Upload
irma-pryuni-ainanda
View
28
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran
sangat berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat
mengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi,
penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan
penanggulangan nyeri menahun1
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif atau darurat)
harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi
pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu pra
anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi,
menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan. Serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.2
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan
membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah umur 50
tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga yaitu usia 10-
20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik yang paling sering
pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua.8
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika
Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit
tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis, dengan rasio
laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup apendisitis yaitu
pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan.9
1
Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens
apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya 218
dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi ‘junk food’
daripada makanan berserat. 9
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka
diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi
diagnosis apendisitis akut berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis akut
adalah pembedahan, apendiktomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan
antibiotik perioperatif yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka
postoperasi dan pembentukan abses intraabdominal9.
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,
termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut. Berdasarkan latar
belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi pada
apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian
ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut.
1.4 Manfaat
Penulisan laporan kasus ujian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai
tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANESTESI UMUM
A. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem saraf
pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi umum diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya
respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon
terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility),
serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).1,2
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang
berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.1
B. Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut 1:
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot
C. Pilihan Cara Anestesi 1
1. Umur
Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum.
Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik
3
Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah
ada komplikasi anestesi dan pasca bedah.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesi umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan gangguan
jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesi. Pilihan anestesi adalah regional, spinal, atau anestesi umum
endotrakeal.1
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan. Demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat
elektrokauter.1
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum 2
1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial
4
tertentu. Kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui membran
alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat anestesi sehingga
tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri
pulmonaris.2
Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah2:
1) Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam
alveolus.
2) Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang
mempengaruhi2:
1) Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan
dan sebagian kembali melalui vena.
2) Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG
koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah,
sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita
mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi
diakhiri.
3) Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
5
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anestesi yang adekuat.
3. Faktor jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan.
2) Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian
besar zat anestesi kecuali halotan.
3) Kecepatan metabolisme obat
4) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan2:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal).
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)
c) Jaringan sedikit pembuluh darah
d) Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon).
4. Faktor zat anestesi
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-
beda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC
(minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu
konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus yang mampu
mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesi tersebut.1
E. Stadium Anestesi Umum
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,
tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai
6
berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi
menjadi 4 stadium, yaitu1:
1) Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai
sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya
rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
2) Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini terlihat
adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien
tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur,
kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat,
inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.
Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang
adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana
yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
(tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi
7
otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan
intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks
laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir
sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks
sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempurna (tonus otot sangat menurun).
4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan
akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
F. Tahapan Tindakan Anestesi Umum
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.4
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi,
mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca
8
bedah sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan
baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat
menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan digunakan
ulang misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3
bulan atau suksinilkolin yang menimbulkan apnea
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok
sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.4
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.4
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.4
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu
untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya
pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.4
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai
kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik
ini bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan.1,4
9
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24
jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa
6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan
tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam, dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi.2
10
Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of
Anesthesiologist, 2011)4
Usia pasien
Intake oral Lama puasa (jam)
∑ puasa yg diberikan
< 6 bln Clear fluidBreast milkFormula milk
234
20 cc/kg
6 bln – 5 thn
Clear fluidFormula milkSolid
246
10 cc/kg
>5 thn Clear fluidSolid
26
10 cc/kg
Adult, op. pagi
Clear fuid Solid
2Puasa mulai jam 12 mlm
Adult, op. siang
Clear fluidSolid
2Puasa mulai jam 8 pagi
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan,
dan bangun dari anestesi di antaranya:2,4
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
Kunjungan pre-anestesi.
Pengertian masalah yang dihadapi.
Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
11
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada
kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang
tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan
sangat efektif sebelum induksi. Jika pembedahan belum dimulai
dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi
jika diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian
secara perlahan-lahan dan diencerkan.3
Obat-obat yang sering digunakan3:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
12
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB
2. Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.3
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan.
13
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:
a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan
hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada
pasien yang kooperatif.1
Obat-obat induksi intravena 3
Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan
2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena
dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan
tiophental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan
sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi napas. Tiophental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut
dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
14
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena. Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10
mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam,
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui,
tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor
GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).6
Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10
15
mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1
ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100 mg).6
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.6
b. Induksi intramuskuler 6
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
c. Induksi inhalasi 6
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan analgesi
kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik
lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan
analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 ltr/mnt atau
campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
16
Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi
jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari untuk
anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napas seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi di samping halotan.
17
d. Induksi per rektal 6
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan
selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic
(katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga,
oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi dan anak
kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan inhalasi pada bayi
dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
e. Induksi mencuri 10
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
3. Rumatan anestesi (maintenance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total),
dengan inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar
tidak sadar, analgesik cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.6
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanyl 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesik cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis
biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
18
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara
+ O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2
vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu, atau dikendalikan.6
4. Tatalaksana jalan napas 7
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
Hidung menuju nasofaring
Mulut menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esofagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid,
epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan kuneiform.
1. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3) Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas
bebas sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung
atau mulut.
2. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan
napas mulut faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan
napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
19
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.
4. Sungkup laring (laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya
dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.
2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus.
5. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
6. Laringoskopi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Secara garis besar dikenal 2 macam laringoskop:
1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.
20
Gambar 1. Klasifikasi struktur faring Berdasarkan Mallampati6
7. Intubasi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, dan ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:
Persiapan
21
1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET,
stilet, dan lain-lain.
2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.
3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-
lain.
4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium,
pavulon, dan lain-lain.
5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan
lain-lain.
Tindakan
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.
2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi
(+).
3) Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira-
kira 1 menit.
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan
kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut
membuka.
5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah
kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan
menggeser lidah ke kiri.
6) Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis (pada
bilah bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).
7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan
menekan trakea dar luar).
8) Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya
merah.
9) Masukan ETT melalui rima glotis.
10) Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau
alat bantu napas (alat resusitasi)
22
Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:
Leher pendek berotot
Mandibula menonjol
Maksila atau gigi depan menonjol
Uvula tidak terlihat
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Gerak vertebra servikal terbatas
Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:
Selama intubasi
1) Trauma gigi geligi
2) Laserasi bibir, gusi, laring
3) Merangsang saraf simpatis
4) Intubasi bronkus
5) Intubasi esofagus
6) Aspirasi
7) Spasme bronkus
Setelah ekstubasi
1) Spasme laring
2) Aspirasi
3) Gangguan fonasi
4) Edema glotis-subglotis
5) Infeksi laring, faring, trakea
Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-
hal berikut ini:
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:
Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.
23
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari
sekret dan cairan lainnya.
5. Pasca anestesi5
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery
room (RR).5
1) Aldrete score6,7
Nilai warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
24
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
2) Steward score (anak-anak)6,7
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
G. Mesin dan Peralatan Anestesi
Fungsi mesin anestesia (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian dihisap oleh pasien dan membuang sisa campuran gas dari pasien.
Rangkaian mesin anestesia sangat banyak ragamnya, mulai dari yang sangat
sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal
ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut 10:
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari :
1. Sumber O2, N2O dan udara tekan
25
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
4. Meteran aliran gas (flow meter)
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Lubang O2 darurat (oxygen flush control)
Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat
anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open,
closed, dan semi closed 6:
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat
anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di
sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem
ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi di
kamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan
meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya
kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat
dilakukan respirasi kendali.
2. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah,
yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating
valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih
rendah dibanding sistem open.
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas
anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi
sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya udara ini
digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas
( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas
dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi diinspirasi
26
lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan
kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
4. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak
ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak
kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekuat,
tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa
berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya
alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi
dan tidak menimbulkan polusi. Pada sistem closed dan semiclosed juga
disebut system rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali,
sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system
open dan semi open juga disebut sistem nonrebreathing karena tidak ada
udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime.
Untuk menjaga agar pada sistem semi open tidak terjadi rebreathing,
aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan
antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.
H. Kontraindikasi Anestesi Umum 6,7
Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
a. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total
(tidak ada gelombang P).
b. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg),
diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan
glomerulonefritis akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan
anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT
(death on the table) meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian
kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum
tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa
diberikan anestesi umum.7
27
2. APPENDISITIS AKUT
Appendisitis akut adalah peradangan pada appendiks vermiformis yang
terjadi secara akut. Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6–9 cm),
menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen
dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir
tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appenditis. Hingga saat ini fungsi
appendiks belum diketahui dengan pasti.8
A.1. Etiologi
Appendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit lainnya, di antaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),
hiperplasia jaringan limfoid, parasit, benda asing dalam tubuh, dan neoplasma.
Yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid.8
28
A.2. Patogenesis
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks memounya keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang menyebabkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut
fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di kuadran kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan appendisitis supuratif akut.9
Bila kemudian aliran arteri terganggu, akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan appendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang,
dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada
orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.9
29
Nyeri Appendisitis9
Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di dua daerah
permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui nyeri alih viseral dan nyeri
langsung parietal.
Mekanisme :
1. Impuls nyeri yang berasal dari appendiks akan melewati serabut-serabut
nyeri viseral saraf simpatik dan selanjutnya akan masuk ke medulla
spinalis kira-kira setinggi thorakal X sampai thorakal XI dan dialihkan ke
daerah sekeliling umbilikus (menimbulkan rasa pegal dan kram).
2. Dimulai di peritoneum parietal tempat appendix meradang yang melekat
pada dinding abdomen. Ini menyebabkan nyeri tajam di peritoneum yang
teriritasi di kuadran kanan bawah abdomen.
A.3. Gambaran Klinis8,9
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara
samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar (umbilikus atau periumbilikus)
yang berhubungan dengan muntah. Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut
kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis akut yaitu nyeri
30
pada titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi
pergerakan seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang
sakit. Nyeri saat batuk kemungkinan disebabkan oleh peningkatan tekanan intra-
abdomen. Nyeri yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena
adanya gesekan antara visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan
peritoneum.
Selain nyeri, gejala appendisitis akut lainnya adalah demam derajat rendah,
mules, konstipasi atau diare, perut membengkak, dan ketidakmampuan
mengeluarkan gas. Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan
dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus
akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik.
Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran
gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam menambah kemungkinan
appendisitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini tidak akan
mengurangi kemungkinan appendisitis..
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang8,9
Pemeriksaan fisik:
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.
Palpasi : Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa
nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign). Nyeri
perut kanan bawah merupakan kunci dari diagnosis appendisitis akut. Terkadang
dokter akan melakukan pemeriksaan colok dubur untuk menentukan letak
apendiks bila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan colok dubur kemudian
terasa nyeri maka kemungkinan apendiks penderita terletak didaerah pelvis.
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada
31
pasien yang diduga apendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien
biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %.
Pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-
12 jam setelah inflamasi jaringan. Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan
pada pasien yang diduga appendisitis akut antara lain adalah ultrasonografi dan
CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan appendicalith serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari caecum.
Diagnosis8
Diagnosis appendisitis akut harus dilakukan secara cermat dan teliti.
Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan karena pada wanita sering timbul nyeri yang menyerupai
appendisitis akut, mulai dari alat genital (karena proses ovulasi, menstruasi),
radang di panggul atau penyakit kandungan lainnya. Hal ini sering menjadi
penyebab terlambatnya diagnosis sehingga lebih dari separuh penderita baru
dapat didiagnosis setelah perforasi.
Untuk mengurangi kesalahan diagnosis, saat berada di rumah sakit
dilakukan observasi pada penderita tiap 1-2 jam. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium, didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih yang melebihi
normal.
TataLaksana8
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat adalah tindakan
operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :
1. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah
kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika appendisitis sudah mengalami
perforasi.
32
2. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar 1-4 buah. Satu di dekat pusar, yang
lainnya di seputar perut. Laparoskopi dilakukan dengan kamera yang akan
dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam
perut kemudian ditampakkan pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan
membantu jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk operasi
akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan appendiks,
pembuluh darah, dan bagian dari appendiks yang mengarah ke usus besar
akan diikat.8
33
BAB IIIPENYAJIAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
No. Rekam Medik : 064598Nama : Nn. SUmur : 16 tahunJenis Kelamin : Perempuan Alamat : sei. Kunyit, Kab. PontianakSuku : MelayuAgama : IslamStatus : Belum MenikahPekerjaan : PelajarTanggal Masuk : 16 Desember 2014Tanggal Operasi : 17 Desember 2014
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri perut kanan bagian bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengaku mengeluh nyeri perut
kanan bagian bawah sejak Oktober 2014. Pasien melakukan rawat jalan
dan sudah mengonsumsi obat-obatan. Pasien juga mengaku sering
demam, mual dan muntah. Sejak dua hari yang lalu pasien mengeluh
BAB cair dan lebih sering serta terasa sakit ketika mau BAB. Demam (-)
serta mual dan muntah sudah mulai berkurang.
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Diabetes mellitus, hipertensi, asma dan
penyakit jantung disangkal.
d. Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
e. Riwayat Penyakit Kardiovaskular : disangkal
f. Riwayat Penyakit Lain : disangkal
g. Riwayat Alergi Obat : disangkal
h. Riwayat Operasi : disangkal
i. Kebiasaan : Merokok ( - ), alkoholik ( - ), obat-obatan ( - )
2. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Baik GCS E4M6V5Vital sign : TD : 110/70 mmHg
N : 68 kali per menit Rr : 16 kali per menit
34
Suhu : 36,4˚ BB : 69 kgMata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor ϕ 3mmMulut : malampati derajat 1Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), oedem (-), kekakuan
sendi rahang (-), kaku leher (-)Thorax : Inspeksi : Simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus normal, iktus kordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS 5
Perkusi : Pulmo : Sonor (+), Cor : pekak (+)Auskultasi : Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen: I : datar, distended (+), massa (-), skar (-), caput medusa (-)A : Bising usus (-)P : Nyeri tekan (-) pada titik Mc. Burney, hepar dan lien tidak teraba
P : Timpani (+) pada empat kuadran
Ekstremitas : Oedem akral dingin
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Laboratorium
HemoglobinHctEritrositLeukositTrombositGol darahCTBT
: :::: :::
13,3 g/dL35,7 %TD16.900290.000B5’40”2’10”
GDSUreumCreatininAlbuminNatriumKaliumCloridaHbsAgHIV
::::: ::::
91 mg/dL16,1 mg/dL0,6 m/dLTDTDTDTDNon-reaktifNon-reaktif
b. Foto Polos thorax : dalam batas normal
c. EKG : normal
4. Kesimpulan :
Kelainan sistemik : Tidak Ada Kelainan Sistemik Kegawatan : Tidak Ada Status fisik ASA : I
35
- - - -- - --
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
- Informed consent- Persetujuan operasi tertulis (+)- Puasa 6 jam
2. Jenis Anestesi : Anestesi umum
3. Teknik Anestesi : GA intubasi, SC, ET no. 7, NK
4. Obat-obatan : midazolam 5mg, fentanyl 100µg, propofol 150mg,
atracurium besilat 30mg
5. Maintenance : O2 2 lpm, N20 2 lpm, isoflurance 1,5 vol %
6. Monitoring : tanda-tanda vital, kedalaman anestesi dan perdarahan
7. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D. TATALAKSANA ANESTESI
1. Di ruang persiapan
- Pasien masuk ke ruang persiapan operasi
- Pemeriksaan kembali : identitas pasien, persetujuan operasi, lama puasa 6
jam, dan darah yang akan diperlukan.
- Pastikan pasien telah terpasang infus dan lancer serta kateter urin.
- Persiapkan peralatan dan obat-obatan anestesi.
2. Di ruang operasi
- Pasien masuk ke ruang operasi, manset dan indikator saturasi oksigen
dipasang serta monitor menyala.
- Pastikan STATICS dan obat-obatan yang akan digunakan selama anestesi
sudah disiapkan.
- Dilakukan premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 µg
secara IV
- Dilakukan induksi dengan propofol 150 mg IV, segera kepala
diekstensikan, facemask didekatkan pada hidung dengan O2 4 lpm.
Setelah refleks bulu mata menghilang, atracurium besilat 30 mg
diinjeksikan secara IV. Dilakukan pemijatan ambu hingga saturasi 100%.
36
Sesudah tenang dilakukan intubasi dengan endotrakeal tube no. 7. Setelah
terpasang dengan baik dihubungkan dengan mesin anestesi untuk
mengalirkan O2 2 lpm, N2O 2lpm dan isoflurance 1,5 vol %. Nafas
dikendalikan dengan ventilator.
- Setelah anestesi berjalan dengan baik, operasi dimulai,
- Tanda-tanda vital terus dimonitor sampai operasi selesai dan pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan sebelum dibawa kembali ke bangsal.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi Sa02
11.00 137/74 71 100%11.05 107/73 71 100%11.10 100/70 67 100%11.15 105/71 62 100%11.20 110/74 73 100%11.25 115/80 71 100%11.30 124/85 73 100%11.35 135/85 72 100%11.40 140/85 74 100%11.45 140/85 72 100%11.50 125/90 76 100%11.55 122/77 76 100%12.00 114/78 78 100%12.05 112/77 76 100%12.10 127/76 78 100%12.15 128/80 74 100%12.20 118/78 81 100%12.25 117/69 73 100%12.30 127/83 75 100%12.35 131/85 78 100%12.40 129/79 71 100%12.45 115/69 80 100%12.50 124/81 73 100%12.55 127/82 76 100%13.00 134/80 76 100%13.05 121/76 71 100%
3. Di ruang pemulihanMonitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR13.15 140/85 74 100%
37
13.20 140/85 72 100%13.25 125/90 76 100%13.30 122/77 76 100%13.35 114/78 78 100%13.40 112/77 76 100%13.45 127/76 78 100%13.50 128/80 74 100%13.55 118/78 81 100%14.00 117/69 73 100%14.05 127/83 75 100%
4. Instruksi Pasca Anestesi- Posisi terlentang- Tirah baring 24 jam- Kontrol tanda-tanda vital- Infus RL 20 tpm- Inj. Ketorolac 30 mg tiap 8 jam- Diet oral bila bising usus (+)
38
BAB IV
PEMBAHASAN
Pembedahan atau operasi akan dilakukan pada perempuan, 16 tahun dengan
berat badan 69 kg. Setiap pembedahan akan dilakukan anestesi untuk menghilangkan
rasa sakit/nyeri pasien selama proses operasi. Anestesi dilakukan sesuai prosedur
yang ada mulai dari pemeriksaan pre anestesi hingga penatalaksanaan pasien pasca
pembedahan di bangsal.
Pada kasus ini, pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bagian bawah yang
telah didiagnosis Appendisitis oleh dokter bedah dan akan dilakukan pembedahan.
Untuk menentukan teknik atau prosedur yang akan dilakukan selama proses anestesi
maka dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
sebelum proses anestesi dilakukan.
Dari data anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, pasien menyangkal
adanya riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma atau
sesak napas serta penyakit jantung. Penilaian riwayat penyakit ini penting untuk
mengetahui pemilihan obat apa yang tepat serta mempertimbangkan pemilihan
teknik anestesi untuk mengurangi kemungkinan terburuk, baik selama operasi
maupun pasca operasi.
Selain anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien dan didapatkan
keadaan dalam batas normal, baik tanda-tanda vital, keadaan mulut dan leher, thorax,
abdomen maupun ekstremitas. Penilaian ini dilakukan sebelum operasi dilakukan
atau dikenal dengan sebutan pra anestesi. American Sociey Anesthesiology (ASA)
membuat klasifikasi status fisik pasien sebagai berikut.
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
39
d. ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, pasien ini termasuk dalam ASA I dimana
pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir tanpa adanya kelainan
sistemik lainnya.
Pada pasien ini dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan anestesi
umum (anestesi general). Anestesi umum dipilih untuk laparoskopi dengan
pertimbangan bahwa tindakan laparoskopi ini akan menimbulkan ketidaknyaman
(sesak napas dan nyeri pundak yang berasal dari iritasi diafragma) bagi pasien jika
pasien sadar (anestesi regional) dan mencegah gerakan pasien yang tiba-tiba. Selain
itu, keuntungan lain dari tindakan ini antara lain: jalan nafas yang aman dan terjamin
karena terpasang ETT, pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan
tertidur dan terhindar dari trauma terhadap operasi serta kondisi pasien lebih mudah
dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi. Pada saat laparoskopi, biasanya
pasien diposisikan pada posisi Trendelenburg (head-down position), posisi ini
menyebabkan organ-organ di rongga abdomen dan diafragma berpindah ke arah
cephalad yang akan menyebabkan pasien sesak napas jika pasien sadar pada anestesi
regional.
Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara memasukkan gas ke dalam
rongga abdomen (pneumoperitoneum) untuk mengembangkan rongga abdomen
sehingga area kerja di dalam rongga abdomen menjadi lebih luas. Gas yang
digunakan adalah CO2 (insuflasi CO2) karena tidak mengganggu sistemik, mudah
diserap, mudah dikeluarkan oleh tubuh (difusi atau pertukaran gas), dan tidak
mengendap (sehingga resiko terjadinya emboli udara sangat kecil sebab tinggi
derajat kelarutannya).
Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan
menekan diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi terhambat
40
sehingga difusi CO2 ke luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini
akan menyebabkan hiperkarbia dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang sistem
saraf simpatis, yang akan meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan
kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus dicegah dengan cara menjaga
keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan O2 tinggi, respiratory
rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar (karena jika
volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru
yang cukup maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi,
kondisi ini dapat dikompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau respiratory
rate sehingga terjadi peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan diikuti dengan
peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonal.
Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan sedikit
peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena sentral, atau
curah jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung menyebabkan penekanan
organ-organ di sekitarnya, antara lain kolaps vena utama abdomen (inferior vena
cava) dan aorta abdominalis, yang akan menyebabkan penurunan venous return,
yang akan diikuti dengan penurunan curah jantung pada beberapa pasien. Karena itu,
sebelum penekanan oleh CO2 berlangsung, vaskuler harus terisi penuh sehingga
menjaga aliran darah balik agar adekuat. Caranya adalah dengan pemberian infus
cairan. Pada pasien ini diberikan infus RL.
Untuk mencapai trias anestesi yaitu analgesic, hypnosis dan relaksasi otot
maka setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat) sebagai
loading mulai dimasukkanlah obat-obat premedikasi, midazolam 5 mg bertujuan
untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde, fentanyl 100 mcg sebagai
analgetik opioid, propofol 150 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan
dengan golongan non-depolarisasi jenis intermediete acting yaitu atrakurium dosis
30 mg. Sebagai obat anestesi diberikan isofluran 1,5 vol % dengan tambahan O2 2
lpm dan N2O 2 lpm.
Tindakan laparoskopi juga memerlukan relaksasi otot agar visualisasi
menjadi lebih baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga
diperlukan relaksan otot. Relaksan otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga terjadi
41
kelumpuhan otot pernapasan, otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot
ekstremitas. Kondisi ini tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan karena
otot pernapasan lumpuh, sehingga diperlukan teknik ventilasi yang menjamin zat
anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea dengan benar.
Tindakan laparoskopi dibutuhkan anestesi umum (anestesi general) karena
tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan
pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi
CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator
dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan volume tidal yang tidak terlalu besar.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang recovery room.
Pasien segera diperiksa nilai kesadarannya menggunakan Aldrette score. Penilaian
tersebut mencakup penilaian terhadap kesadaran, warna kulit, aktivitas,
kardiovaskuler dan respirasi. Pasien ini mendapat nilai 9/10 yang berarti pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan.
Pemberian obat-obatan analgesik tetap dilanjutkan hingga pasien kembali di
ruangan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri pada luka pasca operasi. Selain obat-
obatan, terapi cairan juga diberikan secara tepat untuk mengoreksi kehilangan darah
selama operasi.
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam : 2cc x 69kg x 6jam = 828 cc
b. Kebutuhan cairan selama operasi ringan selama 1 jam = kebutuhan dasar
selama operasi + kebutuhan operasi sedang (2cc x 69kg x 1jam) + (4cc x
69kg x 1jam) = 138 cc + 276 cc = 414 cc
c. Perdarahan yang terjadi kira-kira … cc
EBV = 70 cc x 69kg = 4830 cc.
Darah yang hilang = …/4060 x 100% = …. % EBV
Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi
dengan perbandingan 1 : 2-4 ml cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :
= 1 : 2-4 ml
= 250 : 500 cc – 1000 cc kristaloid
Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 250 cc dapat diganti dengan
kristaloid sebesar 500 cc-1000 cc
42
d. Kebutuhan cairan total = 696 + 928 + (500-1000) = 2124 cc – 2624 cc
e. Cairan yang sudah diberikan
- Pra anestesi = 500 cc
- Saat operasi = 1000 cc
f. Total cairan yang masuk = 1500 cc
Jadi kekurangan cairan sebesar 624 cc – 1124 cc maka penambahan cairan masih
diperlukan saat pasien dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.
g. Terapi cairan pasca bedah
Memenuhi kebutuhan air, elektrolit nutrisi
Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah (cairan lambung,
febris)
Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan
Kebutuhan cairan pasien post operasi 50 cc /kgBB/24 jam
50 cc x 69 kg = 3450 cc/24 jam
Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa
Na+ = 2 - 4 mEq / kgBB
= (2 x 69) – (4 x 69) = 138 – 276 mEq
K+ = 1 – 2 mEq / kgBB
= (1 x 69) – (2x69) = 69 – 138 mEq
Kebutuhan Kalori Basal
Dewasa = BB x 20-30
= (69 x 20) – (69 x 30)
= 1380 – 2070 mEq
Pada pasien post operasi yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan
maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah, dan
bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit. Setelah
kondisi baik dan cairan oral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara perlahan cairan
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M., et al. 2010. Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
2. Boulton T.H., Blogg C.E., 2009. Anesthesiology, cetakan IV. EGC, Jakarta.
3. Tony H., 2007. Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
4. Morgan G.E., Mikhail M.S., 2004. Clinical Anesthesiology. 1st ed. A Large
Medical Book
5. Dobson Michael B, 2008. Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
6. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
7. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
8. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based
Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department
Vol.13 Number 10. 2011:1-32
9. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534
45