)
Pekerjaan Beresiko
Hama Tikus
Bakteri Leptospira
Kejadian Leptospirosis
Faktor Lingkungan
Lingkungan FisikKondisi DrainaseAdanya sampah
Lingkungan SosekPendapatan
Faktor Pelayanan KesehatanPenyuluhan ( bahaya tikus, PHBS, JAMKESMAS)Keterjangkauan Yankes (akses, sarana prasarana, JAMKESMAS)
IMUNITAS
STATUS GIZI
Faktor Perilaku
Tidak memakai APDBuang sampah sembarangan
Pola makan tidak teraturJam kerja tinggi
Terlambat memutuskan
4. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
a. Kerangka Teori
10
Variabel BebasPerilaku Pengetahuan Sikap YankesKeterjangkauan Biaya LingkunganBiologi Fisik Ekonomi
Variabel PengangguUmur
Jenis kelamin Imunitas
Variabel Terikat
Leptospirosis
b. Kerangka Konsep
11
5. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Mengetahui definisi Leptospirosis
b. Mengetahui etiologi penyakit Leptospirosis
c. Mengetahui gejala dan tanda penyakit Leptospirosis
d. Mengetahui faktor resiko penyakit Leptospirosis
e. Mengetahui epidemiologi dan ekologi penyakit Leptospirosis
f. Mengetahui patogenisis Leptospirosis
g. Mengetahui patofisiologi Leptospirosis
h. Mengetahui vektor yang membawa bakteri Leptospirosis
i. Mengetahui cara penularan Leptospirosis
j. Mengetahui pencegahan Leptospirosis
k. Mengetahui cara pengendalian Leptospirosis
l. Mengetahui cara pengobatan Leptospirosis
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
yang berbentuk spiral dari genus Leptospira, yang menyerang hewan dan manusia.
Penelitian tentang Leptospirosis pertama dilakukan oleh ADOLF HEIL pada tahun
1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran
klinis demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan
pada ginjal (WIDARSO et al., 2005).
Penyakit-penyakit dengan gejala tersebut oleh GOLDSMITH (1887) disebut
sebagai "Weil's Disease" dan pada taun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa
Weil's Disease disebabkna oleh Bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu
beberapa jenis Leptospira dapat diisolasi baik dari hewan maupun manuia
(WIDARSO et al., 2005).
B. ETIOLOGI ATAU PENYEBAB LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit)
berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo
spirochaetales. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang
merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik.
Lebih dari 170 serotypes dari bakteri leptospira yang patogen telah
diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan
pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok seperti kait dari bakteri
leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung karena ukurannya yang
sangat kecil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Bentuk yang berpilin
seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 mikron dan tebal 0,1 mikron serta
memiliki 2 lapis membran. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan
gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat
hidup dalam air tawar selama ± 1 bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
13
Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies
patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil
diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia
diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya.
Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan
sapi.
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda.
Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan
pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan
dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan
kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L. pomona
dan L. interrogans terdapat pada lembu dan babi, L. grippotyphosa pada lembu,
domba, kambing, dan tikus, L. ballum dan L. icterohaemorrhagiae sering dikaitkan
dengan tikus dan L.canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang
penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.
Bakteri Leptospira khususnya species L. icterrohaemorrhagiae banyak
menyerang pada tikus got (Ratus norvegicus) dan tikus rumah (Ratus diardi)
Sedangkan L. Ballum menyerang tikus kecil (Musmusculus). Tikus yang diduga
mempunyai peranan penting pada waktu kejadian luar biasa di DKI Jakarta dan
Bekasi adalah R. norvegicus, R diardi, Suncus murinus dan R exculant (Riyaningsih,
2012).
C. GEJALA DAN TANDA LEPTOSPIROSIS
Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeski,
maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Hewan yang
kondisi fisik dan imunologiknya baik, penderita mampu segera mambentuk antibodi
(zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita
dapat menjadi sembuh (DHARMOJONO, 2001). Menurut WIDARSO et al. (2005)
gejala klinis dari Leptospirosis bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
Stadium pertama
a. Demam, menggigil
b. Sakit kepala
c. Malaise
14
d. Muntah
e. Konjungtivis
f. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala
tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut :
- Konjungtivis tanpa disertai eksudat serous/purulent
- Kemerahan pada mata
- Rasa nyeri pada otot-otot. Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai
keempat setelah penyakit tersebut muncul.
Stadium kedua
a. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
b. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi disbanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
c. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan
keempat
Stadium ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis
pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat
menimbulkan gejala-gejala berikut :
a. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
b. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang
erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
c. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
d. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat
menyebabkan kematian mendadak
e. Pada paru-paru, hemorrhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
f. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)
dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
g. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi.
15
Menurut SUPRIYANTO (2005) gejala yang ditimbulkan oleh Leptospirosis yaiatu:
1. Pada stadium awal manusia yang terserang mengalami demam tinggi, badan
mengigil seolah kedinginan, lesu, dan perut eneg, muntah, radang mata
seperti iritasi, danrasa nyeri pada otot betis. Gejala itu akan tampak antara
empat sampai sepuluh hari setelah tertular.
2. Kemudian pada stadium kedua, parasit ini membentuk antibodi dalam tubuh
penderita, dengan indikasi klinis yang lebih berat dari pada stadium awal.
Stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat. Apabila semakin
parah efeknya akan ke mana-mana seperti pada ginjal (akan mengakibatkan
gagal ginjal),jantung yang terkena akan berdebar tidak teratur, membengkak
dan gagal jantung. Pembuluh darah mengalami kebocoran dan akibatnya
Gejala icterus akan segera meghilang tetapi gejala anemia segera timbul.
Butir darah merah (RBC) dalam waktu 4-5 hari pertama meningkat tetapi
pada 7-10 hari kemudian akan kembali normal. Kebanyakan penderita pada
sapi, juga menunjukkan leukositosis. Infeksi oleh L. hardjo jarang sekali
memperlihatkan gejala icterus, hemoglobinuria dan anemia, sehingga akan
lebih sulit untuk mendiagnosa (DHARMOJONO, 2001).
Gejala klinis
Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase yaitu fase pertama : fase
leptospiremia, fase kedua: fase imun dan fase ketiga : fase penyembuhan.
1) Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus,
injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan
menghilangnya gejala klinis untuk sementara.
2) Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis
bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati,
serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas.
Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa
muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan
16
menggigil serta splenomegali. Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi
menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan
penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi
leptospirosis anikterik (non-ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1. Leptospirosis anikterik
Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan
ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di
masyarakat. Karena itu jika ditemukan satu kasus leptospirosis berat maka
diperkirakan sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau
tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta
mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue,
disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah
betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan
pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis
klinis leptospirosis.
Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadangkadang mengeluh
sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian
besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion
dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali
dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata
berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis
anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik
adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di
dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini
menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini
dapat sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan
menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip
17
penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan
keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik. Leptospirosis
anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa
negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza,
HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus, infeksi
mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,
bruselosis, riketsiosis dan malaria
2. Leptospirosis Ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis
berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan
gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat
persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping
dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh
jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status
imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang
tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan
ikterik
Sindrom, fase Gambaran klinik Spesimen lab.
Leptospirosis anikterik
fase leptospiremia (3-7
hari)
Demam tinggi, nyeri
kepala, mialgia, nyeri
perut, mual, muntah,
conjuctival suffusion
Darah, cairan
serebrospinal
Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri
kepala, muntah,
meningitis aseptik
Urine
Leptospirosis ikterik,
fase leptsopiremia dan
fase imun (sering
Demam, nyeri kepala,
mialgia, gagal ginjal,
hipotensi, manifestasi
Darah, cairan
serebrospinal
(minggu pertama)
18
Sindrom, fase Gambaran klinik Spesimen lab.
menjadi satu) pneumonia, hemoragik,
leukositosis
dan urin (minggu
kedua)
Sumber: Sub Direktorat Zoonosis, 2002
D. FAKTOR RESIKO LEPTOSPIROSIS
1. Faktor lingkungan fisik (keberadaan sampah dalam rumah, kondisi selokan
buruk, jarak rumah dengan selokan, curah hujan ≥ 177,5 mm, keberadaan
genangan air).
Menurut penelitian Agus Priyanto (2008), kondisi selokan yang buruk
mempunyai risiko 5,7 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Kondisi selokan
yang buruk disebabkan karena rata-rata ketinggian dari permukaan laut relatif
sama, sehingga prosentase kemiringin saluran air sangat kecil sehingga
berpengaruh terhadap aliran air selokan. Berdasarkan penelitian Soeharyo (1997)
yang menyatakan bahwa aliran selokan yang buruk mempunyai risiko 3 kali lebih
besar terjadi leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).
Menurut penelitian Agus Priyanto (2008), keberadaan sampah di dalam
rumah memiliki risiko 10,9 kali lebih besar untuk terkena leptospirosis
dibandingkan dengan kondisi tidak ada sampah. Penelitian oleh Sarkar (2000) di
Salvador Brasil menyebutkan bahwa kondisi sanitasi tempat tinggal yang buruk
yaitu adanya kumpulan sampah merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.
Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus
merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah
dijadikan indikator dari kehadiran tikus (dalam Rejeki, 2005). Menurut penelitian
Rejeki (2005) Secara statistik menunjukkan adanya hubungan keberadaan
sampah di dalam rumah dengan adanyatikus di dalam dan sekitar rumah.
Menurut penelitian Rejeki (2005) semakin dekat jarak rumah dengan
selokan semakin besar kemungkinan terpapar sumber kontaminan. Jarak rumah
dengan selokan dikategorikan <2,0 meter dan ≥ 2,0 meter, hasilnya menyebutkan
bahwa jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter mempunyai risiko 5,3 kali lebih
besar untuk terjadi leptospirosis dibanding jarak rumah dengan selokan ≥ 2,0
meter. Penelitian yang dilakukan oleh Sarkar (2000) menyebutkan jarak rumah
19
yang dekat dengan selokan mempunyai risiko 5,1 kali lebih besar untuk terjadi
leptospirosis (dalam Rejeki, 2005)
Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri leptospira
pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi. Leptospirosis biasanya
mempunyai distribusi musiman, meningkat dengan tingginya curah hujan dan
tingginya temperatur. Menurut data dari Internal Medicine di Victoria Hospital
Karibia terdapat 2.244 pasien dirawat karena leptospirosis pada musim hujan
yang berkepanjangan di negara itu. Begitu pula di Thailand pada saat musim
hujan terdapat sebanyak 312 kasus leptospirosis. Sedangkan di DKI Jakarta pada
bulan Pebruari sampai dengan April setelah pasca banjir tercatat 103 penderita
leptospirosis, data tersebut terus meningkat sampai dengan bulan Juni menjadi
144 kasus leptospirosis. Penelitian di Seychelles menyimpulkan bahwa insiden
leptospirosis berhubungan dengan curah hujan. Analisis yang mendetail dengan
menggunakan microclimate menunjukkan hubungan yang kuat kelangsungan
hidup bakteri leptospira di lingkungan yang basah (dalam Rejeki, 2005).
Menurut penelitian Riyaningsih (2012), ada hubungan antara keberadaan
genangan air di sekitar rumah dengan kejadian. Keberadaan genangan air di
sekitar rumah merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. Orang yang di
sekitar rumahnya terdapat genangan air mempunyai risiko 4,1 kali terkena
leptospirosis daripada orang yang di sekitar rumahnya tidak terdapat genangan
air. Keberadaan genangan menjadi peranan dalam penularan penyakit
leptospirosis karena dengan adanya genangan air menjadi tempat berkembang
biaknya bakteri Leptospira dari hewan baik tikus maupun hewan peliharaan
seperti kucing, anjing dan kambing yang melewatinya. Peran keberadaan
genangan air di sekitar rumah sebagai jalur penularan penyakit leptospirosis
terjadi ketika genangan air tersebut terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan
peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira. Melalui pencemaran air dan tanah
oleh urin tikus yang terdapat di genangan air akan mempermudah masuknya
bakteri Leptospira ke dalam tubuh manusia karena terjadinya kontak langsung
maupun tidak langsung dengan tikus maupun hospes perantara.
20
2. Faktor lingkungan biologi (keberadaan tikus dalam rumah)
Tikus mempunyai peranan penting pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB)
leptospirosis di DKI Jakarta. Tikus terutama Rattus Norvegicus merupakan
reservoir penting dalam penularan leptospirosis. Penelitian Agus Priyanto (2008)
menunjukkan bahwa adanya tikus di dalam dan sekitar rumah mempunyai risiko
7,62 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Berdasarkan penelitian Agung
Prasetyo (2006) bahwa adanya populasi tikus di dalam rumah mempunyai risiko
5,17 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Penelitian oleh Sarkar (2000)
menyebutkan melihat tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4,5 kali lebih besar
untuk terjadi leptospirosis dan oleh Bovet dkk (1998) di Seychelles dengan risiko
2,0 kali dengan adanya tikus di dalam rumah. Penelitian oleh Murtiningsih (2003)
di Yogyakarta dan sekitarnya menyimpulkan bahwa dijumpainya tikus di dalam
rumah meningkatkan risiko 7,4 kali kejadian leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).
Infeksi bakteri leptospira terjadi karena kondisi lingkungan perumahan yang
banyak dijumpai tikus sehingga bila terjadi kontaminasi oleh urin tikus yang
mengandung bakteri dapat dengan mudah terjangkit penyakit leptospirosis.
Bakteri leptospira banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok Rattus
norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii) (dalam Rejeki,2005).
3. Faktor sosial ekonomi (pekerjaan beresiko)
Berdasarkan penelitian Agus Priyanto (2008), kasus leptospirosis terjadi
pada mereka yang bekerja sebagai petani dan nelayan yang sering kontak
dengan air/badan air. Menurut penelitian Agung Prasetyo (2006) yang
menyatakan bahwa ada pengaruh antara aktivitas di tempat berair dengan
kejadian leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).
4. Faktor perilaku (kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan
mandi/mencuci di sungai)
Bakteri Leptospira bisa masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kaki dan
tangan yang lama terendam air. Oleh sebab itu penggunaan alas kaki sangat
penting untuk menghindari masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh.
Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa kebiasaan tidak memakai
alas kaki saat bekerja mempunyai risiko 25,85 kali lebih besar untuk terjadi
leptospirosis. Hal ini terkait dengan pekerjaan beresiko yaitu sebagai petani dan
21
nelayan yang jarang bahkan tidak ada yang memakai pelindung/alas kaki yang
kedap air.
Kegiatan mencuci dan mandi di sungai dan danau akan berisiko terpapar
bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin yang
terkontaminasi bakteri leptospira akan lebih besar. Kontak dengan bakteri
leptospira melalui pori-pori kulit yang lunak, selaput lendir, kulit kaki, tangan dan
tubuh yang lecet. Selain faktor pekerjaan, aktivitas rekreasi juga berpengaruh
termasuk kontak dengan air seperti berenang, berkano dan aktivitas di sungai
menjadi lebih signifikan. Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa
kebiasaan mandi/mencuci di sungai mempunyai risiko 16,39 kali lebih besar
untuk terjadi leptospirosis. Penelitian Agung Prasetyo (2006) menyatakan bahwa
ada pengaruh antara aktifitas di tempat berair dengan kejadian leptospirosis
(dalam Priyanto, 2008).
Kebiasaan mandi di sungai meningkatkan orang terpapar bakteri
Leptospira dari urin hewan reservoir yang mengontaminasi air sungai dan akan
masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit yang menjadi lebih lunak dan mudah
diinfeksi oleh kuman. Dari hasil penelitian Riyaningsih (2012) di lingkungan
sekitar sungai ditemukan adanya kebiasaan membuang sampah kemungkinan
termasuk bangkai tikus juga dibuang di sungai. Jika bangkai tikus tersebut
mengandung bakteri Leptospira bisa mencemari air sungai tersebut. Apalagi
Leptospira menyukai tinggal di permukaan air dalam waktu lama dan siap
menginfeksi calon korbannya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospira
sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born disease).
Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang menggenang
karena Leptospira tumbuh dengan baik di permukaan air khususnya air tawar
selama lebih satu bulan tetapi dalam air laut akan mati.
5. Faktor pelayanan kesehatan (tidak adanya penyuluhan tentang
leptospirosis)
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan
adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk
mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok dan masyarakat secara
keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan. Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa
22
tidak adanya penyuluhan tentang leptospirosis pada kontrol 2 mempunyai risiko
8,2 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis.
E. EPIDEMIOLOGI DAN EKOLOGI LEPTOSPIROSIS
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral
termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari
170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya
terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya
yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan gerakan leptospira
sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun
melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil (WIDARSO et al, 2005).
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap
menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospirosis
sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born deseasei).
Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L.hardjo, L.pomona,
L.grippotyphosa, L.canicola dan L.icterohaemorrhagiae. Dua yang disebutkan
terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga (DHARMOJONO,
2001). Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang berplintiran
(filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20 mikrometer dan
diameter 0,1-0,2 mikrometer.
Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang sumbunya.
Sebanyak 175 macam leptospira yang berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang
disebut serovars), baru tujuh macam yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini
hanya terjadi kekebalan silang secara moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua
atau bahkan lebih serovars seringkali ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska
infeksi, umumnya zat anti kebal aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat
dengan cepat, kemudian menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat
moderat, dan tetap ada untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-
tahun.
Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau
mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam
air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air
kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber
23
penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,
kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah
dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita
Leptospirosis.Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lender
(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran
pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi
leptospira. Masa inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan
langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005).
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia
Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,
Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara, Bali,
NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Di samping itu tidak
sedikit pula yang menyerang para penggemar olahraga renang (WIDARSO et al,
2005).
F. PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS
1. Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan,yang terinfeksi parah perlu
diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan
mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin,
enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu
diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, anti muntah, dan infus.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.
Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair
(bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin
Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper
dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri
atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae.
Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan
24
diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi
bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.
2. Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati
dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin. Manusia rawan oleh
infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai
cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan
cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang
memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri
dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun
lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami
penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan
Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan
ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber
khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.
G. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput
lendir (mucous membrane) misalnyaa, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput
lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran
urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar
oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka
segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita. Apabila
kebetulan kornannya sedang buntukng, maka kebuntingan umumnya akan gugur
apalagi apabila kebuntingannya itu baru berjalan periode pertengahan atau
sepertiga pertama masa kebuntingan. Keguguran oleh infeksi L. hardjo atau L.
pomona umunya terjadi 3-10 minggu setelah terjadi infeksi. Keguguran ini sering kali
disertai oleh rentensi atau (ketinggalan) dari fetal membran, yang dapat
menyebabkan gangguan fertilitas dikemudian hari (DAHMOJONO, 2001).
25
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir,
luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air.
Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri
terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut
dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa
tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada
minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan endotoksin,
sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding
kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi
imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan
makin parah. Berbeda dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada Leptospirosis
tidak dibebaskan eksotoksin oleh kuman leptospira (WIDARSO et al, 2005).
Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan
kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama,
meskipun kadar antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat
kebal dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang
tidak ada uraian yang dapat menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena
septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan
penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi
(WIDARSO et al, 2005).
Dalam organ ginjal penderita terjadi lesi dalam bentuk kepucatan/kematian
sebagai daerah (infark) merah atau putih yang menyebabakan (mottleing) pada
bagian kortek. Hati menjadi membengkak dan disana sini terjadi kematian jaringan
(nekrosis). Angka kematian akibat penyakit Leptospirosis termasuk tinggi, bisa
mencapai 2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih dari 50th malah kematian
bisa sampai 56%. penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna
kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan lebih tinggi (WIDARSO et al,
2005).
Menurut HANGGARA (2004) hasil penelitian RSCM dan Rumah Sakit
Persahabatan (RSP) Jakarta pada Januari 1993 sampai Desember 1996 secara
retrospektif dengan menggunakan data dari catatan medic penderita rawat inap di
Unit Penyakit Dalam menunjukkan ada 68 penderita Leptospirosis. Penderita
tersebut terdiri dari 44 orang penderita yang dirawat di RSCM dan 24 orang dirawat
26
di RS. Persahabatan. Karakteristik penderita adalah 51 (75%) orang pria berumur
rata rata 35,86 tahun, dan 17 orang wanita (25%) berumur rata rata 45,76 tahun.
Dari jenis pekerjaannya, 28 orang pria (55%) sebagai buruh, 14 orang (27%)
karyawan swasta, 5 orang (9%) PNS, 4 orang (7,8%) pelajar. Sedangkan 14 orang
wanita (82,35%) sebagai ibu rumah tangga, 2 orang (11,76%) karyawan swasta, dan
1 orang (5,88%) PNS. Angka kejadian meningkat antara Januari dan Maret.
H. PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS
Setelah leptospira menginvasi epitel, selanjutnya akan berproliferasi dan
menyebar ke organ sasaran. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen
leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal ditimbulkan
karena kerusakan jaringan akibat leptospira, tetapi gejala fase kedua timbul akibat
respons imun pejamu. Mediator yang dirangsang oleh leptospira ini diduga
menyebabkan manifestasi klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum
jelas. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh
darah kapiler berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit. Keadaan
ini dapat ditemukan pada semua organ yang terkena. Vaskulitis ini menimbulkan
petekie, perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan
serosa. Pada beberapa kasus dapat ditemukan trombositopenia namun tidak terjadi
DIC (disseminated intravascular coagulation). masa protrombin kadang-kadang
memanjang dan tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K.
Kerusakan hati yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya ikterus, meskipun
ada beberapa ahli mengemukakan ikterus antara lain disebabkan oleh hemolisis dan
obstruksi bilier. Edem intraalveolar dan intersisial dapat terlihat pada jaringan paru.
Pada vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru. Keterlibatan ginjal
menyebabkan nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis, sehingga terjadi gagal ginjal
akut yang memerlukan dialisis. Pada jantung dapat ditemukan petekie pada
endokardium, edem intersisiel miokard, dan arteritis koroner. Perdarahan, nekrosis
fokal dan reaksi inflamasi dapat ditemukan pada kelenjar adrenal, sehingga dapat
memperberat kolaps vaskuler yang berkaitan dengan kejadian leptospirosis yang
fatal.
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi
27
yang munculterjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaanantaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesihistology yang ringan ditemukan
pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yangnyata dari organ
tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal daristruktur
organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan
sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan
yang luas dandisfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal,
leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke
dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis
yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagaikomplikasi
leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, ototdan
pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal :
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi
padaleptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal
terjadi akibat nekrosistubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisisdan invasi langsung mikro organism
juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati :
Hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal
dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukanleptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.
Jantung :
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapatfokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan fokal pada miokardium danendikarditis.
Otot rangka :
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasidan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
28
Pembuluh darah :
Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yangakan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie
pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
Sususan syaraf pusat :
Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal :(CSS) dandikaitkan
dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody,tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh
mekanisme immunologis.Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan
sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic,
biasanya paling sering disebabkanoleh L. canicola.
Weil disease :
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanyadisertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam
tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab Weil disease adalahserotype icterohaemorragica pernah
juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi
berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.
I. VEKTOR LEPTOSPIROSIS
Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis ialah rodent
(tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,
insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai karrier dari
leptospira. Dilaporkan pada anjing bahwa case facility rate-nya antara 10-20%.
Ada beberapa serovar (serotype) leptospira adlah sebagai berikut: L.
ichterohaemorrhagiae, L. bulgarica, L. paidjan, L. pyrogenes, L. Pomona, L.
grippotyphosa, L. bataviae, L. kremastos, L. mwogolo.
J. CARA PENULARAN LEPTOSPIROSIS
Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),
tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita leptospirosis.
Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata,
hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran cerna dari
29
makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi leptospira. Masuknya
bakteri leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan dengan
proses infeksi pada semua serovar leptospira. Namun masuknya bakteri secara
kuantitatif berbeda bergantung : agent, induk semang, dan lingkungan. Melalui
cara lain dapat saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka
abrasi, mukosa (cavitas buccae/buccal cavity), saluran hidung atau konjungtiva.
Bakteri leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya
demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukan gejala infeksi
pada organ tersebut. Gambaran klinik akan bervariasi bergantung dari kondisi
manusianya, spesies hewan dan umurnya. Dapat dikelompokkan bahwa penularan
leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung terjadi :
a. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri
leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu
b. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani tubuh hewan misalnya pekerja
potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan
c. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau,
selokan air dan lumpur yang tercemar urin hewan. Bakteri ini beberapa hari akan
tinggal pada organ seperti hati, limfa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis.
Mekanisme sistem imunitas tubuh akan aktif apabila bakteri menjalar ke jaringan hati
dan ginjal serta berada di tubular ginjal.
K. PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS
Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang mengenang,
karena leptospira tumbuh dengan baik dipermukaan air. Tikus biasanya bersarang di
selokan-selokan,sedangkan tikus adalah hewan pembawa mokroorganisma ini,
maka diupayakan agar selokan–selokan tidak menjadi sarang tikus dan diupayakan
juga agar air mengalir lancar disedemikian rupa sehingga selokan selalu kering,
jangan dibiarkan air mengenang didalamnya.
30
Menurut WIDARSO et al. (2005) pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan
dengan cara:
1. Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,
berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis
2. Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan
serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
3. Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu
dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
4. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko
yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan
5. Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan
vaskin strain local
6. Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah
penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
7. Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama
di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap
kuman Leptospirosis
8. Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir
9. Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain
Menurut DHARMOJONO (2001) Vaksin terhadap Leptospirosis pada anjing
telah lama ditemukan dan selalu disempurnakan sesuai dengan kemajuan ilmu dan
teknologi. Vaksin leptopsira adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair, sekaligus
tindakan sebagai solven/vent apabila vaksin ini akan dikombinasi dengan vaksin lain
(umunya vaksin distemper dan adenovirus atau rabies pada anjng). Vaksin
Leptospirosis juga umumnya terjadi dari dua komponen, yaitu L. canicola dan L.
icterohaemorrhagiae antigens.
L. CARA PENGENDALIAN LEPTOSPIROSIS
1. Pengelolaan Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua
31
kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia.
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya
kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi : lingkungan fisik
seperti kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, curah
hujan, kondisi jalan sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumah dengan
selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi; lingkungan biologik
seperti populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan
sebagai hospes perantara; lingkungan kimia seperti pH tanah; lingkungan sosial
seperti riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko leptospirosis dan
penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomi seperti jumlah pendapatan
dan pekerjaan; lingkungan budaya seperti tidak memakai alas kaki di rumah
dan mencuci/mandi di sungai.
Pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan bisa seperti menjaga
kebersihan rumah dan lingkungan sekitar supaya tidak menjadi sarang tikus,
penanganan sampah perlu dilakukan secara benar yaitu dengan cara tidak
menginapkan sampah di dalam rumah dan tempat sampah diusahakan tertutup
rapat sehingga tidak menjadi sumber makanan tikus, memberantas tikus
dengan cara diberi umpan racun atau dengan mouse trap yang tidak mencemari
lingkungan, pada waktu bekerja menggunakan alas kaki, tidak mandi/mencuci di
sungai dan menghindari air becek yang tergenang di sekitar rumah/ lingkungan
apalagi bila mempunyai luka terbuka, selokan selalu dijaga kebersihannya
sehingga aliran air selalu lancer.
2. Pengendalian biologi
Pengendalian tikus secara biologi dilakukan dengan menggunakan
parasit, predator atau patogen untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan
populasi tikus dari suatu habitat, contohnya predator kucing.
3. Pengendalian kimiawi
Pengendalian kimiawi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan
kimia yang dapat membunuh tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari
pasangan, maupun reproduksinya. Pemberantasan tikus secara kimiawi
dilakukan dengan menggunakan umpan beracun. Pengendalian tikus dengan
menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun mempunyai
32
efek sementara. Secara umum pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat
dibagi menjadi empat bagian:
a) Penggunaan umpan beracun (racun perut)
b) Penggunaan bahan fumigan (racun nafas)
c) Penggunaan bahan kimia penolak (repellant) atau bahan kimia penarik
(attraktant)
d) Penggunaan bahan kimia pemandul (chemosterilant)
Racun perut (Rrodentisia campuran, antikoagulan kronik) adalah umpan
beracun yang hanya dianjurkan digunakan didaerah/tempat yang tidak dapat dicapai
oleh hewan Domestik dan anak-anak. Pengendalian tikus dengan umpan beracun
sebaiknya sebagai pilihan terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering
menimbulkan bau yang tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera
ditemukan. Selain itu racun tikus juga sangat berbahaya bagi manusia
hewan/binatang lainnya. Ada 2 macam racun tikus yang beredar saat ini yaitu racun
akut dan kronis. Racun akut harus diberikan dalam dosis letal, karena kalau tidak
maka tikus tidak mati dan tidak mau lagi memakan umpan yang beracun sejenis.
Sedangkan kalau racun diberikan dalam dosis letal maka tikus akan mati dalam
setengah jam kemudian.
4. Pengendalian non kimiawi
a) Sanitasi dan Higienis Lingkungan
Tikus akan berkembang biak dan hidup dengan baik pada situasi dimana
mereka dengan mudah mendapatkan makanan, air, tempat berlindung dan
tempat tinggal yang tidak terganggu. Beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk meminimalisasi gangguan tikus :
b) Minimalisasi tempat bersarang / harborages antara lain : eliminasi rumput /
semak belukar
c) Meletakkan sampah dalam garbage / tempat sampah yang memiliki
konstruksi yang rapat
d) Meniadakan sumber air yang dapat mengundang tikus, karena tikus
membutuhkan minum setiap hari
33
M. PENGOBATAN LEPTOSPIROSIS
Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin.
Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian Penicillin atau
Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik (WIDARSO et al,
2005). Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati
dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya
(Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat
mencapai 20% apabila terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI
JAKARTA, 2004). Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005) selain antibiotika
golongan penicilline, bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine, Chloramphenicol
dan Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan mudah didapatkan.
Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis Leptospirosis umumnya
baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan.
Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti
penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin,
sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama untuk
Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit setiap 4
jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita dengan
kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-40%.
Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum
penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotika dengan dosis yang
adekuat pada fase dini (HANGGARA, 2004).\
Menurut WIDARSO et al. (2005) cara mengobati penderita Leptospirosis
yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
1) Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini
pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis
6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari.
2) Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan
jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit
secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 5- 6 hari. Procaine
penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara continue selama 2 hari
setelah terjadi albuminuria
34
3) Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotic lain yaitu
Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotic tersebut kurang
efektif disbanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita
mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan
dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg
setiap 6 jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan
dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.
Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau
oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya
berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan
pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin
dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita
Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%.
Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-
1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat
menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak babi 94%
(DHARMOJONO, 2001).
35
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan kasus diatas kelompok kami menganalisis bahwa penyakit yang
terjadi dalam kasus diatas adalah penyakit leptospirosis. Hal ini dapat dilihat dari
gejala-gejala yang terjadi seperti demam, nyeri betis, badan menguning dan mata
merah. Selain itu dapat dilihat juga dari adanya tikus yang menjadi sumber
penularan.Berdasarkan Teori HL.Blum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan yaitu:
A. Perilaku
Perilaku merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
liptospirosis. Pada studi kasus di atas ada beberapa perilaku berisiko
misalnya :
1. Membuang Sampah
Membuang sampah pada kasus tersebut berdampak pada drainase yang
tersumbat. Sehingga perairan di desa tersebut tidak lancar.
2. Tidak menggunakan APD
Pada saat bekerja petani tersebut tidak menggunakan APD, salah
satunya adalah tidak menggunakan alas kaki yang meyebabkan luka
karena menginjak keong. Luka pada kaki tersebut bida berdampak pada
masuknya bakteri leptospira yang bisa menimbulkan infeksi.
3. Pola makan tidak teraratur
Pola makan yang tidak teratur disebabkan karena jam kerja petani yang
tinggi. Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang magrib. Asupan makan
yang kurang berdampak pada imunitas yang rendah.
4. Terlambat memutuskan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Dari kasus diatas petani membiarkan penyakitnya hingga berlarut-larut
sehingga gejala penyakit leptospirosis semakin terakumulasi salah
satunya adalah badan semakin menguning.
36
B. Lingkungan
Berdasarkan kasus diatas lingkungan juga merupakan salah satu faktor dari
terjadinya penyakit leptospirosis. Faktor-faktor lingkungan meliputi lingkungan
fisik, lingkungan biologi, lingkungan sosial ekonomi.
1. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik pada kasus yang mempengaruhi kejadian leptospirosis
meliputi kondisi drainase dan keberadaan sampah serta kondisi sungai
yang tercemar bakteri leptospirosis.
2. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi yang dimaksud adalah kondisi sawah yang banyak
mengandung hama (keong, wereng, dan tikus). Hama yang paling
berpengaruh salah satunya adalah tikus dimana tikus tersebut
mengandung bakteri leptospira.
3. Lingkungan Ekonomi
Lingkungan ekonomi berkaitan dengan pendapatan. Dalam kasus ini
petani termasuk petani tradisional dimana pendapatan yang diperoleh
cenderung rendah.
C. Pelayanan Kesehatan
Selain lingkungan dan perilaku, pelayanan kesehatan juga
berpengaruh pada munculnya penyakit leptospirosis. Dengan adanya
pelayanan kesehatan seperti penyuluhan mengenai tikus dan berbagai
penyakit menular lainnya dapat memberikan pengetahuan bagi para petani
dan penduduk setempat untuk menjaga kesehatan diri, kebersihan
lingkungan serta mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS). Selain
itu, adanya JAMKESMAS akan membantu masyarakat untuk meringkankan
biaya untuk berobat, sehingga ketika muncul gejala-gejala penyakit
penduduk setempat tidak akan merasa khawatir untuk segera memutuskan
ke pelayanan kesehatan. Sehingga angka kesakitan dan kematian akan
menurun.
37
Dalam kasus diatas yang menjadi kendala adalah petani yang
terlambat memutuskan untuk mengakses pelayanan kesehatan sehingga
tidak mendapatkan sarana dan prasarana yang tepat.
D. Dampak
Penyakit leptospirosis menimbulkan dampak bagi penderitanya. Dampak
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Dampak Kesehatan
Keberadaan penyakit leptospirosis berpengaruh langsung pada
kesehatan penderitanya. Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh
penyakit itu sendiri yang menyebabkan fungsi organ-organ tubuh seperti
ginjal dan hati terganggu, kesakitan di seluruh tubuh akibat nyeri otot
yang terjadi, gangguan metabolisme karena terjadi mual, muntah, dan
diare.
2. Dampak Sosial
Kesakitan yang terjadi pada penderita leptospirosis menyebabkan
penderita jarang keluar rumah dimana gangguan kesehatan yang
diderita pada umumnya menyita waktu penderita berinteraksi di
lingkungan luar rumah sehingga secara langsung menghambat interaksi
sosial dengan masyarakat sekitar.
3. Dampak Psikologi
Kesakitan yang terjadi pada penderita leptospirosis dapat mempengaruhi
psikis atau jiwa penderita. Gejala-gejala atau kesakitan yang diderita
akan menyebabkan penderita memerlukan adaptasi atau peperangan
batin untuk melawan penyakit tersebut berupa stress, berdiam diri,
merasa merepotkan keluarga yang merawat dan lain sebagainya.
4. Dampak Ekonomi
Penderita leptospirosis yang mengalami kesakitan dari gejala-gejalanya,
secara langsung akan mengurangi stamina atau kondisi fisik yang
normal untuk beraktifitas mempertahankan atau meningkatkan
produktifitasnya. Disisi lain, penderita juga memerlukan perawatan yang
lebih intensif sehingga menuntut penderita mengurangi bahkan tidak
beraktifitas seperti biasanya sehingga produktivitas kerja menurun
berakibat pendapatan yang diperoleh pun berkurang. Dalam usaha
38
perawatan atau pengobatan penyakit leptospirosis, penderita dibebani
biaya yang harus dikeluarkan demi keperluan pengobatan sehingga
mempengaruhi keuangan atau ekonomi penderita.
5. Dampak Lingkungan
Dalam satu wilayah yang mana banyak terjadi penyakit leptospirosis,
akan mengakibatkan wilayah menjadi wilayah endemi leptospirosis.
Bahkan kejadian luar biasa pun dapat terjadi di wilayah tersebut karena
karakteristik penyakit leptospirosis yang mudah menyebar jika didukung
oleh lingkungan yang jauh dari kondisi bersih dan sehat.
E. Pencegahan
1. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko
yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan
2. Tidak membuang bangkai tikus pada saluran drainase melainkan
membakar dan mengubur.
3. Menjaga sanitasi lingkungan
4. Memperhatikan pola makan agar imunitas tetap terjaga.
5. Mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat agar terhindar dari penyebab
penyakit.
39
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Definisi Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
leptospira yang ditularkan melalui hewan. Infeksi tersebut menyerang
manusia dan juga tikus.
2. Etiologi penyakit leptospirosis
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda.
Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah
hewan pengerat dan tikus.
3. Gejala dan tanda penyakit
Dari studi kasus diatas, gejala yang dialami petani tradisional dimulai dari
demam disertai sakit kepala dan nyeri betis selama 2 hari kemudian
dilanjutkan dengan mata memerah dan sulit berjalan. Gejala penyakit
tersebut semakin terakumulasi sehingga kondisinya semakin parah yang
ditandai dengan badan yang menguning.
4. Faktor risiko
Petani tradisional berdasarkan studi kasus diatas, sangat berisiko tinggi
untuk terkena penyakit leptospirosis. Hal tersebut disebabkan oleh kontak
langsung antara petani dengan tikus saat petani mencoba membasmi
hama yang mengganggu hasil panen pertaniannya.
5. Epidemiologi dan Ekologi
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral
termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae.
Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan
hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira menyukai tinggal
dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon
korbannya, dalam kasus disini yang dimaksud adalah petani.
6. Pencegahan Leptosirosis
40
a. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko
yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan.
b. Tidak membuang bangkai tikus pada saluran drainase melainkan
membakar dan mengubur.
c. Menjaga sanitasi lingkungan
d. Memperhatikan pola makan agar imunitas tetap terjaga.
e. Mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat agar terhindar dari penyebab
penyakit.
7. Pengendalian dan pengobatan leptospirosis
Untuk pengendalian dalam kasus ini, dapat dilakukan dengan menjaga
sanitasi lingkungan sebaik mungkin yaitu dengan tidak membuang
sampah dan bangkai tikus sembarangan ke dalam sungai yang dapat
menyebabkan drainase tersumbat sehingga tidak membuat populasi tikus
semakin bertambah di daerah sawah tersebut. Pengobatan akibat dari
penyakit leptospirosis ini adalah dengan pemberian antibiotik seperti
Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin dan pemberian
suntikan Benzyl (crystal) Penisilin jika diberikan secara dini pada hari ke
4-5 sejak mulai sakit.
8. Patofisiologi dan vektor leptospirosis
Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira,
tetapi gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Mediator
yang dirangsang oleh leptospira ini diduga menyebabkan manifestasi
klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum jelas. Gejala
patologis yang ditemukan dalam kasus ini adalah sakit kepala, nyeri
betis, mata memerah, susah berjalan dan badan menguning. Vektor yang
ada di dalam kasus tersebut adalah tikus dan keong yang berada di
sawah.
9. Cara penularan leptospirosis
Berdasarkan kasus diatas, kondisi drainase yang tersumbat akibat
pembuangan sampah dan bangkai tikus sembarangan ke dalam sungai
dan hal tersebut dapat menyebabkan sungai tersebut dapat tercemar
bakteri leptospira. Ditambah lagi dengan imunitas tubuh sang petani yang
41
kurang baik karena tidak memiliki pola makan yang tidak teratur dan pada
saat bekerja petani tersebut tidak menggunakan APD, salah satunya
adalah tidak menggunakan alas kaki yang meyebabkan luka karena
menginjak keong. Luka pada kaki tersebut bida berdampak pada
masuknya bakteri leptospira yang bisa menimbulkan infeksi.
10. Patogenesis leptospirosis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui luka akibat
tidak memakai alas kaki dan menjadi lebih lunak karena terkena air.
Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan
memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan
selaput otak. Pada kasus diatas sempat terjadi kematian, hal itu dapat
dikarenakan septimia, anemia hemolitika ataupun kerusakan hati karena
terjadinya uremia, keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur
serta servoar leptospira penyebab infeksi.
B. Saran
1. Buat Masyarakat
a) Membudayakan perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
b) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat melakukan
aktivitas yang berpotensi menimbulkan risiko
c) Pengendalian populasi tikus dengan cara membakar kemudian
mengubur
d) Melakukan kerja bakti secara rutin untuk menjaga kebersihan saluran
air (drainase)
e) Menjaga pola makan dengan membawa bekal saat bekerja
2. Buat Dinas Kesehatan
a) Penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya leptospirosis
b) Peningkatan sarana prasarana kesehatan
c) Melakukan pencegahan dengan memberikan doksisiklin kepada
masyarakat yang berisiko tinggi
d) Mengoptimalkan program Jamkesmas
42
e) Melakukan pengendalian faktor risiko lingkungan dengan membunuh
tikus khususnya di daerah endemis bekerjasama dengan dinas
pertanian dan dinas terkait terkait lainnya dengan melaksanakan
program gebrak tikus dan bersih lingkungan
3. Buat Instansi terkait
a) Perbaikan saluran air (drainase)
b) Dinas Pertanian bekerjasama dengan masyarakat untuk
memberantas hama
43
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Sarwani, Sri Rejeki. Faktor risiko lingkungan yang berpengaruh Terhadap
kejadian leptospirosis berat (studi kasus di rumah sakit dr. Kariadi semarang)
http://eprints.undip.ac.id/17205/1/dwi_sarwani_sri_rejeki.pdf. Diakses pada
18 sept 2012
Nswhealth Department. 2003. Leptospirosis. Multi Cultural Communication,
http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publication_pdfs/7140/DOH-7140-
IND.pdf , diakses pada 11 Desember 2012 pukul 12.37
Poloengan, Masniari dan Iyep Komala. 2005. Mewaspadai Leptospirosis Di
Indonesia Sebagai Penyakit Zoonosis. Bogor: Balai Penilitian Veteriner,
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-25.pdf ,
diakses pada tanggal 11 Desember 2012 pukul 11.11
Priyanto, Agus, Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno
Adi. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak, (online),
http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf, diakses pada 11
Desember 2012 pukul 21.53
Rejeki, Dwi Sarwani Sri. 2005. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh
terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang), (online), Tesis, Program Studi Epidemiologi PPS,
http://eprints.undip.ac.id/17205/1/Dwi_Sarwani_Sri_Rejeki.pdf, diakses pada
11 Desember 2012 pukul 21.58
Riyaningsih, Suharyo Hadisaputro, Suhartono. 2012. Faktor Risiko Lingkungan
Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang,
Kabupaten Demak dan Pati), (online), Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia Vol. 11 No. 1 / April 2012,
44
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/4146/3781, diakses pada
11 Desember 2012 pukul 22.35
Setadi, Bobby , Andi Setiawan, dkk. 2001. Leptospirosis. Petunjuk Praktis,
http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/3-3-10.pdf, diakses pada 11 Desember
2012 pukul 12.12
Soedin, K., dkk, 1999. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
Sub Direktorat Zoonosis Ditjen PPM dan PLP, 2002. Penanggulangan Leptospirosis
di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
45