65
STUDENT CENTER LEARNING “Tikus-Tikus Nakal” DISUSUN OLEH : KELOMPOK 21 1. NURCAHYO MAULANA 25010110141044 2. BALQIS AZ ZAHRA 25010110141045 3. ISMAH SYARAFINA 25010110141046 4. EVI SONDANG S 25010110141047 5. RISMA SHINTA DEWI 25010110141049 6. M. LUQMAN ANSHORI 25010110141050 7. FEBY RAHMAWATI 25010110141051 8. ASTI AWIYATUL B 25010110141052 9. YULIA SARI RAHAYU 25010110141153 10. ANINDYA AYU R 25010110141156 11. BEATRIGE SULASTI S 25010110141157 12. MASITA FATMAWATI 25010110141166 13. CHAIRUL ANWAR NASUTION 25010110141167 1

Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

STUDENT CENTER LEARNING

“Tikus-Tikus Nakal”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 21

1. NURCAHYO MAULANA 25010110141044

2. BALQIS AZ ZAHRA 25010110141045

3. ISMAH SYARAFINA 25010110141046

4. EVI SONDANG S 25010110141047

5. RISMA SHINTA DEWI 25010110141049

6. M. LUQMAN ANSHORI 25010110141050

7. FEBY RAHMAWATI 25010110141051

8. ASTI AWIYATUL B 25010110141052

9. YULIA SARI RAHAYU 25010110141153

10. ANINDYA AYU R 25010110141156

11. BEATRIGE SULASTI S 25010110141157

12. MASITA FATMAWATI 25010110141166

13. CHAIRUL ANWAR NASUTION 25010110141167

14. AKHA PRATILA SARI 25010110141169

15. HESTITI INTAN H 25010110141173

16. ARIEF SATIAWAN 25010110141175

17. SUKIS 25010110141176

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2012

1

Page 2: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

BAB I

PENDAHULUAN

A. KASUS

Tikus-Tikus Nakal

Wawan adalah anak dari seorang petani di Desa Sukanyanyi

bernama Pak Karjo. Setelah Pak Karjo meninggal karena sakit, Wawan

menggantikan pekerjaan ayahnya di sawah. Sebelum menginggal awalnya

Pak Karjo menderita demam disertai sakit kepala dan nyeri betis selama 2

hari. Pak Karjo sempat berobat di Polindes dan diberi obat penurun panas,

tetapi kondisi Pak Karjo semakin memburuk mata memerah dan susah

berjalan. Karena khawatir biaya tinggi, Pak Karjo membiarkan saja

penyakitnya. Hingga akhirnya pak Karjo tidak tertolong lagi saat keluarga

membawanya ke Rumah sakit karena kondisi sudah parah dan badannya

sudah menguning.

Seperti almarhum ayahnya, Wawan menjadi petani tradisional.

Wawan bertani dan mengerjakan sawah tanpa alas kaki sehingga kakinya

sering luka karena menginjak keong yang ada di sawah. Walaupun begitu,

Wawan akan tetap bekerja karena sudah terbiasa. Bahkan pada musim

tanam, Wawan dapat bekerja di sawah dari pagi sampai menjelang maghrib

hingga pola makannya tidak teratur. Kadang juga Wawan ke sawahnya untuk

membasmi hama di sawahnya. Hama pertanian yang utama di daerah itu

antara lain adalah wereng, keong dan tikus. Biasanya Wawan akan

membunuh tikus yang dijumpainya di sawah dan membuang bangkainya di

sungai. Populasi tikus yang banyak membuat Wawan harus selalu

mengulangi hal tersebut agar padi di sawahnya tidak habis dimakan tikus.

Awalnya biasa saja, namun sebulan kemudian Wawan menderita sakit

dengan gejala yang mirip dengan ayahnya dahulu. Selain Wawan, ada 10

orang lain penderita penyakit yang sama dari 513 penduduk yang ada di

Desa Suka nyanyi dari bulan Juli-Agustus pada tahun 2012. Kondisi drainase

di desa ini tersumbat karena sampah yang dibuang sembarangan. Petugas

kesehatan sudah pernah member penyuluhan kepada warga bahwa tikus

bisa menularkan penyakit.

2

Page 3: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

B. JUMP

1. ISTILAH PENTING

a. Polindes: Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salaha satu

bentuk peran serta masyarakat dalam menyediakan tempat

pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak

lainnya, termasuk kb di desa (depkresi, 1999) polindes dirintis

dandikelola oleh pamong desa setempat. Berbeda dengan posyandu

yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader didukung oleh petugas

puskesmas, maka petugas polindes pelayanannyatergantung pada

keberadaan bidan, oleh karena pelayanan di polindes merupakan

pelayan profesi kebidanan.

b. Mata merah: adalah hasil dari perubahan dalam pembuluh darah

dimata yang membuat mata terlihat merah, dan biasanya disebabkan

terjadi pada satu atau kedua mata. Mata merah biasanya disebabkan

oleh iritasi atau infeksi.

c. Nyeri otot betis : Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan

paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin

phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan

pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu

diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini,

pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan.

d. Badan menguning: disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang

ringan, pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis

intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi

bilirubin.

e. Hama: adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak

diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia.

f. Drainase: adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di

bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh

manusia.

3

Page 4: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

g. Tenaga kesehatan: adalah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan atau

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang

memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan.

h. Penyuluhan adalah salah satu kegiatan penyampaian keinginan

pemerintah kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi tahu dan

mengerti antara kegiatan yang dilarang serta merugikan dengan

kegiatan apa yang boleh dikerjakan dan bermanfaat.

i. Demam: International Union of Physiological Sciences Commission

for Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu

keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya)

merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular

(host) terhadap invasi mikroorganisme atau benda mati yang

patogenik atau dianggap asing oleh host dari segi patofisiologis dan

klinis. Secara patofisiologis demam adalah peningkatan

thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang diperantarai

oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam adalah

peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata suhu

normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan

set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru.

Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan

panas dan memproduksi panas.

j. Sakit Kepala: rasa nyeri atau tidak enak disebagian atau seluruh

kepala.

k. Petani: Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan

usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan".

l. Sawah: adalah lahan usaha tani yang secara fisik permukaan

tanahnya rata, dibatasi oleh pematang, dapat ditanami padi dan

palawija / tanaman pangan lainnya.

m. Obat penurun panas: ada beberapa macam obat penurun panas

yang biasa ditemui dipasaran, yaitu:

1) Parasetamol

4

Page 5: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Parasetamol / Asetaminofen merupakan obat penurun panas

yang paling umum digunakan karena paling aman dibandingkan

golongan lain berkaitan dengan efek sampingnya.

2) Ibuprofen

Ibuprofen termasuk dalam obat golongan anti-inflamasi non

steroid. Bekerja sebagai analgesik (pereda nyeri) dan

antiinflamasi (anti radang) yang juga punya efek antipiretik.

Bekerja menghambat produksi prostaglandin dengan

menghambat enzim Cyclooksigenasi 1 (COX-1) dan COX-2,

sehingga menimbulkan efek samping yang lebih banyak

dibandingkan Parasetamol. 

n. Luka:  adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang

disebabkan oleh trauma benda tajamatau tumpul, perubahan suhu,

zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan.Luka adalah

suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit Didalam melakukan

pemeriksaan terhadaporang yang menderita luka akibat kekerasan,

pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapatmemberikan

kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan

yang menyebabkanluka, dan kualifikasi luka.

o. Pembasmi hama: pembasmi hama bisa dikatakan sebagai suatu

cara untuk membunuh hama dengan berbagai cara. Sara tradisional

seperti langsung memburu hama tersebut dengan alat-alat runcing

atau tumpul. Dan dengan cara modern adalah dengan menggunakan

obat pembasmi hama seperti jenis pestisida atau alat modern lainnya.

2. DAFTAR MASALAH

a. Kurangnya pengetahuan dan informasi

b. Kondisi sosial ekonomi rendah

c. Keterjangkauan akses pelayanan kesehatan berupa; SDM, nakes,

dan biaya

d. Terlambat memutuskan memperoleh pertolongan (baik pasien /

keluarga)

e. Jam kerja tinggi sehingga pola makan menjadi tidak teratur

5

Page 6: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

f. Perilaku masyarakat buruk berupa membuang sampah sembarangan,

g. Banyaknya populasi tikus akibat pembasmian hama yang kurang

maksimal

h. Kondisi drainase tersumbat sehingga penyakit mudah menyebar

i. 10 orang menderita penyakit yang sama di bulan Juli dan Agustus

j. Masyarakat mengabaikan penyuluhan yang diberikan oleh nakes

k. Adanya gejala penyakit berupa; demam, sakit kepala, mata merah,

susah berjalan, nyeri betis, dan badan menguning

3. ANALISIS MASALAH

a. Pelayanan Kesehatan

1) Keterjangkauan Yankes

Akses

Sarana Prasarana

Jamkesmas

2) Penyuluhan Kurang Efektif

Bahaya Tikus

Program Kesehatan

6

TEORI HL. BLOOM

Pelayanan Kesehatan Perilaku Lingkungan

Page 7: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

b. Perilaku

1) Kurangnya pengetahuan Informasi

2) Terlambat memutuskan memperoleh pertolongan

3) Tanpa menggunakan APD saat bekerja

4) Jam kerja tinggi

5) Cara membasmi hama kurang maksimal

6) Kebiasaan membuang sampah sembarangan yang menyebabkan

drainase tersumbat

7) Pola makan tidak teratur

c. Lingkungan

1) Kondisi SOSEK rendah

2) Banyaknya populasi tikus

3) Penyakit mudah menyebar

7

Page 8: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

8

Page 9: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

9

PETANI Perilaku Beresiko

Buang sampah

sembarangan

Jam kerja tinggi

Tidak menggu-nakan

APD

Adanya sampah

Drainase tersumbat

Vektor Bakteri Leptospirosis

Banyaknya tikus

Luka

Infeksi Leptospirosis

Timbul Gejala: Demam Sakit kepala Mata merah Susah berjalan Nyeri betis Badan

menguning

Pola makan tidak teratur

Imunitas Menurun

Kurangnya Pengetahuan

Keterjangkauan Informasi Yankes

Akses

Penyuluhan kurang efektif

Bahaya Tikus

Program Kesehatan

Terlambat memutuskan

Pendapatan

PHBSPenyuluhan JAMKESMAS

Sosek Rendah

SembuhMeninggal

Sarana Prasarana

JAMKESMAS

10 Orang terjangkit

Leptospirosis

Page 10: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Petani Tradisional

Resiko Kerja(Faktor Biologi)

Pekerjaan Beresiko

Hama Tikus

Bakteri Leptospira

Kejadian Leptospirosis

Faktor Lingkungan

Lingkungan FisikKondisi DrainaseAdanya sampah

Lingkungan SosekPendapatan

Faktor Pelayanan KesehatanPenyuluhan ( bahaya tikus, PHBS, JAMKESMAS)Keterjangkauan Yankes (akses, sarana prasarana, JAMKESMAS)

IMUNITAS

STATUS GIZI

Faktor Perilaku

Tidak memakai APDBuang sampah sembarangan

Pola makan tidak teraturJam kerja tinggi

Terlambat memutuskan

4. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

a. Kerangka Teori

10

Page 11: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Variabel BebasPerilaku Pengetahuan Sikap YankesKeterjangkauan Biaya LingkunganBiologi Fisik Ekonomi

Variabel PengangguUmur

Jenis kelamin Imunitas

Variabel Terikat

Leptospirosis

b. Kerangka Konsep

11

Page 12: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

5. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Mengetahui definisi Leptospirosis

b. Mengetahui etiologi penyakit Leptospirosis

c. Mengetahui gejala dan tanda penyakit Leptospirosis

d. Mengetahui faktor resiko penyakit Leptospirosis

e. Mengetahui epidemiologi dan ekologi penyakit Leptospirosis

f. Mengetahui patogenisis Leptospirosis

g. Mengetahui patofisiologi Leptospirosis

h. Mengetahui vektor yang membawa bakteri Leptospirosis

i. Mengetahui cara penularan Leptospirosis

j. Mengetahui pencegahan Leptospirosis

k. Mengetahui cara pengendalian Leptospirosis

l. Mengetahui cara pengobatan Leptospirosis

12

Page 13: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi bakteri

yang berbentuk spiral dari genus Leptospira, yang menyerang hewan dan manusia.

Penelitian tentang Leptospirosis pertama dilakukan oleh ADOLF HEIL pada tahun

1886. Dia melaporkan adanya penyakit tersebut pada manusia dengan gambaran

klinis demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan ada tanda-tanda kerusakan

pada ginjal (WIDARSO et al., 2005).

Penyakit-penyakit dengan gejala tersebut oleh GOLDSMITH (1887) disebut

sebagai "Weil's Disease" dan pada taun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa

Weil's Disease disebabkna oleh Bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu

beberapa jenis Leptospira dapat diisolasi baik dari hewan maupun manuia

(WIDARSO et al., 2005).

B. ETIOLOGI ATAU PENYEBAB LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit)

berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo

spirochaetales. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L. interrogans yang

merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik.

Lebih dari 170 serotypes dari bakteri leptospira yang patogen telah

diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan

pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok seperti kait dari bakteri

leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar

sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung karena ukurannya yang

sangat kecil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Bentuk yang berpilin

seperti spiral, tipis, lentur dengan panjang 10-20 mikron dan tebal 0,1 mikron serta

memiliki 2 lapis membran. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan

gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat

hidup dalam air tawar selama ± 1 bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air

kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.

13

Page 14: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies

patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil

diidentifikasi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia

diantaranya adalah tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya.

Hewan peliharaan yang paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan

sapi.

Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda.

Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan

pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan

dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan

kucing. Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L. pomona

dan L. interrogans terdapat pada lembu dan babi, L. grippotyphosa pada lembu,

domba, kambing, dan tikus, L. ballum dan L. icterohaemorrhagiae sering dikaitkan

dengan tikus dan L.canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang

penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan australis.

Bakteri Leptospira khususnya species L. icterrohaemorrhagiae banyak

menyerang pada tikus got (Ratus norvegicus) dan tikus rumah (Ratus diardi)

Sedangkan L. Ballum menyerang tikus kecil (Musmusculus). Tikus yang diduga

mempunyai peranan penting pada waktu kejadian luar biasa di DKI Jakarta dan

Bekasi adalah R. norvegicus, R diardi, Suncus murinus dan R exculant (Riyaningsih,

2012).

C. GEJALA DAN TANDA LEPTOSPIROSIS

Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeski,

maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Hewan yang

kondisi fisik dan imunologiknya baik, penderita mampu segera mambentuk antibodi

(zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita

dapat menjadi sembuh (DHARMOJONO, 2001). Menurut WIDARSO et al. (2005)

gejala klinis dari Leptospirosis bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:

Stadium pertama

a. Demam, menggigil

b. Sakit kepala

c. Malaise

14

Page 15: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

d. Muntah

e. Konjungtivis

f. Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala

tersebut akan tampak antara 4-9 hari.

Gejala-gejala karakteristik sebagai berikut :

- Konjungtivis tanpa disertai eksudat serous/purulent

- Kemerahan pada mata

- Rasa nyeri pada otot-otot. Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai

keempat setelah penyakit tersebut muncul.

Stadium kedua

a. Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita

b. Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi disbanding pada

stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)

c. Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan

terjadi meningitis Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan

keempat

Stadium ketiga

Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis

pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat

menimbulkan gejala-gejala berikut :

a. Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian

b. Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang

erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic

c. Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan

keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak

d. Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat

menyebabkan kematian mendadak

e. Pada paru-paru, hemorrhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada,

respiratory distress dan cyanosis

f. Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage)

dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia

g. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan

kecacatan pada bayi.

15

Page 16: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Menurut SUPRIYANTO (2005) gejala yang ditimbulkan oleh Leptospirosis yaiatu:

1. Pada stadium awal manusia yang terserang mengalami demam tinggi, badan

mengigil seolah kedinginan, lesu, dan perut eneg, muntah, radang mata

seperti iritasi, danrasa nyeri pada otot betis. Gejala itu akan tampak antara

empat sampai sepuluh hari setelah tertular.

2. Kemudian pada stadium kedua, parasit ini membentuk antibodi dalam tubuh

penderita, dengan indikasi klinis yang lebih berat dari pada stadium awal.

Stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat. Apabila semakin

parah efeknya akan ke mana-mana seperti pada ginjal (akan mengakibatkan

gagal ginjal),jantung yang terkena akan berdebar tidak teratur, membengkak

dan gagal jantung. Pembuluh darah mengalami kebocoran dan akibatnya

Gejala icterus akan segera meghilang tetapi gejala anemia segera timbul.

Butir darah merah (RBC) dalam waktu 4-5 hari pertama meningkat tetapi

pada 7-10 hari kemudian akan kembali normal. Kebanyakan penderita pada

sapi, juga menunjukkan leukositosis. Infeksi oleh L. hardjo jarang sekali

memperlihatkan gejala icterus, hemoglobinuria dan anemia, sehingga akan

lebih sulit untuk mendiagnosa (DHARMOJONO, 2001).

Gejala klinis

Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase yaitu fase pertama : fase

leptospiremia, fase kedua: fase imun dan fase ketiga : fase penyembuhan.

1) Fase Leptospiremia

Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,

hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus,

injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan

menghilangnya gejala klinis untuk sementara.

2) Fase Imun

Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis

bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati,

serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.

3) Fase Penyembuhan

Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas.

Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa

muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan

16

Page 17: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

menggigil serta splenomegali. Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi

menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan

penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi

leptospirosis anikterik (non-ikterik) dan leptospirosis ikterik.

1. Leptospirosis anikterik

Sebagian besar manifestasi klinik leptospirosis adalah anikterik, dan

ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus leptospirosis di

masyarakat. Karena itu jika ditemukan satu kasus leptospirosis berat maka

diperkirakan sedikitnya ada 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau

tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta

mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue,

disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah

betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga

creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan

pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis

klinis leptospirosis.

Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadangkadang mengeluh

sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian

besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion

dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali

dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata

berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis

anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik

adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan

diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di

dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini

menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).

Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat

karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini

dapat sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan

menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip

17

Page 18: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan

keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu

diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik. Leptospirosis

anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa

negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis

anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza,

HIV seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus, infeksi

mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,

bruselosis, riketsiosis dan malaria

2. Leptospirosis Ikterik

Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis

berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan

gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat

persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping

dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh

jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status

imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatan memperoleh terapi yang

tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan

ikterik

Sindrom, fase Gambaran klinik Spesimen lab.

Leptospirosis anikterik

fase leptospiremia (3-7

hari)

Demam tinggi, nyeri

kepala, mialgia, nyeri

perut, mual, muntah,

conjuctival suffusion

Darah, cairan

serebrospinal

Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri

kepala, muntah,

meningitis aseptik

Urine

Leptospirosis ikterik,

fase leptsopiremia dan

fase imun (sering

Demam, nyeri kepala,

mialgia, gagal ginjal,

hipotensi, manifestasi

Darah, cairan

serebrospinal

(minggu pertama)

18

Page 19: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Sindrom, fase Gambaran klinik Spesimen lab.

menjadi satu) pneumonia, hemoragik,

leukositosis

dan urin (minggu

kedua)

Sumber: Sub Direktorat Zoonosis, 2002

D. FAKTOR RESIKO LEPTOSPIROSIS

1. Faktor lingkungan fisik (keberadaan sampah dalam rumah, kondisi selokan

buruk, jarak rumah dengan selokan, curah hujan ≥ 177,5 mm, keberadaan

genangan air).

Menurut penelitian Agus Priyanto (2008), kondisi selokan yang buruk

mempunyai risiko 5,7 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Kondisi selokan

yang buruk disebabkan karena rata-rata ketinggian dari permukaan laut relatif

sama, sehingga prosentase kemiringin saluran air sangat kecil sehingga

berpengaruh terhadap aliran air selokan. Berdasarkan penelitian Soeharyo (1997)

yang menyatakan bahwa aliran selokan yang buruk mempunyai risiko 3 kali lebih

besar terjadi leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).

Menurut penelitian Agus Priyanto (2008), keberadaan sampah di dalam

rumah memiliki risiko 10,9 kali lebih besar untuk terkena leptospirosis

dibandingkan dengan kondisi tidak ada sampah. Penelitian oleh Sarkar (2000) di

Salvador Brasil menyebutkan bahwa kondisi sanitasi tempat tinggal yang buruk

yaitu adanya kumpulan sampah merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.

Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus

merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah

dijadikan indikator dari kehadiran tikus (dalam Rejeki, 2005). Menurut penelitian

Rejeki (2005) Secara statistik menunjukkan adanya hubungan keberadaan

sampah di dalam rumah dengan adanyatikus di dalam dan sekitar rumah.

Menurut penelitian Rejeki (2005) semakin dekat jarak rumah dengan

selokan semakin besar kemungkinan terpapar sumber kontaminan. Jarak rumah

dengan selokan dikategorikan <2,0 meter dan ≥ 2,0 meter, hasilnya menyebutkan

bahwa jarak rumah dengan selokan < 2,0 meter mempunyai risiko 5,3 kali lebih

besar untuk terjadi leptospirosis dibanding jarak rumah dengan selokan ≥ 2,0

meter. Penelitian yang dilakukan oleh Sarkar (2000) menyebutkan jarak rumah

19

Page 20: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

yang dekat dengan selokan mempunyai risiko 5,1 kali lebih besar untuk terjadi

leptospirosis (dalam Rejeki, 2005)

Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan paparan bakteri leptospira

pada manusia lewat air, tanah yang terkontaminasi. Leptospirosis biasanya

mempunyai distribusi musiman, meningkat dengan tingginya curah hujan dan

tingginya temperatur. Menurut data dari Internal Medicine di Victoria Hospital

Karibia terdapat 2.244 pasien dirawat karena leptospirosis pada musim hujan

yang berkepanjangan di negara itu. Begitu pula di Thailand pada saat musim

hujan terdapat sebanyak 312 kasus leptospirosis. Sedangkan di DKI Jakarta pada

bulan Pebruari sampai dengan April setelah pasca banjir tercatat 103 penderita

leptospirosis, data tersebut terus meningkat sampai dengan bulan Juni menjadi

144 kasus leptospirosis. Penelitian di Seychelles menyimpulkan bahwa insiden

leptospirosis berhubungan dengan curah hujan. Analisis yang mendetail dengan

menggunakan microclimate menunjukkan hubungan yang kuat kelangsungan

hidup bakteri leptospira di lingkungan yang basah (dalam Rejeki, 2005).

Menurut penelitian Riyaningsih (2012), ada hubungan antara keberadaan

genangan air di sekitar rumah dengan kejadian. Keberadaan genangan air di

sekitar rumah merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. Orang yang di

sekitar rumahnya terdapat genangan air mempunyai risiko 4,1 kali terkena

leptospirosis daripada orang yang di sekitar rumahnya tidak terdapat genangan

air. Keberadaan genangan menjadi peranan dalam penularan penyakit

leptospirosis karena dengan adanya genangan air menjadi tempat berkembang

biaknya bakteri Leptospira dari hewan baik tikus maupun hewan peliharaan

seperti kucing, anjing dan kambing yang melewatinya. Peran keberadaan

genangan air di sekitar rumah sebagai jalur penularan penyakit leptospirosis

terjadi ketika genangan air tersebut terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan

peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira. Melalui pencemaran air dan tanah

oleh urin tikus yang terdapat di genangan air akan mempermudah masuknya

bakteri Leptospira ke dalam tubuh manusia karena terjadinya kontak langsung

maupun tidak langsung dengan tikus maupun hospes perantara.

20

Page 21: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

2. Faktor lingkungan biologi (keberadaan tikus dalam rumah)

Tikus mempunyai peranan penting pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB)

leptospirosis di DKI Jakarta. Tikus terutama Rattus Norvegicus merupakan

reservoir penting dalam penularan leptospirosis. Penelitian Agus Priyanto (2008)

menunjukkan bahwa adanya tikus di dalam dan sekitar rumah mempunyai risiko

7,62 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Berdasarkan penelitian Agung

Prasetyo (2006) bahwa adanya populasi tikus di dalam rumah mempunyai risiko

5,17 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis. Penelitian oleh Sarkar (2000)

menyebutkan melihat tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4,5 kali lebih besar

untuk terjadi leptospirosis dan oleh Bovet dkk (1998) di Seychelles dengan risiko

2,0 kali dengan adanya tikus di dalam rumah. Penelitian oleh Murtiningsih (2003)

di Yogyakarta dan sekitarnya menyimpulkan bahwa dijumpainya tikus di dalam

rumah meningkatkan risiko 7,4 kali kejadian leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).

Infeksi bakteri leptospira terjadi karena kondisi lingkungan perumahan yang

banyak dijumpai tikus sehingga bila terjadi kontaminasi oleh urin tikus yang

mengandung bakteri dapat dengan mudah terjangkit penyakit leptospirosis.

Bakteri leptospira banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok Rattus

norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii) (dalam Rejeki,2005).

3. Faktor sosial ekonomi (pekerjaan beresiko)

Berdasarkan penelitian Agus Priyanto (2008), kasus leptospirosis terjadi

pada mereka yang bekerja sebagai petani dan nelayan yang sering kontak

dengan air/badan air. Menurut penelitian Agung Prasetyo (2006) yang

menyatakan bahwa ada pengaruh antara aktivitas di tempat berair dengan

kejadian leptospirosis (dalam Priyanto, 2008).

4. Faktor perilaku (kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan

mandi/mencuci di sungai)

Bakteri Leptospira bisa masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kaki dan

tangan yang lama terendam air. Oleh sebab itu penggunaan alas kaki sangat

penting untuk menghindari masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh.

Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa kebiasaan tidak memakai

alas kaki saat bekerja mempunyai risiko 25,85 kali lebih besar untuk terjadi

leptospirosis. Hal ini terkait dengan pekerjaan beresiko yaitu sebagai petani dan

21

Page 22: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

nelayan yang jarang bahkan tidak ada yang memakai pelindung/alas kaki yang

kedap air.

Kegiatan mencuci dan mandi di sungai dan danau akan berisiko terpapar

bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin yang

terkontaminasi bakteri leptospira akan lebih besar. Kontak dengan bakteri

leptospira melalui pori-pori kulit yang lunak, selaput lendir, kulit kaki, tangan dan

tubuh yang lecet. Selain faktor pekerjaan, aktivitas rekreasi juga berpengaruh

termasuk kontak dengan air seperti berenang, berkano dan aktivitas di sungai

menjadi lebih signifikan. Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa

kebiasaan mandi/mencuci di sungai mempunyai risiko 16,39 kali lebih besar

untuk terjadi leptospirosis. Penelitian Agung Prasetyo (2006) menyatakan bahwa

ada pengaruh antara aktifitas di tempat berair dengan kejadian leptospirosis

(dalam Priyanto, 2008).

Kebiasaan mandi di sungai meningkatkan orang terpapar bakteri

Leptospira dari urin hewan reservoir yang mengontaminasi air sungai dan akan

masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit yang menjadi lebih lunak dan mudah

diinfeksi oleh kuman. Dari hasil penelitian Riyaningsih (2012) di lingkungan

sekitar sungai ditemukan adanya kebiasaan membuang sampah kemungkinan

termasuk bangkai tikus juga dibuang di sungai. Jika bangkai tikus tersebut

mengandung bakteri Leptospira bisa mencemari air sungai tersebut. Apalagi

Leptospira menyukai tinggal di permukaan air dalam waktu lama dan siap

menginfeksi calon korbannya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospira

sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born disease).

Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang menggenang

karena Leptospira tumbuh dengan baik di permukaan air khususnya air tawar

selama lebih satu bulan tetapi dalam air laut akan mati.

5. Faktor pelayanan kesehatan (tidak adanya penyuluhan tentang

leptospirosis)

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan

adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk

mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok dan masyarakat secara

keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan

meningkatkan kesehatan. Penelitian Agus Priyanto (2008) menunjukkan bahwa

22

Page 23: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

tidak adanya penyuluhan tentang leptospirosis pada kontrol 2 mempunyai risiko

8,2 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis.

E. EPIDEMIOLOGI DAN EKOLOGI LEPTOSPIROSIS

Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral

termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari

170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya

terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya

yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan gerakan leptospira

sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun

melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil (WIDARSO et al, 2005).

Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap

menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospirosis

sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born deseasei).

Serovars yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yatu L.hardjo, L.pomona,

L.grippotyphosa, L.canicola dan L.icterohaemorrhagiae. Dua yang disebutkan

terakhir adalah umumnya yang menyerang pada anjing juga (DHARMOJONO,

2001). Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang berplintiran

(filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20 mikrometer dan

diameter 0,1-0,2 mikrometer.

Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang sumbunya.

Sebanyak 175 macam leptospira yang berbeda dari segi aspek antigeniknya (yang

disebut serovars), baru tujuh macam yang berhasil diisolasi. Antar serovars ini

hanya terjadi kekebalan silang secara moderat saja, sedangkan infeksi oleh dua

atau bahkan lebih serovars seringkali ditemukan. Dalam waktu 6-12 hari paska

infeksi, umumnya zat anti kebal aglutinasi terbentuk. Titer antibodi itu meningkat

dengan cepat, kemudian menurun dalam beberpa bulan sampai kepada tingkat

moderat, dan tetap ada untuk beberapa minggu tetapi ada yang sampai bertahun-

tahun.

Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau

mikroskop fase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam

air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air

kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber

23

Page 24: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing,

kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah

dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO et al, 2005).

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),

tanaman yang telah dikotori oleh air seni hewan-hewan penderita

Leptospirosis.Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melaui selaput lender

(mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran

pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urine tikus yang terinfeksi

leptospira. Masa inkubasi Leptospirosis 4-19 hari, rata-rata 10 hari. Penularan

langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (WIDARSO et al, 2005).

Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia

Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY,

Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara, Bali,

NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja

tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Di samping itu tidak

sedikit pula yang menyerang para penggemar olahraga renang (WIDARSO et al,

2005).

F. PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS

1. Pada Hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan,yang terinfeksi parah perlu

diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan

mengoptimalkan perawatan. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin,

enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu

diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, anti muntah, dan infus.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.

Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair

(bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin

Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper

dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri

atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae.

Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan

24

Page 25: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi

bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.

2. Pada Manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,

ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati

dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin. Manusia rawan oleh

infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai

cemaran urin dari semua hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan

cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang

memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri

dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun

lingkungan di mana hewan berada.

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami

penyakit ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan

Leptospirosis. Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan

ternaknya jauh dari sumber air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber

khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.

G. PATOGENESIS LEPTOSPIROSIS

Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput

lendir (mucous membrane) misalnyaa, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput

lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran

urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar

oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka

segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita. Apabila

kebetulan kornannya sedang buntukng, maka kebuntingan umumnya akan gugur

apalagi apabila kebuntingannya itu baru berjalan periode pertengahan atau

sepertiga pertama masa kebuntingan. Keguguran oleh infeksi L. hardjo atau L.

pomona umunya terjadi 3-10 minggu setelah terjadi infeksi. Keguguran ini sering kali

disertai oleh rentensi atau (ketinggalan) dari fetal membran, yang dapat

menyebabkan gangguan fertilitas dikemudian hari (DAHMOJONO, 2001).

25

Page 26: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir,

luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air.

Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri

terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut

dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa

tingkatan penyakit dapat ditemukan fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada

minggu pertama setelah infeksi. Beberapa servoar menghasilkan endotoksin,

sedangkan servoar lainnya menghasilkan hemolisin, yang mampu merusak dinding

kapiler pembuluh darah. Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi

imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan

makin parah. Berbeda dengan infeksi oleh kuman-kuman lain, pada Leptospirosis

tidak dibebaskan eksotoksin oleh kuman leptospira (WIDARSO et al, 2005).

Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan

kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama,

meskipun kadar antibodi penderita cukup tinggi dan banyak sel-sel penghasil zat

kebal dapat ditemukan di tempat-tempat yang mengalamai infeksi. Sampai sekarang

tidak ada uraian yang dapat menjelaskan kejadian tersbut. Kematian terjadi karena

septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan

penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi

(WIDARSO et al, 2005).

Dalam organ ginjal penderita terjadi lesi dalam bentuk kepucatan/kematian

sebagai daerah (infark) merah atau putih yang menyebabakan (mottleing) pada

bagian kortek. Hati menjadi membengkak dan disana sini terjadi kematian jaringan

(nekrosis). Angka kematian akibat penyakit Leptospirosis termasuk tinggi, bisa

mencapai 2,5-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih dari 50th malah kematian

bisa sampai 56%. penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna

kuning (kerusakan jaringan hati), resiko kematian akan lebih tinggi (WIDARSO et al,

2005).

Menurut HANGGARA (2004) hasil penelitian RSCM dan Rumah Sakit

Persahabatan (RSP) Jakarta pada Januari 1993 sampai Desember 1996 secara

retrospektif dengan menggunakan data dari catatan medic penderita rawat inap di

Unit Penyakit Dalam menunjukkan ada 68 penderita Leptospirosis. Penderita

tersebut terdiri dari 44 orang penderita yang dirawat di RSCM dan 24 orang dirawat

26

Page 27: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

di RS. Persahabatan. Karakteristik penderita adalah 51 (75%) orang pria berumur

rata rata 35,86 tahun, dan 17 orang wanita (25%) berumur rata rata 45,76 tahun.

Dari jenis pekerjaannya, 28 orang pria (55%) sebagai buruh, 14 orang (27%)

karyawan swasta, 5 orang (9%) PNS, 4 orang (7,8%) pelajar. Sedangkan 14 orang

wanita (82,35%) sebagai ibu rumah tangga, 2 orang (11,76%) karyawan swasta, dan

1 orang (5,88%) PNS. Angka kejadian meningkat antara Januari dan Maret.

H. PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Setelah leptospira menginvasi epitel, selanjutnya akan berproliferasi dan

menyebar ke organ sasaran. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen

leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal ditimbulkan

karena kerusakan jaringan akibat leptospira, tetapi gejala fase kedua timbul akibat

respons imun pejamu. Mediator yang dirangsang oleh leptospira ini diduga

menyebabkan manifestasi klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum

jelas. Gejala patologis yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh

darah kapiler berupa edem pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit. Keadaan

ini dapat ditemukan pada semua organ yang terkena. Vaskulitis ini menimbulkan

petekie, perdarahan intraparenkim, dan perdarahan pada lapisan mukosa dan

serosa. Pada beberapa kasus dapat ditemukan trombositopenia namun tidak terjadi

DIC (disseminated intravascular coagulation). masa protrombin kadang-kadang

memanjang dan tidak dapat diperbaiki dengan pemberian vitamin K.

Kerusakan hati yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya ikterus, meskipun

ada beberapa ahli mengemukakan ikterus antara lain disebabkan oleh hemolisis dan

obstruksi bilier. Edem intraalveolar dan intersisial dapat terlihat pada jaringan paru.

Pada vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru. Keterlibatan ginjal

menyebabkan nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis, sehingga terjadi gagal ginjal

akut yang memerlukan dialisis. Pada jantung dapat ditemukan petekie pada

endokardium, edem intersisiel miokard, dan arteritis koroner. Perdarahan, nekrosis

fokal dan reaksi inflamasi dapat ditemukan pada kelenjar adrenal, sehingga dapat

memperberat kolaps vaskuler yang berkaitan dengan kejadian leptospirosis yang

fatal.

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin

yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi

27

Page 28: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

yang munculterjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada

leptospirosis terdapat perbadaanantaraderajat gangguan fungsi organ dengan

kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesihistology yang ringan ditemukan

pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yangnyata dari organ

tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal daristruktur

organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan

sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan

yang luas dandisfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal,

leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke

dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis

yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagaikomplikasi

leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, ototdan

pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ:

Ginjal :

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi

padaleptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal

terjadi akibat nekrosistubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi

immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisisdan invasi langsung mikro organism

juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

Hati :

Hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal

dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,

sebagian ditemukanleptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat

diantara sel-sel parenkim.

Jantung :

Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan

miokardium dapatfokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel

mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat

terjadi perdarahan fokal pada miokardium danendikarditis.

Otot rangka :

Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,

vakuolisasidan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira disebabkan

invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

28

Page 29: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Pembuluh darah :

Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis

yangakan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie

pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.

Sususan syaraf pusat :

Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal :(CSS) dandikaitkan

dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon

antibody,tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh

mekanisme immunologis.Terjadi penebalan meningen dengan sedikit peningkatan

sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic,

biasanya paling sering disebabkanoleh L. canicola.

Weil disease :

Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,

biasanyadisertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam

tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan

leptospirosis. Penyebab Weil disease adalahserotype icterohaemorragica pernah

juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi

berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.

I. VEKTOR LEPTOSPIROSIS

Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis ialah rodent

(tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung,

insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat sebagai karrier dari

leptospira. Dilaporkan pada anjing bahwa case facility rate-nya antara 10-20%.

Ada beberapa serovar (serotype) leptospira adlah sebagai berikut: L.

ichterohaemorrhagiae, L. bulgarica, L. paidjan, L. pyrogenes, L. Pomona, L.

grippotyphosa, L. bataviae, L. kremastos, L. mwogolo.

J. CARA PENULARAN LEPTOSPIROSIS

Manusia terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur),

tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita leptospirosis.

Bakteri leptospira masuk kedalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata,

hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran cerna dari

29

Page 30: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi leptospira. Masuknya

bakteri leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan dengan

proses infeksi pada semua serovar leptospira. Namun masuknya bakteri secara

kuantitatif berbeda bergantung : agent, induk semang, dan lingkungan. Melalui

cara lain dapat saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka

abrasi, mukosa (cavitas buccae/buccal cavity), saluran hidung atau konjungtiva.

Bakteri leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya

demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukan gejala infeksi

pada organ tersebut. Gambaran klinik akan bervariasi bergantung dari kondisi

manusianya, spesies hewan dan umurnya. Dapat dikelompokkan bahwa penularan

leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.

Penularan langsung terjadi :

a. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung bakteri

leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu

b. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada

orang yang merawat hewan atau menangani tubuh hewan misalnya pekerja

potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan

c. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan

seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin

melalui sawar plasenta dan air susu ibu.

Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau,

selokan air dan lumpur yang tercemar urin hewan. Bakteri ini beberapa hari akan

tinggal pada organ seperti hati, limfa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis.

Mekanisme sistem imunitas tubuh akan aktif apabila bakteri menjalar ke jaringan hati

dan ginjal serta berada di tubular ginjal.

K. PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS

Hewan penderita harus dijauhkan dari sumber-sumber air yang mengenang,

karena leptospira tumbuh dengan baik dipermukaan air. Tikus biasanya bersarang di

selokan-selokan,sedangkan tikus adalah hewan pembawa mokroorganisma ini,

maka diupayakan agar selokan–selokan tidak menjadi sarang tikus dan diupayakan

juga agar air mengalir lancar disedemikian rupa sehingga selokan selalu kering,

jangan dibiarkan air mengenang didalamnya.

30

Page 31: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Menurut WIDARSO et al. (2005) pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan

dengan cara:

1. Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,

berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis

2. Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan

serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah

3. Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu

dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis

4. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko

yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan

sarung tangan

5. Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan

vaskin strain local

6. Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah

penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut

7. Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk, terutama

di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap

kuman Leptospirosis

8. Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir

9. Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Menurut DHARMOJONO (2001) Vaksin terhadap Leptospirosis pada anjing

telah lama ditemukan dan selalu disempurnakan sesuai dengan kemajuan ilmu dan

teknologi. Vaksin leptopsira adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair, sekaligus

tindakan sebagai solven/vent apabila vaksin ini akan dikombinasi dengan vaksin lain

(umunya vaksin distemper dan adenovirus atau rabies pada anjng). Vaksin

Leptospirosis juga umumnya terjadi dari dua komponen, yaitu L. canicola dan L.

icterohaemorrhagiae antigens.

L. CARA PENGENDALIAN LEPTOSPIROSIS

1. Pengelolaan Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.

Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,

biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua

31

Page 32: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari

organisme hidup manusia.

Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya

kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi : lingkungan fisik

seperti kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, curah

hujan, kondisi jalan sekitar rumah saat musim penghujan, jarak rumah dengan

selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi; lingkungan biologik

seperti populasi tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan

sebagai hospes perantara; lingkungan kimia seperti pH tanah; lingkungan sosial

seperti riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko leptospirosis dan

penggunaan alat pelindung diri; lingkungan ekonomi seperti jumlah pendapatan

dan pekerjaan; lingkungan budaya seperti tidak memakai alas kaki di rumah

dan mencuci/mandi di sungai.

Pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan bisa seperti menjaga

kebersihan rumah dan lingkungan sekitar supaya tidak menjadi sarang tikus,

penanganan sampah perlu dilakukan secara benar yaitu dengan cara tidak

menginapkan sampah di dalam rumah dan tempat sampah diusahakan tertutup

rapat sehingga tidak menjadi sumber makanan tikus, memberantas tikus

dengan cara diberi umpan racun atau dengan mouse trap yang tidak mencemari

lingkungan, pada waktu bekerja menggunakan alas kaki, tidak mandi/mencuci di

sungai dan menghindari air becek yang tergenang di sekitar rumah/ lingkungan

apalagi bila mempunyai luka terbuka, selokan selalu dijaga kebersihannya

sehingga aliran air selalu lancer.

2. Pengendalian biologi

Pengendalian tikus secara biologi dilakukan dengan menggunakan

parasit, predator atau patogen untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan

populasi tikus dari suatu habitat, contohnya predator kucing.

3. Pengendalian kimiawi

Pengendalian kimiawi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan

kimia yang dapat membunuh tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari

pasangan, maupun reproduksinya. Pemberantasan tikus secara kimiawi

dilakukan dengan menggunakan umpan beracun. Pengendalian tikus dengan

menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun mempunyai

32

Page 33: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

efek sementara. Secara umum pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat

dibagi menjadi empat bagian:

a) Penggunaan umpan beracun (racun perut)

b) Penggunaan bahan fumigan (racun nafas)

c) Penggunaan bahan kimia penolak (repellant) atau bahan kimia penarik

(attraktant)

d) Penggunaan bahan kimia pemandul (chemosterilant)

Racun perut (Rrodentisia campuran, antikoagulan kronik) adalah umpan

beracun yang hanya dianjurkan digunakan didaerah/tempat yang tidak dapat dicapai

oleh hewan Domestik dan anak-anak. Pengendalian tikus dengan umpan beracun

sebaiknya sebagai pilihan terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering

menimbulkan bau yang tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera

ditemukan. Selain itu racun tikus juga sangat berbahaya bagi manusia

hewan/binatang lainnya. Ada 2 macam racun tikus yang beredar saat ini yaitu racun

akut dan kronis. Racun akut harus diberikan dalam dosis letal, karena kalau tidak

maka tikus tidak mati dan tidak mau lagi memakan umpan yang beracun sejenis.

Sedangkan kalau racun diberikan dalam dosis letal maka tikus akan mati dalam

setengah jam kemudian.

4. Pengendalian non kimiawi

a) Sanitasi dan Higienis Lingkungan

Tikus akan berkembang biak dan hidup dengan baik pada situasi dimana

mereka dengan mudah mendapatkan makanan, air, tempat berlindung dan

tempat tinggal yang tidak terganggu. Beberapa hal yang dapat dilakukan

untuk meminimalisasi gangguan tikus :

b) Minimalisasi tempat bersarang / harborages antara lain : eliminasi rumput /

semak belukar

c) Meletakkan sampah dalam garbage / tempat sampah yang memiliki

konstruksi yang rapat

d) Meniadakan sumber air yang dapat mengundang tikus, karena tikus

membutuhkan minum setiap hari

33

Page 34: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

M. PENGOBATAN LEPTOSPIROSIS

Pengobatan terhadap penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik seperti Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin.

Dari bermacam-macam antibiotik yang tersebut diatas, pemberian Penicillin atau

Tetracycline dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik (WIDARSO et al,

2005). Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati

dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya

(Amoxylline), Streptomycine, Tetracycline, Erytromycine. Angka kematian dapat

mencapai 20% apabila terjadi komplikasi (DINAS KESEHATAN PROPINSI DKI

JAKARTA, 2004). Menurut KOMPAS CYBER MEDIA (2005) selain antibiotika

golongan penicilline, bakteri ini juga peka terhadap Streptomycine, Chloramphenicol

dan Erythromycine. Antibiotika ini tergolong tidak mahal dan mudah didapatkan.

Pengobatan yang dilakukan sejak dini, maka prognosis Leptospirosis umumnya

baik, berbeda apabila terlambat dilakukan pengobatan.

Leptospira umumnya peka terhadap sebagian besar antibiotika seperti

penisilin, streptomisin, tetrasiklin, kloranfenikol, eritromisin, siprofloksasin,

sefalosporin, dan sebagainya. Penisilin prokain merupakan obat pilihan utama untuk

Leptospirosis. Dosis yang dianjurkan adalah tinggi, misalnya 600.000 unit setiap 4

jam yang dapat ditingkatkan sampai 8-12 juta unit perhari pada penderita dengan

kondisi yang berat. Mortalitas pada kondisi yang berat berkisar antara 15-40%.

Prognosis tergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum

penderita, usia, gagal multi organ serta pemberian antibiotika dengan dosis yang

adekuat pada fase dini (HANGGARA, 2004).\

Menurut WIDARSO et al. (2005) cara mengobati penderita Leptospirosis

yang dianjurkan adalah sebagai berikut :

1) Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini

pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis

6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari.

2) Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan

jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit

secara i.m, separuh dosis dapat diberikan selama 5- 6 hari. Procaine

penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara continue selama 2 hari

setelah terjadi albuminuria

34

Page 35: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

3) Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotic lain yaitu

Tetracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotic tersebut kurang

efektif disbanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita

mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan

dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg

setiap 6 jam secara oral selama 6 ahri. Erythromycine diberikan dengan

dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.

Terapi dengan antibiotika (streptomisin, khlortetrasiklin, atau

oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya

berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan

pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian oksitetrasiklin

dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi penderita

Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%.

Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan dosis 500-

1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat

menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada ternak babi 94%

(DHARMOJONO, 2001).

35

Page 36: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus diatas kelompok kami menganalisis bahwa penyakit yang

terjadi dalam kasus diatas adalah penyakit leptospirosis. Hal ini dapat dilihat dari

gejala-gejala yang terjadi seperti demam, nyeri betis, badan menguning dan mata

merah. Selain itu dapat dilihat juga dari adanya tikus yang menjadi sumber

penularan.Berdasarkan Teori HL.Blum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

derajat kesehatan yaitu:

A. Perilaku

Perilaku merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya

liptospirosis. Pada studi kasus di atas ada beberapa perilaku berisiko

misalnya :

1. Membuang Sampah

Membuang sampah pada kasus tersebut berdampak pada drainase yang

tersumbat. Sehingga perairan di desa tersebut tidak lancar.

2. Tidak menggunakan APD

Pada saat bekerja petani tersebut tidak menggunakan APD, salah

satunya adalah tidak menggunakan alas kaki yang meyebabkan luka

karena menginjak keong. Luka pada kaki tersebut bida berdampak pada

masuknya bakteri leptospira yang bisa menimbulkan infeksi.

3. Pola makan tidak teraratur

Pola makan yang tidak teratur disebabkan karena jam kerja petani yang

tinggi. Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang magrib. Asupan makan

yang kurang berdampak pada imunitas yang rendah.

4. Terlambat memutuskan mendapatkan pelayanan kesehatan.

Dari kasus diatas petani membiarkan penyakitnya hingga berlarut-larut

sehingga gejala penyakit leptospirosis semakin terakumulasi salah

satunya adalah badan semakin menguning.

36

Page 37: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

B. Lingkungan

Berdasarkan kasus diatas lingkungan juga merupakan salah satu faktor dari

terjadinya penyakit leptospirosis. Faktor-faktor lingkungan meliputi lingkungan

fisik, lingkungan biologi, lingkungan sosial ekonomi.

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik pada kasus yang mempengaruhi kejadian leptospirosis

meliputi kondisi drainase dan keberadaan sampah serta kondisi sungai

yang tercemar bakteri leptospirosis.

2. Lingkungan Biologi

Lingkungan biologi yang dimaksud adalah kondisi sawah yang banyak

mengandung hama (keong, wereng, dan tikus). Hama yang paling

berpengaruh salah satunya adalah tikus dimana tikus tersebut

mengandung bakteri leptospira.

3. Lingkungan Ekonomi

Lingkungan ekonomi berkaitan dengan pendapatan. Dalam kasus ini

petani termasuk petani tradisional dimana pendapatan yang diperoleh

cenderung rendah.

C. Pelayanan Kesehatan

Selain lingkungan dan perilaku, pelayanan kesehatan juga

berpengaruh pada munculnya penyakit leptospirosis. Dengan adanya

pelayanan kesehatan seperti penyuluhan mengenai tikus dan berbagai

penyakit menular lainnya dapat memberikan pengetahuan bagi para petani

dan penduduk setempat untuk menjaga kesehatan diri, kebersihan

lingkungan serta mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS). Selain

itu, adanya JAMKESMAS akan membantu masyarakat untuk meringkankan

biaya untuk berobat, sehingga ketika muncul gejala-gejala penyakit

penduduk setempat tidak akan merasa khawatir untuk segera memutuskan

ke pelayanan kesehatan. Sehingga angka kesakitan dan kematian akan

menurun.

37

Page 38: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

Dalam kasus diatas yang menjadi kendala adalah petani yang

terlambat memutuskan untuk mengakses pelayanan kesehatan sehingga

tidak mendapatkan sarana dan prasarana yang tepat.

D. Dampak

Penyakit leptospirosis menimbulkan dampak bagi penderitanya. Dampak

tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Dampak Kesehatan

Keberadaan penyakit leptospirosis berpengaruh langsung pada

kesehatan penderitanya. Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh

penyakit itu sendiri yang menyebabkan fungsi organ-organ tubuh seperti

ginjal dan hati terganggu, kesakitan di seluruh tubuh akibat nyeri otot

yang terjadi, gangguan metabolisme karena terjadi mual, muntah, dan

diare.

2. Dampak Sosial

Kesakitan yang terjadi pada penderita leptospirosis menyebabkan

penderita jarang keluar rumah dimana gangguan kesehatan yang

diderita pada umumnya menyita waktu penderita berinteraksi di

lingkungan luar rumah sehingga secara langsung menghambat interaksi

sosial dengan masyarakat sekitar.

3. Dampak Psikologi

Kesakitan yang terjadi pada penderita leptospirosis dapat mempengaruhi

psikis atau jiwa penderita. Gejala-gejala atau kesakitan yang diderita

akan menyebabkan penderita memerlukan adaptasi atau peperangan

batin untuk melawan penyakit tersebut berupa stress, berdiam diri,

merasa merepotkan keluarga yang merawat dan lain sebagainya.

4. Dampak Ekonomi

Penderita leptospirosis yang mengalami kesakitan dari gejala-gejalanya,

secara langsung akan mengurangi stamina atau kondisi fisik yang

normal untuk beraktifitas mempertahankan atau meningkatkan

produktifitasnya. Disisi lain, penderita juga memerlukan perawatan yang

lebih intensif sehingga menuntut penderita mengurangi bahkan tidak

beraktifitas seperti biasanya sehingga produktivitas kerja menurun

berakibat pendapatan yang diperoleh pun berkurang. Dalam usaha

38

Page 39: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

perawatan atau pengobatan penyakit leptospirosis, penderita dibebani

biaya yang harus dikeluarkan demi keperluan pengobatan sehingga

mempengaruhi keuangan atau ekonomi penderita.

5. Dampak Lingkungan

Dalam satu wilayah yang mana banyak terjadi penyakit leptospirosis,

akan mengakibatkan wilayah menjadi wilayah endemi leptospirosis.

Bahkan kejadian luar biasa pun dapat terjadi di wilayah tersebut karena

karakteristik penyakit leptospirosis yang mudah menyebar jika didukung

oleh lingkungan yang jauh dari kondisi bersih dan sehat.

E. Pencegahan

1. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko

yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan

sarung tangan

2. Tidak membuang bangkai tikus pada saluran drainase melainkan

membakar dan mengubur.

3. Menjaga sanitasi lingkungan

4. Memperhatikan pola makan agar imunitas tetap terjaga.

5. Mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat agar terhindar dari penyebab

penyakit.

39

Page 40: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Definisi Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

leptospira yang ditularkan melalui hewan. Infeksi tersebut menyerang

manusia dan juga tikus.

2. Etiologi penyakit leptospirosis

Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda.

Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah

hewan pengerat dan tikus.

3. Gejala dan tanda penyakit

Dari studi kasus diatas, gejala yang dialami petani tradisional dimulai dari

demam disertai sakit kepala dan nyeri betis selama 2 hari kemudian

dilanjutkan dengan mata memerah dan sulit berjalan. Gejala penyakit

tersebut semakin terakumulasi sehingga kondisinya semakin parah yang

ditandai dengan badan yang menguning.

4. Faktor risiko

Petani tradisional berdasarkan studi kasus diatas, sangat berisiko tinggi

untuk terkena penyakit leptospirosis. Hal tersebut disebabkan oleh kontak

langsung antara petani dengan tikus saat petani mencoba membasmi

hama yang mengganggu hasil panen pertaniannya.

5. Epidemiologi dan Ekologi

Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral

termasuk ke dalam Ordo Spirochaetales dalam family Trepanometaceae.

Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan

hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Leptospira menyukai tinggal

dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon

korbannya, dalam kasus disini yang dimaksud adalah petani.

6. Pencegahan Leptosirosis

40

Page 41: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

a. Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko

yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan

sarung tangan.

b. Tidak membuang bangkai tikus pada saluran drainase melainkan

membakar dan mengubur.

c. Menjaga sanitasi lingkungan

d. Memperhatikan pola makan agar imunitas tetap terjaga.

e. Mengaplikasikan Pola Hidup Bersih Sehat agar terhindar dari penyebab

penyakit.

7. Pengendalian dan pengobatan leptospirosis

Untuk pengendalian dalam kasus ini, dapat dilakukan dengan menjaga

sanitasi lingkungan sebaik mungkin yaitu dengan tidak membuang

sampah dan bangkai tikus sembarangan ke dalam sungai yang dapat

menyebabkan drainase tersumbat sehingga tidak membuat populasi tikus

semakin bertambah di daerah sawah tersebut. Pengobatan akibat dari

penyakit leptospirosis ini adalah dengan pemberian antibiotik seperti

Penicillin, Streptomycin, Tetracycline atau Erythromycin dan pemberian

suntikan Benzyl (crystal) Penisilin jika diberikan secara dini pada hari ke

4-5 sejak mulai sakit.

8. Patofisiologi dan vektor leptospirosis

Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira,

tetapi gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu. Mediator

yang dirangsang oleh leptospira ini diduga menyebabkan manifestasi

klinis yang beragam, meskipun secara pasti masih belum jelas. Gejala

patologis yang ditemukan dalam kasus ini adalah sakit kepala, nyeri

betis, mata memerah, susah berjalan dan badan menguning. Vektor yang

ada di dalam kasus tersebut adalah tikus dan keong yang berada di

sawah.

9. Cara penularan leptospirosis

Berdasarkan kasus diatas, kondisi drainase yang tersumbat akibat

pembuangan sampah dan bangkai tikus sembarangan ke dalam sungai

dan hal tersebut dapat menyebabkan sungai tersebut dapat tercemar

bakteri leptospira. Ditambah lagi dengan imunitas tubuh sang petani yang

41

Page 42: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

kurang baik karena tidak memiliki pola makan yang tidak teratur dan pada

saat bekerja petani tersebut tidak menggunakan APD, salah satunya

adalah tidak menggunakan alas kaki yang meyebabkan luka karena

menginjak keong. Luka pada kaki tersebut bida berdampak pada

masuknya bakteri leptospira yang bisa menimbulkan infeksi.

10. Patogenesis leptospirosis

Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui luka akibat

tidak memakai alas kaki dan menjadi lebih lunak karena terkena air.

Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan

memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan

selaput otak. Pada kasus diatas sempat terjadi kematian, hal itu dapat

dikarenakan septimia, anemia hemolitika ataupun kerusakan hati karena

terjadinya uremia, keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur

serta servoar leptospira penyebab infeksi.

B. Saran

1. Buat Masyarakat

a) Membudayakan perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

b) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat melakukan

aktivitas yang berpotensi menimbulkan risiko

c) Pengendalian populasi tikus dengan cara membakar kemudian

mengubur

d) Melakukan kerja bakti secara rutin untuk menjaga kebersihan saluran

air (drainase)

e) Menjaga pola makan dengan membawa bekal saat bekerja

2. Buat Dinas Kesehatan

a) Penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya leptospirosis

b) Peningkatan sarana prasarana kesehatan

c) Melakukan pencegahan dengan memberikan doksisiklin kepada

masyarakat yang berisiko tinggi

d) Mengoptimalkan program Jamkesmas

42

Page 43: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

e) Melakukan pengendalian faktor risiko lingkungan dengan membunuh

tikus khususnya di daerah endemis bekerjasama dengan dinas

pertanian dan dinas terkait terkait lainnya dengan melaksanakan

program gebrak tikus dan bersih lingkungan

3. Buat Instansi terkait

a) Perbaikan saluran air (drainase)

b) Dinas Pertanian bekerjasama dengan masyarakat untuk

memberantas hama

43

Page 44: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Sarwani, Sri Rejeki. Faktor risiko lingkungan yang berpengaruh Terhadap

kejadian leptospirosis berat (studi kasus di rumah sakit dr. Kariadi semarang)

http://eprints.undip.ac.id/17205/1/dwi_sarwani_sri_rejeki.pdf. Diakses pada

18 sept 2012

Nswhealth Department. 2003. Leptospirosis. Multi Cultural Communication,

http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publication_pdfs/7140/DOH-7140-

IND.pdf , diakses pada 11 Desember 2012 pukul 12.37

Poloengan, Masniari dan Iyep Komala. 2005. Mewaspadai Leptospirosis Di

Indonesia Sebagai Penyakit Zoonosis. Bogor: Balai Penilitian Veteriner,

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/lokakarya/lkzo05-25.pdf ,

diakses pada tanggal 11 Desember 2012 pukul 11.11

Priyanto, Agus, Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno

Adi. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian

Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak, (online),

http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf, diakses pada 11

Desember 2012 pukul 21.53

Rejeki, Dwi Sarwani Sri. 2005. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh

terhadap Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit Dr.

Kariadi Semarang), (online), Tesis, Program Studi Epidemiologi PPS,

http://eprints.undip.ac.id/17205/1/Dwi_Sarwani_Sri_Rejeki.pdf, diakses pada

11 Desember 2012 pukul 21.58

Riyaningsih, Suharyo Hadisaputro, Suhartono. 2012. Faktor Risiko Lingkungan

Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di Kota Semarang,

Kabupaten Demak dan Pati), (online), Jurnal Kesehatan Lingkungan

Indonesia Vol. 11 No. 1 / April 2012,

44

Page 45: Laporan Scl Kelompok 21 Fix

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/4146/3781, diakses pada

11 Desember 2012 pukul 22.35

Setadi, Bobby , Andi Setiawan, dkk. 2001. Leptospirosis. Petunjuk Praktis,

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/3-3-10.pdf, diakses pada 11 Desember

2012 pukul 12.12

Soedin, K., dkk, 1999. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit

FKUI. Jakarta.

Sub Direktorat Zoonosis Ditjen PPM dan PLP, 2002. Penanggulangan Leptospirosis

di Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

45