31
Laporan Problem Based Learning I Blok Tropical Medicine CUTANEUS LARVA MIGRANS Tutor : dr. Setiawati Disusun Oleh Kelompok XII HELMI BEN BELLA G1A007078 MANGGALA S G1A007095 YEMIMA K G1A007101 SUHARMILAH G1A007107 HERLINA N G1A007113 TRIYANI DESI P G1A007114 NUR HIDAYAT G1A007119 MEILINDA ROSA D G1A007120 SELVIA G1A007126 KAHARUDIN G1A007134

Laporan Pbl i Tropmed Kelompok 12

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Problem Based Learning IBlok Tropical Medicine

CUTANEUS LARVA MIGRANS

Tutor :

dr. Setiawati

Disusun Oleh

Kelompok XII

HELMI BEN BELLA G1A007078

MANGGALA S G1A007095

YEMIMA K G1A007101

SUHARMILAH G1A007107

HERLINA N G1A007113

TRIYANI DESI P G1A007114

NUR HIDAYAT G1A007119

MEILINDA ROSA D G1A007120

SELVIA G1A007126

KAHARUDIN G1A007134

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER

PURWOKERTO

2010

B AB I

PENDAHULUAN

Problem based learning (PBL) bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi

suatu kasus yang nantinya akan timbul dalam masyarakat jika sudah menjadi seorang dokter. Selain

itu PBL juga menyiapkan mahasiswa agar mampu menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang

efektif dalam hubungan antar teman saat berdiskusi

Selain itu, mahasiswa juga dituntut dapat menggunakan komunikasi yang efektif saat

berkomunikasi dengan pasien nantinya. Problem based learning akan menjadikan mahasiswa mampu

untuk menggunakan sarana informasi yang sudah tersedia sepeti buku, internet, journal dan sarana

komunikasi yang lain untuk mencari bahan dan menjadi acuan serta mencari jawaban tenrang

masalah dan pertanyaan yang timbul saat diskusi berlangsung.

PBL menjadikan mahasiswa akan mampu menjelaskan hubungan antara ilmu kedokteran dasar

dengan ilmu-ilmu kedokteran klinis yang praktis sehingga mudah di pahami dan di mengerti. Adapun

skenario PBL kasus 1, yaitu :

Informasi 1:

Seorang Ibu S, 50 tahun datang ke tempat praktek anda dengan keluhan gatal di telapak kaki. Gatal

dirasakan sejak 1 minggu terakhir. Ibu S seorang petani dan terbiasa tidak memakai alas kaki pada

saat bekerja.

Informasi 2:

Telapak kaki kiri terasa gatal, agak nyeri, tampak kemerahan meninggi, seperti terowongan berkelok-

kelok. Karena sangat gatal, Ibu S sering menggaruk yang mengakibatkan lecet dan infeksi. Ibu S

belum minum obat apapun. Satu hari sebelum datang ke Anda, Ibu S mengeluh batuk-batuk dan

demam.

Pemeriksaan fisik: suhu = 37,8C, pemeriksaan paru = pada auskultasi terdengar ronchi basah halus

(+) di kedua lapang paru.

UKK tampak sebagai berikut:

Informasi 3:

Pemeriksaan darah : eosinofilia (+)Pemeriksaan feses 2x24 jam : larva rabditiform (+)Rö thoraks : infiltrate kedua lapang paru (+)Hasil biopsi : fotomikrograf kulit menunjukkan creeping eruption nematode

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. KLARIFIKASI ISTILAH

-

B. BATASAN MASALAH

1. Identitas : Ny. S (50 tahun)

2. Keluhan Utama : gatal pada telapak kaki

3. RPS :

Onset : 1 minggu yang lalu

4. RSE :

Pekerjaan : petani

Habit : tidak memakai alas kaki pada saat bekerja

C. ANALISIS MASALAH

Informasi 1:

Seorang Ibu S, 50 tahun datang ke tempat praktek anda dengan keluhan gatal di telapak kaki.

Gatal dirasakan sejak 1 minggu terakhir. Ibu S seorang petani dan terbiasa tidak memakai alas

kaki pada saat bekerja.

1. Hipotesis dan DD yang paling mendekati

2. Informasi tambahan yang dibutuhkan

D. PEMBAHASAN

1. Hipotesis dan DD yang paling mendekati

a. Infeksi parasit Helmint

1) Ascaris lumbricoides

2) Strongyloides stercoralis

3) Ancylostoma duodenale

4) Necator americanus

5) Enterobius vermicularis

6) Trichinella spiralis

7) Ancylostoma brazilliense

8) Ancylostoma ceylanicum

9) Ancylostoma caninum

b. Infeksi bakteri

c. Dermatitis okupasional

d. Dermatitis alergika

e. Infeksi virus

f. Infeksi jamur

1) Tinea pedis

2) Tinea nigra

3) Kandidiasis

g. Insekta skabiesis

2. Informasi tambahan yang dibutuhkan

a. Anamnesis

1) Lokasi?

2) Kronologi?

3) Faktor yang memperberat dan

memperingan?

4) Kualitas?

5) Kuantitas?

6) Gejala penyerta?

7) RPD?

8) RPK?

9) RSE (higiens)?

b. Pemeriksaan fisik

1) Tanda vital?

2) Pemeriksaan dada?

3) UKK?

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah?

2) Pemeriksaan feses?

3) Rö thoraks?

4) Biopsi?

Informasi 2:

Telapak kaki kiri terasa gatal, agak nyeri, tampak kemerahan meninggi, seperti terowongan berkelok-

kelok. Karena sangat gatal, Ibu S sering menggaruk yang mengakibatkan lecet dan infeksi. Ibu S

belum minum obat apapun. Satu hari sebelum datang ke Anda, Ibu S mengeluh batuk-batuk dan

demam.

Pemeriksaan fisik: suhu = 37,8C, pemeriksaan paru = pada auskultasi terdengar ronchi basah halus

(+) di kedua lapang paru. UKK seperti gambar di atas.

Pada gambar terlihat lesi di

a. Lokasi : plantar pedis sinistra

b. Warna : eritematosus

c. Bentuk : seperti terowongan/serpiginosa

d. Ukuran : kecil

e. Penyebaran: dorsum pedis

f. Batas : tegas

g. Efloresensi lain : urtikaria, papul

Secara lengkap terlihat ruam eritematosus pada plantar pedis sinistra, dengan papul yang berbatas

tegas disertai dengan erupsi serpiginosa dan urtikaria.

a. Infeksi parasit Helmint

1) Ascaris lumbricoides

2) Strongyloides stercoralis

3) Ancylostoma duodenale

4) Necator americanus

Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis

disingkarkan karena penularan melalui tanah

biasanya dalam fase telur, bukan larva.

5) Trichinella spiralis

6) Ancylostoma brazilliense

7) Ancylostoma ceylanicum

8) Ancylostoma caninum

b. Infeksi bakteri Disingkirkan karena pada pemeriksaan fisik

terdapat terowongan berkelok-kelok

c. Dermatitis okupasional Disingkirkan karena pada pemeriksaan fisik

terdapat terowongan berkelok-kelok

d. Dermatitis alergika Disingkirkan karena pada pemeriksaan fisik

terdapat terowongan berkelok-kelok

e. Infeksi virus Disingkirkan karena pada pemeriksaan fisik

terdapat terowongan berkelok-kelok

f. Infeksi jamur

1) Tinea pedis

2) Tinea nigra

3) Kandidiasis

Disinigkarkan karena tidak ada tanda-tanda

infeksi jamur

g. Insekta skabiesis Disingkarkan karena terowongan tidak khas

seperti di skabiesis serta tidak ada gejala

kardinal skabiesis (minimal 2), yaitu

1) Pruritus nokturnal

2) Adanya anggota keluarga lain yang

terkena infeksi.

3) Adanya terowongan pada tempat

predileksi, yaitu warna putih/keabu-

abuan berbentuk garis lurus /berkelok,

panjang ± 1 cm, pada ujung terowongan

ditemukan papul /vesikel

4) Ditemukan tungau

Cacing tambang Strongyloides stercoralis TemuanUrtikaria ( edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan lahan)

V V V

Erupsi serpiginosa (kelainan kulit yang menyebabkan kehilangan jaringan yang tidak melebihi stratum basal—yang membentuk lintasan yang berkelok kelok

V V V

Papul (penonjolan diatas permukaan kulit, sirkumkrip—berbatas tegas, berukuran diameter lebih kecil dari ½ cm, dan berisikan zat padat)

V V V

Eritema (kemerahan pada kulit V V V

yang disebabkan pelebaran pembuluh darah kapiler yang reversiblePurpuraTelangiektasis

(Weller dan Liu, 2000; Budimulja, 2007)

Informasi 3:

Pemeriksaan darah : eosinofilia (+)Pemeriksaan feses 2x24 jam : larva rabditiform (+)Rö thoraks : infiltrate kedua lapang paru (+)Hasil biopsi : fotomikrograf kulit menunjukkan creeping eruption nematode

Infeksi parasit Helmint

a. Strongyloides stercoralis

b. Ancylostoma duodenale

c. Necator americanus

d. Ancylostoma brazilliense

e. Ancylostoma ceylanicum

f. Ancylostoma caninum

Diagnosis pasti untuk Strongyloides

stercoralis adalah menemukan larva

rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan

tinja selama sekurang-kurangnya 2x24 jam

menghasilkan larva filariform dan cacing

dewasa yang hidup bebas.

Diagnosis: Cutaneus larva migran et causa Strongyloides stercoralis dengan sindrom Loeffler

Sasaran belajar:

1. Efloresensi/Ujud Kelainan Kulit

2. Prutitus

3. Kandidiasis

4. Infeksi cacing tambang

5. Infeksi Strongyloides stercoralis

6. Cutaneus larva migrans

Pembahasan Sasaran Belajar

1. Efloresensi/Ujud Kelainan Kulit

Efloresensi kulit dapat berubah pada waktu berlangsungnya penyakit. Proses tersebut

dapat merupakan akibat biasa dalam perjalanan proses patologik. Kadang-kadang perubahan ini

daoat dipengaruhi keadaan dari luar, misalnya trauma garukan dan pengobatan yang diberikan,

sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi. Dalam hal ini, gambaran klinis morfologik penyakit

menyimpang dari biasanya dan sulit dikenali. Untuk mempermudah dalam pembuatan diagnosis,

ruam kulit dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu (Amelia, 2010):

a. Ruam kulit primer

1) Makula adalah efloresensi primer yang hanya berupa perubahan warna kulit tanpa

perubahan bentuk, seperti pada tinea versikolor, morbus Hansen.

2) Eritema adalah makula yang berwarna merah, seperti pada dermatitis, lupus erimatosus.

3) Papula adalah penonjolan padat diatas permukaan kulit, berbatas tegas, berukuran

kurang dari 1 cm.

4) Nodula sama seperti papula tetapi diameternya lebih besar dari 1 cm, misalnya prurigo

nodularis.

5) Vesikula adalah gelembung yang berisi cairan serosa dengan diameter kurang dari 1 cm,

misalnya pada varisela, herpes zoster.

6) Bula adalah vesikel dengan diameter lebih besar dari 1 cm, misal pada pemfigus, luka

bakar. Jika vesikel/bula berisi darah disebut vesikel/bula hemaragik . Jika bula berisi

nanah disebut bula purulen.

7) Pustula adalah vesikel berisi nanah, seperti pada variola, varisela, psoriasis pustulosa.

8) Urtika adalah penonjolan di atas kulit akibat edema setempat dan dapat hilang perlahan-

lahan, misalnya pada dermatitis medikamentosa, dan gigitan serangga.

9) Tumor adalah penonjolan di atas permukaan kulit berdasarkan pertumbuhan jaringan

tubuh.

10) Kista adalah penonjolan di atas permukaan kulit berupa kantong yang berisi cairan

serosa atau padat atau setengah padat, seperti pada kista epidermoid.

b. Ruam kulit sekunder

1) Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat berupa sisik halus

(TV), sedang (dermatitis), atau kasar (psoriasis). Skuma dapat berwarna putih (psoriasis),

cokelat (TV), atau seperti sisik ikan (iktiosis).

2) Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang sudah mengering di

atas permukaan kulit, misalnya pada impetigo krustosa, dermatitis kontak. Krusta dapat

berwarna hitam (pada jaringan nekrosis), merah (asal darah), atau cokelat (asal darah,

nanah, serum).

3) Ekskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris sehingga kulit tampak

merah disertai bintik-bintik perdarahan. Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima.

4) Ulkus adalah kerusakan kulit (epidermis dan drmis) yang memiliki dasar, dinding, tepi dan

isi. Misal ulkus tropikum, ulkus durum.

5) Rhagaden adalah belahan-belahan kulit dengan dasar yang sangat kecil/dalam misal

pada keratoskisis, keratodermia.

6) Parut (sikatriks) adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis dan dermis yang

sudah hilang. Jaringan ikat ii dapat cekung dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapat

lebih menonjol (sikatriks hipertrofi), dan dapat normal (eutrofi/luka sayat). Sikatriks tampak

licin, garis kulit dan adneksa hilang.

7) Keloid adalah hipertrofi yang pertumbuhannya melampaui batas.

8) Abses adalah efloresensi sekunder berupa kantong berisi nanah di dalam jaringan.

Misalnya abses bartholini dan abses banal.

9) Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan/relief kulit tampak lebih

jelas, seperti pada prurigo, neurodermatitis.

10) Guma adalah efloresensi sekunder berupa kerusakan kulit yang destruktif, kronik, dengan

penyebaran pertiginosa. Misal pasa sifilis gumosa.

11) Hiperpigmentasi adalah penimbunan pigmen berlebihan sehingga kulit tampak lebih hitam

dari sekitarnya. Misal pad melasma, dan pasca inflamasi.

12) Hipopigmentasi adalah kelainan yang menyebabkan kulit menjadi lebih putih dari

sekitarnya, misalnya pada skleroderma dan vitiligo.

c. Ruam kulit khusus

1) Kanalikuli yaitu ruam kulit berupa saluran-saluran pad stratum korneum, yang timbul

sejajar denga permukaan kulit, seperti yang terdapat pada skabies.

2) Milia (= White head) ialah penonjolan di atas permukaan kulit yang berwarna putih, yang

ditimbulkan oleh penyumbatan saluran kelenjar sebasea, seperti pada akne sistika.

3) Komedo (=Black head) ialah ruam kulit berupa bintik-bintik hitam yang timbul akibat

proses oksidasi udara terhadap sekresi kelenjar sebasea dipermukaan kulit, seperti agne.

4) Eksantema adalah ruam permukaan kulit yang timbul serentak dalam waktu singkat dan

tidak berlangsung lama, biasanya didahului demam, seperti pada demam berdarah.

5) Roseola ialah eksantema lentikuler berwarna merah tembaga seperti pada sifilis dan

frambusia.

6) Purpura yaitu perdarahan di dalam/di bawah kulit yang tampak medikamentosa

2. Prutitus

Pruritus (gatal) merupakan sensasi tidak nyaman pada kulit yang merangsang keinginan

untuk menggaruk. Prevalensi dari kejadian gatal berbeda – beda tergantung dari umur seseorang.

Gatal dapat bersifat lokal maupun generalisata, dan dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas.

Gatal merupakan gejala dan tanda penyakit kulit yang dominan muncul, termasuk pada kejadian

penyakit sistemik. Gatal dapat muncul pada epitel squamous, konjungtiva, mulut, hidung, faring,

hingga epitel bersilia pada trakhea (Twycross, et al., 2003).

Jenis pruritus

a. Pruritus primer adalah pruritus tanpa adanya penyakit dermatologi atau alat dalam dan dapat

bersifat lokalisata atau generalisata, bisa bersifat psikogenik yang disebabkan oleh komponen

psikogenik yang memberikan stimulasi pada itch centre (Djuanda, 2005).

b. Pruritus sekunder adalah pruritus yang timbul sebagai akibat penyakit sistemik, pada pruritus

sistemik toksin-toksin metabolik mungkin tertimbun di cairan interstisium dibawah kulit

(Corwin, 2000).

Berdasarkan workshop on itch di Oxford pada tahun 2000, Yosipovitch et al dan Twycross et al

melaporkan klasifikasi pruritus berdasarkan patofisiologinya dibagi menjadi 4 kategori, yaitu

(Greaves, 2007):

a. Pruritoceptive,terjadi di kulit dan biasanya disebabkan karena reaksi inflamasi atau

proses patologi yang nampak, seperti urtikaria dan skabiesis.

b. Neurogenic – gatal dihasilkan di sistem saraf pusat dalam respon terhadap pruritogen,

misalnya kolestasis

c. Neuropathic – karena lesi anatomi dari sistem saraf pusat maupun tepi, misalnya, nerve

entrapment dan tumor

d. Psychogenic, misalnya delusional parasitosis.

Neurofisiologi Pruritus

Stimulasi pruritogen akan membuat C-fibers menghantarkan impuls ke ganlia dorsalis,

dilanjutkan ke radiks dorsalis medulla spinalis, terus dihantarkan melewati traktus spinotalamikus

menuju thalamus, hingga berakhir di korteks somatosensorik (Burton, 2006; Twycross, et al.,

2003).

Gambar 1. Neurofisiologi pruritus yang berasal dari kulit (Twycross, et al., 2003).

C-Fibers yang berperan dalam mekanisme gatal sama dengan C-Fibers yang berperan

dalam mekanisme nyeri secara anatomi, namun berbeda dalam hal fungsi. Tipe C-Fibers yang

paling banyak dijumpai adalah nosiseptor mekanik dan panas. C-Fibers tersebut dapat bersifat

insensitif terhadap histamin maupun teraktivasi secara lemah oleh histamin. C-Fibers yang

berperan dalam mekanisme gatal merupakan 5% dari C-Fibers afferent saraf kulit manusia yang

merespon histamin dan pruritogen lainnya namun tidak sensitif terhadap stimulus mekanik, C-

Fibers ini juga memiliki kecepatan konduksi yang rendah, daerah inervasi yang luas, serta

transkutaneus treshold yang tinggi (Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006; Twycross, et al.,

2003).

Ketika C-Fibers teraktivasi, transmitter akan dilepaskan ke jaringan. Transmitter yang

berpera adalah Substansi P, calcitonin gene related peptide (CGRP) dan kalsitonin. Pelepasan

transmitter memungkinkan C-Fibers menghantarkan impuls menuju ganglia dorsalis (Burton,

2006; Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

Neuron yang berperan dalam mekanisme gatal akan berpindah kontralateral pada

medulla spinalis yang berakhir pada thalamus lateral. Konduksi ini memiliki jalur langsung menuju

vantral medial nukleus dan medial dorsal nukleus pada thalamus. Transmisi impuls gatal pada

medulla spinalis menyebabkan pelepasan Substansi P dan CGRP yang mengaktivasi reseptor

CGRP dan reseptor neurokinin 1 yang akan mengantarkan impuls untuk diproses di pusat kontrol

utama (Burton, 2006).

Gambar 2. Nauroanatomi pruritus (Burton, 2006).

Impuls dari thalamus mencapai korteks sensorimotoris. Keterlibatan korteks singulat

anterior dapat menjelaskan pengaruh emosional terhadap rasa gatal. Korteks insular, suplementar

motor area, premotor area, korteks prefrontal, korteks orbiofrontal, serebellum, serta

periaqueductal gray juga terlibat dalam mekanisme gatal yang terjadi (Burton, 2006). Aspek

spasial dan temporal diproses di korteks somatosensoris primer, perencanaan menggaruk

diproses di korteks premotor dan supplementary motor, korteks insular juga berperan dalam

memproses aspek afektif dan motivasional. Periaqueductal gray teraktivasi hanya apabila ada

rangsangan gatal dan yeri secara bersamaan. Fungsi dari periaqueductal gray adalah inhibisi

sentral terhadap gatal sehingga menyebabkan penurunan aktivitas korteks singulat anterior,

prefrontal dorsalis, dan parietal. Korteks prefrontal dan orbitofrontal juga teraktivasi oleh

rangsangan gatal, bagian ini berperan dalam sistem reward dan pengambilan keputusan (Paus,

Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

Gambar 3. Mekanisme kortikal rangsang gatal (Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

Mediator Pruritus

Mediator yang berperan dalam mekanisme pruritus diantaranya yaitu:

Gambar 4. Mediator pruritus (Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

Hubungan antara Pruritus dan Nyeri

Karakteristik dari respon terhadap gatal adalah refleks menggaruk. Menggaruk menjadi

aktivitas motorik tanpa disadari memberikan stimulus nyari untuk melawan sensasi gatal.

Berkurangnya rasa gatal oleh nyeri ini berdasarkan mekanisme antagonis neuron yang berperan

pada masing – masing mekanisme di medulla spinalis. Stimulus nyari memiliki kontrol inhibisi

tonik terhadap gatal (Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

Gatal dan nyeri dapat dibedakan dari sensasi subjektif, stimulus yang menginduksi, serta

refleks yang dihasilkan. Nyeri menghasilkan refleks menjauh, bertolak belakang dengan gatal

yang menghasilkan refleks menggaruk. Hal ini menjelaskan bahwa masing – masing memiliki

tujuan yang berbeda dalam menjaga integritas tubuh manusia. Refleks menjauh merupakan

refleks yang tepat terhadap zat eksternal yang berbahaya, sedangkan menggaruk menjadi refleks

untuk zat eksternal berbahaya yang sudah menginvasi barier epidermis kulit. Pada keadaan zat

berbahaya sudah masuk ke tubuh, refleks menarik sudah tidak berguna, sedangkan melokalisasi

nyari dengan menggaruk dapat membantu manusia melokalisasi daerah yang luka serta

melakukan mengobservasi kerusakan yang terjadi (Paus, Schmelz, Biro, & Steinhoff, 2006).

3. Kandidiasis

Pengertian

Kandidiasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida, terutama Candida

albicans. Candidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh

spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina,

kulit, kuku, bronki, atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septikemia, endokarditis, atau

meningitis. Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang

dilaporkan oleh Francois valleix (1836). Langerbach (1839) menemukan jamur penyebab thrush,

kemudian Berhout (1923) memberi nama organisme tersebut sebagai Candida. Nama lain dari

Candidiasis adalah kandidosis, dermatocandidiasis, bronchomycosis, mycotic vulvovaginitis,

muguet, dan moniliasis. Istilah candidiasis banyak digunakan di Amerika, sedangkan di Kanada,

dan negara-negara di Eropa seperti Itali, Perancis, dan Inggris menggunakan istilah kandidosis,

konsisten dengan akhiran –osis seperti pada histoplasmosis dan lain – lain.

Epidemiologi

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur terutama bayi dan

orang tua, baik laki – laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat

sebagai saprofit. Gambaran klinisnya bermaca-macam sehingga tidak diketahui data – data

penyebarannya dengan tepat.

Etiologi

Penyebab yang tersering ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut,

selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah

Candida parapsilosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah Candida tropicalis. Genus

Candida merupakan sel ragi uniseluler yang termasuk ke dalam Fungi imperfecti atau

Deuteromycota, kelas Blastomycetes yang memperbanyak diri dengan cara bertunas, famili

Cryptococcaceae. Genus ini terdiri lebih dari 80 spesies, yang paling patogen adalah C. albicans

diikuti berturutan dengan C. stellatoidea, C. tropicalis, C. parapsilosis, C. kefyr, C. guillermondii

dan C. krusei. Jamur Candida, terutama Candida albicans. Infeksi selaput lendir seperti yang

terjadi pada mulut atau vagina, sering terjadi pada seseorang yang memiliki sistem kekebalan

normal, tetapi infeksi ini lebih sering ditemukan atau merupakan infeksi yang menetap pada

penderita diabetes atau AIDS dan pada wanita hamil. Orang-orang dengan gangguan sistem

kekebalan sering menderita kandidiasis yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Sedangkan orang-

orang yang beresiko menderita kandidiemi (infeksi Candida di dalam aliran darah) adalah orang-

orang yang memiliki jumlah sel darah putih yang kurang (karena leukemi atau terapi kanker

lainnya) dan orang-orang. yang menjalani pemasangan kateter di pembuluh darahnya. Sering

terjadi setelah lingkungan yang normal tergangtung oleh kelembaban atau panas, Antibiotik

sistemik dan steroid oral mungkin mengganggu flora normal dan menyebabkan lingkungan yang

menguntungkan untuk pertumbuhan jamur, Sering ditemukan pada penderita yang sangat muda,

gemuk, diabetes atau debil.

Klasifikasi

Berdasarkan tempat yang terkena, dibagi menjadi: kandidiasis selaput lendir, kandidiasis

kutis, kandidiasis sistemik, dan reaksi id. (kandidid). Kandidiasis selaput lendir meliputi:

kandidiasis oral (thrush)

1) Perléche

2) Vulvovaginitis

3) Balanitis atau balanopostitis

4) Kandidiasis mukokutan kronik

5) Kandidiasis bronkopulmonar dan paru

Kandidiasis kutis meliputi:

1) Lokalisata yaitu daerah intertriginosa dan daerah perianal

2) Generalisata

3) Paronikia dan onikomikosis

4) Kandidiasis kutis granulomatosa

Kandidiasis sistemik meliputi:

1) Endokarditis,

2) Meningitis

3) Pielonefriti

4) Septikemia

Patogenesis

Infeksi kandida dapat terjadi apabila ada faktor predisposisi baik endogen maupun

eksogen. Faktor endogen meliputi perubahan fisiologik, umur,dan imunologik. Perubahan

fisiologik seperti:

1) Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina

2) Kegemukan, karena banyak keringat

3) Debilitas

4) Latrogenik

5) Endokrinopati, gangguan gula darah kulit

6) Penyakit kronik seperti: tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk.

7) Umur, contohnya orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya

tidak sempurna. Imunologik contohnya penyakit genetik.

8) Faktor eksogen meliputi: iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan respirasi meningkat,

kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi

dan memudahkan masuknya jamur, dan kontak dengan penderita misalnya pada thrush, dan

balanopostitis.

Penyebab

Gejala

Gejalanya tergantung kepada bagian tubuh yang terkena infeksi: Infeksi pada mulut

(thrush) merupakan bercak keputihan yang terasa sakit. Bila bercak timbul di kerongkongan akan

menimbulkan gangguan mengunyah atau gangguan makan. Infeksi pada katup jantung

menimbulkan demam, murmur dan pembesaran limpa. Infeksi pada retina bisa menyebabkan

kebutaan. Kandidemia dan infeksi pada ginjal bisa menyebabkan demam, penurunan tekanan

darah (syok) dan berkurangnya pembentukan air kemih.

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis, pada pemeriksaan mikroskopis terhadap sediaan kulit

harus ditemukan adanya jamur. Biakan darah dan cairan spinal juga bisa menunjukkan adanya

jamur Candida.

Lesi oral harus dibedakan dan liken planus dan leukoplakia : Lesi kulit mungkin mirip

psoriasis, sebore, tinea korpo atau intertrigo. Pemeriksaan Khusus:  kerokan lesi dan pemeriksaan

dengan KOH akan menunjukkan adanya hifa

Pengobatan

Bila timbul kandidiasis pada mulut atau vagina, bisa diberikan anti-jamur lokal atau

flukonazol peroral. Kandidiasis yang sudah menyebar ke seluruh tubuh, biasanya berat, progresif

dan berakibat fatal, dan diberikan amfoterisin B intravena (melalui pembuluh darah) meskipun

flukonazol efektif untuk beberapa penderita. Antifungal topikal efektif, tertnasuk irnidazole

(clotrimazole, miconazole) dan nystatin. Hilangkan faktor-faktor yang mempercepat pertumbuhan

jamur seperti : gizi yang kurang, kelembaban udara disekitarnya.

4. Infeksi cacing tambang

a. Insiden

Insiden cacing di seluruh dunia cukup tinggi, di indonesia mendapatkan 79 % dari 383

anak (Rampengan dan Laurentz, 1993).

b. Morfologi cacing tambang

Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil seperti silinder yang bebentuk

kumparan berwarna putih keabu-abuan. Cacing betina panjangnya rata-rata 9-13 mm dan

diameter 0,35-0,6 mm, sedangkan yang jantan hanya berukuran panjang rata-rata 5-11 mm

dengan diameter 0,3-0,45 mm.ankilostoma lebih besar daripada nekator americanus. Cacing

ini memiliki kutikula yang relatif tebal. Alat kelamin jantan tunggal dan betina berpasangan.

Pada ujung posterior cacing tambang jantan terdapat bursa caudal yang merupakan membran

yang lebar dan jernih dengan garis-garis seperti tulang iga, dimana bursa ini dipakai untuk

memegang cacing betina pada saat kopulasi (Rampengan dan Laurentz, 1993).

Perbedaan morfologis utama pada berbagai spesies adalah bentuknya,rongga mulut, dan

bursa pada caudal. Vulva terletak anterior pada ankilostoma sedangkan spina caudal tidak

ada pada nekator betina. Telur mempunyai ujung-ujung yang bulat dan selapiskulit hialin tipis

yang transparan. Telur ini belum bersegmen bila baru dikeluarkan dan didalam tinja segar

ditemukan sebagai stadium yangmembagi dalam 2-8 sel. Telur bebagai spesies ini tidak dapat

dibedakan, hanya dapat dibedakan, hanya dapat dibedakan dalam hal ukuran (Rampengan

dan Laurentz, 1993).

Cacing tambang melekat pada mukosa usus dengan rongga mulutnya. Tempat yang

paling disukai adalah usus halus, tetapi pada infeksi berat cacing dapat ditemukan sampai

bagian caudal ileum. Nekator ditemukan pada duodenum dan jejunum,sedangkan

ankilostoma pada jejunum dan bagian proksimal ileum. Cavng ini menghisap darah hospes,

dalam waktu 24 jam sebanyak 0,026 – 0,200 ml darah dapat dihisap seekor cacing. Infeksi

ankilostoma berlagsung 6-8 tahun,bahkan lebih sedangkan nekator kebanyakan menghilang

dalam waktu 2 tahun tetapi ada yang bertahan sampai 4-5 tahun (Rampengan dan Laurentz,

1993).

c. Lingkaran hidup

Lingkaran hidup berbagai spesies ankilostomiasis adalah sama. Manusia hampir selalu

merupakan hospes satu-satunya. Telur dikeluarkan tinja dapat menjadi matang dan

mengeluarkan larva rabditiformis dalam waktu 1-2 hari pada keadaan yang menguntungkan

serta pada suhu yang optimal (230C-330C). Kemudian larva ini berubah untuk keduakalinya

menjadi larva filariform. Larva ini sering beradadi lapisan tanah dan menonjol ke permukaan

dan mempunyai daya tigmotaktis yang kuat sehingga memudahkan larva ini masuk ke dalam

kulit hospes (Rampengan dan Laurentz, 1993).

Larva ini paling baik pada tempat yang teduh seperti tanah berpasir atau tanah liat,tanah

berlumpur yang tertutup oleh daun, menyebabkan larva – larva ini terlindung terhadap

pengeringan atau keadaan basah yang berlebihan. Larva filariform masuk ke dalam

hospesnya melaluifolikel rambut dan pori-pori. Tanah yan basah dan melekat mempermudah

penularan. Biasanya tempat yang terineksi adalah bagian dorsal kaki atau diantara jari-jari

kaki pada penambang dan petani mungkin dapat terinfeksi melalui tangan, terutama

mengenai sela-sela jari. Kadang-kadang infeksi dapat terjadi melalui mulut, bila larva masuk

ke dalam badan dengan perantaraan air minum atau makanan yang terkontaminasi

(Rampengan dan Laurentz, 1993).

Larva masuk aliran darah melalui jantung parumenembus kapiler alveoli. Larva ini masuk

ke bronkus dan trakhea akhirnya tertean masuk ke usus. Migrasi larva melalui darah dan

paru-paru berlangsung selama kira-kira satu minggu. Selama periode ini larva yang

mengalami perubahan yang ketiga dan mempunyai rongga mulut sementara yang

memungkinkan cacing dewasa muda ini mengambil makanan. Cacing betina dewasa yang

bertelur ditemukan dalam waktu 5 sampai 6 minggu setelah infeksi (Rampengan dan

Laurentz, 1993).

d. Patogenesis dan simtompatologi

Larva stadium infektif secara aktif menembus kulit kapan saja mereka kontak. Pada

tempat masuk kerusakan adalah minimal tetapi panetrasi dari larva menyebabkan perasaan

gatal. Dalam beberapa jam dapat timbul reaksi-reaksi alergi terhadap cacing, yaitu

pruritus,rash, papula eritematosus yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini dikenal sebagai

“ground itch”. Kadang-kadang nekator masuk ke dalam kulit menyebabkan creeping eruption

(cutaneuslarva migran)kemudian menembus jaringan yang lebih dalam untuk seterusnya

masuk kedalam pembuluh limfe atau vna-vena kecil dan dibawaoleh aliran darah melalui

jantung masuk ke paru-paru, ketika keluar dari kapiler masuk ke paru-paru dapat

menyebabkan perdarahan-perdarahan kecil terutama pada kasus migrasi yang masif

sehingga terjadi pneumonitis (Rampengan dan Laurentz, 1993).

Larva dapat juga tertelan dan langsung masuk ke usus halus, tetapi larva-larva lain

menembus membran mukosa mulut dan faring menyebabkan imigrasi ke paru. Dalam usus

halus cacing inimelekatkan diri pada mukosa usus dengan kapsul permanen. Kemudian

menghisap darah dari jaringan akan tetapi lebih banyak darah yang hilang akibat perdarahan

pada tempat perlengketan. Pada daerah perlengketan sering menimbulkan ulkus, sehingga

menyebabkan nyeri perut dan rasa terbakar. Gajala ini lebih sering karena ankilostoma

daripada nekator. Diare dapat terjadi dengan feses yang bervariasi warnanya dari hitam

sampai merah tergantung banyaknya darah yang hilang (Rampengan dan Laurentz, 1993).

e. Diagnosis

Diagnosis yang pasti adalah dengan ditemukannya telur dalam tinja penderita. Secara

praktis,telur ankilostoma tidak bisa dibedakan dengan telur nekator americanus. Dalam waktu

yang lamamungkin ditemukan larva (Rampengan dan Laurentz, 1993).

5. Infeksi Strongyloides stercoralis

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan hospes utama cacing ini, parasit ini dapat mengakibatkan penyakit

strongilodiasis.

Distribusi Geografik

Terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah yang beriklim dingin

jarang ditemukan.

Epidemologi

Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang sangat menguntungkan

cacing ini sehingga terjadi daur hidup tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva

ialah tanah gembur berpasir dan humus. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada

sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi misal dengan

memakai alas kaki. Penerangan kepada masyarakat menganai cara penularan dan cara

pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit strongiloidiasis.

Morfologi Dan Daur Hidup

Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya

filform, halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan

partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur menetas menjadi

larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja. Parasit ini

mempunyai tiga macam daur hidup :

1) Siklus langsung

Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh masuk ke peredaran darah vena

dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang sudah mulai

menjadi dewasa menembus alveolus masuk ke trakhea dan laring. Sesudah sampai di laring

terjadi refleks batuk sehingga parasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan

menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah

infeksi

2) Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

cacing betina bentuk bebas. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang

menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari menjadi larva

filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru atau larva rabditiform tadi dapat juga

mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung terjadi jika keadaan lingkungan sekita

optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini,

misalnya di negeri tropik dengan iklim lembab.

3) Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang menjadi larva filariform di usus atau daerah sekitar anus. Bila larva

filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka akan terjadi suatu daur

perkembangan dalam hospes. Adanya auto infeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis

menahun pada penderita yang hidup didaerah non endemik.

Patologi dan gejala klinis.

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit timbul kelainan kulit yang disebut

creeping eruption yang disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan

kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan strongiloides pada umumnya terjadi

tanpa diketahui hospesnya karena tidakmenimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan

rasa sakit seperti tertusuk-tusuk didaerah epgastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada

mual, muntah diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan

terjadi autoinfeksi atau hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit

dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam

(paru, hati, kandung empedu). Pada pemerikasaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau

hipereosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

Diagnosis

Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata.

Diagnosis pasti bila menemukan larva rabditiform dalam tinja segar dalam biakan atau dalam

aspirasi duodenum. Biakan tinja selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva

filariform dan cacing dewasa strongiloides sterkoralis yang hidup bebas.

Pengobatan

Dulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg/kg berat badan, 1 atau 2 kali

sehari selama 2 atau tiga hari. Sekarang albendazol 400 mg, 1 atau 2 kali sehari selama 3 hari

merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg 3 kali sehari selama 2 atau 4 minggu dapat

memberikan hasil yang baik. Mengobatio orang yang mengandung parasit meskipun kadang-

kadang tanpa gejala adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus

ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

Prognosis

Pada infeksi berat, strongiloidiasis dapat menyebabkan kematian

6. Cutaneus larva migrans

Definisi dan etiologi

Cutaneus Larva Migran (CLM) adalah dermatitis yang disebabkan dari invasi dan migrasi

dari larva parasit pada kulit (Karthikeyan dan Thappa, 2002). Infeksi yang disebabkan oleh

stadium larva dari cacing tambang hewan (kucing atau anjing). Selain itu cacing lain seperti

Strongyloides dan Gnathostoma juga dapat bermigrasi melalui kulit, sama dengan spesies

Ancylostoma (Montgomeri, 2010). Creeping eruption merupakan nama lain dari CLM (Anonim,

2010). Serpiginosa adalah terminologi yang menerangkan bentuk atau penyebaran dari lesi

“serpentine” atau konfigurasi yang menyerupai ular. Biasanya digunakan untuk menggambarkan

infeksi CLM (creeping eruption) dan elastosis perforans serpiginosa. (Anonim, 2010)

Selain itu penyebab CLM yang sering adalah (Juzych, 2009)

1) Ancylostoma braziliense (cacing tambang anjing dan kucing)

2) Ancylostoma caninum (cacing tambang anjing dan kucing biasa ditemukan di Australia)

3) Uncinaria stenocephala (cacing tambang anjing yang ditemukan di eropa)

4) Bunostomum phlebotomum

Sedangkan penyebab CLM yang jarang adalah (Juzych, 2009)

1) Ancylostoma ceylonicum

2) Ancylostoma tubaeforme

3) Necator americanus

4) Strongyloides papillosus

5) Strongyloides westeri

6) Ancylostoma duodenale

7) Pelodera (Rhabditis) strongyloides

PatofisiologiDalam kasus CLM, siklus hidup parasit dimulai ketika telur yang lulus dari kotoran hewan

menjadi hangat, lembab pada tanah berpasir, kemudian telur menetas menjadi larva. Larva

awalnya memakan bakteri tanah dan ganti kulit dua kali sebelum tahap ketiga infektif. Dengan

menggunakan protease, larva menembus folikel, celah, atau kulit utuh dari host baru. Setelah

menembus stratum korneum, larva melepaskan kutikulanya. Selanjutnya, mereka mulai migrasi

dalam beberapa hari (Juzych, 2009). 

Dalam host binatang, larva mampu menembus ke dalam dermis dan diangkut melalui

sistem limfatik dan vena ke paru-paru. Mereka menerobos ke dalam alveoli dan bermigrasi ke

trakea, hal ini terjadi ketika proses menelan. Dalam usus, larva menjadi bentuk dewasa secara

seksual, dan siklus dimulai lagi sebagai telur yang diekskresikan.  Manusia adalah accidental host

dan larva ini diyakini tidak mempunyai cukup kolagenase yang dibutuhkan untuk menembus

membran basal untuk masuk kedalam dermis. Oleh karena itu, CLM terbatas pada kulit ketika

manusia terinfeksi (Juzych, 2009).

Gejala (Juzych, 2009)

1) Kesemutan / merinding dalam waktu 30 menit dari penetrasi larva

2) Pruritus

3) Erithematosa, biasanya lesi linier

4) Sering dikaitkan dengan riwayat berjemur, berjalan dengan kaki telanjang di pantai, atau

kegiatan serupa di lokasi tropis

5) Faktor predisposisi CLM meliputi:

a) Hobi dan pekerjaan yang melibatkan kontak dengan tanah

b) Iklim tropis atau subtropis

c) Tukang kayu

d) Montir listrik

e) Tukang ledeng

f) Petani

g) Tukang kebun

h) Pembasmi hama

Tanda (Juzych, 2009)

1) UKK CLM adalah sebagai berikut:

a) Gatal, eritem, papula edematosa dan / atau vesikula

b) Serpiginosa (seperti ular), sedikit lebih tinggi, terowongan eritematosa 2 - 3 mm dan

dengan panjang 3-4 cm dari tempat penetrasi

c) Dermatitis nonspesifik

d) Vesikula dengan cairan serosa

e) Secondary impetiginization

f) Terowongan bertambah 1-2 cm / hari

2) Tanda-tanda sistemik termasuk eosinofilia perifer (Loeffler sindrom), infiltrat paru migrasi, dan

meningkatnya imunoglobulin E (IgE) tingkat, tetapi jarang terlihat.

3) Lesi biasanya didistribusikan di bawah kaki distal, termasuk dorsal kaki dan ruang interdigital

jari-jari kaki, tetapi juga dapat terjadi di wilayah anogenital, pantat, tangan, dan lutut.

Terapi

CLM dapat diterapi dengan modality fisik (operasi), crioterapi, obat topical, dan terapi

sistemik. Crioterapi dapat digunakan untuk lesi yang terbatas, cara ini adalah salah satu cara yang

kuno, dengan cara yang menyakitkan dan kurang teliti untuk membunuh larva. Pada pelaksanaan

operasi, terkadang kurang efektif karena larva seringkali tidak tertangkap. Cioterapi dan operasi

biasa dilakukan pada ibu hamil. Obat topikal ada beberapa agen misalnya tiabendazol 15%, krim

gamrriexane 2%, piperazine citrate 25%, metriphonate yang biasa digunakan untuk pengobatan

CLM. Diantara obat topikal, yang paling efektif adalah tiabendazol (Karthikeyan dan Thappa,

2002).

Selain tersedia dalam sediaan topikal, tiabendazol tersedia untuk konsumsi oral, dengan

dosis efektif 25-50mg/kgBB 1-2 hari dalam 2-5 hari. Efek samping tiabendazol yang sering terjadi

adalh mual, tidak nafsu makan dan kerusakan saluran gastrointestinal. Karena efek samping dan

ketidaktersediaan tiabendazol, Albendazol adalah obat yang digunakan untuk mengatasi CLM.

Dosis efektif albendazol adalah 400-800mg/hari dalam 1-7 hari. Selain itu obat anti helmintes

yang bisa digunakan adalah ivermetin dosis tinggal 150-300mg/kgBB dan flubendazol 200mg/hari

dalam 5hari (Karthikeyan dan Thappa, 2002).

Pada CLM yang sudah mencapai siklus paru, atau sistemik, maka pemakainan obat

igunakan dalam waktu yang lebih lama(Montgomeri, 2010)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Dermatology Term. Diakses dari: http://www2.kumc.edu/fammed/derm/terms.htm

Budimulja, Unandar. (2007). Morfologi dan Cara Membuat Diagnosis dalam: Ilmu Kulit Kelamin. Ed. 5. Jakarta: FKUI

Burton, G. (2006). Pathophysiology of Pruritus. Glen Waverley, Victoria, Australia.

Candidiasis.pdf. 2010. Universitas Negeri Malang. Diakses pada tanggal 5 september 2010

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Dalam: Integumen. Jakarta: EGC. Hal: 595.

Djuanda, Suria. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keenam. Dalam: Hubungan Kelainan Kulit dan Psike. Jakarta: FKUI. Hal: 328.

Greaves, M.W. (2007). Recent Advances in Pathophysiology and Current Management of Itch. Ann Acad Med Singapore;36:788-92.

Juzych, Lydia. 2009. Cutaneus larva migrans. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1108784-overview

Karthikeyan K, Thappa D. Cutaneous larva migrans. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] 2002 [cited 2010 Sep 8];68:252-8. Available from: http://www.ijdvl.com/text.asp?2002/68/5/252/12484

Montgomeri, Susan. 2010. Cutaneus Larva Migran. Available from: http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2010/chapter-5/cutaneous-larva-migrans.aspx

Paus, R., Schmelz, M., Biro, T., & Steinhoff, M. (2006). Frontiers in Pruritus Research: Scrathing the Brain for More Effective Itch Therapy. The Journal of Clinical Investigation , 116 (5), 1174-1185.

Rampengan, T.H, dan Laurentz, I.R.(1993). Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC.

Twycross, R., Greaves, M. W., Handwerker, H., Jones, E. A., Libretto, S. E., Szepietowski, J. C., et al. (2003). Itch: Scratching More than the Surface. Q J Med , 96, 7-26.

Weller, Peter F. dan Liu, Leo X. (2000). Nematoda usus dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 13. Vol 2. Jakarta: EGC